PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah dalam makalah ini tidak lain adalah memperdalam pengetahuan
mengenai munasabah beserta contoh-contohnya.
A. Pengertian Munasabah
َ ُمنَا-ب
Munasabah secara bahasa berasal dari kata سبَ َة ِ يُنَا-ب
َُ س َ َ ناyang berarti dekat,
ََ س
َ ا ْل ُمنَاsama artinya dengan اربَة
serupa, mirip, dan rapat. سبَة َ َ ال ُمقyakni mendekatkannya dan
menyesuaikannya. Annasib juga berarti ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.
Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara
ayat-ayat Al-Qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh imam As-Sayuti, mendefiisikan
munasabah itu kepada keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian
yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang
keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Qur’an antar satu dengan yang lain.
Pada tahap berikutnya jejak Abu Ja’far juga diikuti oleh fakhruddin l- razi dalam
tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Sedangkan menurut Jalaluddin al-Suyuthi, ilmu ini pertama kali
dikembangkan oleh imam Abu Bakar al-Naisaburi di Baghdad.
Pada tahap berikutnya tampil seorang ahli ilmu al-Quran bernama Ibrahim bin Umar
al Biqa’ dengan kitabnya Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, ia membahas ilmu
ini secara lebih lengkap. Kitab ini khusus membicarakan tentang keterkaitan antara satu ayat
dengan ayat lain serta antara satu surat dengan surat yang lain dalam al-Quran. Di samping
itu terdapat juga ‘Allamah Abi Ja’far Amad bin Ibrahim bin al-Zubir al- Tsaqafi Al-‘Ashimy
al-Andalusi dengan judul Mu’alim bi al-Burhan fa Tartibi Suwar al-Quran. Kitab ini
membahas tentang munasabah antara ayat-ayat.
Tindakan An naisaburi merupakan kejutan dan langkah baru dalam dunia tafsir
waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap persesuaian, baik antar ayat
ataupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro atau kontra terhadap apa
yang dicetiskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai Bapak Ilmu Munasabah.
Dalam perkembangannya, munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilimu-ilmu
al-Quran. Ulama-ulama yang dating kemudian menyusun pembahasan munasabah secara
khusus. Di antara kitab yang khusus membicarakan munasabah adalah Al-Burhan fi
munasabati tartibil Quran susunan Ahmad Ibnu Ibrahim Al Andalusi (wafat 807 h). menurut
pengarang Tafsir An-nur, penulis yang membahas dengan baik masalah munasabah ialah
Burhanuddin Al Biqa’i dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar. [2]
Latar belakang sejarah timbulnya ilmu ini erat hubungannya dengan sikap para
mufassir pada masa itu yang selalu bertanya-bertanya tentang hubungan antara satu ayat
dengan ayat yang lain. Mereka selalu terbentur ketika melihat kandungan al-Quran yang
seakan-akan tidak punya hubungan sama sekali antara ayat yang satu dengan ayat berikutnya .
Abu Bakar Al Naisaburi yang disebut sebagai pelopor ilmu ini permulaannya mencoba
mencari hubungan ayat-ayat yang ia tafsirkan tersebut. Cara yang ia lakukan adalah dengan
mengeluarkan beberapa pertanyaan sekitar ayat yang ia tafsirkan. Pertama kali ia
menyempurnakan ayat sebelumnya ataukah ayat itu berdiri sendiri? Jika berdiri sendiri,
Fakhr al- Din Al-Razi, slah seorang ahli tafsir menyadari betul pentingnya ilmu ini.
Penafsiran ayat dalam al-Quran berdasarkan susunan ayat dalam mushaf, menurutnya dapat
memberikan kesan terpilah-pilahnya masalahmasalh yang dijelaskan al-Quran. Namun bila
diselidiki dengan mencari keterkaitan tentu hal tersebut tidak akan terlihat bahkan terasa
benar-benar bahwa antara ayat yang satu dengan ayat yang lain saling berkaitan. Dengan
demikian ilmu munasabah merupakan sesuatu yang mesti dimiliki oleh para mufassir agar
pesan-pesan al-Quran dapta dipahami seutuhnya.
Masalah ini mencapai puncaknya dibawah usaha Ibrahim bi Umar al Biqa’I (809-885).
Hingga sekarang para ahli belum banyak yang melibatkan diri dalam bidang
ilmu munasabah ini. Karia yang dianggap terlengkap adalah hasil karia al-Bia’i dengan
pembahasan seluruh al-Quran yang kusus membahas keseluruhan keterkaitan baik antara ayat
per ayat maupun antar surat-surat serta terbagi segi lainnya. Sedangkan pembahasan lain
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab ‘Ulumul al-Quran hanya sekedar
memperkenalkan tentang munusabah serta sejauhmana dipentingkan dalam khazanah ilmu-
ilmu keislaman.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sejarah munculnya kajian tentang munasabah tidak
terjadi pada masa Rasulullah, melainkan setelah berlalu sekitar tiga atau empat abad setelah
masa beliau. Hal ini berarti, bahwa kajian ini bersifat taufiqi(pendapat para ulama). Karena
itu, keberadaannya tetap sebagai hasil pemikiran manusia (para ahli Ulumul-Qur’an) yang
bersifat relatif, mengandung kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sama halnya
dengan hasil pemikiran manusia pada umumnya, yang bersifat relatif (Zhanniy).
Sungguhpun keberadaannya mengandung nilai kebenaran yang relatif, namun dasar
pemikiran tentang adanya munasabah dalam al-Qur’an ini berpijak pada prinsip yang bersifat
absolut. Yaitu suatu prinsip, bahwa tartib (susunan) ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana kita
lihat sekarang adalah bersifat Tauqifi yakni suatu susunan yang disampaikan oleh Rasulullah
berdasarkan petunjuk dari Allah (wahyu), bukan susunan manusia, atas dasar pemikiran
inilah, maka sesuatu yang disusun oleh Dzat Yang Maha Agung tentunya berupa susunan
yang sangat teliti dan mengandung nilai-nilai filosofis (hikmah) yang sangat tinggi pula. Oleh
Lalu dijelaskan di dalam surah al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk al-Qur’an, sebagaimana disebutkan:
Artnya: “Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa”
.
2. Munasabah antara satu surah dengan surah sebelumnya
Untuk mencari munasabah antara satu surah dengan surah sebelumnya, as-
Suyuthi menyimpulkan bahwa satu surat berfungsi menerangkan atau menyempurkan
ungkapan pada surah sebelumnya. Sebagai contoh dalam surah al-Baqarah [2] ayat 152
dan 182:
فاذكرونيَأذكركمَواشكرواَليَوالَتكفرون
Nama suatu surah pada dasarnya bersifat tauqifi. Namun beberapa bukti menunjukkan
bahwa suatu surah terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih.
Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surah dengan isi
atau uraian yang dimuat dalam suatu surah. Kaitan antara nama surah dengan isi ini dapat di
indentifikasikan sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surah. Nama surah al-Fatihah
disebut dengan umm al-Kitab karena urgensinya dan disebut dengan al-
Fatihah karena kedudukannya.
b. Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol,
yang dipaparkan pada rangkaian ayat-ayatnya; sementara di dalam
perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat
disebut nama-nama surah : al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fil, al-Lahab dan
sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-ikhlas karena mengandung
ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan ; al-Mulk
mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain
yang tersebar diberbagai surah. Contoh al-Hajj ( dengan spesifik tema
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu ayat dapat
dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat secara konkrit yang
jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi ayat. Identifikasi munasabah
dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid / tasydid ( penguat / penegasan ) dan tafsir /
I’tiradh ( interfretasi / penjelasan dan ciri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid :
“ “ فإنَلمَتفعلوا, dikuti “ ( ”ولنَتفعلواQ.S al-Baqarah / 2 : 24 ).
Contoh tafsir :
سبحانَالذىَاسرىَبعبدهَليلَمنَالمسجدَالحرامَالىَالمسجدَاألقصى
Kemudian diikuti dengan
17َ/َالذىَباركناَحولهَلنريهَمنَاياتناَ(َاإلسراء
Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak langsung secara
konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘ athaf ‘ dan terkadang tidak ada. Dalam konteks
ini, munasabahnya terletak pada :
a. Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau
larangan yang tak dapat diputus dengan fashilah.
Salah satu contoh :
25َ:َ) ولئنَسألتهمَمنَخلقَالسماواتَواألرضَ__َليقولونَهللاَ__َقلَالحمدَهللَ(َلقمان
b. Munasabah berbentuk istishrad ( penjelasan lebih lanjut ). Contoh :
189َ:َ2َ/َيسألونكَعنَاألهلةَ___َقلَهىَ___َ(َالبقرة
c. Munasabah berbentuk nazhir / matsil ( hubungan sebanding ) atau mudhaddah / ta’kis
( hubungan kontradiksi ). Contoh :
177َ:َ2َ/َليسَالبرَأنَتولواَوجوهكمَقبلَالمشرقَوالمغربَ___َولكنَالبرَ…َ(َالبقرة
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini didaftarkan pada
pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surah tersebar sejumlah ayat, namun pada
hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib dengan ikatan yang padu sehingga
membentuk fikiran serta jalinan informasi yang sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh,
ayat-ayat diawal Q.S al-Baqarah 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan,
kekufuran, serta kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan
nifaq, dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
Misalnya surah al-Mu’minun dimulai dengan :
“ قدَأفلحَالمؤمنونSesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman”.
Kemudian dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat :
انهَالَيفلحَالكافرون
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung”.
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk yaitu al-
Tamkin ( mengukuhkan isi ayat ), al-Tashdir ( memberikan sandaran isi ayat pada
sumbernya ), al-Tausyih ( mempertajam relevansi makna ) dan al-Ighal ( tambahan
penjelasan ).
Sebagai contoh :
َلقومَيفقهون,َ يعقلونselalu menjadi sandaran isi ayat. Kata“halim” sangat erat hubungannya
dengan ‘ibadat, sementara “rasyid” kuat hubungannya dengan al-amwal seperti bunyi ayat
Q.S Hud : 87 berikut :
َقالواَياَشعيبَأصلتكَتأمركَأنَنتركَمايعبدَاباؤناَأوَأنَنفعلَفىَأموالناَمانشاؤاَإنكَألنتَالحليم
الرشيد
Sedangkan bentuk al-Ighal dapat dijumpai pada Q.S al-Naml ( 27 ) : 80 :
انكَالتسمعَالموتىَوالتسمعَالصمَالدعاءَإذاَولواَمدَبرين
Kata “Wallaw” yang artinya ‘bila mereka berpaling’ berfungsi sebagai penjelasan terhadap
arti ( orang tuli ).
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’an adalah adanya keserasian serta hubungan yang
erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya. Sebagai contoh, dikemukakan
oleh al-Zamakhsyari demikian juga al-Kirmani bahwa Q.S al-Mu’minun diawali dengan “َقد
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayuthi,
pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’I dan al-Sakhawi. Sementara al-Kirmani menggunakan
metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih al-Qur’an dengan karyanya yang
berjudul al-Burhan fi Mutasyabih al-Qur’an. Karya yang dinilainya paling bagus
adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh Abu ‘Abd Allah al-Razi dan Malak al-
Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah (tegaknya
suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling bermunasabah, yakni Q.S
al-Nisa ( 4 ) : 34 :
الرجالَقوامونَعلىَالنساءَبماَفضلَهللاَبعضهمَعلىَبعضَوَبماَأنفقواَمنَأموالهم
Dan Q.S al-Mujadalah ( 58 ) : 11 :
يرفعَهللاَالذينَامنواَمنكمَوالذينَأوتواَالعلمَدرجاتَوهللاَبماَتعملونَخبير
Tegaknya qiwamah ( konteks parsialnya qiwamat al-rijal ‘ala al-nisa ) erat sekali
kaitannya dengan faktor Ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi. Q.S al-Nisa
menunjuk kata kunci “Bima Fadhdhala” dan “al-Ilm” . Antara “Bima
fadhdhala” dengan “yarfa’” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai lebih
yang muncul karena faktor ‘Ilmu.
Munasabah al-Qur’an diketahui berdasarkan ijtihad, bukan melalui petunjuk Nabi
( tauqifi ). Setiap orang bisa saja menghubung-hubungkan antara berbagai hal dalam Kitab al-
Qur’an.
Pendapat para mufassir dalam menghadapi masalah munasabah dalam garis besarnya
terbagi dua. Sebagian mereka menampung dan mengembangkan munasabahdalam
penafsiaran ayat. Sebagian yang lain tidak memperhatikan munasabah dalam penafsiran ayat.
Ar Razi adalah orang yang sangat menaruh perhatian kepadamunasabah, baik antar ayat atau
antar surat. Sedangkan Nizhammuddin An Naisaburi dan Abu Hayyan Al Andalusi hanya
menaruh perhatian besar kepada munasabah antar ayat saja.
Ada musafir yang kurang setuju dengan analisis munasabah, yaitu Mahmud Syaltut,
mantan rector Al Azhar yang memiliki karya tulis dalam berbagai cabang ilmu, termasuk
ilmu Al Quran.
Tokoh yang paling kritis menentang dalam pengguna munasabah adalah Ma’ruf
Dualibi. Ia mengatakan bahwa: “maka termasuk usaha yang percumas untuk mencari
hubungan apa di antara ayat-ayat dalam surat. Sebagaimana andaikata urusan itu dalam satu
hal saja dalam topic tentang aqaid, atau kewajiban-kewajiban atau urusan budi pekerti
ataupun mengenai hak-hak. Sebenarnya kita mencari hubungannya atas dasar satu atau
beberapa prinsip”.[7]
Menurut beliau, Al Quran dalam berbagai ayat hanya mengungkapkan hal-hal yang
bersifat prinsip (mabda’) dan norma umumnya (qaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada
tempatnya bila orang bersikeras harus ada kaitan antar ayat-ayat yang bersifat tafsil.
Datangnya As Sunnah justru untuk mengemban fungsi itu, meluruskan apa yang di
ringkas, merinci apa yang masih global, serta menjelaskan hal-hal yang sulit dipahami.
Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Alquran
diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa
langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu: (1) Harus
diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian. (2) Memerhatikan
uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat. (3) Menentukan
tingkatan-tingkatan itu, apakah ada hubungannya atau tidak. (4) Dalam mengambil
kesimpulannya, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan
tidak berlebihan.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini saya berharap dengan mengetahui ilmu tentang munasabah,
umat Islam lebih bersifat inskusif terhadap beberapa hasanan pemikiran tentang segala hal.
Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan
perubahan zaman.