Anda di halaman 1dari 14

AZIMAH DAN RUKHZAH

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Ushul Fiqih pada Program Studi Perbankan Syariah 5

Oleh:
SULTAN
NIM. 01175126

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN BONE
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama
mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
sekalian.

Watampone, Desember 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian ‘Azimah Dan Rukhshah 4
B. Macam-Macam ‘Azimah dan Rukhshah 4
C. Hukum Menggunakan Rukhshah 7
D. Aspek Hukum ‘Azimah Dan Rukhshah 8
BAB III PENUTUP 10
A. Simpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR RUJUKAN 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu fiqh yang merupakan panduan ubudiah para mukallaf selalu
berhadapan dengan kondisi dimana seorang mukallaf berada dan situasi yang
dihadapinya, dimana kondisi dan situasi tersebut dapat mempengaruhi
kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya
terutama dalam halubudiah.
Mengenai situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan
hambatan dalam melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu
berasal dari dirinya maupun luar dirinya, ushul fiqh mengatur konsep
ketetapan dan keringanan yang dikenal dengan istilah Azimah dan rukhshah.
Makalah ini berusaha memaparkan secara singkat tentang azimah dan rukhsoh
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian ‘Azimah Dan Rukhshah?
2. Bagaimana Macam-Macam ‘Azimah dan Rukhshah?
3. Bagaimana Hukum Menggunakan Rukhshah?
4. Bagaimana Aspek Hukum ‘Azimah Dan Rukhshah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian ‘Azimah Dan Rukhshah
2. Untuk mengetahui Macam-Macam ‘Azimah dan Rukhshah
3. Untuk mengetahui Hukum Menggunakan Rukhshah
4. Untuk mengetahui Aspek Hukum ‘Azimah Dan Rukhshah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Azimah Dan Rukhshah


Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :

‫ع ِمنَ اﻷَ ح َك ِم ال ُك ِلِّيَّ ِة إِبتِدَاء‬ ُ ‫مََ ا‬


َ ‫ش َر‬
Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum
umum.
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada
mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada
hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum
lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan
hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini brelaku
sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang
bersifat umum.1
Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengenadung arti
berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf
atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban
zakat, puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum azimah adalah hukum yang telah disyariatkan
oleh Allah kepada seluruh hamba-Nyasejak semula. Artinya belum ada
disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti sembahyang
lima. Sembahyang lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap
ketika dan keadaan, asal saja orang itu masih dipandang cukup kuat untuk
mengerjakannya. Hukum wajib semabhayng lima itu, hukum ‘azimah
namanya.
Sedangkan menurut para ulama ushul fiqh tentang rukhshah ialah :
َ ُ‫اَل ُحك ُم الث َّا ِبت‬
ِ ‫علَى ِخ‬
‫الف الدَّ ِلي ِل ِلعَُ ذر‬

1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Usuhul Fiqh Jilid I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
h. 321.

2
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup
semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa
rukhshah itu harus brdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang
meyalahi dali yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “meyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam
definisi yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhshah, sesuatu yang
memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum.
Kebolehan makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak
menyalahi hukum yang sudah ada.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan
dalam definisi ini agar mencakup rukhshah untuk melakukan prebuatan yang
ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka
puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum nadb
(sunat) seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.
Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang uum berlaku
selama ada uzur yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini
datangnya kemudian, sesudah ‘azimah. Umpamanya, hukum makan bangkai
di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini datang kemudian,
sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti
dibolehkan berqashar dalam safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa
sembahyang dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat. Makan bangkai di kala
lapar, tak ada makanan yang lain, semabhyang dashar di dalam safar, dinamai:
hukum rukhshah.
Asy Syathibi menetapkan menetapkan bahwa : hukum menjalankan
rukhshah itu, boleh. Kita tidak dimestikan menjalankan rukhshah, tidak wajib
menjalankannya. Demikianlah hal menjalankan hukum rukhshah, bila diingat,
bahwa hukum rukhshah, hukum yang hanya dibolehkan.
Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman
Allah Swt :

3
“. . .Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka
tidak ada dosa baginya. ...”(QS. Al Baqarah : 173)
Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan,
yaitu : bila rukhshah itu untuk melawan sesuatu kesuakaran yang tak dapat
dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan berpuasa di bulan ramadhan. Tetapi,
jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka itu hukum yang
dirukhshahkan. Akan tetapi, bil aberpuasa dalam safar itu, mengakibatkan
kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagikita menjalankan
‘azimahnya.
Bersabda Nabi Saw:
)‫سفَ ِر (رزاه احمد‬
َّ ‫الصيَا ُم فِى ال‬ َ ‫لَي‬
ِّ ِ ‫س ِمنَ البِ ِ ِّر‬
“Tidak dipandang kebjaikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dengan membandingkan pengertian ‘azimah dan rukhshah secara
sederhana dapat dikatakan bahwa ‘azimah adalah melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan secar aumum dan mutlak, baik perintah itu perintah wajib
atau sunat,bak larangan itu untuk haram atau makruh, sedangkan rukhshah
adalah keringanan dan kelapangan yang diberikan kepada orang mukallaf
dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan.

B. Macam-Macam ‘Azimah dan Rukhshah


1. Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa azimah ada empat
macam, yaitu:2
a. Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat
manusia seutuhnya, seperti ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh
hukum yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan umat di dunia dan
di akhirat.

2
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh (Pekalongan : STAIN Press Pekalongan, 2005),
h.300.

4
b. Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul,
seperti hukum mencaci maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal
ini dilarang oleh Allah, karena orang yang menyembah berhala atau
sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-An’aam ayat 108;
Artinya :“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…”
c. Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum
sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada. Status
nasikh dalam kasus seperti ini adalah ‘azimah. Misalnya, firman Allah
SWT :
َ ‫فَلَنُ َو ِلِّيَنَّكَ قِبلَة ت َر‬
) ١٤٤ : ‫ فَ َو ِِّل َوج َهكَ شَط َر ال َمس ِج ِد ال َح َر ِام (البقرة‬,‫ض َها‬

Artinya :“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke


kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram.” (QS. Al-Baqarah : 144).3
Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke
langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang
memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah yang sebelumnya
berkiblat ke Baitul Maqdis.
d. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti
firman Allah SWT :
) ٢٤ :‫اء اِالَّ َما َملَ َكت اَي َمنُ ُكم (النساء‬
ِ ‫س‬َ ِّ‫صنَتُ ِمنَ ال ِن‬
َ ‫َوال ُمح‬
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki”. (QS. An-Nisa :
24)4

3
Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979
4
Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979

5
Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita
yang telah bersuami dengan lafaz yang bersifat umum, kemudian
dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.
2. Macam-Macam Rukhshah
a. Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau menurut
kebutuhan. Misalnya seseorang yang menahan lapar atau dahaga yang
amat sangat, maka ia boleh memakan bangkai atau arak. Allah SWT
berfirman :
ُ ‫علَي ُكم اِالَّ َمااض‬
)١١٩ : ‫ط ِررت ُم اِلَي ِه (االنعام‬ َ ‫ص َل لَ ُكم َما َح َّر َم‬
َّ َ‫َوقَد ف‬

Artinya: “...padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan


kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksakan memakannya.” (QS. Al-An’am : 119)5

b. Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat


uzur kesulitan menunaikannya. Barangsiapa yang sakit di siang hari
bulan Ramadhan atau sedang bepergian maka ia boleh berbuka.
Barang siapa yang dalam perjalanan maka boleh meringkas shalat yang
empat rakaat. Allah SWT berfirman :
) ١٨٤: ‫(البقرة‬ ‫سفَر فَ ِعدَّة ٌ ِمن ا َيَّام اُخ ََر‬
َ ‫علَى‬
َ ‫فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َم ِريضا اَو‬

Artinya : “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.
Al-Baqarah : 184)6

c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak


memenuhi syarat umum sebagai sahnya akad tersebut, namun itu
berlaku dalam muamalah umat manusia dan menjadi kebutuhan
mereka. Seperti akad salam (pesanan), ia adalah jual beli yang pada

5
Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979
6
Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979

6
saat akad barang tidak ada. Tetapi hal ini sudah menjadi kebutuhan.
Rasulullah SAW bersabda :

‫سِل ِم‬
ِّ ‫ص فِال‬ َ ‫ان َمالَي‬
َ ‫س ِعندَهُ َو َر َّخ‬ ِ ‫س‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫عن بَيعِ ا ِالن‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬
ُ ‫نَ َهى َر‬

Artinya : “Rasulullah SAW melarang jual beli barang yang


tidak ada padanya, tetapi Rasulullah SAW memberikan keringanan
pada akad salam (pesanan).”

d. Menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT telah di angkat dari


kita. Sedangkan hukum itu adalah termasuk beban yang berat atas
umat sebelum kita. Allah SWT berfirman :

) ٢٨٦ : ‫(البقرة‬ ‫علَى الَّذِينَ ِمن قَب ِلنَا‬


َ ُ‫علَينَا اِصرا َك َما َح َملتَه‬
َ ‫َربَّنَا َو َالت َح ِمل‬

Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada


kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami.” (QS. Al-Baqarah : 286)7

C. Hukum Menggunakan Rukhshah


Pada dasarnya ruskhshah itu adalah pembebasan seorang mukallaf dari
melakukan tuntutan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya
hukumnya “boleh”, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau
meninggalkan sesuatu yang disuruh. Namun dalam hal menggunakan hukum
ruskhshah bagi orang yang telah memenuhi syarat untuk itu terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama.8
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan ruskhshah itu
tergantung kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya ruskhshah itu.
Dengan demikian menggunakan hukum ruskhshah dapat menjadi wajib
seperti memakan bangkai bagi yang tidak mendapatkan makanan yang halal,
sedangkan ia khawatir seandainya tidak menggunakan ruskhshah akan

7
Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979
8
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 479.

7
mencelakakan dirinya. Hukum ruskhshah ada pula yang sunat seperti berbuka
puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan.
Di samping membagi hukum rukhshah itu kepada wajib, sunah dan
mubah dengan menyangggah argumentasi al-Syathibi, Jumhur Ulama juga
mengemukakan argumen sendiri. Sanggahannya itu adalah sebagaimana
argumen dan jawaban yang dipergunakan serta disampaikan oleh al-Syathibi,
yaitu:
1. Kata rukhshah, berarti memudahkan atau meringankan. Arti ini tidak
bertentangan dengan wajib atau nadh selama perintah yang membawa
kepada arti wajib atau nadh itu lebih mudah dan lebih ringan.
2. Rukhshah dan ‘azimah adalah bentuk pembagian lain dari hukum syara’
ditinjau dari segi hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku atau tidak.
Bila hukum itu sesuai dengan dalil yang berlaku, maka disebut ‘azimah;
bila menyalahi dalil yang berlaku, maka disebut rukhshah.

D. Aspek Hukum ‘Azimah Dan Rukhshah


Para ulama berbeda pendapat tentang tarajjuh (mengutamakan)
mengambil rukhshah atau ‘azimah. Tetapi sebenarnya perbedaan mereka pada
masalah-masalah parsial yang berhubungan dengan rukhshah dan ‘azimah
saja, seperti mengqashar shalat dalam perjalanan, atau menjamak antara dua
shalat, atau shalat Jum’at dan shalat Ied jika terjadi pada satu hari dan
sebagainya. Perbedaan pendapat antara mereka dalam masalah-masalah di atas
adalah dikarenakan perbedaan mereka dalam mencari asal masalah dan
penyesuaiannya. Dalam hal ini, Syathibi menjelaskan masalah ini secara
umum, membandingkan antara rukhshah dan ‘azimah. Lalu menyebutkan
beberapa dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah, dan juga menyebutkan
beberapa dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah.9
1. Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan ‘azimah:
a. ‘Azimah adalah hukum asal yang tetap, yang disepakati dan pasti
kebenarannya. Sedangkan Rukhshah walaupun pemberian hukumnya

9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 321.

8
pasti, tetapi dia bersifat zhanni dalam penerapannya, karena rukhshah
berdiri di atas masyaqqah (kesulitan). Kemungkinan penerapan
rukhshah dalam realitas dapat dikatakan tidak ada jika dinisbatkan
kepada ‘azimah, dengan begitu ‘azimah lebih kuat daripada rukhshah.
b. Mengambil rukhshah dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak
melaksanakan ‘azimah dalam ibadah. Sedangkan mengambil ‘azimah
itu membiasakan kuat dan sabar dalam beribadah, dan bersungguh-
sungguh dalam melaksanakannya
c. Asal dari tasyri’ adalah taklif (pembebanan) dan dalam taklif ada suatu
beban dan kesulitan bagi seorang hamba. Merupakan hikmah Allah
bahwa pembebanan tersebut disesuaikan dengan kemampuan manusia
dan kebiasaannya. Jika muncul suatu kesulitan yang sangat pada
sebagian orang, atau pada kondisi tertentu, ‘azimah tidak keluar dari
tujuan Allah semula, tidak juga mempengaruhi pelaksanaannya.
Hukum asal tetap pada ‘azimah, tidak keluar darinya kecuali karena
sebab yang sangat kuat.
2. Dalil-dalil yang menguatkan pengambilan rukhshah:
a. Bahwa asal hukum rukhshah walaupun bersifat parsial, tetapi jika
dinisbatkan pada ‘azimah ia tidak terpengaruh, karena ia dianggap
sebagai suatu pengecualian dari ‘azimah.
b. Banyak terdapat dalil yang menjelaskan tentang diangkatnya kesulitan
dari umat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya,
“…Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj:78) Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga berfirman yang artinya, “…Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-
Baqarah:185) Berdasarkan hal di atas, maka agama ini terdapat
kemudahan .

9
BAB II
PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa pelaksanaan hukum fiqh
tidak monoton dan kaku tetapi fleksibel dan dinamis tergantung situasi dan
kondisi para mukallaf itu sendiri, Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
‘azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara
umum sejak semula yang tidak terbatas kepada keadaan tertentu dan pada
perorangan (mukallaf) tertentu. Sedangkan rukhshah adalah keringanan
hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan
tertentu yang sesuai dengan keringanan tersebut.
Hukum ‘azimah berupa hukum yang disyariatkan sejak semula, hukum
yang disyariatkan karena adanya suatu sebab, hukum yang disyariatkan
sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya dan hukum pengecualian
dari hukum-hukum yang berlaku umum. Rukhshah hukum yang
diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat, kebolehan
meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur, sahnya sebagian akad yang
bersifat pengecualian dan menghapus hukum-hukum yang oleh Allah SWT
telah di angkat dari kita.

B. Saran
Saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan oleh penulis
dalam memperbaiki makalah ini, karena penulis tahu bahwa dalam penulisan
makalah ini banyak sekali terdapat kesalahan dan jauh dari kata sempurna.
Wallahu ‘alam bissawab.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ash Shidiqy, Teuku Muhammad Hasb. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.1997.

Dept. Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan. Jakarta : PT. Bumi Restu. 1979.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Imani. 2003.

Riva’i, Muhammad. Ushul Fiqh. Bandung: PTAL MA’Arif. 1995.

Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan: STAN Press Pekalongan.
2005.

Syafruddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. 2011.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997.

11

Anda mungkin juga menyukai