Anda di halaman 1dari 9

BAB II

Pembahasan

A. kaidah fiqih tentang keyakinan dan keraguan

Keyakinan dan keraguan merupakan sesuatu yang bertolak belakang. Besarnya keyakinan dan
keraguan bias bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dan lainnya. sebelum
menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskannya dari segi
kebahasaan dan dari segi istilah

1. Al-Yaqin

1) Dari segi Bahasa Al-Yaqin berarti : sebuah pengetahuan yang didalamnya tidak ada
keraguan. Ulama sepakat bahwa Al-Yaqin berarti pengetahuan dan merupakan anonym dari
Asy-Syakk

2) Menurut istilah

a. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya


”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini”
cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk
menghilangkannya”.
b. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti
dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak
menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
c. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang
dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.

2.. Asy-Syakk

1) Menurut kebahasan berarti : seseuatu yang membingunkan dan merupakan anonym


dari Al-Yaqin
2) Menurut istilah :
a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara ada atau tidak ada”.
b. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu
(meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan
salah satunya”
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak
dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Hukum asal sesuatu itu adalah terbebas
seseorang dari beban tanggung jawab, sehingga al-yqin bukanlah sesuatu yang dibebankan.
Apabila ada dalil yang memberikan pembenanan, maka harus sesuai dengan sendi agama.
Contoh hukum asal air adalah suci baik itu air sungai, laut, hujan, sumber danau. hokum asal
air sudah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang meragukannya.

Hukum yang bersifat tetap harus ditetapkan dan berpedoman pada dalil, dalil tersebut
tidak boleh saling bertentangan. Contoh : apabila seseorang memiliki harta yang diperolah
melalui jual beli, warisan, atau sebab yang lain dengan cara yang halal maka hukumnya
menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak dapat berpindah tangan sampai ada sebab
dan bukti yang kuat di kemudian hari.

Untuk memahami kaidah ini, kita harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam
menangkap segala sesuatu selalu bervariasi atau berbeda-beda yakni

1. Al-Yakin

Secara Bahasa berarti mengetahui dan menghilangkan keraguan. Al Yakin


merupakan anonim dari Al Syak. Al yakin adalah bentuk penetapan atas sesuatu
yang sekiranya tidak tersisa adanya keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa
dihilangkan oleh keraguan yang ada dan keyakinan ini tidak bisa hilang kecuali
ada keyakinan yang sederajat

2. Ghalabah al Dzan

Ghalabatul al dzan bisa digambarkan apabila seseorang dihadapkan pada dua


kemungkinan. Kemudia ia menganggap salah satunya lebih unggul dan
membuang yang lainnya. maka kemungkinan yang lebih unggul ini disebut
sebagai ghalabatul al dzan

3. Al Dzan

Menurut para ahli fiqih jika seseorang menduga bahwa salah satu kemungkinan
yang ada lebih unggul dari yang lain. Namun hatinya enggan mengambil yang
kuat maupun membuang yang lemah.

4. Al syak
Al-syak menurut Bahasa berarti bimbang atau ragu. Secara terminology al- syak
adalah setara antara dua perkara. Tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan
hatinya tidak condoh kepada salah satunya

B. Dasar Hukum Kaidah

1. Firman Allah Swt


‫ش ْيئًا‬ ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع أَ ْكثَ ُر ُه ْم إِاَّل ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ اَل يُ ْغنِي ِم َن ا ْل َح‬
َ ‫ق‬
Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran.” (QS. Yunus: 36)

‫ض الظَّنِّ إِ ْث ٌم‬
َ ‫اجتَنِبُوا َكثِي ًرا ِم َن الظَّنِّ إِنَّ بَ ْع‬ َ ‫يَا أَ ُّي َها الَّ ِذ‬
ْ ‫ين آ َمنُوا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan,
sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

2. Hadits Rasulullah SAW:

Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan
dan keraguan sebagai berikut :

‫سلَّ َم إِ َذا َو َج َد أَ َح ُد ُك ْم‬


َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫عَنْ أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬
‫ش َك َل َعلَ ْي ِه أَ َخ َر َج ِم ْنهُ ش َْي ٌء أَ ْم اَل فَاَل يَ ْخ ُر َجنَّ ِم َن‬
ْ َ ‫ش ْيئًا فَأ‬
َ ‫فِي بَ ْطنِ ِه‬
ً ‫ص ْوتًا أَ ْو يَ ِج َد ِر‬
‫يحا‬ ْ ‫ا ْل َم‬
ْ َ‫س ِج ِد َحتَّى ي‬
َ ‫س َم َع‬
Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah
keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia
mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

َ ‫سلَّ َم إِ َذا‬
‫ش َّك‬ َ ‫صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ي قَا َل قَا َل َر‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ ‫عَنْ أَبِي‬
ِّ ‫س ِعي ٍد ا ْل ُخ ْد ِر‬
‫ش َّك َو ْليَ ْب ِن‬ ِ ‫صلَّى ثَاَل ثًا أَ ْم أَ ْربَ ًعا فَ ْليَ ْط َر‬
َّ ‫ح ال‬ َ ‫أَ َح ُد ُك ْم فِي‬
َ ‫صاَل تِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬
ً ‫صلَّى َخ ْم‬
‫سا‬ َ ‫ان‬ َ ‫سلِّ َم فَإِنْ َك‬َ ُ‫س ْج َدتَ ْي ِن قَ ْب َل أَنْ ي‬ ْ َ‫ستَ ْيقَ َن ثُ َّم ي‬
َ ‫س ُج ُد‬ ْ ‫َعلَى َما ا‬
‫ان‬ َّ ‫صلَّى إِ ْت َما ًما أِل َ ْربَ ٍع َكانَتَا ت َْر ِغي ًما لِل‬
ِ َ‫ش ْيط‬ َ ‫صاَل تَهُ َوإِنْ َك‬
َ ‫ان‬ َ ُ‫شفَ ْع َن لَه‬
َ
“Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia
itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau
ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim)

Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari
syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah
segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan
pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu
pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci
akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah
dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah
ber”hadats”.
3. Ijma’
َّ ِ ‫ اَ ْليَقِيْنُ الَ يُ \ َزا ُل با‬ini.
Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah ‫لش \ ِّك‬
Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam
mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.
Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan
sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama
telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam
prosedur tata laksana kaidah ini”.
Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang
pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat
Islam”.
4. Dalil ‘Aqli
Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada
sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat
tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan sesuatu yang
meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan berbagai kemungkinan-
kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa
menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang
meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti itu mempunyai kedudukan
hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada

C. Kaidah-kaidah Lanjutan dari kaidah ‫ك‬ َّ ‫اَ ْليَقِيْنُ الَ يُزَا ُل باِل‬
ِّ ‫ش‬

Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi
al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar
menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian
dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan
penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”

Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan yang penulis ketahui ada 11
(sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah ‫ك‬ َّ ‫ اَ ْليَقِيْنُ الَ يُزَا ُل باِل‬, yaitu:
ِّ ‫ش‬

Kaidah pertama:

‫باليَقِ ْي ِن ِم ْثلِ ِه‬


ْ ‫ْاليَقِنُ يُزَ ا ُل‬
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula“
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih
meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air
hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis,
maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada
dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.

Kaidah kedua

ٍ ِ‫أَ َّن َما ثَبَتَ بِيَق‬


‫ين اَل يَرْ تَفِ ُع إاَّل بِيَقِي ٍن‬
“apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan
lagi“
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka
bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia
ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena
ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih
bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam
masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4
rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan
kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
Kaidah Ketiga
ِّ ُ‫ص ُل بَ َرا َءة‬
‫الذ َّمة‬ ْ َ ‫اأْل‬
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang
berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari
tanggungan sampai ada yang mengubahnya.
Contoh:
Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar
masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.
Kaidah keempat

‫اأْل َصْ ُل بَقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكان‬


“ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “
Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain
yang mengubahnya. Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai
mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang
yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia
telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam
keadaan berwudhu.
Kaidah kelima

ْ َ ‫اأْل‬
‫ص ُل ا ْل َعدم‬
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station
yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena
waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
‫ب أَوْ قَاتِ ِه‬ ِ ‫ضفَةُ ْالحأ ِد‬
َ ‫ث إِلَى أ ْق َر‬ َ ِ‫اأْل َصْ ُل إ‬
“ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya “
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-
kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu:
‫ث تَقَ ِّد ُرهُ بِأ َ ْق َربِال َّز َمأ ِن‬
ِ ‫اأْل َصْ ُل فِي ُكلِّ َحا ِد‬
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya

Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-
harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka
meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan
sebagainya.
‫احةُ َحتَّى يَ ُد ُّل ال َّدلِي ُل َعلَى الت َّْح ِريم‬ ْ َ ‫ص ُل فِي اأْل‬
َ َ‫شيَا ِء اإْل ِ ب‬ ْ َ ‫اأْل‬
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya
adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:
‫اأْل َصْ ُل فِي اأْل َ ْشيَا ِء ْال َحظَ ُر‬
“ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram) “
Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam
bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah:

ِ ‫احةُ َحتَّى يَ ُد ُّل ال َّدلِي ُل َعلَى الت َّْح ِر‬


‫يم‬ ْ َ ‫ص ُل فِي اأْل‬
َ َ‫شيَا ِء اإْل ِ ب‬ ْ َ ‫اأْل‬
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya “
Contoh:
Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing.
Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun
diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan
keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk
fikih ibadah digunakan kaidah:
ْ ‫اأْل َصْ ُل فِي ْال ِعبَا َد ِة ْالمب‬
‫ُطاَل نُ َحتَّى يَقُو َم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى اأْل َ ْم ِر‬
“ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya “
Contoh:
Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka
tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena
masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan
sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa:
“ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah
Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.
ْ َ ‫اأْل‬
‫ص ُل فِي ا ْلكَاَل ِم ا ْل َحقِيقَة‬
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang
hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian
yang hakiki Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
Contoh;
Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si
Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah
ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
ْ َ‫اَل ِعب َْرةُ بِالظَّنِّ الَّ ِذي ي‬
ُ‫ظهَ ُر خَ طَا ُءه‬
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari
penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum
dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
‫اَل ِعب َْرةُ لِلتَّ َوهُّ ِم‬
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta
tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak
diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
‫َما ثَبَتَ بِزَ َم ِن يُحْ َك ُم ببَقَا ِء ِه َمالَم يَقُ ْم ال َّدلِ ْي ُل َعلَى ِخاَل فِ ِه‬
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya “
Contoh:
Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama
tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan
pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.

Anda mungkin juga menyukai