Pembahasan
Keyakinan dan keraguan merupakan sesuatu yang bertolak belakang. Besarnya keyakinan dan
keraguan bias bervariasi tergantung lemah-kuatnya tarikan yang satu dan lainnya. sebelum
menjelaskan kaidah Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak ini penulis akan menjelaskannya dari segi
kebahasaan dan dari segi istilah
1. Al-Yaqin
1) Dari segi Bahasa Al-Yaqin berarti : sebuah pengetahuan yang didalamnya tidak ada
keraguan. Ulama sepakat bahwa Al-Yaqin berarti pengetahuan dan merupakan anonym dari
Asy-Syakk
2) Menurut istilah
2.. Asy-Syakk
Hukum yang bersifat tetap harus ditetapkan dan berpedoman pada dalil, dalil tersebut
tidak boleh saling bertentangan. Contoh : apabila seseorang memiliki harta yang diperolah
melalui jual beli, warisan, atau sebab yang lain dengan cara yang halal maka hukumnya
menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak dapat berpindah tangan sampai ada sebab
dan bukti yang kuat di kemudian hari.
Untuk memahami kaidah ini, kita harus mengetahui bahwa tingkat daya hati dalam
menangkap segala sesuatu selalu bervariasi atau berbeda-beda yakni
1. Al-Yakin
2. Ghalabah al Dzan
3. Al Dzan
Menurut para ahli fiqih jika seseorang menduga bahwa salah satu kemungkinan
yang ada lebih unggul dari yang lain. Namun hatinya enggan mengambil yang
kuat maupun membuang yang lemah.
4. Al syak
Al-syak menurut Bahasa berarti bimbang atau ragu. Secara terminology al- syak
adalah setara antara dua perkara. Tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan
hatinya tidak condoh kepada salah satunya
ض الظَّنِّ إِ ْث ٌم
َ اجتَنِبُوا َكثِي ًرا ِم َن الظَّنِّ إِنَّ بَ ْع َ يَا أَ ُّي َها الَّ ِذ
ْ ين آ َمنُوا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan,
sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan
dan keraguan sebagai berikut :
َ سلَّ َم إِ َذا
ش َّك َ صلَّى هَّللا َعلَ ْي ِه َو ُ ي قَا َل قَا َل َر
َ ِ سو ُل هَّللا َ عَنْ أَبِي
ِّ س ِعي ٍد ا ْل ُخ ْد ِر
ش َّك َو ْليَ ْب ِن ِ صلَّى ثَاَل ثًا أَ ْم أَ ْربَ ًعا فَ ْليَ ْط َر
َّ ح ال َ أَ َح ُد ُك ْم فِي
َ صاَل تِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم
ً صلَّى َخ ْم
سا َ ان َ سلِّ َم فَإِنْ َكَ ُس ْج َدتَ ْي ِن قَ ْب َل أَنْ ي ْ َستَ ْيقَ َن ثُ َّم ي
َ س ُج ُد ْ َعلَى َما ا
ان َّ صلَّى إِ ْت َما ًما أِل َ ْربَ ٍع َكانَتَا ت َْر ِغي ًما لِل
ِ َش ْيط َ صاَل تَهُ َوإِنْ َك
َ ان َ ُشفَ ْع َن لَه
َ
“Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa
rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan
lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia
itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau
ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.”
(HR. Muslim)
Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari
syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah
segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan
pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu
pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci
akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah
dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah
ber”hadats”.
3. Ijma’
َّ ِ اَ ْليَقِيْنُ الَ يُ \ َزا ُل باini.
Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah لش \ ِّك
Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam
mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.
Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan
sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama
telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam
prosedur tata laksana kaidah ini”.
Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang
pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat
Islam”.
4. Dalil ‘Aqli
Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada
sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat
tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan sesuatu yang
meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan berbagai kemungkinan-
kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa
menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang
meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti itu mempunyai kedudukan
hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada
C. Kaidah-kaidah Lanjutan dari kaidah ك َّ اَ ْليَقِيْنُ الَ يُزَا ُل باِل
ِّ ش
Muhammad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu menjelaskan bahwa kaidah al-yaqin la yazalu bi
al-syak adalah bersumber dari Abu Hanifah. Zaid al-Dabusi dalam kitab Ta’sis al-Nazhar
menyatakan bahwa: “Menurut Abu Hanifah, sesuatu yang ditetapkan dengan cara penelitian
dari segala segi dan meyakinkan dari seluruh seginya, hukumnya ditetapkan berdasarkan
penelitian tersebut sebelum terdapat bukti kuat yang mengingkarinya.”
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan yang penulis ketahui ada 11
(sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah ك َّ اَ ْليَقِيْنُ الَ يُزَا ُل باِل, yaitu:
ِّ ش
Kaidah pertama:
Kaidah kedua
ْ َ اأْل
ص ُل ا ْل َعدم
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station
yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena
waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
ب أَوْ قَاتِ ِه ِ ضفَةُ ْالحأ ِد
َ ث إِلَى أ ْق َر َ ِاأْل َصْ ُل إ
“ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya “
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-
kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu:
ث تَقَ ِّد ُرهُ بِأ َ ْق َربِال َّز َمأ ِن
ِ اأْل َصْ ُل فِي ُكلِّ َحا ِد
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya
“
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-
harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka
meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan
sebagainya.
احةُ َحتَّى يَ ُد ُّل ال َّدلِي ُل َعلَى الت َّْح ِريم ْ َ ص ُل فِي اأْل
َ َشيَا ِء اإْل ِ ب ْ َ اأْل
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya
adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:
اأْل َصْ ُل فِي اأْل َ ْشيَا ِء ْال َحظَ ُر
“ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram) “
Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam
bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah: