Anda di halaman 1dari 69

STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN WAKAF

DI INDONESIA

MEIDA YULIANI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Optimalisasi


Pengelolaan Wakaf di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2017

Meida Yuliani
H54120008
ABSTRAK

MEIDA YULIANI. Strategi Optimalisasi Pengelolaan Wakaf di Indonesia.


Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan KHALIFAH MUHAMAD ALI

Wakaf merupakan salah satu instrumen dalam ekonomi Islam yang sangat
potensial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia dengan
mayoritas penduduk muslim dan wilayah luas menyimpan potensi wakaf yang
sangat besar. Namun, potensi tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan secara
optimal ke arah yang produktif. Penelitian ini menganalisis prioritas masalah,
solusi, dan strategi untuk meningkatkan pengelolaan wakaf di Indonesia supaya
lebih produktif. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analytic Network Process
(ANP). Hasil penelitian menunjukan bahwa prioritas masalah internal yaitu
rendahnya kompetensi nazhir dan kurangnya profesionalisme nazhir. Adapun
prioritas masalah eksternal yaitu kurangnya pemahaman wakif dan regulasi yang
kurang mendukung. Prioritas solusi internal yaitu peningkatan kompetensi nazhir
serta pembinaan dan pendampingan nazhir. Adapun prioritas solusi eksternal
yaitu optimalisasi fungsi dan peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) serta revisi
regulasi yang kurang mendukung. Prioritas strategi yang dapat dilakukan yaitu
sosialisasi dan edukasi wakaf secara komprehensif kepada semua elemen.

Kata Kunci: ANP, pengelolaan wakaf, strategi, wakaf

ABSTRACT

MEIDA YULIANI. Optimization Strategy of Waqf Management in Indonesia.


Supervised by SRI MULATSIH and KHALIFAH MUHAMAD ALI

Waqf is one of the instruments in the Islamic economy that is very potential
in improving people's welfare. Indonesia with a large majority of the Muslim
population and its vast area has a huge potential for waqf. But, the potential has
not been managed and utilized optimally in a productive direction. This research
analyzes the priority of problems, solutions, and strategies to improve the
management of waqf in Indonesia to be more productive. The data used are
primary and secondary data. Methods used in this research is Analytical Network
Process (ANP). The result of research shows that the priority of internal problem
is the low of nazhir competence and the lack of nazhir professionalism. The
priority of external problems is lack of wakif understanding and less supportive
regulation. The priority of internal solutions is the improvement of nazhir
competence as well as coaching and mentoring of nazhir. The priority of external
solutions is the optimization of functions and the role of BWI and the regulatory
revisions are less supportive. Priority of strategy that can be done is socialization
and education waqf comprehensively to all elements.

Keywords: ANP, management waqf, strategy, waqf


STRATEGI OPTIMALISASI PENGELOLAAN WAKAF
DI INDONESIA

MEIDA YULIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Strategi Optimalisasi Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen
Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret sampai Mei 2017.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada orang tua penulis
yaitu Bapak Mujaeni dan Ibu Murhatiah, serta seluruh keluarga besar atas segala
doa, dukungan dan semangat yang telah diberikan. Selanjutnya, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Sri Mulatsih, M Sc, Agr dan Khalifah Muhamad Ali, S Hut, M Si selaku
dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan,
saran, waktu dan motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr rer nat Jaenal Effendi, S Ag, MA dan Salahuddin El Ayyubi, Lc, MA
sebagai dosen penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan yang telah
memberikan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
3. Para dosen, staff, dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) yang
telah memberikan ilmu dan bantuan penulis.
4. Para pakar dan praktisi yang telah bersedia untuk menjadi responden.
5. Teman-teman satu bimbingan yang telah memberikan kritik, saran dan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman satu perjuangan Ekonomi Syariah 49 dan 50, Ursa Mayor PAI,
ISC Al Hurriyyah, Kaskus, Annaba, Cahaya Surga, Wisma Tanjung, dan adik-
adik lingkaran cinta yang selalu memberikan motivasi dan doanya.
7. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini,
mohon maaf tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2017

Meida Yuliani
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup 4
TINJAUAN PUSTAKA 4
Definisi Wakaf 4
Sejarah dan Perkembangan Wakaf 5
Dasar Hukum Wakaf 5
Rukun dan Syarat Wakaf 6
Macam-Macam Wakaf 7
Nazhir Wakaf 7
Syarat Nazhir 8
Kompetensi dan Profesionalisme Nazhir 8
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf 9
Praktik Wakaf di Beberapa Negara 10
Manajemen Strategi 11
Penelitian Terdahulu 12
Kerangka Pemikiran 13
METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Jenis dan Sumber Data 14
Metode Pengolahan dan Analisis Data 14
HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Data Responden 17
Gambaran Umum Pengelolaan Wakaf di Indonesia 18
Model Analytic Network Process (ANP) 18
Masalah 20
Masalah Internal 20
Masalah Eksternal 23
Solusi 27
Solusi Internal 27
Solusi Eksternal 30
Strategi 32
SIMPULAN DAN SARAN 34
Simpulan 34
Saran 34
DAFTAR PUSTAKA 36
LAMPIRAN 38
RIWAYAT HIDUP 54
DAFTAR TABEL

1 Potensi wakaf uang 2


2 Pemanfaatan dana wakaf di beberapa negara 2
3 Perbandingan skala verbal dan skala numerik 16
4 Data responden 17

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase penggunaan tanah wakaf di Indonesia 1


2 Kerangka pemikiran 14
3 Tahapan penelitian 15
4 Model Analytic Network Process (ANP) 19
5 Tingkat prioritas masalah 20
6 Tingkat prioritas masalah internal 21
7 Tingkat prioritas masalah eksternal 24
8 Tingkat prioritas solusi 27
9 Tingkat prioritas solusi internal 28
10 Tingkat prioritas solusi eksternal 30
11 Tingkat prioritas strategi 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Penelitian 38
2 Hasil Olah Data Superdecision 46
3 Hasil Rater Agreement 48
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu instrumen dalam ekonomi Islam yang sangat
potensial dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memiliki fungsi
sebagai sarana ibadah kepada Allah, wakaf juga mempunyai fungsi sosial. Ia
dapat memberikan maslahah yang sangat besar bagi umat, jika dapat dikelola
secara optimal dan produktif.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam
pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat
serta telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan
prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan menyelesaikan studi mereka.
Cukup banyak program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku,
penerjemahan, dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk
kesehatan. Wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan,
tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan mahasiswa maupun
masyarakat (Hasanah 2010).
Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim dan wilayah yang luas,
menyimpan potensi wakaf yang sangat besar. Namun, potensi tersebut belum
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Kementerian Agama RI tahun 2017, Indonesia memiliki aset tanah wakaf seluas
47 643.03 Ha yang tersebar di 317 135 lokasi dengan total wakaf yang sudah
bersertifikat sebanyak 64.91%. Penggunaan tanah wakaf tersebut sebagian besar
masih berupa wakaf langsung (konsumtif), sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 1 yang menunjukkan penggunaan tanah wakaf didominasi untuk
pembangunan masjid sebesar 45.05% dan musholla sebesar 28.50% (SIWAK
2017).

Sosial lainnya
Pesantren 8.32%
3.03%
Musholla
Sekolah
28.50%
10.44%

Makam
4.66%

Masjid
45.05%

Sumber : SIWAK (2017)


Gambar 1 Persentase penggunaan tanah wakaf di Indonesia
2

Hal ini didukung dengan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
tahun 2006 yang dilakukan terhadap 500 responden nazhir (pengelola wakaf) di
Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa harta wakaf yang bersifat diam
sebesar 77%, dan yang dikelola produktif hanya sebesar 33% (Najib dan al-
Makassary 2006).
Potensi yang dijelaskan di atas belum termasuk potensi wakaf benda
bergerak seperti wakaf uang. Menurut Nasution dan Hasanah (2005), potensi
wakaf uang di Indonesia mencapai 3 triliun per tahun dengan perkiraan jumlah
umat muslim yang dermawan sebesar 10 juta jiwa dan rata-rata penghasilan per
bulan sebesar Rp 500 000 hingga Rp 10 000 000 seperti terlihat pada Tabel 1.
Dana ini akan terus bertambah jika diserahkan kepada pengelola yang profesional
dan diinvestasikan di sektor yang produktif, ia akan menjadi sumber dana yang
luar biasa besar bagi umat Islam.

Tabel 1 Potensi wakaf uang


Tingkat Jumlah Tarif Potensi Wakaf Potensi Wakaf
Penghasilan/Bulan Muslim Wakaf/Bulan Uang/Bulan Uang/Tahun
(Rp) (Jiwa) (Rp) (Rp) (Rp)
500 000 4 juta 5 000 20 milyar 240 milyar
1 – 2 juta 3 juta 10 000 30 milyar 360 milyar
2 – 5 juta 2 juta 50 000 100 milyar 1.2 triliun
5 – 10 juta 1 juta 100 000 100 milyar 1.2 triliun
Total 3 triliun
Sumber : Nasution dan Hasanah (2005)

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, maka perkembangan wakaf di


Indonesia masih tertinggal sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Menurut
Karim (2007), pemanfaatan dana wakaf di Indonesia baru mencapai 2%,
perbedaannya sangat signifikan dengan pemanfaatan dana wakaf Singapura yang
mencapai 92%, padahal jumlah penduduk muslim dan luas wilayahnya tidak
sebanding dengan Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim
paling besar seharusnya dana wakaf yang berhasil dihimpun juga besar, tetapi
realitanya masih sangat kecil.

Tabel 2 Pemanfaatan dana wakaf di beberapa negara


Negara Presentase (%)
Singapura (Lokal) 92
Saudi Arabia 4
India 2
Indonesia 2
Total 100
Sumber : Karim (2007)

Wakaf yang ada di Indonesia dikelola oleh nazhir yang dibagi menjadi tiga
kategori yaitu nazhir perorangan, nazhir organisasi, dan nazhir badan hukum.
Menurut Aziz (2014), peran nazhir dalam pengelolaan wakaf menjadi faktor yang
sangat penting bagi berkembang atau tidaknya suatu wakaf. Nazhir adalah orang
3

yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik
terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya
pengembangannya. Setiap kegiatan nazhir terhadap harta wakaf harus dalam
pertimbangan kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan manfaatnya bagi
kepentingan mauquf „alaih atau penerima wakaf.

Perumusan Masalah

Indonesia dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia mempunyai


potensi wakaf yang sangat besar. Menurut data sensus BPS (2010), 87.18% dari
populasi penduduk Indonesia beragama Islam yaitu 237 641 326 jiwa. Selain itu,
Indonesia mempunyai aset tanah wakaf yang terdata di Kementerian Agama seluas
47 643.03 Ha yang tersebar di 317 135 lokasi dengan total wakaf yang sudah
bersertifikat sebanyak 64.91% (SIWAK 2017).
Potensi dan aset wakaf tersebut belum dimanfaatkan dan dikelola secara
optimal ke arah yang produktif. Berdasarkan data dari Kementerian Agama tahun
2017, penggunaan tanah wakaf di Indonesia masih didominasi untuk
pembangunan masjid dan mushola sebesar 73.55%. Data tersebut menunjukkan
tingkat pengelolaan wakaf di Indonesia belum sampai pada tingkat pengelolaan
yang produktif. Padahal, jika tanah wakaf tersebut dikelola secara produktif akan
menjadi aset yang sangat besar bagi umat dan hasilnya dapat digunakan bagi
kesejahteraan umum. Menurut Wadud (2013), permasalahan wakaf produktif
yang paling prioritas di Indonesia bersumber dari aspek pengelola (nazhir) yaitu
minimnya biaya operasional dan lemahnya sumber daya nazhir. Hamzah (2016)
juga menjelaskan bahwa faktor yang paling memengaruhi pengelolaan wakaf
produktif adalah aspek sumber daya manusia (pengelola). Peran nazhir dalam
pengelolaan wakaf menjadi faktor yang sangat penting bagi berkembang atau
tidaknya suatu wakaf (Aziz 2014).
Berdasarkan uraian tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa saja prioritas permasalahan yang menyebabkan pengelolaan wakaf di
Indonesia belum produktif?
2. Bagaimana solusi dan strategi untuk meningkatkan pengelolaan wakaf di
Indonesia supaya lebih produktif?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan


penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis prioritas permasalahan apa saja yang menyebabkan pengelolaan
wakaf di Indonesia belum produktif.
2. Menganalisis prioritas solusi dan strategi untuk meningkatkan pengelolaan
wakaf di Indonesia supaya lebih produktif.
4

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini kita bisa mendapatkan manfaat di antaranya sebagai
berikut :
1. Bagi penulis, penelitian ini sebagai sarana pemahaman ilmiah serta
pembelajaran dalam memahami kenyataan yang terjadi di lapangan dan
mengaitkan dengan teori-teori yang sudah dipelajari.
2. Bagi akademisi, dapat menambah wawasan dan bahan kajian lebih lanjut dari
segi teoritis dan praktis, serta referensi studi lebih lanjut.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
terkait dengan wakaf sehingga dapat membantu dalam mengatasi permasalahan
sosial ekonomi.
4. Bagi penentu kebijakan dan pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan dan penetapan kebijakan dalam upaya optimalisasi pengelolaan
wakaf secara produktif.

Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis masalah, solusi, dan strategi


dalam upaya optimalisasi pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih produktif.
Penelitian ini lebih difokuskan pada aspek nazhir. Responden dalam penelitian ini
adalah para pakar dan praktisi yang memahami bidang wakaf. Adapun metode
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analytic Network
Process (ANP).

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Wakaf

Qahaf (2005) mendefinisikan wakaf secara terminologi menurut para ahli


fikih dengan dua kata yaitu habas dan wakaf. Baik al-habsu maupun al-waqf
sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-man‟u (mencegah atau
melarang) dan at-tamakkust (diam). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari
kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.
Selain itu, disebut menahan karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang
bagi siapa pun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 menjelaskan bahwa definisi
wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
5

Sejarah dan Perkembangan Wakaf


Wakaf telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW pada tahun kedua
Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam
(fuqaha‟) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut
sebagian pendapat ulama, orang yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah
Rasulullah SAW, sedangkan sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab, kemudian
disusul oleh para sahabat yang lainnya.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti
Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf
tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal
untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar
gaji para staffnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara
untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas
sosial dan ekonomi masyarakat (BWI 2007).
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik
dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan
yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya
lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan
baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,
memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau
secara individu atau keluarga (Kementerian Agama RI 2013).

Dasar Hukum Wakaf

Kementerian Agama RI (2006) menjelaskan bahwa dalil yang menjadi dasar


disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
a. Ayat Alquran

٢٩ :‫ﱁﱂﱃﱄﱅﱆﱇﱈﱉﱊﱋﱌﱍﱎﱏﱐﱑ آل عمران‬

"Kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan kebaikan yang sesungguhnya


sehingga kamu menyedekahkan harta yang kamu cintai, dan apa yang kamu
infakkan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui” (QS. Ali Imran : 92).

‫ﱭﱮﱯﱰﱱﱲﱳﱴﱵﱶﱷﱸﱹﱺﱻﱼﱽﱾ‬

٩٦٢ :‫ﱿﲀ ﲁﲂﲃﲄﲅﲆﲇ البقرة‬

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan


hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (Karunianya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah : 261).
6

b. Sunnah Rasulullah SAW

“Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda : “Apabila anak Adam
(manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara :
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang
tuanya” (HR. Muslim).

Hadits di atas dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama


menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf. Selain itu, ada lagi hadits Nabi yang
lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi
kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :

“Dari Ibnu Umar ra berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang


tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon
petunjuk. Umar berkata : Ya Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang
engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab : Bila kamu suka, kamu
tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar
melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.
Berkata Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum
kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau
tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari
hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud
menumpuk harta“ (HR. Muslim).

Rukun dan Syarat Wakaf

Menurut Al-Kabisi (2004), terdapat perbedaan pendapat di antara ulama


dalam menentukan rukun wakaf. Menurut Hanafi, rukun wakaf hanya sebatas
shighat (lafal) yang menunjukkan makna/substansi wakaf. Namun berbeda
dengan Hanafiyah, pengikut Syafi’iyah, Malikiyah, Zaidiyah, dan Hanabilah
memandang bahwa rukun wakaf terdiri atas:
1. waqif (orang yang berwakaf),
2. mauquf „alaih (orang yang menerima wakaf),
3. harta yang diwakafkan, dan
4. shighat (lafal).
Al-Kabisi (2004) juga menjelaskan bahwa dalam mewakafkan harta,
terdapat beberapa syarat agar dianggap sah, yaitu:
1. Harta wakaf memiliki nilai atau harga
2. Harta wakaf jelas bentuknya
3. Harta wakaf merupakan hak milik waqif
4. Harta wakaf berupa benda tidak bergerak, seperti tanah. Atau, benda
disesuaikan dengan kebiasaan wakaf yang ada.
7

Macam-Macam Wakaf

Qahaf (2005) membedakan wakaf menjadi beberapa macam berdasarkan


tujuan, batasan waktu dan penggunaan barangnya.
1. Macam-macam wakaf berdasarkan tujuannya ada tiga :
a. Wakaf sosial untuk kebaikan masyarakat (khairi), yaitu apabila tujuan
wakafnya untuk kepentingan umum.
b. Wakaf keluarga (dzurri), yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberi manfaat
kepada wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu, tanpa
melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau hebat, dan tua atau muda.
c. Wakaf gabungan (musytarak), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum
dan keluarga secara bersamaan.
2. Macam-macam wakaf berdasarkan batasan waktunya ada dua :
a. Wakaf abadi, yaitu apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi,
seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang
ditentukan oleh wakif sebagai wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian
hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk
biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
b. Wakaf sementara, yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang
yang mudah rusak ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk
mengganti barang yang rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh
keinginan wakif yang memberi batasan waktu ketika mewakafkan
barangnya.
3. Macam-macam wakaf berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi dua :
a. Wakaf langsung, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
mencapai tujuannya, seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan
belajar mengajar, rumah sakit untuk mengobati orang sakit dan lain
sebagainya.
b. Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk
kegiatan produksi dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.

Nazhir Wakaf

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan


Tanah Milik, nazhir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi
tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Adapun Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 mendefinisikan nazhir sebagai pihak yang menerima harta
benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya.
Posisi nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi
harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian
pentingnya kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya
wakaf bagi mauquf 'alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Meskipun
demikian tidak berarti bahwa nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta
yang diamanahkan kepadanya (Kementerian Agama RI 2006).
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, nazhir meliputi
perseorangan, organisasi atau badan hukum. Adapun tugasnya adalah untuk
mengelola dan mengembangkan wakaf sesuai dengan peruntukannya, yaitu
8

berkenaan dengan melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; mengelola


dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan
peruntukannya; mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Syarat Nazhir

UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menjelaskan bahwa syarat nazhir


juga dibedakan menjadi tiga yaitu syarat nazhir perseorangan, syarat nazhir
organisasi, dan syarat nazhir badan hukum. Nazhir perseorangan disyaratkan
sebagai berikut: Warga Negara Indonesia (WNI), beragama Islam, dewasa,
amanah, mampu secara jasmani dan rohani, serta tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum. Adapun syarat nazhir organisasi, yaitu: (1) pengurus organisasi
yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana
tersebut di muka, (2) organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam, sedangkan nazhir badan hukum
disyaratkan supaya : (1) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi
persyaratan nazhir perseorangan seperti tersebut di muka, (2) badan hukum
Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan (3) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.
Selain itu, para ulama klasik menetapkan syarat-syarat pengangkatan nazhir,
di antaranya yaitu :
1. Islam (al-islam), sebab nazhir merupakan suatu kekuasaan, dan tidak layak
orang kafir memegang jabatan membawahi urusan orang muslim.
2. Berakal sehat (al-„aql), sehingga tidak sah apabila orang gila menjadi nazhir.
3. Dewasa (al-bulugh), dan tidak sah mengangkat anak kecil (belum dewasa)
menjadi nazhir.
4. Adil (al-„adalah), dalam arti menjaga diri dari perbuatan dosa besar dan atau
membiasakan perbuatan dosa kecil, serta amanah/ jujur dan bertanggung jawab,
sehingga tidak boleh mengangkat orang yang suka berbuat dosa dan tidak jujur
menjadi nazhir.
5. Mampu (al-kafa‟ah), dalam arti seorang nazhir harus dapat melakukan tugas-
tugas kenazhirannya secara profesional dan kompeten.

Kompetensi dan Profesionalisme Nazhir

Menurut Aziz (2014), kompetensi merupakan dasar bagi kerja profesional.


Seorang nazhir tidak mampu bekerja secara profesional, jika tidak memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
Berdasarkan hal itu, kompetensi dapat diartikan sebagai karakter mendasar dari
seseorang yang menyebabkannya sanggup menunjukkan kinerja efektif atau
superior di dalam suatu pekerjaan. Pengertian kompetensi tersebut terdiri atas tiga
hal, yaitu adanya kemauan tindakan (skills), kecerdasan (knowledge), dan
tanggung jawab (attitudes).
Dalam konteks manajemen, nazhir termasuk sumber daya manusia (SDM)
yang merupakan faktor penting dalam kegiatan ekonomi bisnis karena memiliki
9

dua keunggulan, yaitu keunggulan komparatif yang berbasis pada keunggulan


sumber daya alam dan keunggulan kompetitif yang berbasis pada keunggulan
sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, sehingga dapat
memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal. Dalam konteks wakaf sebagai
sebuah organisasi yang dalam wacana wakaf produktif harus menerjunkan diri
dalam kegiatan bisnis, sumber daya nazhir yang berkualitas dan kompeten
menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
Kualitas nazhir dalam pendekatan fikih direpresentasikan dengan kalimat
'adalah (kompetensi agama/diniyah) dan kifayah (kompetensi entrepreneurship).
Kompetensi „adalah adalah kompetensi nazhir yang berhubungan dengan
keagamaan, seperti ilmu syar'i dan pengamalannya, ditambah lagi dengan maksud
institusi wakaf yaitu dalam rangka berdakwah dan menyampaikan ajaran agama
Islam kepada umat manusia. Adapun kompetensi kifayah adalah kompetensi yang
mengacu kepada kemampuan nazhir dalam memelihara, menjaga, melindungi,
memanfaatkan, mengembangkan, menginvestasikan dan mendistribusikan hasil
atau keuntungan wakaf kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya.
Djamil (2011) menjelaskan beberapa persyaratan untuk menjadi nazhir
wakaf profesional di antaranya yaitu:
1. Syarat moral, meliputi:
a. Mengerti hukum ZISWAF, baik dalam tinjauan syariah maupun Undang-
Undang Republik Indonesia
b. Jujur, amanah dan adil, sehingga dapat dipercaya dalam proses
pengelolaan wakaf
c. Mampu menahan godaan yang menyangkut perkembangan usaha
d. Bersungguh-sungguh dan suka tantangan
e. Punya kecerdasan, baik emosional maupun spiritual
2. Syarat manajemen, meliputi:
a. Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam kepemimpinan
b. Visioner
c. Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, sosial dan
pemberdayaan
d. Profesional dalam pengelolaan harta
e. Memiliki program kerja yang jelas
3. Syarat bisnis, meliputi:
a. Mempunyai keinginan untuk mengembangkan usaha
b. Mempunyai pengalaman
c. Mempunyai ketajaman dalam melihat peluang usaha

Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf

Dalam pengelolaan tanah wakaf dibutuhkan manajemen yang baik.


Manajemen wakaf merupakan proses membuat perencanaan, pengorganisasian,
kepemimpinan, dan pengawasan berbagai usaha dari nazhir, kemudian
menggunakan semua sumber daya organisasi untuk mencapai sasaran. Oleh
karena itu, setiap manajer wakaf atau nazhir harus menjalankan keempat fungsi
tersebut di dalam organisasi sehingga hasilnya merupakan satu kesatuan yang
sistematik (Rozalinda 2015).
10

Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa nazhir


wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukkan wakafnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud
undang-undang tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan wakaf harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
2. Pengelolaan wakaf harus dilakukan secara produktif
3. Apabila pengelolaan memerlukan penjamin, maka harus menggunakan
penjamin syariah
4. Harta wakaf yang terlantar, baik yang berasal dari dalam ataupun luar negri,
dari perseorangan atau badan hukum, yang berskala nasional atau
internasional, pengelolaan dan pengembangannya dapat dilakukan oleh Badan
Wakaf Indonesia
5. Dalam hal harta benda wakaf berasal dari luar negeri, wakif harus melengkapi
bukti kepemilikan sah harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan nazhir harus melaporkan kepada lembaga terkait
perihal adanya perbuatan wakaf.

Praktik Wakaf di Beberapa Negara


Hasanah (2008) menjelaskan bahwa sejak tahun 1983-an telah berkembang
pemikiran tentang inovasi dan pengembangan wakaf di dunia Islam. Umat Islam
mulai sadar bahwa peran lembaga wakaf sangat besar bagi pembangunan umat di
masa yang akan datang khususnya bagi negara-negara berkembang. Inovasi
pengelolaan wakaf telah terjadi antara lain di Kuwait, Qatar, Emirat, Jordan, Arab
Saudi, Mesir, Turki, Bangladesh, Malaysia, Singapura, bahkan Eropa dan
Amerika.
Wakaf yang ada di Turki dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf dan ada
pula yang dikelola mutawalli/nazhir. Selain mengelola wakaf, Direktorat Jenderal
Wakaf juga melakukan supervisi dan kontrol terhadap wakaf yang telah dikelola
oleh mutawalli maupun wakaf yang baru. Menurut peraturan perundang-undangan
di Turki, lembaga wakaf harus mempunyai dewan manajemen dan hasil
pengembangan wakaf di Turki harus diaudit dua tahun sekali. Direktorat Jenderal
Wakaf mendapat 5% dari pendapatan bersih wakaf sebagai biaya supervisi dan
auditing, namun tidak boleh lebih dari 1 juta Turkish Lira (TL) atau sekitar 3.8
miliar rupiah. Adapun pelayanan yang diberikan Direktorat Jenderal Wakaf antara
lain adalah pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan dan sosial. Beberapa
bangunan wakaf juga digunakan untuk asrama mahasiswa yang tidak mampu.
Selain itu, Direktorat Jenderal Wakaf juga melakukan kerja sama dan investasi
dengan berbagai lembaga untuk mengembangkan wakaf, salah satunya adalah
Turqish Auqaf Bank yang merupakan bank terbesar di Turki.
Hasanah (2008) juga menjelaskan pengelolaan wakaf di Yordania yang bisa
dikatakan sangat produktif. Hasil pengelolaan wakaf digunakan untuk berbagai
proyek kemaslahatan umat. Pertama, memperbaiki perumahan penduduk di
beberapa kota. Salah satu di antaranya adalah kota yang arealnya seluas 79 dunum
(dunum adalah ukuran empat persegi dengan luas kira-kira 900 meter persegi).
Pembangunan rumah penduduk dan pengembangan pertanian tersebut merupakan
proyek pertanian Kementerian Perwakafan. Kedua, membangun perumahan petani
dan pengembangan tanah pertanian di dekat kota Amman. Ketiga,
11

mengembangkan tanah pertanian sebagai tempat wisata di dekat Amman.


Keempat, membangun sebuah tempat suci di daerah selatan. Areal tersebut
luasnya 122 dunum, terdapat 350 pohon zaitun dan tanah pertanian ini akan
dikembangkan terus-menerus dengan dana wakaf. Pelaksanaan kebijaksanaan
Kementerian Wakaf tetap bersandar pada kebijaksanaan yang ada untuk
mewujudkan tujuan wakaf yang telah dijelaskan dalam undang-undang wakaf.
Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf di kerajaan Yordania ditangani
dengan baik. Berbagai program yang telah dilakukan tersebut sangat menunjang
peningkatan harta wakaf. Program-program yang berkenaan dengan
pengembangan dan pemanfaatan harta wakaf banyak mendapat dukungan dari
Kabinet dan Kerajaan. Hal ini jelas merupakan salah satu faktor keberhasilan
mereka dalam mengelola wakaf. Berkat kesungguhan mereka dalam mengelola
wakaf, Kementerian Perwakafan berhasil mendirikan berbagai lembaga yang
sangat membantu kebutuhan fakir miskin mulai dari urusan pendidikan,
kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya seperti sandang, pangan, dan papan.
Suwaidi (2011) juga menjelaskan bahwa pengelolaan wakaf di Arab Saudi
tidak lepas dari peran penting dari pemerintahnya. Kerajaan Arab Saudi telah
mengeluarkan regulasi khusus untuk menetapkan adanya Majelis Tinggi Wakaf
yang memiliki wewenang dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf. Lembaga
ini diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, anggotanya terdiri dari Wakil
Kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman,
wakil dari Kementerian Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta
tiga anggota dari kalangan cendikiawan dan wartawan. Dilihat dari bentuknya,
wakaf di negara ini ada bermacam-macam di antaranya yaitu hotel, tanah,
bangunan atau rumah untuk penduduk, pertokoan, perkebunan, serta tempat
ibadah. Ada juga jenis wakaf tertentu yang hasilnya diperuntukkan bagi
pemeliharaan dan pembangunan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi
di Madinah, seperti bangunan untuk penginapan bagi jamaah haji. Kerajaan Arab
Saudi juga mengangkat nazhir, sebagai pengelola wakaf untuk membantu Majelis
Tinggi dalam menjalankan wewenangnya. Hal ini menunjukkan keseriusan negara
ini dalam mengelola wakaf.

Manajemen Strategi

Manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk


memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi
yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya (David 2006). Menurut
Siagian (2008), manajemen strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan
mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh
seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
tersebut. Istilah strategi semula bersumber dari kalangan militer dan secara
populer sering dinyatakan sebagai kiat yang digunakan oleh para jenderal untuk
memenangkan suatu peperangan. Manajemen strategi menurut Wheelen dan
Hunger (2004) adalah penekanan pada pengambilan keputusan strategis.
Keputusan strategis berhubungan dengan masa yang akan datang dalam jangka
panjang organisasi secara keseluruhan.
12

Penelitian Terdahulu

Wadud (2013) melakukan penelitian tentang solusi permasalahan wakaf


produktif di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Analiytic Network
Process (ANP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prioritas masalah dari aspek
masyarakat adalah rendahnya kesadaran masyarakat untuk berwakaf dan
rendahnya pemahaman masyarakat tentang perwakafan. Prioritas masalah dari
aspek pengelola adalah rendahnya biaya operasional dan lemahnya sumber daya
nazhir. Prioritas masalah pemerintah adalah kurangnya sosialisasi Undang-
Undang Perwakafan dan rendahnya biaya APBN untuk sertifikasi tanah wakaf.
Prioritas solusi atas permasalahan dari aspek masyarakat adalah sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat serta pendekatan dari sisi agama. Prioritas solusi atas
permasalahan dari aspek pengelola adalah peningkatan biaya operasional dan
training serta perbaikan sistem rekrutmen nazhir. Prioritas solusi atas
permasalahan wakaf dari aspek pemerintah adalah peningkatan sosialisasi
Undang-Undang Perwakafan dan peningkatan biaya APBN sertifikasi tanah
wakaf.
Fathurrohman (2012) melakukan penelitian tentang wakaf dan
penanggulangan kemiskinan dengan studi kasus pengelolaan wakaf di Kabupaten
Bandung. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, pendekatan sosio
yuridis dan komparatif, serta menggali peraturan perwakafan yang berlaku sampai
saat itu. Hasil penelitian menjelaskan bahwa masih banyak masalah-masalah yang
dihadapi dalam pengelolaan tanah-tanah wakaf secara produktif di Kabupaten
Bandung, di antaranya sebagian besar tanah wakaf digunakan untuk sarana ibadah
dan sebagian lagi letaknya tidak strategis. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman
nazhir terhadap peraturan perwakafan masih kurang.
Hamzah (2016) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
memengaruhi pengelolaan wakaf di Kabupaten Bogor. Penelitian ini
menggunakan metode Analiytic Network Process (ANP). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aspek sumber daya manusia merupakan faktor yang paling
berpengaruh terhadap pengelolaan wakaf di Kota Bogor. Hasil pengolahan
prioritas pada aspek sumber daya manusia adalah faktor profesionalitas nazhir
yang mempunyai nilai prioritas paling tinggi, yaitu sebesar 0.5 sehingga
profesionalitas nazhir memiliki pengaruh paling besar.
Khadijah (2016) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang
memengaruhi tingkat penghimpunan wakaf uang di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan metode Analiytic Network Process (ANP). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada tiga aspek yang memengaruhi tingkat penghimpunan
wakaf uang yaitu aspek kelembagaan, aspek masyarakat, dan aspek pemerintah.
Pakar dan praktisi cenderung bersepakat bahwa prioritas utama aspek yang
memengaruhi tingkat penghimpunan wakaf uang adalah aspek kelembagaan.
Hasil prioritas faktor secara keseluruhan menunjukkan bahwa tiga faktor yang
paling memengaruhi tingkat penghimpunan wakaf uang adalah kefokusan
lembaga nazhir, pemahaman masyarakat mengenai wakaf uang, dan perangkat
hukum wakaf uang.
Putri (2016) melakukan penelitian tentang pembinaan nazhir wakaf di
Kementerian Agama Kota Padang dan BWI Sumatera Barat. Penelitian tersebut
merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analitik dengan
13

pendekatan yuridis sosiologis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa


pembinaan terhadap nazhir wakaf yang merupakan implementasi dari Pasal 13
UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf sudah dilaksanakan oleh Kementerian
Agama Kota Padang dan BWI Sumatera Barat akan tetapi belum efektif. Dampak
dari adanya pembinaan ini diantaranya, nazhir telah menjalankan tugasnya yang
tercantum dalam pasal 11 UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kendala atau
hambatan yang dihadapi dalam pembinaan dikarenakan beberapa faktor, yakni
faktor penegak hukum tidak mendata dengan baik nazhir wakaf sehingga ketika
ada pembinaan banyak nazhir yang tidak diikutsertakan. Faktor sarana dan
fasilitas yakni dana atau anggaran yang minim dalam melaksanakan pembinaan,
serta dari faktor kebudayaan yang masih berkembang yakni ikrar wakaf yang
hanya diucapkan secara lisan tanpa adanya ikrar di depan Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW).
Huda et al. (2014) melakukan penelitian tentang akuntabilitas sebagai
sebuah solusi pengelolaan wakaf. Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode Analytic Hierarcy Process (AHP). Penelitian ini
menemukan bahwa aspek paling bermasalah dalam pengelolaan wakaf di Sumbar
adalah nazhir, sedangkan di Riau aspek paling bermasalah adalah wakif.
Permasalahan nazhir yang paling utama di Sumbar adalah nazhir bukan sebagai
profesi utama, sementara di Riau adalah rendahnya kompetensi nazhir dalam
mengelola wakaf. Prioritas permasalahan wakif di Riau adalah pemberian wakaf
secara langsung kepada personal, sementara di Sumbar adalah wakif tidak
koordinasi dengan ahli waris. Prioritas masalah di Sumbar dan Riau dari aspek
regulator adalah sosialisasi UU yang masih kurang. Prioritas solusi terhadap
masalah sosialisasi UU yang masih kurang di Sumbar adalah optimalisasi melalui
media online, sedangkan di Riau adalah pembuatan buletin wakaf. Prioritas solusi
aspek nazhir di Sumbar adalah meningkatkan insentif nazhir, sedangkan di Riau
adalah pelatihan intensif bagi nazhir. Prioritas solusi aspek wakif sebagai aspek
prioritas masalah di Riau adalah kemudahan mendapatkan informasi mengenai
wakif, sedangkan di Sumbar dengan adanya koordinasi antara nazhir dengan ahli
waris dalam pemberian wakaf.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
dilakukan dengan metode ANP untuk mengidentifikasi masalah, solusi, dan
strategi dalam upaya optimalisasi pengelolaan wakaf agar menjadi lebih produktif.

Kerangka Pemikiran

Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, namun belum dikelola secara


produktif. Sebagian besar wakaf yang terkumpul berupa wakaf langsung seperti
masjid dan mushola. Salah satu penyebab utama pengelolaan wakaf belum
optimal bersumber dari aspek pengelola (nazhir). Menurut Nafis (2009), nazhir
menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf agar
hasilnya dapat dinikmati oleh mauquf „alaih (peruntukannya). Penelitian ini akan
meneliti tentang masalah, solusi, dan strategi dalam upaya optimalisasi
pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih produktif. Aspek-aspek tersebut
kemudian dianalisis tingkat prioritasnya dengan menggunakan metode Analytic
Network Process (ANP), sehingga hasil penelitiannya dapat dijadikan
14

rekomendasi agar pengelolaan wakaf di Indonesia bisa lebih baik. Gambar 2


menunjukkan kerangka pemikiran penelitian ini.

Potensi wakaf di Indonesia


sangat besar

Wakaf belum dikelola secara


produktif

Masalah Strategi Solusi

Analisis prioritas masalah, solusi, dan strategi


dengan metode ANP

Rekomendasi

Gambar 2 Kerangka pemikiran

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui wawancara dengan beberapa pakar dan


praktisi di beberapa institusi atau organisasi wakaf yang ada di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2017.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner
terhadap para pakar dan praktisi yang memahami bidang wakaf. Data sekunder
diperoleh dari dokumen, literatur, dan jurnal ilmiah yang relevan dengan
penelitian.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian analisis kualitatif yang ditransformasi


menjadi penelitian kuantitatif dengan metode Analytic Network Process (ANP).
Responden dalam penelitian ini berjumlah tujuh orang yang merupakan expert
15

dalam bidang wakaf. Dalam analisis ANP jumlah sampel/responden tidak


digunakan sebagai patokan validitas (Ascarya 2005). Software yang digunakan
untuk analisis data dalam penelitian ini adalah Super Decisions dan Microsoft
Excel.

Analytic Network Process (ANP)


Analytic Network Process (ANP) adalah teori umum pengukuran relatif
yang digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit dari skala rasio
individu yang mencerminkan pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen
yang saling berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty 1999).
Ascarya (2005) menjelaskan, ANP merupakan pendekatan baru dalam
proses pengambilan keputusan yang memberikan kerangka kerja umum dalam
memperlakukan keputusan-keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi tentang
independensi elemen-elemen pada level yang lebih tinggi dari elemen-elemen
pada level yang lebih rendah dan tentang independensi elemen-elemen dalam
suatu level. Justru ANP menggunakan jaringan tanpa harus menetapkan level
seperti pada hierarki yang digunakan dalam Analytic Hierarcy Process (AHP)
yang merupakan titik awal ANP. Konsep utama dalam ANP adalah influence
(pengaruh), sedangkan konsep utama dalam AHP adalah preferensi.

Tahapan Penelitian
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam metode ANP, seperti
terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tahapan penelitian


Sumber : Ascarya (2010)

1. Konstruksi Model
Konstruksi model ANP disusun berdasarkan literature review secara teori
maupun empiris dan memberikan pertanyaan pada pakar dan praktisi wakaf serta
16

melalui wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengkaji informasi


secara lebih dalam untuk memperoleh permasalahan yang sebenarnya.

2. Kuantifikasi Model
Tahap kuantifikasi model menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP
berupa pairwise comparison (pembandingan pasangan) antar elemen dalam
cluster untuk mengetahui mana di antara keduanya yang lebih besar pengaruhnya
(lebih dominan) dan seberapa besar perbedaannya melalui skala numerik 1-9
seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Perbandingan skala verbal dan skala numerik


Skala Verbal Skala Numerik
Amat sangat lebih besar pengaruhnya 9
8
Sangat lebih besar pengaruhnya 7
6
Lebih besar pengaruhnya 5
4
Sedikit lebih besar pengaruhnya 3
2
Sama besar pengaruhnya 1
Sumber : Ascarya (2005)

3. Sintesis dan Analisis


Analisis hasil dengan melakukan input hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden pada software superdecision, lalu mencari nilai geometric mean (GMk)
dan menghitung nilai Kendall‟s Coefficient of Concordance yang merupakan alat
ukur untuk menghitung rater agreement dengan menggunakan Microsoft Excel.

a. Geometric Mean
Untuk mengetahui hasil penilaian individu dari para responden dan
menentukan hasil pendapat pada satu kelompok dilakukan penilaian dengan
menghitung geometric mean (Saaty dan Vargas 2006). Pertanyaan berupa
perbandingan (pairwise comparison) dari responden akan dikombinasikan
sehingga membentuk suatu konsensus. Geometric mean merupakan jenis
penghitungan rata-rata yang menunjukan tendensi atau nilai tertentu dimana
memiliki formula sebagai berikut :
∏ √

b. Rater Agreement
Rater agreement adalah ukuran yang menunjukan tingkat kesesuaian
(persetujuan) para responden (R1-Rn) terhadap suatu masalah dalam satu cluster.
Adapun alat yang digunakan untuk mengukur rater agreement adalah Kendall‟s
Coefficient of Concordance (W;0 < W≤ 1). W=1 menunjukan kesesuaian yang
sempurna (Ascarya 2010). Untuk menghitung Kendall’s (W), yang pertama
adalah dengan memberikan ranking pada setiap jawaban kemudian
menjumlahkannya.
17


Nilai rata-rata dari total ranking adalah:

Jumlah kuadrat deviasi (S), dihitung dengan formula:


∑ ̅
Sehingga diperoleh Kendall’s W, yaitu:

Jika nilai pengujian W sebesar 1 (W=1), dapat disimpulkan bahwa penilaian


atau pendapat dari para responden memiliki kesepakatan yang sempurna
sedangkan ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka menunjukan
adanya ketidaksespakatan antar jawaban responden atau jawaban bervariatif
(Ascarya 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Responden
Responden dalam penelitian ini berjumlah tujuh orang yang merupakan para
expert dalam bidang wakaf, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Data responden


Responden Nama Jabatan/Profesi
R1 Dr. Asep Saepudin Jahar Staff Divisi Pembinaan Nazhir BWI
R2 Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Guru Besar Ekonomi Syariah IPB
M.Sc
R3 Herman Budianto Direktur Eksekutif Zona Madina
Dompet Dhuafa
R4 Ir. Iwan Agustiawan Fuad, Staff Divisi Pengelolaan dan
M.Si Pemberdayaan Wakaf BWI
R5 Ir. Muhammad Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
Nadratuzzaman Hosen, M.Ec, BWI
Ph.D
R6 Nanda Putera Setiawan Direktur Eksekutif Wakaf Al Azhar
R7 Romdlon Hidayat Direktur Eksekutif I-Wakaf (spin off
PKPU)
18

Gambaran Umum Pengelolaan Wakaf di Indonesia

Pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia umumnya masih


bersifat tradisional. Mayoritas wakaf yang diberikan oleh wakif merupakan wakaf
langsung (konsumtif) dan hanya sedikit wakaf yang dikelola secara produktif.
Berdasarkan data dari Kementerian Agama RI tahun 2017, mayoritas penggunaan
tanah wakaf berupa masjid dan mushola sebesar 73.55% (SIWAK 2017). Hal ini
menunjukkan bahwa perlu upaya yang cukup besar dari berbagai pihak untuk
menuju pengelolaan wakaf yang produktif, agar dampaknya dapat lebih dirasakan
bagi kesejahteraan umat.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kurang produktifnya
pengelolaan wakaf di Indonesia adalah aspek nazhir (pengelola). Nazhir
merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan dalam pengelolaan
wakaf, sehingga diperlukan nazhir yang berkualitas agar dapat mengelola wakaf
secara produktif dan profesional. Berdasarkan wawancara dengan para pakar,
umumnya kondisi nazhir di Indonesia belum bekerja secara profesional, kurang
kompeten dalam mengelola wakaf dan belum memahami wakaf secara
komprehensif. Selain itu, aspek pemerintah dan masyarakat ataupun wakif juga
memberikan pengaruh yang cukup besar dalam upaya optimalisasi pengelolaan
wakaf di Indonesia.
Beberapa sarana yang telah dimiliki Indonesia dalam upaya pengelolaan dan
pengembangan wakaf di antaranya adalah adanya regulasi khusus yang mengatur
perwakafan yaitu Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41
Tahun 2004. Ada beberapa hal yang dipandang sebagai terobosan penting dalam
perkembangan wakaf di Indonesia setelah adanya peraturan tersebut, yaitu
diakuinya wakaf benda bergerak, termasuk wakaf tunai (cash waqf) berupa uang
yang diharapkan menjadi sumber harta wakaf potensial yang dapat disinergikan
dengan harta wakaf benda tidak bergerak. Selain itu, terdapat lembaga khusus
yang mempunyai tanggung jawab dan wewenang dalam mengembangkan
perwakafan nasional yang telah diatur dalam perundang-undangan yaitu Badan
Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama RI. Sarana-sarana tersebut
harus dioptimalkan untuk mewujudkan pengelolaan dan pengembangan wakaf
yang lebih baik. Hal ini membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai
pihak.

Model Analytic Network Process (ANP)

Berdasarkan hasil literatur review dan wawancara mendalam (indepth


interview) kepada para pakar dan praktisi wakaf, masalah yang menyebabkan
pengelolaan wakaf di Indonesia belum produktif terbagi menjadi dua yaitu
masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal terbagi menjadi lima
aspek yaitu rendahnya kompetensi nazhir, kurangnya profesionalisme nazhir,
mayoritas nazhir perorangan, kurangnya pemahaman nazhir tentang wakaf, dan
profesi sebagai nazhir yang tidak begitu menarik. Masalah eksternal terbagi
menjadi lima aspek yaitu penunjukkan nazhir oleh wakif, kurangnya pemahaman
wakif, kurangnya peran dan dukungan pemerintah, regulasi yang kurang
mendukung, dan minimnya biaya operasional. Begitu pula solusi untuk
19

mengoptimalkan pengelolaan wakaf agar lebih produktif terbagi menjadi dua


yaitu solusi internal dan solusi eksternal. Solusi internal terbagi menjadi lima
aspek yaitu peningkatan kompetensi nazhir, pembinaan dan pendampingan nazhir,
konsolidasi antar nazhir, transformasi nazhir menjadi lembaga, dan meningkatkan
insentif nazhir. Solusi eksternal terbagi menjadi lima aspek yaitu perbaikan sistem
rekrutmen nazhir, sosialisasi dan edukasi kepada wakif atau calon wakif,
optimalisasi fungsi dan peran BWI, revisi regulasi yang kurang mendukung, dan
meningkatkan biaya operasional. Strategi yang dirumuskan berdasarkan masalah
dan solusi yang ada dibagi menjadi tiga yaitu sinergi dan kolaborasi antar
lembaga/instansi terkait, sosialisasi dan edukasi secara komprehensif kepada
semua elemen, dan optimalisasi sumber daya yang sudah ada. Aspek-aspek pada
masalah, solusi, dan strategi tersebut kemudian menghasilkan sebuah model ANP
seperti pada Gambar 4.

Masalah Internal Masalah Eksternal


1. Rendahnya kompetensi nazhir 1. Penunjukkan nazhir oleh
2. Kurangnya profesionalisme wakif
nazhir 2. Kurangnya pemahaman wakif
3. Mayoritas nazhir perorangan 3. Kurangnya dukungan dan
4. Kurangnya pemahaman nazhir peran pemerintah
tentang wakaf 4. Regulasi kurang mendukung
Masalah
5. Profesi sebagai nazhir tidak 5. Minimnya biaya operasional
menarik

Optimalisasi
Pengelolaan Wakaf
di Indonesia

Solusi Internal Solusi Eksternal


1. Peningkatan kompetensi nazhir 1. Perbaikan sistem rekrutmen
2. Pembinaan dan pendampingan Solusi nazhir
2. Sosialisasi dan edukasi kepada
nazhir
wakif
3. Konsolidasi bersama antar 3. Optimalisasi fungsi dan peran
nazhir BWI
4. Transformasi nazhir menjadi 4. Revisi regulasi yang kurang
lembaga mendukung
5. Meningkatkan insentif nazhir 5. Meningkatkan biaya
operasional

Strategi
1. Sinergi dan kolaborasi antar lembaga/
instansi terkait
2. Sosialisasi dan edukasi secara komprehensif
ke semua elemen
3. Optimalisasi sumber daya yang sudah ada

Gambar 4 Model Analytic Network Process (ANP)


20

Masalah

Masalah yang menyebabkan pengelolaan wakaf di Indonesia belum


produktif terbagi menjadi dua yaitu masalah internal dan masalah eksternal.
Berdasarkan hasil pengolahan data, prioritas utama masalahnya adalah masalah
internal dengan nilai geometric mean (GMk) sebesar 0.75, sedangkan prioritas
kedua adalah masalah eksternal dengan nilai geometric mean (GMk) sebesar 0.25.
Tingkat prioritas tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Hal tersebut menunjukkan
bahwa masalah yang paling besar memengaruhi pengelolaan wakaf di Indonesia
berasal dari internal, sehingga masalah internal harus mendapatkan perhatian yang
lebih besar untuk dapat diatasi. Perhitungan rater agreement menghasilkan nilai
Kendall‟s Coefficient of Concordance atau W sebesar 1 yang menunjukkan
kesepakatan yang sempurna artinya seluruh responden sepakat bahwa masalah
utama pengelolaan wakaf yang paling prioritas adalah masalah internal.

Eksternal 0.25

GMk
Internal 0.75

0 0.2 0.4 0.6 0.8


Gambar 5 Tingkat prioritas masalah

Masalah Internal

Masalah internal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah yang
berasal dari dalam aspek pengelola (nazhir). Masalah internal terbagi menjadi
lima yaitu rendahnya kompetensi nazhir, kurangnya profesionalisme nazhir,
mayoritas nazhir perorangan, kurangnya pemahaman nazhir tentang wakaf, dan
profesi sebagai nazhir yang tidak begitu menarik. Berdasarkan hasil pengolahan
data, tingkat prioritas masalah internal ini dapat dilihat pada Gambar 6. Prioritas
pertama yaitu rendahnya kompetensi nazhir dengan geometric mean sebesar 0.33.
Prioritas kedua yaitu kurangnya profesionalisme nazhir dengan geometric mean
sebesar 0.24. Prioritas ketiga yaitu kurangnya pemahaman nazhir tentang wakaf
dengan geometric mean sebesar 0.18. Prioritas keempat yaitu mayoritas nazhir
perorangan dengan geometric mean sebesar 0.16. Prioritas kelima yaitu profesi
sebagai nazhir tidak begitu menarik dengan geometric mean sebesar 0.09. Hasil
perhitungan rater agreement menghasilkan nilai Kendall‟s Coefficient of
Concordance atau W sebesar 0.67, yang menunjukkan bahwa tingkat kesepakatan
para pakar (responden) cukup tinggi.
21

Profesi nazhir tidak begitu menarik 0.09

Kurangnya pemahaman nazhir tentang


0.18
wakaf

Mayoritas nazhir perorangan 0.16


GMk

Kurangnya profesionalisme nazhir 0.24

Rendahnya Kompetensi Nazhir 0.33

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35

Gambar 6 Tingkat prioritas masalah internal

Rendahnya Kompetensi Nazhir


Prioritas pertama masalah internal yaitu rendahnya kompetensi nazhir
dengan nilai geometric mean sebesar 0.33. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya
kompetensi nazhir menjadi masalah internal yang paling besar memengaruhi
pengelolaan wakaf di Indonesia.
Menurut para pakar, rendahnya kompetensi nazhir disebabkan oleh
penunjukkan nazhir yang dilakukan wakif. Umumnya nazhir yang ditunjuk oleh
wakif hanya berdasarkan pada hubungan kekerabatan dan kepercayaan pada tokoh
agama setempat saja, bukan berdasarkan pada kompetensi yang dimilikinya. Hal
tersebut menjadikan nazhir yang ditunjuk tidak memiliki kompetensi yang
memadai dalam mengelola wakaf, sehingga wakaf bukan hanya tidak produktif
bahkan bisa menjadi sumber konflik di masyarakat.
Kompetensi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kompetensi yang
diperlukan nazhir dalam mengelola wakaf. Menurut Aziz (2014), kompetensi
tersebut terbagi menjadi dua yaitu kompetensi diniyah (agama) dan kompetensi
kifayah (bisnis). Kompetensi diniyah adalah kompetensi nazhir yang berhubungan
dengan keagamaan, seperti ilmu syar'i dan pengamalannya, ditambah lagi dengan
maksud institusi wakaf yaitu dalam rangka berdakwah dan menyampaikan ajaran
agama Islam kepada umat manusia. Adapun kompetensi kifayah adalah
kompetensi yang mengacu kepada kemampuan nazhir dalam memelihara,
menjaga, melindungi, memanfaatkan, mengembangkan, menginvestasikan dan
mendistribusikan hasil atau keuntungan wakaf kepada pihak-pihak yang berhak
menerimanya.
Realitanya mayoritas nazhir saat ini hanya memiliki kompetensi dalam hal
agama saja, namun sedikit dari mereka yang memiliki kompetensi dalam hal
bisnis. Padahal kompetensi bisnis juga sangat diperlukan bagi nazhir, karena di
dalam wakaf ada mekanisme mengelola aset. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Huda et al. (2014) yang menunjukkan bahwa rendahnya
22

kompetensi nazhir dalam mengelola wakaf merupakan salah satu masalah yang
menjadi prioritas dalam pengelolaan wakaf.

Kurangnya Profesionalisme Nazhir


Prioritas masalah internal yang kedua yaitu kurangnya profesionalisme
nazhir dengan nilai geometric mean sebesar 0.24. Masalah ini disebabkan oleh
mayoritas nazhir yang menjadikan pekerjaannya hanya sebagai sampingan bukan
menjadi pekerjaan utama. Menurut salah satu responden, umumnya nazhir sudah
berumur tua dan hanya menjadikan pekerjaannya sebagai bentuk pengabdian
akhirat, sehingga tidak dapat mengelola wakaf secara penuh. Survei yang
dilakukan Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Jakarta tahun 2006 terhadap 500
nazhir di 11 propinsi memperlihatkan bahwa hanya sedikit nazhir wakaf yang
benar-benar mengelola wakaf secara penuh (full time) yaitu sebesar 16%, sisanya
84% mengakui tugasnya sebagai nazhir hanyalah pekerjaan sampingan (part time).
Menurut Rozalinda (2015), seorang nazhir dikatakan profesional jika nazhir
tersebut melakukan pekerjaannya sesuai dengan keahlian dibidangnya,
mengerahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk pekerjaannya serta memiliki
komitmen yang kuat terhadap pekerjaannya.
Selain itu, penunjukkan nazhir oleh wakif yang berlandaskan kekerabatan
atau kepercayaan pada tokoh agama juga dapat menyebabkan nazhir kurang bisa
mengelola wakaf secara profesional. Salah satu responden yang merupakan Wakil
Ketua Dewan Pertimbangan BWI, Nadratuzzaman Hosen mengatakan :

“... dalam wakaf si wakif punya hak di awal ikrar wakaf untuk menunjuk nazhir.
Dari dulu sampai sekarang, soal trust itu penting artinya wakif harus percaya
pada nazhir. Biasanya yang dipercaya oleh wakif itu ahli agama atau tokoh
setempat. Konsekuensinya nazhir bukanlah seorang profesional yang seharusnya,
bukan juga orang yang berkompeten, karena pemilihannya hanya dari modal
kepercayaan saja. Yang kita inginkan adalah percaya boleh, tapi kepercayaan itu
untuk orang-orang yang profesional. Hal ini perlu diberikan sosialisasi untuk apa
wakaf itu sebenarnya, karena cara berpikir wakaf produktif itu belum ada pada
wakif ...”
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2016) yang
menunjukkan bahwa profesionalitas nazhir merupakan faktor yang paling
memengaruhi pengelolaan wakaf produktif dari aspek sumber daya manusia.

Kurangnya Pemahaman Nazhir tentang Wakaf


Prioritas masalah internal yang ketiga yaitu kurangnya pemahaman nazhir
tentang wakaf dengan nilai geometric mean sebesar 0.18. Masalah ini terjadi
karena kurangnya sosialisasi tentang wakaf secara komprehensif, baik mengenai
fikih wakaf ataupun perundang-undangan wakaf. Hal tersebut menjadikan nazhir
pada umumnya memiliki pemahaman yang masih tradisional. Mereka memahami
bahwa wakaf hanya berupa sarana ibadah atau makam. Selain itu, mayoritas
nazhir wakaf di Indonesia juga menganut mazhab syafii, sehingga pemahaman
fikihnya cenderung kaku dalam aspek barang-barang yang boleh diwakafkan,
peruntukkan wakaf, dan pertukaran wakaf. Hal ini menyulitkan pengelolaan
wakaf menuju ke arah produktif.
23

Huda et al. (2014) menjelaskan bahwa sosialisasi UU wakaf yang masih


kurang membuat banyak pengelola wakaf khususnya nazhir tidak paham dalam
mengelola wakaf, mulai dari pengurusan sertifikat wakaf sampai kepada
pengembangan harta wakaf tersebut. Akibatnya, harta wakaf yang ada selama ini
menjadi tidak produktif dan membuat akuntabilitas pengelola wakaf makin rendah
dan tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat dalam mengelola wakaf.
Hal ini sejalan dengan penelitian Fathurrohman (2012) yang menunjukkan
bahwa salah satu masalah perwakafan yang dihadapi adalah pengetahuan dan
pemahaman nazhir yang masih kurang. Dengan kondisi seperti ini, tanah-tanah
wakaf agak sulit untuk dikelola secara produktif sesuai dengan ketentuan hukum
Islam maupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Mayoritas Nazhir Perorangan


Prioritas masalah internal yang keempat yaitu mayoritas nazhir perorangan
dengan nilai geometric mean sebesar 0.16. Masalah ini disebabkan oleh para
wakif yang menyerahkan urusan wakafnya kepada orang-orang yang dianggap
dekat atau tokoh setempat, sehingga umumnya wakaf dikelola oleh nazhir
perorangan bukan lembaga. Selain itu, kepercayaan dan akses wakif terhadap
nazhir lembaga yang masih rendah juga membuat para wakif lebih cenderung
memilih nazhir perorangan.
Hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta
tahun 2006 terhadap 500 nazhir di 11 propinsi menunjukkan bahwa praktik
pengelolaan wakaf umumnya dikelola nazhir perorangan sebesar 66%, nazhir
badan hukum 18%, dan nazhir organisasi 16%. Hal tersebut juga didukung oleh
penelitian Huda et al. (2014) yang menunjukkan bahwa prioritas masalah pada
wakif adalah budaya pemberian wakaf langsung kepada personal, sehingga wakaf
kurang berkembang menjadi lebih produktif.

Profesi Sebagai Nazhir Tidak Begitu Menarik


Prioritas masalah internal yang kelima yaitu profesi sebagai nazhir yang
tidak begitu menarik dengan nilai geometric mean sebesar 0.09. Menurut salah
satu responden, profesi nazhir masih dipandang sebelah mata dan tidak menjadi
profesi yang menarik bagi masyarakat karena sisi finansial yang juga kurang
menarik, ini mindset yang umum terjadi. Selain itu, umumnya masyarakat masih
menganggap bahwa nazhir hanyalah pekerjaan yang bersifat sukarela, sehingga
kurang tertarik untuk terjun di dalamnya.
Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya
UIN Jakarta yang menunjukkan bahwa hanya 16% nazhir yang benar-benar
mengelola wakaf secara penuh dan 84% nazhir mengakui tugasnya hanyalah
pekerjaan sampingan. Data tersebut menggambarkan bahwa profesi nazhir
bukanlah profesi impian dalam masyarakat, terutama karena rendahnya imbalan
(reward) sebagai nazhir. Survei juga membuktikan bahwa hanya 8% nazhir yang
mengaku mendapat imbalan (Najib dan al-Makassary 2006).

Masalah Eksternal

Masalah eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masalah yang
berasal dari luar aspek pengelola (nazhir) yang menyebabkan pengelolaan wakaf
24

di Indonesia belum optimal. Masalah ini terbagi menjadi lima yaitu penunjukkan
nazhir oleh wakif, kurangnya pemahaman wakif, kurangnya peran dan dukungan
pemerintah, regulasi yang kurang mendukung, dan minimnya biaya operasional.
Berdasarkan hasil pengolahan data, prioritas masalah eksternal yang utama yaitu
kurangnya pemahaman wakif dengan nilai geometric mean sebesar 0.25. Prioritas
kedua yaitu regulasi yang kurang mendukung dengan geometric mean sebesar
0.247. Prioritas ketiga yaitu kurangnya peran dan dukungan pemerintah dengan
geometric mean sebesar 0.209. Prioritas keempat yaitu penunjukkan nazhir oleh
wakif dengan geometric mean sebesar 0.183. Prioritas kelima yaitu minimnya
biaya operasional dengan geometric mean sebesar 0.111. Gambar 7 menunjukkan
tingkat prioritas dari masalah eksternal tersebut. Hasil perhitungan rater
agreement menghasilkan nilai Kendall‟s Coefficient of Concordance atau W
sebesar 0.37, yang menunjukkan bahwa tingkat kesepakatan para pakar
(responden) cukup beragam atau bervariatif.

Minimnya biaya operasional 0.111

Regulasi kurang mendukung 0.247

Kurangnya peran dan dukungan


0.209
pemerintah GMk

Penunjukkan nazhir oleh wakif 0.183

Kurangnya pemahaman wakif 0.250

0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300

Gambar 7 Tingkat prioritas masalah eksternal

Kurangnya Pemahaman Wakif


Prioritas masalah eksternal yang pertama yaitu kurangnya pemahaman wakif
dengan nilai geometric mean sebesar 0.25. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya
pemahaman wakif menjadi masalah eksternal yang paling besar pengaruhnya
terhadap pengelolaan wakaf di Indonesia.
Masalah ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang wakaf secara
komprehensif, baik tentang peraturan wakaf dalam Islam maupun perundang-
undangan. Kurangnya sosialisasi tersebut menjadikan pemahaman wakif
mengenai wakaf masih cenderung tradisional dan belum memiliki pola pikir
wakaf yang produktif, sehingga mayoritas wakaf yang diberikan hanya berupa
wakaf langsung bukan wakaf produktif.
Menurut salah satu responden, sampai saat ini masih ditemukan wakif yang
menganggap bahwa harta yang ia wakafkan masih miliknya dan pada akhirnya
diberikan pada ahli waris, sehingga wakaf tersebut tidak bisa lagi dikelola oleh
25

nazhir untuk kepentingan mauquf „alaih (penerima wakaf). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Huda et al. (2014) yang menunjukkan bahwa
kurangnya pemahaman wakif merupakan salah satu masalah dalam pengelolaan
wakaf.

Regulasi yang Kurang Mendukung


Prioritas masalah eksternal yang kedua yaitu regulasi yang kurang
mendukung dengan nilai geometric mean sebesar 0.247. Kurangnya peran dan
dukungan dari pemerintah menyebabkan regulasi yang ada saat ini belum
mendukung sepenuhnya upaya optimalisasi pengelolaan dan pengembangan
wakaf di Indonesia.
Menurut para pakar, adanya UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf perlu
diapresiasi. Namun, sampai saat ini aplikasi dari regulasi tersebut belum
memberikan dampak yang terasa pada perkembangan praktik wakaf di Indonesia.
Regulasi yang ada belum sepenuhnya mendukung upaya optimalisasi pengelolaan
wakaf secara produktif, terutama dalam hal pengaturan biaya operasional,
penunjukkan nazhir, dan perubahan status nazhir menjadi lembaga. Regulasi
tersebut juga mengharuskan para nazhir melewati jalur birokrasi yang berbelit,
seperti dalam proses izin perubahan tanah untuk mendapatkan sertifikat wakaf.
Padahal, alur birokrasi yang cepat dan mudah sangat dibutuhkan guna menunjang
kinerja nazhir dalam pengelolaan wakaf. Hal ini sesuai dengan penelitian Wadud
(2013) yang menunjukkan bahwa salah satu prioritas masalah wakaf produktif
dari aspek pemerintah adalah regulasi kurang mendukung terkait dengan birokrasi
perwakafan.

Kurangnya Peran dan Dukungan Pemerintah


Prioritas masalah eksternal yang ketiga yaitu kurangnya peran dan
dukungan pemerintah dengan nilai geometric mean sebesar 0.209. Sampai saat ini,
peran dan dukungan Pemerintah Indonesia masih kurang dirasakan terhadap
pengelolaan dan pengembangan wakaf terutama dalam hal fasilitas, regulasi,
investasi dan bantuan dana. Hal ini dikarenakan belum adanya pemahaman yang
komprehensif tentang pentingnya wakaf dan potensinya dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat jika dikelola secara produktif.
Jika merujuk ke negara lain seperti Arab Saudi, maka perkembangan wakaf
disana sangat berkembang karena mendapat dukungan penuh dari pemerintahnya,
bahkan ada kementerian khusus yang menangani masalah wakaf. Begitupun
dengan negara-negara lain yang wakafnya sudah berkembang, hal tersebut tidak
lepas dari peran dan dukungan dari pemerintahnya.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Suwaidi (2011) yang menjelaskan bahwa
pengelolaan wakaf di Indonesia jauh tertinggal dari beberapa negara muslim
dikarenakan kurangnya political will dari pemerintah dalam pengelolaan wakaf.
Dalam sisi regulasi, pengelolaan wakaf baru memiliki payung hukumnya di tahun
2004, padahal praktik pengelolaan wakaf telah berlangsung cukup lama. Hal ini
juga sesuai dengan penelitian Wadud (2013) yang menunjukkan bahwa salah satu
prioritas masalah dalam pengelolaan wakaf produktif di Indonesia adalah dari
aspek pemerintah.
26

Penunjukan Nazhir oleh Wakif


Prioritas masalah eksternal yang keempat yaitu penunjukan nazhir oleh
wakif dengan nilai geometric mean sebesar 0.183. Mayoritas wakif di Indonesia
menunjuk nazhir wakaf hanya berdasarkan pada faktor kekerabatan dan
kepercayaan pada tokoh agama setempat saja. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemahaman wakif tentang esensi wakaf, sehingga ia menunjuk nazhir bukan
berdasarkan kompetensi yang dimiliki untuk mengelola wakaf secara produktif.
Penunjukan nazhir oleh wakif juga disebabkan oleh kurangnya regulasi yang
mendukung. Dalam UU No. 41 Tahun 2004, tidak dijelaskan secara eksplisit siapa
yang berhak mengangkat nazhir, hanya saja Pasal 6 PP No.42 Tahun 2006
menunjukkan bahwa penunjukan dan pemberhentian nazhir dapat diusulkan oleh
wakif.
Hal ini sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya
UIN Jakarta tahun 2006. Mereka yang menunjuk nazhir sepertiganya adalah
masyarakat umum, nazhir yang diangkat oleh wakif 27%, nazhir sebelumnya yang
berasal dari keluarga 11% dan bukan keluarga 6%, pengurus organisasi 12%, dan
pemerintah 9%. Namun, penunjukkan nazhir oleh masyarakat biasanya diwakili
wakif, dan juga beberapa kalangan yang dianggap tokoh atau orang berpengaruh
di daerah setempat. Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa alasan atau
pertimbangan pemilihan nazhir 93% karena masih merupakan sanak saudara atau
memiliki hubungan keluarga, 46% karena dapat dipercaya, dan 30% karena
paham manajemen (Najib dan al-Makassary 2006).

Minimnya Biaya Operasional


Prioritas masalah eksternal yang kelima yaitu minimnya biaya operasional
dengan nilai geometric mean sebesar 0.209. Minimnya biaya operasional untuk
keperluan pengelolaan wakaf merupakan masalah yang seringkali dihadapi oleh
sebagian besar pengelola (nazhir). Hal tersebut disebabkan kurangnya kerja sama
yang dilakukan nazhir dengan para investor muslim.
Menurut salah satu responden, minimnya biaya operasional juga menjadi
kendala bagi BWI dalam melakukan pembinaan dan pelatihan nazhir. Hal tersebut
terjadi karena kurangnya dukungan berupa dana dan fasilitas dari pemerintah,
sehingga pembinaan dan pelatihan nazhir belum berjalan efektif.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Fathurrohman (2012) dalam penelitiannya
bahwa kendala yang umum dalam pengelolaan wakaf di Indonesia adalah masalah
dana dan masih adanya para pengelola wakaf yang kurang memahami peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan wakaf. Di Indonesia masih sedikit
orang yang mewakafkan tanahnya yang produktif, kalau pun ada, untuk
mengelolanya diperlukan biaya yang banyak dan harus diusahakan. Hal ini juga
sesuai penelitian Wadud (2013) yang menunjukkan bahwa minimnya biaya
operasional merupakan masalah prioritas dalam pengelolaan wakaf produktif.
Selain itu, penelitian Putri (2016) juga mengemukakan bahwa salah satu faktor
yang menjadi kendala yang dihadapi dalam melakukan pembinaan nazhir adalah
faktor sarana dan fasilitas yakni dana atau anggaran yang minim.
27

Solusi

Solusi untuk meningkatkan pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih


produktif terbagi menjadi dua yaitu solusi internal dan solusi eksternal.
Berdasarkan hasil pengolahan data, prioritas utama solusi dalam meningkatkan
pengelolaan wakaf adalah solusi internal dengan nilai geometric mean (GMk)
sebesar 0.67, sedangkan prioritas kedua adalah solusi eksternal dengan nilai
geometric mean sebesar 0.33. Hasil ini sejalan dengan tingkat prioritas
permasalahan yang menunjukkan bahwa prioritas utama adalah masalah internal
dan prioritas kedua adalah masalah eksternal. Tingkat prioritas solusi dapat dilihat
pada Gambar 8. Hasil perhitungan rater agreement menghasilkan nilai Kendall‟s
Coefficient of Concordance atau W sebesar 0.51 yang menunjukkan bahwa
tingkat kesepakatan para pakar (responden) masih cukup tinggi.

Eksternal 0.33

GMk
Internal 0.67

0 0.2 0.4 0.6 0.8

Gambar 8 Tingkat prioritas solusi

Solusi Internal

Solusi internal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah solusi yang dapat
diberikan untuk mengatasi masalah internal. Solusi ini terbagi menjadi lima yaitu
peningkatan kompetensi nazhir, pembinaan dan pendampingan nazhir,
konsolidasi antar nazhir, transformasi nazhir menjadi lembaga, dan meningkatkan
insentif nazhir. Berdasarkan hasil pengolahan data, tingkat prioritas solusi internal
ini dapat dilihat pada Gambar 9. Prioritas pertama yaitu peningkatan kompetensi
nazhir dengan nilai geometric mean sebesar 0.36. Prioritas kedua yaitu pembinaan
dan pendampingan nazhir dengan nilai geometric mean sebesar 0.26. Prioritas
ketiga yaitu transformasi nazhir menjadi lembaga dengan nilai geometric mean
sebesar 0.18. Prioritas keempat yaitu konsolidasi antar nazhir dengan geometric
mean sebesar 0.11. Prioritas kelima yaitu meningkatkan insentif nazhir dengan
nilai geometric mean sebesar 0.10. Hasil perhitungan rater agreement
menghasilkan nilai Kendall‟s Coefficient of Concordance atau W sebesar 0.76
yang menunjukkan bahwa tingkat kesepakatan para pakar (responden) cukup
tinggi.
28

Meningkatkan insentif nazhir 0.10

Transformasi nazhir menjadi lembaga 0.18

Konsolidasi antar nazhir 0.11


GMk

Pembinaan dan pendampingan nazhir 0.26

Peningkatan kompetensi nazhir 0.36

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40

Gambar 9 Tingkat prioritas solusi internal

Peningkatan Kompetensi Nazhir


Prioritas solusi internal yang pertama yaitu peningkatan kompetensi nazhir
dengan nilai geometric mean sebesar 0.36. Peningkatan kompetensi ini perlu
dilakukan karena mayoritas nazhir belum memiliki kompetensi yang memadai
dalam mengelola wakaf terutama dalam hal kompetensi bisnis.
Berdasarkan wawancara, Direktur Wakaf Al Azhar, Nanda Putera Setiawan
menjelaskan bahwa mengelola kekayaan umat tidaklah mudah. Para pengelola
wakaf harus mulai memperbaiki diri menerima amanah Allah dalam hal ini
terpilih sebagai nazhir, mesti didampingi dengan kemampuan mengelola. Salah
satu perbedaan lembaga wakaf dengan lembaga sosial lainnya adalah adanya
mekanisme mengelola aset, sehingga disamping memiliki kompetensi dalam hal
agama, nazhir juga harus mempunyai kompetensi dalam hal bisnis.

Pembinaan dan Pendampingan Nazhir


Prioritas solusi internal yang kedua yaitu pembinaan dan pendampingan
nazhir dengan nilai geometric mean sebesar 0.26. Solusi ini perlu dilakukan
karena tugas dan tanggung jawab nazhir yang cukup berat, namun tidak
didampingi dengan kompetensi yang memadai. Selain itu, dalam peraturan
perundang-undangan wakaf telah dijelaskan bahwa nazhir berhak mendapatkan
pembinaan dari BWI untuk menunjang kinerjanya agar bekerja lebih profesional,
akan tetapi belum berjalan efektif. Dengan adanya pembinaan dan pendampingan
nazhir yang intensif diharapkan kompetensi dan profesionalitas para nazhir
meningkat sehingga bisa mengelola dan mengembangkan wakaf dengan lebih
optimal dan produktif.
Hal ini sesuai dengan penelitian Putri (2016) yang menunjukkan bahwa
pembinaan terhadap nazhir wakaf sudah dilaksanakan oleh Kementerian Agama
Kota Padang dan BWI Sumatera Barat akan tetapi belum efektif. Dampak dari
adanya pembinaan ini di antaranya, nazhir telah menjalankan tugasnya yang
29

tercantum dalam pasal 11 UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kendala atau
hambatan yang dihadapi dalam pembinaan dikarenakan beberapa faktor, yakni
faktor penegak hukum tidak mendata dengan baik nazhir wakaf sehingga ketika
ada pembinaan banyak nazhir yang tidak diikutsertakan.

Transformasi Nazhir menjadi Lembaga


Prioritas solusi internal yang ketiga yaitu transformasi nazhir menjadi
lembaga dengan nilai geometric mean sebesar 0.18. Solusi ini perlu dilakukan
karena nazhir perorangan meskipun diakui oleh undang-undang wakaf, masih
memiliki banyak sekali kelemahan. Nazhir perorangan biasanya tidak memiliki
struktur kepengurusan yang jelas, tidak memiliki kekuatan hukum seperti akta
notaris, dan kurang memiliki akuntabilitas.
Berdasarkan wawancara dengan para pakar, mereka berpandangan bahwa
nazhir berbasis lembaga lebih memiliki peluang berkembang daripada nazhir
perorangan dikarenakan struktur manajemennya yang sudah modern. Solusi yang
mungkin dapat dilakukan agar pengelolaan wakaf lebih optimal adalah dengan
mentransformasikan diri menjadi nazhir berbasis lembaga seperti nazhir
organisasi atau badan hukum. Jika belum memungkinkan bertransformasi menjadi
lembaga, maka setidaknya nazhir perorangan harus mulai mengadopsi manajemen
modern agar aset wakafnya dapat lebih berkembang. Urgensi mengarahkan nazhir
perorangan kepada nazhir berbasis lembaga karena nazhir berbasis lembaga telah
mengaplikasikan manajemen wakaf dengan lebih baik dibandingkan dengan
nazhir perorangan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Huda et al.
(2014) yang menunjukkan bahwa salah satu prioritas solusi pada aspek nazhir
adalah transformasi nazhir menjadi lembaga.

Konsolidasi antar Nazhir


Prioritas solusi internal yang keempat yaitu konsolidasi antar nazhir dengan
nilai geometric mean sebesar 0.11. Menurut salah satu responden, solusi ini perlu
dilakukan karena tidak semua nazhir memiliki kompetensi yang sama dalam
mengelola wakaf, bahkan ada yang sama sekali belum berkompeten. Dengan
adanya konsolidasi antar nazhir, diharapkan bisa menjadi sarana untuk saling
bertukar pikiran dalam menghadapi permasalahan wakaf, saling sharing info dan
keahlian yang dimiliki, serta saling menguatkan satu sama lain agar terus berjuang
bersama mengelola kekayaan umat.

Meningkatkan Insentif Nazhir


Prioritas solusi internal yang kelima yaitu meningkatkan insentif nazhir
dengan nilai geometric mean sebesar 0.10. Solusi ini perlu dilakukan agar
semakin banyak orang tertarik menjadi nazhir dan bekerja lebih profesional.
Meski insentif bukan menjadi prioritas utama karena orientasi akhirat harus lebih
penting bagi nazhir, hal tersebut tidak menafikan bahwa nazhir akan terdorong
lebih bersemangat dan bekerja lebih profesional ketika mendapatkan insentif yang
layak sesuai dengan tanggung jawab dan tugas mereka yang cukup berat dalam
mengelola wakaf.
Hal ini sesuai dengan penelitian Huda et al. (2014) yang menunjukkan
bahwa salah satu prioritas solusi pada aspek nazhir adalah meningkatkan insentif
nazhir. Peningkatan insentif bagi nazhir mendorong totalitas nazhir dalam
30

mengelola aset wakaf, sehingga profesionalisme nazhir akan terwujud dengan


sendirinya.

Solusi Eksternal

Solusi eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah solusi yang
dapat diberikan untuk mengatasi masalah eksternal. Solusi ini terbagi menjadi
lima yaitu perbaikan sistem rekrutmen nazhir, sosialisasi dan edukasi kepada
wakif/calon wakif, optimalisasi fungsi dan peran BWI, revisi regulasi yang kurang
mendukung, dan meningkatkan biaya operasional. Berdasarkan hasil pengolahan
data, tingkat prioritas solusi eksternal ini dapat dilihat pada Gambar 10. Prioritas
pertama yaitu optimalisasi fungsi dan peran BWI dengan nilai geometric mean
sebesar 0.27. Prioritas kedua yaitu revisi regulasi yang kurang mendukung dengan
nilai geometric mean sebesar 0.24. Prioritas ketiga yaitu sosialisasi dan edukasi
kepada wakif/calon wakif dengan nilai geometric mean sebesar 0.22. Prioritas
keempat yaitu perbaikan sistem rekrutmen nazhir dengan nilai geometric mean
sebesar 0.17. Prioritas kelima yaitu meningkatkan biaya operasional dengan nilai
geometric mean sebesar 0.10. Perhitungan rater agreement menghasilkan nilai
Kendall‟s Coefficient of Concordance atau W sebesar 0.72, yang menunjukkan
bahwa tingkat kesepakatan para pakar (responden) cukup tinggi.

Meningkatkan biaya operasional 0.10

Revisi regulasi yang kurang


0.24
mendukung

Optimalisasi fungsi dan peran BWI 0.27


GMk

Sosialisasi dan edukasi kepada


0.22
wakif/calon wakif

Perbaikan sistem rekrutmen nazhir 0.17

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

Gambar 10 Tingkat prioritas solusi eksternal

Optimalisasi Fungsi dan Peran BWI


Prioritas solusi eksternal yang pertama yaitu optimalisasi fungsi dan peran
BWI dengan nilai geometric mean sebesar 0.27. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
merupakan lembaga independen yang mempunyai tanggung jawab besar dalam
memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia yang telah diatur
dalam undang-undang, namun sampai saat ini belum bekerja secara efektif,
sehingga perlu dioptimalisasikan kembali fungsi dan peranannya. Solusi ini dapat
berjalan dengan baik, ketika mendapat dukungan penuh dari pemerintah berupa
fasilitas dan juga biaya operasional.
31

Menurut salah satu responden, fungsi dan peran BWI sangat penting dalam
hal pembinaan dan pelatihan yang intensif bagi nazhir. Ketika pembinaan dapat
dilakukan dengan baik dan efektif maka kompetensi nazhir akan meningkat,
sehingga pengelolaan wakaf dapat dilakukan lebih optimal dan produktif.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2016) yang
menunjukkan bahwa peran BWI Kabupaten Bogor merupakan prioritas utama
dari aspek lembaga yang memengaruhi pengelolaan wakaf produktif di Kabupaten
Bogor. Peran BWI ini sangat memengaruhi kualitas nazhir sebagai pengelola
wakaf, karena sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
BWI memiliki tugas dalam pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan
mengembangkan wakaf.

Revisi Regulasi yang Kurang Mendukung


Prioritas solusi eksternal yang kedua yaitu revisi regulasi yang kurang
mendukung dengan nilai geometric mean sebesar 0.24. Kehadiran UU No.41
Tahun 2004 dan PP No.42 Tahun 2006 perlu diapresiasi dalam upaya
pengembangan wakaf di Indonesia. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan
terutama terkait dengan petunjuk pengelolaan wakaf yang produktif, biaya
operasional, penunjukkan nazhir, dan perubahan nazhir menjadi lembaga.
Selain itu, regulasi yang ada mengharuskan para nazhir melewati jalur
birokrasi yang berbelit. Padahal, alur birokrasi yang cepat dan mudah sangat
dibutuhkan guna menunjang kinerja nazhir dalam pengelolaan wakaf. Oleh karena
itu, perbaikan atau revisi regulasi yang kurang mendukung ini diharapkan dapat
menjadi solusi atas permasalahan tersebut, sehingga birokrasi perwakafan di
Indonesia dapat berjalan sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan. Hal
ini sesuai dengan penelitian Wadud (2013) yang menunjukkan bahwa salah satu
prioritas solusi dari aspek pemerintah adalah perbaikan regulasi perwakafan.

Sosialisasi dan Edukasi kepada Wakif atau Calon Wakif


Prioritas solusi eksternal yang ketiga yaitu sosialisasi dan edukasi kepada
wakif atau calon wakif dengan nilai geometric mean sebesar 0.22. Solusi ini perlu
dilakukan karena mayoritas masyarakat atau wakif mempunyai pemahaman yang
masih tradisional tentang wakaf. Mereka hanya memahami bahwa wakaf sebatas
sarana ibadah atau kuburan dan belum memiliki pola pikir wakaf yang produktif,
sehingga perlu diberikan pemahaman dengan melalui sosialisasi dan edukasi
secara komprehensif, baik mengenai peraturan dalam islam maupun peraturan
perundang-undangan. Ketika para wakif telah memiliki pemahaman tentang wakaf
secara komprehensif, maka mereka akan lebih cenderung memilih atau menunjuk
nazhir yang sudah profesional dan kompeten, sehingga lebih mudah mengelola
wakaf secara produktif.
Hal ini sesuai dengan penelitian Huda et al. (2014) yang menunjukkan
bahwa salah satu prioritas solusi dari aspek wakif untuk mengatasi masalah
rendahnya pemahaman wakif adalah edukasi wakaf pada masyarakat dan
sosialisasi wakaf melalui berbagai media. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Wadud (2013) yang menunjukkan bahwa salah satu prioritas solusi permasalahan
wakaf pada masyarakat adalah sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
32

Perbaikan Sistem Rekrutmen Nazhir


Prioritas solusi eksternal yang keempat yaitu perbaikan sistem rekrutmen
nazhir dengan nilai geometric mean sebesar 0.17. Mayoritas nazhir wakaf yang
ditunjuk oleh masyarakat atau wakif hanya didasarkan pada hubungan
kekeluargaan atau aspek ketokohan, bukan pada aspek profesionalisme atau
kemampuan mengelola. Hal tersebut menjadikan banyak aset-aset wakaf yang
akhirnya tidak terurus atau terkelola dengan baik. Oleh karena itu, perbaikan
sistem rekrutmen nazhir diharapkan dapat memperbaiki kualitas nazhir sehingga
pengelolaan wakaf menjadi lebih optimal. Perbaikan sistem rekrutmen nazhir ini
dapat dilakukan dengan adanya standarisasi atau sertifikasi nazhir dan juga bisa
dilakukan melalui perbaikan regulasi.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wadud (2013). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa salah satu prioritas solusi atas permasalahan
pada aspek pengelola adalah dengan melakukan training dan perbaikan rekrutmen
nazhir.

Meningkatkan Biaya Operasional


Prioritas solusi eksternal yang kelima yaitu meningkatkan biaya operasional
dengan geometric mean sebesar 0.10. Solusi ini perlu dilakukan karena biaya
operasional merupakan salah satu masalah yang dikeluhkan oleh para nazhir
dalam mengelola wakaf dan juga BWI untuk keperluan pembinaan nazhir.
Peningkatan biaya operasional ini sangat memerlukan dukungan dan bantuan dari
pemerintah, baik melalui regulasi ataupun bantuan dana secara langsung. Selain
itu, biaya operasional juga bisa didapatkan melalui sumbangan dari masyarakat
ataupun bermitra dengan para investor muslim.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Qahaf (2005) bahwa pemerintah memiliki
peran sebagai fasilitator dan juga memiliki tugas penting terhadap pengelolaan
wakaf produktif, yaitu memberikan dua bentuk pengawasan yang layak seperti
pengawasan administrasi dan keuangan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Wadud (2013) yang menunjukkan bahwa meningkatkan biaya operasional
merupakan solusi prioritas dalam pengelolaan wakaf produktif di Indonesia.

Strategi

Strategi yang dirumuskan berdasarkan masalah dan solusi yang ada untuk
meningkatkan pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih produktif terbagi
menjadi tiga yaitu sinergi dan kolaborasi antar lembaga atau instansi terkait,
sosialisasi dan edukasi wakaf secara komprehensif kepada semua elemen, serta
optimalisasi sumber daya yang sudah ada. Hasil pengolahan data menunjukkan
bahwa prioritas utama strategi adalah melakukan sosialisasi dan edukasi wakaf
secara komprehensif kepada semua elemen dengan nilai geometric mean sebesar
0.5, sedangkan prioritas kedua terbagi menjadi dua aspek karena nilai geometric
mean yang sama yaitu optimalisasi sumber daya yang sudah ada dan melakukan
sinergi serta kolaborasi antar lembaga/instansi terkait dengan nilai geometric
mean sebesar 0.25. Perhitungan rater agreement menghasilkan nilai Kendall‟s
Coefficient of Concordance atau W sebesar 0.55 yang menunjukkan bahwa
tingkat kesepakatan para pakar (responden) cukup tinggi. Tingkat prioritas strategi
ini dapat dilihat pada Gambar 11.
33

Optimalisasi sumberdaya yang


0.25
sudah ada

Sosialiasi dan edukasi secara


0.50
komprehensif ke semua elemen GMk

Sinergi dan kolaborasi antar


0.25
lembaga/instansi terkait

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60

Gambar 11 Tingkat prioritas strategi

Prioritas strategi yang pertama adalah sosialisasi dan edukasi secara


komprehensif kepada semua elemen dengan nilai geometric mean sebesar 0.5.
Strategi ini perlu dilakukan karena ilmu atau pemahaman merupakan kunci dalam
melakukan suatu amalan atau pekerjaan. Mayoritas masalah yang muncul
disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang wakaf dari berbagai pihak, baik
nazhir, wakif, pemerintah, maupun masyarakat. Selain itu, solusi pun bisa
dilaksanakan dengan baik jika semua pihak memiliki pemahaman yang sama
tentang wakaf. Alasan tersebut menjadikan sosialisasi dan edukasi sangat penting
digencarkan kembali untuk menyamakan pemahaman dan persepsi antar pihak,
sehingga lebih mudah bekerja sama dalam mengelola dan mengembangkan wakaf
di Indonesia. Hal ini sesuai dengan penelitian Wadud (2013) yang menunjukkan
bahwa sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat merupakan prioritas utama
untuk mengatasi masalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
perwakafan.
Prioritas strategi yang kedua terbagi menjadi dua aspek yaitu sinergi dan
kolaborasi antar lembaga serta optimalisasi sumber daya yang sudah ada, dengan
nilai geometric mean yang sama sebesar 0.25. Permasalahan wakaf yang begitu
kompleks tidak dapat diatasi oleh satu pihak saja. Hal tersebut memerlukan
sinergi dan kolaborasi antar lembaga-lembaga yang terkait dengan wakaf seperti
BWI, Kementerian Agama, Lembaga Keuangan Syariah, Lembaga Zakat, Badan
Pertanahan Nasional, Majelis Ulama Indonesia, dan instansi lainnya untuk
merumuskan pembagian peran, sehingga tidak terjadi tumpang tindih atau
penumpukan tugas. Selain itu, optimalisasi sumber daya yang sudah ada juga
perlu dilakukan karena Indonesia memiliki potensi wakaf dan sumber daya yang
sangat besar, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lahannya. Sumber
daya tersebut harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia dan hasilnya
dapat dirasakan untuk kesejahteraan umum.
34

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Masalah yang menyebabkan pengelolaan wakaf di Indonesia belum


produktif dibagi menjadi dua yaitu masalah internal dan masalah eksternal.
Prioritas masalah internal adalah rendahnya kompetensi nazhir dengan nilai
geometric mean (GMk) sebesar 0.33 dan kurangnya profesionalisme nazhir
dengan nilai GMk sebesar 0.24. Adapun prioritas masalah eksternal adalah
kurangnya pemahaman wakif dengan nilai GMk sebesar 0.25 dan regulasi yang
kurang mendukung dengan nilai GMk sebesar 0.247.
Solusi untuk mengoptimalkan pengelolaan wakaf agar menjadi lebih
produktif juga dibagi menjadi dua yaitu solusi internal dan solusi eksternal.
Prioritas solusi internal adalah peningkatan kompetensi nazhir dengan nilai GMk
sebesar 0.36 serta pembinaan dan pendampingan nazhir dengan nilai GMk 0.26.
Adapun prioritas solusi eksternal adalah optimalisasi fungsi dan peran BWI
dengan nilai GMk sebesar 0.27 dan revisi regulasi yang kurang mendukung
dengan nilai GMk sebesar 0.24.
Strategi yang dirumuskan berdasarkan masalah dan solusi tersebut dibagi
menjadi tiga yaitu sinergi dan kolaborasi antar lembaga, sosialisasi dan edukasi
secara komprehensif kepada semua elemen, serta optimalisasi sumberdaya yang
sudah ada. Prioritas utama dari strategi tersebut adalah dengan melakukan
sosialisasi dan edukasi secara komprehensif kepada semua elemen dengan nilai
GMk sebesar 0.5.

Saran

Berdasarkan simpulan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka


beberapa saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kompetensi dan profesionalisme merupakan masalah utama bagi para nazhir.
Oleh karena itu, nazhir harus terus mendapatkan pembinaan dan pendampingan
serta pelatihan yang intensif agar mampu mengelola wakaf dengan lebih baik.
Pembinaan dan pelatihan tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan formal
atau informal serta pembinaan fisik, spiritual maupun mental.
2. Pembinaan terhadap nazhir merupakan salah satu tugas BWI yang telah diatur
dalam perundang-undangan, sedangkan fungsi dan peran lembaga tersebut
realitanya belum optimal, sehingga perlu adanya revitalisasi dan optimalisasi
fungsi dan peran dari BWI. Salah satu cara agar fungsi dan peran BWI lebih
optimal adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada di
dalamnya. Selain itu, peran dan dukungan pemerintah baik melalui bantuan
dana, fasilitas atau regulasi akan sangat berarti.
3. Kurangnya pemahaman wakif juga menjadi masalah yang menyebabkan
pengelolaan wakaf belum optimal. Oleh karena itu, sosialisasi yang
menyeluruh tentang wakaf dan peraturannya, baik dalam islam maupun
perundang-undangan harus terus digencarkan.
35

4. Sosialisasi dan edukasi wakaf harus dilakukan kepada semua elemen secara
komprehensif karena masih banyak pihak dari nazhir, wakif, pemerintah,
maupun masyarakat umum yang belum memahami wakaf dengan benar.
Sosialisasi ini memerlukan kerja sama dan dukungan dari pemerintah, para
ulama, akademisi, dan praktisi di bidang wakaf. Sosialisasi tersebut bisa
dilakukan dengan kampanye menggunakan media cetak, media elektronik, atau
media sosial. Selain itu, bisa juga dengan mengadakan seminar wakaf,
mengangkat tema wakaf pada khutbah jumat dan acara atau kajian keislaman
lainnya.
5. Perlu adanya optimalisasi sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya lahan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendata
terlebih dahulu seluruh aset wakaf dan juga data nazhir secara akurat. Selain
itu, aset wakaf yang sudah tidak memberikan manfaat dapat dioptimalkan
kembali dengan melakukan pertukaran harta wakaf (istibdal) kepada aset
wakaf yang dapat memberikan maslahat yang lebih besar.
6. Perlu adanya sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak atau instansi yang
terkait dengan wakaf seperti BWI, Kementerian Agama, Lembaga Zakat, MUI,
BPN dan Lembaga Keuangan Syariah, sehingga langkah-langkah dalam
pengembangan wakaf dapat berjalan baik dan hasilnya dapat dirasakan untuk
kesejahteraan umat.
7. Penelitian ini menunjukkan bahwa prioritas strategi yang utama adalah dengan
melakukan sosialisasi dan edukasi wakaf. Oleh karena itu, perlu adanya
penelitian lebih lanjut untuk mencari strategi yang tepat dan efektif dalam
melakukan sosialisasi dan edukasi wakaf kepada semua elemen masyarakat
agar perkembangan wakaf di Indonesia lebih baik.
36

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2012. Diterjemahkan oleh Kementerian Agama


RI. Bekasi (ID): Cipta Bagus Sagara
Al-Kabisi MAA. 2004. Hukum Wakaf. Faturrahman AS, penerjemah. Jakarta (ID):
Dompet Dhuafa Republika. Terjemahan dari: Ahkam al-Waqf fi Al-Syari'ah
Al-Islamiyah
Ascarya. 2005. Analytic Network Process (ANP) Pendekatan Baru Studi
Kualitatif. Jakarta (ID): Seminar Internasional Program Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi; 2005 Januari 27
Ascarya. 2010. The Development of Islamic Financial System in Indonesia and
The Way Forward. Occasional Papers No. OP/10/02, 2010
Aziz M. 2014. Kompetensi Nazhir dalam Mengelola Wakaf Produktif. Jurnal Al-
Awqaf edisi Januari 2014
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data Penduduk Menurut Wilayah dan Agama
yang Dianut. [internet]. [diunduh pada 2017 Agustus 27]. Tersedia pada
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0
[BWI] Badan Wakaf Indonesia. 2007. Sejarah dan Perkembangan Wakaf.
[Internet]. [diunduh pada 2017 Agustus 24]. Tersedia pada
http://bwi.or.id/index.php/sejarah-a-perkembangan-wakaf-tentang-wakaf-
118.html
David FR. 2006. Manajemen Strategis Konsep. Edisi ke-10. Budi IS, penerjemah.
Jakarta (ID): Salemba Empat. Terjemahan dari: Strategic Management
Djamil F. 2011. Standarisasi dan Profesionalisme Nazhir di Indonesia. [Internet].
[diunduh pada 2017 Februari 20]. Tersedia di
http://bwi.or.id/index.php/en/publikasi/artikel/740-standarisasi-dan
profesionalisme-nazhir-di-indonesia.pdf
Fathurrohman T. 2012. Wakaf dan Penanggulangan Kemiskinan Tinjauan Hukum
Islam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (Studi Kasus
Pengelolaan Wakaf di Kabupaten Bandung) [Disertasi]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia
Hamzah Z. 2016. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengelolaan Wakaf
di Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor
Hasanah U. 2008. Inovasi Pengembangan Wakaf di Berbagai Negara. [Internet].
[diunduh pada 2017 Agustus 16]. Tersedia di
http://bwi.or.id/index.php/ar/publikasi/artikel/222-inovasi-pengembangan-
wakaf-di-berbagai-negara.html
Hasanah U. 2010. Potensi Wakaf Uang untuk Pembangunan Perumahan Rakyat.
[Internet]. [diunduh pada 2017 Agustus 24]. Tersedia di
https://bwi.or.id/index.php/in/publikasi/artikel/692-potensi-wakaf-uang-
untuk-pembangunan-perumahan-rakyat-.html
Huda N, Anggraini D, Rini N, Hudori, Mardoni Y. 2014. Akuntabilitas sebagai
Solusi Pengelolaan Wakaf. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. Volume (5) :
485-497. Nomor 3.
Karim SA. 2007. Contemporary Waqf Administration and Development in
Singapore. The Singapore International Waqf Conference, Singapore, pp. 2-
10.
37

Khadijah. 2016. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Penghimpunan Wakaf


Uang di Indonesia [Skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor
[KEMENAG RI] Kementerian Agama RI. 2006. Fiqih Wakaf. [Internet].
[diunduh pada 2017 Februari 24]. Tersedia di
http://simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/materibuku/Fiqih%20Wakaf-
2006.pdf
[KEMENAG RI] Kementerian Agama RI. 2013. Pedoman Pengelolaan dan
Perkembangan Wakaf. [Internet]. [diunduh pada 2017 Februari 24].
Tersedia di http://simbi.kemenag.go.id/pustaka/images/Pedoman%20
Pengelolaan%20 dan%20Pengembangan%20Wakaf%20-2013.pdf
Nafis C. 2009. Menggagas Nazhir Wakaf Profesional. [Internet]. [diunduh pada
2017 Februari 25]. Tersedia di http://www.bwi.or.id/index.php/ar/-/538-
menggagas-nazhir-wakaf-profesional-html
Najib TA, al-Makassary R. 2006. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan.
Jakarta (ID) : Center for the Study of Religion and Culture (CSRC)
Nasution ME, Hasanah U. 2005. Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang
dan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat. Jakarta: PKTTI-UI
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik
[PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Putri KS. 2016. Pembinaan Nazhir Wakaf di Kementerian Agama Kota Padang
dan Badan Wakaf Indonesia Sumatera Barat (Studi Implementasi Pasal 13
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf [Tesis]. Yogyakarta
(ID): UIN Sunan Kalijaga
Qahaf M. 2005. Manajemen Wakaf Produktif. Rida MM, penerjemah; Kasdi A,
editor. Jakarta (ID): Pustaka Al-Kautsar Group. Terjemahan dari: Al-Waqf
al-Islami: Tathawwuruhu, Idaaratuhu wa Tanmiyyatuhu. Dar Al-Fikr,
Damaskus, Syiria
Rozalinda. 2015. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta (ID): Rajawali Pers
Saaty TL. 1999. Fundamentals of the Analytic Network Process. Makalah di
presentasikan di Tokyo, Jepang.
Saaty TL, Vargas LG. 2006. Decision Making with the Analytic Network Process:
Economic, Political, Social and Technological Applications with Benefits,
Opportunities, Costs and Risks. Pittsburgh (US): Springer
Siagian SP. 2008. Manajemen Stratejik. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara
[SIWAK] Sistem Informasi Wakaf. 2017. Data Penggunaan Tanah Wakaf
Indonesia. [Internet]. [diunduh pada 2017 Februari 10]. Tersedia pada
http://siwak.kemenag.go.id/index.php
Suwaidi A. 2011. Wakaf dan Penerapannya di Negara Muslim. Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam. Volume (1). Nomor 2
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Wadud AMA. 2013. Solusi Permasalahan Wakaf Produktif di Indonesia
Pendekatan Modifikasi Analytic Network Process [Tesis]. Depok (ID):
Universitas Indonesia
Wheelen TL, Hunger JD. 2004. Strategic Management and Business Policy, Ninth
Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.
39

Skala Verbal Skala Numerik


Amat sangat lebih besar pengaruhnya 9
8
Sangat lebih besar pengaruhnya 7
6
Lebih besar pengaruhnya 5
4
Sedikit lebih besar pengaruhnya 3
2
Sama besar pengaruhnya 1

KUESIONER ANP
Berilah nilai yang sesuai dengan besarnya pengaruh setiap aspek masalah! Isi
secara berurutan mulai dari yang paling berpengaruh hingga yang paling tidak
berpengaruh. Mohon menilai menggunakan angka yang variatif dengan nilai 1-9
skala ANP .

Bagian I Masalah

Masalah Nilai

Internal
Eksternal

Masalah Internal Nilai

Rendahnya kompetensi nazhir


Kurangnya profesionalisme nazhir
Mayoritas nazhir perorangan
Kurangnya pemahaman nazhir tentang wakaf
Profesi sebagai nazhir tidak begitu menarik

Masalah Eksternal Nilai

Kurangnya pemahaman wakif


Penunjukkan nazhir oleh wakif
Kurangnya peran dan dukungan pemerintah
Regulasi kurang mendukung
Minimnya biaya operasional
40

Bagian II Solusi

Solusi Nilai

Internal
Eksternal

Solusi Internal Nilai

Peningkatan kompetensi nazhir


Pembinaan dan pendampingan nazhir
Konsolidasi antar nazhir
Transformasi nazhir menjadi lembaga
Meningkatkan insentif nazhir

Solusi Eksternal Nilai

Perbaikan sistem rekrutmen nazhir


Sosialisasi dan edukasi kepada wakif/calon
wakif
Optimalisasi fungsi dan peran BWI
Revisi regulasi yang kurang mendukung
Meningkatkan biaya operasional
41

Bagian III Hubungan antara masalah dan solusi

Masalah Internal
Rendahnya Kurangnya Kurangnya Profesi sebagai
Hubungan Mayoritas nazhir
kompetensi profesionalisme pemahaman nazhir nazhir tidak begitu
perorangan
nazhir nazhir tentang wakaf menarik
Peningkatan
kompetensi nazhir
Pembinaan dan
pendampingan
Solusi Internal

nazhir
Konsolidasi antar
nazhir
Transformasi nazhir
menjadi lembaga
Meningkatkan
insentif nazhir
42

Masalah Eksternal
Kurangya Kurangnya peran dan Regulasi
Hubungan Penunjukkan Minimnya biaya
pemahaman dukungan kurang
nazhir oleh wakif operasional
wakif pemerintah mendukung
Sosialisasi dan
edukasi kepada
wakif/calon wakif
Perbaikan sistem
Solusi Eksternal

rekrutmen nazhir
Optimalisasi fungsi
dan peran BWI
Revisi regulasi
yang kurang
mendukung
Meningkatkan
biaya operasional
43

Bagian IV Hubungan antara solusi dan masalah

Solusi Internal
Peningkatan Transformasi Pembinaan dan
Hubungan Konsolidasi Meningkatkan
kompetensi nazhir menjadi pendampingan
antar nazhir insentif nazhir
nazhir lembaga nazhir
Rendahnya
kompetensi nazhir
Kurangnya
profesionalisme
nazhir
Masalah Internal

Mayoritas nazhir
perorangan
Kurangnya
pemahaman nazhir
tentang wakaf
Profesi sebagai
nazhir tidak begitu
menarik
44

Solusi Eksternal
Sosialisasi dan Revisi regulasi
Hubungan Perbaikan sistem Optimalisasi fungsi Meningkatkan
edukasi kepada yang kurang
rekrutmen nazhir dan peran BWI biaya operasional
wakif/calon wakif mendukung
Kurangnya
pemahaman wakif
Penunjukkan
nazhir oleh wakif
Masalah Eksternal

Kurangnya peran
dan dukungan
pemerintah
Regulasi kurang
mendukung
Minimnya biaya
operasional
45

Bagian V Strategi

Strategi Nilai

Sinergi dan kolaborasi antar lembaga/instansi terkait


Sosialisasi dan edukasi secara komprehensif kepada semua elemen
Optimalisasi sumber daya yang sudah ada
46

Lampiran 2 Hasil Olah Data Superdecisions

MASALAH R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk
1.Masalah internal 0.800 0.750 0.750 0.750 0.667 0.750 0.667 0.750
2.Masalah eksternal 0.200 0.250 0.250 0.250 0.333 0.250 0.333 0.250

MASALAH EKSTERNAL R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk


1.Kurangnya pemahaman wakif 0.284 0.219 0.236 0.162 0.348 0.240 0.294 0.250
2.Penunjukkan nazhir oleh wakif 0.141 0.229 0.087 0.178 0.182 0.207 0.191 0.183
3.Kurangnya peran dan dukungan pemerintah 0.269 0.183 0.265 0.149 0.172 0.259 0.210 0.209
4.Regulasi kurang mendukung 0.224 0.248 0.325 0.268 0.218 0.225 0.183 0.247
5.Minimnya biaya operasional 0.083 0.121 0.087 0.243 0.078 0.068 0.121 0.111

MASALAH INTERNAL R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk


1.Rendahnya kompetensi nazhir 0.359 0.361 0.399 0.237 0.373 0.246 0.326 0.329
2.Kurangnya profesionalisme nazhir 0.245 0.223 0.251 0.280 0.285 0.194 0.187 0.244
3.Mayoritas nazhir perorangan 0.173 0.108 0.086 0.186 0.149 0.148 0.235 0.157
4.Kurangnya pemahaman nazhir tentang wakaf 0.141 0.161 0.152 0.139 0.129 0.348 0.162 0.175
5.Profesi sebagai nazhir tidak begitu menarik 0.082 0.147 0.113 0.158 0.064 0.064 0.089 0.094

SOLUSI R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk
1.Solusi internal 0.750 0.800 0.667 0.750 0.333 0.750 0.667 0.667
2.Solusi eksternal 0.250 0.200 0.333 0.250 0.667 0.250 0.333 0.333
47

SOLUSI EKSTERNAL R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk


1.Perbaikan sistem rekrutmen nazhir 0.144 0.213 0.129 0.145 0.135 0.129 0.199 0.168
2.Sosialisasi dan edukasi kepada wakif/calon wakif 0.274 0.253 0.195 0.192 0.184 0.255 0.252 0.222
3.Optimalisasi fungsi dan peran BWI 0.248 0.182 0.276 0.215 0.377 0.303 0.220 0.268
4.Revisi regulasi yang kurang mendukung 0.256 0.227 0.307 0.259 0.210 0.249 0.203 0.245
5.Meningkatkan biaya operasional 0.078 0.126 0.093 0.189 0.094 0.064 0.126 0.097

SOLUSI INTERNAL R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk


1.Peningkatan kompetensi nazhir 0.441 0.382 0.405 0.389 0.240 0.275 0.307 0.358
2.Pembinaan dan pendampingan nazhir 0.260 0.243 0.254 0.115 0.422 0.334 0.278 0.260
3.Konsolidasi antar nazhir 0.119 0.091 0.103 0.081 0.051 0.157 0.178 0.109
4.Transformasi nazhir menjadi lembaga 0.125 0.177 0.165 0.252 0.187 0.165 0.153 0.178
5.Meningkatkan insentif nazhir 0.056 0.107 0.073 0.162 0.099 0.068 0.083 0.095

STRATEGI R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 GMk
1.Sinergi dan kolaborasi antar lembaga/instansi terkait 0.540 0.163 0.163 0.163 0.297 0.297 0.163 0.250
2.Sosialiasi dan edukasi secara komprehensif ke semua elemen 0.297 0.540 0.540 0.540 0.540 0.540 0.540 0.500
3.Optimalisasi sumber daya yang sudah ada 0.163 0.297 0.297 0.297 0.163 0.163 0.297 0.250
48

Lampiran 3 Hasil Rater Agreement


TRANSPOSE
MASALAH 1.Masalah Internal 2.Masalah Eksternal SOLUSI 1.Solusi Internal 2.Solusi Eksternal
R1 0.800 0.200 R1 0.750 0.250
R2 0.750 0.250 R2 0.800 0.200
R3 0.750 0.250 R3 0.667 0.333
R4 0.750 0.250 R4 0.750 0.250
R5 0.667 0.333 R5 0.333 0.667
R6 0.750 0.250 R6 0.750 0.250
R7 0.667 0.333 R7 0.667 0.333
RANKING
R1 1 2 R1 1 2
R2 1 2 R2 1 2
R3 1 2 R3 1 2
R4 1 2 R4 1 2
R5 1 2 R5 2 1
R6 1 2 R6 1 2
R7 1 2 R7 1 2
Total 7 14 Total 8 13
U 10.5 MAXs 24.5 U 10.5 MAXs 24.5
S 24.5 W 1 S 12.5 W 0.510204082
49

TRANSPOSE
3.Kurangnya
1.Kurangnya 4.Regulasi 5.Minimnya
MASALAH 2.Penunjukkan peran dan
pemahaman kurang biaya
EKSTERNAL nazhir oleh wakif dukungan
wakif mendukung operasional
pemerintah
R1 0.284 0.141 0.269 0.224 0.083
R2 0.218 0.230 0.183 0.248 0.121
R3 0.236 0.087 0.265 0.325 0.087
R4 0.162 0.178 0.149 0.268 0.243
R5 0.348 0.182 0.172 0.218 0.078
R6 0.239 0.207 0.260 0.225 0.068
R7 0.294 0.191 0.210 0.183 0.121
RANKING
R1 1 4 2 3 5
R2 3 2 4 1 5
R3 3 5 2 1 4
R4 4 3 5 1 2
R5 1 3 4 2 5
R6 2 4 1 3 5
R7 1 3 2 4 5
Total 15 24 20 15 31
U 21 MAXs 490
S 182 W 0.37143
50

TRANSPOSE
4.Kurangnya
1.Rendahnya 2.Kurangnya 3.Mayoritas 5.Profesi sebagai
MASALAH pemahaman
kompetensi profesionalisme nazhir nazhir tidak
INTERNAL nazhir tentang
nazhir nazhir perorangan begitu menarik
wakaf
R1 0.359 0.245 0.173 0.141 0.082
R2 0.361 0.223 0.108 0.161 0.147
R3 0.399 0.250 0.086 0.151 0.113
R4 0.237 0.280 0.186 0.139 0.158
R5 0.373 0.285 0.149 0.129 0.064
R6 0.246 0.195 0.148 0.348 0.064
R7 0.326 0.187 0.235 0.162 0.089
RANKING
R1 1 2 3 4 5
R2 1 2 5 3 4
R3 1 2 5 3 4
R4 2 1 3 5 4
R5 1 2 3 4 5
R6 2 3 4 1 5
R7 1 3 2 4 5
Total 9 15 25 24 32
U 21 MAXs 490
S 326 W 0.66531
51

TRANSPOSE

1.Perbaikan 2.Sosialisasi dan 3.Optimalisasi 4.Revisi regulasi


SOLUSI 5.Meningkatkan
sistem rekrutmen edukasi kepada fungsi dan peran yang kurang
EKSTERNAL biaya operasional
nazhir wakif/calon wakif BWI mendukung

R1 0.144 0.274 0.248 0.256 0.078


R2 0.213 0.253 0.182 0.227 0.126
R3 0.129 0.195 0.276 0.307 0.093
R4 0.145 0.192 0.215 0.259 0.189
R5 0.135 0.184 0.377 0.210 0.094
R6 0.129 0.255 0.303 0.249 0.064
R7 0.199 0.252 0.220 0.203 0.126
RANKING
R1 4 1 3 2 5
R2 3 1 4 2 5
R3 4 3 2 1 5
R4 5 3 2 1 4
R5 4 3 1 2 5
R6 4 2 1 3 5
R7 4 1 2 3 5
Total 28 14 15 14 34
U 21 MAXs 490
S 352 W 0.71837
52

TRANSPOSE

1.Peningkatan 2.Pembinaan dan 4.Transformasi


SOLUSI 3.Konsolidasi 5.Meningkatkan
kompetensi pendampingan nazhir menjadi
INTERNAL antar nazhir insentif nazhir
nazhir nazhir lembaga

R1 0.441 0.260 0.119 0.125 0.056


R2 0.382 0.243 0.091 0.177 0.107
R3 0.405 0.254 0.103 0.165 0.073
R4 0.389 0.115 0.081 0.252 0.163
R5 0.240 0.422 0.051 0.187 0.099
R6 0.275 0.334 0.157 0.165 0.068
R7 0.307 0.278 0.178 0.153 0.083
RANKING
R1 1 2 4 3 5
R2 1 2 5 3 4
R3 1 2 4 3 5
R4 1 4 5 2 3
R5 2 1 5 3 4
R6 2 1 4 3 5
R7 1 2 3 4 5
Total 9 14 30 21 31
U 21 MAXs 490
S 374 W 0.76326
53

TRANSPOSE

1.Sinergi dan kolaborasi 2.Sosialiasi dan edukasi 3.Optimalisasi


STRATEGI antar lembaga/instansi secara komprehensif ke sumber daya
terkait semua elemen yang sudah ada

R1 0.540 0.297 0.163


R2 0.163 0.540 0.297
R3 0.163 0.540 0.297
R4 0.163 0.540 0.297
R5 0.297 0.540 0.163
R6 0.297 0.540 0.163
R7 0.163 0.540 0.297
RANKING
R1 1 2 3
R2 3 1 2
R3 3 1 2
R4 3 1 2
R5 2 1 3
R6 2 1 3
R7 3 1 2
Total 17 8 17
U 14 MAXs 98
S 54 W 0.55102
54

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap, 31 Mei 1994 dari pasangan Bapak Mujaeni


dan Ibu Murhatiah. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Tahun 2012
penulis lulus dari SMA Negeri 1 Majenang dan pada tahun yang sama penulis
lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) undangan dan diterima di Program Studi
Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama perkuliahan penulis aktif menjadi anggota Islamic Student Center
(ISC) Al-Hurriyyah IPB selama 3 tahun. Tahun 2013 penulis merupakan anggota
divisi syiar ISC Al-Hurriyyah IPB. Tahun 2014 penulis merupakan sekretaris
divisi syiar ISC Al-Hurriyyah IPB. Tahun 2015 penulis merupakan Bendahara
ISC Al-Hurriyyah IPB. Selain itu, penulis juga pernah aktif menjadi Tim
Asistensi PAI PPKU IPB pada tahun 2016 sebagai Badan Pengurus Harian (BPH).
Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitian yang diadakan oleh departemen,
fakultas, dan kampus.

Anda mungkin juga menyukai