Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.1 Juni 2013, hlm.

1–12
e-mail: fhukum@yahoo.com

FUNGSI KESEIMBANGAN ASAS IKTIKAD BAIK


DALAM PERUBAHAN KEADAAN
PADA PELAKSANAAN PERJANJIAN

Ali Imron
Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang

Abstrak
Sekalipun pada sistem buku ketiga B.W. tidak mengakui asas iustum pretium sebagai alasan untuk dapat
mengoreksi keabsahan perjanjian, tetapi dengan berkembangnya ajaran iktikad baik standar obyektif – yang
dimanifestasikan sebagai redelijkheid en billijkheid – dalam pelaksanaan perjanjian, maka dalam hal
terjadinya perubahan keadaan, pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk meminta negosiasi ulang terhadap
pihak lainnya. Jalan penyelesaian melalui negosiasi ulang terhadap perjanjian yang menghadapi keadaan
sulit, merupakan upaya pengembalian keseimbangan kontrak yang terganggu karena berubahnya keadaan
yang fundamental. Pengembalian keseimbangan dengan melakukan negosiasi ulang terhadap perjanjian
yang mengalami keadaan sulit, merupakan kewajiban hukum yang diturunkan dari asas kelayakan dan
kepatutan (redelijkheid en billijkheid). Jalan penyelesaian melalui iktikad baik dengan standar obyektif ini,
pada akhirnya sesuai dengan ajaran menyelesaikan dalam hukum adat – sebagai hukum tidak tertulis yang
menjadi kearifan lokal – yang senantiasa mengedepankan asas rukun, asas patut, dan asas laras dalam
menangani kasus-kasus kemasyarakatan.
Kata kunci: Perjanjian, Asas Iktikad Baik, Perubahan Keadaan

Terjadinya pergeseran pola hubungan sosial, po- lam membentuk ikatan kontraktual, dengan semi-
litik, ekonomi dalam kehidupan masyarakat de- nimal mungkin intervensi dari negara.
wasa ini, baik pada tingkat domestik mapun glo- Teori ekonomi laissez faire-laisser passer pada
bal, dapat menimbulkan pola pandang baru dalam abad XIX yang telah mendominasi pandangan para
hubungan kontraktual. Sementara ini, aturan hu- hakim, dengan berpegang pada konsep otonomi
kum positip tentang perjanjian yang merupakan kehendak dan kesucian kontrak, para pihak harus
pedoman sebagian besar bagi masyarakat Indo- tetap terikat pada isi perjanjian walaupun isi per-
nesia dalam bertransaksi saat ini, masih tetap mengan- janjian itu tidak patut. Sehubungan dengan dite-
dalkan pada ketentuan buku ketiga B.W. yang ter- rimanya pandangan seperti itu, dapat dikatakan
inspirasi gagasan kebebasan individu untuk ber- bahwa di sana tidak ada persyaratan umum asas
kehendak sebagai refleksi dari keberhasilan revo- iktikad baik dalam melaksanakan hak dan kewa-
lusi Prancis abad XVIII. Teori hukum kontrak yang jiban yang terbit dari perjanjian. Sebagai tanggap-
terlahir dari filsafat, paham politik dan ekonomi an terhadap situasi tersebut, khususnya di kalang-
liberal itu mengajarkan bahwa para pihak yang an ahli hukum mendesak agar arus-utama hukum
membuat perjanjian memiliki kebebasan penuh da- perjanjian yang secara radikal sudah tidak sesuai

|1|
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

lagi dengan perkembangan saat ini, diganti dengan jeure (keadaan memaksa). Debitor dapat menunjuk
ideologi yang lebih sesuai dengan kondisi dan terjadinya force majeure dalam hal terdapatnya rin-
praktek masa kini. Fakta yang menunjukkan tangan penunaian prestasi, adalah di luar kesa-
banyak debitor yang merasa kecewa, karena diper- lahannya dan kerugian yang ditimbulkan bukan
lakukan secara tidak adil dalam beberapa putusan termasuk risiko yang harus dipikulnya. Termi-
pengadilan (P.L. Wery, 1990, 11—12), telah me- nologi mengenai “rintangan”, “halangan” atau
nimbulkan keprihatinan di antara teoritisi yang “ketidakberdayaan” tentu harus jelas dan tegas,
kemudian memunculkan gagasan bahwa hubungan agar supaya force majeure tidak akan kehilangan se-
antara masyarakat dengan pemerintah telah ber- mua makna kekhususannya dan rintangan itu
ubah secara fundamental, seiring dengan adanya harus berkaitan dengan prestasinya sendiri. Untuk
transformasi masyarakat ke arah kesejahteraan itu C. Asser memperingatkan, bahwa tidak tepat
sosial (social wellfare), timbul pemikiran untuk orang berbicara tentang force majeure, bilamana
menggunakan hukum kontrak sebagai sarana un- disebabkan oleh suatu perubahan keadaan yang
tuk redistribusi kesejahteraan (Eric A. Posner, 1995, timbul kemudian, misalnya disebabkan adanya ke-
283-2877). naikan harga yang sangat tinggi, keseimbangan
yang semula tercipta di antara prestasi-prestasi
Menurut perkembangan dalam doktrin dan
yang saling dipertukarkan itu telah terganggu.
yurisprudensi tentang penggunaan asas iktikad
Prestasinya itu sendiri tidak dirintangi, maka hal
baik dalam perjanjian, khususnya melalui jalan pe-
ini tidak perlu dipertanyakan tentang force majeure
nafsiran perjanjian yang berkenaan dengan fungsi
(C. Asser’s penterjemah Sulaiman Binol, 1991, 347-
“melengkapi” dan “mengesampingkan” kata-kata 348).
perjanjian ketika saat dilaksanakan mengalami
Sementara pengertian yang berkembang
perubahan keadaan, maka berdasarkan asas iktikad
mengenai force majeure subyektif, yang menekankan
baik, isi suatu perjanjian yang telah disepakati itu
timbulnya kesulitan-kesulitan ( difficulties) bagi
dapat ditinjau kembali (A. Pitlo penterjemah
debitor dalam memenuhi prestasinya, secara prak-
Sudikno Mertokusumo, 1994, 33—340. Terjadinya
tis dapat terjadi karena perubahan keadaan yang
perubahan keadaan setelah dibuatnya perjanjian,
akan menerbitkan keberatan-keberatan bagi de-
terutama adalah bagi perjanjian yang pelaksana-
bitor dalam melaksanakan kewajiban kontraktual-
annya harus dipenuhi dalam jangka waktu lama,
nya. Menurut De Wolf, dalam hal menentukan force
umumnya sebagai manusia biasa tidak akan mam- majeure subyektif, dengan adanya perubahan ke-
pu memprediksi kejadian-kejadian atau peristiwa- adaan yang sedemikian serius, menyebabkan pe-
peristiwa yang mungkin terjadi di masa datang menuhan prestasi itu tidak mungkin dilakukan
dan akhirnya menyulitkan atau merintangi peme- atau terhalang, sedangkan untuk menetapkan ter-
nuhan prestasi perjanjian yang disepakati. Semakin jadinya rebus sic stantibus, akibat dari adanya per-
lama waktu pelaksanaan isi perjanjian, maka se- ubahan keadaan menimbulkan beban yang sangat
makin besar pula kejadian-kejadian atau peristiwa- memberatkan salah satu pihak karena kerugian
peristiwa yang tidak diharapkan akan menghalangi yang harus dipikulnya (De Wolf dalam Purwahid
pemenuhan prestasi perjanjian itu. Patrik, 1994, 8). Rintangan atau halangan atas pe-
Sesuai ketentuan hukum perjanjian yang ter- menuhan prestasi dari debitor yang sangat mem-
dapat dalam Buku Ketiga B.W., dasar yang dapat beratkan itu, dalam setiap hal yang konkrit harus
menghapus kewajiban kontraktual debitor, adalah ditentukan menurut pendapat-pendapat yang
apabila debitor menghadapi rintangan atau ha- lazim berlaku (Volmar penterjemah I.S. Adiwimarta,
langan yang dapat dikualifikasi sebagai force ma- 1992, 91-93).

|2|
Fungsi Keseimbangan Asas Iktikad Baik dalam Perubahan Keadaan pada Pelaksanaan Perjanjian
Ali Imron

Berubahnya keadaan sedemikian rupa sete- kian kreditor menuntut kontraprestasi secara pe-
lah perjanjian dibuat dan dilaksanakan, ikhwalnya nuh sesuai muatan isi perjanjian kepada pihak
ialah kembali pada titik tolak persepsi para pihak, debitor (Piet Abas, 1972, 296)?
apakah mereka telah memperhitungkan kemung- Iktikad baik dalam hubungan kontraktual,
kinan kondisi yang tidak dapat diperkirakan sebe- tidak hanya mengikat pihak yang berkewajiban
lumnya atau setidak-tidaknya secara diam-diam melaksanakan prestasi (debitor) tetapi juga di
telah memperhitungkan hal demikian. Demikian pihak yang berhak (kreditor). Beranjak dari paham
pula yang perlu diperhatikan adalah apa yang da- iktikad baik yang telah diterima dan dipakai bangsa-
pat diharapkan secara layak dan patut dari dan bangsa di seluruh dunia untuk menunjuk – di bi-
oleh masing-masing pihak, apabila situasi demikian dang hukum privat – kepada norma-norma tidak
terjadi. Di sini makna iktikad baik menjadi pertim- tertulis mengenai keadilan yang hidup dalam
bangan dalam menyadari hakikat tujuan awal di-
masyarakat, para pihak dalam suatu hubungan per-
buatnya perjanjian.
janjian tidak hanya terikat sebatas pada kata-kata
Dalam sistem hukum perjanjian terdapat hu- yang disepakati, tetapi mereka wajib mengindah-
bungan saling menyambung antara force majeure de- kan kepentingan pihak lainnya dengan berpegang
ngan iktikad baik (bona fides) atas terjadinya per- pada nilai kerasionalan dan kepatutan.
ubahan keadaan. Apabila keadaan itu sedemikian
Penjabaran terhadap persoalan hukum ter-
berat berubahnya, maka dihadapkan pada situasi
sebut di atas, yaitu bilamana kejadian-kejadian di-
force majeure. Indikasinya adalah pihak debitor men-
maksud tidak dapat dikualifikasi sebagai force ma-
dapatkan rintangan untuk melaksanakan kewa-
jeure, maka isi perjanjian harus tetap dilaksanakan
jibannya, situasi sedemikian itu menyebabkab de-
sepenuhnya dan kewajiban-kewajiban debitor
bitor tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya.
harus dipenuhi sebagaimana isi muatan perjanjian.
Jadi, titik beratnya diletakkan pada posisi pihak
Terhadap pelaksanaan perjanjian yang tidak meng-
debitor. Adapun bekerjanya asas iktikad baik da-
alami perubahan sedemikian beratnya dan debitor
lam mengendalikan pelaksanaan perjanjian yang
tidak menghadapi rintangan serius yang dapat
berfungsi membatasi ( beperkende werking),
menghentikan pememenuhan kewajiban kontrak-
mempunyai sifat dan akibat yang berbeda. Per-
tualnya, tetapi perubahan yang terjadi membuat
ubahan keadaan yang terjadi setelah perjanjian
beban kewajiban menjadi sangat berat dan tidak
mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan, kadar
rintangan itu timbul dalam ukuran yang tidak seimbang. Kondisi ini menyebabkan salah satu
terlalu berat, sehingga hanya berpengaruh ter- pihak diuntungkan dan pihak lainnya dirugikan,
hadap kemampuan atas pemenuhan prestasi oleh maka pelaksanaan perjanjian dalam keadaan se-
debitor. Hal semacam ini bukanlah merupakan force perti inilah asas iktikad baik harus dipertimbang-
majeure (keadaan memaksa), karena pada debitor kankan oleh para piha (Martijn Willem H., 1999,
tidak terdapat cukup alasan yang membenarkan 270).
untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Namun Berbagai faktor perubahan yang mempenga-
dalam situasi seperti ini, apakah pihak lawan ruhi keadaan ketika perjanjian dibuat dan keadaan
(kreditor) berdasar asas iktikad baik dan kepa- setelah perjanjian dilaksanakan, bertalian dengan
tutan dapat menuntut hak-haknya secara penuh, perjanjian-perjanjian yang pelaksanaannya memer-
sebagaimana yang telah disepakati oleh kedua lukan jangka waktu relatif lama, sehingga para
belah pihak?. Dalam kasus seperti ini fokus per- pihak dalam pembentukan perjanjian seringkali
hatiannya diarahkan kepada pihak kreditor, yaitu tidak mampu memperkirakan kemungkinan yang
layakkah atau patutkah dalam keadaan yang demi - terjadi di kemudian hari. Misalnya, salah satu jenis

|3|
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

perjanjian yang berkarakter demikian adalah per- harapan masa depan yang obyektif, termasuk ter-
janjian konstruksi. Sebagai perjanjian jangka pan- kandung upaya mencegah dirugikannya salah satu
jang dan sifat kompleksitasnya yang tingggi, pihak dalam perjanjian. Berubahnya keadaan ke-
umumnya para pihak kalangan profesi jasa kons- tika perjanjian dilaksanakan, umumnya menyebab-
truksi mempunyai kelaziman membentuk aturan- kan situasi atau keadaan tidak seimbang hanya da-
aturan dengan mencantumkannya klausula-klau- pat ditentukan secara kasuistik atau kasus demi
sula yang dimaksudkan sebagai antisipasi terjadi- kasus. Setelah menetapkan ada atau tidaknya ke-
nya perubahan keadaan, apakah bentuknya sebagai adaan tidak seimbang, selanjutnya dapat diguna-
klausula force majeure, klausula variasi, maupun kan kajian dari sudut pandang ajaran iktikad baik
klausula hardship (Hamid Sahab,, 1; Munir Fuady, (kelayakan dan kepatutan) sebagai norma tidak
1994, 218). tertulis yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
Sekalipun di dalam praktek hukum, baik pen- masyarakat.
cantuman muatan kontrak serta dampak terjadinya Kesulitan para debitor dalam melaksanakan
perubahan keadaan dalam pelaksanaan perjanjian kewajiban kontraktual akibat berubahnya keadaan
telah berkembang sedemikian rupa, tetapi sistem secara fundamental, telah mengubah pula kese-
peraturan perundang-undangan yang mengatur taraan prestasi dan kontra prestasi antara para
tentang perjanjian di Indonesia belum mengantisi- pihak. Apabila faktor ketidak seteraan prestasi dan
pasi dengan peraturan yang lengkap dan jelas, kontra prestasi tersebut yang dijadikan alasan
terutama apabila kemungkinan terjadi sengketa untuk meninjau kembali syarat-syarat perjanjian
menyangkut perubahan keadaan dalam pelaksa- yang telah dibuat, maka menurut kerangka hukum
naan perjanjian yang berakibat terganggunya perjanjian dalam Buku III B.W. yang tidak meng-
keseimbangan kontrak. Berkenaan dengan prinsip anut prinsip iustum pretium, menyebabkan peng-
keseimbangan kontrak dalam perjanjian konstruksi adilan tidak boleh menggunakan Pasal 1338 ayat
yang bersifat timbal-balik, suasana keseimbangan (3) B.W. untuk maksud tersebut (J. Satrio, 2001,
itu pada hakikatnya dapat ditelusuri sejak saat ter- 180-181). Sekalipun hukum perjanjian dalam Buku
jadinya perjanjian dan selanjutnya dilihat keadaan III B.W. tidak memberi jawaban konkrit terhadap
pada pencapaian perjanjian. Tentang penilaian kasus perubahan keadaan, namun secara kon-
keseimbangan kontrak tersebut Herlien Budiono tekstual ada kewajiban hakim untuk menafsirkan
mengatakan: “beranjak dari timbal-baliknya per- dan menggali makna yang terkandung di dalam
janjian maka timbul pertukaran yang adil dari ke- asas-asas di balik aturan itu dengan dibimbing oleh
bendaan, yakni jika prestasi-prestasi absah meru- nuraninya. Deskresi hakim dalam menangani
pakan akibat dari keseimbangan pada cara ter- kasus-kasus konkrit, sudah seharusnya berupaya
bentuknya perjanjian, serta sekaligus mencapai tu- menyelaraskan teks undang-undang agar dalam
juan yang memuaskan para pihak (Herlin Budiono penerapannya senantiasa mengabdi kepada rasa
alih bahasa Tristam P. Moeliono, 2006, 317-3180”. keadilan masyarakat. Sejalan dengan pemikiran ini,
Dari landas pikiran para pihak dapat diketa- Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa tidak ada
hui, bilamanakah pengharapan masa depan bersifat rumusan (undang-undang) yang absulut benar,
obyektif atau justru mengandung pengorbanan lengkap, komprehensif. Penafsiran merupakan
pihak lawan yang berakibat sedemikian, sehingga jembatan untuk mengatasi jurang yang menganga
pengharapan masa depan tersebut tidak berujung antara obyek yang dirumuskan dengan peru-
pada ketidakseimbangan. Artinya, pencapaian ke- musannya (Satjipto Rahardjo dalam Anthon Fredy
adaan seimbang berimplikasi dalam konteks peng- Susanto, 2005, 4).

|4|
Fungsi Keseimbangan Asas Iktikad Baik dalam Perubahan Keadaan pada Pelaksanaan Perjanjian
Ali Imron

Di samping itu beberapa kalangan memper- dardized translation of the Civil Code into English also
tanyakan keberadaan norma-norma hukum per- symbolizes its lack of pungency” (Feronica Taylor,
ikatan yang terumuskan di dalam Buku III B.W., 1999, 279).
yang telah berusia ratusan tahun dan sebagian su- Aturan hukum kontrak di Indonesia ter-
dah out of date, sekalipun diakui pula beberapa hal utama yang masih menggantungkan pada keten-
lainnya masih banyak yang masih dapat diterima. tuan di dalam B.W dan W.v.K., dipandang sudah
Sudikno Mertokusumo yang memandang keber- ketinggalan jaman dan banyak yang tidak cocok
adaan B.W. sebagai bagian dari realitas kehidupan lagi dipakai dalam transaksi bisnis saati ini. Kenya-
hukum di Indonesia, sepanjang pengalaman ini taan ini menyebabkan para pelaku bisnis berusaha
masih relevan dengan menyatakan: “sekalipun menghindari ketentuan yang sudah tidak sesuai
B.W. itu oleh Mahkamah Agung di dalam surat lagi itu dalam menyusun transaksi bisnis yang me-
edaran No. 3 tahun 1963 dinyatakan bersifat ko- reka lakukan. Adanya beberapa ketentuan hukum
lonial, namun pada saat sekarang ini B.W. meru- perjanjian dalam B.W. yang dipandang sudah ter-
pakan hukum Indonesia. Apabila dilihat dalam lalu kuno dalam transaksi bisnis itu, Ferronica
praktek hukum, baik di luar maupun di dalam per- Taylor antara lain menyarankan agar hukum kon-
adilan, maka B.W. terutama buku ketiga masih trak Indonesia yang akan datang, memperhatikan
mempunyai wibawa (authority) dan oleh karena itu prinsip-prinsip Unidroit (Unidroit Principles of In-
masih tetap berlaku. Berlakunya B.W. melalui per- ternational Commercial Contract) dan Uncitral (United
adilan disesuaikan dengan perkembangan masya- Nations Conference on International Trade Law), seba-
rakat. Hukum di dalam B.W. berkembang melalui gaimana yang telah diadopsi ke dalam kontrak
peradilan. Bilamana hakim diberi kebebasan dalam perdagangan Masyarakat Eropa pada tahun 1996
menemukan dan menggali nilai-nilai hukum di da- (Feronica Taylor, 1999, 279). Seiring dengan upaya
lam masyarakat, serta diberi kesempatan untuk pengembangan hukum, khususnya hukum kontrak
mengembangkan daya kreativitasnya, maka tidak di masa yang akan datang tuntutan penggunaan
perlu dirisaukan bahwa B.W. akan berkembang prinsip yang bersifat seragam, bukanlah suatu
bertentangan dengan perkembangan atau kebu- keniscayaan. Prinsip menghormati kontrak ketika
tuhan masyarakat. Di dalam B.W. banyak dijumpai mengalami keadaan sulit – akibat berubahnya ke-
asas-asas yang sifatnya universil” (Sudikno Merto- adaan – telah diterima sebagai bagian dari sistem
kusumo, 1986, 13). hukum perjanjian di berbagai negara di dunia.
Gambaran umum hukum perjanjian di Indo- Sejalan dengan tuntutan era perdagangan bebas
nesia yang masih berlandaskan pada ketentuan berdasarkan WTO dan terwujudnya AFTA, har-
B.W. dan W.v.K, ditengarai kurang sesuai untuk monisasi hukum komersiil – khususnya hukum
perjanjian-perjanjian komersiil yang berkembang kontrak – menjadi bagian tak dapat dihindarkan,
saat ini, seperti dikatakan oleh Ferronica Taylor maka pembaharuan hukum perjanjian di Indone-
sebagai berikut: “The legal rules that govern contract sia harus segera diupayakan.
in Indonesia are found primarily Dutch-style Civil Code
and partially revised Commercial Code, although many
Iktikad Baik dan Perubahan Keadaan
of the Code provisions are now regarded as obsulete or
inappropriate for current commercial transactions. Com- Sehubungan dengan tidak dianutnya prinsip
mercial parties routinely seek to contract out or exclude iustum pretium dalam B.W, maka sebagai konse-
the operation of archaic parts of the Code from there own kuensinya ketentuan Pasal 1338 ayat (3) B.W. tidak
contracts. The fact that there is no authorized or stan- dapat dipakai hakim untuk mengubah atau meng-

|5|
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

hapus hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari penafsiran undang-undang secara lebih bebas, ke-
suatu perjanjian, “yang sejak semula” mengandung mudian sejak tahun 1919 diakui bahwa sebagian
prestasi dan kontra prestasi yang tidak seimbang besar hukum terletak dalam norma-norma tidak
(L.E.H. Rutten, 1975, 236). Logikanya mengapa tertulis yang sederajat dengan undang-undang.
hakim tidak boleh menggunakan Pasal 1338 ayat Bahkan dalam perkembangan terakhir telah timbul
(3) B.W. untuk mengubah isi perjanjian yang dibuat, pandangan bahwa hukum tidak tertulis itu sesung-
karena menurut sistem B.W. yang tidak menuntut guhnya lebih tinggi derajatnya, karena kadangkala
keseimbangan prestasi dan kontra prestasi sebagai dapat membatasi dan menyingkirkan hukum ter-
syarat sahnya suatu perjanjian, akan bertentangan tulis, yaitu apabila hukum tertulis itu dalam suatu
dengan ketentuan Pasal 1320 jo Pasal 1338 ayat (1) keadaan tertentu sama sekali tidak memcerminkan
B.W. bahwa perjanjian sudah sah dan mengikat norma-norma iktikad baik yang hidup dalam
para pihak yang menyetujuinya, apabila telah me- masyarakat (Daniel S. Lev, 1990, 100).
menuhi empat syarat seperti yang ditentukan da- Sehubungan dengan daya kerja iktikad baik
lam Pasal 1320 B.W. tersebut. Di samping itu, per- dalam hukum perjanjian, sebenarnya terfokus pada
janjian yang sudah mengikat itu menurut Pasal pertanyaan: apakah perjanjian itu harus dilaksana-
1338 ayat (3) jo Pasal 1339 B.W. harus dilaksanakan kan sesuai dengan bunyi kata-katanya, jika hal itu
secara patut. dipandang tidak patut berkenaan dengan adanya
Pada sisi lain, – sehubungan dengan adanya perubahan keadaan setelah perjanjian itu dibuat?
ikatan tradisional antara sistem hukum perdata Maka jawabannya adalah tergantung pada adanya
Indonesia dengan hukum Belanda – berpandang- kewenangan hakim untuk mengurangi atau meng-
an, bahwa hukum Belanda modern kini semua hu- hapus hak dan kewajiban yang timbul dalam hu-
bungan hukum keharta-bendaan, baik kontraktual, bungan kontraktual, jika pelaksanaan perjanjian itu
maupun bukan kontraktual dikuasai oleh “iktikad harus selaras dengan iktikad baik, meskipun telah
baik”, yaitu suatu paham yang menunjuk kepada mengalami perubahan keadaan yang tidak dapat
norma-norma tak tertulis dari budi dan kepatutan diperkirakan sebelumnya. Jadi apabila perjanjian
(kewajaran dan keadilan) yang hidup dalam yang mengalami perubahan-perubahan, sedangkan
masyarakat. Hal ini berarti bahwa isi perjanjian- hal itu sudah diperhitungkan oleh para pihak atau
perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum lain secara normal seharusnya sudah diperhitungkan
tersebut dalam keadaan tertentu, dapat ditambah oleh mereka, maka kerugian yang timbul sebagai
dan – bila ada alasan-alasan yang amat penting – akibat dari menjadi tidak imbangnya prestasi-pres-
dapat dibatasi, bahkan disingkirkan atas dasar tasi yang dipertukarkan, sudah sepatutnya harus
iktikad baik (P.L. Wery, 1990, 18). Dilihat dari su- dipikul oleh pihak tertentu itu sendiri karena kela-
dut teori hukum umum (de algemene rechtsleer), per- laiannya. Hakim akan memperhitungkan untuk
kembangan ini berarti telah menunjukkan bahwa meninjau pelaksanaan perjanjian yang mengalami
di Nederland kini pengaruh legisme telah lampau, perubahan itu sesuai dengan bunyi kata-katanya
dan secara definitif ditinggalkan. Aliran legisme atau sebaliknya, kalau kepatutan menghendakinya.
yang mulai berpengaruh di seluruh Eropa dengan Pembatasan tanggung gugat untuk perjanjian
gerakan kodifikasinya pada abad sembilanbelas, - yang mengalami perubahan keadaan pada waktu
dengan pandangannya bahwa hukum hanya ter- dilaksanakan, Pasal 6.2.3. Unidroit Principle of In-
letak dalam undang-undang – kini sudah tidak di- ternational Commercial Contract (UPICCs) memberi-
kuti lagi. Abad keduapuluh adalah abad pembe- kan perumusan sebagai berikut: (1) In case of hard-
basan diri dari aliran legisme. Mula-mula dengan ship the disadvantaged party is entitled to request renego-

|6|
Fungsi Keseimbangan Asas Iktikad Baik dalam Perubahan Keadaan pada Pelaksanaan Perjanjian
Ali Imron

tations. The request shall be made without undue delay syarat baru. Ketiga, para pihak tetap memper-
and shall indicate the grounds on which it is based; (2) tahankan perjanjian yang ada, tetapi mengubah be-
The request for renegotation does not itself entitle the berapa syaratnya yang disebut variation dari per-
disadvantaged party to without performance; (3) Upon janjian aslinya. Jika para pihak gagal mencapai kata
failure to reach agreement within a reasonable time ei- sepakat tentang perubahan perjanjian untuk di-
ther party may resort to the court; (4) If the court find sesuaikan dengan keadaan yang berubah dalam
hardship it may, if reasonable: a. terminate the contract jangka waktu yang layak, mereka dapat mengajuk-
at a date and on terms to be fixed; or b. adapt the con- kan ke pengadilan.
tract with a view to restoring its equilibrium. Dengan demikian dapatlah dijelaskan, secara
Kesulitan yang timbul akibat perubahan ke- konseptual “perubahan keadaan” ini paling tidak
adaan pada pelaksanaan perjanjian menerbitkan harus memenuhi unsur-unsur: pertama: peristiwa
hak bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan yang menimbulkan perubahan itu terjadi atau di-
perundingan ulang, dengan menunjukkan dasar- ketahui setelah ditutupnya perjanjian; kedua: ter-
dasarnya; dan hak untuk mengajukan renegosiasi jadinya peristiwa tidak dapat diukur atau diper-
itu tidak berarti menghentikan pelaksanaan perjan- kirakan secara wajar berdasarkan pengalaman ma-
jian. Jika ternyata para pihak tersebut dalam jangka nusia pada umumnya; ketiga: peristiwa itu terjadi
waktu tertentu tidak berhasil mencapai kata se- di luar kekuasaan atau tidak dapat dihindari oleh
pakat, maka pengadilan setelah dapat membukti- pihak debitor; keempat: peristiwa yang terjadi telah
kan adanya kesulitan (hardship), bisa memutuskan merubah keseimbangan kontrak secara fundamen-
untuk mengakhiri perjanjian untuk jangka waktu tal; kelima: peristiwa itu sangat memberatkan de-
yang pasti atau mengubah isi perjanjian dalam bitor (yang bersangkutan) karena meningkatnya
rangka mengembalikan keseimbangan. Akibat hu- biaya pelaksanaan kontrak; keenam: peristiwa yang
kum atas terjadinya kesulitan (hardship) tersebut menimbulkan kerugian itu bukan merupakan/
tidak diberlakukan, manakala di dalam perjanjian menjadi beban risiko debitor; ketujuh: peristiwa
telah memuat suatu klausul yang memberikan per- yang mengakibatkan perubahan itu terjadi pada
ubahan otomatis atas perjanjian itu. Pada umumnya kontrak jangka panjang. Kedelapan: peristiwa yang
untuk jenis perjanjian tertentu, klausul yang me- memberatkan itu dapat mengena baik sebagian
nentukan indeksasi otomatis dari harga atau nilai maupun seluruh prestasi debitor.
kontrak apabila peristiwa tertentu terjadi, akan di-
kaitkan dengan variasi biaya material maupun te-
Pengembangan Asas Iktikad Baik/Kepatutan
naga kerja. Oleh karena itu, adanya alasan kesulitan
(hardship) yang mengandung perubahan fundamen-
dan Asas Keseimbangan/ Keselarasan dalam
tal keseimbangan dalam perjanjian, harus di luar Perjanjian
alokasi risiko yang menjadi beban pihak yang di- Sebagai suatu asas hukum, iktikad baik meru-
rugikan itu. pakan kewajiban normatif untuk senantiasa di-
Apabila para pihak sepakat untuk mengada- indahkan oleh pihak-pihak dalam setiap perjanjian
kan renegosiasi, maka dapat terjadi beberapa alter- yang diterbitkannya dan iktikad baik sudah harus
natif. Pertama, para pihak dapat menyepakati bah- ada baik pada fase pra kontrak (precontractuele fase),
wa perjanjian yang ada di kesampingkan dan selan- fase pelaksanaan kontrak (contractuele fase), mau-
jutnya dibentuk kesepakatan yang seluruhnya pun fase pasca kontrak (postcontractuele fase) (J.M.
baru. Kedua, para pihak membatalkan syarat-syarat van Dunne, 1986, 12). Lahirnya suatu perjanjian
perjanjian lama dan menggantinya dengan syarat- menerbitkan perikatan hukum baik bagi debitor

|7|
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

maupun kreditor, maka yang melaksanakan dan Pasal 1347 B.W. Ketentuan-ketentuan tersebut,
perjanjian adalah juga kreditor dan debitor. Kre- mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu
ditor dan debitor wajib melaksanakan perjanjian perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak
secara patut, mengingat dalam perjanjian timbal dalam pelaksanaan perjanjian. Walaupun ada ke-
balik, kedua belah pihak secara timbal balik ber- wajiban umum iktikad baik, tetapi semua ke-
kedudukan baik sebagai debitor maupun kreditor, tentuan tersebut tidak menyebutkan atau menen-
maka yang harus melaksanakan kontrak dengan tukan “standar” apa yang harus digunakan untuk
iktikad baik juga kedua belah pihak. Maksudnya menilai iktikad baik tersebut. Sehingga pengguna-
di sini tiada lain adalah bahwa kreditor akan mene- an standar tersebut lebih banyak di dasarkan ke-
rima hak-haknya secara patut, dan tidak menuntut pada sikap pengadilan dan doktrin-doktrin yang
lebih dari apa yang menjadi haknya. Kreditor juga dikembangkan para ahli hukum. Standar bagi
tidak akan membebani debitor dengan biaya-biaya iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian, ten-
tambahan yang lebih daripada yang memang di- tunya adalah standar obyektif. Pengertian tentang
perlukan. Sebaliknya debitor pun harus melaksana- bertindak sesuai dengan iktikad baik menurut hu-
kan kewajibannya dengan baik, tidak akan mem- kum perjanjian, mengacu kepada ketaatan terhadap
buat penagihan menjadi sulit dan berbelit-belit. reasonable commercial standard of fair dealing, yang me-
Meskipun iktikad baik dalam pelaksanaan nurut lembaga pembentuk undang-undang
kontrak telah berkembang lama, tetapi masih Nederland disebut bertindak sesuai dengan
menimbulkan sejumlah permasalahan yang memer- redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini
lukan pemecahan; pertama: berkaitan dengan stan- merupakan iktikad baik dengan standar obyektif,
dar hukum (legal test) yang harus digunakan oleh jika satu pihak bertindak dengan cara tidak masuk
hakim untuk menentukan ada tidaknya iktikad akal dan tidak patut will not be a good defense to say
baik dalam kontrak; kedua: fungsi iktikad baik da- that he honestly believed his conduct to be reasonable an
lam pelaksanaan kontrak (Ridwan Kairandhy, 2004, inequitable (Arthur S. Hartkamp dan Marianne
190-191). Ruang lingkup pengaturan iktikad baik M.M. Tillema, 1993, 48). Ringkasnya maksud dari
dalam berbagai sistem hukum umumnya hanya kalimat “setiap perjanjian harus dilaksanakan de-
mencakup iktikad baik dalam fase pelaksanaan ngan iktikad baik”, adalah bahwa perjanjian harus
kontrak, sebagaimana bunyi Pasal 1338 ayat (3) dilaksanakan secara patut. Hoge Raad dalam kasus
B.W. yang mengadopsi Pasal 1134 ayat (3) Code Artist de Labourer Arrest secara tegas menyatakan,
Civil Prancis bahwa perjanjian harus dilaksanakan bahwa memperhatikan iktikad baik dalam pe-
dengan iktikad baik. Isi pasal ini mengacu pada laksanaan kontrak, tidak lain adalah menafsirkan
konteks iktikad baik (bonne foi) dalam stricti iuris, kontrak menurut ukuran kerasionalan dan kepa-
bahwa para pihak terikat secara ketat pada apa tutan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hoge
yang secara tegas telah dinyatakan dalam perjan- Raad menyamakan iktikad baik dengan kepatutan
jian dan sekaligus juga terikat pada negotia bona (J. Satrio, 2001,177). Dengan perkataan lain, istilah
fides, yang menekankan bahwa para pihak juga ter- iktikad baik dalam perjanjian digunakan sebagai
ikat kepada apa yang menurut kepatutan menuntut sinonim dari konsep redelijkheid en billijkheid. Kepa-
pihak-pihak untuk melaksanakannya walaupun tutan merupakan sejumlah perbuatan yang telah
tidak secara tegas mereka perjanjian. Menurut ke- diterima sebagai patut, merupakan suatu penger-
tentuan yang terakhir ini, hakim dengan dasar ke- tian yang menunjuk kepada alam kesusilaan dan
patutan dapat memperluas dan mengurangi ke- seketika pula kepada pikiran yang sehat, yang ditu-
wajiban para pihak dalam perjanjian yang bersang- jukan kepada penilaian atas sesuatu kejadian, baik
kutan, dengan berpedoman pada Pasal 1339 B.W. dalam bentuknya sebagai perbuatan maupun

|8|
Fungsi Keseimbangan Asas Iktikad Baik dalam Perubahan Keadaan pada Pelaksanaan Perjanjian
Ali Imron

keadaan (J. Satrio, 2001, 50). Sebagai pengertian Secara garis besar suatu perjanjian terkandung
yang demikian, kepatutan berisi unsur-unsur yang tujuan utama, yang dapat diuraikan sebagai
berasal dari alam susila yaitu unsur-unsur nilai- berikut: pertama: tujuan dari suatu kontrak ialah
nilai baik-buruk. Selain itu juga mengandung memaksakan suatu janji dan melindungi harapan
unsur-unsur akal yang sehat, yaitu perhitungan- wajar yang muncul darinya; kedua: ialah mencegah
perhitungan yang menurut hukum akal dapat upaya memperkaya diri yang dilakukan secara
diterima. tidak adil atau tidak benar; ketiga: kontrak diran-
Asas kepatutan tersebut sebenarnya tidak cang untuk mencegah berbagai macam kerugian,
jauh berbeda dengan pandangan masyarakat khususnya kerugian dari segi ekonomis (P.S.
Romawi, bahwa hubungan hukum harus dilandasi Atiyah, 1995, 35). Di samping tiga tujuan yang dise-
oleh hubungan fiduciae (fiduciary relationship) dengan but di muka, Herlien Budiono melengkapi dengan
stadar perilaku yang mendasarkan dirinya pada tujuan esensial lain, yakni yang diturunkan dari
nilai-nilai etika masyarakat. P.L. Wery menerje- asas laras atau harmoni di dalam hukum adat, yaitu
mahkan makna iktikad baik (menurut standar tujuan keempat: dari suatu perjanjian adalah men-
obyektif) berkaitan dengan putusan Hoge Raad capai keseimbangan antara kepentingan sendiri
tanggal 9 Pebruari 1923 yang berbunyi “volgens de dan kepentingan terkait dari pihak lawan (Herlien
eisen van redelijkheid en billijkheid”, dengan arti: Budiono, 2006, 310). Apabila digali substansi yang
“menurut syarat-syarat dari budi dan kepatutan”. terkandung di dalamnya: tujuan fundamental per-
Redelijkheid ialah yang berarti dengan intelek, de- tama dari suatu perjanjian diturunkan dari janji
ngan akal sehat, dengan budi (reasonable). Sedang- dengan fungsi mewajibkan, yang memberi kon-
kan billijk, ialah yang dapat dirasakan sebagai sekuensi dalam hukum kontrak untuk membebani
sopan, sebagai patut dan adil. Di sini bukan nalar diri atau sebagai self impose. Melalui asas inilah tuju-
yang penting tetapi perasaan, jadi rumus menurut an pertama dari kontrak menemukan bentuk
“redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat kekuatan mengikatnya. Tujuan kedua dan ketiga
ditangkap, baik dengan nalar maupun dengan menegaskan syarat penggabungan community val-
perasaan (P.L. Wery, 1990, 9). Makna itu relevan ues, yakni dari keadilan (rechtvaardigheid) dengan
dengan pandangan hukum Adat tentang per- kepatutan (betamelijkheid) atau menurut pandangan
kataan “patut”. Karena “patut” merupakan suatu hukum adat diterima sebagai “patut”, yaitu se-
yang memuat nilai-nilai susila dan sekaligus pula bagai pengertian yang menunjuk kepada alam ke-
mengindahkan tuntutan akal yang sehat, maka susilaan dan seketika pula kepada pikiran yang
baik-buruk yang ditetapkan sebagai patut mem- sehat, yang ditujukan kepada penilaian atas sesuatu
punyai pelbagai graduasi. Di sini ditunjukkan kejadian baik dalam bentuknya sebagai perbuatan
bagaimana dalam suatu hal kemungkinan melak- maupun keadaan (Moh. Koesnoe, 1979, 50).
sanakan nilai kepatutan dengan melihat segala hal Hal ini berarti bahwa kata “keseimbangan”,
yang mengelilingi persoalan secara akal sehat. pada satu sisi dibatasi oleh kehendak (yang diter-
Sehubungan dengan adanya peranan yang menen- bitkan oleh pertimbangan atau keadaan yang me-
tukan dari faktor akal sehat, tidak jarang terhadap nguntungkan), dan pada sisi lain oleh keyakinan
asas kepatutan digunakan sebutan seperti layak (akan kemampuan untuk) mengejawantah pada
atau kelayakan. Dalam hal “patut” disebut sebagai hasil atau akibat yang dikehendaki; dalam batasan
“layak”, maka tekanan dalam keadaan ini dibe- kedua sisi itu tercapailah keseimbangan yang dapat
rikan pada perimbangan antara tuntutan susila dan dimaknai positif. Dalam atau melalui suatu janji,
akal sehat. seseorang secara kejiwaan (psyche) menempatkan

|9|
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

dirinya dalam suatu situasi dengan keyakinan bahwa keseimbangan. Asas keseimbangan di samping
“sebagai akibat dari kondisi yang menguntungkan” harus memiliki karakteristik tertentu, juga harus
secara nalar akan dapat diupayakan akibat yang secara konsisten terarah pada kebenaran logikal
memang dikehendaki. Tentu kehendak dan keya- dan secara memadai bersifat konkrit. Berdasarkan
kinan tersebut harus dialami sebagai sesuatu yang pertimbangan ini berkembang gagasan bahwa asas
memang layak atau nalar. Jika sebaliknya sese- keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang
orang membayangkan kondisi yang “tidak layak layak atau adil dan, selanjutnya diterima sebagai
atau tidak masuk akal”, risiko yang muncul ialah landasan keterikatan yuridis di dalam hukum kon-
kekecewaan bagi pihak yang memiliki bayangan trak Indonesia (Herlien Budiono, 2006, 309).
tidak masuk akal tersebut. Semua ini mengan- Hakikat isi keadilan dalam suatu perjanjian
tarkan kepada hal yang menyangkut keterikatan bertimbal-balik dimaksud, kualitas prestasi yang
kontraktual yang layak dibenarkan (gerechtvaardige). diperjanjikan – seyogyanya ditempatkan dalam
Sekaligus hal ini berarti bahwa janji antara para konteks penilaian subyektif dari para pihak –
pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang kemudian dijustifikasi oleh tertib hukum. Tim-
dilandasi pada asas adanya keseimbangan hu- bulnya “perubahan keadaan” yang mengubah
bungan antara kepentingan perseorangan dan ke- kesetaraan prestasi dapat mempengaruhi cakupan
pentingan umum, atau adanya keseimbangan muatan isi maupun maksud dan tujuan perjanjian.
antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana Karena kontrak yang mengejawantah kepada mak-
masing-masing pihak mengharapkannya (Moh. sud dan tujuan itu, terkandung harapan bagi yang
Koesnoe, 1979, 50). membuatnya akan terciptanya keadaan yang lebih
Herlien Bodiono (2006, 322-323) selanjutnya baik. Pengharapan yang tidak terwujud karena
menegaskan: “asas keseimbangan merupakan prin- munculnya “keadaan yang berubah” menyebabkan
sip yang tidak bernama. Semangat atau jiwa kese- kepentingan saling berbenturan, membuat kese-
imbangan itu dapat dikenali dari kesusilaan ( de imbangan prestasi para pihak menjadi terganggu.
goede zeden), konstruksi iktikad baik (goede-trouw Kelayakan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid)
constructie), kewajaran dan kepatutan (redelijkheid akan ikut mempengaruhi cara terbaik yang
en billijkheid), penyalahgunaan keadaan (misbruik digunakan, sepanjang hal itu sejalan dengan
van omstandigheden), dan iustum pretium, seba- penanganan kepentingan pihak yang dirugikan se-
gaimana juga sepatutnya melandasi keputusan- cara memadai. Di dalam asas keseimbangan sudah
keputusan maupun ketetapan pengadilan. Jika ha- terkandung “kewajiban melakukan negosiasi
kim mengetahui adanya penyimpangan yang ter- ulang” yang semula dibebankan kepada para pihak.
lalu jauh tatkala menguji perjanjian terhadap ke- Karena yang paling utama, asas kesimbangan di-
pentingan umum atau terhadap kepentingan salah tujukan kepada para pihak sendiri untuk dan me-
satu pihak yang berkehendak mempertahankan lalui perjanjian, menemukan sendiri pengaturan
perjanjian, konsekuensi dari putusan hakim harus yang menguntungkan kedua belah pihak, apabila
diterima semua pihak”. dalam pelaksanaan perjanjian ternyata mengalami
Sementara pihak menengarai adanya keter- perubahan fundamental dan mengakibatkan suatu
ikatan secara yuridis yang layak dan adil dalam keadaan tidak seimbang.
hukum kontrak Indonesia, mendasarkan kriterium Negosiasi ulang adalah salah satu tahap yang
dengan memilah fakta atau kondisi yang mener- mendahului penyesuaian perjanjian dan pilihan
bitkan perikatan hukum yang pada gilirannya cara penyesuaian atau pembatalan, dimaksudkan
dapat dinilai serta diuji berkenaan dengan asas sebagai upaya pemulihan keseimbangan. Negosiasi

| 10 |
Fungsi Keseimbangan Asas Iktikad Baik dalam Perubahan Keadaan pada Pelaksanaan Perjanjian
Ali Imron

ulang itu pada hakikatnya mendorong para pihak yang berarti menunjuk kepada berlakunya hukum
untuk memberikan muatan isi yang baru terhadap tidak tertulis. Para ahli hukum memandang kenya-
perjanjian. Dalam hal ini diharapkan para pihak taan ini sebagai telah terjadi konvergensi antara
dapat aktif mengajukan usulan konkrit, seperti hal- makna iktikad baik yang diamahkan Pasal 1338 ayat
nya ketika mereka berunding. Seyogyanya para (3) B.W., dengan Asas-asas kerja dalam Hukum
pihak sendiri yang menetapkan persoalam apa yang Adat yaitu “asas patut”, “asas rukun” dan “asas
menjadi kekurangan atau kerugian. Kemudian laras” yang berintikan pada “asas keseimbangan”.
mitra janji lainnya dapat mengajukan usulan dalam Penggunaan asas-asas ini dalam praktek peradilan
rangka mengubah akibat hukum sedemikian rupa, terutama diterapkan pada kasus-kasus pelaksanaan
sehingga kerugian dapat ditekan seminimal mung- perjanjian yang mengalami “kesulitan” akibat
kin atau bahkan dihapus. perubahan keadaan yang bersifat fundamental.

Kesimpulan Daftar Pustaka


Ajaran perubahan keadaan dalam sistem hu- A.Pitlo, 1994, “Perkembangan Sistem Tertutup ke Sistem
kum perjanjian di Indonesia mempunyai ikatan tra- Terbuka Tentang Perikatan pada Peradilan di Hoge
Raad Tahun 1972”, Bahan Penataran
disional dengan sejarah terbentuknya hukum Perbandingan Kontrak Bisnis, Kerjasama Fakultas
Romawi, yang menjadi bahan pembentukan kode Hukum Universitas Kristen Satya Wacana - Vrije
civil Prancis dan B.W. yang tidak mengenal asas Universiteit Amsterdam, diterjemahkan: Sudikno
iustum pretium.. Klausula perubahan keadaan seka- Mertokusumo, 3 Januari - 4 Februari.
lipun tidak diatur di dalam perangkat aturan Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, 1993,
umum, namun telah berkembang dalam praktek “Contract Law in the Netherlands”, Kluwer,
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Deventer.
Pengakuan lembaga perubahan keadaan dalam C. Asser’s, 1991, “Pengkajian Hukum Perdata Belanda”,
doktrin maupun yurisprudensi, seiring berkem- diterjemahkan oleh Sulaiman Binol, Penerbit Dian
bangnya ajaran iktikad baik yang mengarah pada Rakyat, Jakarta.
perlindungan kepentingan para pihak dalam hu- Daniel S. Lev, 1990, “Hukum dan Politik di Indonesia”,
bungan kontraktual secara seimbang. Asas ke- LP3ES, Jakarta.
seimbangan yang pada hakikatnya juga norma
Eric A.Posner, 1995, “Contract Law in the Wellfare State: A
umum kepatutan, hendak mempertimbangkan un- Defense of the Unconscionability Doctrine, Usury Law,
sur kepentingan para pihak. Betolak dari asas itu, and Related Limitation on the Freedom to Contract”,
maka dasar kekuatan mengikatnya perjanjian, tidak Journal of Legal Studies, Volume XXIV, Juny.
saja terbatas tentang apa yang mereka sepakati ber-
Ferronica Taylor, 1999, “Indonesia Law and Society, The
sama, tetapi juga tentang apa yang secara patut Transformation of Indonesian Commercial Contracts
menurut pandangan masyarakat. and Legal Advise”, The Federation Press, Sydney.
Iktikad baik yang merupakan sumber atau Herlien Budiono, 2006, “Asas Keseimbangan bagi Hukum
jiwa asas keseimbangan, berperan sebagai ukuran Perjanjian Indonesia”,alih bahasa: Tristam P.
keadilan dalam memulihkan hubungan kontraktual Moeliono, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
yang timpang, akibat mengalami perubahan ke- Hamid Shahab, tanpa tahun, “Aspek Hukum dalam
adaan pada pelaksanaannya. Perkembangan ajaran Sengketa Bidang Konstruksi”, Penerbit Jambatan,
iktikad baik standar obyektif, di dalam doktrin Jakarta.
diformulasikan sebagai “rasionalitas” dan “kepatutan”

| 11 |
Jurnal Cakrawala Hukum
Vol.18, No.1 Juni 2013: 1–12

J.M. van Dunne, 1986, “Verbintenissenrecht in Ontwikkeling, Moh. Koesnoe, 1979, “Catatan-catatan Terhadap Hukum
op de Grezen van geldend en wordend recht”, Supple- Adat Dewasa Ini”, Airlangga University Press,
ment 1986, Kluwer, Deventer. Surabaya.

J. Satrio, 2001, “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Piet Abas, 1972, “Beperkende Werking van de Goedetrouw”,
Perjanjian-Buku II”, Cetakan ke II, PT. Citra Aditya Disertasi, Kluwer-Deventer, Amsterdam.
bakti, Bandung.
P.L. Wery, 1990, “Perkembangan Hukum Tentang Iktikad
L.E.H. Rutten, 1975, “Serie Asser, Handleiding Tot De Baik Di Nederland”, Percetakan Negara RI, Jakarta.
Beofening van het Nederlandsch Burgelijk Recht,
Verbintenissenrecht, Algemene Leer Der Ridwan Khairandy, 2004, “Iktikad Baik dalam Kebebasan
Overeenkomsten”, cetakan keempat, Tjeenk-Will- Berkontrak”, Program Pascasarjana – Fakultas
ing, Zwolle. Hukum – Universitas Indonesia, Jakarta.

Martijn Willem Hesselink, 1999, “De Redelijkheid en Sudikno Mertokusumo, 1986, “Bunga Rampai Ilmu
Billijkheid in het Europese Privaatrecht”, Kluwer – Hukum, B.W dalam Praktek Peradilan”, Liberty,
Deventer. Yogyakarta.

Munir Fuady, 1994, “Hukum Bisnis Buku I, Bab V Hukum


tentang Kontrak Konstruksi” PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.

| 12 |

Anda mungkin juga menyukai