Anda di halaman 1dari 17

Kaidah Cabang Al-umuru bi Maqosidiha dan Penerapannya

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada


Mata kuliah : Qawaid Fiqiyah
Dosen Pengampu :
Nilna Fauza, M.HI

Disusun Oleh : Kelompok 2 (kelas J)


Hafidhotut Tarbiyyah 932103013
Fajriatus Tsuroiyya

932103713

Nurul Choiriyah

932103913

Dody Utomo

932113114

JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


(STAIN) KEDIRI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha merupakan salah
satu daripada kaedah yang digunakan oleh para Fukaha
dalam dalam Qawaid Fiqhiyyah. Jadi kaidah ini bolehlah
ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari segi bahasa dan
istilah.

Pengertian

kaedah

dari

segi

bahasa

boleh

membawa maksud asas manakala menurut istilah pula


bermaksud perkara yang dipraktikkan daripada masalah
atau

perkara

pokok

kemudian

dipraktikkan

terhadap

perkara-perkara furu atau pecahan.


Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang
kaidah fiqih yang pertama, yaitu ( al-Umuru
bi Maqasidiha). Kaidah ini membahas tentang kedudukan
niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang
melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah
dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya.
Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung
orang lain.

B. Rumusan Masalah
1. Apa makna al-Umuru bi maqasidiha ?
2. Apa dalil al-Umuru bi maqasidiha ?
3. Apa cabang-cabang dari al-umuru bi maqosidiha dan
bagaimana penerapannya ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna kaidah

Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi


maqashidiha terbentuk dari dua unsur yakni lafadz alumuru dan al- maqashid terbentuk dari lafadz al-amru dan
al-maqshod. Secara etimologi lafadz al-umuru merupakan
bentuk

dari

lafadz

al-amru

yang

berarti

keadaan,

kebutuhan, peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini


lafadz

al-umuru

bi

maqashidiha

diartikan

sebagai

perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut


terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik
ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara
sesuai dengan maksud dari pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak
dari maqshad, dan maqsad mashdar mimi dari fiil
qashada,

dapat

dikatakan:

qashada-yaqshidu-qashdan-

wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama,


beberapa arti alqashdu adalah alitimad berpegang teguh,
al amma, condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Makna Niat, Kata niat ( ) (dengan tasydid pada
huruf ya adalah bentuk mashdar dari kata kerja nawaayanwii. Inilah yang masyhur di kalangan ahli bahasa. Ada
pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa tasydid
menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa
makna niat tidak keluar dari makna literar linguistiknya,
yaitu maksud atau kesengajaan.Sementara Ibnu Abidin
menyatakan niat secara bahasa berarti, kemantapan hati
terhadap

sesuatu,

sedangkan

menurut

istilah

berarti

mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada


Allah dalam mewujudkan tindakan.

Kaidah

pertama

ini

(al-umuru

bi

maqasidiha)

menegaskan bahwa semua urusan sesuai dengan maksud


pelakunya kaidah itu berbunyi: ( segala
perkara tergantung kepada niatnya). Niat sangat penting
dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan
seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu
dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan
perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat
karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.1
Pengertian

kaidah

ini

bahwa

hukum

yang

berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari


perbuatan

atau

perkataan

subjek

hukum

(mukallaf)

tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.


Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkaraperkara hukum yang dilarang dalam syariat Islam. sebagai
tambahan penjelasan perlu kami tegaskan, bahwa apabila
tindakan seseorang meninggalkan hal-hal yang terlarang
dilakukannya

dengan

segala

ketundukan

karena

ada

larangan yang berlaku dalam ketetapan syara maka


tindakan tersebut memperoleh pahala. Namun apabila
tindakan tersebut berkaitan dengan tabiat atau perasaan
jijik terhdap sesuatu yang ditinggalkan tersebut tanpa
memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai
1 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya Ulumi ad-Diin,
(Jakarta: Hidayah, 1996), Jilid 4,351

sebagai perkara biasa dan tabiat manusiawi yang tak


beroleh pahala.
Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya
rukhshah (dispensasi hukum) status hukumnya adalah
haram. Dalam hal ini, terdapat nash syara yang dengan
tegas mengharamkan konsumsi bangkai dan melarang
tindakan

tersebut.

Sehingga

apabila

melanggar

akan

memperoleh hukuman dunia dan akhirat. Nash tersebut


adalah

firman

Allah

SWT

Diharamkan

bagimu

(memakan) bangkai, darah, daging babi dan seterusnya.


Apabila seorang mencegah diri untuk tidak melakukan
tindakan tersebut (konsumsi bangkai) dengan harapan
bahwa ia berpegang teguh pada nash dan menerapkan
ketentuan yang berlaku di dalamnya maka tindakan ini
memperoleh

ganjaran

dari

Allah

SWT

dan

pelaku

mendapatkan pahala kebaikan yangditambahkan pada


daftar

pahala-pahala

kebaikannya

disisiNya.

Berbeda

halnya apabila seseorang tidak memakan bangkai karena


faktor psikologis didalam diri merasa jijik atau tidak suka
terhadap

bangkai,

tanpa

memandang

nash

yang

mengharamkannya atau dengan bahasa lain seseorang


pasti akan memakannya seandainya tidak merasa jijik
maka tindakan tersebut tidak berpahala sama sekali.2
B. Dalil


Ayat al-Quran dan hadis yang menjelaskan tentang

kaidah, berikut ini :


1. Q.S Al Bayyinah ayat: 5

2 Nasher Farid M Wasil. Al-Qowaid Fiqhiyyah .(Jakarta: Amzah , 2009)hlm 6-7















(





Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan
untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas.
2. Q.S Ali Imron ayat: 145

Artinya:barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya


Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang
)siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula
kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan memberi
Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
3. Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang
penting peran maksud dan tujuan seseorang
dalam melakukan suatu perbuatan seperti berikut:




.






:


















( .






(

(
Artinya: Dari Amirul Muminin, Abi Hafs Umar bin Al
Khottob

radiallahuanhu,

mendengar Rasulullah
setiap

dia

berkata:

bersabda : Sesungguhnya

perbuatan itu (tergantung) niatnya.

sesungguhnya

Saya

setiap

orang

Dan
(akan

dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa


yang

hijrahnya

karena

(ingin

mendapatkan

keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya


kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya
atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.3
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al
Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kita
Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah dikarang).

(
Artinya: Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang
tidak disertai niat. (HR. Anas Ibn Malik ra.)


3 Mashum Zainy Al-Hasimy, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah
( Jombang : Darul Hikmah , 2010)hlm 26

Artinya: Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan


menurut niatnya. (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah
ra.)
Dari kaidah ini kemudian dikembangkan kaidah fikih
lain seperti al-ibrah fi al uqud bi al-maqashid wa anniyyat(yang menjadi patokan dalam transaksi adalah
tujuan niat).

(

Artinya: "Barangsiapa berperang dengan maksud
meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan
Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa).



Artinya: "Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan
shalat

malam,

kemudian

dia

ketiduran

sampai

subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan


niatnya" (HR. al-Nasi dari Abu Zr).4

4 Ibid, hlm 26-27

C. Kaidah

Cabang

dan

Penerapannya
Adapun kaidah cabangnya sebagai berikut:

(


Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk
membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang
bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah (jika
dilakukan tanpa niat,ibadah tersebut tidak sah karena niat
merupakan rukun) maupun ibadah yang ammah (jika
dilakukan
perbuatan

tanpa

menyertakan

keduniaan

niat

semata

tidak

beribadah

maka

mendatangkan

pahala).5






(


Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.
Misalkan, apabila ada seseorang yang mengalami
musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada
semua orang akan membantu orang tersebut untuk dibawa
ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun
kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita
langsung

memberikan

kuitansi

pembayaran

kepada

keluarga orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh


karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan
yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan
menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin
membantu, tetapi hanya ingin membangun citra baik di
mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
5 Suyatno.Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.(Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media,2011)hlm 234













Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di
hati, yang dijadikan pegangan adalah yang didalam hati
Sebagai contoh, apabila hati niat wudhu, sedang
yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan,
maka wudnya tetap sah.




(





(


Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat
wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan.
Contohnya, yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat
untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan
tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan
shalat.6












(
Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat,
kecuali ibadah haji dan umrah.
Berdasarkan kaidah di atas, dapat diambil contoh
sebagai berikut, yaitu seseorang berniat melakukan mandi
wajib kemudian orang tersebut ingin berwudhu dengan
menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi wajib,
maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua
kewajiban tidak boleh dengan satu niat saja.

6 A.Djazuli.Kaidah-kaidah fikih.(Jakarta: Kencana,2007, Ed.1.Cet.ke2)hlm 38-42

Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah


dari yang asal karena semata-mata niat
Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu
raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid,
maka batal shalat zuhurnya. Contoh lain misalnya jika kita
berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum
selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada
siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak
jadi

membayar

hutang

puasa

dan

ingin

hanya

melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu


tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk
dilaksanakan.

Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang


mengatakannya.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian
bahwa ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak,
tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa
maksud dari perkataannya tersebut.
Contohnya seperti jika kita memanggil seseorang
dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang
bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya
dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok
orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka
dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak
tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah
hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar
bercanda.

Dalam hal lain misalnya,maksud kata-kata seperti


talak, hibah, naar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus
dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata
tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah maksudnya
itu zakat, atau sedekah,apakah shalat itu maksudnya
shalat fardhu atau shalat sunnah.

(






Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus
yang digunakan, yaitu wallahi atau demi Allah saya
bersumpah bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus
diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan
sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan
tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus
ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus
mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.

Contohnya seperti apabila seseorang itu berkata


bahwa, demi Allah saya akan memberikan sedikit rezeki
kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya
mendapat rezeki lebih. Dan sumpahnya itu disaksikan oleh
orang lain, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia
bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada
orang yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki
lebih dari biasanya.

Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan


semata-mata kata-kata dan ungkapannya.
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya
hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta
uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah,
tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan
hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala
akibatnya.7




(sesuatu yang disyaratkan {diharuskan} untuk ditentukan,
kesalahan pada penentuan menjadikan sesuatu itu batal).
Misalnya, orang yang melaksanakan sholat dhuhur,
tetapi ia keliru niat sholat ashar maka sholatnya tidak sah.
Sehingga dalam kasus ini menentukan bahwa sholat
dhuhur adalah keharusan bagi sahnya ibadah tersebut.




(Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis
besar, jika di dalam pelaksanaannya ditentukan secara
rinci, jika salah dalam penentuan berakibat fatal).
Misalnya, orang yang niat melaksanakan sholat
jenazah laki-laki, tetapi ternyata jenazahnya perempuan,
maka sholatnya tidak sah. Dalam hal ini menentukan jika
sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.

7 Firdaus.Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.(Padang: IAIN Press,2010)hlm 53-58


(Sesuatu yang tidak di syaratkan untuk menyebutkannya,
baik secara garis besar, maupun secara detail, jika
disebutkan dan ternyata salah, maka tidak membawa
kerusakan).
Misalnya orang yang niat sholat ashar di Mesir,
ternyata ia berada di Irak, shalatnya tetap sah. Dalam hal
ini menentukan tempat sholat tidak dipersyaratkan sama
sekali, baik secara garis besar maupun detail.8

8 Suwarjin. Ushul Fiqh .(Yogyakarta: Teras, 2012)hlm 215-216

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa hukum

Pengertian kaidah

yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari


)(mukallaf

hukum

subjek

perkataan

atau

perbuatan

tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.


Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkaraperkara hukum yang dilarang dalam syariat Islam.
Ada 12 kaidah cabang Al-Umuru bi Maqasidiha
diantaranya sebagai berikut :

(







(




(





(



(











(

DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali.1996. Ihya


Ulumi ad-Diin. Jakarta: Hidayah.
A.Djazuli.2007. Kaidah-kaidah fikih.Jakarta: Kencana Ed.1.Cet.ke2.
Firdaus.2010. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.Padang: IAIN Press.
Mashum Zainy Al-Hasimy.2010. Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul
Bahiyyah .Jombang : Darul Hikmah.
Nasher Farid M Wasil.2009. Al-Qowaid Fiqhiyyah .Jakarta: Amzah.
Suwarjin.2012. Ushul Fiqh .Yogyakarta: Teras.
Suyatno.2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.

Anda mungkin juga menyukai