Anda di halaman 1dari 18

M a k a l a h

KAIDAH KULLIYAH KUBRO PERTAMA


AL-UMURU BIMAQOSHIDIHA

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas Mandiri


Dalam mata kuliah Qowaidhul Fiqhiyah

Dosen: Ani Nurul Imtihanah

Oleh

DIANA NUR SENA WATI


NPM. 1602100107

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI S.I PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)


METRO-LAMPUNG
1439 H / 2018 M

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk
pembuatan makalah dalam upaya untuk memenuhi Syarat dalam Mata Kuliah
Qowaidhul Fiqhiyah.

Dalam penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk memenuhi tugas


yang diberikan Dosen. Dan dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk
sederhana, sekali mengingat keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga
semua yang ditulis masih sangat jauh dari sempurna.

Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya


makalah ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen,
apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan
saran-sarannya yang sifatnya membangun tentunya.

Metro, Februari 2018


Ttd.

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2

A. Pengertian Niat ...................................................................... 2


B. Kaidah Niat dan Landasan Hukumnya ................................. 3
C. Obyek Pembahasan Kaidah Niat dan Fungsinya .................. 5
D. Penentuan Obyek Niat (Ta’yin al -Niyyat)............................ 6
E. Waktu Pelaksanaan Niat ....................................................... 9
F. Tempat Pelaksanaan Niat ...................................................... 10
G. Status Niat (Rukun dan Syarat) ............................................. 11
H. Niat Dalam Ibadah dan Bukan Ibadah .................................. 11

BAB III KESIMPULAN ......................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Niat merupakan titik tolak dalam segala amal perbuatan. Ia menjadi


ukuran yang menentukan tentang baik dan buruknya sesuatu perkataan atau
perbuatan Fungsi dan peranan niat itu sangat penting, sehingga sebagian ulama
salaf mengatakan: “Kerap kali amal yang kecil menjadi besar karena baik
niatnya, dan kerap kali pula amal yang besar menjadi kecil karena salah niatnya”
Niat, iradah atau qashad ialah dorongan yang tumbuh dalam hati manusia,
yang menggerakkan untuk melaksanakan amal perbuatan atau ucapan. Adapun
kedudukan niat akan dibahas dalan bab pembahasan.
Umar bin al-Khatthab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
bahwa Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat dan
sesungguhnya masing-masing orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” Jadi
pada intinya setiap niat yang baik pasti menghasilkan perbuatan yang baik pula
dan sebaliknya, setiap niat yang buruk akan menghasilkan perbuatan yang buruk
pula.
Sedangkan apabila seseorang melaksanakan amal perbuatan janganlah ia
sertakan dalam niatnya untuk selain Allah karena hal itu akan menjadi amal
perbuatan yang sia-sia, dan inilah yang dimaksud riya’ yang mana harus dijauhi
oleh seseorang ketika amalnya ingin diterima di sisi Allah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Niat
Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan
kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah didalam hati,
bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara
otomatis tertanam didalam hatinya. Aspek niat itu ada 3 hal :
1. Diyakini dalam hati.
2. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu
orang lain atau bahkan menjadi riya).
3. Dilakukan dengan amal perbuatan.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau
Muslim itu tidak hanya 'bicara saja' karena dengan berniat berati bersatu
padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu
tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu’ dan tawadhu’, ucapan yang baik
dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-
gesa serta cermat. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila
yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang
munafik.
Niat juga merupakan pancaran hati yang mengalir sesuai pertolongan
Allah. Niat adakalanya mudah dan adakalanya sulit dilakukan. Namun niat
biasanya memang mudah dilakukan oleh orang yang hatinya cenderung pada
agama, bukan dunia. Pembagian Manusia karena Niat:
a. Melakukan ketaatan karena motif takut kepada Allah.
b. Malakukan ketaatan karena motif mengharap rahmat allah.
c. Melakukan ketaatan dengan niat mengagungkan Allah karena Hak-Nya
untuk ditaatai dan diibadahi.tingkatan ini lebih tinggi dari dua tingkatan
sebelumnya.

2
Hal ini sulit dilakukan oleh orang yang cinta dunia. Inilah niat yang
paling mulia dan tinggi. Sedikit sekali orang yang memahaminya. Apalagi
mampu melakukanya. Pemilik tingkatan ini selalu berzikir kepada Allah dan
merenungi keagungan-Nya karena cinta. Barang siapa yang hatinya dikuasai
oleh niat maka boleh jadi ia sulit berpaling pada lainya. Barang siapa yang
menghadirkan niat dalam amalan mubah dan tidak menghadirkan niat dalam
amal keutamaan maka yang mubah lebih utama dan yang utama akan beralih
menjadi mubah. Misalnya, menghadirkan niat pada saat makan guna
menguatkan tubuh untuk beribadah dan mengistirahatkan badan. Ketika itu
dalam hatinya tidak terbesit niat untuk shalat dan puasa. Dalam kondisi seperti
ini makan dan tidur lebih baik baginya. Bahkan seandainya dia bosan
beribadah karena seringkali melakukanya dan ia tahu bahwa andainya ia rehat
sejenak ia dengan amalan mubah maka kondisi badanya akan kembali segar.
Dalam kondisi seperti, rehat sejenak lebih baik daripada ibadah.

B. Kaidah Niat dan Landasan Hukumnya


1. Kaidah Niat

ِ َ‫اَ اْلَ ُم او ُر بِ َمق‬


‫اص ِدهَا‬
Artinya : Segala sesuatu itu bergantung pada tujuannya.
Niat memiliki posisi penting kaerna ia sebagai penentu segala
gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau
tidak.
Maksudnya adalah niat yang terkandung di dalam hati seseorang
saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai
dan status hukum amal amaliyah yang telah dilakukan, baik yang
berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.1
Dengan demikian setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika
tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu niat

1
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Malang: Uin-Maliki Press, 2010), hlm.
25

3
memiliki posisi yang sangat penting, sebab sebagai penentu segala gerak,
tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.

2. Landasan Hukum Kaidah Niat


a. QS. Al -Bayyinah 5 dan QS Ali Imran 145.
  
 
  
 
 
  
  
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS.
Al-Bayyinah: 5)
   
   
   
  
  
  
  
 

Artinya: sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya
pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat,
Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali
Imron; 145)

b. Hadist

4
ُ‫صلَّى للا‬ َ ِ‫س او ُل للا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ب قَا َل‬ ِ ‫َطا‬ َّ ‫ع َم َر ب ِان الخ‬ ُ ‫ع ان‬ َ
:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ اي ِه َو‬ َ
‫ت‬ ‫ فَ َم ان َكانَ ا‬،‫ئ َما نَ َوى‬ ٍ ‫ َوإِنَّ َما ِل ام ِر‬،‫(( ِإنَّ َما األ َ اع َما ُل ِبالنِيَّ ِة‬
ُ ‫س او ِل ِه فَ ِه اج َرتُهُ ِإلَى للاِ َو َر‬
‫ َو َم ان‬،‫س او ِل ِه‬ ُ ‫ِه اج َرتُهُ ِإلَى للاِ َو َر‬
ُ‫ص ايبُ َها أَ ِو ا ام َرأَة َيت َزَ َّو ُج َها فَ ِه اج َرت ُه‬ ِ ُ‫َت ِه اج َرتُهُ ِلدُ ان َيا ي‬ ‫َكان ا‬
.))‫ِإلَى َما هَا َج َر إِلَ اي ِه‬
Artinya: Dari Umar bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung
dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia
perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka
hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.”

C. Obyek Pembahasan Kaidah Niat dan Fungsinya


1. Obyek Kaidah Motivasi
Dalam menanggapi hadits tentang niat, para ahli hukum Islam
berpendapat bahwa posisi hadits ini sangat penting, mengingat semua
kasus bisa tercakup di dalamnya, bahkan mereka berbeda - beda dalam
memberikan komentarnya, seperti:
a. Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa hadits tentang niat, itu
merupakan 1/3 nya ilmu, sebab amal amaliyah itu dapat
dikelompokkkan menjadi tiga, yaitu:
1) Amal amaliyah dengan menggunakan anggota badan
2) Amal amaliyah dengan menggunakan lisan
3) Amal amaliyah dengan menggunakan hati
b. Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits tentang niat memuat ¼ nya
ilmu2

2
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 31

5
2. Fungsi Niat
a. Niat sebagai pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana
yang hanya merupakan suau kebiasaan.
Misalnya wudhu ada kesamaannya dengan membasuh muka.
b. Niat sebagai pemilah strata dari suatu ibadah, misalnyafardlu, sunnah
atau lainnya, bahkan amaliyah yang bernilai boleh (ibahah), bisa
bernilai menjadi ibadah jika aktifitasnya diniati sebagai sarana
penunjang ibadah.
Misalnya shalat sunnah dzuhur, ada kesamaanya dengan shalat ashar.
c. Niat sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki
kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli (malzum) yang
dikenal dengan istilah kinayah.
Misalnya suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan
kata-kata berbentuk kinayah atau sindiran.3
3. Aktifitas ritual ibadah yang tidak harus ada niat
a. Amaliyah ibadah yang tidak ada kesamaannya dengan amaliyah ‘adah.
Misalnya iman. Iman (kepercayaan) itu tidak ada kesamaannya dengan
‘adah, makannya dalam masalah iman tidak disyaratkan harus ada niat.
b. Amaliyah meninggalkan larangan, baik yang statusnya haram maupun
makruh.
Misalnya meninggalkan zina, pembunuhan, maupun meninggalkan
rokok dsb.4

D. Penentuan Obyek Niat (Ta’yin al -Niyyat)


1. Arti Ta’yin al -Niyyat dan Latar Belakangnya

3
Imam Musbikin dan Aziz Mushoffa, Qawaidul Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 23-24
4
Nashr Farid muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm. 13

6
Ta’yin al -Niyyat ialah penentuan obyek amaliyah secara spesifik,
setelah sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah tersebut.
Selain syarat adanya niat pada semua aktivitas ritual peribadahan,
disyaratkan pula adanya ta’yin dalam niat. Yang dimaksud dengan ta’yin
niat adalah penentuan obyek amaliyah secara spesifik, setelah sebelumnya
didahului niat pada jenis amaliyah tersebut, misalnya jika seseorang
melakukan niat mendirikan shalat (sebagai suatu jenis amaliyah), maka ia
diharuskan pula menentukan sub jenis shalat itu sendiri, apakah fardlu
dhuhur, asar atau bahkan shalat sunnah maghrib. Penentuan pada sub jenis
inilah yang ahirnya dikenal dengan istilah ta’yinun niat.5
Adapun yang melatarbelakangi diwajibkannya ta’yin niat adalah
adanya keanekaragaman jenis aktifitas ritual ibadah yang harus dikerjakan.
Misalnya dalam masalah zakat ada zakat fitrah dan zakat mal.

2. Ta’yin Fardliyah (Spesifikasi Fardlu) dalam Niat.


Artinya niat menentukan status fardlu dalam aktifitas ritual
peribadahan itu, harus menjadi syarat sahnya orang yang berniat, misalnya
shalat fardhu ashar, maghrib dan puasa fardhu.
Mengingat status amaliyah fardlu tersebut wajib, maka status
penentuan kefardluan padanya juga ikut wajib. Hal ini sesuai dengan
kaidah al - munasabah/korelasi sebagai berikut : “Setiap ibadah yang
membutuhkan niat fardlu, maka wajib pula untuk menta’yinkannya.“

3. Pengecualian Kaidah ta’yin fardliyah dalam niat


Contohnya penyebutan kalimat fardlu dalam niat bertayamum.
Pengecualian ini sesuai dengan kaidah pengabaian dalam hukum Islam
berikut : “Setiap ibadah yang tidak membutuhkan niat fardliyyah, maka
tidak disyaratkan ta’yin.“

4. Aplikasi Kaidah Ta’yin Ijmali Dan Tafshili

5
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.35

7
Dalam menanggapi kaidah ta’yin ijmali dan tafshili ini berlaku
kaidah :: Sesuatu yang disyaratkan penjelasannya secara global dan tidak
disyaratkan penjelasannya secara rinci, ketika ditentukan dan ternyata
tidak tepat, maka membahayakan statusnya.
Fokus pembahasan ini adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin)
secara global itu diwajibkan penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara
terperinci, jika disebutkan secara rinci namun teryata salah, maka
hukumnya batal.6 Contonya seseorang yang berniat menjadi makmum dari
imam bernama bayu, padahal imamnya bernama wisnu, maka shalatnya
menjadi batal, sebab yang wajib baginya hanya ta’yin secara global, yaitu
hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan ta’yin secara rinci, yaitu
menentukan siapa nama imamnya. Jika demikian, maka shalatnya
dianggap batal dan tidak sah.
Yang menjadi penyebab batalnya shalat yang dilakukan oleh
makmum terletak pada kesalahan niat bermakmumnya. Bukan pada
hakikat shalatnya. Maksudnya, jika ia tetap mengikuti pergerakan shalat
imam, padahal bermakmumnya sudah dianggap tidak sah, maka
shalatnyapun menjadi ikut batal. Lain halnya jika dengan dia niat
memisahkan diri dari imam, maka shalatnya tetap sah.

5. Ikhlas dan Tasyrik dalam niat


Ikhlas artinya adanya keterfokusan orang yang berniat pada obyek
yang diniati, tanpa ada percampur- adukan (tasyrik) dengan yang lain,
misalnya shalat. Jika niatnya disamping melaksanakan kewajiban,
ditambah lagi dengan niat berolahraga, maka niatnya tidak sah dan
shalatnya batal.7
Sedangkan tasyrik dalam niat adalah membersamakan niat dalam
satu pekerjaan dengan pekerjaan lain.
a. Niat melakukan ibadah disertai niat selain ibadah.

6
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 40
7
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.45

8
Contohnya : Mandi jinabat disertai dengan niat bertabarrud
(menyegarkan badan). Jika demikian, mandi janabatnya sah sebab
dengan niat mandi janabat saja, tabarrud sudah diperoleh dengan
sendirinya, sekalipun tanpa berniat melakukannya.
b. Ibadah fardlu diniati sebagai ibadah sunnah sekaligus.
1) Keduanya berstatus sah, seperti orang mandi janabat sekaligus
diniati sebagai mandi jum’at
2) Fardlu saja yang sah, seperti : melaksanakan haji dengan niat haji
fardlu dan haji sunnah.
3) Sunnah saja yang sah, seperti : memberikan harta yang belum
mencapai ukuran nishab atau haul sebagai zakat, dengan niat
mengeluarkan zakat dan shadaqah sekaligus.
4) Keduanya batal dan tidak sah.,Contohnya Takbiratul ihramnya
makmum masbuk ketika imam dalam keadaan rukku’. Takbiratul
ihram (wajib) diniati sekaligus sebagai takbir intiqal (berpindah)
menuju rukuk (sunnah)
c. Melakukan suatu peribadatan dengan dua niat fardlu, seperti niat
mandi janabat disertai niat berwudu sekaligus. Hal ini keduanya
dianggap sah.
d. Suatu ibadah dengan dengan dua niat sunnah, seperti orang mandi,
niatnya mandi sunnah jum’ah dan mandi sunnah hari raya. Hal ini
keduanya dianggap sah.

E. Waktu Pelaksanaan Niat


Waktu pelaksanaan niat adalah bersamaan dengan permulaan ibadah itu
dilaksanakan, kecuali hal - hal tertentu seperti niat puasa ramadhan dan
sebagainya.
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal dilaksanakannya
ibadah. Hal ini berdasarkan pada adanya penelitian fuqaha yang mengatakan
bahwa huruf ba’ dalam matan hadits bi al-niat itu memiliki arti mushahabah
atau kebersamaan, sehingga pengertian yang terkandung didalmnya adalah

9
“niat itu merupakan bagian dari amal amaliyah itu sendiri”. Dengan demikian,
maka waktu dilaksanakannya niat adalah bersamaan dengan permulaan ibadah
itu dilaksanakan, misalnya: shalat, niatnya bersamaan dengan waktu membaca
hamzahnya bacaan Allah dalam takbiratul ihram. Namun disini terdapat
pengecualian kaidah muqaranah (sinergitas) dalam niat.8
Kaidah sinergitas niat mengecualikan amaliyah ibadah puasa, zakat dan
yang sepadan dengannya. Karena dalam ibadah puasa dan zakat, tidak wajib
adanya kebersamaan niat dengan amaliyah puasa, bahkan tidak sah jika
dibersamakan niat dengan awalnya siang, sebab tingkat kesulitan dalam
menentukannya sangat tinggi.

F. Tempat Pelaksanaan Niat


1. Tempat niat
Yang menjadi tempat niat untuk semua ibadah adalah dalam hati,9
bukan dalam lisan dengan suatu ucapan. Hal ini hanya terdapat pada
ibadah-ibadah yang berhubungan dengan allah, bukan dengan manusia.
Jika dengan manusia, maka niatnya bertempat pada lisan dengan ucapan,
bukan pada hati.
2. Aplikasi tempat pelaksanaan niat
Dari penjelasan tempat niat diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa yang menjadi tempat untuk mengucapkan niat dari suatu ritual
peribadahan yang berhubungan dengan allah itu, tidak cukup hanya
dengan menggunakan ucapan lisan, yang bisa meniadakan ucapan hati,
akan tetapi berkumpulnya ucapan, niat dan hati merupakan suatu
pernyataan yang harus ada.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa mengingat sulitnya orang-
orang awam melaksanakan niat dalam bentuk ucapan hati, maka sudah
dianggap cukup dan sah bagi mereka untuk melakukan niat dengan cara
melafalkan niat hanya dalam lisan.

8
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 52
9
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 37

10
Oleh sebab itu, jika terjadi perbedaan antara ucapan hati dengan
ucapan lisan itu dalam ibadah yang berhubungan dengan allah, seperti
shalat dan lainnya, maka yang dianggap adalah ucapan hati. Akan tetapi
jika aplikasi niat dalam amaliyah tersebut berhubungan dengan manusia,
maka yang dianggap sah adalah ucapan lisan, bukan ucapan hati.10

G. Status Niat (Rukun dan Syarat)


Fuqoha berbeda pendapat tentang status niat ini,
Pertama, jika dilihat dari sisi penyebutan niat yang harus dilakukan di
awal permulaan ibadah, maka niat berstatus sebagai rukun.
Kedua, jika dilihat dari sisi bahwa niat itu harus tetap ada, artinya tidak
hanya amaliah yang bertentangan atau yang menegaskan atau memutuskan
niat, maka niat berstatus suatu syarat.
Dari perbedaan pendapat beberapa fuqaha, taqiyyuddin al-Hisniy
berusaha mengkompromikannya dengan mengatakan bahwa:
a. Jika keabsahan setiap amaliyah itu tergantung pada niat, maka niat
merupakan rukun yang harus ada didalam amaliyah tersebut. Misalnya
shalat. Ibadah ini tidak akan bisa dianggap sah jika dalam pelaksanaannya
tidak menggunakan niat.
b. Jika keabsahan itu tidak bergantung pada niat, tetapi untuk mendapatkan
pahala masih tergantung pada niat, maka niat merupakan syarat, dalam
artian syarat untuk mendapatkan suatu pahala, misalnya amaliyah yang
status hukumnya mubah atau amaliah meninggalkan kemaksiatan yang
tujuannya hanya bertaqarrub.

H. Niat Dalam Ibadah dan Bukan Ibadah


1. Niat Dalam Ibadah
Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Allah berfirman :
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya..” (QS Al-Bayyinah : 5)

10
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 63

11
Dan makna ikhlas pada ayat diatas ( ‫ )مخلصين‬adalah niat. Rosulullah
-sholallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
Artinya : “Setiap amalan-amalan (harus) dengan niat. dan setiap
orang mendapatkan (ganjaran) sesuai niatnya.”

2. Niat dalam Bukan Ibadah


Pada dasarnya, hakikat niat dapat dilihat seperti berikut.
Pertama, Niat merupakan bagian dari Iman. Niat merupakan amalan hati.
Sedangkan iman adalah diyakini di dalam hati, diucapkan dan dibuktikan
dengan anggota badan dan perbuatan. Allah mencatat niat-niat baik kita
dengan pahala yang sempurna meskipun amalan tersebut belum kita
wujudkan. Umpamanya, seperti sabda Nabi saw: “Maka sesiapa yang
bercita-cita hendak mengerjakan kebaikkan tetapi belum
mengamalkannya, maka Allah mencatat bagi orang tersebut di sisi-Nya
dengan kebaikkan yang sempurna.” (Muttafaq ‘Alaih).
Kedua, Wajib mengetahui hukum dari sebuah amalan sebelum
mengerjakannya. Setiap muslim wajib mengetahui ilmu sebelum
mengamalkannya, apakah amalan tersebut disyari’atkan atau tidak.
Ketiga, disyaratkan niat pada amalan-amalan ketaatan. Suatu
kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak disertai niat untuk beribadah.
Niat membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan atau yang bukan
bersifat ibadah. Niat membedakan antara ibadah yang satu dengan yang
lain, misalnya puasa di bulan syawal. Bisa jadi dia puasa syawal bisa juga
dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua tergantung dari niat didalam
hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan. Apakah
perbuatan itu diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau
mengaharapkan selain dari itu ditentukan oleh niatnya.
Keempat, urgensi ikhlas di dalam beramal. Suatu amal bergantung
kepada keikhlasan pelakunya. Mengikhlaskan amalan semata-mata hanya
karena Allah merupakan wujud mentauhidkan Allah. Ikhlas bukan hanya
berarti tidak menuntut apa-apa dari Allah tetapi merupakan sebuah

12
tuntutan dan konsekuensi dari penciptaan kita oleh Allah Swt. Dari situ,
kita mestilah senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan
kita senantiasa diuji. Awal mula, sebelum beramal diperhatikan niat kita,
kepada siapa dan karena apa kita niatkan amal kita. Selanjutnya, ketika
sedang beramal, bisa jadi amalan yang semula ikhlas terganggu
disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Berikutnya,
ketika setelah beramal tanpa sadar setelah bertahun-tahun kita
sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan hal itu kita ceritakan jasa
kita pada masa yang lalu itu. Akhirnya, baik buruk amaliah bergantung
kepada niat pelakunya. Pendek kata, suatu amal kebaikan akan menjadi
ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan baik atau secara ikhlas,
dan menjadi buruk manakala diniatkan dengan tidat tepat.11

11
http://erfansoebahar.web.id/kedudukan-niat-dalam-proses-mencari-ridha-allah-dan-
pahala-ibadah/, diakses pada 26 Februari 2018

13
BAB III
KESIMPULAN

Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan
kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Ta’yin al -Niyyat ialah penentuan obyek amaliyah secara spesifik, setelah
sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah tersebut. Dalam menanggapi
kaidah ta’yin ijmali dan tafshili ini berlaku kaidah: Sesuatu yang disyaratkan
penjelasannya secara global dan tidak disyaratkan penjelasannya secara rinci,
ketika ditentukan dan ternyata tidak tepat, maka membahayakan statusnya.
Fokus pembahasan ini adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin) secara
global itu diwajibkan penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara terperinci,
jika disebutkan secara rinci namun teryata salah, maka hukumnya batal.
Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Disyaratkan niat pada
amalan-amalan ketaatan. Suatu kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak
disertai niat untuk beribadah. Niat membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan
atau yang bukan bersifat ibadah. Niat membedakan antara ibadah yang satu
dengan yang lain, misalnya puasa di bulan syawal. Bisa jadi dia puasa syawal bisa
juga dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua tergantung dari niat didalam
hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan. Apakah perbuatan itu
diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau mengaharapkan selain dari itu
ditentukan oleh niatnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam ( Malang: Uin-Maliki Press,2010)

Imam Musbikin dan Aziz Mushoffa, Qawaidul Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001)

Nashr Farid muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009)

15

Anda mungkin juga menyukai