Oleh
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat melaksanakan tugas untuk
pembuatan makalah dalam upaya untuk memenuhi Syarat dalam Mata Kuliah
Qowaidhul Fiqhiyah.
PENULIS
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................... i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Niat
Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan
kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Niat termasuk perbuatan hati maka tempatnya adalah didalam hati,
bahkan semua perbuatan yang hendak dilakukan oleh manusia, niatnya secara
otomatis tertanam didalam hatinya. Aspek niat itu ada 3 hal :
1. Diyakini dalam hati.
2. Diucapkan dengan lisan (tidak perlu keras sehingga dapat mengganggu
orang lain atau bahkan menjadi riya).
3. Dilakukan dengan amal perbuatan.
Dengan definisi niat yang seperti ini diharapkan orang Islam atau
Muslim itu tidak hanya 'bicara saja' karena dengan berniat berati bersatu
padunya antara hati, ucapan dan perbuatan. Niat baiknya seorang muslim itu
tentu saja akan keluar dari hati yang khusyu’ dan tawadhu’, ucapan yang baik
dan santun, serta tindakan yang dipikirkan masak-masak dan tidak tergesa-
gesa serta cermat. Karena dikatakan dalam suatu hadits Muhammad apabila
yang diucapkan lain dengan yang diperbuat termasuk ciri-ciri orang yang
munafik.
Niat juga merupakan pancaran hati yang mengalir sesuai pertolongan
Allah. Niat adakalanya mudah dan adakalanya sulit dilakukan. Namun niat
biasanya memang mudah dilakukan oleh orang yang hatinya cenderung pada
agama, bukan dunia. Pembagian Manusia karena Niat:
a. Melakukan ketaatan karena motif takut kepada Allah.
b. Malakukan ketaatan karena motif mengharap rahmat allah.
c. Melakukan ketaatan dengan niat mengagungkan Allah karena Hak-Nya
untuk ditaatai dan diibadahi.tingkatan ini lebih tinggi dari dua tingkatan
sebelumnya.
2
Hal ini sulit dilakukan oleh orang yang cinta dunia. Inilah niat yang
paling mulia dan tinggi. Sedikit sekali orang yang memahaminya. Apalagi
mampu melakukanya. Pemilik tingkatan ini selalu berzikir kepada Allah dan
merenungi keagungan-Nya karena cinta. Barang siapa yang hatinya dikuasai
oleh niat maka boleh jadi ia sulit berpaling pada lainya. Barang siapa yang
menghadirkan niat dalam amalan mubah dan tidak menghadirkan niat dalam
amal keutamaan maka yang mubah lebih utama dan yang utama akan beralih
menjadi mubah. Misalnya, menghadirkan niat pada saat makan guna
menguatkan tubuh untuk beribadah dan mengistirahatkan badan. Ketika itu
dalam hatinya tidak terbesit niat untuk shalat dan puasa. Dalam kondisi seperti
ini makan dan tidur lebih baik baginya. Bahkan seandainya dia bosan
beribadah karena seringkali melakukanya dan ia tahu bahwa andainya ia rehat
sejenak ia dengan amalan mubah maka kondisi badanya akan kembali segar.
Dalam kondisi seperti, rehat sejenak lebih baik daripada ibadah.
1
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Malang: Uin-Maliki Press, 2010), hlm.
25
3
memiliki posisi yang sangat penting, sebab sebagai penentu segala gerak,
tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.
b. Hadist
4
ُصلَّى للا َ ِس او ُل للا ُ قَا َل َر:ب قَا َل ِ َطا َّ ع َم َر ب ِان الخ ُ ع ان َ
:سلَّ َم
َ علَ اي ِه َو َ
ت فَ َم ان َكانَ ا،ئ َما نَ َوى ٍ َوإِنَّ َما ِل ام ِر،(( ِإنَّ َما األ َ اع َما ُل ِبالنِيَّ ِة
ُ س او ِل ِه فَ ِه اج َرتُهُ ِإلَى للاِ َو َر
َو َم ان،س او ِل ِه ُ ِه اج َرتُهُ ِإلَى للاِ َو َر
ُص ايبُ َها أَ ِو ا ام َرأَة َيت َزَ َّو ُج َها فَ ِه اج َرت ُه ِ َُت ِه اج َرتُهُ ِلدُ ان َيا ي َكان ا
.))ِإلَى َما هَا َج َر إِلَ اي ِه
Artinya: Dari Umar bin al Khaththab, beliau berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan itu dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang bergantung
dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia
perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka
hijrahnya kepada apa yang berhijrah kepadanya.”
2
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 31
5
2. Fungsi Niat
a. Niat sebagai pembeda mana yang berstatus sebagai ibadah dan mana
yang hanya merupakan suau kebiasaan.
Misalnya wudhu ada kesamaannya dengan membasuh muka.
b. Niat sebagai pemilah strata dari suatu ibadah, misalnyafardlu, sunnah
atau lainnya, bahkan amaliyah yang bernilai boleh (ibahah), bisa
bernilai menjadi ibadah jika aktifitasnya diniati sebagai sarana
penunjang ibadah.
Misalnya shalat sunnah dzuhur, ada kesamaanya dengan shalat ashar.
c. Niat sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki
kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli (malzum) yang
dikenal dengan istilah kinayah.
Misalnya suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan
kata-kata berbentuk kinayah atau sindiran.3
3. Aktifitas ritual ibadah yang tidak harus ada niat
a. Amaliyah ibadah yang tidak ada kesamaannya dengan amaliyah ‘adah.
Misalnya iman. Iman (kepercayaan) itu tidak ada kesamaannya dengan
‘adah, makannya dalam masalah iman tidak disyaratkan harus ada niat.
b. Amaliyah meninggalkan larangan, baik yang statusnya haram maupun
makruh.
Misalnya meninggalkan zina, pembunuhan, maupun meninggalkan
rokok dsb.4
3
Imam Musbikin dan Aziz Mushoffa, Qawaidul Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 23-24
4
Nashr Farid muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009), hlm. 13
6
Ta’yin al -Niyyat ialah penentuan obyek amaliyah secara spesifik,
setelah sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah tersebut.
Selain syarat adanya niat pada semua aktivitas ritual peribadahan,
disyaratkan pula adanya ta’yin dalam niat. Yang dimaksud dengan ta’yin
niat adalah penentuan obyek amaliyah secara spesifik, setelah sebelumnya
didahului niat pada jenis amaliyah tersebut, misalnya jika seseorang
melakukan niat mendirikan shalat (sebagai suatu jenis amaliyah), maka ia
diharuskan pula menentukan sub jenis shalat itu sendiri, apakah fardlu
dhuhur, asar atau bahkan shalat sunnah maghrib. Penentuan pada sub jenis
inilah yang ahirnya dikenal dengan istilah ta’yinun niat.5
Adapun yang melatarbelakangi diwajibkannya ta’yin niat adalah
adanya keanekaragaman jenis aktifitas ritual ibadah yang harus dikerjakan.
Misalnya dalam masalah zakat ada zakat fitrah dan zakat mal.
5
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.35
7
Dalam menanggapi kaidah ta’yin ijmali dan tafshili ini berlaku
kaidah :: Sesuatu yang disyaratkan penjelasannya secara global dan tidak
disyaratkan penjelasannya secara rinci, ketika ditentukan dan ternyata
tidak tepat, maka membahayakan statusnya.
Fokus pembahasan ini adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin)
secara global itu diwajibkan penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara
terperinci, jika disebutkan secara rinci namun teryata salah, maka
hukumnya batal.6 Contonya seseorang yang berniat menjadi makmum dari
imam bernama bayu, padahal imamnya bernama wisnu, maka shalatnya
menjadi batal, sebab yang wajib baginya hanya ta’yin secara global, yaitu
hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan ta’yin secara rinci, yaitu
menentukan siapa nama imamnya. Jika demikian, maka shalatnya
dianggap batal dan tidak sah.
Yang menjadi penyebab batalnya shalat yang dilakukan oleh
makmum terletak pada kesalahan niat bermakmumnya. Bukan pada
hakikat shalatnya. Maksudnya, jika ia tetap mengikuti pergerakan shalat
imam, padahal bermakmumnya sudah dianggap tidak sah, maka
shalatnyapun menjadi ikut batal. Lain halnya jika dengan dia niat
memisahkan diri dari imam, maka shalatnya tetap sah.
6
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 40
7
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.45
8
Contohnya : Mandi jinabat disertai dengan niat bertabarrud
(menyegarkan badan). Jika demikian, mandi janabatnya sah sebab
dengan niat mandi janabat saja, tabarrud sudah diperoleh dengan
sendirinya, sekalipun tanpa berniat melakukannya.
b. Ibadah fardlu diniati sebagai ibadah sunnah sekaligus.
1) Keduanya berstatus sah, seperti orang mandi janabat sekaligus
diniati sebagai mandi jum’at
2) Fardlu saja yang sah, seperti : melaksanakan haji dengan niat haji
fardlu dan haji sunnah.
3) Sunnah saja yang sah, seperti : memberikan harta yang belum
mencapai ukuran nishab atau haul sebagai zakat, dengan niat
mengeluarkan zakat dan shadaqah sekaligus.
4) Keduanya batal dan tidak sah.,Contohnya Takbiratul ihramnya
makmum masbuk ketika imam dalam keadaan rukku’. Takbiratul
ihram (wajib) diniati sekaligus sebagai takbir intiqal (berpindah)
menuju rukuk (sunnah)
c. Melakukan suatu peribadatan dengan dua niat fardlu, seperti niat
mandi janabat disertai niat berwudu sekaligus. Hal ini keduanya
dianggap sah.
d. Suatu ibadah dengan dengan dua niat sunnah, seperti orang mandi,
niatnya mandi sunnah jum’ah dan mandi sunnah hari raya. Hal ini
keduanya dianggap sah.
9
“niat itu merupakan bagian dari amal amaliyah itu sendiri”. Dengan demikian,
maka waktu dilaksanakannya niat adalah bersamaan dengan permulaan ibadah
itu dilaksanakan, misalnya: shalat, niatnya bersamaan dengan waktu membaca
hamzahnya bacaan Allah dalam takbiratul ihram. Namun disini terdapat
pengecualian kaidah muqaranah (sinergitas) dalam niat.8
Kaidah sinergitas niat mengecualikan amaliyah ibadah puasa, zakat dan
yang sepadan dengannya. Karena dalam ibadah puasa dan zakat, tidak wajib
adanya kebersamaan niat dengan amaliyah puasa, bahkan tidak sah jika
dibersamakan niat dengan awalnya siang, sebab tingkat kesulitan dalam
menentukannya sangat tinggi.
8
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 52
9
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 37
10
Oleh sebab itu, jika terjadi perbedaan antara ucapan hati dengan
ucapan lisan itu dalam ibadah yang berhubungan dengan allah, seperti
shalat dan lainnya, maka yang dianggap adalah ucapan hati. Akan tetapi
jika aplikasi niat dalam amaliyah tersebut berhubungan dengan manusia,
maka yang dianggap sah adalah ucapan lisan, bukan ucapan hati.10
10
Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 63
11
Dan makna ikhlas pada ayat diatas ( )مخلصينadalah niat. Rosulullah
-sholallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
Artinya : “Setiap amalan-amalan (harus) dengan niat. dan setiap
orang mendapatkan (ganjaran) sesuai niatnya.”
12
tuntutan dan konsekuensi dari penciptaan kita oleh Allah Swt. Dari situ,
kita mestilah senantiasa memperhatikan gerak hati kita, karena keikhlasan
kita senantiasa diuji. Awal mula, sebelum beramal diperhatikan niat kita,
kepada siapa dan karena apa kita niatkan amal kita. Selanjutnya, ketika
sedang beramal, bisa jadi amalan yang semula ikhlas terganggu
disebabkan ada kejadian-kejadian khusus dan tak terduga. Berikutnya,
ketika setelah beramal tanpa sadar setelah bertahun-tahun kita
sembunyikan, tiba-tiba dalam sebuah obrolan hal itu kita ceritakan jasa
kita pada masa yang lalu itu. Akhirnya, baik buruk amaliah bergantung
kepada niat pelakunya. Pendek kata, suatu amal kebaikan akan menjadi
ibadah yang diterima manakala diniatkan dengan baik atau secara ikhlas,
dan menjadi buruk manakala diniatkan dengan tidat tepat.11
11
http://erfansoebahar.web.id/kedudukan-niat-dalam-proses-mencari-ridha-allah-dan-
pahala-ibadah/, diakses pada 26 Februari 2018
13
BAB III
KESIMPULAN
Niat adalah maksud atau keinginan kuat didalam hati untuk melakukan
sesuatu. Dalam terminologi syar'i berarti adalah keinginan melakukan ketaatan
kepada Allah dengan melaksanakan perbuatan atau meninggalkannya.
Ta’yin al -Niyyat ialah penentuan obyek amaliyah secara spesifik, setelah
sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah tersebut. Dalam menanggapi
kaidah ta’yin ijmali dan tafshili ini berlaku kaidah: Sesuatu yang disyaratkan
penjelasannya secara global dan tidak disyaratkan penjelasannya secara rinci,
ketika ditentukan dan ternyata tidak tepat, maka membahayakan statusnya.
Fokus pembahasan ini adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin) secara
global itu diwajibkan penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara terperinci,
jika disebutkan secara rinci namun teryata salah, maka hukumnya batal.
Hukum niat dalam setiap ibadah adalah wajib. Disyaratkan niat pada
amalan-amalan ketaatan. Suatu kebaikkan tidak dikatakan ibadah jika tidak
disertai niat untuk beribadah. Niat membedakan amalan ibadah dengan kebiasaan
atau yang bukan bersifat ibadah. Niat membedakan antara ibadah yang satu
dengan yang lain, misalnya puasa di bulan syawal. Bisa jadi dia puasa syawal bisa
juga dia puasa membayar hutang puasa. Itu semua tergantung dari niat didalam
hatinya. Niat juga menentukan tujuan dari sebuah amalan. Apakah perbuatan itu
diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah atau mengaharapkan selain dari itu
ditentukan oleh niatnya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Imam Musbikin dan Aziz Mushoffa, Qawaidul Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001)
Nashr Farid muhammad dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah,
(Jakarta: Salemba Empat, 2009)
15