Anda di halaman 1dari 5

JAWABAN SOAL QAWAID

1. Qawaid  Fiqhiyyah  adalah  kata  majemuk  yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan
fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Kata Qawaid atau Qaidah dalam
terminologi para ahli Fikih adalah aturan yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada
cabang-cabang permasalahannya. Sedangkan kata Fiqhiyyah (Fiqih) secara etimologis berasal
dari bahasa Arab bermakna al-fahm (paham) atau pemahaman yang baik.
Sehingga pengertian Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah merupakan aturan-aturan atau dasar-dasar
universal tentang hukum amali yang diambil dari dalil-dalil yang mendetail.

Sejarah singkat Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah


- Era Kenabian: Fiqih adalah hukum dan putusan yang dijelaskan oleh Rasulallah Saw.
- Era Sahabat: Fikih pada masa para shahabat dalam bentuk fatwa-fatwa atas permasalahan
yang tidak ditemukan penjelasannya dalam Al-Quran dan Hadits sehingga mereka berijtihad.
- Era Tabi’in: abad kedua sampai ketiga Hijriyah- Islam semakin menyebar budaya, adat, dan
permasalahan baru, perbedaan kecenderungan manusia ada yang mengedepankan ittiba`
(meniru) dan ada yang ijtihad (berpendapat)

Menurut Muslim Ad-Dusari, sejarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah sebagai disiplin terdiri dari dua fase.
Pertama, fase kemunculan dan perkembangan. Dan kedua, fase pembukuan atau kodifikasi.
Kemunculan al-Qawaid al-Fiqhiyyah sebagai disiplin keilmuan terjadi sebelum kodifikasi atau
pembukuan Fikih. Sebelum al-Qawaid al-Fiqhiyyah memasuki fase pembukuan atau kodifikasi
secara tersendiri, telah ditemukan redaksi atau ungkapan dalam karya-karya Fikih, yang
kemudian di masa-masa selanjutnya, dikenal sebagai al-Qawaid al-Fiqhiyyah.

Pada waktu Imam Syafi’i (w. 204 H) membukukan karyanya yang berjudul Ar-Risâlah dalam
bidang Ushul Fikih, al-Qawaid al-Fiqhiyyah ternyata juga belum dibukukan dalam sebuah karya
yang independen. Pembukuan al-Qawaid al-Fiqhiyyah dapat dikatakan baru bermulai pada abad
keempat Hijriyah yang ditandai dengan ditulisnya sebuah karya kitab oleh Imam As-Sarkhasi (w.
340 H) dari madzhab Hanafi yang dikenal dengan judul ‘Ushul As-Sarkhasi’. Karya inilah yang
dianggap sebagai kitab karya pertama dalam bidang al-Qawaid al-Fiqhiyyah, meskipun namanya
masih menggunakan kata Ushul, bukan Qawaid

2. Manfaat-manfaat dan atau fungsi-fungsi Qawaid Fiqhiyyah dalam pandangan para ahli Fikih
antara lain :
1. Memberikan kemudahan bagi seorang ahli Fikih untuk menguasai berbagai cabang
permasalahan hukum Fikih, karena cabang permasalahan dalam Fikih sangat banyak dan sangat
beragam.
2. Menumbuhkan karakter dan pemahaman Fikih yang melekat dalam diri seorang yang
menguasainya. Karakter dan kepribadian inilah yang kemudian membantu seseorang untuk
memberikan jawaban hukum terhadap permasalahan yang baru muncul yang sebelumnya
belum ditemukan penjelasan hukumnya.
3. Memberikan kemampuan bagi seseorang yang ahli dalam bidang fikih untuk menarik sisi-sisi
persamaan dari hukum-hukum Fikih yang sudah ada dan sudah dijelaskan hukumnya
berdasarkan teks Al Qur’an, Hadits, Ijma’, atau Qiyas. Kemampuan menganalogikan inilah yang
secara tidak disadari akan membantunya dalam menentukan sebuah hukum atas peristiwa atau
permasalahan yang baru.
4. Memudahkan untuk memahami perbandingan antar madzhab-madzhab Fikih yang sudah ada,
khususnya bagi mereka yang menguasai al-Qawaid al-Fiqhiyyah dengan cakupan hukum yang
lintas madzhab.
5. Memberikan gambaran yang luas tentang nilai-nilai syariah (Maqashid Syariah), karena
dengan memahami al-Qawaid al-Fiqhiyyah secara menyeluruh maka muncullah pemahaman
yang baik tentang nilai-nilai syariat Islam secara keseluruhan, misalkan kaidah “al-masyaqqah
tajlibut taisir” (kesulitan manarik kemudahan) yang dapat memberikan gambaran tentang
maksud syariat Islam diturunkan, yaitu untuk memberikan kemudahan, bukan justru
mempersulit.
6. Bagi yang belum ahli dalam Fikih, mempelajari dan menguasai al-Qawaid al- Fiqhiyyah dapat
memberikan kemudahan yang sistematik dalam menguasai banyaknya hukum-hukum cabang
dari permaslaahn-permasalahn yang ada dalam Fikih.
7. Memberikan jawaban terhadap tuduhan Sebagian orang bahwa Fikih adalah Ilmu yang statis
dan jumud atau tidak berkembang. Faktanya, Fikih adaalah ilmu yang berkembang dan dapat
mengikuti perkembangan zaman melalui kaidah-kaidahnya yang bersifat universal.
8. Membantu dalam mengetahui illah (sebab) yang melatarbelakangi sebuah hukum dalam
Fikih. Dengan demikian, beragam hukum-hukum cabang itu memiliki satu alasan atau sebab
untuk kemaslahatan manusia.

Al-Burnu berpendapat bahwa Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah terbagi menjadi 3, yaitu :


1. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Kubro (Kaidah Kaidah Fikih yang pokok).
2. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Mutawasitah (Kaidah Kaidah Fikih yang tercakup dalam Al-Qawaid Al
Fiqhiyyah Kubra).
3. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Shugra (Kaidah Kaidah Fikih kecil) yang hanya berlaku pada sebagian
permasalahan saja.

3. Dasar/dalil dari kaidah pertama (Al-Umuru bi Maqashidiha) adalah :


- QS. An-Nisa’:100
“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
- Hadist yang terkenal yang diriwayatkan oleh 6 Imam Hadist dari Umar Bin Khattab dari
Rasulullah saw.. bahwa beliau bersabda:
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya dengan niat-niat dan bagi setiap seseorang apa yang
telah dia niatkan”.
- Terdapat juga hadist lain yang melandasi kaidah ini. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda yang artinya: “Barang siapa yang berangkat tidur di ranjangnya sambil berniat
untuk bangun malam melakukan shalat malam, namun kemudian kedua matanya tidak
bangun hingga terbitlah fajar (adzan subuh), maka Allah SWT akan menulis (pahala)
bagianya sesuai yang telah dia niatkan”. (HR. Imam AnNasai, Ibnu Huzaimah, dan yang lain)

Contoh-contoh penerapan kaidah ini adalah :


- Syirkah : Sebuah bank konvensional di Indonesia menerima penawaran dari salah satu
lembaga finance di Eropa. Bank tersebut akan melakukan impor barang yang cukup besar
dari Amerika. Dalam kesepakatannya pembayaran kepada pihak eksportir di Amerika
mendapatkan harga lebih rendah. Maka keuntungan dari trankaksi tersebut menjadi hak
kedua belah pihak, sesuai prosentase modal yang diberikan.
- Jual-Beli : Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual
maka hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan
khamr, atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya
haram.
- Sedekah : Ketika seseorang berkata “ambilah uang ini”, jika ucapan disertai niat memberi,
maka akad itu akan menjadi pemberian (hibah) atau sedekah.
- Hutang : Seorang mempunyai dua hutang kepada orang yang sama, ketika akan melunasi
hutang. Harus didasari niat yang jelas hutang yang mana yang akan dia bayar. Apakah
hutang pertama yang tanpa jaminan atau hutang kedua yang ada jaminan. Jika yang
dibayarkan hutang kedua maka jaminan harus dikembalikan kepada yang berhutang.

4. Kaidah Makna dan Ucapan : jika terjadi perbedaan antara seseorang dan kata yang
diucapkannya dalam akad transaksi,maka yang dijadikan sebagai pegangan atau acuan
adalah niat dan maksudnya. Contohnya : sesorang berkata “aku berikan bajuku ini
kepadamu dengan syarat kamu memberikan bajumu itu untukku”. Perkataan ini jika
dilihat dari ucapan atau kata-kata yang digunakan adalah “memberikan (hibah)”, namun
apabila melihat maksud atau niat dari orang yang mengatakan tersebut, transaksi yang
terjadi adalah barter (tukar-menukar) atau jual beli baju dengan baju dan hukum yang sah
adalah hukum jual beli baju dengan alat tukar yang berupa baju juga.
Kaidah Sumpah : dalam permasalahan sumpah yang menggunakan kata-kata yang tidak
sesuai dengan niat atau tujuan dari yang mengucapkannya, maka yang dijadikan acuan
hukum adalah niat dan maksudnya bukan berdasar kata yang diucapkannya. Contoh :
seorang ayah marah kepada anaknya yang meminta uang satu juta untuk jalan-jalan, lalu
ayah itu bersumpah “demi Allah, aku tidak sudi memberimu uang walaupun hanya 1 juta
rupiah” dengan niat dan maksud tidak akan memberikan uang berapapun untuk keperluan
tersebut. Akan tetapi pada akhirnya, ayah itu memberinya uang lima ratus ribu, maka
menurut kaidah ini, ayah tersebut telah melanggar sumpahnya karena niatnya memang
tidak memberi uang sama sekali.
Kaidah Pengecualian : kaidah ini menunjukan bahwa orang yang terburu-buru dan
berniat atau bermaksud menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, maka
justru dia akan mendapatkan kebalikannya. Contoh : ketika seorang anak berniat
mendapatkan harta dari orangtuanya dengan cara waris, namun sang anak kemudian
membunuh orangtuanya agar segera mendapatkan warisan, maka hukum yang terjadi
justru anak tersebut terhalang dari haknya mendapatkan harta warisan orangtuanya.
5. Kaidah pokok kedua yaitu al-yaqin la yuzalu bisy syakk (sesuatu yang pasti tidak dapat dihapus
oleh karaguan). Dasar/dalil dari kaidah kedua ini adalah :
- QS. Yunus: 36
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
- QS. Al-Hujurat: 12
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan,
sesungguhnya kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.”
- Hadis Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya “Apabila salah seorang
dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian dia kesulitan untuk
memastikan apakah telah keluar sesuatu (kentut) atau belum, maka janganlah dia
keluar dari masjid (membatalkan salatnya) hingga dia mendengar suara atau
mencium bau “(HR. Muslim: 362)
- Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Dari ‘Abbad bin Tamim dari
pamannya berkata, “Bahwasanya ada seseorang yang mengadu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasakan seakan-akan ingin
kentut di dalam salatnya. Maka Rasulullah bersabda, “Janganlah dia membatalkan
salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau” (HR. Bukhari: 137 dan
Muslim: 361)
- Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Apabila salah seorang dari kalian
ragu-ragu dalam salatnya, sehingga dia tidak tahu sudah berapa rakaat dia salat,
maka hendaklah dia mengabaikan keraguannya dan melakukan yang dia yakini
kemudian hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Seandainya dia salat lima
rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan salatnya, dan jikalau salatnya telah
sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat setan marah dan jengkel (HR.
Muslim: 571)”

Contoh-contoh penerapan kaidah ini adalah :


- Jual beli : pada saat pembeli mengaku bahwa barang yang dibelinya memiliki aib
(cacat), namun komunitas para penjual lain yang biasa menjual jenis barang tersebut
ada yang tidak membenarkan cacat itu pada saat dijual seperti yang dituduhkan.
Dalam masalah seperti ini, pembeli tidak memiliki hak khiyar aib sehingga dapat
membatalkan akad jual beli, karena hal yang telah diyakini adalah bahwa barang itu
telah dijual tanpa memiliki cacat pada saat jual beli terjadi dan akad jual beli itu telah
berjalan dengan sah, sementara pengakuan pembeli tentang adanya cacat setelah itu
merupakan hal yang diragukan, padahal kaidah pokok kedua ini menyatakan bahwa
suatu keyakinan tidak dapat dibatalkan dengan suatu keraguan. Dengan demikian,
akad jual beli tersebut tetap dianggap sah,
- (wadi’ah) yang merupakan amanah (kepercayaan). Sewaktu barang yang dititipkan
itu mengalami kerusakan di tangan orang yang menerima titipan itu namun ada
keraguan apakah kerusakan terjadi disebabkan karena kecerobohan atau kelalaian
penerima titipan ataukah dikarenakan musibah yang tidak terduga, maka menurut
kaidah pokok kedua ini penerima barang titipan tidak berkewajiban mengganti rugi
kerusakan barang tersebut. Dalam kasus ini, sifat amanah dalam menjaga barang
titipan secara baik yang ada pada diri penerima titipan adalah sesuatu yang diyakini,
sementara kecerobohan dan kelalaiannya adalah sesuatu yang masih diragukan,
- (ijârah), yaitu ketika terjadi perselisihan antara penyewa dan pemberi sewa dalam
pembayaran uang sewa. Contoh kasus: Ali menyewa salah satu rumah milik Ahmad,
Ali kemudian mengaku telah membaya sewa kepada Ahmad sebagai pemberi sewa.
Hal yang pasti yakin dalam kasus ini adalah terjadinya akad sewa menyewa antara
Ali dan Ahmad, sementara pembayaran atas akad sewa menyewa itu masih berupa
hal yang diragukan sebab tidak ada saksi atau bukti. Dengan demikian, maka sesuai
kaidah ini huku Fikih bagi akad itu sah dan Ali berkewajiban membayar uang sewa
itu kepada Ahmad.

Anda mungkin juga menyukai