“Al-‘Adatu Muhakkamah”
Disusun
Oleh:
SUMATERA UTARA
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal untuk memenuhi tugas kuliah “Qawaid
Fiqhiyah”, dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah dengan judul “Al-‘Adatu Muhakkamah” ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Kaidah Asasiyah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh)
adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat
itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan
baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh,
karena kaidah fiqh menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif di dalam
menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, dan keadaan
yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah sosial,
ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu pemakalah mencoba untuk membahas
salah satu kaidah fiqh kelima yaitu al-‘adah al-muhakkamah sehingga masyarakat lebih mudah
untuk memahaminya.
B. Rumusan Malasah
Dari beberapa uraian diatas tentang Al-‘Adatu Muhakkamah yang sebagian telah dipaparkan, maka
timbul beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.
1. Apa yang di maksud dengan adat dan ‘urf ?
2. Adakah hukum adat yang bertentangan dengan nash?
3. Apa saja kaidah dalam Al-‘Adatu Muhakkamah?
4. Bagaimana bentuk pengaplikasiannya dalam kehidupan?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian adat dan ‘urf
2. Mengetahui hukum adat yang bertentangan dengan ‘urf
3. Mengetahui macam-macam kaidah dalam Al-‘Adatu Muhakkamah
4. Mengetahui bentuk pengaplikasiannya dalam kehidupan
2
BAB II
Pembahasan
A. Dasar Hukum Kaidah
…وعاشروهن بالمعروف
“Dan pergaulilah mereka secara patut” (QS. An-Nisa: 19).2
ماراه المسلمون حسنا فهوعند الله حسن وما راه المسلمون سيئا فهوعند الله
سيئ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa
saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk". (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu
Mas'ud).3
1
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, h. 140
2
Ibid
3
Burhanudin, Fiqih Ibadah, h. 263
3
dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.4 Adat adalah suatu
perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal
dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau
perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan
dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. 5
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap
baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-
ulang sehingga menjadi kebiasaan”.6 ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang
fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak
menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib.
Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi
menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. 7
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
C. Adat VS Nash
Faktor yang paling utama dalam kehidupan adalah masalah keselarasan antara adat dengan
aqidah dan syariah Islam. Setiap adat yang bisa selaras dan tidak bertabrakan langsung dengan
keduanya, sebenarnya tidak perlu dihancurkan. Bahkan dalam beberapa kasus, adat dan kebiasaan
4
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 153
5
Muhammad Ma’shum Zein, Sistematika Teori Hukum Islam (Qawa’id Fiqhiyyah), Jombang: Al-Syarifah Al-
Khadijah, 2006, h. 79
6
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis), Jakarta: Kencana, 2007, h. 80.
7
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 94
8
Burhanudin, Fiqih Ibadah, Bandung: CV Pustaka Setia, 2001, h. 263
4
itu malah bisa dijadikan landasan hukum Islam.Tapi apbila kita salah mengikuti pada adat yang
tak sesuai dengan syariah, itu sangatlah berbahaya.
Kita harus bisa memilah adat istiadat yang berkembang di tengah masyarakat itu, adat
dibagi menjadi tiga jenis, bila dipandang dari sisi keselarasan dengan aqidah dan syariah.
5
Sebagian ulama memandang bahwa kebiasaan ini tidak sesuai dengan dalil-dalil syariah,
sehingga menganggap adat ini sebagai sesuatu yang baru dan harus dihilangkan.
Sebaliknya, sebagian ulama lain memandang bahwa tetap ada dalil-dalil yang
membenarkan diterimanya pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah wafat.
“Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan
bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya” (QS. An-Najm:38-39)
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak
dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Yaasiin:54)
“Ia men"dapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqaraah 286)
“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal:
Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo'akannya atau ilmu yang bermanfaat
sesudahnya”. (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad)
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga
dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah
yang dikirimkan atau dihadiahkan kepada orang yang sudah mati. Misalnya hadits-hadits
berikut ini:
“Dari Ma'qil bin Yasar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bacakanlah
surat Yaasiin atas orang yang meninggal di antara kalian." (HR Abu Daud, An-
Nasaa'i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
6
“Jantungnya Al-Quran adalah surat Yaasiin. Tidak seorang yang mencintai Allah dan
negeri akhirat membacanya kecuali dosa-dosanya diampuni. Bacakanlah (Yaasiin)
atas orang-orang mati di antara kalian”. (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-
Hakim)
Hadits ini dicacat oleh Ad-Daruquthuny dan Ibnul Qathan, namun Ibnu Hibban dan
Al-Hakim menshahihkannya.
“Dari Abi Ad-Darda' dan Abi Dzar ra berkata, "Tidaklah seseorang mati lalu
dibacakan atasnya surat Yaasiin, kecuali Allah ringankan siksa untuknya." (HR Ad-
Dailami dengan sanad yang dhaif sekali)
“Adalah Ibnu Umar ra. gemar membacakan bagian awal dan akhir surat Al-Baqarah
di atas kubur sesuah mayat dikuburkan”. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan).
Dengan adanya pendapat yang berbeda diantara beberapa ulama, maka dari itu kita
tidak bisa mengatakan bahwa tahlilan dan kirim do’a itu adalah suatu adat yang benar atau
yang salah, karena masing-masing golongan mempunyai dasar hukum yang benar.Baik itu
hadits maupun firman Allah semua itu bisa dijadikan dasar hukum.
D. Macam-Macam Kaidah
Di antara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah muhakkamah adalah sebagai berikut:
بها
Adat (tradisi) bisa menjadi Yang sudah menjadi kebiasaan orang
hokum banyak, maka bisa menjadi hujjah
(argument) yang harus dilakukan
7
Sesuatu yang terlarang secara adat itu
seperti terlarang secara hakikat
االزمان
Tidak sangkal bahwa perubahan
hukum karena perubahan zaman
اوغلبت
Hanya adat yang membudaya atau
mendominasi yang dapat dijadikan
patokan
بينهم
Sesuatu yang sudah umum dikenal
dikalangan para pedagang itu berlaku
seperti syarat diantara mereka
8
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص 9
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya. 9 Contoh: Apabila tidak ada perjanjian
antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan
membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat
kebiasaan apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain
sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan
sebagai dasar hukum. 10 Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke
rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut
kepada pihak pengusaha koran tersebut.
9
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, h. 84-85
10
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 102-103
9
العبرة للغالب الشا ئع ال للنادر
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan
yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa
banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat
yang dibuat.11 Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. 12
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah
pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
11
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, h. 86
12
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh, h. 157.
10
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat
sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan
pada nash.13 Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah
anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua
utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara
rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya. 14 Contoh: Seseorang mengaku bahwa
tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah
tersebut.
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka
berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa
membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik.
13
Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, h. 100.
14
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, h. 87
11
االذن العرف كاالذن اللفظى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut
ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak
mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan
menghidangkan berarti mempersilahkannya.
E. Aplikasi Kaidah
Contoh aplikasi dalam fìqh muamalah sangatlah banyak; sebanyak perkembangan tradisi
dalam muamalah manusia yang akan terus berkembang selama tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Diantaranya adalah tradisi memberi upah jasa pada makelar (perantara) dalam transaksi
seperti jual beli rumah, tanah dan lainnya sebanyak 2,5% atau sesuai perjanjian. Ini bisa
digolongkan kepada adat yang umum berlaku di hampir kebanyakan wilayah di Indonesia.
Begitu juga, dalam contoh aplikasi adat yang khusus, seperti jual beli telur dengan di
tirnbang beratnya adalah adat khusus di Indonesia, karena adat di Mesir misalnya, berbeda dengan
di Indonesia, karena sesuai pengalaman penulis jual beli telur di Mesir dilakukan tidak dengan
ditimbang, tetapi dihitung jumlah telurnya dengan istilah ahaq (lusin) yang berisi 12 butir.
Sehingga bisa membeli 1 lusin atau 1/2 lusin (6 butir).
Atau seperti halal dan sahnya jual beli mu’atah, yaitu jual beli yang tanpa ijab dan kabul
secara lisan atau tulisan tapi hanya saling tukar menukar (serah terima) objek akad (uang dan
barang).
Maka jual beli semacam ini tetap sah walau melanggar salah satu dari beberapa rukunnya
jual beli yaitu adanya lafadz ijab dan kabul dari kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli.
Karena sudah menjadi budaya atau tradisi yang umum (merata). Bahkan kalau ijab dan kabul tetap
wajib, maka banyak jual beli di tengah masyarakat kita yang tidak sah, karena masyarakat
banyak/terbiasa tanpa ijab kabul.
12
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa Kaidah fikih asasi
kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan
dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Al-‘adah atau al-‘urf yaitu apa yang dianggap baik
dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.
Namun, bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima mentah-mentah saja, karena suatu
adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syariat, yaitu sebuah adat yang baik dan bukan adat buruk;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalarn ibadah mahdah, dan
5. Adat atau ‘urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan di tetapkan hukumnya.
13
Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi), Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
14