Anda di halaman 1dari 12

SYURB AL-KHAMR

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Jinayah
Dosen Pengampu: Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I.

Disusun Oleh:
1.Nugraheni Khusnul Khotimah ( 183111049/PAI 4B)
2. Galih Ageng Nur Rochman (183111081/PAI 4B)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam melarang khamr (minuman keras), karena khamr dinggap sebagai
induk keburukan (ummul khabaits), disamping merusak akal, jiwa, kesehatan
dan harta. Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat
manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang
ditimbulkankannya.
Ulama agama mengatakan bahwa hukum meminum khamar adalah haram
karena khamar menjadi induk segala kekejian dan kejahatan. Ahli kedokteran
mengatakan bahwa khamr merupakan bahaya paling besar yang dapat
menghancurkan kehidupan manusia.
Di sisi lain, khamar juga dapat melemahkan dan mengurangi kekebalan
tubuh, dapat berefek buruk bagi seluruh anggota tubuh, khususnya hati, serta
dapat menyerang seluruh saraf. Karena itu, tidak mengherankan lagi bahwa
khamar merupakan faktor terbesar yang menjadi sebab adanya penyakit saraf,
selain juga merupakan faktor terbesar penyakit dan faktor terjadinya
kesengsaraan dan kriminalitas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syurb Al-Khmar?
2. Apa saja unsur-unsur dalam jarimah Syurb Al-Khamr?
3. Apa dasar hukum jarimah Syurb Al-Khamr?
4. Bagaimana cara-cara pembuktian jarimah Syurb Al-Khamr?
5. Bagaimana batasan Syurb Al-Khamr beserta sanksi nya?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Syurb Al-Khamr.
2. Mengetahui unsur-unsur dalam jarimah Syurb Al-Khmar.
3. Mengetahui dasar hukum pelarangan Syurb Al-Khamr.
4. Mengetahui cara-cara pembuktian Syurb Al-Khamr.

2
5. Mengetahui batasan Syurb Al-Khamr dan sanksinya.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syurb Al-Khamr

Khamar (khamr) berasal dari kata khamara –yakhmuru atau yakhmiru


yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Sedangkan
secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum
minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr
maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari
bahan-bahan yang lain. Pengertian asy-syurbu menurut Imam Abu Hanifah
adalah minuman yang diperoleh dari perasan anggur. Dengan demikian Imam
Abu Hanifah membedakan antara khamr dan musykir. Khamr hukum
meminumnya tetap haram sedikit maupun banyak. Adapun selain khamr, yaitu
musykir yang terbuat dari bahan-bahanselain perasan buah anggur yang
sifatnya memabukkan, baru dikenakan hukuman apabila orang yang
meminumnya mabuk. apabila tidak mabuk, maka tidak dikenakan hukuman.1

Jumhur ulama‟ fiqh menyatakan bahwa minuman keras adalah setiap


minuman yang di dalamnya terdapat zat yang memabukkan, baik minuman itu
dinamakan khamr atau bukan, terbuat dari anggur atau bukan. Pengarang kitab
al-Hidayah menerangkan, bahwa khamr menurut bahasa adalah minuman
yang berasal dari perasan anggur.2 Sedangkan, Menurut Ibnu Arabik khamr itu
arak, karena khamr ditinggalkan dalam waktu yang lama sehingga mengalami
perubahan. Perubahan tersebut dicirikan dengan baunya.3

1
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal.74
2
H.M.K. Bakrie, Hukum Pidana Dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 1958), hal.60.
3
Abd al-Adzim Ma’ani dan Ahmad al-Ghundur, Maqashid asySyari’ah, (Jakarta: Pustaka
Firdaus), 2003 hal. 47.

3
Pengertian khamr menurut Sayid Sabiq yaitu benda cair yang sudah
dikenal pembuatannya dengan cara fermentasi dari biji-bijian atau buah-
buahan, yang mana kandungan gula yang ada padanya berubah menjadi
alkohol, melalui proses persenyawaan dengan zat tertentu yang harus
dicampurkan untuk terjadinya proses fermentasi tersebut.4Sedangkan menurut
Hasbi ash-Shiddieqy khamr adalah perasan anggur (dan sejenisnya) yang
diproses menjadi minuman keras yang memabukkan, dan segala sesuatu yang
memabukkan adalah khamr.5

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas


dapat ditarik kesimpulan bahwa khamr adalah semua jenis minuman atau zat
yang memabukkan baik yang terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, atau
bahan lainnya, baik diminum atau dikonsumsi sedikit maupun banyak

B. Unsur-Unsur Jarimah Syurb al-khamr

Suatu perbuatan bisa dianggap sebagai jarimah apabila telah


memenuhi beberapa unsur, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur-unsur
umum yang harus dipenuhi yaitu:

1. Adanya Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman


terhadapnya. Unsur ini biasa disebut unsur formil (rukun syar’i). Ketentuan
tentang larangan meminum minuman keras ini tercantum dalam Surat Al-
Maidah ayat 90.

2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-


perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur ini biasa disebut unsur
materiil (rukun maddi). Orang itu sudah meneguk walaupun baru beberapa
tegukan.

4
Sulaiman Ahmad Yahya al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayid Sabiq, (Jakarta: Pustaka Pinang,
2009), hal.558
5
TM. Hasbi ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar Mazhab, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), hal.211.

4
3. Pelaku adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung
jawaban terhadap jarimah yang diperbuat. Unsur ini disebut unsur moril
(rukun adabi).6

Selain unsur umum yang tersebut diatas, unsur khusus yang harus dipenuhi
jarimah syurb al-khamr. Unsur kusus tersebut ada dua yaitu:

1. Asy-Syurbu

Seseorang dianggap meminum apabila barang yang diminumnya


telah sampai ke tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak sampai ke
tenggorokan maka dianggap tidak meminum, seperti berkumur-kumur.
Demikian pula termasuk kepada perbuatan meminum, apabila meminum
minuman khamr tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan haus,
padahal ada air yang dapat diminumnya. Akan tetapi, apabila hal itu
dilakukan karena terpaksa (dharurat) atau dipaksa, pelaku tidak dikenai
hukuman. Jumhur ulama‟ menyatakan bahwa perbuatan meminum
minuman keras yang dikenakan hukuman hadd tersebut harus memenuhi
dua rukun, yaitu :

a. Yang diminum itu minuman keras, tanpa membedakan materi atau


benda asal pembuat minuman tersebut;

b. Perbuatan itu dilakukan secara sadar dan sengaja.

2. Niat yang melawan hukum.

Unsur ini terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan minum


minuman keras (khamr) padahal ia tahu bahwa apa yang diminumnya itu
adalah khamratau musykir. Dengan demikian, apabila seseorang minum
minuman yang memabukkan, tetapi ia menyangka bahwa apa yang
diminumnya itu adalah minuman biasa yang tidak memabukkan maka ia
tidak dikenai hukuman had, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Apabila seseorang tidak tahu bahwa minuman keras (khamr) itu dilarang,
6
Ahmad Hanafi, Asas-asasHukum Pidana Islam, (Jakarta: BulanBintang, 1993), hal.6.

5
walaupun ia tahu bahwa barang tersebut memabukkan maka dalam hal ini
unsur melawan hukum (Qasad al-Jina’i) belum terpenuhi. Akan tetapi,
sebagaimana yang telah diuraikan dalam bab terdahulu, alasan tidak tahu
hukum tidak bisaditerima dari orang-orang yang hidup dan berdomisili di
negeri dan lingkungan Islam.7

C. Dasar Hukum Jarimah Syurb Al-Khamr

1. Q.S. Al-Baqarah:219

ِ ‫ك َع ِن اخْلَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر ۖ قُ ْل فِي ِه َما إِمْثٌ َكبِريٌ َو َمنَافِ ُع لِلن‬


‫َّاس َوإِمْثُُه َما أَ ْكَب ُر‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ِ ‫ك يبنِّي اللَّه لَ ُكم اآْل ي‬ِٰ ِ
‫ات‬ َ َ‫ِم ْن نَ ْفعِ ِه َما ۗ َويَ ْسأَلُون‬
َ ُ ُ ُ َُ َ ‫ك َماذَا يُْنف ُقو َن قُ ِل الْ َع ْف َو ۗ َك َذل‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم َتَت َف َّك ُرو َن‬
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang
lebih dari,keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu supaya kamu berfikir. ”(Qs. Al-Baqarah: 219)
2. Q. S. Al-Ma’idah:90

‫س ِّم ْن َع َم ِل‬ ‫ج‬‫ر‬ِ ‫ٰ َٓيأَيُّها ٱلَّ ِذين ءامنُ ٓو ۟ا إِمَّنَا ٱخْلَمر وٱلْمي ِسر وٱأْل َنصاب وٱأْل َْزمَٰل‬
ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َْ َ ُ ْ ََ َ َ
‫ٱجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ُت ْفلِ ُحو َن‬ ٰ
ْ َ‫ٱلشَّْيطَ ِن ف‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,

7
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam,….., hal.46

6
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(Qs. AlMaidah: 90)8

D. Pembuktian Jarimah asy-Syurbul Khamr

Pembuktian untuk jarimah syurb al-khamr dapat dilakukan dengan cara


sebagai berikut:

1. Saksi
Jumlah saksi yang diperlukan untuk membuktikan jarimah khamr
adalah dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian, sebagaimana
yang telah diuraikan dalam jarimah zina dan qadzaf. Disamping itu Imam
Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan masih terdapatnya bau
minuman pada waktu dilaksanakan persaksian. Dengan demikian, kedua
imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras (khamr).
Akan tetapi, Imam Muhammad Ibn Hasan tidak mensyaratkan hal ini,
syarat lain yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-
muridnya adalah persaksian atau peristiwa minum khamrnya itu belum
kadaluarsa. Batas kadaluwarsa menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Abu Yusuf adalah hilangnya bau minuman. Adapun menurut Muhammad
Ibn Hasan batas kadaluarsa adalah satu bulan. Adapun menurut imam-
imam yang lain, tidak ada kadaluarsa dalam persaksian untuk
membuktikan jarimah syurb al-khamr.
2. Pengakuan
Adanya pengakuan pelaku. Pengakuan ini cukup satu kali dan tidak perlu
diulang-ulang sampai empat kali. Ketentuan-ketentuan yang berlaku
untuk pengakuan dalam jarimah zina juga berlaku untuk jarimah syurb
al-khamr. Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf mensyaratkan
pengakuan tersebut sebelum kadaluarsa. akan tetapi, imam-imam lain
tidak mensyaratkan.

8
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
hal. 438

7
3. Qarinah
Jarimah syurb al-khamr juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda.
Qarinah tersebut antara lain:
a. Bau minuman
Imam Malik berpendapat bahwa bau minuman keras dari mulut
orang yang meminum merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan
minuman khamr, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi‟i, dan pendapat yang rajih dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa bau minuman semata-mata tidak bisa dijadikan
sebagai alat bukti, karena sebenarnya mungkin saja ia sebenarnya tidak
minum, melainkan hanya berkumur-kumur, atau ia menyangka apa
yang diminumnya itu adalah air, bukan khamr.
b. Mabuk
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuknya seseorang sudah
merupakan bukti bahwa ia melakukan perbuatan meminum minuman
keras (khamr). Apabila dua orang atau lebih menemukan seseorang
dalam keadaan mabuk itu harus dikenai hukuman hadd, yaitu dera
empat puluh kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik.
akan tetapi, Imam Syafi‟i dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak
menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang
dengan bukti yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan
minumnya itu dipaksa atau karena kesalahan.
c. Muntah
Imam Malik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti yang
lebih kuat daripada sekedar bau minuman, karena pelaku tidak akan
muntah kecuali setelah meminum minuman keras. akan tetapi Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, dan Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali
apabila ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapatnya
bau minuman keras dalam muntahnya.9

9
Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam,……, hal. 79

8
E. Batasan Syurb Al-Khamr dan Sanksinya
Ulama kalangan Hanafiah, sebagaimana dipaparkan Al-Zuhaili
membedakan antara sanksi sekedar meminum khamr atau sanksi mabuk.
Artinya, sedikit atau banyaknya tetap saja haram dan peminum yang tidak
mabuk dapat dikenai sanksi hukum.jika mengonsumsi saja sudah dapat
dikenai sanksi, terlebih lagi sampai mabuk. Sanksi yang dikenakan pastilah
lebih berat.
Sementara itu, jumhur ulama tidak memisahkan antara sanksi sekedar
meminum dan sanksi mabuk. Menurut mereka, setiap meminum atau
memakan suatu zat yang dalam jumlah besarnya memabukkan maka
sedikitnya tetap saja haram, baik mabuk atau tidak.
Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak disebutkan secara jelas
dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamr di atas. Namun demikian,
dalam hadits disebutkan tentang sanksi bagi pemabuk, yaitu:

ِ ِ
ُ‫مر فَ َجلَده‬ َ ‫صلَّى اهللُ َعلَيه َوسلَّ َم اُيِت َ بَر ُج ٍل قَد َش ِر‬
ُ َ‫ب اخل‬ ِ َ‫َعن اَن‬
َ ِّ ‫س ب ِن اَ َّن النَّيِب‬
‫ني‬ِ َ ‫جِب َ ِر‬
ِ َ‫يدت‬
َ ‫ني حَن َو اَربَع‬
Artinya: “dari Anas bin Malik bahwasannya Nabi SAW didatangi oleh
seseorang yang telah meminum khamr. Beliau lalu mencambuknya
dengan dua pelepah kurma sebnayak empat puluh kali.” (HR. Muslim)

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa alat yang digunakan untuk


mencambuk adalah dua pelepah kurma. Imam Al-Nawawi mengemukakan
bahwa istilah dua pelepah kurma ini mengakibatkan pemahaman yang
beragam. Sebagaian memahami bahwa dua pelepah kurma itu dianggap
sebagai alat semata, bukan jumlahnya. Dengan demikian, jumlah
cambukannya sebanyak empat puluh kali . sementara itu sebagaian yang
lain memahami sebagai jumlah, bukan sebatas alat. Dengan demikian,
jumlah cambukan yang sebanyak empat puluh kali itu dikalikan dua
pelepah, sehingga jumlahnya delapan puluh kali.

9
Perbedaan pendapat mengenai sanksi jarimah syub al-khamr
adalah jumlah cambukan yang harus dikenakan kepada pelaku. Apakah
cukup diberi sanksi empat puluh kali cambukan atau harus delapan puluh
kali. Abu Dawud meriwayatkan hadits sebagai berikut:

‫صلَّى اهللُ َعلَ ِيه ِو َسلَّ َم يِف اخلَم ِر‬ ِ َ َ‫َعن َعلِ ٍّي َر ِض َي اهللُ َعنهُ ق‬
َ ‫ال َجلَ َد َر ُسواُل هلل‬
ِ ِ
ٌ‫ني َو ُكلٌّ ُسنَّة‬ َ ‫ِواَبُوبَك ِر اَربَع‬
َ ‫ني َو َك َّملَ َها عُ َم ُر مَثَا ن‬
”Dari Ali ra, ia berkata, “Nabi SAW mencambu pelaku jarimah syurb al-
khamr sebanyak empat puluh kali demikian juga Abu Bakar. Sementara
itu, Umar menyempurnakannya menjadi delapan puluh kali. Kedua-
duanya merupakan Sunnah.” (HR. Abu Dawud)
Dari beberapa hadits di atas dapat diketahui bahwa sanksi jarimah
syub al-khamr ada dua, yaitu empat puluh kali cambukan dan delapan
puluh kali cambukan. Dari sinilah para fuqaha berbeda pendapat , jumhur
fuqaha berpendapat sanksinya delapan puluh kali cambukan. Sedangkan
kelompok Syafi’iyah berpendapat sanksinya empat puluh kali cambukan.10

10
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2018) hal. 51

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. khamr adalah semua jenis minuman atau zat yang memabukkan baik yang
terbuat dari anggur, kurma, madu, gandum, atau bahan lainnya, baik
diminum atau dikonsumsi sedikit maupun banyak.
2. Unsur-unsur jarimah Syurb Al-Khamr ada dua, yaitu unsur umum dan
unsur khusus. Unsur umum meliputi adanya nash yang melarang
perbuatan tersebut, adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, dan
adanya pelaku. Sedangkan unsur khusus meliputi Asy-Syurbu dan niat
yang melawan hukum.
3. Dasar hukum Syurb Al-Khamr dalam Q.S. Al-Baqarah:219 dan Q.S. Al-
Ma’idah:90
4. Pembuktian jarimah Syurb Al-Khamr dapat dilakukan dengan cara adanya
saksi, pengakuan, dan qorinah. Qorinah meliputi bau minuman, mabuk,
dan muntah.
5. Hukuman jarimah Syurb Al-Khamr adalah dicambuk. Ada yang
berpendapat dengan 40 kali cambukan da nada yang berpendapat dengan
80 kali cambukan.
B. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan
menambah wawasan kita tentang jarimah Syurb Al-Khamr.
Dari pembahasan materi ini kami mengalami beberapa kendala dalam
penyusunan makalah ini. Mungkin ada beberapa kesalahan atau kekurangan
oleh kami. Oleh karena itu kami juga membutuhkan saran dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Faiti, Sulaiman Ahmad Yahya. 2009. Ringkasan Fikih Sunnah Sayid Sabiq.
Jakarta: Pustaka Pinang

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi. 2001. Hukum-Hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar
Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra

Bakrie, H.M.K. 1958. Hukum Pidana Dalam Islam. Solo: Ramadhani

Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-asasHukum Pidana Islam. Jakarta: BulanBintang

Hasan, Mustofa dan Saebani, Beni Ahmad. 2013. Hukum Pidana Islam.
Bandung: Pustaka Setia

Irfan, Nurul dan Masyrofah. 2018. Fiqih Jinayah. Jakarta: Amzah

Ma’ani, Abd al-Adzim dan al-Ghundur, Ahmad. 2003. Maqashid asySyari’ah.


Jakarta: Pustaka Firdaus

Muslih, Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika

12

Anda mungkin juga menyukai