Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH INDIVIDU

KELOMPOK 11
KEWARISAN ORANG MAFQUD DAN BANCI

Di Susun Oleh :
ANCE KORNIA
Npm :
2021020021
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN AJARAN
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatu

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segalah rahmat-Nya sehingga makalah
FIQH MAWARIS yang bejudul “Kewarisan Orang Mafqud Dan Banci” ini dapat tersusun
sampai dengan selesai.
Penulis sangat berharap sehingga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan penulis berharap lebih jauh lagi agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dalam kehidupan sehari-hari.
Saya sebagai penulis merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah
inikarena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatu

Lampung, 15 Oktober 2021

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PERNDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kewarisan orang yang hilang (mafqud) ?
2. Bagaimana penentuan batas waktu kematian orang hilang (mafqud) ?
3. Bagaimana kewarisan orang banci (khuntsa) ?
1. Bagaimana penetapan kewarisan banci (khuntsa) ?
C. Tujuan Masalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa secara
gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada
pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Sistem kewarisan dalam Islam yakni sangat bijaksana dan adil. Karena itu, sistem ini
mencegah terjadinya pemusatan harta warisan pada kelompok tertentu. Semua jago waris
mempunyai hak yang sama sesuai ketentuan hukum, untuk memperoleh serpihan dari harta
warisan. Tidak ada dominasi atas klaim kepemilikan warisan. Pewaris dibatasi oleh syariat dalam
memilih siapa yang berhak mewarisi hartanya dan berapa besar serpihan yang mesti
diberikannya. Kondisi ini mencegah terjadinya perpindahan harta warisan kepada orang tertentu
sesuai kecenderungan hati pewaris, atau pengambilalihan pemilikan seluruh harta peninggalan
oleh jago waris dengan cara yang tidak sah. Begitupun kewarisan orang hilang (mafqud) dan
kewarisan banci, dua keadaan ini akan menjadi suatu masalah dalam pembagian harta warisan
apabila tidak tahu bagaimana ketentuan-ketentuan yang sudah ada, alasannya kedua keadaan itu
merupakan suatu keadaan yang tidak lazim kita temui di kehidupan kita sehari-hari.
Makalah ini dibuat untuk pembaca agar mengetahui bagaimana hak waris bagi seorang
mafqud dan banci agar tidak salah mengetahui apa yang seharusnya di lakukan dalam hal
tersebut untuk mewujudkan keadilan serta memahami cara menjalankan hak waris itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
4. Bagaimana kewarisan orang yang hilang (mafqud) ?
5. Bagaimana penentuan batas waktu kematian orang hilang (mafqud) ?
6. Bagaimana kewarisan orang banci (khuntsa) ?
7. Bagaimana penetapan kewarisan banci (khuntsa) ?
C. Tujuan Masalah

Tujuan dari masalah tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana hak kewarisan bagi
orang yang hilang dan orang banci didalam hokum waris, serta ingin mengetahui bagaimana
penetapan batas waktu kematian orang hilang dan penetapan kewarisan banci (khuntsa).

BAB II

PEMBAHASAN

1. Bagaimana Kewarisan Orang Yang Hilang

Al-mafqud dalam pengertian bahasa berarti orang yang hilang. Sedangkan berdasarkan istilah,l-mafqud
itu ialah, orang yang hilang, terputus beritanya, dan tak diketahui rimbanya, masih hidupkah ia atau sudah
tiada.

a. Hukumal-mafqud
Para fuqaha  telah  menetapkan beberapa ketentuan mengenai al-mafqud ini, yaitu
isterinya  tidak boleh dinikahi, hartanya dihentikan diwariskan dan hak miliknya dihentikan
dipergunakan hingga keadaannya menjadi jelas, apakah ia masih hidup ataukah ia sudah
meninggal. Atau hingga melewati suatu masa dimana dugaan umum menyatakan bahwa ia
telah wafat, dengan dikuatkan oleh keputusan hakim.

b. Ketentuan Masa Kematian al-mafqud


Dalam memilih batas masa yang ditetapkan untuk memutuskan ajal al-mafqud, ulama
terbagi dalam beberapa mazhab sebagai berikut:
1) Mazhab Hanafi

Untuk memutuskan ajal al-mafqud,  mereka berpedoman pada ajal teman-teman


sebaya al-mafqud di daerahnya. Jika tidak dijumpai satu pun temannya, maka al-
mafqud diputuskan telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Abu Hanifah
memutuskan masanya yakni 90 tahun.
2) Mazhab Maliki

Imam Maliki memutuskan waktunya yakni 70 tahun.


Diberitakan pula bahwa berdasarkan Imam Malik kalau seseorang yang hilang di
negara Islam tanpa diketahui beritanya, maka isterinya boleh mengadukan halnya ke
hakim setempat yang kemudian berusaha mencarinya dengan segala cara yang
memungkinkan mendapat informasi perihal keberadaannya. Jika tidak berhasil maka
hakim memutuskan masa empat tahun bagi si isteri untuk menunggu. Kalau masa
empat tahun itu telah lewat, maka istri ber’iddah sebagaima ‘iddahnya perempuan
yang ditinggal mati suaminya, sesudah itu isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki
lain.
3) Mazhab Syafi’i

Imam Syafi’I beropini bahwa masa yang diharapkan yakni 90 tahun, masa dimana
teman-teman di kampungnya telah meninggal. Menurut pendapatnya yang shahih,
bahwa batasannya tidak sanggup ditetapkan dengan waktu tertentu. Jika hakim telah
memutuskan kematiannya berdasarkan hasil ijtihadnya dengan memperhatikan batas
usianya dimana pada umumnya orang yang sebaya dengannya sudah wafat, maka
sanggup diputuskan bahwa al-mafqud sudah wafat.
4) Mazhab Hanbali

Imam Ibnu hanbal beropini bahwa kalau al-mafqud hilang pada situasai yang
biasanya sanggup merenggut nyawa seseorang, ibarat  pada ketika terjadi
pertempuran yang hebat antara dua kekuatan, atau hilang ketika kapal yang
ditumpanginya karam sehingga sebagian selamat dan yang lainnya tenggelam, maka
ia dicari selama masa empat tahun. Jika tidak ditemui kabar beritanya, maka hartanya
sudah sanggup diwarisi oleh jago warisnya, sedangkan istrinya ber’iddah dengan
‘iddahwanita yang ditinggal mati suami dan boleh menikah lagi sesudah ‘iddahnya
habis.
Tetapi kalau al-mafqud hilang pada situasi yang umumnya tidak mengakibatkan
kematian, ibarat berpergian untuk berdagang, sedang rekreasi, atau menuntut ilmu,
maka Imam Ibnu Hanbal mempunyai dua pendapat:

1. Menunggunya hingga berusia 90 tahun, alasannya umumnya orang tidak hidup


lebih dari masa tersebut.
2. Menyerahkan kepada hasil ijtihad hakim yang kemudian memeriksanya. Hasil
ijtihad hakim itulah yang dipergunakan untuk memutuskan keberadaan nya tersebut.
Tampaknya pendapat para fuqaha mazhab Hanbali ini lebih unggul.
c. Tata Cara Kewarisan al-mafqud

Bila ada orang wafat dengan meninggalkan sejumlah jago waris yang di antaranya terdapat
al-mafqud, maka ada dua keadaan:

1) Al-mafqud (ahli waris yang hilang) tersebut memahjubkan jago waris lainnya
sehingga mereka tidak mendapat serpihan sama sekali.

2) Al-mafqud itu tidak sanggup menghalangi, tetapi mewarisi bahu-membahu dengan


jago waris yang lain dalam pembagian harta warisan.
 Pada Keadaan Pertama.

Harta warisan seluruhnya ditangguhkan dan jago waris lain dihentikan


mengambilnya hingga keadaan al-mafqud menjadi jelas. Jika masih hidup,
maka ia mengambil seluruh harta, sebaliknya kalau hakim memutuskan ia
telah mati, maka jago waris yang lain sanggup mengambil bagiannya
masing-masing.
 Pada Keadaan Kedua.

Harta warisan seluruhnya ditangguhkan dan jago waris lain dihentikan


mengambilnya hingga keadaan al-mafqud menjadi jelas. Jika masih hidup,
maka ia mengambil seluruh harta, sebaliknya kalau hakim memutuskan ia
telah mati, maka jago waris yang lain sanggup mengambil bagiannya
masing-masing.

2. Penentuan Batas Waktu Kematian Orang Hilang (Mafqud)

Dalam batas waktu penentuan kematian mafqud hakim memutuskan kematian mafqud
adakalanya jika berdasarkan bukti yang otentik, yang di benarkan oleh syari’at yang dapat
menentukan suatu ketetapan hokum. Begitu juga dengan para ulama yang mana terdapat
perselisihan dalam menentukan, diantaranya sebagai berikut :
a. Imam Abu Hnifah, Abu Yusuf, Imam Syafi’I, dan Muhammad bin Al-Hasan
Berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematianya oleh hakim bila
sudah tidak ada seorangpun dari kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti
waktu tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh karenanya beliau menyerahkan
kepada ijtihad hakim. Disetiap tempat hakim dapat memberi vonis kematian si
mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemaslahatan.
b. Imam Malik
Dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang di perbolehkan bagi
hakim memberikan vonis kematian si mafqud ialah empat tahun.
c. Abdul Malik Ibnul Majisyun
Berpendapat bahwa agar si mafqud tersebut mencapai umur 90 tahun beserta
umur sewaktu kepergianya. Sedangkan Ibnu Abdul Hakam menetapkan supaya si
mafqud ditunggu sampai genap 70 tahun dengan umur sewaktu kepergianya.
d. Imam Ahmad
Menetapkan waktu diperkenankanya seorang hakim memutuskan kematianya.
Dengan mengingat situasi hilangnya mafqud.
e. Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir Yang Lama No.15 Tahun 1929
Pasal 21 menyebutkan sebagai berikut :
“ Diputuskan kematian si mafqud yang bepergian membawa malapetaka setelah
empat tahun dari tanggal kepergianya. Adapun dalam keadaan yang lain, maka
urusan waktu yang diperkenankan untuk memutuskan kematian si mafqud,
setelah kepergianya diserahkan kepada hakim. Yang demikian itu setelah
diadakan penelitian dengan seluruh cara atau jalan yang mungkin yang dapat
menunjukan apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.”

Dalam proses pembagian pewarisan orang hilang kita membuat suatu masalah yang mana
masalahnya dengan memperkirakan si mafqud masih hidup atau telah meninggal, menurut
ketentuan ilmu usul fiqh, harta bagi yang mafqud yang belum ditentukan orang itu meninggal
dunia, masih tetap belum dapat mewarisi karena orang itu berdasarkan Istishaabul Haal masih
dipandang hidup, sehingga hartanya masih tetap miliknya.
Lain halnya jika orang mafqud dinyatakan meninggal dinua oleh hakim berdasarkan bukti
yang otentik, maka hartanya dapat dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak. Dan jika
dikemudian hari orang yang mafqud dan dinyatakan mati oleh hakim tersebut masih hidup dan
kembali untuk mengambil hartanya, maka harta yang diberikan kepadanya ialah harta yang
masih sisa yang telah diterima oleh ahli waris. Dan harta waris yang telah habis digunakan oleh
ahli waris ahli waris tidak perlu mengganti, dan tidak dapat dituntut untuk mengganti barang
yang telah digunakan. Mereka hanya wajib mengembalikan barang yang sudah sisa. Karena
mereka (ahli waris) menerima keputusan (karena melaksanakan keputusan hakim). Dan ini
bukan berarti mutlak tanpa terlihat motif penggunaan barang warisan tersebut. Kalau sekiranya
penggunaan warisan tersebut bermaksud untuk menghindari pengembalian barang sekiranya
orang yang dinyatakan mati tadi kembali lagi. Maka si ahli waris tersebut dapat dituntun untuk
mengembalikan warisan yang diterimanya.
3. Kewarisan Orang Banci (Khuntsa)

Orang dengan kelamin ganda atau dikenal dengan istilah Khuntsa Al Musykil adalah orang
pada waktu lahir diketahui memiliki kelamin seperti wanita dan lelaki atau tidak memiliki
kelamin sama sekali, ada pula sewaktu lahir berkelamin identik perempuan tetapi setelah
beranjak dewasa kelamin berubah seperti lelaki, maupun sebaliknya. Jika dilakukan pemeriksaan
genetik pada khuntsa akan identik dengan lelaki ataupun sebaliknya. Khuntsa al musykil berbeda
dengan “waria” atau “banci”, dimana waria/banci secara fisik terlihat seperti lelaki tetapi secara
kejiwaan atau emosional berperilaku seperti wanita dan tidak berkelamin ganda ataupun tanpa
kelamin sama sekali. Jadi khuntsa al musykil berbeda dengan “waria” dan “banci” dan tidak
dapat disamakan baik secara fisik dan kejiwaan.
Diberitakan mengenai dua anak yang semula berkelamin perempuan berubah menjadi identik
dengan kelamin lelaki, pada seorang anak setelah dilakukan serangkaian upaya medis diketahui
bahwa anak tersebut adalah lelaki, sedangkan untuk seorang yang lain setelah menjalani
serangkaian upaya medis diketahui bahwa anak tersebut adalah benar perempuan, meskipun pada
awalnya anak tersebut identik sebagai lelaki.
Permasalahan yang timbul dalam hal kewarisan islam mengenai khuntsa al musykil adalah
bagaimana cara menentukan besar bagian hak seorang khuntsa al musykil ? Permasalahan waris
islam bagi khuntsa al musykil tidak dapat diterapkan terhadap waria, karena konteks hukum
waris islam bagi khuntsa al musykil berbeda dengan hukum waris islam bagi waria, bahkan
hukum waris islam tidak mengatur mengenai waria. Bagian hak kewarisan islam bagi waria
ketetapannya sama berdasarkan kelamin waria tersebut yaitu sebagai lelaki.
Cara sederhana untuk menentukan bahwa seorang khuntsa al musykil, dapat dilihat
berdasarkan ciri – ciri fisik orang yang bersangkutan lebih seperti wanita atau lelaki, tetapi hal
ini tidak dapat dilihat berdasarkan psikis khuntsa al musykil, hanya dilihat dari ciri fisik yang
lebih dominan dari khuntsa al musykil, selain itu, dengan meneliti tanda – tanda kedewasaannya
misalnya jika lelaki akan tumbuh kumis atau jakun dan jika wanita akan mengalami menstruasi
atau perubahan fisik lainnya.
Perkembangan teknologi medis yang semakin canggih serta ilmu pengetahuan yang semakin
maju dan berkembang, menyebabkan masalah pewarisan ini semakin kompleks. Orang yang
awal mula berkelamin lelaki dengan bantuan medis dapat berganti kelamin menjadi wanita, dan
sebaliknya seorang wanita dengan bantuan medis dapat berubah menjadi seorang pria. Perubahan
kelamin sebagai wanita atau lelaki secara medis tersebut dapat disahkan oleh Pengadilan dan
orang tersebut dapat melangsungkan pernikahan pula. Pada dasarnya secara hukum Islam
diperbolehkan untuk khuntsa melakukan operasi penyesuaian terhadap alat kelamin ganda,
dengan ketentuan bahwa operasi tersebut dilakukan untuk menghidupkan alat kelamin yang
sesuai dengan keadaan dan fungsi bagian dalam. Operasi mengubah kelamin yang berlainan
dengan kondisi biologis bagian dalam dilarang oleh agama.
Dasar hukum pengesahan perubahan kelamin belum diatur secara pasti dalam hierarki peraturan
perundang – undangan, namun Pengadilan berkewajiban untuk melakukan pengesahan atas
perubahan kelamin dari seorang khuntsa, dengan berdasarkan atas syarat – syarat yang
menunjukkan bahwa khuntsa berkelamin lelaki atau perempuan dari surat keterangan medis.
Pengesahan jenis kelamin oleh Pengadilan digunakan sebagai dasar dalam melakukan perubahan
identitas ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, sehingga atas keperluan tersebut maka
Pengadilan wajib melakukan penetapan pergantian kelamin yang dimohonkan oleh khuntsa, jika
benar – benar yang mengajukan penetapan tersebut adalah khuntsa al musykil. Secara sederhana
mengenai hal kewarisan islam bagi seorang khuntsa al musykil untuk menentukan dia berhak
mendapat bagian sebagai seorang lelaki atau seorang wanita adalah dengan mengetahui kelamin
pertama kali khuntsa tersebut, jika dia adalah lelaki akan mendapatkan bagian sesuai dengan
bagian hak seorang lelaki dan jika dia wanita maka mendapat bagian sebagai seorang wanita. Hal
tersebut tentunya akan menimbulkan sengketa waris jika tidak benar – benar menyadari akan
penerapan hukum waris islam yang benar bagi seorang khuntsa al musykil. Sedangkan untuk
waria hukum kewarisan islam tetap didasarkan atas kelamin awal, jadi bagian hak waris sesuai
dengan bagian yang diperoleh oleh lelaki bukan wanita seperti kejiwaannya.
Beberapa doktrin mengenai penentuan bagian waris bagi seorang khuntsa al musykil adalah
dengan  memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan dan memberi
bagian terbesar pada ahli waris lain, maksudnya adalah jika dibandingkan berapa bagian dia
sebagai laki-laki dan berapa apabila sebagai perempuan sehingga bagian terkecil akan diberikan
kepadanya, misal jika dia sebagai laki – laki dengan bagian 1/6 sedangkan jika dia sebagai
perempuan dengan bagian 1/3 maka dia mendapatkan bagian terkecil dari perbandingan tersebut
yaitu  1/6. Selain itu, dengan cara menangguhkan harta tersebut hingga dapat diketahui status
jelas bahwa dia berkelamin lelaki atau perempuan, tetapi cara seperti ini tidak diketahui jangka
waktu sampai kapan harta tersebut ditangguhkan jika hanya berpedoman hingga diketahui secara
jelas kelaminnya. Serta dengan memberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan
kepada khuntsa al musykil dan ahli waris lain.
Status khuntsa al musykil yang diragukan antara lelaki atau wanita merupakan suatu
permasalahan yang terkadang tidak dipikirkan oleh orang terutama dalam hal kewarisan islam.
Pengakuan akan status khuntsa al musykil dalam menentukan bagian yang diterimanya dalam hal
waris memang sedikit membingungkan, dengan cara sederhana dapat ditentukan adalah
berpedoman pada kelamin seorang khuntsa untuk pertama kalinya.

4. Penetapan Kewarisan Orang Banci (Khuntsa)

Dalam proses pembagian kewarisan orang banci kita membuat suatu masalah yang mana
masalahnya dengan menentukan si khuntsa tersebut apakah laki-lakiatsu perempuan. Mengenai
hokum memberikan warisan kepada khuntsa musykil terdapat perbedaan pendapat dari para
ulama.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapat bagian terkecil dari dua bagian,
yakni bagian apabila di anggap laki-laki dan bagian apabila di anggap perempuan. Bagian
terkecil dari dua bagian itulah yang akan diberikan kepada khuntsa musykil.
Pendapat ini merupakan salah satu dari dua pendapat mazhab syafi’i dan merupakan pendapat
kebanyakan dari golongan para sahabat. Pendapat diatas didasarkan kepada suatu ketentuan
bahwa untuk memiliki harta benda harus dengan cara meyakinkan. Dalam masalah ini terdapat
keraguan antara warisan terkecilkah yang diberikan kepada khuntsa musykil atau bagian warisan
terbesar. Untuk menghilangkan keraguan serta memperoleh keyakinan, maka ditetapkanlah
bagian terkecil dari dua cara bagian tersebut.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki berpendapat bahwa khuntsa musykil diberi bagian yang
pertengahan diantara dua bagian. Cara menyelesiakanya melalui dua tahap, tahap pertama dicari
bagian pada saat dianggap sebagai laki-laki, tahap kedua dicari bagian pada saat dianggap
perempuan. Kemudian hasilnya dibagi dua, itulah bagian yang akan diberikan kepada khuntsa
musykil.

BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Al-mafqud dalam pengertian bahasa berarti orang yang hilang. Sedangkan berdasarkan
istilah,l-mafqud  itu ialah, orang yang hilang, terputus beritanya, dan tak diketahui rimbanya,
masih hidupkah ia atau sudah tiada.
Dalam batas waktu penentuan kematian mafqud hakim memutuskan kematian mafqud
adakalanya jika berdasarkan bukti yang otentik, yang di benarkan oleh syari’at yang dapat
menentukan suatu ketetapan hokum.
Orang dengan kelamin ganda atau dikenal dengan istilah Khuntsa Al Musykil adalah orang
pada waktu lahir diketahui memiliki kelamin seperti wanita dan lelaki atau tidak memiliki
kelamin sama sekali, ada pula sewaktu lahir berkelamin identik perempuan tetapi setelah
beranjak dewasa kelamin berubah seperti lelaki, maupun sebaliknya. Jika dilakukan pemeriksaan
genetik pada khuntsa akan identik dengan lelaki ataupun sebaliknya. Khuntsa al musykil berbeda
dengan “waria” atau “banci”, dimana waria/banci secara fisik terlihat seperti lelaki tetapi secara
kejiwaan atau emosional berperilaku seperti wanita dan tidak berkelamin ganda ataupun tanpa
kelamin sama sekali. Jadi khuntsa al musykil berbeda dengan “waria” dan “banci” dan tidak
dapat disamakan baik secara fisik dan kejiwaan.
Dalam proses pembagian kewarisan orang banci kita membuat suatu masalah yang mana
masalahnya dengan menentukan si khuntsa tersebut apakah laki-lakiatsu perempuan. Mengenai
hokum memberikan warisan kepada khuntsa musykil terdapat perbedaan pendapat dari para
ulama.
DAFTAR FUSTAKA
www.tokomakalah.com/2017/01/mafqud-dan-khunsta-makalah-lengkap.html
Nasution, Amin Husein. Hukum Kewarisan, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.2012.
A.Rahman, Asymuni, dkk. Ilmu Fiqh, Jakarta: 1986
Rahman, Fatchor. Ilmu Waris, Bandung:PT. Al-Ma’arif.1994)

Anda mungkin juga menyukai