Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kewarisan merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang
mengatur cara pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah
meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya. Mengenai orang
hilang (Mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak hidup-matinya,
membuat masyarakat mencari keadilan ke Pengadilan Agama untuk
mendapatkan ketetapan bahwa si Mafqud meninggal dunia secara hukum.
Perkara tersebut menarik untuk dikaji karena permasalahan hak waris mafqud
kendala dalam proses pembagian harta warisan yang mana status si Mafqud
tidak bisa diidentifikasi dengan jelas apakah masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena, peraturannya secara
rinci tidak terkodifikasi dalam undang-undang yang berlaku. Dapatkah ha
waris mafqud tersebut diperoleh?
Begitu juga dengan orang banci (Khuntsa) pada prinsipnya Allah SWT
menciptakan manusia hanya dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan
perempuan. Kedua alat kelamin tersebut mempunyai urgensi yang tidak dapat
diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis laki-
laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan
untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga.
Dalam hal tertentu hukum membedakan ketentuan antara laki-laki dan
perempuan, antara lain dalam pusaka mempusakai dimana Allah SWT telah
menjelaskan pusaka laki-laki an perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat
mawarits, tetapi tidak menjelaskan pusaka Khuntsa. Sehingga dengan
demikian dari pemaparan tersebut menarik untuk dibahas bagaimana
pewarisan orang yang hilang (Mafqud) dan orang banci (Khuntsa). Yang mana
hal ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut. Dan akan
dijelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya.

A. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Mafqud?
2. Bagaimana status hukum mafqud dan Cara pembagian warisnya?
3. Apa yang dimaksud dengan Khuntsa?
4. Bagaimana perbedaan ulama mengenai warisan khuntsa?
5. Apa hukum kewarisan  Khuntsa dan Bagaimana cara Pembagian
Warisnya?
6. Berikan contoh-contoh amaliah hak Waris Khuntsa / Banci!

1
B. Tujuan Penulisan
1. Mengembangkan kreativitas dan wawasan penulis.
2. Memberikan uraian tentang Kewarisan Mafqud.
3. Mengetahui status hukum dan cara Pembagian Waris Mafqud.
4. Memberikan uraian tentang Kewarisan khuntsa.
5. Menelaah lebih lanjut mengenai hukum kewaris khuntsa.
6. Mengetahui bagaimana cara perhitungan didalam kewarisan khuntsa.
7. Mengetahui contoh-contoh amaliah Hak waris Khuntsa / banci.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Mafqud
Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqadayang
berarti hilang. Menurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang
yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui
domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada
yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal. Dalam pembahasan
ulama fikih, penentuan status bagi mafqud, apakah ia masih hidup atau telah
wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari
si mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.1
Al-Mafqud adalah orang yang tidak diketahui beritanya karena telah
meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Dalam keadaan yang
serba tidak jelas demikian, sudah tentu perlu diambil langkah-langkah untuk
mengetahuinya, atau paling tidak menetapkan status hukumnya. Apakah
melalui cara lain. Dalam konteks pewarisan, al-mafqud dapat berperan
sebagai muawarris apabila ternyata dalam kepergiannya meninggalkan harta
sementara ahli waris lain bermaksud memanfaatkannya. Dapat juga bertindak
sebagai ahli waris, manakala ada saudara yang meninggal dunia.2
Dengan demikian mafqud berarti orang yang hilang. Orang yang
hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi
keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya adalah
seorang pembisnis yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah dilanda
perang, para relasinya yang dihubungi tidak diketahui keberadaannya, karena,
menurut mereka, pembisnis tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan
keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Contoh
lainnya adalah seorang yang merantau ke negara lain, baik dalam rangka
melakukan studi atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak
diketahui secara pasti keberadaannya.
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum
Islam menetapkan bahwa istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan,
harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan, hak-hak orang hilang tidak
boleh dibelanjakan atau dialihkan.3 Para  ulama sepakat menetapkan bahwa
harta si al-mafqud ditahan dahulu sampai ada berita yang jelas. Persoalannya
sampai kapan penagguhan semacam ini, mereka berbeda pendapat apakah
1Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam I,  hal. 45.
2Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 138.
3Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam: Lengkap dan Praktis, hal. 66.

3
ditetapkan berdasarkan perkiraan waktu saja, atau diserahkan kepada ijtihad
hakim. Dan apabila diserahkan kepada hakim, kapan ia dapat memberi
putusan hokum.4

B. Status Hukum Mafqud dan Cara Pembagian Warisnya


Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud yaitu:5
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik  yang dibenarkan oleh syariat, yang
dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah
‫الثابت بالبينة كالثابت بالمعاينة‬
“yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan
kenyataan”.
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk
memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia,
maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk
memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka
si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang
mati hakiki.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan
kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk
menghukumi atau menetapkan kematian bagi si mafqud yaitu:
a. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang
diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah
empat tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin
Khattab yang menyatakan: “Setiap isteri yang ditinggalkan oleh
suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia
menunggu empat tahun, kemudian dia ber’iddah selama empat bulan
sepuluh hari, kemudian lepaslah dia.” (HR. Bukhari)
b. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-
Hasanberpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya
oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup.
Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau
menyerahkan kepada ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis
kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
c. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt
mencapai umur  90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab
menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun.

4Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 138.


5Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 139.

4
Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW
yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 90 tahun.”
d. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum
bagi si mafqud, hakim harus melihat situasi hilangnya
si mafqudtersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat
dibedakan atas dua situasi:
1) Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa
malapetaka misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang
kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau
dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan
oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan
kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
2) Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai
membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menuntut ilmu,
ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan
tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka
dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan
status bagi si mafqud menurut ijtihad-Nya.6
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama,
bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan atau
menghukumi status bagimafqud tersebut dengan menyatakan ia telah
meninggal atau belum masih bersifat masih dapat diperdebatkan.
Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan hingga saat ini belum ada
ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan
statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi
si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang
menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli
warisnya. Menurut para ulama  setelah hakim memutuskan si mafqud telah
meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada
dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu
dipandang meninggal dunia pada waktu keluarnya penetapan hakim.
Menurut pendapat yang shaheh, apabila sudah berlalu sekian masa,
lalu hakim menetapkan bahwa orang yang tidak ada beritanya seperti itu
biasanya sudah tidak hidup lagi, maka harta peninggalannya boleh dibagi-
bagi oleh ahli warisnya pada saat hakim member ketetapan (keputusan).7
Contoh, Seorang wanita wafat, meninggalkan ahli waris: suami,
ibu, dua saudara perempuan sebapak dan saudara laki-laki sebapak yang
hilang. Si mayit meninggalkan harta sebesar Rp. 48.000.000 berapakah

6Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, hal. 139-140.


7Achmad Zaidun dan Ma’ruf Asrori, Terjemahan Kifayatul akhyar Jilid II, hal. 288.

5
jumlah harta warisan yang diperoleh setiap ahli waris dan berapakah
jumlah harta warisan yang ditangguhkan pembagiannya untuk orang yang
hilang?8

 Jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan masih

hidup.
No Ahli Waris Bagian AM HW.48 jt Penerima

1 Suami ½ 3 3/6 x 48 jt 24.000.000


2 Ibu 1/6 1 1/6 x 48 jt 8.000.000
2 Saudara pr se
3 1/6 1 1/6 x 48 jt 8.000.000
Bpk
Saudara lk2 se
4 1/6 1 1/6 x 48 jt 8.000.000
Bpk
Jumlah 6 6 48.000.000

 Kedua jika orang yang hilang (saudara laki-laki sebapak) diperkirakan

sudah meninggal
No Ahli Waris Bagian AM HW.48 jt Penerima
1 Suami ½ 3 3/7 x 48 jt 20.571.428
2 Ibu 1/3 2 2/7 x 48 jt 13.714.286
2 Saudara pr se
3 2/3 2 2/7 x 48 jt 13.714.286
Bpk
Jumlah 6 7 48.000.000

Dengan demikian harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli


waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia
sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya karena tidak
terpenuhi-nya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara
hakikatnya (mati hakiki) maupun mati secara hukum. Oleh karena itu,
harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah
melampaui empat tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta
warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum empat
tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh
ahli warisnya yang merupakan harta warisan.

C. Definisi Khuntsa

8Addys Aldizar, Hukum Waris, hal. 381.

6
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata
khanatsa berarti‘lunak‘ atau ‘melunak‘. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa,
yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-laki menyerupai
wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih
dikisahkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki-laki.”
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang
mempunyai alat kelamin laki-laki dan kelamin wanita (hermaphrodit), atau
bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang kedua ini
menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan.
Sebab, setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak
berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan. Kejelasan jenis kelamin
seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima
harta waris sesuai bagiannya.
Seorang khuntsa ada yang masih dapat diketahui atau diidentifikasi
jenis kelaminnya. Khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil. Jika
seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasi jenis kelaminnya,
maka orang itu disebut khuntsa musykil.9
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang atau bahkan
sama sekali tidak ada disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan
karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam keadaan tertentu kemusykilan
tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia membuang
“air kecil”. Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki
dan mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia
mengeluarkan urine dari vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh
hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia mengeluarkan urine dari kedua
alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah yang
dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga
datang masa akil baligh.
Orang yang normal sudah jelas jenis kelaminnya sehingga statusnya
dalam pembagian warisan dapat ditentukan dengan segera. Tetapi berbeda
halnya dengan khuntsakarena dalam sebagian besar kasus, jenis kelamin
seseorang dapat menentukan bagian warisan yang diterimanya. Dari seluruh
orang yang berhak sebagai ahli waris, maka adatujuh macam orang yang ada
kemungkinan berstatus sebagai khuntsa. Ketujuh orang itu adalah:10

9Rieffie An-nisa,  http://www.hidayatullah.com, (Online 18 Desember 2017).


10Achmad Yani, http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/05/tanya-jawab-2-warisan-bagi-
banci.html, (Online 18 Desember 2017).

7
a. anak
b. cucu
c. saudara (kandung, sebapak, atau seibu)
d. anak saudara atau keponakan (kandung atau sebapak)
e. paman (kandung atau sebapak)
f. anak paman atau sepupu (kandung atau sebapak)
g. mu’tiq (orang yang pernah membebaskan si mayit)

Selain ketujuh macam orang itu, tidak mungkin berstatus


sebagai khuntsa. Sebagai contoh, suami atau isteri tidak mungkin khuntsa
karena salah satu syarat timbulnya perkawinan adalah terjadi antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang sudah jelas jenis kelaminnya. Begitu
juga dengan bapak, ibu, kakek, dan nenek; keempat macam orang ini tidak
mungkin khuntsa karena mereka sudah jelas memiliki anak dan/atau cucu.11

D. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Khuntsa


             Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai
pemberian hak waris kepada banci musykil ini:
1. Menurut Imam Hanafi
            Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-laki
dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar
dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan.
2. Menurut Imam Syafii
           Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil
dan meyakinkan dari dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan)
sampai persoalan khuntsa menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian
untuk saling-menghibahkan (tawahub) di antara para ahli waris.
3. Menurut Imam Maliki
            Semua ahli waris termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua
perkiraan laki-laki dan perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).

Imam Hambali berpendapat seperti Imam Syafii dalam hal khuntsa


masih dapat diharapkan menjadi jelas status jenis kelaminnya. Tetapi dalam
hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau
mengikuti pendapat Imam Maliki.

E. Status Hukum Khuntsa dan Cara Pembagian Warisnya

11Achmad Yani, http://achmadyanimkom.blogspot.com/2009/05/tanya-jawab-2-warisan-bagi-
banci.html, (Online 18 Desember 2017).

8
Untuk Khuntsa menurut pendapat yang paling rajih hak waris yang
diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara dua keadaannya,
keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita. Kemudian untuk
sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya
menjadi jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau
sampai Khuntsa itu meninggal hingga bagiannya berpindah kepada ahli
warisnya.
Makna pemberian hak Khuntsa dengan bagian paling sedikit menurut
kalangan fuqaha mawaris mu’amalah bil adhar yaitu jika Khuntsa dinilai
sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan
kepadanya adalah hak waris wanita, dan bila dinilai sebagai laki-laki dan
bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila
ternyata dalam keadaan di antara kedua status harus ditiadakan haknya, maka
diputuskan bahwa Khuntsa tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi’i, bila dalam suatu keadaan salah
seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan adanya Khuntsa dalam
salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka gugurlah
hak warisnya.12

F. Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Khuntsa


Contoh 1:
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang
anak yangKhuntsa.
Penyelesaiannya:
 Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada dua orang anak laki-laki.
Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi
seluruh harta dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.
 Jika dianggap perempuan, berarti ahli warisnya seorang anak laki-laki dan
seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah sebagai ‘ashabah
bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali
bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan
anak perempuan memperoleh 1/3.
Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Menurut madzhab Hanafi:
 Bagian anak laki-laki            = 2/3
 Bagian anak banci                = 1/3

2. Menurut madzhab Syafii:

12Saif, http://saif1924.wordpress.com/2008/10/19/hak-waris-bagi-banci/ (Online 18 Desember
2017).

9
 Bagian anak laki-laki       =½
 Bagian anak banci           = 1/3
 Sisa                                = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)

3. Menurut madzhab Maliki:


 Bagian anak laki-laki            = ½ x (1/2 + 2/3) = 7/12
 Bagian anak banci                = ½ x (1/2 + 1/3) = 5/12

Contoh 2:
Seorang perempuan wafat dengan meninggalkan harta berupa uang Rp
36 juta. Ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara sebapak yang khuntsa
Penyelesaiannya:
·          Jika diperkirakan laki-laki:
 Suami                                 : 1/2 x Rp 36 juta = Rp 18 juta
 Ibu                                     : 1/6 x Rp 36 juta = Rp 6 juta
 Dua sdr lk seibu                 : 1/3 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
 Khuntsa (Sdr lk sebapak) : Sisa (tetapi sudah tidak ada sisa lagi)
Jika diperkirakan perempuan (dalam hal ini terjadi ‘aul dari asal
masalah 6 menjadi 9):
 Suami                                : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta
 Ibu                                     : 1/9 x Rp 36 juta = Rp 4 juta
 Dua sdr lk seibu                 : 2/9 x Rp 36 juta = Rp 8 juta
 Khuntsa (Sdr pr sebapak)  : 3/9 x Rp 36 juta = Rp 12 juta

Dari kedua macam perkiraan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut:


1. Menurut madzhab Hanafi:
a. Suami                          : Rp 18 juta
b. Ibu                              : Rp 6 juta
c. Dua sdr lk seibu            : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak)   : tidak mendapat apa-apa

2. Menurut madzhab Syafii:


a. Suami                         : Rp 12 juta
b. Ibu                             : Rp 4 juta
c. Dua sdr lk seibu           : Rp 12 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak)  : tidak mendapat apa-apa
e. Sisa                             : Rp 8 juta (ditahan sampai status khuntsa jelas)

3. Menurut madzhab Maliki:

10
a. Suami                                : ½ x (18 + 12) = Rp 15 juta
b. Ibu                                     : ½ x (6 + 4) = Rp 5 juta
c. Dua sdr lk seibu                : ½ x (12 + 8) = Rp 10 juta
d. Khuntsa (Sdr sebapak)      : ½ x (0 + 12) = Rp 6 juta
Contoh 3:
Seseorang wafat dengan meninggalkan ahli waris seorang ibu,
seorang saudara perempuan kandung, 2 orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara seibu yangkhuntsa.
Penyelesaiannya:
Dalam kasus ini, ahli waris yang khuntsa adalah saudara seibu.
Karena bagian warisan saudara seibu, menurut Al-Qur’an, baik laki-laki
maupun perempuan adalah sama saja, yaitu 1/6 jika seorang diri, atau 1/3
dibagi sama rata jika lebih dari seorang, maka kasus khuntsa di sini tidak
mempengaruhi bagian warisan untuk semua ahli waris. Jadi pembagiannya
adalah sebagai berikut:
 Bagian ibu                                           = 1/6
 Bagian saudara perempuan kandung  = ½
 Bagian 2 saudara pr seibu + 1 saudara seibu khuntsa = 1/3
(1/3 bagian ini dibagi sama rata untuk 3 orang saudara seibu, termasuk
yangkhuntsa, yaitu masing-masing mendapat 1/9 bagian).13

13Zakkhi Zuhruff, http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/perhitungan-warisan-.html, (online


18 Desember 2017).

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris mafqud dalam
bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para
Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi
meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak
diketahui tentang hidup dan matinya. Dan menyangkut status hukum orang
yang hilang ini para ahli hukum Islam menetapkan bahwa istri orang yang
hilang tidak boleh dikawinkan, harta orang yang hilang tidak boleh
diwariskan, hak-hak orang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
khuntsa, adalah orang yang mempunyai alat kelamin ganda (laki-laki
dan perempuan), atau tidak mempunyai kedua-duanya sama sekali. Menurut
Imam Hanafi Khuntsa diberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan laki-
laki dan perempuan, sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar
dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan. Menurut Imam Syafi’iSemua ahli
waris termasuk khuntsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari
dua perkiraan, dan sisanya ditahan (di-tawaquf-kan) sampai persoalan khuntsa
menjadi jelas, atau sampai ada perdamaian untuk saling-menghibahkan
(tawahub) di antara para ahli waris. Menurut Imam Maliki Semua ahli waris
termasuk khuntsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan (nilai tengah dari dua perkiraan).

12
13

Anda mungkin juga menyukai