Anda di halaman 1dari 4

BAB IX

MAWARIS

A. Pengertian Mawaris
Mawaris secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal
miras yang artinya warisan. Dalam hukum Islam dikenal dengan adanya
ketentuan-ketentuan tentang siapa yang termasuk ahli waris yang berhak
menerima warisan., dan ahli waris yang tidaak berhak menerimaa warisan.
Fiqh mewaris disebut juga ilmu faraid bentuk jamak dari kata tunggal
faraid artinya ketentuan-ketentuan bagi ahli waris yang diatur secara rinci
di dalam Al-Quran.
Secara terminologi, fiqh mewaris adalah fiqih atau ilmu yang
mempelajari tentang siapa orang-orang yang termasuk ahli waris, siapa
yang tidak, berapa bagian-bagiannya, dan bagaimana cara menghitungnya.
Al-Syarbini dalam kitab mughni al-muhtaj jus 3 mengatakan bahwa fiqh
mewaris adalah “Fiqh yang berkaitan dengan pembagian harta warisan,
mengetahui penghitungan agar sampai kepaada mengetahui pembagian
harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta
peninggalan untuk setiap orang yang berhak”. Dari pada itu, Hasby As-
Siddieqy mendefinisikan fiqh mewaris sebagai “Ilmu yang mempelajari
tentang orang-orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, kadar yang
diterima setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya”.
Dalam konteks yang lebih umum waris berarti perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam buku hukum warisan di Indonesia
mendefinisikan, warisan adalah “soal apakah dan bagaimanakah pelbagai
hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

157
B. Syarat dan Rukun Warisan
Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam
Islam adalah :
1. Matinya muwaris,
 Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu:
a. Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh
panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.
b. Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim.
Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian
hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih
dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara
maksimal.
c. Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu orang yang dinyatakan mati
berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam
dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang
tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh
lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah
mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar
beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah
meninggal.
2. Hidupnya waris.
Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat
kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaitan
dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara
khusus.
3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.
Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.
Adapun rukun-rukun pewarisan ada 3 yaitu:

158
1. pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya
berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau
menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

C. Penyebab Mendapat Warisan


Penyebab seseorang menerima warisan ada tiga hal :
1. Hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan ialah hubunga keturunan antara pewaris
dengan ahli waris. Kekerabatan ini terdiri dari keturunan ke bawah (al-
furu’), keturunan ke atas (al- ushul), dan keturunan kesamping (al-
hawasyi).
2. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan dengan artian seorang suami menjadi ahli
waris istrinya yang telah meninggal dunia, begitu pula istri menjadi ahli
waris suami ketika suaminya telah meninggal dunia.
Perkawinan yang menjadikan sebab timbulnya kewarisan antara
suami dan istri memiliki dua syarat :
a. Perkawinannya sah menurut syariat Islam. Artinya, syarat dan
rukun perkawinan itu terpenuhi, atau antara keduannya telah
berlangsung akad nikah yang sah, yaitu nikah yang telah
dilaksanakan dan telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan
serta terlepas dari semua halangan pernikahan walaupun belum
kumpul.
b. Perkawinannya masih utuh. Artinya, suami istri masih terikat
dalam tali perkawinan ketika salah satu dari mereka meninggal
dunia. Juga termasuk dalam masalah ini ialah, apabila seorang

159
suami meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah putus
dalam bentuk talak rají dan perempuan masih dalam masa iddah.
3. Hubungan sebab Al-Wala’
Wala’ menurut Sayid Sabiq ialah : kekerabatan yang disebabkan
membebaskan budak wala’ul átaq atau dihasilkan karena perwalian
yang disebut walaúl muwalah, yaitu akad anatara dua orang yang salah
seorang diantara mereka tidak mempunyai ahli waris nasabi (keluarga)
kemudian berkata kepada seorang lainnya : engkau adalah tuanku
engkau adalah waliku, mewarisi hartaku apabila aku mati, melakukan
bebanku apabila aku melakukan tindakan pidana atau membayar diyat
apabila aku terkena pidana kesalahan karena pembunuhan atau yang
lainnya, dan akad tersebut manjadi kesepakatan para pihak yang
berjanji.

160

Anda mungkin juga menyukai