Anda di halaman 1dari 14

WARIS, MUWARRIS, TIRKAH,

DAN KATEGORISASI AHLI WARIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah : Fiqih Mawaris
Dosen Pengampu : Seno Aris Sasminto, M.H.

Disusun Oleh:

RENI AGUSTINA
NIM. 212111325

PROGAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2022/2023
PENGANTAR PENULIS

Assalamu’alaikmum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
Individu untuk mata kuliah Fiqih Mawaris, dengan judul “Waris, Muwarris, Tirkah, dan
Kategorisasi Ahli Waris”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Seno Aris Sasminto, M.H. selaku
dosen mata kuliah Fiqih Mawaris yang telah memberikan banyak bimbingan. Serta kepada
semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini, penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus
memberikan doa, saran, dan kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan segala bentuk saran, masukan, bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan serta menambah wawasan pengetahuan.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sukoharjo, 24 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris, Muwarris, Tirkah....................................................................... 2
B. Kategorisasi ahli waris............................................................................................. 5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.............................................................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................................................... 10

DAFTAR REFERENSI .................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti orang yang
berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Sedangkan waris
menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tidak lain tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya dan juga terdapat berbagai aturan tentang perpindahan hak milik, hak milik
disini memiliki pengertian dapat berupa harta, seseorang yang telah meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut juga dengan fara’id yang memiliki
arti bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak
menerimanya dan yang telah ditetapkan bagian-bagiannya.
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu berhubungan dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak, dan tanggung jawab dari pewaris ke ahli warisnya. Dan
dalam hukum waris Islam sendiri penerimaan harta warisan didasarkan pada asas ijbari,
yaitu harta warisan berpindah dengan sendiri menurut ketetapan Allah SWT tanpa
digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.1 Hal tersebut akan terwujud apabila
syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi. Pembagiannya
bisa terjadi juga apabila terdapat seorang atau lebih meninggal dunia dan meninggalkan
harta warisannya kepada ahli warisnya.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta warisan.
Dimana syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian ada yang
berdiri sendiri. Ada tiga rukun warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut antara lain (a) pewaris baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqridi, (b) adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan atau nasab, ikatan pernikahan, atau lainnya, serta (c) harta warisan, yaitu
segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris baik berupa uang atau
tanah.

1
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990), hlm. 129.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian waris, muwarris, tirkah

1. Waris
Ahli waris (al-warist), yakni mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan
pernikahan, atau lainnya. Menurut Amir Syarifuddin2, ahli waris dalam istilah fiqh
adalah orang yang berhak atas harta warisan yang ditingalkan oleh pewaris.
Sedangkan dalam Pasal 171 huruf (b) KHI, ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar
dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi yaitu, antara
muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.3

2. Muwarris
Pewaris (al-muwarits), yakni orang yang meninggal dunia atau orang yang disamakan
dengan orang yang meninggal dunia. Pasal 171 huruf (b) KHI mendefinisikan pewaris
adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan. Meninggalnya pewaris ini sangat berkaitan erat dengan asas ijbari dalam
hukum kewarisan Islam. Artinya, pewaris menjelang kematiannya tidak berhak
menentukan siapa yang berhak mendapatkan harta warisan yang ditinggalkannya,
karena semuanya telah ditentukan secara pasti oleh Allah SWT. Pewaris hanya
diperkenankan untuk bertindak atas harta peninggalannya sebesar 1/3 dalam kasus
pewaris meninggalkan wasiat yang wajib dilaksanakan oleh ahli waris.4
Dapat disimpulkan muwaris yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau
orang, yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah

2
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cetakan ke-2012, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 212.
3
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 28.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cetakan ke-2012, (Jakarta:Kencana, 2012), hlm. 206.

2
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi
tiga macam yaitu:
a. Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
jelas dan nyata.
b. Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat
Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung
selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab
lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai
macam segi kemungkinannya.
c. Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang
dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan
mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu diakibatkan oleh pemukulan
terhadap ibunya.

3. Tirkah
Secara etimologi, harta peninggalan dalam Bahasa Arab disebut “al-tirkah” yang
berarti ‘sesuatu yang ditinggalkan’. Sedangkan menurut terminologi, harta
peninggalan adalah harta peninggalan pewaris secara mutlak, baik harta tersebut
masih berhubungan dengan hak orang lain maupun tidak sebelum meninggal dunia. 5
Definisi harta warisan (al-mauruts) berbeda dengan definisi harta peninggalan,
bahkan kebalikannya. Harta warisan (al-mauruts) adalah segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum (syara’) dapat beralih kepemilikannya
kepada ahli warisnya. Harta warisan ini adalah harta bersih (netto) yang ditinggalkan
oleh pewaris setelah dipenuhi hak-hak atas harta peninggalan. Pasal 171 huruf (b)
5
Husen Muhammad Makluf, Al-Mawarits Fi Al-Syariah Al-Islamiyah, (Mesir:Mathba’ah Al-Madani, 1976),
hlm. 10.

3
KHI menjelaskan bahwa harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama (harta gono-gini) setelah dipenuhinya keperluan pewaris selama sakit sampai
meninggal, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
(hibah) untuk kerabat. Dengan demikian tirkah mencakup empat hal berikut:6
a. Kebendaan, berupa benda-benda bergerak dan tetap.
b. Hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan, seperti hak monopoli untuk
mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan, sumber air minum, dan lain
sebagainya. Termasuk juga hak menafaatan, seperti memanfaatkan barang yang
disewa dan dipinjam. Begitu juga hak yang bukan kebendaan seperti, hak syuf’ah
(hak beli yang diutamakan untuk salah seorang anggota serikat atau tetangga atas
tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh anggota serikat yang lain
atau tetangganya), dan hak khiyar seperti khiyar syarat.
c. Sesuatu bentuk usaha yang dilakukan oleh pewaris sebelum meninggal. Seperti
khamar yang telah menjadi cuka dan jerat yang menghasilkan binatang buruan.
Keduanya dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
d. Diyat (denda) yang dibayarkan oleh pembunuh yang melakukan pembunuhan
karena khilaf. Hal ini sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, memasukkan diyat
ke dalam kepemilikan mayit sebelum matinya.7
Ketika seseorang meningal dunia, tentu meninggalkan harta, lantas harta ini tidak
serta merta menjadi harta warisan yang dibagikan untuk seluruh para ahli warisnya,
ada hak-hak yang harus ditunaikan terlebih dahulu terhadap tirkah (harta peninggalan)
pewaris, yang selanjutnya baru harta tersebut bisa dibagikan untuk seluruh ahli waris.
Para jumhur fuqaha sepakat bahwa hak-hak yang berkaitan dengan tirkah yang harus
dilaksanakan secara berurutan (tartib), yaitu sebagai berikut:
a. Tajhīẓ al-Mayyit (biaya-biaya pengurusan mayit)
Biaya pengurusan mayit adalah segala sesuatu yang dibutuhkan mayit sejak
meninggal dunia sampai dikebumikan, yaitu berupa biaya untuk memandikan,
mengafani, mengusung, menggali kuburan dan menguburkan. Biaya ini diambil
menurut ukuran yang wajar, tidak berlebih-lebihan dan dikurang-kurangi, dengan
tetap menjaga perintah dan larangan agama.
Jika pewaris tidak meninggalkan tirkah, maka biaya pengurusan jenazah
dibebankan kepada keluarganya yang menanggung nafkah, seperti jika anak laki-

6
Muhibbussabry, Fikih Mawaris, Pusdikra Mitra Jaya, Medan, 2020, hlm. 16
7
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hlm. 67.

4
laki meninggal tidak meninggalkan harta maka biaya pengurusan jenazah
dibebankan kepada ayahnya. Jika sama sekali dalam keluarga tersebut tidak
memiliki kemampuan finansial terhadap proses pengurusan jenazah, dalam hal ini
dibebankan kepada baitul mal dari kaum Muslimin.
b. Qaḍā al-Duyūn (Pelunasan Utang)
1) Utang yang terkait dengan Harta Waris. Termasuk dalam hak-hak ini adalah
utang yang digadaikan, utang pembelian suatu barang, zakat yang diwajibkan
atas harta benda sebelum jadi tirkah. Hak-hak ini semua lebih didahulukan
daripada biaya pengurusan jenazah, menurut pendapat Imam Hanafi, Malik
dan Syaf‟i. Sementara menurut imam Hanbali, biaya pengurusan jenazah lebih
didahulukan dari pada melunasi utang-utangnya. Karena seorang yang pailit,
mengutamakan dirinya daripada kreditor, dan pakaian orang yang pailit lebih
utama dari pada melunasi utang, begitu juga mengafani mayit lebih
didahulukan daripada melunasi utangnya. Disebabkan menutup aurat semasa
hidup adalah kewajiban, demikian pula setelah meninggal dunia.
2) Utang yang terkait dengan Tanggungan Pewaris. Utang-utang berupa utang
kepada Allah, seperti kifarat, zakat, haji yang wajib, nazar dan utangnya
kepada manusia, seperti utang qiraḍ, harga, upah, dan lain sebagainya.

B. Kategori Ahli Waris


Dilihat dari jenis kelaminnya, ahli waris dibedakan menjadi dua, yaitu ahli waris
berjenis kelamin laki-laki (al-waritsun) dan ahli waris berjenis kelamin perempuan (al-
warisaats). Dalam catatan Wahbah Al-Zuhaily, ahli waris dari golongan laki-laki
berjumlah lima belas orang yang terdiri dari anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, kakek
dari bapak, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, saudara laki-laki
seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak laki-laki dari paman sekandung, anak
laki-laki dari paman sebapak, suami, dan majikan laki-laki yang memerdekakan budak.8
Adapun ahli waris dari jenis kelamin perempuan berjumlah sepuluh orang. Mereka
semuanya adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, nenek dari
ibu, nenek dari bapak, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak,
saudara perempuan seibu, istri, dan majikan perempuan yang memerdekakan budak.9
8
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Cetakan ke-2, Juz 8, (Damsyik: Dar Al-Fikr, 1985),
hlm. 281.
9
Ibid.

5
Apabila pewaris meninggal dunia dan semua ahli warisnya laki-laki, maka yang
mendapatkan harta warisan hanya tiga orang saja, yaitu anak laki-laki, bapak dan suami.

Jika pewarisnya meninggal dunia dan semua ahli warisnya perempuan, maka yang
mendapatkan warisan hanya lima orang saja, yaitu istri, anak perempuan, cucu
perempuan dari anak lakilaki, ibu dan saudara perempuan sekandung.

Jika kedua golongan ini (ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan) berkumpul
(semuanya masih hidup), maka yang berhak mewarisi atau ahli waris utama yang tidak
dapat gugur dalam hukum kewarisan Islam ada lima orang, yaitu suami atau istri, bapak,
ibu, anak laki-laki dan anak perempuan.10

Sementara itu, pengelompokan ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam


dijelaskan dalam Pasal 174. Kelompok ahli waris yang terdiri dari hubungan darah
terbagi menjadi dua. Pertama, golongan laki-laki terdiri dari; ayah, anak laki-laki, saudara
laki-laki, paman dan kakek. Kedua, golongan perempuan terdiri dari; ibu, anak
perempuan, saudaraperempuan dan nenek. Kelompok ahli waris yang terdiri dari
hubungan perkawinan terdiri dari; duda atau janda. Apabila semua ahli waris dari
hubungan darah dan karena perkawinan yang sah ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya ada lima, yaitu; anak, ayah, ibu, janda atau duda.11
Masing-masing ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-beda. Hal tersebut
dipengaruhi karena jumlah ahli waris yang ada dan jauh dekatnya suatu hubungan.
Adapun bagian masing-masing ahli waris yaitu dalam bentuk tabel sebagai berikut:12

No Ahli Waris Bagian Kondisi


1 Suami ½ Tidak ada anak atau cucu
¼ Ada anak atau cucu
2 Istri ½ Tidak ada anak atau cucu
1 Ada anak atau cucu
8

10
Al-Iman Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husain, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2005), hlm. 440.
11
Pasal 174 Intruksi Keputusan Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
12
Musafa Bin Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir, 2009), hlm. 331.

6
Dibagi rata 1
Dari ¼ atau bagian tersebut (jika istri lebih
8
dari seorang)
3 Anak Laki-laki Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil Furudh
2x bagian anak perempuan (jika ada anak laki
dan anak perempuan)
Dibagi rata Anak laki lebih dari seorang
4 Anak ½ Anak perempuan hanya seorang
perempuan 2 Anak perempuan lebih dari seorang (dibagi
3
rata)
Ashabah ½ bagian anak laki (jika ada anak laki dan
anak perempuan)
5 Cucu laki 0 Ada anak laki
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil Furudh
2x bagian cucu perempuan (jika ada cucu laki
dan cucu perempuan)
Dibagi rata Cucu laki lebih dari seorang
6 Cucu 0 Ada anak laki
perempuan Ada dua orang atau lebih anak perempuan
(dari anak laki) (kecuali cucu perempuan bersama cucu laki)
½ Cucu perempuan hanya seorang
2 Cucu perempuan lebih dari seorang (dibagi
3
rata)
1 Cucu perempuan bersama anak perempuan
6
Ashabah ½ bagian cucu laki (jika ada cucu laki dan
cucu perempuan)
7 Ayah 1 Ada anak perempuan atau cucu laki
6
1 Ada anak perempuan atau cucu perempuan
dan sisa
6
2 Ahli waris hanya ayah dan ibu
3
2 (setelah dikurangi hak istri/suami), jika ada
dari sisa
3

7
istri/suami dan ibu
Ashabah Tidak ada ahli waris lainnya
8 Ibu 1 Ada anak/cucu/dua orang atau lebih saudara
6
1 Ahli waris hanya ibu, atau ayah dan ibu
3
1 (setelah dikurangi hak istri/suami), jika ada
dari sisa
3
istri/suami dan ayah
9 Kakek 0 Ada ayah
1 Ada anak laki atau cucu laki
6
1 Ada anak perempuan atau cucu perempuan
dari sisa
6
Sisa Tidak ada anak atau cucu, tetapi ada ahli
waris lain
Ashabah Tidak ada ahli waris lainnya
10 Nenek 0 Ada ayah atau ibu (untuk nenek dari ayah)
Ada ibu (untuk nenek dari ibu)
1 Ada maupun tidak ada ahli waris selain ayah
6
atau ibu
1 Nenek lebih dari seorang
dibagi
6
rata
11 Saudara laki 0 Ada ayah/anak laki/cucu laki (dari anak laki)
kandung Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil Furudh
2x bagian saudara perempuan kandung (jika
ada saudara laki dan saudara perempuan
kandung)
Dibagi rata Saudara laki kandung lebih dari seorang
= bagian Ahli waris suami, ibu, saudara kandung dan
saudara dua orang atau lebih dari saudara seibu
seibu
12 Saudara 0 Ada ayah/anak laki/cucu laki (dari anak laki)
perempuan ½ Saudara perempuan kandung hanya seorang

8
kandung 2 Saudara perempuan kandung lebih dari
3
seorang (dibagi rata)
Ashabah Bersama dengan saudara laki kandung
(bagian perempuan ½ bagian laki-laki)
Bersama anak perempuan atau cucu
perempuan
13 Saudara laki 0 Ada ayah/anak laki/cucu laki (dari anak laki)/
sebapak saudara laki kandung/saudara perempuan
kandung bersama anak perempuan cucu
perempuan
Ashabah Sendirian atau bersama Dzawil Furudh
Dibagi rata Saudara laki sebapak lebih dari seorang
14 Saudara 0 Ada ayah/anak laki/cucu laki (dari anak laki)/
perempuan saudara laki kandung/ saudara perempuan
sebapak kandung bersama anak perempuan atau cucu
perempuan/ dua atau lebih saudara
perempuan kandung
½ Saudara perempuan sebapak hanya seorang
2 Saudara perempuan sebapak lebih dari
3
seorang (dibagi rata)
1 Bersama seorang saudara perempuan
6
kandung
Ashabah Bersama saudara laki sebapak (bagian
perempuan ½ bagian laki-laki)
Bersama anak perempuan atau cucu
perempuan
15 Saudara 0 Ada ayah/anak/cucu/kakek
laki/perempuan 1 Saudara seibu hanya seorang
seibu 6
1 Saudara seibu lebih dari seorang (dibagi rata)
3

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hukum Islam persoalan pembagian warisan selalu berhubungan dengan
kepemilikan dari pewaris ke ahli warisnya dimana hak tersebut bisa terjadi apabila
terdapat seorang atau lebih meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan kepada ahli
warisnya. Terdapat tiga unsur atau rukun waris dalam ilmu fara’idh yang harus dipenuhi.
Ketiga unsur tersebut adalah al-muwarits (pewaris), al-warist (ahli waris), dan al-mauruts
(harta warisan). Serta dalam pengkategorian ahli waris dapat dilihat dari jenis
kelaminnya, ahli waris dibedakan menjadi dua, yaitu ahli waris berjenis kelamin laki-laki
(al-waritsun) dan ahli waris berjenis kelamin perempuan (al-warisaats).

B. Saran
Setelah menelaah dan mengkaji tentang waris, muwarris, tirkah, dan kategori ahli
waris penulis berharap kita semua bisa lebih mengetahui lebih dalam mengenai syarat,
rukun, dan pengkategorian ahli waris. Penulis berharap, susunan makalah ini menjadi
motivasi untuk dapat lebih memahami ajaran agama Islam dan bisa menjalankan atau
mengamalkan sesuai dengan hukum yang di perintahkan di dalamnya.

10
DAFTAR REFERENSI

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 28.
Musafa Bin Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, Surakarta: Media Zikir, 2009, hlm. 331.
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali press thn 1990, hlm. 129.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cetakan ke-2012, Jakarta:Kencana, 2012, hlm.
212.
Husen Muhammad Makluf, Al-Mawarits Fi Al-Syariah Al-Islamiyah, Mesir: Mathba’ah Al-
Madani, 1976, hlm. 10.
Muhibbussabry, Fikih Mawaris, Pusdikra Mitra Jaya, Medan, 2020, hlm. 16
Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004,
hlm. 67.
Al-Iman Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husain, Kifayatul Akhyar, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyah, 2005, hlm. 440.
Pasal 174 Intruksi Keputusan Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam

11

Anda mungkin juga menyukai