Tentang
Hukum Waris (Harta Pusaka) Menurut Pandangan Islam Serta
Pembagiannya
DI SUSUN OLEH :
1. MAILINA
2.UMILDA
3.UTINA
4.PUTRI
5.ARIS
6.ISRA
7.RENDI
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,
seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau
telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari PENDIDIKAN AGAMA ISLAM dengan ini penulis
mengangkat judul “Hukum Waris Menurut pandangan Islam serta pembagiannya”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…………………………………………..……………1
DAFTAR ISI……………..……..………………………………………………………………..………………………………………..2
BAB I PENDAHULUAN
1) Latar belakang…………………………………………………………………………………. ………………………….3 .
2) Rumusan masalah…………………………………………………………………………….………………………….3
3) Tujuan………………………………………………………………………………………………….………………………3
BAB II RUMUSAN MASALAH
1) Pengertian waris……………………………………………………………………………….…………………………4
2) Syarat dan rukun waris………………………………………………………………………………………………..5
3) Golongan ahli waris……………………………………………………………………………………………………. 6 ...
*Wasiat
1) pengertian wasiat…………………………………………………………………………………………....
………..............14
2)Hukum wasiat……………………………………………………………………………....
…………………………................14
3)Rukun dan Syarat wasiat…………………………………………………………………………………………………....15.
4)Hikmah wasiat ……………………………………………………………………………....
………………………….............15
1) Kesimpulan
……………………………………………………………………………………………………….................…16
2) Saran ……………………………………………………………………………………………………………..…........
………16
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang
masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan
yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang
yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta
peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam
Firman Allah SWT sebagai berikut :
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut
o Apa yang dimaksud dengan waris ?
o Apa saja syarat dan rukun waris ?
o Sebutkan golongan ahli waris !
o Sebutkan hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
o Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
o Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
o Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
o Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
o Apa yang di maksud dengan Wasiat ?
3. TUJUAN
o Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
o Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama
Islam.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1) PENGERTIAN WARIS
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan
dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ورثadalah kata
kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam berbagai bentuk makna
tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-
bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf
a KHI).
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut
adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah
meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan
hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian
seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan
nyata.
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah
dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun,
sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada
ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi
kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya
atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik
hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena
memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli
waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi
yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan
jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.
3) GOLONGAN AHLI WARIS
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal
sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak
perempuan.
Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan
hanya 3 orang saja, yaitu :
1. Bapak.
2. Anak laki-laki.
3. Suami.
Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu
hanya 5 orang saja, yaitu :
1. Isteri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki.
4. Ibu.
5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya
ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri, ibu dan bapak, anak
laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya
yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah
SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan
untuk biaya mengurus mayat.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si
mayat.
Dasar hukum mawaris terdapat dalam al-Quran surah An-Nisa di ayat 7-12. pada ayat surah An-
Nisa tadi, menyatakan bahwa dalam aturan waris Islam kedudukan wasiat sangat krusial
sehingga wajib didahulukan sebelum dilakukannya pembagian harta yg ditinggalkan oleh
pewaris pada para ahli warisnya.
hukum waris Islam di Indonesia juga diatur dalam KHI (Kompilasi hukum Islam) sesuai dalam
Instruksi Presiden nomor 1 Tahun 1991. Dimana KHI ialah sebuah Peraturan Perundang-
undangan yg menyangkut hal-hal Perwakafan, Perkawinan, termasuk juga hal-hal Pewarisan.
KHI sendiri berlandaskan di Al-Qur’an serta hadis Rasulullah, yang mana akan digunakan secara
khusus sang Pengadilan kepercayaan buat menjalankan tugasnya pada menangani konflik famili
rakyat Islam pada Indonesia,juga sumber hukum lainnya yang menjelaskan mawaris adalah
ijimak ulama dan ijtihad para sahabat .
Syariat Islam yang di terangkan dalam Al -Quran dan hadist harus diikuti dan dijalankan
demikian juga syariat tentang mawaris.
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian
dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak
mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh ( ) الفرائض adalah
bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh() الفريضه yang oleh para ulama diartikan semakna
dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan
kadar bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :
Yang mendapat setengah harta.
Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah
berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :
ّArtinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo
harta.”
1. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.(berdasarkan
keterangan ijma’)
Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara
perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.
Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan
tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
•Ada
lima yang berhak mendapatkan seperdua dari harta warisan satu dari
golongan laki -laki dan empat dari golongan perempuan, suami dengan syarat istri
meninggal dunia (sebagai pewaris)dan tidak memiliki anak (laki-laki ataupun perempuan)
baik anak keturunan dari suami tersebut ataupun bukan.
•anak perempuan kandung dengan syarat tidak memiliki saudara laki-laki ( pewaris
hanya memiliki saudara laki-laki
ْن َأ ْو َ ين َوصِ َّي ٍة َبعْ ِد مِنْ َت َر ْك َن ِممَّا الرُّ ُب ُع َفلَ ُك ُم َولَ ٌد لَهُنَّ َك
ٍ ان َفِإنْ َدي َ ِِب َها يُوص
Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah di bayar utangnya.”
Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan
anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak
laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang,
seperempat itu di bagi rata antara mereka.
Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila
beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu
sebapak berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta
warisan. (berdasarkan ijma’ para ulama’).
B. Ashabah
Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan menguatkan
hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa
mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil
furudh.
Ada tiga kemungkinan seseorang menjadi ahli waris ashabah, yaitu sebagai berikut:
1. Ashabah Binafsihi
Ashabah binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan dengan sendirinya, tanpa
disebabkan orang lain. Ahli waris yang masuk dalam kategori ini yaitu:
- Anak laki-laki
-Cucu laki-laki
-Ayah
-Kakek
- Saudara kandung laki-laki
-Sudara seayah laki-laki
-Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
-Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
-Paman kandung
-Paman seayah
-Anak laki-laki paman kandung
-Anak laki-laki paman seayah
-Laki-laki yang memerdekakan budak
Apabila semua ashabah ada, maka tidak semuanya mendapat bagian. Akan tetapi, harus
didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris. Jadi, penentuannya
diatur berdasarkan nomor urut di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka
mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki
mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
Mengutip buku Fikih untuk MA Kelas XI Kurikulum 2013, ashabah bilghair yaitu anak
perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah jika bersama
saudara laki-laki mereka. Berikut keterangan lebih lanjut tentang beberapa perempuan yang
menjadi ashabah bilghair:
•Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah.
•Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah.
•Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah
•anak laki - laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka
mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki
mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan.
Ashabah ini disebut juga ashabah bersama orang lain, yaitu ahli waris perempuan yang menjadi
ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah :
•Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang
atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
•Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki.
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut
ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat
pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang
mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat
pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu,
sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga
kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih
dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di
bawah ini :
o Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
o Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
o Bapak.
o Kakek.
Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah
seorang dari empat orang berikut :
o Bapak.
o Anak laki-laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
o Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris
apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
o Anak laki-laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
o Bapak.
Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka
tidak mendapat harta waris, yaitu:
o Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara
perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
o Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak)
mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
o Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak
perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm
(aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:"... Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3) Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'.
Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti
'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti 'berat
timbangannya'. Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah
bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris. Hal ini terjadi ketika makin
banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada
yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah
pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang
ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang. Misalnya bagian seorang suami yang
semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan
tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9).
Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain, bagian
mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
Adapun Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan.
Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan,
sedangkan yang empat tidak dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam
(6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat
di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8). Sebagai contoh pokok
yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2).
Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah,
berarti mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul. Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3)
bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu
mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-
kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok
masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam
(6) hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan,
sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya
dapat dinaikkan empat kali saja. Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat
dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok
masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh
belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali
saja Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh
tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan
ulama faraid dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali
saja, yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan
contoh : Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12).
Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian,
sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan
bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga
belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah
bagian yang ada.
Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-
kan menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus
yang oleh ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian
karena Ali bin Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu,
anak perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti ini: pokok masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti
empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat
seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua
belas bagian, sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam
(1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)-- berarti empat bagian. Dalam contoh tersebut
tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak ashhabul
furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok
masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul
furudh. Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh
empat hanya bisa di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Definisi ar-Radd
Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di
bawah ini:
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan
terjadi.
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya,
suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta
waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
1.anak perempuan
5.ibu kandung
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam
beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan
bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -
maka tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai 'ashabah.
Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami
dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini
akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan
ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka
apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris,
suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a) Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris,
karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-
Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.
b) Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara
waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama
dapat menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim
dan kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada
Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat
an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”
c) Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima
warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika
tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada
hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan
sendirinya benda itu bisa diwariskan.
d) Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah
memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu
beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan,
penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI)
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum
kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.
Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam
pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.”
1. Dapat menghindarkan umat Muslim dari terjadinya persengketaan dalam keluarga yang
disebabkan oleh masalah pembagian harta warisan.
2 .Dapat mewujudkan atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.
3 .Menjunjung tinggi hukum Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.
4.Dapat menghindarkan umat Muslim dari timbulnya fitnah. Sebab, salah satu penyebab
timbulnya fitnah adalah pembagian harta warisan yang tidak benar.
5. Mengamalkan ayat-ayat al-Quran dan hadist yang terkait dengan harta warisan
1. Pengertian Wasiat
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah orang
meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti menyampaikan atau
memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain, wasiat adalah harta yang
diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah si pemberi meninggal dunia. Wasiat
juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata washa merupakan bentuk jamak
dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa’, wishayaa dan washiyyah
dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau
masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan
dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang. Wasiat
berbeda dengan hibah yang merupakan tabbaru’ atau pemberian kepemilikkan tanpa
ganti, karena wasiat dilaksanakan setelah
kematian sedang hibah dilaksanakan semasa hidup. Definisi ini juga mencakup
pembebasan hutang karena pembebasan hutang adalah memberikan kepemilikkan piutang
kepada orang yang berhutang. Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah
"memberikan hak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik
diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan
sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa
barang, piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah
yang berwasiat mati.”Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan
dengan:“ penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati
pemiliknya “.Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela
yang dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa
berupa barang, piutang atau manfaat. Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian
suatu hak yang berkuat kuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat
sama ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya. Menurut Madzhab Hanbali,
wasiat adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian sama ada dalam
bentuk harta (‘ain) atau manfaat .Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang
berlakuhak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan
dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai
berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang
berwasiat mati.”Menurut Amir Syarifuddin secara sederhana wasiat diartikan dengan:“
penyerahan harta kepada pihak lain yang secara efektif berlaku setelah mati pemiliknya
“.Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia. Pemberian hak milik ini bisa berupa
barang, piutang atau manfaat. Menurut Madzhab Syafi’i, wasiat adalah pemberian suatu
hak yang berkuat kuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat sama
ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya. Menurut Madzhab Hanbali, wasiat
adalah pemberian harta yang terjadi setelah berlakunya kematian sama ada dalam bentuk
harta (‘ain) atau manfaat.Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang
berlaku.setelah kematian dengan cara sumbangan.
2. Hukum wasiat
Melakukan wasiat dalam Islam merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan sekali untuk
dilakukan bagi orang-orang yang kedatangan tanda-tanda maut yang memiliki harta
kekayaan. Perintah ini berdasarkan firman Allah SWT yang artinya :Diwajibkan atas kamu,
apabila maut hendak
menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua
orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang
yang bertakwa. Barangsiapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka
sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah/2:180-181)
Dalam ayat ini menjelaskan wasiat Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput
seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua
dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
Bertakwa.
Wasiat diharuskan bersikap jujur dan adil. Oleh karena jika orang-orang tersebut dengan
sengaja mengubah isi wasiat, maka hal ini akan menghalangi tercapainya maksud baik dari
pewasiat dan akan menanggung dosa atas perbuatannya tersebut. Pada hakekatnya wasiat
itu semacam akad. Oleh karena itu sebaiknya wasiat disaksikan oleh dua orang saksi yang
adil dan beragama islam. Akan tetapi bila dalam keadaan terpaksa atau dalam perjalanan
jauh yang tidak memungkinkan adanya saksi yang beragama Islam, maka diperbolehkan
mengambil saksi yang berlainan agama. Maksud dari adanya saksi dalam ayat tersebut
diatas diharapkan dalam perkara wasiat mudah diselesaikan jika ada persengketaan di
kemudian hari setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Ada beberapa macam hukum Islam dan hukum itu :
sesuai dengan kondisi dan illat hukumnya
A. Wasiat yang dihukumkan wajib,
yakni seseorang yang diwajibkan melakukan wasiat sebelum meninggal dunia. Wasiat ini
bertujuan untuk membayar hutang dan menunaikan kewajiban.
B. Wasiat yang hukumnya dianjurkan (mustahabbah)
supaya dilakukan oleh sesorang sebelum ia meninggal dunia.
C.Wasiat yang sifat dan hukumnya boleh
dilakukan oleh seorang sebelum ia wafat, seperti berwasiat untuk orang-orang kaya, baik ia
termasuk kaum keluarganya yang tidak menerima harta warisan ataupun orang asing.
D. Wasiat yang kharahah tahrim
dikemukakan oleh madhan Khanafi. Contohnya adalah berwasiat untuk ahl al fusuq
dan ahli maksiat. Para ulama‟ sependapat bahwa wasiat untuk ahli waris hukumnya adalah
makruh, kecuali kalo ahli waris yang di beri wasiat itu seorang miskin sedangkan ahli waris
yang lain bersamanya tidak tergolong miskin.
E.. Wasiat yang hukumnya haram,
yaitu wasiat yang tidak boleh dilakukan oleh seorsng muslim, seperti berwasiat untuk
maksiat. Berwasiat juga dihukumkan haram apabila wasiat itu akan menyebabkan
mudhorot terhadap pihak lain, seperti merugikan ahli waris.
Berikut ini rukun dan syarat wasiat didalam kompilasi hukum Islam:
c. Barang Wasiat
Pasal 171 huruf (f) menyebutkan “suatu benda” sebagai sesuatu yang dapat di wasiatkan.
Kompilasi Hukum Islam membedakan benda yang dapat diwasiatkan kedalam benda
bergerak dan benda tidak bergerak. Hal ini sesuai dengan pasal 200 yang menyatakan
bahwa harta wasiat yang berupa barang tak bergerak, bila karena suatu sebab yang sah
mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia,
maka peneriama wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Wasiat juga berupa hasil
atau pemanfaatan suatu benda tertentu. Hal ini sesuai dengan pasal 198 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutka: wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan
suatu benda harus diberi jangka waktu tertentu. Pembatasan jangka waktu yang
dimaksudkan dalam Kompilasi Hukum Islam ini untuk memudahkan tertib administrasi.
Adapun ketentuan rukun dan syarat wasiat didalam hukum Islam sebagai berikut:
Rukun wasiat adalah sebagai berikut :
Ada orang yang berwasiat.
Ada yang menerima wasiat.
Sesuatu yang di wasiatkan.
Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di
izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda
Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat
mereka dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “
Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,
wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya
yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu
tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)
4. HIKMAH WASIAT
c. Sebagai balas jasa dari mayat terhadap seseorang karena dianggap sebagai tulang punggung
si mayat waktu masih hidup.
d. Melegakan hati orang yang diberikan wasiat, sehingga perasaan yang memungkin-kan
merendahankan hati orang itu terhapus.
1) KESIMPULAN
Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
(Pasal 171 huruf a KHI).
Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang
yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga
tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin
kebenarannya.
Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di
dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :
Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.
Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan
sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di
pergunakan untuk biaya mengurus mayat.
Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.
Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta
penginggalan si mayat.
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang
meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.
2) SARAN
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di
kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu
pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.
Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta
penginggalan yang meninggal.
Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode
pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri
bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di
jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di
lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-
hari orang-orang dalam suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, hlm. 33