Anda di halaman 1dari 17

Tugas Makalah Hukum Waris Islam

“Pengertian, Sumber, Sejarah dan Perkembangan Hukum Waris


Islam”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:


Hukum Waris Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Yusuf Hidayat, S.Ag., M.H.
Caskiman, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Ayuni Nilam Cahyani (0711520020)
Sari Nurdiani (0711520079)

Program Studi Ilmu Hukum


Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
Jakarta 2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb., Allhamdulilah kami panjatkan puji dan syukur


kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan
tugas pada mata kuliah Hukum Waris Islam, yaitu membuat Tugas Makalah Sejarah
Perkembangan, Pengertian dan Sumber Hukum Waris Islam.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, dengan kerja sama yang baik maka
makalah ini dapat selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari bahwa penyusunan dan materi masih jauh dari sempurna,
masih banyak hal yang kurang dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat memperbaikinya.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber ilmu
yang baru bagi kita semua. Amin.

Jakarta, 22 Maret 2023

Kelompok 1

ii
DAFTAS ISI

COVER……………………………………………………………………….….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....iii
BAB I LATAR BELAKANG
1.1. Latar Belakang……………………………………………………...…1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………..2
1.3. Tujuan Pembahasan……………………………………….………..…2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Waris Islam.…...………..………………………...3
2.2. Sumber Hukum Waris….….………………………………………….4
2.3. Sejarah Perkembangan Hukum Waris Islam...…………….……….…7
2.3.1. Hukum Waris pada Zaman Jahiliyah…………………………...8
2.3.2. Hukum Waris pada Masa Awal Islam………………………….8
2.3.3. Hukum Waris di Indonesia…………………………………….10
BAB III KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan.……………………………………………………..…....11
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..……………….10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang
memegang peran penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem
kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan kehidupan manusia karena terkait dengan harta kekayaan dan
manusia yang satu dengan yang lainnya. Dimana setiap manusia akan
mengalami kematian dan itu merupakan suatu peristiwa yang pasti yang akan
dialami, karena kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup setiap
manusia di dunia. Jika orang yang meninggal dunia meninggalkan keluarga
dan harta kekayaan atau warisan, maka dengan cara apa harta kekayaan
tersebut akan dibagi. Maka hukum yang membahas mengenai harta
peninggalan atau warisan tersebut diatur dalam hukum kewarisan Islam dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pada dasarnya kewarisan merupakan
proses perpindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya, akan tetapi proses perpindahan tersebut tidak dapat
terlaksana apabila unsur-unsurnya tidak lengkap.
Secara naluri, keinginan mengambil alih kekayaan orang yang meninggal
tentu merupakan keinginan siapapun orang berada sekitarnya. Tidak peduli,
apakah yang berada di sekitar tersebut keturunannya atau hanya kebetulan
mempunyai kedekatan saja. Tampaknya ada belum tahu, bahwa tidak semua
orang yang dekat secara fisik dengan pewaris mempunyai hak waris. Hal
demikian berlaku sebaliknya, tidak mesti orang yang tidak dekat secara fisik
harus diabaikan dari pembagian warisan. Karena, bisa jadi orang sehari-hari
dekat dengan si mati tersebut sekalipun telah bertahun-tahun, sama sekali
bukan keluarga yang mempunyai hubungan kewarisan dengan pewaris.
Untuk menjadi ahli waris yang berhak menerima, harus mempunyai
hubungan kewarisan dengan orang yang meninggal. Orang yang mempunyai
hubungan kewarisan ini menurut hukum Islam disebabkan karena 3 hal, yaitu

1
karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan, dan wala (yang ketiga
ini kini sudah tidak ada lagi). Banyak orang beranggapan, bahwa karena merasa
mempunyai hubungan nasab maka harus memperoleh harta warisan dari orang
yang meninggal. Merekapun ikut meributkan harta warisan almarhum.
Padahal, hanya orang yang mempunyai hubungan nasab yang secara syar’i
paling dekat sajalah yang dapat menjadi dapat mewarisi harta pewaris. Dalam
hukum kewarisan Islam ada konsep hajib mahjub. Berdasarkan konsep ini,
seorang ahli waris bisa terhalang untuk mewarisi harta almarhum karena ada
ahli waris lain yang menghalanginya. Yang dapat menghalangi ini karena
secara syar’i dianggap lebih dekat dengan almarhum/almarhumah.
Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan kewarisan yang ujungnya
menjadikan persengketaan keluarga. Keluarga yang semula kompak rukun,
karena berebut harta warisan akhirnya harus bercerai berai, berseteru sampai
anak cucu, dan bahkan tidak jarang terjadi pertumpahan darah dan putus
silaturahmi. Mereka lupa peringatan Rasulullah SAW, bahwa pemutus
silaturrahmi tidak akan dapat masuk surga. Terjadinya sengketa yang menjadi
bom waktu itu dapat terjadi, secara empiris, sering disebabkan oleh tiga hal:
karena ketidak tahuan hukum warisan, manajemen harta, dan ketamakan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah Pengertian Hukum Waris Islam?
2. Bagaimana Sumber Hukum Waris Islam?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Waris Islam?
1.3. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini
ini yaitu:
1. Untuk mengetahui apa arti dari Hukum Waris Islam.
2. Untuk mengetahui berasal dari mana Sumber Hukum Waris Islam.
3. Untuk menegetahui bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Waris
Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Waris Islam


Seperti telah kita ketahui, bahwa aturan Allah dalam bentuk hukum Islam
telah dikelompokkan oleh para ahli menjadi dua kelompok besar. Pertama
hukum ‘ibadah, yaitu aturan yang menyangkut hubungan lahir manusia dengan
penciptanya (hablu min Allah). Kedua, Hukum mu’amalat, yaitu menyangkut
tata hukum hubungan antara sesama manusia dan alam sekitarnya (hablu
minanas).1 Di antara hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesama
yang sudah ditetapkan Allah adalah aturan tentang harta waris.
Secara etimologis mawarith berasal dari bentuk jamak kata mirath, yang
merupakan masdar dari kata waratha, yaitu, wirathatan, wa mirathan, yang
artinya peninggalan,2 berpindahnya sesuatu dari individu/kelompok kepada
individu/kelompok lain, sesuatu itu bisa berupa harta, ilmu, kemuliaan dan
sebagainya. Kata tersebut banyak digunakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk
kata kerja, misalnya waratha (QS. Al-Naml: 16), yang menjelaskan tentang nabi
Sulaiman mewarisi kenabian nabi Daud AS. Ayat serupa juga terdapat dalam
surat al-Zumr: 74 tentang pewarisan bumi terhadap umat manusia dan beberapa
ayat lain.
Kata mawaris juga sinonim dengan kata faraidh yang berasal dari kata
faridah yang artinya bagian-bagian yang sudah ditentukan (Al-Mafrudah),
kemudian dikenal dengan ilmu faraidh, yaitu pengetahuan tentang pembagian
harta waris. Penamaan ilmu tersebut dangan sebutan faraid karena dua alasan,
pertama, Allah menyebutkan kata tersebut setelah perincian bagian warisan
dengan kalimat faridatan min Allah, kemudian Nabi Muhammad dalam salah
satu sabdanya tentang anjuran mempelajari ilmu ini juga menyebutkan dengan
kalimat faraid, yaitu “Ta’allam al-Faraid. Kedua, Allah SWT menjelaskan

1
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), 29.
2
Ibid., 4.

3
kewajiban ibadah yang lain seperti shalat, puasa, dengan sebutan yang global
tanpa ada perinciannya, namun khusus ilmu ini (faraid) dijelaskan secara
terperinci termasuk bagian masing-masing ahli waris.
Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa mawarits adalah:
“Pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak
bergerak atau hak-hak menurut hukum syara".3
Dari pengertian di atas dapat ditarik pemahaman bahwa kewarisan
merupakan proses berpindahnya kepemilikan dari seseorang sebagai akibat dari
kematian. Kepemilikan yang dimaksud adalah kepemilikan terhadap harta
bergerak maupun harta tidak bergerak serta hak-hak yang belum berwujud harta
dan masih dapat dipindahkan kepemilikannya kepada generasi berikutnya yang
masih hidup.
Kemudian hukum waris islam adalah suatu hukum yang mengatur
peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang
berhak, seperti keluarga keturunan lurus disesuaikan dengan aturan adat
masyarakat setempat yang lebih berhak. Ilmu Faraidh termasuk ilmu yang paling
mulia tingkat bahayanya, paling tinggi kedudukannya, paling besar ganjarannya,
oleh karena pentingnya, bahkan sampai Allah Subhanahu wa ta'ala sendiri yang
menentukan takarannya, Dia terangkan jatah harta warisan yang didapat oleh
setiap ahli waris, dijabarkan kebanyakannya dalam beberapa ayat yang jelas,
karena harta dan pembagiannya merupakan sumber ketamakan bagi manusia,
sebagian besar dari harta warisan adalah untuk laki-laki dan perempuan, besar
dan kecil, mereka tidak ada yang lemah dan kuat disesuaikan dengan tatanan
adat dan budaya yang diberlakukan, sehingga tidak terdapat padanya
kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu karena
perumusannya tidak lepas dari nilai-nilai Islam dalam Alquran.

3
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil Kitab Was-
Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2007),Cet. Ke-10, hal. 33

4
Ruang lingkup kajian ilmu mawaris ini antara lain ketentuan dan aturan
mengenai hal ihwal ahli waris apakah ia sebagai penerima bagian tertentu,
penerima sisa, atau bahkan termasuk ahli waris dhawial-arham. Begitu juga
penjelasan mengenai siapa yang terhalang, siapa yang memperoleh
pengembalian (radd) serta hal-hal yang menghalangi seseorang untuk menerima
bagian. Karena itu sebenarnya ilmu mawaris mencakup tiga unsur penting, yaitu
mengetahui siapa yang berhak dan yang tidak berhak mendapat warisan,
ketentuan mengenai bagian-bagian yang diperoleh oleh masing-masing ahli
waris, serta pengetahuan metode dan cara menghitungnya.

2.2. Sumber Hukum Waris Islam


a. Al-Quran
Sistem hukum waris Islam pada dasarnya melanjutkan dan sekaligus
merombak sistem hukum waris yang sudah dikenal oleh kebanyakan masyarakat
arab pada masa jahiliyah. Artinya, masyarakat arab jahiliyah sudah mengenal
sistem hukum waris, meskipun belum formal dan tidak berdasarkan pada aturan
yang dapat memenuhi rasa keadilan. Sebagian kalangan memandang bahwa sistem
hukum waris jahiliyah sebagai Shukum yang berlandaskan hawa nafsu karena
kekuatan fisik dan keharusan laki-laki dan dewasa menjadi tolok ukur utamanya.
Ketika Islam datang dengan membawa aturan baru mengenai sistem hukum waris,
mereka merasa terganggu. Islam datang dengan merubah beberapa sistem hukum
yang sudah dipakai secara turun temurun. Salah satunya dengan memberikan
bagian kepada ahli waris kerabat tanpa membedakan jenis kelamin, anak-anak
ataupun dewasa. Al-Qur’an menjelaskannya sebagai berikut: َ
ّ َِّّ‫انَّ دِّ الََّّك ا ْلوََّّرّا تٌِّّبِّمِّصيَِّّل ن ا‬
ّ‫ج‬ ِّ ّ‫اٌِّّبِّمِّصيَّ نِّ اءَّ سِّ لنِّ لَّّ َون وُّ بَّّْر اْألَقَّ و‬
ِّ ‫لرِّ لًّضاّ وُّّْر فَّ ا مًِّّصيبَّ نَُّّرَّكثّْ أَوُّّْه نَِّّّل مّا قِّ َونِّمُّ بَّّْر اْألَقَّ و‬
‫انَّ دِّ الََّّكّ ا ْلوََّّر ت‬
)7: ‫)النساء‬
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.” (QS. An-Nisa’: 7)

5
Ayat di atas dipandang sebagai ayat pertama turun mengenai hukum waris Islam.
Kandungan ayat ini secara mendasar merubah secara fundamental sistem waris
jahiliyah yang tidak memberikan bagian sama sekali kepada kaum perempuan.
Maka dengan turunnya ayat tersebut berarti telah ditetapkan adanya bagian warisan
yang dapat diterima oleh laki-laki maupun perempuan tanpa terkecuali.
Selain itu ayat-ayat Al Quran yang mengatur waris dan pembagian harta
dalam Hukum Islam, di antaranya terdapat dalam Surat An Nisa dan Surat Al Anfal.
Berikut ini adalah uraiannya:

▪ Surat An Nisa ayat 11: Menentukan bagian anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan. Anak perempuan dua orang atau lebih (apabila
tidak ada anak laki-laki) menerima 2/3 harta warisan dan apabila hanya
seorang (tidak ada anak laki-laki) menerima 1/2 warisan; bagian ayah dan
ibu apabila ada anak, masing-masing menerima 1/6 harta warisan; apabila
tidak ada anak maka bagian ibu adalah 1/3 harta warisan (ayah mendapat
sisanya); apabila ada saudara-saudara lebih dari seorang, bagian ibu adalah
1/6 harta warisan; pembagian harta warisan dilakukan setelah utang dan
wasiat mayit dibayarkan.
▪ Surat An Nisa ayat 12: Menentukan bagian suami 1/2 harta warisan, apabila
mendiang tidak meninggalkan anak; apabila ada anak bagian suami 1/4
harta warisan, setelah utang dan wasiat dibayarkan; ditentukan pula bagian
istri 1/4 harta warisan apabila tidak ada anak, 1/8 harta warisan apabila ada
anak, setelah utang dan apabila seseorang mati tanpa meninggalkan ayah
atau anak, padahal ia meninggalkan saudara laki-laki atau permepuan
(seibu), maka bagian saudara apabila hanya satu orang adalah 1/6 harta
warisan, dan apabila lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama
mendapat 1/3 harta warisan setelah utang dan wasiat mendiang dibayarkan.
▪ Surat An-Nisa Ayat 33: Yang menyatakan bagi tiap-tiap harta peninggalan
dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan
pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah

6
bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu
▪ Surat An Nisa ayat 176: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah),
katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika
seorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara
perempuan, maka bagiannya (saudara perempuan itu) seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh
harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya duapertiga dari harta
yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki
sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.
▪ Surat Al-Anfal ayat 75: Dan orang-orang yang beriman sesudah itu
kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu
termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
▪ Surat al Ahzab ayat 6: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang
mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka.
Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang
mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik
kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah
tertulis di dalam Kitab (Allah).
b. Al-Hadits
Selain Al-Quran, sumber hukum waris islam adalah Al Hadits atau Sunnah
Rasul. Adapun hadits atau sunnah yang ada hubungannya dengan hukum kewarisan
antara lain adalah :

7
a. Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas.
“Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari bapaknya, dari Ibn
‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: “bagilah harta waris
diantara orang-orang yang berhak menerima bagian sesuai dengan ketentuan
al-Qur’an. Jika masih ada tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli
waris lakilaki”.
b. Hadits Nabi dari Jabir Ibn Abdillah
“Kami telah diberitahukan oleh ‘Amr Ibn Abi Qois dan Muhammad bin al-
Munkadir dari Jabir bin Abdillah berkata: Rasulullah telah datang
menjengukku sedang saya dalam keadaan sakit di bani Salamah kemudian
saya bertanya: “Wahai Nabi Allah bagaimana saya harus membagi harta
diantara anak-anakku, maka sebelum Nabi bertolak dariku maka turunlah
ayat:
Yang artinya Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka)
untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan”.
c. Ijma
Ijma adalah kesepakatan para sahabat atau ulama setyelah wafatnya Rasulullah
Saw, tentang aturan kewrisan yang terdapat dalam ketentuan al-Qur’an dan al-
Hadits. Kesepakatan suatu hukum yang dibuat oleh sahabat atau ulama dapat
dijadikan sebagai sumber hukum.
d. Ijtihad
Sumber hukum lainnya yaitu Ijtihad. Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau
ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan yang belum ada
aturannya atau belum ada kesepakatan ulama. Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang
sungguh – sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada di
lakukan oleh orang (ahli hukum yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis
hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam al Qur’an dan sunnah
Rasul.

8
2.3. Sejarah Perkembangan Hukum Waris Islam
Sejarah telah mencatat bahwa perihal kewarisan bukanlah perkara baru dalam
kehidupan umat manusia. Hukum kewarisan dalam berbagai bentuknya senantiasa
mengiringi peradaban umat manusia dari masa ke masa. Hal tersebut karena
kewarisan berhubungan erat dengan siapa yang mampu mewujudkan sistem hukum
kewarisan karena membutuhkannya. Tidak lain adalah umat manusia, satu-satunya
makhluk Allah yang ada di muka bumi yang diberi kewenangan untuk mengatur
dan mengelola bumi serta memakmurkannya.
Dengan melihat keterangan di atas, dan berdasarkan pengertian kewarisan itu
sendiri, dapat dikatakan bahwa kewarisan sudah ada sejak manusia itu diciptakan
ke muka bumi.
Adapun pelaksanaan sistem kewarisan sangat berbeda antara satu generasi
dengan generasi yang lain, perbedaan sistem kewarisan tersebut dikarenakan
adanya perbedaan situasi dan kondisi sosial masyarakat, adat istiadat, agama,
budaya, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan sistem kewarisan senantiasa berlaku
sepanjang sejarah peradaban manusia hingga akhirnya Islam menetapkan satu
sistem kewarisan yang berkeadilan dan sesuai dengan kebutuhan manusia. Secara
historis dari masa ke masa terkait berlakunya sistem kewarisan yang pada tulisan
ini akan dipersempit ke dalam tiga periode saja yaitu pra Islam, awal Islam, dan
setelah Islam berkembang sampai sekarang.
2.3.1. Hukum Waris Pada Zaman Jahiliyah
Hukum Waris Islam pada masa jahiliyah bersifat patrilinear, artinya anak-
anak yang belum dewasa dan kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta
warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal dunia.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat Arab jahiliyah
telah mengenal sistem kewarisan. Dalam hal pembagian harta warisan, mereka
berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Pada masa ini, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu karena
adanya pertalian kerabat atau hubungan darah, pengakuan atau sumpah setia, dan

9
pengangkatan anak. Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah
dengan dua syarat tambahan, yakni sudah dewasa dan merupakan laki-laki.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas
dasar ikatan sumpah setia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-
laki yang sudah dewasa. Sebab, alasan yang melatarbelakangi mereka untuk
mengadakan sumpah setia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling
membela jiwa raga dan kehormatan mereka.
Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya
pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan.
Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan
melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan yang mereka miliki.
Selain itu pada zaman jahiliyah, kaum wanita pada umumnya diperlakukan
sebagai harta atau barang yang bisa diperjual belikan, dan bahkan diwariskan
karena mereka mengaggap posisi dan atau harkat dan martabat wanita yang
sedemikian rendah. Serta pada zaman ini suamu dan istri tidak saling mewarisi.
2.3.2. Hukum Waris Pada Masa Awal Islam
Pada awal kedatangan Islam yang ditandai dengan turunnya wahyu di gua
hira’, sistem kewarisan masih belum banyak berubah, karena memang penyebaran
Islam tidak langsung sekaligus, akan tetapi membutuhkan waktu untuk bisa
diterima oleh masyarakat Arab. Pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi
harta dari orang yang meninggal dunia karena keturunan, pengangkatan anak, dan
sumpah setia. Selanjutnya, ditambah lagi dengan orang yang ikut berhijrah dan
dipersaudarakannya orang-orang Muhajirin (hijrah dari Makkah ke Madinah)
dengan orang Anshar (yang menolong orang-orang Muhajirin). Dengan alasan ikut
hijrah ialah jika seorang sahabat Muhajirin meninggal dunia, maka yang
mewarisinya adalah keluarganya yang ikut hijrah. Sedangkan, kerabat yang tidak
ikut hijrah, tidak mewarisi.
Pada masa itu juga diperlakukan pewarisan harta orang yang memerdekakan
budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq) dengan
sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan

10
terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakan oleh seorang pemimpin.
Dengan catatan, sistem wala' ini tidak berlaku timbal balik.
Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara
pasangan suami-istri (zaujiyah). Karenanya, yang berlaku dalam kewarisan Islam
pada masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran
(nasab, qarabah, rahm), sebagaimana disebutkan dalam Alquran, surah al-Anfal 8:
75:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad


dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan
tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada Muhajirin), mereka itu satu sama
lain saling melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai
mereka berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam
(urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

2.3.3. Hukum Waris Islam di Indonesia


Sebelum Islam datang hukum waris yang berlaku di Indonesia adalah hukum waris
adat. Hukum waris adat adalah hukum lokal yang terdapat di suatu daerah ataupun
suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat
daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan
dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas dari Hukum waris adat tersebut telah

11
ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan hukum waris adat dikenal
beberapa macam sistem pewaris, yaitu:

a. Sistem keturunan dimana pewaris berasal dari keturunan bapak atau ibu
ataupun keduanya.
b. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagisannya masing-masing.
c. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat dibagi-
bagikan penguasaan ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya
mendapatkan hak untuk menggunakan ataupun mendapatkan hasil dari harta
tersebut.
d. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai
pengganti ayah dan ibunya.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu
menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam
alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris Islam.
Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia
berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para
waris lainnya. Pada intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris Adat
sangat beragam tergantung ketentuan suatu Adat tersebut dengan tetap
memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.

Penerapan hukum Islam termasuk hukum kewarisan dapat terjadi tidak sesuai
dengan tekstualnya, apalagi yang berhubunmgan dengan perkembangan dari tekstual
dalam ayat-ayat Al-Qura’an. Al Qur’an umumnya hanya mengatur yang pokok-
pokoknya saja. Dalam hukum kekewarisan tentang ahli waris Al-Qur’an hanya
mengatur ayah, ibu, suami. Istri dan anak, di luar itu tidak diatur. Sehingga
dikembangkan oleh para ahli hukum Islam seperti ahli waris kakek, nenek, cucu dan
lain sebagainya.

12
Hal ini terjadi seperti penerapan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang
mayorias menganut sistem budaya adat-istiadat parental atau bilateral yaitu yang
memberikan hak kepada setiap kerabat dalam jarak tertentu, baik laiki-laki maupun
perempuan. Lain halnya dengan budaya yang menganut adat-istiadat sistem patrilineal
sudah barang tentu yang berhak mendapat harta kekewarisan, terbatas pada kerabat
laki-laki, sedangkan pihak perempuan bukan sebagai ahli waris.

Dengan demikian di Indonesia, hukum waris islam menjadi suatu pilihan. Hal
ini juga dipertegas dengan undang-undang yang mengaturnya. dimana bagi Pewaris
yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi pegangan adalah UU No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam Penjelasan Umum UU tersebut dinyatakan: “Para pihak sebelum berperkara
dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang
harusnya menjadi pilihan hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun,
ketentuan ini tidak mengikat karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas
mengatur persoalan penyelesaian pembagian harta waris bagi Pewaris yang beragama
Islam (personalitas Keislaman Pewaris) atau Non-Islam. Di dalam praktik, pilihan
hukum ini menimbulkan berbagai masalah, karena ahli waris bisa saling gugat di
berbagai pengadilan.

BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Hukum waris islam adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta
seseorang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada yang berhak, seperti
keluarga keturunan lurus disesuaikan dengan aturan adat masyarakat setempat yang
lebih berhak. Adapun sumber hukum waris islam adalah Al-Quran, Hadist dan
Ijtihad. Sejarah perkembangan hukum waris islam dimulai pada zaman Pra Islam
yaitu Zaman Jahiliyah dimana pada masa ini hukum waris bersifat patrilinial,
dimana laki-laki lebih dominan, dimana anak kecil, perempuan dan orang tua tidak
berhak mendapatkan warisan karena lemah dan tidak bisa berperang. Bahkan

13
karena dianggap rendah perempuan pada zaman ini dapat diwariskan serta antara
suami dan istri tidak saling mewarisi. Kemudian dilanjutkan pada masa awal
masuknya islam dimana ada perbaikan atas tradisi zaman Jahiliyah yaitu pada masa
ini perempuan mempunyai kehormatan dan penentuan ahli waris bukan
berdasarkan kemampuan berperang ataupun kekuatan fisik dan. Pelaksanaan sistem
kewarisan sangat berbeda antara satu masa ke masa yang lainnya, perbedaan sistem
kewarisan tersebut dikarenakan adanya perbedaan situasi dan kondisi sosial
masyarakat, adat istiadat, agama, budaya, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri
sebelum datangnya islam, Indonesia menganut sistem waris adat. Pembagian
warisan berdasarkan Hukum Waris Adat sangat beragam tergantung ketentuan suatu
Adat tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.
Dan setelah Islam masuk hingga saat ini hukum waris islam hanya menjadi pilihan.

DAFTAR PUSTAKA

Nawawi M. 2016. Pengantar Hukum Kewarisan Islam. Surabaya: Pustaka Raja


Abd. Shomad, 2010, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari‟atil Islamiyah „ala Dhauil
Kitab Was-Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut
Islam, Jakarta: Gema Insani Press.

14

Anda mungkin juga menyukai