MAWARIS
(Pengertian Mawaris dan Sejarah Kemawarisan Pra-Islam)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Fiqih
Mawaris yang diampu oleh:
H. Agung, M.Ag
Disusun oleh :
M. Ajri (1808101185)
CIREBON
2020
KATA PENGANTAR
telah memberi rahmat kepada kita berupa kesehatan sehingga kami dapat
seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini terutama
kepada Bapak H. Agung, M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih
makalah ini masih jauh dari sempurna.oleh karena itu,kritik dan saran yang ada
pembaca. Kritik dan saran sekecil apapun akan kami perhatikan dan
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................i
Daftar Isi.............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
Daftar Pustaka
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya,
terutama ,dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab
maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan
kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia
dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh
umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris
islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum
waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang
terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab
hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim
sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam
masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan
juga As-sunnah.
B. Rumusan Masalah
1
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37
1
1. Apa Pengertian Waris dan Hukum Waris ?
2. Bagaimana Hukum Waris Islam ?
3. Bagaimana sejarah Hukum Kewarisan Pra dan awal Islam?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Waris dan Hukum Waris.
2. Untuk Mengetahui Hukum Waris Islam.
3. Untuk mengetahui Ssejarah Hukum kewarisan Pra dan awal Islam.
BAB II
2
PEMBAHASAN
Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata mirats ()موارث, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata: warasa –yarisu – irsan – mirasan.
Maknanya menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.2
2
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset. Hlm. 45
3
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta
peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab
dan telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi
penghalang warits. Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa
pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada
seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.
4
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) buat dipenuhi wasiat yang
ia atau (dan) dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak tahu siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”
Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang
oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam
pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima
warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh
ahli waris telah ditentukan. Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur
peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang
berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak
Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan,
siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta
berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam. 3 Prof.
T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah, memberikan pemahaman tentang pengertian
hukum waris menurut islam ialah: "Ilmu yang dengan dia dapat diketahui
orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat
mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-
masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
3
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur,
1992. hlm. 69
5
dalam ketentuan Hukum Waris Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quran
lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.
Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana
bangsa Arab selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa
itu, kehidupan orang Arab bergantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan
hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu,
kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki
kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian harta
warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki
dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.
4
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka
Media Perintis, 2012), hal. 7.
5
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 32.
6
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M
Basamalah, (Gema Inasani Press, 1995), hlm. x.
7
Ibid.,
6
Pada masa pra-Islam, warisan dapat diberikan jika ada hubungan
kekerabatan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat
diberikan kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia, 8 dan anak-
anak yang diadopsi (pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang
akan mendapatkan harta warisan apabila:9
1) anak laki-laki,
2) saudara laki-laki,
3) paman,
4) anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan
5) anak laki-laki paman.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972), hlm. 3.
9
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris....., hlm. 3.
10
Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34.
11
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,
Hukum Adat dan Hukum Islam, (Darussalam: Bulan Bintang, 1978), hlm. 28
7
belum dewasa, apalagi kaum wanita. Adapun isi janji prasetia tersebut
adalah:
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan
darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku
damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu
dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu,
dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun
diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.12
Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta
peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya.
Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli
warisnya.13
c. Adanya Pengangkatan Anak
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas
pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia, dan
pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus laki-laki
yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk
mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak adalah adanya
dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan mereka. Hal itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-
anak atau perempuan.14
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw
mengangkat Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan
dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini
sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn
‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim
ibn Abu Huzaifah.15
Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahzab dibawah ini:
12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.14
13
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34
14
Ibid, hlm. 4
15
Teungku M.Hasbi ashShiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Risky
Putra, 2011), hlm. 3
8
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.16
Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah
dari seorang anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat
dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah
dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.
2. Kewarisan pada Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa
jahiliah hingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak
memandang dewasa atau anakanak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta
peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat, begitu juga dengan
perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak. Sebagaimana Allah swt
menjelaskan dalam al-Qur’an:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.17
16
Q.S. al-Ahzab (33): 5
17
Q.S. an-Nisa’ (4): 7
9
Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak
memberikan pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada
masa awal Islam, Rasulullah telah menerapkan hukum kewarisan. hal ini
terlihat ketika Rasulullah beserta sahabatnya hijrah dari Mekkah menuju
Madinah.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa dalam pewarisan awal Islam,
kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada
kaum laki-laki dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan.
Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan juga memungkinkan untuk
mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak dikenal adanya
janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).
18
Ikatan persaudaraan disini adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
yaitu orang-orang yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin yang
hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Lihat Ahmad Rafiq, Fiqh
Mawaris...., hlm.7-8.
19
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris....., hlm 4-5.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris
yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha,
yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-
Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung
beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-
Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti,
dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Terdapat beberapa cara yang dalam pewarisan harta peninggalan pada masa
Pra-Islam, yakni adanya pertalian kerabat janji prasetia dan anak angkat. Namun,
bibalik itu semua pihak yang mendapatkan warisan tersebut semua jatuh pada
kaum laki laki, sedangkan para wanita dan anak yang belum dewasa tidak
mendapatkan apa apa dengan alasan tidak sanggup berperang salah satunya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.
12