Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MAWARIS
(Pengertian Mawaris dan Sejarah Kemawarisan Pra-Islam)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Fiqih
Mawaris yang diampu oleh:

H. Agung, M.Ag

Disusun oleh :

Atif Nurrohman (1808101183)

Laras Saraswati (1808101170)

M. Ajri (1808101185)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

IAIN SYEKH NURJATI

CIREBON

2020
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, marilah kita mengucapkan syukur pada Allah SWT yang

telah memberi rahmat kepada kita berupa kesehatan sehingga kami dapat

menyelesaikan makalah ini tanpa halangan apa pun.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada

seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini terutama

kepada Bapak H. Agung, M.Ag selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih

Mawaris. Semoga makalah ini mampu memberikan manfaat dan mampu

memberikan nilai tambah kepada para pemakainya.

Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa

makalah ini masih jauh dari sempurna.oleh karena itu,kritik dan saran yang ada

relevansinya dengan penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan dari

pembaca. Kritik dan saran sekecil apapun akan kami perhatikan dan

pertimbangkan guna perbaikan di masa datang.

Cirebon, 1 September 2020

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................i

Daftar Isi.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan.....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

A. Pengetian Waris dan Hukum waris.....................................................................3


B. Hukum Waris Islam..............................................................................................5
C. Sejarah Hukum Kewarisan Pra dan awal Islam................................................6
1. Kewarisan Pra-Islam.......................................................................................6
2. Kewarisan Awal Islam....................................................................................9
D. Kesimpulan.............................................................................................................11

Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya,
terutama ,dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab
maupun dalam arti lingkungan. Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan
kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia
dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.

Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat


hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat
hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang
menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya.1

Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum


yang menyangkut bagaiman acara penyelesaian harta peninggalan kepada
keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu
tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh. Dalam
hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-
siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian
mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula
berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.

Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh
umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris
islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum
waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang
terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab
hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim
sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam
masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan
juga As-sunnah.

B. Rumusan Masalah
1
Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.hlm. 37

1
1. Apa Pengertian Waris dan Hukum Waris ?
2. Bagaimana Hukum Waris Islam ?
3. Bagaimana sejarah Hukum Kewarisan Pra dan awal Islam?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Waris dan Hukum Waris.
2. Untuk Mengetahui Hukum Waris Islam.
3. Untuk mengetahui Ssejarah Hukum kewarisan Pra dan awal Islam.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris dan Hukum Waris

Mawaris adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara pembagian harta


waris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan
orang mati. Di dalam islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti
peninggalan atau harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu,
harta waris disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi fitnah berkenaan dengan
harta waris. Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus karena terjadi
persengketaan dalam pembagian harta tersebut. Islam hadir memberi petunjuk
cara pembagian harta waris. Diharapkan dengan petunjuk itu manusia akan
terhindar dari pertikaian sesame ahli waris.

Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata mirats (‫)موارث‬, yang
merupakan mashdar (infinitif) dari kata: warasa –yarisu – irsan – mirasan.
Maknanya menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.2

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah,


berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa
saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i. Jadi yang dimaksudkan
dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang
yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan
ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.

Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya


sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang
lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau
kemuliaan. Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik
dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa
harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.

Sedangkan istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari


siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak
menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya. Sedangkan Wirjono
Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan

2
Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar
Grafika Offset. Hlm. 45

3
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.

Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta
peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab
dan telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi
penghalang warits. Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa
pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada
seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.

jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak


pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara
yang telah ditetapkan oleh nash. Kata kedua dalam Al-Qur’an yang menunjukan
waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah
bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya
ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat An-Nisa’ (4)
ayat 11.

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditanggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang dikelola, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat pengunjung sepertiga;

4
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) buat dipenuhi wasiat yang
ia atau (dan) dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak tahu siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.”

Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang
oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang
telah dipastikan kadarnya. Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam
pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima
warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh
ahli waris telah ditentukan. Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur
peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang
berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak

B. Hukum Waris Islam


1. Definisi Hukum Waris Islam

Dalam beberapa literatur Hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk


menamakan Hukum Waris Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh dan
hukum kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan
arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.

Pengertian Hukum Waris Menurut Islam adalah suatu disiplin ilmu yang
membahas tentang harta peninggalan, tentang bgaimana proses pemindahan,
siapa saja yang berhak menerima bagian harta warisan / peninggalan itu serta
berapa masing-masing bagian harta waris menurut hukum waris islam. 3 Prof.
T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah, memberikan pemahaman tentang pengertian
hukum waris menurut islam ialah: "Ilmu yang dengan dia dapat diketahui
orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang tidak dapat
mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-
masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"

Hukum Waris Islam kadang-kadang disebut juga dengan istilah Al-


Faraidh bentuk jamak dari kata fardh, yg artinya kewajiban dan atau bagian
tertentu. Apabila dihubungkan dngan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya
ialah ilmu untuk mengetahui cara membagi harta waris orang yang telah
meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya menurut hukum islam. Di

3
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur,
1992. hlm. 69

5
dalam ketentuan Hukum Waris Menurut Islam yang terdapat dalam Al-quran
lebih banyak yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan bagiannya.

C. Sejarah Hukum Kewarisan


1. Kewarisan Pada Masa Pra-Islam

Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana
bangsa Arab selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa
itu, kehidupan orang Arab bergantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan
hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Ketika itu,
kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu dan memiliki
kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian harta
warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki
dewasa, bukan kepada perempuan dan anak-anak.

Pada masa pra-Islam, pembagian harta warisan dilakukan dengan memakai


dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab. 4 Tradisi pembagian harta
warisan pada masa jahiliah bersifat patrilinear, artinya anak-anak yang belum
dewasa dan kaum perempuan tidak berhak mendapatkan harta warisan,
sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal.5

Sangat jelas bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan


kaum wanita secara zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum
wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun
kerabat mereka. Selain itu mereka juga berdalih bahwa kaum wanita tidak
dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah
dengan tegas menyatakan,

“Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan)


kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak
mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.”6

Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan


sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil. 7 Bahkan,
sebagian mereka beranggapan bahwa perempuan janda yang ditinggal mati
termasuk harta yang dapat diwariskan, diwarisi oleh para ahli waris suaminya.

4
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka
Media Perintis, 2012), hal. 7.
5
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 32.
6
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M
Basamalah, (Gema Inasani Press, 1995), hlm. x.
7
Ibid.,

6
Pada masa pra-Islam, warisan dapat diberikan jika ada hubungan
kekerabatan. Selain itu, mereka berkeyakinan bahwa harta warisan dapat
diberikan kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia, 8 dan anak-
anak yang diadopsi (pengangkatan anak). Dapat dipahami bahwa, seseorang
akan mendapatkan harta warisan apabila:9

a. Adanya Pertalian Kerabat


Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Pertalian
kerabat yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan
adalah laki laki yang memiliki kekuatan untuk membela, melindungi,
dan memelihara qabalah (persukuan) atau sekurang-kurangnya
keluarga mereka.10

Persyaratan ini mengakibatkan anak-anak yang belum dewasa dan


kaum perempuan tidak dapat menerima pusaka. Pantangan menerima
pusaka bagi kedua golongan ini karena dianggap tidak sanggup
melakukan tugas-tugas peperangan dan lebih dari itu mereka
dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu,
para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas:

1) anak laki-laki,
2) saudara laki-laki,
3) paman,
4) anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan
5) anak laki-laki paman.

Apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang sudah


besar, maka harta peninggalannya jatuh kepada saudara laki-lakinya
yang sanggup berperang. Satu hal lain yang aneh ialah bahwa yang
diwariskan itu tidak hanya harta peninggalan saja, tetapi juga isterinya,
asalkan saja istri itu bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka juga
memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan.11

b. Adanya Janji Ikatan Prasetia


Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling
membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin
terealisasi apabila pihak-pihak yang berjanji adalah anak-anak yang

8
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972), hlm. 3.
9
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris....., hlm. 3.
10
Moh. Muhibbudin, dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34.
11
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,
Hukum Adat dan Hukum Islam, (Darussalam: Bulan Bintang, 1978), hlm. 28

7
belum dewasa, apalagi kaum wanita. Adapun isi janji prasetia tersebut
adalah:
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan
darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku
damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu
dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu,
dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun
diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”.12
Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu pihak meninggal
dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak mempusakai harta
peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 bagian harta peninggalannya.
Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli
warisnya.13
c. Adanya Pengangkatan Anak
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pewarisan atas
pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia, dan
pewarisan atas dasar pengangkatan anak, disyaratkan harus laki-laki
yang sudah dewasa (kuat). Adapun tendensi mereka untuk
mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak adalah adanya
dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan
kehormatan mereka serta memelihara dan mengembangkan harta
kekayaan mereka. Hal itu tidak akan terealisasikan jika masih anak-
anak atau perempuan.14
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw
mengangkat Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan
dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini
sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn
‘Utbah mengangkat Salim menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim
ibn Abu Huzaifah.15
Keadaan ini berlaku hingga turun surat al-Ahzab dibawah ini:

12
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.14
13
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34
14
Ibid, hlm. 4
15
Teungku M.Hasbi ashShiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Risky
Putra, 2011), hlm. 3

8
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,
tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.16
Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah
dari seorang anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat
dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah
dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.
2. Kewarisan pada Masa Awal Islam
Pada masa awal Islam, masih berlaku sistem pembagian kewarisan masa
jahiliah hingga turun ayat yang menerangkan bahwa para lelaki (tidak
memandang dewasa atau anakanak) memperoleh bagian (pusaka) dari harta
peninggalan orang tua dan kerabat-kerabat terdekat, begitu juga dengan
perempuan, baik harta itu sedikit maupun banyak. Sebagaimana Allah swt
menjelaskan dalam al-Qur’an:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan”.17

16
Q.S. al-Ahzab (33): 5
17
Q.S. an-Nisa’ (4): 7

9
Dengan turunnya ayat di atas, terhapuslah adat jahiliah yang tidak
memberikan pusaka kepada perempuan dan anak-anak kecil. Di sisi lain, pada
masa awal Islam, Rasulullah telah menerapkan hukum kewarisan. hal ini
terlihat ketika Rasulullah beserta sahabatnya hijrah dari Mekkah menuju
Madinah.

Ketika sampai di Madinah, Rasulullah dan para sahabat disambut dengan


gembira oleh orang-orang Madinah dengan ditempatkan dirumah-rumah
mereka, dicukupi segala keperluan hariannya, dilindungi jiwanya dari
pengejaran kaum Quraisy, dan dibantu dalam menghadapi musuh-musuh yang
menyerangnya Untuk memperteguh dan mengabadikan ikatan persaudaraan,
Rasulullah menjadikan hal tersebut sebagai salah satu sebab untuk saling
mewarisi satu sama lain. Misalnya, apabila seorang sahabat tidak mempunyai
wali (ahli waris) yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya diwarisi oleh
walinya yang ikut hijrah. Ahli waris yang enggan hijrah ke Madinah tidak
berhak mewarisi harta sedikitpun. Tetapi, jika ada sahabat yang tidak
mempunyai wali yang ikut hijrah, maka harta peninggalannya dapat diwarisi
oleh saudaranya dari penduduk Madinah yang menjadi wali karena ikatan
persaudaraan.18

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa awal Islam


seseorang dimungkinkan untuk mendapatkan harta warisan apabila:19

a. Adanya pertalian kerabat,


b. Adanya pengangkatan anak ,
c. Adanya hijrah , dan
d. Adanya ikatan persaudaraan .

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa dalam pewarisan awal Islam,
kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada
kaum laki-laki dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan.
Adanya hijrah dan ikatan persaudaraan juga memungkinkan untuk
mendapatkan harta warisan, dan dalam kewarisan Islam, tidak dikenal adanya
janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).

18
Ikatan persaudaraan disini adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
yaitu orang-orang yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin yang
hijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah. Lihat Ahmad Rafiq, Fiqh
Mawaris...., hlm.7-8.
19
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris....., hlm 4-5.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris
yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta
bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.

Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha,
yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-
Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung
beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-
Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti,
dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.

Pada masa pra-islam pembagian waris dilakukan secara patrilinear, sehingga


bisa kita katakan bahwa kewarisan pada zaman itu sungguh sangat merugikan
salah satu pihak. Bahkan janda yang ditinggal mati oleh suaminya termasuk
hartanya pula, diwarisi kepada ahli waris keluarga suami.

Terdapat beberapa cara yang dalam pewarisan harta peninggalan pada masa
Pra-Islam, yakni adanya pertalian kerabat janji prasetia dan anak angkat. Namun,
bibalik itu semua pihak yang mendapatkan warisan tersebut semua jatuh pada
kaum laki laki, sedangkan para wanita dan anak yang belum dewasa tidak
mendapatkan apa apa dengan alasan tidak sanggup berperang salah satunya.

Lalu Islam hadir dengan pembaharuan kewarisan yang tidak merugikan


siapapu. Didalam islam, warisan hampir sama dengan apa yang terjadi pada masa
jahiliyah dulu. Bedanya, pada segi keadilan pemberian waris baik orang dewasa,
anak anak, maupun perempuan mereka tetap mendapatkan warisan atas
peninggalan tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Musthafa. 2009. Fiqih islam. Bandung: Media Zhikir Solo.

Muhibin, muhammad, dkk. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Offset.

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat, Bandung: Maju Mundur, 1992.

Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT. Raja GrafindoPersada, 2001.

Shiddieqy, Teungku M. Hasbi ash, Fiqh Mawaris, Semarang: Pustaka Risky


Putra, 2011.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,


Hukum Adat dan Hukum Islam, Darussalam: Bulan Bintang, 1978.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: al Maarif, 1975.

12

Anda mungkin juga menyukai