D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 3
FADHILAH FATMA
NOVITA SYAFITRI
LILIS FITRIANI
ROMA RISKI
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah agama islam
ini.Shalawat beriringan salam kita hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang
telah membawa umatnya ke alam yang berilmu pengetahuan seperti saat sekarang
ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………….…………….
Daftar Isi……………………………………………………………….…...
Bab 1 Pendahuluan…………………………………………………….…..
A. Latar Belakang……………………………………………………….
B. Rumusan Masalah……………………………………………………
C. Tujuan………………………………………………………………..
Bab 2 Pembahasan……………………………………………..……….…..
Bab 3 Penutup…………………………………………………...…………
A. Kesimpulan……………………………………………….…………
B. Saran………………………………………………………………...
Daftar Pustaka……………………………………………………..………
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diantara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan
tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang tinbul sebagai akibat dari suatu kematian. Harta
yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak
menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Aturan tentang waris tesebut ditetapkan oleh Allah melalui firmannya yang terdapat dalam Al-
Quran, terutama surah an-nisa ayat 7,8,11,12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan
dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya.
Ditinjau dari perspektif sejarah, implementasi hokum kewarisan islam pada zaman penjajahan
belanda ternyata tidak berkembang, bahkan secara politis posisinya dikalahkan oleh sistem kewarisan
hokum adat. Pada masa itu diintrodusir teori persepsi yang bertujuan untuk mengangkat hokum
kewarisan adat dan menyisihkan penggunaan hokum kewarisan islam[1].
Banyak para sarjana hukum barat menganggap hokum kewarisan islam tidak mempunyai
sistemdan hukum islam itu hanya bersandar pada asas patrilineal. Sementara itu, diklalangan umat islam
sendiri banyak pula yang mengira tidak ada sistem tertentu dalam hukum kewarisan islam, sehingga
menimbulkan sebuah anggapan seolah-olah hukum kewarisan islam merupakan hokum yang sangat rumit
dan sulit. Kondisi yang demikian itulah yang menyebabkan hukum kewarisan islam menurut fiqh
kebudayaan arab itu sangat sulit diterima masarakat islam di Indonesia.
A. Rumusan Masalah
B. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang cara pembagian harta yang telah di
tentukan dalam Alquran dan Hadits.cara pembagian menurut ahli mawarits adalah yang terbaik,
seadil-adilnya dengan tanpa melupakan hak seorang ahli waris sekalipun terhadap anak-anak
yang masih kecil.
Ilmu mawaris disebut juga dengan ilmu faraidh, ilmu faraidh merupakan suatu cara yang
sangat efektif untuk mendapat pembagian warisan-warisan yang berprinsip dan nilai-nilai
keadilan yang sesungguhnya .
Ilmu mawaris dan ilmu faraidh pada prinsipnya adalah sama yaitu ilmu yang
membicarakan tentang segala sesuatu yang berkenan dengan harta peninggalan orang yang
meninggal dunia.
b. Al-Hadits
Dalam Riwayat imam Muslim dan Abu dawud bahwasanya Nabi Muhammad SAW,bersabda :
“Bagilah harta pustaka antara ahli-ahli warits menurut ( ketentuan ) kitab Allah”.
b. Agar dapat di ketahui secara jelas siapa orang yang berhak menerima harta warisan dan berapa
bagian masing”.
c. Agar dapat menentukan bagian harta warisan secara adil dan benar sehingga tidak terjadi
perselisihan.
Syarat Pewarisan
a. Kematian
Orang yang telah meninggal dunia dan mempunyai harta maka akan di wariskan harta
peninggalannya.karna sudah merupakan ketentuan hukumnya.harta warisan tidak mungkin di
bagikan sebelum orang yang mempunyai harta peninggalan itu di nyatakan meninggal dunia
secara hakiki.
Ahli waris yang akan menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia harus masih
hidup. Artinya Apabila ada ahli waris yang sudah meninggal itu tidak berhak mendapat harta
peninggalan.
Rukun Pewarisan
a. Muwaris
Yaitu Orang yang meninggal dunia atau orang yang meninggalkan harta kepada orang-orang
yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam
b. Waris
Yaitu Orang yang berhak menerima harta peninggalan dari Muwarits karena sebab-sebab
tertentu. Waris di sebut juga dengan Ahli Waris.
c. Miras
Yaitu Harta yang di tinggalkan oleh muwaris yang akan di bagikan kepada orang-orang yang
berhak menerimanya ( ahli waris ). Miras itu bermacam-macam harta, misalnya tanah, rumah,
uang, kendaraan, dan lain sebagainya.
Dalam Agama islam sebab-sebab menerima harta warisan, adalah sebagai berikut:
a) Hubungan Kekeluargaan
Dalam hubungan kekeluargaan tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan
perempuan, orang tua dan anak-anak, orang yang kuat dan Lemah. Sesuai ketentuan yang
berlaku semuanya harta warisan.
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT, Dalam Alquran surah An-nisa ayat 7 :
Artinya; Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Hubungan kekeluargaan ini bila di lihat dari penerimaannya ada tiga kelompok:
1. Dzawil Furudh
Yaitu ahli waris yang memperoleh bagian tertentu seperti suami mendapat seperdua bila
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan mendapat seperempat bila orang yang
meninggal mempunyai anak.
2. Dzawil arham
Yaitu keluarga yang hubungan kekeluargaan nya jauh, mereka tidak termasuk ahli
waris yang mendapat bagian tertentu, tetapi mereka mendapat warisan jika ahli waris yang
dekat tidak ada.
3. Ahlul Ashabah
Yaitu Ahli waris yang mendapat sisa harta atau menghabiskan sisa, setelah ahli waris
yang memperoleh bagian tertentu mengambil bagian masing-masing.
b) Hubungan Perkawinan
Selama perkawinan masih utuh bisa menyebabkan adanya saling waris mewarisi. Akan
tetapi, jika perkawinan sudah putus maka gugurlah saling waris mewarisi, kecuali istri dalam
keadaan masa iddah pada talak raji.
d) Hubungan Agama
Apabila ada orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, baik dari
hubungan kekeluargaan, perkawinan, wala, maka harta warisannya itu di berikan kepada kaum
muslimin, yaitu diserahkan ke baitul Mal untuk kemashlahatan umat islam.
Agama islam sebab-sebab penghalang mendapat harta warisan, adalah sebagai berikut:
a. Status Budak
Orang yang berstatus budak, apa pun jenisnya, tidak bisa menerima harta warisan karena bila seorang
budak menerima warisan maka harta warisan yang ia terima itu menjadi milik tuannya, padahal sang tuan
adalah bukan siapa-siapanya (ajnabiy) orang yang meninggal yang diwarisi hartanya.
Seorang budak juga tidak bisa diwarisi hartanya karena sesungguhnya ia tidak memiliki apa-apa. Bagi
seorang budak diri dan apa pun yang ada bersamanya adalah milik tuannya.
b. Membunuh
Orang yang membunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang yang dibunuhnya, baik ia
membunuhnya secara sengaja atau karena suatu kesalahan. Karena membunuh sama saja dengan
memutus hubungan kekerabatan, sedangkan hubungan kekerabatan merupakan salah satu sebab
seseorang bisa menerima warisan.
Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari kakeknya Amr bin Syuaib, bahwa Rasulullah
bersabda:
Artinya: “Tak ada bagian apa pun (dalam warisan) bagi orang yang membunuh”.
Sebagai contoh, bila ada seorang anak yang membunuh bapaknya maka anak tersebut tidak bisa
menerima harta warisan yang ditinggalakan oleh sang bapak.
Namun demikian, orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari orang yang membunuhnya. Misalnya,
seorang anak melukai orang tuanya untuk dibunuh. Sebelum sang orang tua benar-benar meninggal
ternyata si anak lebih dahulu meninggal. Pada kondisi seperti ini orang tua yang dibunuh tersebut bisa
mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan anak tersebut, meskipun pada akhirnya sang orang tua
meninggal dunia juga.
c. Perbedaan Agama Antara Islam dan Kufur
Orang yang beragama non-Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal
yang beragama Islam. Juga sebaliknya seorang Muslim tidak bisa menerima warisan dari harta
peninggalan keluarganya yang meninggal yang tidak beragama Islam.
Artinya: “Seorang Muslim tidak bisa mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir tidak bisa mewarisi
seorang Muslim.”
Bagaimana dengan sesama orang kafir namun beda agama? Dalam hal warisan ini para ulama
menghukumi bahwa agama apa pun selain Islam dianggap sebagai satu agama sehingga mereka yang
beragama non-Islam dapat saling mewarisi satu sama lain. Maka bila dalam satu keluarga ada beda-beda
agama selain Islam di antara angggota keluarganya mereka bisa saling mewarisi satu sama lai
2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan ), Apabila hanya seorang, selama tidak
ada anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki
3. Saudara perempuan seayah, jika hanya seorang saja, dan tidak juga tsb pada point 1 dan 2
4. Suami, jika tidak ada anak, dan tidak ada cucu laki-laki dan anak laki-laki
1. Suami, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
2. Istria tau beberapa orang istri, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki
1. Istri atau beberapa orang istri bila ada anak atau cucu dari anak laki-laki
1. Dua orang anak perempuan atau lebih jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak lak-laki, selama tidak ada anak perempuan atau
saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada anak perempuan atau anak
perempuan dari anak laki-laki, atau saudara laki-laki mereka.
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tsb dari point 1,2, 3
1. Ibu, jika tidak terhalang, jika tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Atau tidak pula
meninggalkan dua orang saudara baik laki-laki maupun perempuan , baik seibu seayah atau
bukan.
2. Dua orang laki-laki atau lebih, juga saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, jika tidak
ada pokok dan cabang (ayah atau kakek dan anak atau cucu).itulah yang di maksud dengan
“kalalah”. Selain itu jumlah mereka harus ada dua orang atau lebih baik mereka lelaki atau
perempuan.
4. Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama-sma dengan seoranganak perempuan
sekandung.
5. Saudara perempuan seayah, jika bersama-sama dengan seorang saudara perempuan sekandung
ayah.
Anak perempuan dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anaknya
Anak laki-laki atau perempuan dari saudara seibu dan seterusnya ke bawah
d. Garis keturunan kesamping kedua yaitu:
Saudara perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ayah dan anaknya.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu dari ayah dan seterusnya ke bawah.
Saudara laki-laki atau perempuan ( kandung, seayah, atau ibu) dari ibu dan seterusnya ke
bawah
Ashal masalah ialah angka yang menjadi dasar pembagian harta warisan dalam sesuatu
masalah yakni di bagi menjadi berapa bagiankah keseluruhan harta pusaka itu, sehingga bagian
masing-masing ahli waris dapat di terimakan sebagaimana mestinya.
Dilihat dari segi angka-angka pembagian masing-masing bagian ada, maka penentuan
ashal masalah ada 4 macam, sebagai berikut:
1. Mudakhalah, Yaitu Apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada pada suatu
kasus itu saling memasuki, artinya angka pembagi yang kecil dapat di masukkan kedalam angka
pembagi yang besar, dengan kata lain angka pembagi yang besar dapat habis dengan angka
pembagi yang kecil.
2. Mumatsalah, Yaitu apabila angka-angka pembagian pada bagian-bagian yang ada dalam satu
kasus itu sama besarnya, maka cara menentukan ashal masalah ia dengan mengambil salah satu
di antara angka-angka pembagi yang ada.
3. Mubayanah, Yaitu Apabila angka-angka pembagian pada bagian yang ada dalam suatu kasus itu
berbeda yang satu dengan lain, maka pembagian yang satu tidak habis di bagi dengan angka
pembagi yang lain serta tidak mempunyai pembagi yang sama antara angka-angka pembagian
yang ada.
4. Muwafaqah, Yaitu apabila angka-angka pembagi pada bagian-bagian yang ada dalam suatu
kasus berbeda antara yang satu yang lain, tetapi angka-angka pembagi tersebut mempunyai
pembagian yang sama.
c. Ayah
d. Datuk laki-laki
3. Bagian saudara Laki-laki sekandung menjadi gugur, karena ada salah seorang dari tiga ahli
waris yaitu :
a. Anak Laki-laki
4. Bagian Anak Ayah( Saudara laki-laki atau perempuan seayah ) manjadi gugur, karena adanya
salah seorang tersebut di atas, yakni anak laki-laki, cucu laki- laki dari anak laki-laki atau
ayah.Dan jika ada saudara laki-laki seayah seibu.
5. Empat orang yang dapat menjadi Ashobah kepada saudara-saudara perempuan mereka Yakni:
a. Anak laki-laki
a. Masalah Aul
Ialah keadaan yang berlebihnya saham —saham para di pecah-pecah sejumlah angka asal
masalah pasti tidak cukup untuk memenuhi saham-saham dzawil furudh.
Setelah di ketahui bagian-bagian ashbul furudh hendaknya di cari asal masalah, kemudian di
cari saham-saham dari masing-masing ashabul furudh itu di jumlah, maka asal masalah yang
semula di benarkan dengan menambahkan angka tertentu sehingga besarnya sama
denganjumlah saham-saham para ahli waris, dengan kata lain asal masalah yang baru di pakai
ialah jumlah saham-saham yang harus di terima oleh para ahli waris.
b. Masalah Rad
Menurut fuqaha ialah pengambilan apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah
kepada merekasesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang
berhak untuk menerimanya.
Untuk menyelesaikan secara tuntas pembagian harta warisan terdapat sisa lebih dan di radkan,
atau mengandung masalah rad, terlebih dahulu haruslah di teliti apakah dalam kasus di
maksud terdapat ahli waris yang ditolak menerima rad ataukah tidak.
Jika dari Antara ahli waris ashabul furudh itu tidak terdapat seorang pun yang ditolak
menerima tambahan dari sisa lebih yang diradkan itu.
Kecenderungan manusia kepada harta kekayaan, jabatan dan kehidupan dunia pada
umumnya secara berlebihan, memicu munculnya berbagai konflik dan persengkataan. Pada
kondisi itulah diperlukan sebuah tatanan hukum dan peraturan yang bisa memberi jalan keluar
secara damai. Dan tentu saja yang paling memahami kondisi manusia adalah pencipta manusia
itu sendiri yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan telah menciptakan buku manual berupa
kitabullah sebagai panduan melakukan berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari di dunia. Buku
manual berupa kitabullah tersebut sangat sesuai sebagai pemberi jalan keluar bagi berbagai
macam konflik dan pertikaian yang terjadi diantara sesama manusia. Sekalipun dalam
prakteknya karena berbagai sebab, tak sedikit manusia yang menolak hidupnya diatur oleh
kitabullah yang merupakan buku manual untuk menjalani kehidupan di dunia. Tidak
mengherankan bila pada gilirannya kehidupan dunia semakin semrawut dan kacau balau. Salah
satu diantaranya adalah menolak penerapan hukum waris Islam dalam keluarga, sekalipun semua
paham hukum waris Islam akan memberi keadilan kepada seluruh anggota keluarga.
Dalam Islam, setiap orang yang telah meninggal dunia maka diwajibkan untuk segera
menyelesaikan beberapa hal penting diantaranya menyelesaikan pembayaran hutang si ahli
kubur, menunaikan wasiat yang telah diberikan dan melaksanakan nazar ahli kubur. Pelunasan
terhadap hutang piutang yang dimiliki oleh ahli kubur, diambil dari harta yang ditinggalkan.
Namun demikian, bila ternyata tidak memiliki harta benda yang mencukupi, maka keluarganya
lah yang berhak membayarkan hutang-hutang si ahli kubur. Bagaimanakah dengan pembagian
waris Islam itu sendiri? Perlukah disegerakan atau menunggu masa tertentu? Hal ini sebetulnya
relatif.
Artinya tidak ada keterangan kuat bahwa pembagian waris dalam Islam harus
disegerakan, juga tidak keterangan yang sama kuat untuk mengabaikan atau menunda-nunda
pembagian waris. Idealnya adalah ketika seluruh anggota keluarga dan ahli waris berkumpul,
kemudian seluruh kewajiban kepada yang meninggal telah dilaksanakan termasuk melunasi
seluruh hutang piutangnya, kemudian berkumpul untuk membagikan harta warisan. Dengan
demikian tak seorang pun dari ahli waris yang akan terganggu atau teraniaya hak-haknya.
Namun sekali lagi tidak ada anjuran waktu mutlak dalam Islam untuk melaksanakan
pembagian harta waris. Hanya saja Islam menganjurkan, apabila dikhawatirkan terjadi berbagai
konflik internal dalam keluarga, maka dianjurkan untuk segera melakukan pembagian harta
warisan tersebut.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah apakah pembagian harta waris tersebut harus
mutlak berdasarkan pembagian harta waris Islam atau sesuai dengan aturan ilmu mawaris
(Faraid)? Bagaimana hukumnya dengan mereka yang terbiasa melakukan pembagian harta
warisan dengan memakai hukum suku atau hukum adat?
Pembagian harta warisan menurut hukum adat jelas sangat jauh berbeda dengan hukum
Islam. Ada juga yang membagikan harta warisan secara kekeluargaan. Di sana disepakati bagian
masing-masing ahli waris secara damai tanpa mengundang berbagai pertikaian sesama ahli
waris. Yang manakah lebih utama dari hal di atas?
Pembagian waris Islam mutlak diterapkan sebagai upaya pencegahan terjadinya konflik
pertikaian yang dapat muncul akibat rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh para ahli waris
terhadap bagian masing-masing. Jadi apabila sesama ahli waris mampu berdamai untuk
melakukan pembagian dengan keridhaan masing-masing tanpa adanya konflik sengketa, hukum
pembagian waris Islam bisa untuk tidak dilaksanakan. Namun kembali kepada pemahaman
masing-masing anggota keluarga dan bukan memandang dari sisi manfaat serta madharatnya.
Warisan merupakan harta orang lain yang diperoleh atas usaha jerih payah orang lain
sewaktu ada di dunia. Harta pemberian orang lain tak akan senikmat harta jerih payah kita
sendiri. Terlebih jika cara memperolehnya dilakukan dengan cara-cara yang tidak halal dan tidak
baik. Tentu saja dengan mengharap mendapat harta warisan dari orang seperti ini, bukanlah
perbuatan terpuji.
Namun tidak bisa dipungkiri bila salah satu kebiasaan buruk manusia adalah terlalu
berharap dan menggantungkan nasib hidup terhadap harta warisan keluarganya, padahal ia
sendiri masih mampu melakukan usaha-usaha halal lainnya yang itu akan lebih mengangkat
harkat dan martabat diri sendiri.
Ingatlah bahwa orang yang kaya karena harta warisan keluarganya, tidak akan terlalu
dipandang di tengah-tengah masyarakat. Tentu saja akan begitu gampang menerima tudingan
soal kekayaannya itu, karena orang akan selalu berpikir, dia kaya karena harta warisan
keluarganya. Bandingkan dengan seseorang yang memperoleh kekayaan dari hasil jerih keringat
sendiri. Ia akan lebih dewasa saat menderita kemiskinan yang mungkin akan dialaminya di
kemudian hari. Begitu pula akan lebih bertanggung jawab dalam menggunakan dan
memanfaatkan harta kekayaannya itu.
Tapi terlepas dari masalah itu semua, hukum waris Islam menawarkan jalan keluar yang
baik untuk semua pihak. Sehingga akan terhindari dari kasus adanya yang teraniaya hak atau
perasaan ketidak adilan. Kenyataan tersebut apabila tidak memperoleh jalan keluar yang baik,
akan menyebabkan timbulnya rasa tidak enak. Apabila terus dipelihara akan semakin
memunculkan konflik bahkan pada akhirnya menjurus kepada pertikaian, padahal masih sesama
keluarga.
Syariah adalah sumber hukum tertinggi yang harus ditaati. Orang yang paling durhaka adalah
orang yang menentang hukum syariah. Syariah itu sendiri diturunkan untuk kebaikan hidup umat
Islam dan memberi jalan keluar yang paling sesuai dengan karakter dan watak dari masing-
masing manusia
Pembagian waris Islam merupakan pembagian dengan nilai keadilan paling tinggi. Keadilan
yang telah diterapkan tersebut secara otomatis akan mencegah muncul berbagai konflik dalam
keluarga yang dapat berujung pada tragedi pertumpahan darah. Sekalipun dalam prakteknya
selalu saja muncul penentangan-penentangan yang bersumber dari akal pikiran, yang sebenarnya
lebih karena khawatir yang tidak beralasan. Kalaupun kemudian menggunakan hukum waris adat
atau berdasarkan kekeluargaan yang membagi kekayaan secara rata, bukan jaminan tidak akan
munculnya ketidak adilan. Misalnya seorang anggota keluarga yang selama hidupnya merasa
paling berjasa dan paling memperhatikan kehidupan almarhum atau almarhumah, tidak akan
gampang menerima pembagian yang sama rata ini. Begitu pula tentang masalah-masalah lain
yang tetap saja akan muncul, karena sebenarnya bersumber dari ketidak puasan hawa nafsu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semua orang muslim wajib mempelajari ilmu mawaris, Ilmu mawaris sangat penting
dalam kehidupan manusia khususnya dalam keluarga karena tidak semua orang yang ditinggal
mati oleh seseorang akan mendapatkan warisan . Hal yang perlu diperhatikan apabila kita orang
muslim mengetahui pertalian darah, hak dan pembagiannya apabila mendapatkan warisan dari
orang tua maupun orang lain.
B. Saran
Bagi para pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami mawaris dalam
kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai dengan ajaran agama islam dimana hukum
memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2024563-contoh-makalah-hukum-waris-keluarga/
#ixzz1ltbnXwYU
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2024564-contoh-makalah-hukum-waris-keluarga/
#ixzz1ltbtloO4