Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IBADAH DAN MUAMALAH

FIQH WARIS/FARAIDH

Dosen Pengampu : Ary Antony Putra, S.Pd.I., MA

DISUSUN OLEH :

1. ADE RIYANI MAYZURA (218110219)


2. JOHN KEVIN APUTRA LANGUR (218110129)
3. SALWA NABILA RAMADHANI (218110058)
4. SITI RAHAYU (218110166)

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang bertemakan Fiqh
Waris/Faraidh ini. Tak lupa sholawat dan salam kita ucapkan kepada Nabi besar kita
yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Ary
Antony Putra pada mata kuliah Ibadah dan Muamalah. Selain itu, kami berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan tentang Fiqh Waris/Faraidh pada pembaca
dan juga pada penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ary Antony Putra, selaku dosen mata
kuliah Ibadah dan Muamalah yang telah memberikan tugas makalah ini sehingga kami
dapat menambah wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah
membantu dan membagi pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran akan kami terima
untuk perbaikan yang lebih baik ke depannya.

Pekanbaru, 14 Juni 2022

Kelompok 12
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..ii

BAB I

PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..1
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………1

BAB II

PEMBAHASAN……………………………………………………………..………………..2

A. Pengertian Faraidh……………………………………………………………………..2
B. Ahli Waris, Ashabah……………………………………………………………….….2
C. Pembagian Warisan dan Hijab………………………………………………………...3
D. Pengertian Wasiat……………………………………………………………….……..7
E. Syarat Wasiat……………………………………………………………………..……7
F. Rukun Wasiat………………………………………………………………………….9
G. Hukum Melaksanakan dan Meninggalkan Wasiat…………………………..…….....10
H. Nilai-nilai Filosofi dalam Kewarisa…..……………………………………………...12

BAB III

Kesimpulan………………………………………………………………………………...…18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………..19
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Faraidh adalah jamak “faraidlah” yang diartikan oleh ulama faradliun semakna dengan “mafrudlah”
yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan untuk
sebagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara.

Masalah keluarga yang berhubungan dengan pembagian harta warisan atau pusaka akan sangat sulit
apabila diantara pewaris ingin menguasai seluruh harta yang diwariskan, sehingga sangat merugikan
kepada orang lain dan akan menyebabkan seseorang akan bermusuhan satu sama lain. Sehingga untuk
menyelesaikan masalah tersebut pembagian harta warisan dibagikan secara adil atau ias diselesaikan
secara hukum.

Adapun yang berwenang membagikan harta waris ataupun yang menentukan bagiannya berhak dan
tidak bukanlah orang tua anak, keluarga, ataupun orang lain. Tetapi Allah lah yang berhak
menentukan bagiannya.

Rumusan Masalah

1. Mengetahui apa itu Faraidh


2. Mengetahui dan menentukan siapa saja ahli waris, ashabah
3. Mengetahui pembagian warisan dan hijab
4. Mengetahui pengertian wasiat
5. Mengetahui syarat wasiat
6. Mengetahui rukun wasiat
7. Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat
8. Nilai-nilai filosofi dalam kewarisan

Tujuan Penulisan

Agar dapat mengetahui apa itu faraidh beserta penjelasan-penjelasan yang berkaitan dengan faraidh.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Faraidh
Ilmu Faraidh/ Faroid/Fara’id/faro’id adalah ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak
mendapat waris, siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, definisi ilmu al-faraidh yang paling tepat
adalah apa yang disebut Ad-Dardir dalam Asy-Syarhul Kabir (juz 4, hal. 406), bahwa ilmu al-
faraidh adalah: “ilmu yang mewarisi dengan (rincian) jatah warisnya masing-masing dan
diketahui pula siapa yang tidak mewarisi.” Pokok bahasan ilmu al-faraidh adalah pembagian
harta waris yang ditinggalkan si mayit kepada ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah dan
Rasul-Nya. Demikian pula mendudukkan siapa yang berhak mendapatkan harta waris dan
siapa yang tidak berhak mendapatkannya dari keluarga si mayit, serta memproses
penghitungannya agar dapat diketahui jatah/bagian dari masing-masing ahli waris tersebut.
Dasar pijakannya adalah Al-Qur’an, sunnah Rasulullah dan ijma. Adapun Al-Qur’an, maka
sebagaimana termaktub dalam surah An-Nisa’ ayat 11,12, dan 176.

B. Ahli Waris, Ashabah


Mengenal Ahli Waris Ashabah Lengkap dengan Jenis dan pembagiannya.
Islam telah membahas secara tuntas harta warisan dalam kajian ilmu fiqih. Ilmu yang
mempelajarinya disebut ilmu faraidh, diambil dari kata mafrudha yang berarti telah
ditetapkan. Ilmu mawaris memiliki kedudukan yang sangat penting dalam islam. Ini menjadi
solusi efektif dari berbagai permasalahan umat terkait pembagian harta waris. Abdul Ghofur
Anshori dalam buku Hukum Kewarisan Islam di Indonesia menyebutkan bahwa ada istilah
yang dikenal dengan sebutan ahli waris. Dalam praktiknya, ahli waris terbagi menjadi
beberapa jenis, salah satunya adalah ahli waris ashabah.

Pengertian Ahli Waris Ashabah dan Macam-macamnya.


Ashabah adalah bentuk jamak dari kata “ashib” yang berarti mengikat dan menguatkan
hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi
bisa mendapat semua harta tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.
Ada tiga kemungkinan seseorang menjadi ahli waris ashabah, yaitu sebagai berikut:
•Pertama, mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil furudh tidak ada.
•Kedua, mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh saat ahli waris dzawil
tersebut ada.
•Ketiga, tidak mendapatkan sisa harta warisan karena telah habis dibagikan kepada ahli
warisan karena telah habis dibagikan kepada ahli waris dzawil furud.

Ada tiga macam ahli waris ashabah yang dikenal dalam islam, yaitu ashabah binafsihi,
ashabah bilghair, dan ashabah ma’alghair. Berikut penjelasan lengkapnya:
1.Ashabah Binafsihi
Ashabah binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan dengan sendirinya, tanpa
disebabkan orang lain. Ahli waris yang masuk dalam kategori ini yaitu:
•Anak laki-laki
•Cucu laki-laki
•Ayah
•Kakek
•Saudara kandung laki-laki
•Saudara seayah laki-laki
•Anak laki-laki saudara kandung
•Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
•Paman Kandung
•Paman Seayah
•Anak laki-laki paman kandung
•Anak laki-laki paman seayah
•Laki-laki yang memerdekakan budak
Apabila semua ashabah ada, maka tidak semuanya mendapat bagian. Akan tetapi, harus
didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris. Jadi, penentuannya
diatur berdasarkan nomor urut di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka
mereka mengambil semua harta ataupun sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki
mendapat dua kali lipat dari bagian perempuan.
2. Ashabah Bilghair
Ashabah bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seayah, yang
menjadi ashabah jika bersama saudari lelaki mereka. Berikut keterangan lebih lanjut tentang
beberapa perempuan yang menjadi ashabah bilghair:
•Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah
•Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah.
•Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah.
Ketentuan pembagian harta warisnya sama dengan ashabah binafsihi yaitu bagian pihak laki-
laki dua kali lipat dari bagian pihak perempuan.
3. Ashabah Ma’alghair
Ashabah ini disebut juga ashabah bersama orang lain, yaitu ahli waris perempuan yang
menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah:
•Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang
atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
•Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan (seorang atau
lebih) dari anak laki-laki.

C. Pembagian Warisan dan Hijab


Pembagian Warisan
Pembagian harta warisan kepada ahli waris memiliki perhitungan yang berbeda-beda setiap
kasus. Perbedaan tersebut mengacu kepada hukum warisan sesuai dalam ajaran Islam. Lalu
bagaimana aturan ahli waris dalam Islam dan pembagian harta sesuai syariat?

Perlu diketahui pewaris merupakan orang yang meninggal berdasarkan putusan Pengadilan
yang meninggalkan ahli waris serta harta peninggalannya. Sementara itu ahli waris
merupakan orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Besarnya
pembagian harta pun berbeda untuk masing-masing aturan ahli waris dalam Islam.
Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris merupakan harta bawaan dan harta bersama
setelah digunakannya untuk keperluan pewaris seperti pembayaran hutang, pengurusan
jenazah dan pemberian kepada saudara.

Pembagian harta warisan telah dijelaskan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11 yakni 6
presentase pembagian harta waris seperti setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8),
dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

1. Ahli waris mendapatkan setengah (1/2)


Ahli waris mendapatkan setengah (1/2) setidaknya satu dari kelompok laki-laki dan empat
perempuan, yakni suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

2. Ahli waris mendapatkan seperempat (1/4)


Ahli waris yang mendapatkan seperempat (1/4) adalah dua orang, yakni suami atau istri.

3. Ahli waris mendapatkan seperdelapan (1/8)


Jumlah seperdelapan (1/8) ini diberikan kepada satu pihak, yakni istri yang memiliki anak dan
atau cucu dari anak laki-laki.

4. Ahli waris mendapatkan dua pertiga (2/3)


Jumlah dua pertiga (2/3) diberikan oleh ahli waris yang terdiri dari empat orang yang
semuanya adalah perempuan. Ahli waris ini antara lain cucu perempuan dari anak laki-laki,
saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

5. Ahli waris mendapatkan sepertiga (1/3)


Ahli waris yang mendapatkan sepertiga (1/3) adalah ibu dan dua saudara baik laki-laki atau
perempuan dari satu ibu.

6. Ahli waris mendapatkan seperenam (1/6)


Ahli waris yang mendapatkan bagian seperenam (1/6) adalah 7 orang yakni bapak, ibu, cucu
perempuan dari anak laki-laki, kakek, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara seibu.

Demikian adalah aturan ahli waris dalam Islam beserta presentase pembagian menurut syariat
yang dilansir dari Al-Quran Surat An-Nisa ayat 11 yang wajib untuk diketahui.

Pembagian Hijab
Pengertian Hijab. Hijab adalah penghapusan hak waris seseorang, baik penghapusan sama
sekali ataupun pengurangan bagian harta warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat
pertaliaannya (hubungannya) dengan orang yang meninggal.
Macam-Macam Hijab.
Oleh karena itu hijab ada dua macam.
1) Hijab hirman yaitu penghapusan seluruh bagian, karena ada ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan orang yang meninggal. Contoh cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak
mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2) Hijab nuqshon yaitu pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada ahli waris lain
yang membersamai. Contoh : ibu mendapat 1/3 bagian, tetapi kala yang meninggal
mempunyai anak atau cucu atau beberapa saudara, maka bagian ibu berubah menjadi 1/6.
Dengan demikian ada ahli waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang disebut mahjub
hirman, ada ahli waris yang hanya bergeser atau berkurang bagiannya yang disebut mahjub
nuqshan. Ahli waris yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun semua ahli waris ada,
mereka tetap akan mendapat bagian harta warisan meskipun dapat berkurang. Mereka adalah
ahli waris dekat yang disebut al-aqrabun. Mereka terdiri dari : Suami atau istri, Anak laki-laki
dan anak perempuan, Ayah dan ibu. Ahli waris yang sama sekali tidak terḥijab atau terhalang
adalah :
1) Anak laki-laki kandung.
2) Anak perempuan kandung.
3) Ayah.
4) Ibu.
5) Suami.
6) Istri.
Dan ahli waris yang kemungkinan bisa terhijab nuqṣān adalah : Ibu dapat terḥijab nuqsan oleh
anak laki-laki, cucu laki-laki dan 2 orang saudara atau lebih baik laki-laki maupun perempuan
baik sekandung maupun tidak. Bapak dapat terhijab nuqsan oleh anak laki-laki dan cucu laki-
laki. Suami /istri dapat terhijab nuqsan oleh anak laki-laki dan cucu laki-laki.

Ahli waris yang dapat terhijab hirman.


Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan yang meninggal. Mereka adalah:
1) Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek
tidak mendapat bagian.
2) Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu.
3) Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu.
4) Cucu dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh anak laki-laki.
5) Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c. ayah.
6) Saudara kandung perempuan terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. ayah.
7) Saudara ayah laki-laki dan perempuan terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. anak laki-laki dan anak laki-laki.
c. ayah.
d. saudara kandung laki-laki.
e. saudara kandung perempuan.
f. anak perempuan.
g. cucu perempuan.
8) Saudara seibu laki-laki/perempuan terhijab/terhalang oleh:
a. anak laki-laki atau perempuan.
b. cucu laki-laki atau perempuan.
c. ayah
d. kakek.
9) Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh:
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.
10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah terhijab/terhalang oleh:.
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.
11) Paman (saudara laki-laki sekandung ayah) terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.

12) Paman (saudara laki-laki sebapak ayah) terhijab/terhalang oleh :


a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.
13) Anak laki-laki paman sekandung terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.
14) Anak laki-laki paman seayah terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. cucu laki-laki.
c. ayah.
d. kakek.
e. saudara kandung laki-laki.
f. saudara seayah laki-laki.
15) Cucu perempuan dari anak laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a. anak laki-laki.
b. dua orang perempuan jika cucu perempuan tersebut tidak bersaudara laki-laki yang
menjadikan dia sebagai ashabah
D. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam ialah pemberian suatu benda dari pewaris kepada
orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan


sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti
menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain,
wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah
si pemberi meninggal dunia.

Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata
washa merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta,
sedang iishaa’, wishayaa dan washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan
kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa setelah kematian
seseorang dengan cara tabbaru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki
tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.

E. Syarat Wasiat
Syarat-syarat wasiat (41 Wahbah az-Zuhaili, opcit, h 169)
Syarat-syarat wasiat ada 4, yaitu :
a. Pemberi wasiat.
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada orang yang
tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada
beberapa krateria bagi pemberi wasiat. Antaranya ialah :
1) Berakal. Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau terencat akal,
orang yang pengsan dan orang yang mabuk. Kesemua mereka dianggap
orang-orang yang kehilangan akal yang meerupakan asas kepada taklif,
dengan ini orang-orang ini tidaka layak memberi wasiat
2) Baligh. Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak sah wasiat
daripada seorang kanak-kanak walaupun telah mumaiyiz kerana ia tidak
layak berwasiat.
3) Merdeka. Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada qinna,
mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik. Bahkan diri dan
hartanya adalah milik tuannya.
4) Kemauan sendiri. Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang dipaksa.
Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka ia perlu melalui
keredaan dan pilihan pemiliknya.

b. Penerima wasiat (42 Wan Abdul Halim, Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka,
Kuala Lumpur :Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006 h. 26 43 Sayid Sabiq, opcit, h 596
44 Ibid, h. 598)
Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta warisan dari pemberi
wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai krateria untuk menerima wasiat.
Antaranya ialah :
1) Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara ini telah
ditetapkan berdasarkan hadis nabi saw yang artinya “tidak ada wasiat bagi
ahli waris” hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan tirmidzi yang
menurutnya hadis hasan.43
2) Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika wasiat dibuat. Tidak
sah mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau kepada badan yang
belum ditubuhkan (masjid yang akan dibangunkan).
3) Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.
4) Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat fuqaha’ madzhab
Maliki), bukannya kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’ madzhab Hanafi) dan
tidak boleh mewasiatkan senjata kepada ahli harbi (pendapat fuqaha madzhab
Syafie)

c. Barang yang diwasiatkan Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang
diwasiatkan adalah:
1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.
2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai nilai kewangan
sama ada melibatkan benda atau manfaat dari susut syarak.
3) Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada waktu berwasiat.
4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika zatnya
ditentukan.
5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan rumah untuk
dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3 harta pewasiat

d. Lafaz wasiat (ijab dan qabul). Ahli-ahli fiqh dari madzhab Hanafi memandang bahwa
rukun wasiat adalah memadai dengan sighah sahaja, yaitu meliputi penyerahan dan
penerimaan, sedangkan benda wasiat yang diberikan kepada penerima wasiat terdapat
dalam aqad (perjanjian) itu. Sebagian fuqaha’ yang lain termasuk fuqaha’ madzhab
Syafie berpendapat sighah merupakan rukun wasiat yang keempat. Adapun syarat-
syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah : 45 (Wan Abdul Halim, opcit, h 27)
1) Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur. Lafaz yang
jelas seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu ringgit” atau “serahkanlah
seribu ringgit kepadanya setelah kematian saya” atau berikan kepadanya
setelah kematian saya” atau “harta itu menjadi miliknya setelah kematian
saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini diterima sebagai suatu wasiat yang sah
dilaksanakan menurut lafaz tersebut. Jika orang yang berkata tersebut
menafikan ia berniat wasiat, katanya itu tidak diterima. Sementara lafaz yang
kabur pula perlu disertakan dengan niat. Terdapat kemungkinan lafaz itu
tidak berarti wasiat. Maka ia perlu diikuti dengan niat. Contohnya : “buku
saya ini untuk Zaid”.
2) Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini ditujukan
kepada orang yang tertentu. Jikalau wasiat ini ditujukan kepada pihak yang
umum seperti fakir miskin atau ulama’, persetujuan mereka tidak diperlukan
karena ini menyukarkan.
3) Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat. Tanpa
harus memperhatikan apakah penerima wasiat setuju atau menolak wasiat
sebelum pewasiat meninggal.
F. Rukun Wasiat
Rukun Wasiat (Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018). Dalam Hukum Islam syarat-syarat
wasiat mengikuti rukun-rukunnya. Apabila salah satu rukun wasiat tidap dapat dipenuhi maka
wasiat tidak akan bisa dilaksanakan, begitupula apabila salah satu dari wasiat tersebut tidak
terpenuhi maka wasiat bisa dinyatakan tidak sah. Para ahli hukum berselisih tentang rukun
dan syarat-syarat wasiat sehingga wasiat itu sah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan
kehendak syara’. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya menyerahkan
dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu. Berbeda dengan pendapat ulama
Hanafiyah rukun wasiat itu hanya satu yaitu ijab dan qabul. Menurut Abdurrahman al-Jaziri
dalam kitab Fiqh Al-Mazdahib Al- Arba’ah menjelaskan rukun wasiat: “Rukun wasiat terdiri
dari empat komponen yaitu orang yang berwasiat, orang yang menerima wasiat, barang yang
diwasiatkan, dan sighat.” (Abdurrahman al-Jaziri, tt: 231). Demikian pula menurut
Muhammad Jawad Mughniyah dalam kitab fiqh lima mazhab menjelaskan tentang rukun
wasiat: “Rukun wasiat terdiri dari empat yaitu: sighat, orang yang berwasiat, orang yang
menerima wasiat, dan barang yang diwasiatkan.”( Muhammad Jawad Mughniyah, 1964:
178). Jumhur ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu Mushii (pihak pembuat
wasiat), Mushaa lah (penerima wasiat), mushaa bih (sesuatu/barang yang diwasiatkan) dan
sighat (ucapan serah terima) (Wahbah az-Zuhaili, 161). Dari keempat rukun di atas masing-
masing memiliki syarat yang harus dipenuhi Implementasi Wasiat Berupa “Honorarium”
Menurut Pandangan Wahbah…... | 190 agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat
masing-masing rukun wasiat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Redaksi wasiat (Shighat).
Shighat wasiat ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan oleh
seseorang yang akan berwasiat dan atau penerima wasiat. Shighat wasiatsendiri terdiri
dari ”ijab” dan ”qabul”. Ijab ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan oleh yang
berwasiat, sedangkan qabul ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan oleh
seseorang yang akan menerima wasiat sebagai tanda penerimaan dan persetujuannya.
2. Pemberi wasiat (mushiy).
Orang yang berwasiat ialah setiap orang yang memiliki barang yang akan diwasiatkan
secara sah dan tidak ada paksaan. Setiap orang yang berkecukupan harta boleh
mewasiatkan sebagian dari hartanya selama tidak merugikan ahli waris dan orang yang
dipaksa untuk berwasiat atau tidak sengaja dalam berwasiat, maka wasiatnya tidak sah.
3. Penerima Wasiat (muhan lah).
Ulama Syafi-iyyah sepakat bahwa orang yang menerima wasiat adalah orang yang tidak
masuk dalam golongan ahli waris. Akan tetapi, apabila wasiat diberikan kepada ahli waris
maka harus dengan persetujuan dari semua ahli waris yang bersangkutan. Oleh sebab itu
jika ahli waris yang lain menyetujui, maka wasiat tersebut diperbolehkan. Izin dari pihak
ahli waris yang sangat diperlukan karena, harta yang telah diwariskan adalah harta orang
yang telah meninggal dunia dan merupakan hak mereka bersama, yang harus dibagi
sesuai ketentuan Hukum Islam. Maka, apabila ahli waris yang lain tersebut telah rela
hak mereka dikurangi sesuai dengan jumlah yang telah diwasiatkan orang yang telah
meninggal, barulah wasiat dapat dilaksanakan (Muhammad Jawad Mughniyah, 2004:
504).
4. Barang yang diwasiatkan
Semua Imam Mazhab sepakat bahwa barang yang diwasiatkan harus bisa dimiliki,
seperti harta atau rumah dan kegunaanya. Sehingga tidak sah mewasiatkan benda yang
menurut kebiasannya tidak bisa dimiliki, seperti binatang serangga, atau tidak bisa
dimiliki secara syar‟i, seperti minuman keras, jika si pemberi wasiat seorang muslim.
Sebab wasiat identik dengan kepemilikan, maka jika pemilikan tidak bisa dilakukan,
berarti tidak ada wasit. Begitu juga sah mewasiatkan buah-buahan di kebun tahun
tertentu ataupun untuk selamanya.

G. Hukum Melaksanakan dan Meninggalkan Wasiat


Pertama, wasiat hukumnya wajib, yakni apabila ada suatu kewajiban (berkaitan dengan hak
Allah atau hak manusia lain) yang harus dilaksanakan sedemikian sehingga khawatir jika
tidak diwasiatkan hal itu tidak disampaikan kepada yang berhak. Misalnya, zakat yang belum
dikeluarkan atau kewajiban berhaji yang belum dilaksanakan. Atau ada titipan yang
diamanahkan kepadanya atau utang yang harus dilunasi, dan sebagainya.

Kedua, wasiat hukumnya mustahab (sangat dianjurkan), yakni dalam berbagai perbuatan
taqarrub (pendekatan diri kepada Allah). Caranya dengan mewasiatkan sebagian dari harta
yang ditinggalkan untuk diberikan kepada sanak kerabat yang miskin (terutama yang tidak
menerima bagian dari warisan). Atau orang-orang shaleh yang memerlukan, atau untuk hal-
hal yang berguna bagi masyarakat seperti pembangunan lembaga pendidikan, kesehatan,
sosial, dan sebagainya.

Ketiga, wasiat hukumnya haram jika menimbulkan kezaliman bagi ahli waris, yakni jika
dimaksudkan untuk sesuatu yang haram. Misalnya, untuk membangun tempat minuman
beralkohol atau perbuatan haram, atau kuil, gereja, dan sebagainya. Atau untuk menghambur-
hamburkan uang dalam hal yang tidak bermanfaat, ini juga haram.

Keempat, wasiat hukumnya makruh, yakni jika harta si pemberi wasiat hanya sedikit,
sedangkan para ahli waris sangat memerlukannya. Atau jika ditujukan kepada orang-orang
tertentu yang ada kemungkinan dapat digunakan oleh mereka dalam melakukan kegiatan
kefasikan (perbuatan dosa) dan sebagainya.
Kelima, wasiat hukumnya mubah (boleh), yakni jika dilakukan oleh seseorang yang cukup
kaya dan ditujukan kepada siapa saja yang dikehendaki olehnya, baik dia termasuk sanak
kerabatnya atau pun bukan.

Wasiat adalah pesan yang disampaikan oleh seseorang saat ia masih hidup dan dilaksanakan
ketika ia sudah meninggal. Adapun hukum berwasiat ada tiga macam, yakni:
1. Menyampaikan wasiat hukumnya menjadi wajib jika orang tersebut masih mempunyai
utang atau menyimpan barang titipan atau menanggung hak orang lain, karena
dikhawatirkan jika sorang tersebut tidak berwasiat maka hak orang lain yang masih
ditanggungnya tidak ditunaikan kepada yang bersangkutan.
2. Menyampaikan wasiat hukumnya dianjurkan bagi orang yang memiliki harta berlimpah
dan ahli warisnya telah mendapat bagian harta dalam Islam yang berkecukupan dan
sesuai aturan Islam. Orang tersebut dianjurkan untuk menyampaikan wasiat agar
menyedekahkan sebagian hartanya, baik sepertiga dari total harta atau kurang dari itu,
kepada kerabat yang tidak mendapatkan warisan atau untuk orang lain yang
membutuhkan.
3. Menyampaikan wasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik seseorang itu
sedikit dan ahli warisnya tergolong orang yang hartanya pas-pasan. Lebih baik
mengutamakan pembagian warisan bagi ahli waris dibanding berwasiat dengan harta.
Maka dari itu banyak sahabat radhiyallahu ‘anhum, yang meninggal dunia dalam keadaan
tidak berwasiat dengan hartanya.
Perkara wasiat telah dijelaskan dalam Al Quran maupun hadits.

Terdapat dalam Q. S. Al Baqarah : 180, (yang artinya): “Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia
berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Hak bagi seorang
muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam dua
malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.”

Ibnu Umar berkata : “Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan hadits itu kecuali wasiatku berada
di sisiku.”

Dari ayat dan hadits di atas, dapat kita simpulkan bahwa wasiat hendaknya dilaksanakan,
namun ada beberapa kondisi atau syarat wasiat yang seperti apakah yang harus
dilaksanakan.
Wasiat diperbolehkan untuk dilaksanakan jika isi wasiat tersebut baik, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya melihat Ali
menyembelih dua ekor gibas.” Lalu aku mengatakan kepadanya, ”Apa ini?” Ali
menjawab, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat
kepadaku agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban atasnya.”

Sedangkan jika wasiat itu berisi tentang pembagian harta warisan, maka wasiat itu tidak
boleh dilaksanakan karena Islam telah mengatur tentang pembagian warisan dalam Al
Quran.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Terdapat dalam Q. S. An Nisa : 11, (yang artinya) : “Allah mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”

Namun diperbolehkan untuk melaksanakan wasiat jika harta warisan yang ditinggalkan
berlebih, dan isi wasiat tersebut adalah maksimal hanya 1/3 harta untuk disedekahkan.
Sedekah menurut Islam dengan menggunakan harta peninggalan memang diperbolehkan.
Sebagaimana dalam sebuah riwayat, Saad bin Abi Waqash berkata, ”Wahai Rasulullah
aku memiliki harta dan tidaklah ada yang mewarisinya kecuali hanya seorang anak
wanitaku. Apakah aku sedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau bersabda,”Jangan.”
Aku berkata,”Apakah aku sedekahkan setengah darinya?” Beliau bersabda,”Jangan,
sepertiga aja. Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin dan
meminta-minta kepada manusia.” (HR. Muslim). Hal ini karena sedekah dalam Islam
dapat menjadi amal jariyah bagi yang meninggal pula dan menjadi salah satu jenis
sedekah jariyah. Apalagi jika sedekah pada anak yatim karena terdapat keajaiban
bersedekah pada anak yatim.

Dan jika wasiat tersebut melanggar syariat Islam, maka haram hukumnya untuk
dilaksanakan. Hukum melanggar wasiat dalam Islam menjadi wajib jika isi wasiat berupa
hal maksiat, seperti meminta anak-anaknya meneruskan usaha perjudian. Sebagaimana
sabda Rasulullah, ”Tidak ada ketaatan didalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya
ketaatan adalah didalam perkara-perkara yang baik.” (HR. Bukhori). Dan di dalam
riwayat Abu Daud disebutkan,”Tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah.”

Begitu pula dengan isi wasiat yang menyatakan memberikan harta kepada ahli waris yang
telah mendapat harta warisan, maka tidak boleh dilaksanakan. Sebagaimana sabda
Rasulullah : “Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang masing-masing haknya.
Maka tidak boleh harta itu diwasiatkan kepada ahli waris.” (HR. At-Tirmizy)
Q.S. An Nisa:7, (yang artinya) : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”

H. Nilai-nilai Filosofi dalam Kewarisan


Filosofi Hukum Islam tentang Waris
Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-
irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Mawaris adalah jama’ dari mirats. Maka dimaksud dengan Mirats, demikian pula irts, wirts,
wiratsah dan turats,yang dimaknakan dengan mauruts ialah: “harta peninggalan orang yang
telah meninggal yang diwarisi oleh para warisnya.”[1]

Dasar Hukum Kewarisan Islam


Hukum kewarisan Islam pada dasrnya bersumber pada al-Qur’an sebagai firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Hadis Rasul. Baik dalam al-Qur’an maupun
al-Hadis, dasar hukum keawarisan itu ada yang secara tegas mengatur, dan ada yang tersirat,
bahkan kadang-kadang ada yang berisi pokok-pokoknya saja, yang paling banyak ditemui
dasar hukum kewarisan adalah Surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176, di samping surah-surah lain
sebagai pembantu.

Rukun warisan
Rukun Kewarisan ada tiga, yaitu:
1. Al-Muwaris, ialah orang yang meninggal dunia
2. Ahli waris, ialah orang yang akan mewarisi harta peninggalan si mati.
3. Mauruts, adalah harta peninggalan si mati setelah dipotong biaya pengurusan mayit,
melunasi hutangnya, dan melaksanakan wasiatnya yang tidak lebih dari sepertiga.

Sebab-sebab Mewariskan (ashabul mirots), yaitu :

Kekeluargaan (qorobah), adalah pertalian hubungan darah yang menjadi dasar utama
pewarisan. "Bagi lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan kaum
kerabat. Dan bagi wanita juga ada hak bagian dari harta peninggalan kedua ibu-bapak, dan
kaum kerabat, baik sedikit atau banyak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan." (QS. 4/An
Nisa': 7) "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)." (QS. 8/A1 Anfal: 75). Pertalian darah ini
dibagi menjadi, ke atas atas yang disebut ushul, ialah ibu-bapak, kakek-nenek dan seterusnya.
Ke bawah, disebut furu', ialah anak-cucu keturunan si mati. Dan ahli waris menyamping,
disebut hawasyi, ialah saudara, paman, bibi, keponakan dari si mati.

Ditinjau dari segi pembagiannya, ahli waris akibat pertalian darah ini dibagi menjadi tiga :

1. Ashhabul Furudinnasabiyyah, ialah golongan ahli-ahli waris yang mendapat bagian


tertentu. Misal: 1/2, 1/3 dan lain-lainnya.
2. 'Ashabah Nasabiyyah, ialah golongan ahli waris yang tidak mendapat bagian tertentu.
Mereka mendapat sisa dari golongan pertama. Jika tidak ada golongan pertama, golongan
kedua ini berhak atas seluruh harta warisan.
3. Dzawil Arham, ialah kerabat yang agak jauh dengan si mati.

Semenda (mushoharoh), karena perkawinan yang syah. Sehingga suami istri berhak untuk
saling mewarisi, apabila salah satu di antara mereka meninggal dunia sewaktu perkawinannya
masih utuh. Ketentuannya, sebagai berikut:

1. Apabila istri yang meninggal dan tidak memiliki anak, suami mewarisi separuh dari harta
peninggalan istrinya. Jika punya anak memperoleh seperempatnya. "Dan bagimu
seperdua dari peninggalan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
(istri-istrimu) memiliki anak, maka bagimu seperempat dari harta peninggalannya
sesudah dipenuhi segala wasiat yang mereka buat dan/atau sudah dibayar hutang-
hutangnya." (QS. 4/An Nisa': 12).
2. Apabila suami yang meninggal dan tidak memiliki anak, istri mewarisi seperempat dari
peninggalan suaminya. Jika punya anak memperoleh seperdelapannya. "Dan bagi mereka
(istri-istrimu) seperempat dari harta peninggalanmu jika kamu tidak mempunyai anak.
Apabila kamu mempumyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
peninggalanmu sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat, dan sesudah dibayar hutang-
hutangmu.” (QS. 4/An Nisa’:12)
3. Wala' adalah persaudaraan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak.
Sabda Muhammad Rosulullah saw. “Hubungan orang yang memerdekakan budak dengan
budak yang bersangkutan seperti hubungan turunan dengan turunan, tidak dijual dan tidak
diberikan." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim). "Hak Wala' itu hanya bagi
orang yang telah membebasaskan budak. Wala' itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat
nasab yang tidak boleh dijual atau dihibahkan." (HR. Hakim). Dengan demikian orang
yang memiliki hak wala’ berhak mewarisi harta peninggalan budaknya. Ditegaskan oleh
Rosulullah saw. "Sesungguhnya hak itu (mewarisi) untuk orang yang memerdekakan.”
(Sepakat", ahli hadis). Mereka itu disebut ahli waris golongan' Ushubah sababiyyah.
4. Hubungan agama. Apabila orang Islam yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli
waris, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan umat
islam. Sabada Muhammad Rosulullah saw. “Saya menjadi waris orang yang tidak
mempunyai waris.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud). Atau sebagiannya diwasiatkan kepada
orang sesama muslim. "Dan orang-orang yang memiliki htibungan darah, sebagian
mereka dengan sebagian yang lain lebih berhak (untk, mewarisi) di dalam Kitab Allah
daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat
baik kepada saudara-saudara kamu. Demikian tui adalah tertulis di dalam Kitab Allah. "
(QS. 33/Al Ahzab: Ayat ini menerangkan bahwa meskipun hak waris tidak berlaku
terhadap orang yang tidak berhubungan darah, namun dianjurkan sekadar pemberian
antara lain melalui wasiat yang tidak lebih dari sepertiga.

Tentu saja, Nabi Muhammad menerima harta pusaka tersebut bukan untuk kepentingan
pribadi/ keluarganya, melainkan untuk kepentingan umat islam.

Asas-asas Hukum Kewarisan Islam


Hukum Kewarisan Islam mempunyai corak tersendiri, itu merupakan bagian dari agama
Islam dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman atau akidah seorang muslim.
Asas Hukum Kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Qur’an dan Sunnah, adalah:

Asas ijbari.
Dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan
Allah tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur
“memaksa” (ijbari) ini terlihat, terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima
perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan
oleh Allah di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris yaitu orang yang
akan meninggal dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya
setelah ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya
akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan. (Daud Ali,
1998, hal. 281-282).

Asas bilateral.
Dalam Hukum Kewarisan Islam berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan dari
kedua belah pihak; dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan
perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.

Asas individual.
Maksudnya bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi kepada ahli waris untuk dimiliki
secara perseorangan. Untuk itu, dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menerimanya menurut bagian msing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas
bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-
masing sudah ditentukan.
Asas individual ini diperoleh dari kajian Al-Qur’an mengenai pembagian warisan. Misal
surat An-Nisa’ ayat 7, dalam garis hukum-garis hukum di dalamnya menjelaskan hak lak-
laki untuk menerima warisan dari orang tua atau keluarga dekatnya. Demikian juga
halnya perempuan berhak menerima harta warisan orang tua atau kerabatnya baik sedikit
maupun banyak. Bagian mereka (masing-masing) sudah ditentukan.

Asas keadilan berimbang.


Perkataan adil terdapat banyak dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukannya sangat
penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan di dalamnya. Oleh karena
itu, dalam sistem ajaran Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses dan tujuan segala
tindakan manusia. ( Daud Ali, 1998 , h. 286-287). Dengan demikian, asas ini
mengandung arti bahwa harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan
kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal
dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang.
Menurut Hukum Kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang
disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain
dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada
orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah
kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh
karena itu Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu
kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. ( Daud Ali, 1998, Hal 288).

Filosofi waris dalam Hukum Islam


Seperti telah disebutkan diawal bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur sedemikian rupa
dalam Al-Qur’an. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya, ayat-ayat hukum inilah
yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai
oleh Al-Qur’an tentang ketegasan hukum dalam hal Kewarisan.
Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum Islam :
1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal ini sesuai
dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri yaitu memelihara
harta.
2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3. Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar tetap utuh.
4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari seseorang
kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh SWT yang harus
dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.
5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun kecemburuan
sosial.
6. Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.
7. Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
8. Mewujudkan kemashlahatan umat Islam.
9. Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan, dan
kemashlahatan bagi umat manusia.
10. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak merintangi
kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam bermasyrakat.

Filosofi Asas Pembagian 2:1

Asas pembagian 2:1 ini masih dianut hampir di jajaran kalangan umat islam. Maksud dari
asa 2:1 adalah kaum laki-laki mendapatkan sedangkan kaum perempuan mendapatkan 1
bagian atau dengan kata lain, separuh dari bagian kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini
dinilai oleh sebagian kalangan, khususnya dikalangan Feminis gender. Menurut mereka
asas tersebut merupakan asas yang cenderung diskriminatif kepada perempuan karena
mengesampingkan asas keadilan semata.

Dalam gagasan rektualisasi ajaran islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa: “ketentuan
pembagian waris 2:1 ini telah banyak ditinggalkan oleh masyarakat islam di Indonesia,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menyimpangan terhadap Faraidh itu tidak
selalu disebabkan oleh tipisnya keislaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh
pertimbangan budaya dan struktural sosial, dan budaya kita adalah sedemikian rupa
sehingga pelaksanaan Faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.

Berawal dari sinilah muncul sebuah gagasan mengenai Reaktualisasi terhadap


pembambagian waris 2:1 yang jelas jelas menjadi asas hukum kewarisan islam. Oleh
karena itu, tidaklah heran bila kemudian sebagian orang menilai bahwa asas 2:1 ini
cenderung tidak adil, Diskriminatif. Namun, ada juga sebagian orang yang malah merasa
ada unsur-unsur keadilan dalam asas pembagian mengenai 2:1 ini. Oleh sebab itu,
sebelum melangkah lebih jauh mengenai pembahasan adil atau tidak adilnya asas 2:1 ini.
Alangkah baiknya bila kita menilik kembali prinsip keadilan yang dikemukakan oleh
filosof terkenal berkebangsaan Yunani, Aristoteles. Menurutnya ada dua macam prinsip
keadilan, keadilan distributif maupun kumulatif secara definitif, keadilan distributif
adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jasanya. Ia tidak menuntut
supaya tiap-tiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan
namun kesetaraan. Sedangkan keadilan kumulatif adalah keadilan yang memberikan pada
tiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangannya.

Oleh karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan sang filosofis,
maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan baik keadilan distributif
maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan Distributifnya terletak pada asas 2:1 itu,
maksudnya kaum laki-laki mendapatkan 2 bagian yang berarti lebih besar darikaum
perempuan yang hanya mendapatkan separuh dari bagian kaum laki-laki. Sedangkan
keadilan kumulatifnya terletak pada asas pembagian yang tidak diskriminatif. Maksudnya
selain kaum laki-laki, kaum perempuan, bahkan anak-anak pun bisa mendapatkannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum waris.

Filosofi mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena laki-laki
mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia ingin menikah pun,
laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan. Sedangkan kaum perempuan secara
umum tidak dibebani kewajiban untuk membiayai kehidupan rumah tangganya apalagi
membayar mas kawin.
Wasiat

Dalam definisi wasiat secara lughawi, wasiat berasal dari bahasa arab yang berarti
"pesan". Makna wasiat menurut istilah syar’i ialah, pemberian kepemilikan yang
dilakukan seseorang untuk orang lain, sehingga ia berhak memilikinya ketika si pemberi
meninggal dunia. Secara umum pemberian wasiat dikaitkan dengan kondisi seseorang
(yang memberi wasiat) dalam keadaan sakit menjelang kematian. Sementara wasiat
meliputi atas sesuatu pekerjaan, jasa, maupun harta peninggalan. Dengan demikian,
lingkup wasiat dalam pembahasan fiqih meliputi pesan atas sesuatu harta dari seseorang
menjelang kematian.

Rukun wasiat

Pelaksanaan wasiat dianggap benar secara ilmu fiqih jika memenuhi rukun wasiat, yaitu :

-Al-mushi (orang yang mewasiatkan).

-Al-musha lahu (orang yang menerima wasiat).

-Al-musha bihi (sesuatu yang diwasiatkan).

-Shighat (ijab dan qabul).


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Faraidh adalah ilmu yang membahas tentang waris dan hal-hal yang berkaitan dengan
warisan. Berdasarkan makalah yang kami tulis di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat
banyak dan rinci penjelasan warisan dalam hukum Islam, termasuk syarat-syaratnya, rukun-
rukun warisan & wasiat, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
https://kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-ahli-waris-ashabah-lengkap-dengan-
jenis-dan-pembagiannya-1wXXxMEGmge

https://www.bacaanmadani.com/2018/01/pengertian-hijab-dan-macam-macam-
hijab.html?m=1

https://www.suara.com/news/2021/11/11/104038/ahli-waris-dalam-islam-dan-
pembagian-harta-sesuai-syariat?page=2

https://repository.uin-suska.ac.id

https://repository.iainkudus.ac.id

https://dalamislam.com/hukum-islam/hukum-tidak-melaksanakan-wasiat

https://www.republika.co.id/berita/qz4m3f366/hukum-berwasiat-wajib-atau-sunnah

http://andhikhariz.blogspot.com/2012/06/filosofi-hukum-islam-tentang-waris.html?
m=1

wasiat (41 Wahbah az-Zuhaili, opcit, h 169)

(42 Wan Abdul Halim, Pengurusan dan Pembahagian Harta Pusaka, Kuala
Lumpur :Dewan Bahasa Dan Pustaka, 2006 h. 26 43 Sayid Sabiq, opcit, h 596 44
Ibid, h. 598)

45 (Wan Abdul Halim, opcit, h 27)

(Media Syari„ah, Vol. 20, No. 2, 2018)

Anda mungkin juga menyukai