1. NURHALIMAH
2. HUSWATUN HASANAH
3. ANDI SWANDI
FAKULTAS SYARIAH
2022/2023
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa
setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang
lazimnya disebut dengan meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu
meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana
tentang pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.1 Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro,
hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (Pewaris), dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (Ahli Waris). Meskipun
pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH Perdata, namun tata cara
pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia, pengertian hukum waris adalah hukum yang
mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan Pewaris, lalu
menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa besar bagian
masing-masing. Dari pengertian ini dapatlah diketahui bahwa substansi dari
hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah pengaturan tentang peralihan
hak milik dari si mayit (Pewaris) kepada Ahli Warisnya
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Pembagian Klompok ahli waris
2. Mengetahui besarnya bagian masing-masing
3. Mengetahui kesepakatan melakukan perdamaian
4. Mengetahui ahli waris pengganti
5. Mengetahui kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan
6. Mengetahui apa yang dimaksud dengan auld an rad
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pembagian Klompok ahli waris
2. Untuk megetahui besarnya bagian masing-masing
3. Untuk mengetahui kesepakatan melakukan perdamaian
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud ahli waris pengganti
5. Untuk mengetahui kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan
6. Untuk Mengetahui apa yang dimaksud dengan auld an rad
BAB II
PEMBAHASAN
a) Zawil Furudh
Zawil Furudh adalah kelompok ahli waris yang menerima bagian tertentu.
Besarnya bagian yang diterima ditentukan dalam Alquran dan hadist.
Yang termasuk ke dalam kelompok zawil furudh adalah ahli waris
perempuan dan laki-laki. Ada enam pembagian yang ditentukan, yaitu ½, ¼,
1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Adapun ahli waris laki-laki dan perempuan adalah:
b) Ashabah
Ashabah adalah kelompok yang menerima sisa pembagian ashab al-furuiid.
Ahli waris ini tidak ditentukan bagiannya, melainkan menghabiskan sisa harta.
c) Zawil Arham
Zawil arham adalah kelompok yang tidak menerima bagian kecuali tidak ada
ashab al-furuiid dan ashabah. Ahli waris ini punya kedekatan kekerabatan.
Contohnya cucu perempuan dari anak perempuan dan kakek dari garis ibu.
a. Anak sah, yaitu anak yang lahir di dalam suatu perkawinan yang sah;
b. Anak luar kawin yang diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan
yang sah, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu.
c. Anak luar kawin yang tidak diakui, yaitu anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah, dan tidak diakui, baik oleh ayah maupun oleh
ibunya.
Mengenai apakah anak luar kawin mendapat waris dari ayah, perlu kita lihat
dulu apakah anak luar kawin ini diakui atau tidak oleh ayahnya. Pasal 863 KUHPerdata
menyatakan: “Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan
atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka
yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”. Artinya apabila
sang ayah tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka sang anak tidak akan
mendapat waris. Namun, apabila anak luar kawin tersebut diakui oleh sang ayah, maka
sang anak akan mendapat bagian 1/3 dari bagian yang seharusnya jika ia anak sah.
Mengenai apakah anak luar kawin mendapat waris dari ibu, Pasal 43 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan (yang sah) hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh karena itu, anak luar kawin berhak
mendapatkan waris tanpa perlu pengakuan dari ibunya.
Namun, perlu diketahui bahwa semenjak ada Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 UU Perkawinan telah memiliki perubahan, yaitu yang
awalnya ‘anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya’, menjadi “anak luar kawin tidak hanya punya hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya, tetapi juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah
dan/atau keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut adalah ayah
dari anak luar kawin tersebut.” Teknologi yang dimaksud adalah dengan menggunakan
tes DNA.
Berdasarkan KUHPerdata dan Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, anak luar kawin berhak mendapatkan bagian waris dari ayahnya
apabila ada pengakuan dari ayahnya atau ada bukti yang sah berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa ia benar anak kandung dari sang
ayah sedangkan anak luar kawin berhak mendapatkan waris dari ibunya
Bagian waris disini tetap merupakan bagian waris anak luar kawin karena
Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris.
Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar
kekeluargaan dari para ahli waris yang sah antara lain jika adanya Golongan
atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari
mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak
sah”.
2) Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan II & III (orang tua, saudara,
“Anak luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan keempat
meliputi sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh,maka besarnya hak
1) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris Golongan I, bagiannya: 1/3
2) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III,
3) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya:
Apabila Pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut Undang-
Undang, anak luar kawin mewaris seluruh harta milik Pewaris (865
KUHPerdata).
b) Pengertian Radd
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 193, disebutkan “apabila dalam
pembagian harta warisan diantara para ahli waris dawil furudh menunjukkan
bahwwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak
ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara
radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya
dibagi berimbang diantara mereka”.
Radd menurut istilah ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya jumlah bagian ashabul furudh. Radd merupakan kebalikan dari
aul.
Dalam pembagian hak waris para ashabul furudh telah menerima haknya
masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa, sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai ashobah maka sisa harta waris itu
diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashabul furudh sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.
Radd tidak akan terjadi, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai
bagian fardh (ashab al-furudh) sebab bagian warisan mereka ini sudah
ditentukan dan dibatasi. Kadang-kadang, bagian mereka bisa menghabiskan
semua harta misalnya bagian ayah dan ibu dengan dua orang anak perempuan
pewaris. Ayah ibu memperoleh sepertiga, dan dua orang anak perempuan
memperoleh 2/3. Akan tetapi, kadang-kadang tidak sampai menghabiskan,
seperti bagian untuk seorang anak perempuan bersama ibu pewaris. Anak
perempuan yang seorang itu menerima seperdua sedangkan ibu mendapat 1/6
dengan demikian masih sisa 1/3. Kalau demikian, apa yang harus dilakukan
terhadap sisa tirkah? Kepada siapa sisa tersebut dikembalikan? Kalau para
ahli waris itu tidak mempunyai bagian tetap, misalnya beberapa orang
saudara laki-laki dan beberapa orang paman pewaris tidak akan muncul
permasalahan radd seperti ini.
Madzhab empat mengatakan, bahwa sisa yang merupakan kelebihan
fardh dikembalikan kepada ahli waris yang menerima ashobah. Kalau
pewaris mempunyai seorang anak perempuan, dia mengambil bagian
seperdua, sedangkan sisanya diberikan kepada ayah pewaris kalau ayahnya
sudah tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara perempuan
kandung atau seayah. Sebab, mereka adalah penerima-penerima ashobah bila
berada bersama-sama seorang anak perempuan. Kalau mereka juga tidak ada,
sisa tersebut diberikan kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
dan bila tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada anak saudara laki-laki
pewaris yang seayah, dan seterusnya kepada paman seibu seayah, paman
seayah, anak paman kandung, dan paman anak seayah.
Kalau orang-orang yang disebut diatas tidak ada, bagian yang tersisa
tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian fardh sesuai
dengan bagian besar kecilnya bagian tetap mereka, kecuali suami dan istri.
Kepada dua orang yang disebut belakangan ini, bagian yang tersisa tersebut
tidak bisa dikembalikan. Misalya apabila pewearis mempunyai seorang ibu
dan seorang anak perempuan, ibu mengambil bagian 1/6 dan anak perempuan
memperoleh bagian ½ sebagai fardh. Sisa yang harus dikembalikan kepada
mereka berdua dijadikan menjadi empat bagian. Seperempat diberikan
kepada ibu dan ¾ nya diberikan kepada anak perempuan.
Demikian halnya, apabila pewaris mempunyai seorang saudara
perempuan seayah dan seorang saudara perempuan seibu. Yang pertama
mengambil bagian seperti yang diambil oleh anak perempuan tunggal
pewaris, sedangkan yang kedua mengambil bagian seperti bagian ibu. Imam
Syafi’I dan Imam Maliki mengatakan bahwa apabila tidak terdapat orang-
orang yang mempunyai bagian ashobah, sisa tirkah yang sudah diambil oleh
bagian furudh itu dikembalikan kepada Bait Mal.
Imamiyah mengatakan bahwa sisa tersebut dikembalikan kepada ahli
waris yang mempunyai bagian fardh sesuai dengan besar kecilnya bagian
mereka manakala tidak terdapat kerabat yang setingkat dengannya. Adapun
jika terdapat ahli waris seperti itu, mereka yang mempunyai bagian fardh
mengambil bagiannya terdahulu, sedangkan sisanya diberikan kepada kerabat
dekat tersebut, misalnya ibu dan ayah.
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat:
a. Adanya ashhab al-furudh
b. Tidak adanya ashobah
c. Ada sisa harta waris
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut, maka kasus ar-radd
tidak akan terjadi.
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh, kecuali suami dan
istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian
tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashabul furudh yang dapat menerima ar-radd ada delapan orang:
1. Anak perempuan
5. Ibu kandung
1. Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
2. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
3. Adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
4. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ahli waris merupakan orang-orang yang berhak menerima warisan dari
pewaris. Pembagian ahli waris di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Zawil furudh
2) Ashabah
3) Zawil arham
Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli
hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah antara lain jika
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ash Shabani, Syeikh Muhammad, Hukum Waris Menurut Sunnah Dan Hadits,
Trigenda Karya Bandung, 1995.
Hadikusuma, Hilman Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.
J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung 1992.