Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM PERDATA ISLAM

HUKUM KEWARISAN ISLAM

Dosen Pengampu : Ahmad Syaerozi, SQ.MH

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 9

1. NURHALIMAH
2. HUSWATUN HASANAH
3. ANDI SWANDI

PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH ( HES )

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NWDI PANCOR

2022/2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohim, puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas limpahan


rahmat, hidayah, inayah, dan ridha-Nya. Selawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW. beserta pera keluarga dan sahabatnya yang senantiasa
kita harapkan atas syafaat ( pertolongan )nya di kelak kemudian amin.

Alhamdulillah , berkat pertolongan Allah Swt, kami bisa menyelesaikan


makalah tentang “Hukum Kewarisan Islam” dan diharapkan menjadi bahan masukan
dan tambahan dalam memahami mata kuliah “HUKUM PERDATA ISLAM. Penulis
juga mengharapakan makalah ini dapat dikembangkan oleh pembaca.

Senin 4 mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................


KATA PENGAN ...........................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................


B. Rumusan Masalah ...............................................................................
C. Tujuan Penulisan Makalah ..................................................................
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................
A. Pembagian Klompok ahli waris ..........................................................
B. bagian masing-masing ahli waris .........................................................
C. Kesepakatan melakukan perdamaian ...................................................
D. Pengertian Ahli waris pengganti ..........................................................
E. Bagian Kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan.........................
F. Aul dan rad............................................................................................
BAB III PENUTUP .......................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................................
B. Saran ....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa
setiap manusia akan mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang
lazimnya disebut dengan meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu
meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana
tentang pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.1 Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro,
hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (Pewaris), dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (Ahli Waris). Meskipun
pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH Perdata, namun tata cara
pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam Indonesia, pengertian hukum waris adalah hukum yang
mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan Pewaris, lalu
menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa besar bagian
masing-masing. Dari pengertian ini dapatlah diketahui bahwa substansi dari
hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah pengaturan tentang peralihan
hak milik dari si mayit (Pewaris) kepada Ahli Warisnya

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui Pembagian Klompok ahli waris
2. Mengetahui besarnya bagian masing-masing
3. Mengetahui kesepakatan melakukan perdamaian
4. Mengetahui ahli waris pengganti
5. Mengetahui kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan
6. Mengetahui apa yang dimaksud dengan auld an rad

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pembagian Klompok ahli waris
2. Untuk megetahui besarnya bagian masing-masing
3. Untuk mengetahui kesepakatan melakukan perdamaian
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud ahli waris pengganti
5. Untuk mengetahui kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan
6. Untuk Mengetahui apa yang dimaksud dengan auld an rad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Pembagian Kelompok Ahli Waris


1. Pengertian ahli waris
Menurut pakar hukum Indonesia, Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro (1976),
hukum waris diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta
kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia (pewaris), dan cara-cara
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (ahli waris).
Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris
tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991, pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur
pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan
siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-
masing.

2. Kelompok Ahli Waris


Islam membagi ahli waris ke dalam tiga kelompok. Adapun
penjelasannya adalah:

a) Zawil Furudh
Zawil Furudh adalah kelompok ahli waris yang menerima bagian tertentu.
Besarnya bagian yang diterima ditentukan dalam Alquran dan hadist.
Yang termasuk ke dalam kelompok zawil furudh adalah ahli waris
perempuan dan laki-laki. Ada enam pembagian yang ditentukan, yaitu ½, ¼,
1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Adapun ahli waris laki-laki dan perempuan adalah:

1) Ahli waris laki-laki


 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah
 Ayah
 Kakek dari ayah dan terus ke atas
 Saudara laki-laki kandung
 Saudara laki-laki seayah
 Saudara laki-laki seibu
 Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
 Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
 Paman yang sekandung dengan ayah
 Paman yang seayah dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
 Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
 Suami
 Orang laki-laki yang memerdekakan budak

2) Ahli waris perempuan


 Anak perempuan
 Cucu perempuan dari anak laki-laki,dan terus kebawah
 Ibu
 Nenek (ibu dari ibu) dan terus ke atas
 Nenek (ibu dari ayah),dan terus kebawah
 Saudara perempuan kandung
 Saudara perempuan seayah
 Saudara perempuan seibu
 Istri
 Orang perempuan yang memerdekakan budak

b) Ashabah
Ashabah adalah kelompok yang menerima sisa pembagian ashab al-furuiid.
Ahli waris ini tidak ditentukan bagiannya, melainkan menghabiskan sisa harta.

c) Zawil Arham
Zawil arham adalah kelompok yang tidak menerima bagian kecuali tidak ada
ashab al-furuiid dan ashabah. Ahli waris ini punya kedekatan kekerabatan.
Contohnya cucu perempuan dari anak perempuan dan kakek dari garis ibu.

B. Bagian Masing-Masing Ahli Waris


Pembagian warisan menurut Islam berpedoman pada surat An-Nisa ayat
11-12. Tak hanya itu, hukum waris ini diperkuat oleh Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam yang membahas mengenai penggolongan anggota keluarga yang
berhak menjadi ahli waris berdasarkan hubungan darah.
Berikut merupakan pembagian harta warisan menurut hukum Islam dan
sesuai dengan instruksi Presiden :
 Warisan 1/2 bagian berhak diberikan kepada anak perempuan tunggal.
 2/3 warisan berhak diberikan untuk anak perempuan berjumlah dua
atau lebih.
 Jika terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka pembagiannya 2:1
antara laki-laki dibandingkan perempuan.
 1/3 bagian diberikan kepada ayah apabila tidak mempunyai anak, dan
mendapat 1/6 apabila memiliki anak.
 1/3 bagian diberikan kepada ibu, jika tidak mempunyai anak, dan 1/6
apabila mempunyai anak atau lebih dari dua saudara.
 1/3 bagian untuk ibu setelah diambil janda atau duda, jika bersama
dengan ayah.
 1/2 bagian untuk duda, apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan
1/4 bagian jika ada anak.
 1/4 bagian untuk janda, apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan
1/8 jika ada anak.
 1/6 bagian untuk saudara laki-laki dan perempuan seibu, apabila
pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
 1/2 bagian untuk saudara perempuan seayah, apabila pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah. Jika, jumlahnya lebih dari 2 orang, maka
pembagiannya menjadi 2/3.

C. Kesepakatan Melakukan Perdamaian


Dalam pasar 183 kompilasi hukum isalam menegaskan bahwa ahli waris
dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam perbagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya. Yang di kontruksi oleh pasal
ini ada dua hal yaitu :
1) adanya pristiwa kewarisan
2) adanya hibah dari ahli waris ke ahli waris lainnya
kontruksi pertama ditunjukkan dengan adanya klausula “ setelah masing-
masing menyadari bagiannya” ini berarti secara hukum ahli waris telah
mengetahui haknya. Kontruksi kedua ditunjukkan dengan adanya kalusula “
bersepakat melakukan perdamaian. Bersepakat menunjuk pada suatu
perjanjian, yang dalam hal ini adalah perjanjian hibah, yakni hibah dari ahli
waris yang satu kepada ahli waris yang lain, seolah-olah penghibah ini telah
menerima bagian warisan yang menjadi haknya.

D. Ahli waris pengganti


1. Ahli waris menurut KUH perdata
Dalam KUHPerdata, diatur dengan jelas mengenai penggantian tempat
ahli waris ( plaatsvervulling ) . Hal tersebut diatur dalam Pasal 854 sampai
dengan Pasal 857 KHUPerdata, kemudian dihubungkan dengan Pasal 860
dan Pasal 866. Pasal-Pasal tersebut menunjukkan bahwa KUHPerdata
mengetahui dan memahami adanya penggantian ahli waris atau
plaatsvervulling. Agar terpenuhinya plaatservulling, haruslah terpenuhi
syarat-syarat berikut ini :
a) Orang yang menggantikan harus memenuhi syarat sebagai ahli waris. Ia harus
ada pada saat pewaris meninggal dunia dan dia sendiri tidak
boleh onwaardig (menolak menerima warisan).
b) Orang yang digantikan tempatnya harus sudah meninggal. Orang lain tidak
dapat menggantikan tempat orang yang masih hidup, sebagaimana dalam Pasal
847 KUHPerdata yang berbunyi :
“Tiada seorangpun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup selaku
penggantinya. Hanya keturunan atau anak/cucu yang sah yag dapat bertindak sebagai
pengganti.”
Artinya, di antara pewaris dengan orang yang menggantikan tidak boleh ada yang masih
hidup.
c) Orang yang menggantikan tempat orang lain harus keturunan sah dari orang
yang tempatnya digantikan. Maka, anak luar kawin yang diakui tidak dapat
bertindak sebagai pengganti.
2. Ahli waris pengganti menurut hukum islam
Sedangkan ahli waris pengganti dalam hukum Islam disebut sebagai mawali,
yakni ahli waris yang menggantikan seseorang guna mendapatkan bagian warisan
yang sebelumnya akan didapatkan oleh orang yang digantikan. Orang yang
digantikan tersebut merupakan penghubung antara ahli waris pengganti dengan
pewaris, contohnya cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu dari si
pewaris, maka cucu tersebut mewaris dari kakeknya. Gagasan ahli waris pengganti
ini diprakarsai oleh Hazairin.
Ketentuan mengenai ahli waris pengganti diatur dalam Pasal 185 ayat 1 dan 2 KHI,
yang berbunyi :
“(1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam
Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.”

E.kewarisan anak yang lahir diluar perkawinan


Hukum waris berdasarkan hukum perdata diperuntukan bagi subjek

hukum non-muslim. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

membagi status anak ke dalam tiga golongan, yaitu:

a. Anak sah, yaitu anak yang lahir di dalam suatu perkawinan yang sah;

b. Anak luar kawin yang diakui, yaitu anak yang lahir di luar perkawinan

yang sah, tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu.

c. Anak luar kawin yang tidak diakui, yaitu anak yang lahir di luar

perkawinan yang sah, dan tidak diakui, baik oleh ayah maupun oleh

ibunya.
Mengenai apakah anak luar kawin mendapat waris dari ayah, perlu kita lihat
dulu apakah anak luar kawin ini diakui atau tidak oleh ayahnya. Pasal 863 KUHPerdata
menyatakan: “Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan
atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari mereka
yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak sah”. Artinya apabila
sang ayah tidak mengakui anak luar kawin tersebut, maka sang anak tidak akan
mendapat waris. Namun, apabila anak luar kawin tersebut diakui oleh sang ayah, maka
sang anak akan mendapat bagian 1/3 dari bagian yang seharusnya jika ia anak sah.
Mengenai apakah anak luar kawin mendapat waris dari ibu, Pasal 43 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan (yang sah) hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Oleh karena itu, anak luar kawin berhak
mendapatkan waris tanpa perlu pengakuan dari ibunya.
Namun, perlu diketahui bahwa semenjak ada Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 46/PUU-VIII/2010, Pasal 43 UU Perkawinan telah memiliki perubahan, yaitu yang
awalnya ‘anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya’, menjadi “anak luar kawin tidak hanya punya hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibunya, tetapi juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah
dan/atau keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum bahwa laki-laki tersebut adalah ayah
dari anak luar kawin tersebut.” Teknologi yang dimaksud adalah dengan menggunakan
tes DNA.
Berdasarkan KUHPerdata dan Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut, anak luar kawin berhak mendapatkan bagian waris dari ayahnya

apabila ada pengakuan dari ayahnya atau ada bukti yang sah berdasarkan

ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa ia benar anak kandung dari sang

ayah sedangkan anak luar kawin berhak mendapatkan waris dari ibunya

tanpa perlu pengakuan dari ibunya.

Bagian waris disini tetap merupakan bagian waris anak luar kawin karena

status si anak ialah anak luar kawin yang diakui.

Bagian waris anak luar kawin diatur pada pasal 863 KUHPerdata.

Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli waris.

Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana anak luar

kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat hubungan

kekeluargaan dari para ahli waris yang sah antara lain jika adanya Golongan

I, II, III, dan IV.

1) Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan I (istri atau suami hidup

terlama & anak sah):

 “Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan

atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari
mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak

sah”.

2) Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan II & III (orang tua, saudara,

keturunan saudara, nenek, kakek):

“Jika yang meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau

istri, tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas atau

saudara laki-laki dan perempuan atau keturunannya, maka anak-anak yang

diakui tersebut mewaris 1/2 dari warisan.”

3) Pewaris meninggalkan ahli waris Golongan IV (saudara jauh):

 “Anak luar kawin yang mewaris dengan ahli waris golongan keempat

meliputi sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh,maka besarnya hak

bagian anak luar kawin adalah ¾ dari warisan.”

Kesimpulannya, pembagian waris anak luar kawin menurut

KUHPerdata adalah sebagai berikut.

1) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris Golongan I, bagiannya: 1/3

dari bagiannya seandainya ia anak sah.

2) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan II dan III,

bagiannya: 1/2 dari warisan.

3) Anak luar kawin mewaris dengan ahli waris golongan IV, bagiannya:

3/4 dari warisan.

Apabila Pewaris tidak meninggalkan ahli waris yang sah menurut Undang-

Undang, anak luar kawin mewaris seluruh harta milik Pewaris (865

KUHPerdata).

F. Pengertian Aul dan Radd


a) Pengertian Aul
Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada BAB IV Pasal
192 yang menyatakan bahwa “apabila pembagian harta warisan diantara para ahli
waris Dzawil Furudh menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari pada
angka penyebut, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan
sesudah itu harta warisan dibagi secara Aul menurut angka pembilang”.
Definisi al-Aul menurut Istilah, yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari
yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Hal ini terjadi
ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal diantara mereka ada yang belum menerima bagian. Oleh karena itu,
masalah pokoknya harus ditambah sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashabul furudh yang ada meskipun bagian mereka menjadi berkurang.
Aul tidak akan terjadi kecuali dengan adanya suami istri. Para ulama berbeda
pendapat tentang masalah pemikulan aul, apakah kekurangan harta waris itu
dipikul oleh semua ahli waris secara bersama-sama, atau dipikul oleh masalah
seorang ahli waris.
Madzhab empat mengatakan bahwa kekurangan itu harus dipikul secara
bersama-sama oleh seluruh ahli waris. Penambahan harta waris disesuaikan
dengan jumlah bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris, persis seperti
orang-orang yang mempunyai hutang ketika harta yang akan dibayarkan kepada
mereka jumlahnya tidak mencukupi besar piutang yang menjadi hak mereka. Jadi
kalau terdapat seorang istri bersama-sama dengan dua orang ayah ibu dan dua
orang anak perempuan, masalah seperti ini, bagi madzhab empat, merupakan
masalah aul. Dengan demikian, total bagian semuanya adalah 24 bagian,
kemudian dijadikan 27 bagian. Istri mengambil bagiannya yang semula 1/8
sekarang menjadi 1/9, ayah ibu mengambil 8 bagian sedangkan dua orang anak
perempuan mengambil 16 bagian.
Menurut ulama faraidh asal masalah yang boleh diaulkan ada 3 yaitu 6, 12
dan 24
 Masalah enam hanya boleh diaulkan dengan tujuh, delapan, sembilan, dan
sepuluh.
 Maslah dua belas hanya boleh diaulkan dengan tiga belas, lima belas dan tujuh
belas
 Masalah dua puluh empat hanya boleh diaulkan dengan dua puluh tujuh

b) Pengertian Radd
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 193, disebutkan “apabila dalam
pembagian harta warisan diantara para ahli waris dawil furudh menunjukkan
bahwwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak
ada ahli waris ashobah, maka pembagian harta tersebut dilakukan secara
radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya
dibagi berimbang diantara mereka”.
Radd menurut istilah ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya jumlah bagian ashabul furudh. Radd merupakan kebalikan dari
aul.
Dalam pembagian hak waris para ashabul furudh telah menerima haknya
masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa, sementara itu
tidak ada sosok kerabat lain sebagai ashobah maka sisa harta waris itu
diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashabul furudh sesuai dengan
bagian mereka masing-masing.
Radd tidak akan terjadi, kecuali kepada orang-orang yang mempunyai
bagian fardh (ashab al-furudh) sebab bagian warisan mereka ini sudah
ditentukan dan dibatasi. Kadang-kadang, bagian mereka bisa menghabiskan
semua harta misalnya bagian ayah dan ibu dengan dua orang anak perempuan
pewaris. Ayah ibu memperoleh sepertiga, dan dua orang anak perempuan
memperoleh 2/3. Akan tetapi, kadang-kadang tidak sampai menghabiskan,
seperti bagian untuk seorang anak perempuan bersama ibu pewaris. Anak
perempuan yang seorang itu menerima seperdua sedangkan ibu mendapat 1/6
dengan demikian masih sisa 1/3. Kalau demikian, apa yang harus dilakukan
terhadap sisa tirkah? Kepada siapa sisa tersebut dikembalikan? Kalau para
ahli waris itu tidak mempunyai bagian tetap, misalnya beberapa orang
saudara laki-laki dan beberapa orang paman pewaris tidak akan muncul
permasalahan radd seperti ini.
Madzhab empat mengatakan, bahwa sisa yang merupakan kelebihan
fardh dikembalikan kepada ahli waris yang menerima ashobah. Kalau
pewaris mempunyai seorang anak perempuan, dia mengambil bagian
seperdua, sedangkan sisanya diberikan kepada ayah pewaris kalau ayahnya
sudah tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada saudara-saudara perempuan
kandung atau seayah. Sebab, mereka adalah penerima-penerima ashobah bila
berada bersama-sama seorang anak perempuan. Kalau mereka juga tidak ada,
sisa tersebut diberikan kepada anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung,
dan bila tidak ada, sisa tersebut diberikan kepada anak saudara laki-laki
pewaris yang seayah, dan seterusnya kepada paman seibu seayah, paman
seayah, anak paman kandung, dan paman anak seayah. 
Kalau orang-orang yang disebut diatas tidak ada, bagian yang tersisa
tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang mempunyai bagian fardh sesuai
dengan bagian besar kecilnya bagian tetap mereka, kecuali suami dan istri.
Kepada dua orang yang disebut belakangan ini, bagian yang tersisa tersebut
tidak bisa dikembalikan. Misalya apabila pewearis mempunyai seorang ibu
dan seorang anak perempuan, ibu mengambil bagian 1/6 dan anak perempuan
memperoleh bagian ½ sebagai fardh. Sisa yang harus dikembalikan kepada
mereka berdua dijadikan menjadi empat bagian. Seperempat diberikan
kepada ibu dan ¾ nya diberikan kepada anak perempuan. 
Demikian halnya, apabila pewaris mempunyai seorang saudara
perempuan seayah dan seorang saudara perempuan seibu. Yang pertama
mengambil bagian seperti yang diambil oleh anak perempuan tunggal
pewaris, sedangkan yang kedua mengambil bagian seperti bagian ibu. Imam
Syafi’I dan Imam Maliki mengatakan bahwa apabila tidak terdapat orang-
orang yang mempunyai bagian ashobah, sisa tirkah yang sudah diambil oleh
bagian furudh itu dikembalikan kepada Bait Mal.
Imamiyah mengatakan bahwa sisa tersebut dikembalikan kepada ahli
waris yang mempunyai bagian fardh sesuai dengan besar kecilnya bagian
mereka manakala tidak terdapat kerabat yang setingkat dengannya. Adapun
jika terdapat ahli waris seperti itu, mereka yang mempunyai bagian fardh
mengambil bagiannya terdahulu, sedangkan sisanya diberikan kepada kerabat
dekat tersebut, misalnya ibu dan ayah.

Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat:
a. Adanya ashhab al-furudh
b. Tidak adanya ashobah
c. Ada sisa harta waris

Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut, maka kasus ar-radd
tidak akan terjadi.

Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh, kecuali suami dan
istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian
tambahan dari sisa harta waris yang ada.

Adapun ashabul furudh yang dapat menerima ar-radd ada delapan orang:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki

3. Saudara kandung perempuan

4. Saudara perempuan seayah

5. Ibu kandung

6. Nenek sahih (ibu dari bapak)

7. Saudara perempuan seibu


8. Saudara laki-laki seibu

Ashab al-furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan


ar-radd. Sebab, dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam pembagian hak waris
terdapat salah satunya ayah atau kakek maka tidak mungkin ada ar-radd, karena
keduanya akan menerima waris sebagai ashobah.
Adapun ahli waris dari ashabul furudh yang tidak dapat mendapatkan ar-radd
hanyalah suami istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena
nasab, melainkan karena kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan
tali pernikahan. Kekerabatan ini akan putus karena kematian sehingga mereka
(suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat
bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Apabila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau
istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
Ada empat macam ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum
tersendiri, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri

2. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri

3. Adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri

4. Adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahli waris merupakan orang-orang yang berhak menerima warisan dari
pewaris. Pembagian ahli waris di bagi menjadi 3 bagian yaitu :
1) Zawil furudh
2) Ashabah
3) Zawil arham

a) Bagian-bagian ahli waris


 Warisan 1/2 bagian berhak diberikan kepada anak perempuan tunggal.
 2/3 warisan berhak diberikan untuk anak perempuan berjumlah dua
atau lebih.
 Jika terdapat anak laki-laki dan perempuan, maka pembagiannya 2:1
antara laki-laki dibandingkan perempuan.
 1/3 bagian diberikan kepada ayah apabila tidak mempunyai anak, dan
mendapat 1/6 apabila memiliki anak.
 1/3 bagian diberikan kepada ibu, jika tidak mempunyai anak, dan 1/6
apabila mempunyai anak atau lebih dari dua saudara.
 1/3 bagian untuk ibu setelah diambil janda atau duda, jika bersama
dengan ayah.
 1/2 bagian untuk duda, apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan
1/4 bagian jika ada anak.
 1/4 bagian untuk janda, apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan
1/8 jika ada anak.
 1/6 bagian untuk saudara laki-laki dan perempuan seibu, apabila
pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.
 1/2 bagian untuk saudara perempuan seayah, apabila pewaris tidak
meninggalkan anak dan ayah. Jika, jumlahnya lebih dari 2 orang, maka
pembagiannya menjadi 2/3.
b) Kesepakatan Melakukan Perdamaian
Dalam pasar 183 kompilasi hukum isalam menegaskan bahwa ahli waris
dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam perbagian harta warisan
setelah masing-masing menyadari bagiannya.
c) Bagian waris anak luar kawin diatur pada pasal 863 KUHPerdata.

Anak luar kawin yang diakui mewaris dengan semua golongan ahli

waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan golongan mana

anak luar kawin tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat

hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah antara lain jika

adanya Golongan I, II, III, dan IV.

d) Aul adalah bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah di

tentukan (Furudul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli

waris (ashabul furudh).


Sedangkan Radd Radd menurut istilah ialah berkurangnya pokok masalah
dan bertambahnya jumlah bagian ashabul furudh. Radd merupakan kebalikan
dari aul.
B. Saran
Rasulullah SAW bersabda dan di riwayatkan oleh Abu Hurairoh ra yaitu :
Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra seu]sungguhnya Rasulullah SAW bersabda
“Pelajarilah oleh kalian ilmu faraidh, karna sesungguhnya ilmu faroidh itu
sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya
ilmu faraidh ilmu yang mula-mula akan dicabut dari umatku.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Ash Shabani, Syeikh Muhammad, Hukum Waris Menurut Sunnah Dan Hadits,
Trigenda Karya Bandung, 1995.
Hadikusuma, Hilman Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.
J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung 1992.

Anda mungkin juga menyukai