Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FARAIDH

Dosen Pembimbing : Ary Antony Putra S.Pd.I,MA

Disusun oleh kelompok :

1. SUCI RAMADANI

2. UCI FATMALA CANTIKA

3. YOGI ARDIANTO

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

T.A 2021 / 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak


nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya
layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ” Pembagian  Waris (Faraidh)”. Dalam penyusunannya,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan. Dari
sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi. Meskipun penulis
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada
yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................................

BAB I...............................................................................................................................................

PENDAHULUAN...........................................................................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................................................

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................

C. Tujuan...................................................................................................................................

BAB II.............................................................................................................................................

ISI....................................................................................................................................................

A. Pengertian Faraid..................................................................................................................

B. Ahli waris ashabah................................................................................................................

C. Pembagian warisan dan hijab...............................................................................................

D. Pengertian wasiat..................................................................................................................

E. Syariat wasiat........................................................................................................................

F. Rukun wasiat........................................................................................................................

G. Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat.................................................................

H. Nilai- nilai filosofi dalam kewarisan....................................................................................

BAB III............................................................................................................................................

KESIMPULAN................................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
SYARIAT  Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur
dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,
baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga
menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia
kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu,
atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari
hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan
bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan
yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan
tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
pembuatan tugas makalah  ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”.
Dari rumusan masalah tersebut dapat kami uraikan menjadi sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian faraidh dalam hukum islam?
2. Apa yang dimaksud dengan ahli waris ashabah?
3. Bagaimana pembagian warisan dan hijab?
4. Apa saja syarat dan rukun wasiat?
5. Bagaimana hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat?
6. Apa saja nilai-nilai filosofi dalam kewarisan?

C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang
hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan  yang akan
dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian diatas, maka tujuan yang akan
dicapai dalam makalah  ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.
BAB II

ISI

A. Pengertian Faraid
Faraidh(pewarisan) adalah segala yang berkaitan dengan pembagian harta
peninggalan. Faraidh bentuk jamak dari kata faridhah yang bermakna sesuatu
yang diwajibkan atau sesuatu yang dipastikan. Karena pewarisan terkait erat
dengan pembagian yang dipastikan atau di tentukan.

Faridhah lumrahnya bermakna kewajiban, berubah makna menjadi bagian


yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an. Dan, fardu secara bahasa bermakna
kepastian, perkraan. Allah SWT berfirman: “maka (bayarlah) seperdua dari
apa yang telah kalian tentukan” (QS. Al-Baqarah: 237).

Pengertian faraid adalah bagian yang telah ditentukan secara syara’ untuk ahli
waris. Mempelajari ilmu faraid h termasuk kewajiban agama. Dalil Al-Qur’an
tentang faraidh, yaitu surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 yang menjelaskan
tentang pewarisan.

Dalil sunnah tentang faraidh terdapat dalam beberapa hadits, di antaranya


hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud R.A bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”belajarlah dan ajarkanlah ilmu faraidh karena sesungguhnya aku
akan mati, ilmu juga akan dicabut dan fitnah akan merebak. Dua orang akan
berselisih soal warisan dan mereka tidak menemukan orang yang dapat
menyelesaikan masalahnya.”

B. Ahli waris ashabah


Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan
menguatkan hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang
bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta,
setelah harta tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.
Ada tiga kemungkinan seseorang menjadi ahli waris ashabah, yaitu sebagai
berikut:
 Pertama, mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil furudh tidak
ada.
 Kedua, mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh saat
ahli waris dzawil tersebut ada.
 Ketiga, tidak mendapatkan sisa harta warisan karena telah habis dibagikan
kepada ahli waris dzawil furud

Mengutip buku Fiqih Keluarga: Antara Konsep dan Realitas oleh Abdul
Wasik, ada tiga macam ahli waris ashabah yang dikenal dalam Islam, yaitu :
1. Ashabah Binafsihi
Ashabah binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan
dengan sendirinya, tanpa disebabkan orang lain. Ahli waris yang masuk
dalam kategori ini yaitu:
 Anak laki-laki
 Cucu laki-laki
 Ayah
 Kakek
 Saudara kandung laki-laki
 Sudara seayah laki-laki
 Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
 Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
 Paman kandung
 Paman seayah
 Anak laki-laki paman kandung
 Anak laki-laki paman seayah
 Laki-laki yang memerdekakan budak

Apabila semua ashabah ada, maka tidak semuanya mendapat bagian. Akan
tetapi, harus didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya
dengan pewaris. Jadi, penentuannya diatur berdasarkan nomor urut di atas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa.
Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat
dari bagian anak perempuan.
2. Ashabah bilghair
Mengutip buku Fikih untuk MA Kelas XI Kurikulum 2013, ashabah
bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan
seayah, yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka.
Berikut keterangan lebih lanjut tentang beberapa perempuan yang menjadi
ashabah bilghair:
 Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah.
 Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah.
 Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah.
 Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah
Ketentuan pembagian harta warisnya sama dengan ashabah binafsihi yaitu
bagian pihak laki-laki dua kali lipat dari bagian pihak perempuan.

3. Ashabah ma'alghair.
Ashabah ini disebut juga ashabah bersama orang lain, yaitu ahli waris
perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan
lain. Mereka adalah :
 Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak
perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-
laki.
 Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak
perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-
laki.

C. Pembagian warisan dan hijab


Al-Hajb secara bahasa berarti al-man'u (terhalang), orang yang menghalangi
dikenal dengan al-Hajb. Sedangkan yang dihalangi dikenal dengan al-Mahjub.
Secara istilah al-Hajb menurut para ahli fiqih adalah terhalangnya seorang ahli
waris untuk mendapatkan bagian warisan baik semuanya atau sebagian saja
karena adanya ahli waris lain yang lebih utama derajatnya.

Dalam kehidupan masyarakat dikenal bahwa waris merupakan pembagian


harta dari orang yang telah meninggal. Waris lahir dari adanya orang yang
meninggal. Perlu diketahui bahwasanya dalam pembagian waris perlulah
dilakukan oleh orang yang paham akan hijab dan mahjub dalam ilmu waris
agar terhindar dari yang namanya menzalimi.

Hijab ada dua macam, yaitu :


1. Hijab nuqshan, adalah penghalang yang dapat mengurangi bagian yang
seharusnya diterima oleh ahli waris. Misalnya istri bisa mendapat ¼
bagian warisan, namun karena ada anak maka ia akan mendapat 1/8
bagian.
2. Hijab hirman, adalah penghalang yang menyebabkan ahli waris tidak
mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang

D. Pengertian wasiat
Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah harta
benda. Dalam makna luas, wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan moral
kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT sendiri telah
mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam
kebajikan dan kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).

Dalam pengertian khusus, wasiat juga diartikan sebagai pesan yang


disampaikan orang yang hendak meninggal dunia. Pakar konsultasi syariah
Aris Munandar, dalam tulisannya Serba Serbi Wasiat dalam Islam
menuturkan, wasiat jenis ini dibagi menjadi dua kategori.

Permintaan orang yang akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup
untuk melakukan suatu pekerjaan. “Misalnya, membayarkan utang,
memulangkan barang-barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar
Munandar mencontohkan.
Wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan kepada orang
atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah si pembuat
wasiat meninggal dunia.
Ada beberapa syarat sah dalam berwasiat.
1. Orang yang diberi wasiat haruslah seorang Muslim dan berakal sehat.
2. Orang yang berwasiat juga mesti berakal sehat dan memiliki harta yang
akan diwasiatkan.
3. Tidak boleh berwasiat dalam hal yang haram.
4. Orang yang diberi wasiat bersedia menerima wasiat.

E. Syariat wasiat
Adapun syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:
1) Syarat-syarat mushaa lahu (pihak yang menerima wasiat): harus benar-
benar wujud (ada) meskipun orang yang diberi wasiat tidak hadir pada
saat wasiat diucapkan, tidak menolak pemberian yang berwasiat,
bukan pembunuh orang yang berwasiat dan bukan ahli waris yang
berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat kecuali atas
persetujuan ahli warisnya.

2) Syarat-syarat (sesuatu) harta kekayaan yang dimiliki: jumlah wasiat


tidak lebih dari semua yang ditinggalkan, dapat berpindah milik dari
seseorang kepada orang lain, harus ada ketika wasiat diucapkan, dan
harus dapat memberi manfaat dan tidak bertentangan degan hukum
Syara', misalnya wasiat agar membuat bangunan megah di atas
kuburannya.

3) Syarat-syarat sighat ijab qabul: kalimatnya dapat dipahami dengan


baik dengan lisan ataupun tulisan, dan penerima wasiat diucapkan
setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

F. Rukun wasiat
Jumhur ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu
1. Adanya Mushii (pihak pembuat wasiat)
2. Adanya Musha lah (penerima wasiat)
3. Adanya Musha bih (sesuatu/ barang yang diwasiatkan)
4. Adanya shigat (ucapa serah terima) dengan adanya ijab dari mushii,
misalnya “Aku berwasiat untuk fulan akan sesuatu itu.” Sedan qabul
berasal dari pihak mushaa lah yang sudah jelas ditentukan.[2]

G. Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat


Wasiat adalah pesan yang disampaikan oleh seseorang saat ia masih hidup dan
dilaksanakan ketika ia sudah meninggal. Adapun hukum berwasiat ada tiga
macam, yakni:

Menyampaikan wasiat hukumnya menjadi wajib jika orang tersebut masih


mempunyai utang atau menyimpan barang titipan atau menanggung hak orang
lain, karena dikhawatirkan jika sorang tersebut tidak berwasiat maka hak
orang lain yang masih ditanggungnya tidak ditunaikan kepada yang
bersangkutan.

Menyampaikan wasiat hukumnya dianjurkan bagi orang yang memiliki harta


berlimpah dan ahli warisnya telah mendapat bagian harta dalam Islam yang
berkecukupan dan sesuai aturan Islam. Orang tersebut dianjurkan untuk
menyampaikan wasiat agar menyedekahkan sebagian hartanya, baik sepertiga
dari total harta atau kurang dari itu, kepada kerabat yang tidak mendapatkan
warisan atau untuk orang lain yang membutuhkan.

Menyampaikan wasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik


seorang itu sedikit dan ahli warisnya tergolong orang yang hartanya pas-
pasan. Lebih baik mengutamakan pembagian warisan bagi ahli waris
dibanding berwasiat dengan harta. Maka dari itu banyak sahabat radhiyallahu
‘anhum, yang meninggal dunia dalam keadaan tidak berwasiat dengan
hartanya.

Perkara wasiat telah dijelaskan dalam Al Quran maupun hadist.

‫ا َعلَى‬Qًّ‫ُوف ۖ َحق‬ ْ Qِ‫ َربِينَ ب‬Q‫ َد ْي ِن َوٱَأْل ْق‬Qِ‫يَّةُ لِ ْل ٰ َول‬Q‫ص‬


ِ ‫ٱل َم ْعر‬Q ِ ‫رًا ْٱل َو‬Q‫ك خَ ْي‬ ُ ْ‫و‬Q‫ َد ُك ُم ْٱل َم‬Q‫ض َر َأ َح‬
َ ‫ َر‬Qَ‫ت ِإن ت‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
ْ
َ‫ٱل ُمتَّقِين‬

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan


(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa.” (Q. S. Al Baqarah: 180)

Dari ayat dan hadist di atas, dapat kita simpulkan bahwa wasiat hendaknya
dilaksanakan, namun ada beberapa kondisi atau syarat wasiat yang seperti
apakah yang harus dilaksanakan.

Wasiat diperbolehkan untuk dilaksanakan jika isi wasiat tersebut baik,


sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya
melihat Ali menyembelih dua ekor gibas.” Lalu aku mengatakan
kepadanya,”Apa ini?” Ali menjawab,”Sesungguhnya Rasulullah saw pernah
berwasiat kepadaku agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban
atasnya.”

Sedangkan jika wasiat itu berisi tentang pembagian harta warisan, maka
wasiat itu tidak boleh dilaksanakan karena Islam telah mengatur tentang
pembagian warisan dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah SWT:

‫َت‬ ْ ‫ان‬QQ‫ َركَ ۖ َوِإن َك‬Qَ‫ا ت‬QQ‫ق ْٱثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َم‬ َ ْ‫ُوصي ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ٓى َأوْ ٰلَ ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ٱُأْلنثَيَ ْي ِن ۚ فَِإن ُك َّن نِ َسٓا ًء فَو‬
ِ ‫ي‬
َّ َّ
ُ‫ ٌد َو َو ِرثَ ٓۥه‬Q َ‫ِإن ل ْم يَ ُكن لهۥُ َول‬Q َ‫ ٌد ۚ ف‬Q َ‫ك ِإن َكانَ لَهۥُ َول‬ ‫َأِل‬
َ ‫ٰ َو ِح َدةً فَلَهَا ٱلنِّصْ فُ ۚ َو بَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر‬
ٰ
‫ٓاُؤ ُك ْم‬QQَ‫ٓاُؤ ُك ْم َوَأ ْبن‬QQَ‫ٓا َأوْ َد ْي ٍن ۗ َءاب‬QQَ‫صى بِه‬ ِ ‫ث ۚ فَِإن َكانَ لَ ٓۥهُ ِإ ْخ َوةٌ فَُأِل ِّم ِه ٱل ُّس ُدسُ ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ُ ُ‫َأبَ َواهُ فَُأِل ِّم ِه ٱلثُّل‬
‫ضةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما‬ َ ‫اَل تَ ْدرُونَ َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري‬

Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan;

jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga;

jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. An Nisa:
11)

Namun diperbolehkan untuk melaksanakan wasiat jika harta warisan yang


ditinggalkan berlebih, dan isi wasiat tersebut adalah maksimal hanya 1/3 harta
untuk disedekahkan. Sedekah menurut Islam dengan menggunakan harta
peninggalan memang diperbolehkan.

H. Nilai- nilai filosofi dalam kewarisan


Filosofi waris dalam Hukum Islam

Seperti telah disebutkan diawal bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur


sedemikian rupa dalam Al-Qur’an. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum
lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya.
Ini tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh Al-Qur’an tentang ketegasan
hukum dalam hal Kewarisan.

Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum
islam[3]:
1.Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri
yaitu memelihara harta.

2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.

3.Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar


tetap utuh.

4.Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari


seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh
SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan kelak.

5.Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun
kecemburuan sosial.

6.Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.

7.Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.

8. Mewujudkan kemashlahatan umat islam.

9.Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan,
dan kemashlahatan bagi umat manusia.

10. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak
merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam
bermasyrakat.

Filosofi Asas Pembagian 2:1

Asas pembagian 2:1 ini masih dianut hampir di jajaran kalangan umat islam.
Maksud dari asa 2:1 adalah kaum laki-laki mendapatkan sedangkan kaum
perempuan mendapatkan 1 bagian atau dengan kata lain, separuh dari bagian
kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini dinilai oleh sebagian kalangan, khususnya
dikalangan Feminis gender. Menurut mereka asas tersebut merupakan asas
yang cenderung diskriminatif kepada perempuan karena mengesampingkan
asas keadilan semata.
Dalam gagasan rektualisasi ajaran islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa:
“ketentuan pembagian waris 2:1 ini telah banyak ditinggalkan oleh
masyarakat islam di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menyimpangan terhadap Faraidh itu tidak selalu disebabkan oleh tipisnya
keislaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh pertimbangan budaya dan
struktural sosial, dan budaya kita adalah sedemikian rupa sehingga
pelaksanaan Faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.

Berawal dari sinilah muncul sebuah gagasan mengenai Reaktualisasi terhadap


pembambagian waris 2:1 yang jelas jelas menjadi asas hukum kewarisan
islam. Oleh karena itu, tidaklah heran bila kemudian sebagian orang menilai
bahwa asas 2:1 ini cenderung tidak adil, Diskriminatif. Namun, ada juga
sebagian orang yang malah merasa ada unsur-unsur keadilan dalam asas
pembagian mengenai 2:1 ini. Oleh sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh
mengenai pembahasan adil atau tidak adilnya asas 2:1

Oleh karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan
sang filosofis, maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan
baik keadilan distributif maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan
Distributifnya terletak pada asas 2:1 itu, maksudnya kaum laki-laki
mendapatkan 2 bagian yang berarti lebih besar darikaum perempuan yang
hanya mendapatkan separuh dari bagian kaum laki-laki. Sedangkan keadilan
kumulatifnya terletak pada asas pembagian yang tidak diskriminatif.
Maksudnya selain kaum laki-laki, kaum perempuan, bahkan anak-anak pun
bisa mendapatkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum
waris.

Filosofi mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena
laki-laki mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia
ingin menikah pun, laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan.
Sedangkan kaum perempuan secara umum tidak dibebani kewajiban untuk
membiayai kehidupan rumah tangganya apalagi membayar maskawin.
BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan singkat di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

a.Waris adalahberpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggalkepada ahli


warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupaharta (uang), tanah,
atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

b.Hikmah dari pembagian warisandalam Islam tidak hanyaditunjukkan kepada


seseorang tertentu dari keluarga tanpamemberi kepada anggota keluarga lain dan
tidak pula diserahkankepada negara padahal ada anggota keluarga. Maka
pembagianwaris dalam Islam untuk mewujudkan kemaslahatan anggotakeluarga di
dalam hidup bermasyarakat

Anda mungkin juga menyukai