1. SUCI RAMADANI
3. YOGI ARDIANTO
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB I...............................................................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................................
BAB II.............................................................................................................................................
ISI....................................................................................................................................................
A. Pengertian Faraid..................................................................................................................
D. Pengertian wasiat..................................................................................................................
E. Syariat wasiat........................................................................................................................
F. Rukun wasiat........................................................................................................................
BAB III............................................................................................................................................
KESIMPULAN................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur
dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia,
baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga
menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia
kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu,
atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari
hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan
bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan
yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan
tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam
pembuatan tugas makalah ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”.
Dari rumusan masalah tersebut dapat kami uraikan menjadi sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian faraidh dalam hukum islam?
2. Apa yang dimaksud dengan ahli waris ashabah?
3. Bagaimana pembagian warisan dan hijab?
4. Apa saja syarat dan rukun wasiat?
5. Bagaimana hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat?
6. Apa saja nilai-nilai filosofi dalam kewarisan?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang
hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan yang akan
dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian diatas, maka tujuan yang akan
dicapai dalam makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan hukum islam.
BAB II
ISI
A. Pengertian Faraid
Faraidh(pewarisan) adalah segala yang berkaitan dengan pembagian harta
peninggalan. Faraidh bentuk jamak dari kata faridhah yang bermakna sesuatu
yang diwajibkan atau sesuatu yang dipastikan. Karena pewarisan terkait erat
dengan pembagian yang dipastikan atau di tentukan.
Pengertian faraid adalah bagian yang telah ditentukan secara syara’ untuk ahli
waris. Mempelajari ilmu faraid h termasuk kewajiban agama. Dalil Al-Qur’an
tentang faraidh, yaitu surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176 yang menjelaskan
tentang pewarisan.
Mengutip buku Fiqih Keluarga: Antara Konsep dan Realitas oleh Abdul
Wasik, ada tiga macam ahli waris ashabah yang dikenal dalam Islam, yaitu :
1. Ashabah Binafsihi
Ashabah binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan
dengan sendirinya, tanpa disebabkan orang lain. Ahli waris yang masuk
dalam kategori ini yaitu:
Anak laki-laki
Cucu laki-laki
Ayah
Kakek
Saudara kandung laki-laki
Sudara seayah laki-laki
Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
Paman kandung
Paman seayah
Anak laki-laki paman kandung
Anak laki-laki paman seayah
Laki-laki yang memerdekakan budak
Apabila semua ashabah ada, maka tidak semuanya mendapat bagian. Akan
tetapi, harus didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya
dengan pewaris. Jadi, penentuannya diatur berdasarkan nomor urut di atas.
Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa.
Cara pembagiannya ialah, untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat
dari bagian anak perempuan.
2. Ashabah bilghair
Mengutip buku Fikih untuk MA Kelas XI Kurikulum 2013, ashabah
bilghair yaitu anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan
seayah, yang menjadi ashabah jika bersama saudara laki-laki mereka.
Berikut keterangan lebih lanjut tentang beberapa perempuan yang menjadi
ashabah bilghair:
Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah.
Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah.
Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang
perempuan menjadi ashabah
Ketentuan pembagian harta warisnya sama dengan ashabah binafsihi yaitu
bagian pihak laki-laki dua kali lipat dari bagian pihak perempuan.
3. Ashabah ma'alghair.
Ashabah ini disebut juga ashabah bersama orang lain, yaitu ahli waris
perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan
lain. Mereka adalah :
Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak
perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-
laki.
Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak
perempuan atau cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-
laki.
D. Pengertian wasiat
Menurut pandangan Islam, wasiat tidak sekadar menyangkut masalah harta
benda. Dalam makna luas, wasiat juga berkaitan dengan pesan-pesan moral
kepada umat manusia. Di dalam Alquran, Allah SWT sendiri telah
mengingatkan agar orang-orang beriman senantiasa berwasiat dalam
kebajikan dan kesabaran (QS al-Ashar [103]: 3).
Permintaan orang yang akan meninggal kepada orang-orang yang masih hidup
untuk melakukan suatu pekerjaan. “Misalnya, membayarkan utang,
memulangkan barang-barang yang dipinjam atau merawat anak,” ujar
Munandar mencontohkan.
Wasiat bisa pula berbentuk harta benda yang ingin diberikan kepada orang
atau pihak tertentu. Wasiat semacam ini dilaksanakan setelah si pembuat
wasiat meninggal dunia.
Ada beberapa syarat sah dalam berwasiat.
1. Orang yang diberi wasiat haruslah seorang Muslim dan berakal sehat.
2. Orang yang berwasiat juga mesti berakal sehat dan memiliki harta yang
akan diwasiatkan.
3. Tidak boleh berwasiat dalam hal yang haram.
4. Orang yang diberi wasiat bersedia menerima wasiat.
E. Syariat wasiat
Adapun syarat-syarat wasiat adalah sebagai berikut:
1) Syarat-syarat mushaa lahu (pihak yang menerima wasiat): harus benar-
benar wujud (ada) meskipun orang yang diberi wasiat tidak hadir pada
saat wasiat diucapkan, tidak menolak pemberian yang berwasiat,
bukan pembunuh orang yang berwasiat dan bukan ahli waris yang
berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat kecuali atas
persetujuan ahli warisnya.
F. Rukun wasiat
Jumhur ulama mengatakan, ada empat rukun wasiat, yaitu
1. Adanya Mushii (pihak pembuat wasiat)
2. Adanya Musha lah (penerima wasiat)
3. Adanya Musha bih (sesuatu/ barang yang diwasiatkan)
4. Adanya shigat (ucapa serah terima) dengan adanya ijab dari mushii,
misalnya “Aku berwasiat untuk fulan akan sesuatu itu.” Sedan qabul
berasal dari pihak mushaa lah yang sudah jelas ditentukan.[2]
Dari ayat dan hadist di atas, dapat kita simpulkan bahwa wasiat hendaknya
dilaksanakan, namun ada beberapa kondisi atau syarat wasiat yang seperti
apakah yang harus dilaksanakan.
Sedangkan jika wasiat itu berisi tentang pembagian harta warisan, maka
wasiat itu tidak boleh dilaksanakan karena Islam telah mengatur tentang
pembagian warisan dalam Al Quran. Sebagaimana firman Allah SWT:
َت ْ انQQ َركَ ۖ َوِإن َكQَا تQQق ْٱثنَتَ ْي ِن فَلَه َُّن ثُلُثَا َم َ ُْوصي ُك ُم ٱهَّلل ُ فِ ٓى َأوْ ٰلَ ِد ُك ْم ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ٱُأْلنثَيَ ْي ِن ۚ فَِإن ُك َّن نِ َسٓا ًء فَو
ِ ي
َّ َّ
ُ ٌد َو َو ِرثَ ٓۥهQ َِإن ل ْم يَ ُكن لهۥُ َولQ َ ٌد ۚ فQ َك ِإن َكانَ لَهۥُ َول َأِل
َ ٰ َو ِح َدةً فَلَهَا ٱلنِّصْ فُ ۚ َو بَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َو ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر
ٰ
ٓاُؤ ُك ْمQQَٓاُؤ ُك ْم َوَأ ْبنQQَٓا َأوْ َد ْي ٍن ۗ َءابQQَصى بِه ِ ث ۚ فَِإن َكانَ لَ ٓۥهُ ِإ ْخ َوةٌ فَُأِل ِّم ِه ٱل ُّس ُدسُ ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو
ِ صيَّ ٍة يُو ُ َُأبَ َواهُ فَُأِل ِّم ِه ٱلثُّل
ضةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َعلِي ًما َح ِكي ًما َ اَل تَ ْدرُونَ َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِري
jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. An Nisa:
11)
Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum
islam[3]:
1.Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal). Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu sendiri
yaitu memelihara harta.
5.Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan tercipta
kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan maupun
kecemburuan sosial.
7.Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
9.Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran, keadilan,
dan kemashlahatan bagi umat manusia.
10. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak
merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam
bermasyrakat.
Asas pembagian 2:1 ini masih dianut hampir di jajaran kalangan umat islam.
Maksud dari asa 2:1 adalah kaum laki-laki mendapatkan sedangkan kaum
perempuan mendapatkan 1 bagian atau dengan kata lain, separuh dari bagian
kaum laki-laki. Asas waris 2:1 ini dinilai oleh sebagian kalangan, khususnya
dikalangan Feminis gender. Menurut mereka asas tersebut merupakan asas
yang cenderung diskriminatif kepada perempuan karena mengesampingkan
asas keadilan semata.
Dalam gagasan rektualisasi ajaran islam, Munawir Sadjali mengatakan bahwa:
“ketentuan pembagian waris 2:1 ini telah banyak ditinggalkan oleh
masyarakat islam di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menyimpangan terhadap Faraidh itu tidak selalu disebabkan oleh tipisnya
keislaman, melainkan juga dapat disebabkan oleh pertimbangan budaya dan
struktural sosial, dan budaya kita adalah sedemikian rupa sehingga
pelaksanaan Faraidh secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.
Oleh karena itu, bila kita mengukur dari ukuran keadilan yang ditawarkan
sang filosofis, maka hukum waris islam dinilai telah memenuhi rasa keadilan
baik keadilan distributif maupun keadilan kumulatif. Segi keadilan
Distributifnya terletak pada asas 2:1 itu, maksudnya kaum laki-laki
mendapatkan 2 bagian yang berarti lebih besar darikaum perempuan yang
hanya mendapatkan separuh dari bagian kaum laki-laki. Sedangkan keadilan
kumulatifnya terletak pada asas pembagian yang tidak diskriminatif.
Maksudnya selain kaum laki-laki, kaum perempuan, bahkan anak-anak pun
bisa mendapatkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum
waris.
Filosofi mengenai besarnya bagian laki-laki ini bisa jadi disebabkan karena
laki-laki mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, bila ia
ingin menikah pun, laki-laki harus membayar mahar dalam perkawinan.
Sedangkan kaum perempuan secara umum tidak dibebani kewajiban untuk
membiayai kehidupan rumah tangganya apalagi membayar maskawin.
BAB III
KESIMPULAN