ILMU MAWARIS
Disusun oleh :
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab, keturunan atau kerabat maupun dalam arti
lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta
timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat serta masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya.
Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan
ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang
dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama
Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok
yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari
aspek ajaran Islam yang pokok.1
Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam lingkup
fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Kaum laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas kaum perempuan, dan kaum
perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas kaum laki-laki. Sesuai dengan firman Allah:
B. Rumusan Masalah
1. Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari
berbagai sumber dan pendapat.
2. Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga
cara pelaksanaannya.
1
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,hlm. 1.
4
3. Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’an, Hadits maupun
UU yang ada di indonesia.
4. Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan suku
yang beragam.
5. Contoh dan penyelesaian dari beberapa model kasus Hukum Kewarisan Islam?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penyusun
dan berbagi pengetahuan lebih untuk pembaca mengenai ILMU MAWARIS yaitu mengatur
tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, diharapkan dapat
menjadi tambahan referensi yang berguna dalam memperluas ilmu pengetahuan dan menjadi
sumber informasi. Serta bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dengan jelas siapa orang yang memang berhak untuk mendapatkan dan
menerima akan harta warisan yang ditinggalkan terdahulunya.
2. Menentukan dalam pembagian harta warisan dengan cara yang adil dan tentunya juga
benar.
3. Terhindar dari yang namanya perselisihan karena perebutan harta warisan peninggalan
pemiliknya terdahulu yang di karenakan aturan dalam pembagian yang tidak jelas.
4. Agar beban dan juga tanggung jawab si mayit menjadi ringan dengan adanya aturan
dalam ilmu fiqh mewaris, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan antara satu
dengan yang lainnya. Sebab dalam pembagian harta warisan tersebut merupakan yang
terbaik dalam pandangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan manusia.
5. Menyelamatkan harta orang yang meninggal dari pengambil alihan oleh orang yang
tidak bertanggungjawab.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam Al-
Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar’i.2
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan
Islam seperti : faraid, fiqih mawaris, dan hukum al-mawaris. Menurut Mahally, lafaz faraid
merupakan jamak (bentuk umum) dari lafaz faridah yang mengandung arti mafrudah, yang
sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di
dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Quran, lebih banyak terdapat
bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum
ini dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid berarti bagian tertentu
dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Jadi, pewarisan
adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan.3
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah :
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam,
orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh
masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan
hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya
dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh
karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
Sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Radulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum
dan syariat Islam sedikit sekali ayat AlQur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan
rinci, kecuali hukum waris ini.
2
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17.
3
Ibid., hlm. 19-20
6
Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal
dan dibenarkan AlIah Subhanallahu wa Ta’ala. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
4
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung…….) Aditama, 2006), hlm. 6.
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1986),
hlm. 78.
6
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina Aksara, 1981), hlm. 7.
7
Surat an-Nisa’ ayat 8
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”8
7
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
79.
8
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
79.
9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
7
8
Surat an-Nisa’ ayat 11
10
Ibid., hlm. 116.
9
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.”11
Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan
orang- orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain
11
Ibid., hlm. 116.
12
Ibid., hlm. 274.
10
lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau
kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama) Adalah
yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).”13
Artinya : "Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah
dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah
mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin
Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir
tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.(1614)"15
13
Ibid., hlm. 667.
14
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hlm. 31.
15
Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1995),hlm. 44.
11
3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’
- Semua ulama sepakat, bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian
anak perempuan.
- Semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan laki-laki secara terperinci ada 15
orang, yaitu : anak laki-laki, cucu laki-laki (ke bawah), bapak, kakek dari bapak
(ke atas), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki se-ayah, sudara laki-
laki se-ibu, anak saudara laki-laki sekandung (ke bawah), anak saudara laki-laki
se- ayah, paman (saudara bapak sekandung), paman (sudara bapak se- ayah),
anak paman sekandung, anak paman se-ayah, suami dan orang yang
memerdekakan budak.
- Semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan perempuan secara terperinci ada
10 orang, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan (ke bawah), ibu, nenek
(ibunya ibu), nenek (ibunya bapak), saudara perempuan sekandung, saudara
perempuan se-ayah, saudara perempuan se-ibu, istri dan orang perempuan yang
memerdekakan budak.16
16
Shalih bin Fauzy bin Abdullah al-Fauzy, At-Tahqiiqoot al-Maradhiyyah fii al-Mabaahits al-
Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al-Imam Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H), hlm. 65-68.
17
Ibid, hlm. 22.
12
menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua
harta warisan baik berupa benda maupun hak-hak harus bersih dari segala sangkut
paut dengan orang lain.
2. Syarat Kewarisan
Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk
mendapatkan warisan.
Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis
pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap
telah meninggal dunia.
Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi,
jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal
dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang
meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian
saudaranya terjadi.
13
f. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan
perempuan.
g. Azas Individual
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
h. Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya.
i. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal
dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian
seseorang.
j. Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari
penyelesaian pembagian harta warisan.
2. Penghalang Warisan
- Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan
orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.
- Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh
tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya.
- Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak
secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli
budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak
dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam
proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada
pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan.
- Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan
mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya.
14
- Li‟an. Anak suami isteri yang melakukan li‟an tidak dapat mewarisi dan diwarisi
bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak
dari hasil perzinaan.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan
Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh
yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan
oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang
meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal
yang ada pada bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang
mempunyai nilai kebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang
bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan
dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian
tersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, namun ada
beberapa ketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma’ dengan
seadil-adilnya.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering
menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah
pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
2. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya kita lebih
menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena
pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan
masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain.
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada sang Kholiiqul 'alam yaitu Allah Subhanahuwa Ta’ala
yang memberikan petunjuk dan rahmatNya sebagai ucapan rasa syukur penulis dapat
menyelesaikan tugas ini, walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan. Namun penulis berharap dengan karya ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Wallahu a’lam bish-shawabi
16
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al‐Quran, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995
Abdurrahman al‐Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu
Tinjauan syariat Islam Perempuan, (Jakarta :Gema Insani Press,
1992)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Jakarta :Kencana, 2011)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta
:Kencana, 2008)
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama,
2006)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐
Qur’an danTerjemahannya, Depag RI, 1986)
Tentang Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)
hlm. 11
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina
Aksara, 1981)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐
Qur’an danterjemahannya Depag RI, 1986.
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al‐Fiqri: 2005),
MuhammadFuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar
Al‐Kutub Al‐Ilmiyah:1995). Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al‐ Lu’
Lu’ Wal Marjan, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t)
Shalih bin Fauzy bin Abdullah al‐Fauzy, At‐Tahqiiqoot al‐Maradhiyyah
fiial‐Mabaahits al‐Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al‐Imam
Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H).
Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung
: PT Citra Adytia Bakti, 1999).
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al‐Fiqh, (Kairo: Jami'ah al‐Qohiroh, 1978).
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al‐Faraidl:
Deskripsi hukum Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya:
Pustaka Hikmah Perdana,2005).
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen AgamaRI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1986).
Fathurrahman, Ilmu Waris...,
Al‐Khulashah Fi Ilmil Faraidh.
17
Al‐Fawa’idul Jaliyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, program Al‐
Maktabah Asy‐Syamilah II.
At‐Tahqiqat Al‐Mardhiyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, dan Tashilul Faraidh
Musthafa AlKhin, alFiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II.
Internet
https://quran.kemenag.go.id/ tentang al-Qur`an digital
https://id.wikipedia.org tentang hadits
http://nashislam.com/ tentang hadits
https://store.lidwa.com/get/ tentang hadits
https://muslim.or.id/ tentang hadits
https://islamweb.net/en/ tentang hadits
http://www.academia.edu/Documents tentang ilmuwaris Islam
18