Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ILMU MAWARIS

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :

1. Aditya Tri Putra Wijaya (XII MIPA 3)


2. Dewi Lastari (XII MIPA 3)
3. Kaulika Adzra Firmaniya (XII MIPA 3)
4. Nirda Aliffah (XII MIPA 3)
5. Raihan Zaky (XII MIPA 3)

SMAN 18 KOTA BEKASI


JULI 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu wa Ta’ala,
yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa Iman, Islam dan Ilmu serta
bimbingan-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah “ILMU MAWARIS“.
Penyusunan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM. Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat dan memperluas
pengetahuan tentang Pendidikan Hukum yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari
berbagai sumber.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Sesuai dengan pepatah tak ada gading
yang tak retak maka kami sadar akan kekurangan pada makalah ini baik dalam segi penulisan
dan masalah penyusunan kata. Maka saran, kritik dan masukan yang membangun sangat kami
harapkan dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu dalam karya selanjutnya. Mohon
maaf bila ada kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini, harap
memakluminya karena penyusun dalam proses pembelajaran.
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan rekan-rekan
masyarakat lainnya. Aamiin.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat

Bekasi, 28 Juli 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 6
A. Pengertian ........................................................................................................................ 6
B. Sumber Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia ........................................................... 7
1. Dalil-Dalil Yang Bersumber dari Al-Quran .................................................................. 7
2. Dalil-Dalil Yang Bersumber dari As-Sunnah .............................................................. 11
3. Dalil-Dalil Yang Bersumber dari Ijma' dan Ijtihad Para Ulama .................................. 12
C. Rukun, Syarat, Dan Azas-Azas Hukum Kewarisan ................................................... 12
1. Rukun Kewarisan.......................................................................................................... 12
2. Syarat Kewarisan .......................................................................................................... 13
3. Azas-Azas Hukum Kewarisan ...................................................................................... 13
D. Sebab dan Penghalang Kewarisan ............................................................................... 14
1. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan ........................................................................ 14
2. Penghalang Warisan ..................................................................................................... 14
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 16
B. SARAN ............................................................................................................................ 16
C. PENUTUP ....................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab, keturunan atau kerabat maupun dalam arti
lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta
timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat serta masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan
akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu,
kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang
berhubungan dengan pengurusan jenazahnya.
Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan
ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta
peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang
dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama
Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga unsur pokok
yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari
aspek ajaran Islam yang pokok.1
Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam lingkup
fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Kaum laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas kaum perempuan, dan kaum
perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas kaum laki-laki. Sesuai dengan firman Allah:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S.al-Hujurat:13)

B. Rumusan Masalah
1. Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari
berbagai sumber dan pendapat.
2. Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga
cara pelaksanaannya.

1
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,hlm. 1.

4
3. Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’an, Hadits maupun
UU yang ada di indonesia.
4. Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan suku
yang beragam.
5. Contoh dan penyelesaian dari beberapa model kasus Hukum Kewarisan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penyusun
dan berbagi pengetahuan lebih untuk pembaca mengenai ILMU MAWARIS yaitu mengatur
tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia, diharapkan dapat
menjadi tambahan referensi yang berguna dalam memperluas ilmu pengetahuan dan menjadi
sumber informasi. Serta bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dengan jelas siapa orang yang memang berhak untuk mendapatkan dan
menerima akan harta warisan yang ditinggalkan terdahulunya.
2. Menentukan dalam pembagian harta warisan dengan cara yang adil dan tentunya juga
benar.
3. Terhindar dari yang namanya perselisihan karena perebutan harta warisan peninggalan
pemiliknya terdahulu yang di karenakan aturan dalam pembagian yang tidak jelas.
4. Agar beban dan juga tanggung jawab si mayit menjadi ringan dengan adanya aturan
dalam ilmu fiqh mewaris, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan antara satu
dengan yang lainnya. Sebab dalam pembagian harta warisan tersebut merupakan yang
terbaik dalam pandangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan manusia.
5. Menyelamatkan harta orang yang meninggal dari pengambil alihan oleh orang yang
tidak bertanggungjawab.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam Al-
Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar’i.2
Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan
Islam seperti : faraid, fiqih mawaris, dan hukum al-mawaris. Menurut Mahally, lafaz faraid
merupakan jamak (bentuk umum) dari lafaz faridah yang mengandung arti mafrudah, yang
sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di
dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Quran, lebih banyak terdapat
bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum
ini dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid berarti bagian tertentu
dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Jadi, pewarisan
adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah ditetapkan.3
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah :
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam,
orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh
masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan
hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya
dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Oleh
karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris,
Sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Radulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum
dan syariat Islam sedikit sekali ayat AlQur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan
rinci, kecuali hukum waris ini.

2
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17.
3
Ibid., hlm. 19-20

6
Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal
dan dibenarkan AlIah Subhanallahu wa Ta’ala. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

B. Sumber Hukum Kewarisan Islam di Indonesia


Kewarisan Islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau
dasar sebagai penguat hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber
hukum kewarisan dalam Islam diantaranya adalah, sebagai berikut4:
1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.
2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah.
3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’.

1. Dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an.


Ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara
lain sebagai berikut:
 Surat an-Nisa’ ayat 7

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta


peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.” 5

Garis hukum kewarisan pada ayat diatas (Q.S. An-Nisa’: 7)


adalah sebagai berikut:
a. Bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta
peninggalan ibu bapaknya.
b. Bagi aqrabun (keluarga dekat) laki-laki ada bagian warisan
dari harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat yang laki-
laki atau perempuannya).
c. Bagi anak perempuan ada bagian warisan dari harta
peninggalan ibu bapaknya.
d. Bagi aqrabun (keluarga dekat) perempuan ada bagian
warisan dari harta peninggalan aqrabun (keluarga dekat
yang laki-laki atau perempuannya).
e. Ahli waris itu ada yang menerima warisan sedikit, dan ada
pula yang banyak, pembagian tersebut ditentukan oleh
Allah Subhanallahu wa Ta’ala. 6

4
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung…….) Aditama, 2006), hlm. 6.
5
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1986),
hlm. 78.
6
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina Aksara, 1981), hlm. 7.

7
 Surat an-Nisa’ ayat 8

Artinya : “dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,


anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari
harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik.”7

 Surat an-Nisa’ ayat 9

Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.”8

 Surat an-Nisa’ ayat 10

Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara


zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”9

7
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
79.
8
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
79.
9
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an , al-Qur’an dan terjemahannya,Depag RI, 1986, hlm.
7

8
 Surat an-Nisa’ ayat 11

Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, memperoleh separo harta.
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendap
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagiantersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”10

 Surat an-Nisa’ ayat 12

10
Ibid., hlm. 116.

9
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.”11

 Surat al-Anfal ayat 75

Artinya : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah


serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”12

 Surat al-Ahzab ayat 6

Artinya : “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan
orang- orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain

11
Ibid., hlm. 116.
12
Ibid., hlm. 274.

10
lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada
orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau
kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama) Adalah
yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).”13

2. Dalil-dalil yang bersumber dari as-Sunnah


 Hadist Nabi dari Abdullah Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh
Sunan Tirmidzi:

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il telah


menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada
kami Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah bagian
fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak,
maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat
(nasabnya)."14
 Hadist Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Imam
Muslim:

Artinya : "Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah
dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah
mengabarkan kepada kami, sedangkan yang dua mengatakan; telah menceritakan
kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri dari Ali bin Husain dari Amru bin
Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh mewarisi dari orang kafir dan orang kafir
tidak dapat mewarisi dari orang Muslim.(1614)"15

13
Ibid., hlm. 667.
14
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al-Fiqri: 2005), hlm. 31.
15
Muhammad Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1995),hlm. 44.

11
3. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma’ dan ijtihad para ulama’
- Semua ulama sepakat, bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian
anak perempuan.
- Semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan laki-laki secara terperinci ada 15
orang, yaitu : anak laki-laki, cucu laki-laki (ke bawah), bapak, kakek dari bapak
(ke atas), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki se-ayah, sudara laki-
laki se-ibu, anak saudara laki-laki sekandung (ke bawah), anak saudara laki-laki
se- ayah, paman (saudara bapak sekandung), paman (sudara bapak se- ayah),
anak paman sekandung, anak paman se-ayah, suami dan orang yang
memerdekakan budak.
- Semua ulama sepakat, ahli waris dari golongan perempuan secara terperinci ada
10 orang, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan (ke bawah), ibu, nenek
(ibunya ibu), nenek (ibunya bapak), saudara perempuan sekandung, saudara
perempuan se-ayah, saudara perempuan se-ibu, istri dan orang perempuan yang
memerdekakan budak.16

C. Rukun, Syarat, dan Azas-Azas Hukum Kewarisan


1. Rukun Kewarisan
 Al-Muwarrits;
Muwarrits berasal dari bahasa Arab yang sering diartikan sebagai
pewaris, yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem
hukum waris Islam, muwarrits adalah orang yang meninggal
dunia dalam keadaan beragama Islam, baik meninggal dunia
secara haqiqy (sejati) maupun hukmy (menurut putusan hakim),
yang meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih
hidup. Hal ini sesuai dengan KHI Pasal 171 huruf b yaitu:
“Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama
Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”.
 Al-Warits;
Warits (‫ )اﻟﻮارث‬sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang
yang berhak mewarisi karena mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti
adanya ikatan kekerabatan (nasab), pernikahan atau lainnya. Sedangkan pengertian
ahli waris menurut KHI Pasal 171 huruf c yaitu: “Ahli waris adalah orang pada
saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris”.
 Al-Mauruts (Tirkah);
Di kalangan ahli faraid, istilah mauruts lebih dikenal dengan nama tirkah atau
harta peninggalan, yakni harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang bakal
dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi
hutang-hutang dan melaksanakan wasiat.17 Menurut KHI, antara harta warisan
dengan harta peninggalan memiliki perbedaan. Tidak semua harta peninggalan

16
Shalih bin Fauzy bin Abdullah al-Fauzy, At-Tahqiiqoot al-Maradhiyyah fii al-Mabaahits al-
Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al-Imam Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H), hlm. 65-68.
17
Ibid, hlm. 22.

12
menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan semua
harta warisan baik berupa benda maupun hak-hak harus bersih dari segala sangkut
paut dengan orang lain.

2. Syarat Kewarisan
 Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk
mendapatkan warisan.
 Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis
pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap
telah meninggal dunia.
 Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi,
jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal
dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang
meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian
saudaranya terjadi.

3. Azas-Azas Hukum Kewarisan


a. Azas Integrity
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung
pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam diperlukan
ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini
kebenarannya.
b. Azas Ta 'abbudi
Ta 'abbudi artinya : penghambaan diri. Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian
waris secara hukum Islam adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang akan berpahala bila ditaati seperti layaknya mentaati
pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya.
c. Azas Hukukul Maliyah
Hukukul Maliyah artinya : hak-hak kebendaan. Hukukul Maliyah adalah hak-hak
kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan saja
yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi
seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya
tidak dapat diwariskan.
d. Azas Hukukun Thabi’iyah
Hukukun Thabi’iyah artinya : hak-hak dasar. Hukukun Thabi’iyah adalah hak-hak
dasar dari ahli waris sebagai manusia. Hak dari kewarisan yaitu memiliki
hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam
garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping
(saudara).
e. Azas Ijbari
Ijbari artinya : keharusan, kewajiban. Ijbari adalah dalam hukum kewarisan Islam
secara otomatis peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia
(pewaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah Subhanahu wa
Ta’ala tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli
waris.

13
f. Azas Bilateral
Azas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan
perempuan.
g. Azas Individual
Azas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing
ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
h. Azas Keadilan yang Berimbang
Azas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang
diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya.
i. Azas Kematian
Makna azas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal
dunia. Ini berarti kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian
seseorang.
j. Azas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah azas dari
penyelesaian pembagian harta warisan.

D. Sebab dan Penghalang Kewarisan


1. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan
- Nasab atau kekerabatan, yaitu hubungan keluarga atau orang yang mewarisi
dengan orang yang diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
- Pernikahan, hubungan pernikahan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana
termuat dalam surah an-Nisa’ ayat 11, adalah perkawinan yang sah menurut
agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang
diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli.
- Wala‟, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita.
Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli
waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu.

2. Penghalang Warisan
- Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan
orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.
- Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh
tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya.
- Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak
secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli
budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak
dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam
proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada
pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan.
- Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan
mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya.

14
- Li‟an. Anak suami isteri yang melakukan li‟an tidak dapat mewarisi dan diwarisi
bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak
dari hasil perzinaan.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan
Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh
yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan
oleh syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang
meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal
yang ada pada bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang
mempunyai nilai kebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang
bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan
dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian
tersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, namun ada
beberapa ketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma’ dengan
seadil-adilnya.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering
menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah
pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.
2. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya kita lebih
menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena
pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan
masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain.

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada sang Kholiiqul 'alam yaitu Allah Subhanahuwa Ta’ala
yang memberikan petunjuk dan rahmatNya sebagai ucapan rasa syukur penulis dapat
menyelesaikan tugas ini, walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam
penulisan. Namun penulis berharap dengan karya ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Wallahu a’lam bish-shawabi

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al‐Quran, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995
Abdurrahman al‐Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu
Tinjauan syariat Islam Perempuan, (Jakarta :Gema Insani Press,
1992)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Jakarta :Kencana, 2011)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta
:Kencana, 2008)
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama,
2006)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐
Qur’an danTerjemahannya, Depag RI, 1986)
Tentang Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992)
hlm. 11
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina
Aksara, 1981)
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐
Qur’an danterjemahannya Depag RI, 1986.
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al‐Fiqri: 2005),
MuhammadFuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar
Al‐Kutub Al‐Ilmiyah:1995). Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al‐ Lu’
Lu’ Wal Marjan, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t)
Shalih bin Fauzy bin Abdullah al‐Fauzy, At‐Tahqiiqoot al‐Maradhiyyah
fiial‐Mabaahits al‐Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al‐Imam
Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H).
Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung
: PT Citra Adytia Bakti, 1999).
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al‐Fiqh, (Kairo: Jami'ah al‐Qohiroh, 1978).
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al‐Faraidl:
Deskripsi hukum Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya:
Pustaka Hikmah Perdana,2005).
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen AgamaRI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1986).
Fathurrahman, Ilmu Waris...,
Al‐Khulashah Fi Ilmil Faraidh.

17
Al‐Fawa’idul Jaliyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, program Al‐
Maktabah Asy‐Syamilah II.
At‐Tahqiqat Al‐Mardhiyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, dan Tashilul Faraidh
Musthafa AlKhin, alFiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II.

Internet
https://quran.kemenag.go.id/ tentang al-Qur`an digital
https://id.wikipedia.org tentang hadits
http://nashislam.com/ tentang hadits
https://store.lidwa.com/get/ tentang hadits
https://muslim.or.id/ tentang hadits
https://islamweb.net/en/ tentang hadits
http://www.academia.edu/Documents tentang ilmuwaris Islam

18

Anda mungkin juga menyukai