FIQIH MAWARIS
Dosen Pengampu :
Oleh :
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab atau keturunan atau kerabat maupun dalam
arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain
serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat serta masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris)
terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang
dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan
nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Di negara kita hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga
kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia,
yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa
(BW), hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda
untuk Hindia Belanda dahulu.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial yang
terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab
utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karena kekurang-tahuan
pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris.
Hukum waris Islam merupakan bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari
Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad Shallallahu
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. (Q.S.al-Hujurat: 13)
Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam
lingkup fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail
dan terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antara
anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati.3
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan tugas Mata Kuliah HUKUM KEWARISAN ISLAM ini diarahkan
untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal yang menjadi fokus penulisan
makalah, yaitu sebagai berikut:
1. Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari
berbagai sumber dan pendapat.
2. Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga
cara pelaksanaannya.
3. Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’an, Hadits
maupun UU yang ada di indonesia.
4. Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan
suku yang beragam.
5. Contoh dan penyelesaian dari beberapa model kasus Hukum Kewarisan Islam.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penyusun
dan berbagi pengetahuan lebih dalam dengan pembaca mengenai FIQIH MAWARIS yaitu
hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia,
1. Supaya kita mengetahui dengan jelas siapa orang yang memang berhak untuk
mendapatkan dan menerima akan harta warisan yang ditinggalkan terdahulunya.
2. Supaya bisa menentukan dalam pembagian harta warisan dengan cara yang adil dan
tentunya juga benar.
3. Supaya terhindar dari yang namanya perselisihan karena perebutan harta warisan
peninggalan pemiliknya terdahulu yang di karenakan aturan dalam pembagian yang
tidak jelas.
4. Supaya beban dan juga tanggung jawab si mayit menjadi ringan dengan adanya
aturan dalam ilmu fiqh mewarisi ini. Sehingga tidak ada pihak pihak yang merasa
dirugikan antara satu dengan yang lainnya. Sebab dalam pembagian harta warisan
tersebut merupakan yang terbaik dalam pandangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala
dan manusia.
5. Menyelamatkan harta orang yang meninggal dari pengambil alihan oleh orang yang
tidak bertanggungjawab.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam al-
Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar’i.4
4 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17. 5
Ibid., hlm. 19-20
"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam,
orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh
masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hm. 6.
B. Rukun kewarisan
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan
menurut ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris (Daud Ali, 1990:129). Pengertian tersebut akan
terwujud jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang
mewarisi.
1. Rukun Kewarisan
Suatu pewarisan atau lebih dikenal dengan istilah pusaka-mempusakai
memiliki 3 (tiga) rukun yang harus terpenuhi. Dan apabila salah salah satu
dari ketiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan
khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain, hukum
waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya
dipenuhi tiga rukun, yaitu: muwarrits, warits, dan mauruts. Hal ini senada
a. Al-Muwarrits;
Muwarrits berasal dari bahasa Arab ( )ال ُم َو ِّ رثyang sering diartikan
sebagai pewaris, yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem
hukum waris Islam, muwarrits adalah orang yang meninggal dunia
dalam keadaan beragama Islam, baik meninggal dunia secara haqiqy
(sejati) maupun hukmy (menurut putusan hakim), yang meninggalkan
harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan
KHI Pasal 171 huruf b yaitu: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu
proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih
hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat
disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat
menjelang kematiannya. Dan harta yang dibagi waris haruslah milik
sendiri, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.
b. Al-Warits;
Warits (ارث
ِ )الو
َ sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang
yang berhak mewarisi karena mempunyai sebab-sebab untuk
mempusakai, seperti adanya ikatan kekerabatan (nasab), pernikahan
atau lainnya.
Sedangkan pengertian ahli waris menurut KHI Pasal 171 huruf c
yaitu: “Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris”.
Berdasarkan KHI Pasal 172, ahli waris yang dipandang beragama
Islam disini adalah mereka yang dapat diketahui dari Kartu Identitas
c. Al-Mauruts (Tirkah);
Di kalangan ahli faraid, istilah mauruts ( )ال َموْ رُوثlebih dikenal dengan
nama tirkah atau harta peninggalan, yakni harta benda yang
ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris
6 Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis
dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hlm. 211. 26 Ibid, hlm. 22.
c. Memerdekakan budak.
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu di zaman perbudakan.
Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang
yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan
memiliki kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak
mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yang
membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak
mendapat warisan. Sebagaimana hadits berbunyi, ”Hak wala’ itu
hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka
bumi, sehingga keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan
dengan sendiri tidak ada lagi.
d. Islam.
8 Ibid, hlm.
115.
2. Penghalang Kewarisan.
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi Ahli Waris
untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun
sebagian besarnya), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab
waris.9 Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan tetapi
oleh karena ada suatu keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta
warisan.
Penghalang Waris secara garis besar terbagi menjadi dua:
1) Perbudakan:
Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia
dan hartanya menjadi milik tuannya. Tidak adanya hak milik bagi
seseorang merupakan penghalang syari baginya untuk
mendapatkan harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan
harta waris, maka harta waris itu akan menjadi milik tuannya,
padahal si tuan tersebut bukan bagian dari Ahli Waris si mayit.
Atas dasar itulah, jika seorang mayit Muslim meninggalkan
seorang anak Muslim yang berstatus budak dan seorang cucu
12 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 46 dan Tashilul Faraidh, hml.
28
– dan seterusnya.
Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si pewaris
dengan maksud untuk segera mendapat warisannya. Akan tetapi
justru hukum melarang apa yang ingin disegerakannya yaitu
dengan tidak diberikan hak mendapat warisan kepadanya.
Lalu apakah setiap jenis pembunuhan dapat menghalangi
seseorang dari jatah warisnya? Para ulama berbeda pendapat
dalam permasalahan ini. Namun menurut Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, bahwa pembunuhan yang
menyebabkan terhalangnya seseorang dari jatah warisnya adalah
pembunuhan yang bersifat Bighairil Haq (tidak dibenarkan secara
syari), yaitu pembunuhan yang mengakibatkan Qishash,
membayar Diyat (Tebusan), atau membayar kafarah, seperti
misalnya:
3) Perbedaan Agama:
Perbedaan agama antara pemilik harta waris (Muwarrits) dengan
Ahli Warisnya.
Gambaran kasusnya: Si mayit yang meninggalkan harta waris
adalah seorang Muslim, sedangkan Ahli Warisnya non-Muslim
(kafir). Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta waris
adalah seorang non-Muslim (kafir), sedangkan Ahli Warisnya
seorang Muslim. Menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama,
masingmasingnya tidak bisa saling mewarisi. Karena secara
tinjauan syari, hubungan di antara mereka telah terputus.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala kepada Nabi Nuh alaihisalam:
“Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik’.” Q.S Hud: 46
Demikian pula sabda Rasulullah: “Tidaklah seorang Muslim
mewarisi seorang non-Muslim (kafir) dan tidak pula seorang
nonMuslim (kafir) mewarisi seorang Muslim.” [HR. Al-Bukhari
no. 6383 dan Muslim no. 1614, dari hadits Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu)39
Namun apabila si Ahli Waris yang tadinya kafir kemudian masuk
Islam sebelum harta dibagi, maka si Ahli Waris yang mualaf ini
5) Wanita yang ditalak tiga (Talak Bain Qubro) tidak bisa rujuk lagi.
6) Anak angkat.
Sifatnya dua arah: Orang tua angkat tidak bisa mewarisi dari anak
angkatnya, demikian pula sebaliknya, anak angkat tidak bisa
mewarisi dari orang tua angkatnya.
8) Anak Lian.
Lian adalah sumpah seorang suami untuk meneguhkan
tuduhannya bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.
Sumpah itu dilakukan suami karena istrinya telah menyanggah
tuduhan suaminya itu, sementara suami sendiri tidak memiliki
bukti-bukti atas tuduhan zinanya.
1. Ashhabul furudh.
Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,
AsSunnah, dan ijma'.
2. Ashabat nasabiyah.
Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian.
Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima
sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada
F. Pembagian Waris
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6). Pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak,
baik anak laki-laki maupun perempuan.
Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Ketentuan ini terikat
oleh syarat-syarat seperti berikut:
a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara
laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris.
Dalilnya firman Allah berikut: "... dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta
yang ditinggalkan ..." (QS.an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam
memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa
itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua
anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para
ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
13 Diriwayatkan oleh Al-Imam' Ahmad dalam Al-Musnad (14270), At-Tirmidzi (2018) Kitab
AlFaraidh an Rasulillah, bab fi mirotsil banat, bab Ma Ja'a fi miratsil Banat, Adu Dawud (2505)
Kitab Faraidh, Bab Ma ]a'a fi Miratsi As-Sulb, dan Ibnu Majah (2711) Kitab Faraidh, Bab Faraidh
AsSulb.
Dalam sanad ini ada rawi yang diperbincangkan oleh para imam dari sisi hafalannya yaitu Abdullah
bin Muhamad bin Uqail bin Abu Thalib, dan dikatakan oleh AI-Imam Al-Bukhari bahwasanya AI-
Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawih dan Al-Humaidi berhujah dengan Hadits yang diriwayatkannya,
serta riwayatnya ini dihasankan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Hakim Al-Mustadrak
(4/380), Khulasatul Badirl Munir (2/133), Nailul Authar (6/171), Ma'rifatuts Tsiqat
(2/57), Adh-Dhuaja wal Matrukin libnil fauzi (2/140), AlMajruhin (2/3), Al-Mughni Fidz Dzu'afa (1/356),
dan Tahdzibut Tahdzib (6/13), Al-Fath (8/244).
a. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki.
c. ibu,
G. Ashobah
Kata 'ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli
waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan AsSunnah
dengan tegas. Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid
ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal.
Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh
menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Serta dipahami juga bahwa (Al-'Ashobah) jamak dari kata tunggal ('Aashib)
yaitu kerabat si mayit yang mewarisi harta warisannya dengan bagian yang tidak
ditentukan. Jika sendirian maka dia mengambil semua harta warisan, jika bersama
dengan ahli waris yang bagiannya ditentukan maka dia mengambil sisa pembagian
harta warisan setelahnya, sedangkan jika para ahli waris yang bagiannya
ditentukan telah mengambil bagiannya dari harta warisan sehingga tidak ada yang
tersisa maka gugurlah bagiannya.
Karena sabda Nabi : "Berikanlah bagian harta warisan yang telah ditentukan
dalam kitab Allah itu kepada yang berhak, jika masih ada harta yang tersisa
maka ia untuk orang laki-laki yang paling dekat nasabnya dengan yang
mewariskan (si mayit)". (Disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim).
'Ashobah terbagi menjadi tiga macam yaitu 'ashobah disebabkan dirinya
(ashobah bin nafsi), 'ashobah disebabkan yang lain (ashobah bil ghoiri) dan
'ashobah ketika bersama yang lain (ashobah ma'al ghairi).
1. Al-Ashobah bin Nafsi
a. Arah anak; mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu, cicit, dan seterusnya.
b. Arah bapak; mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya
dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan
seterusnya.
1. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya
bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang
difirmankanNya: "... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya." (QS.an-Nisa': 3).
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa
irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti
'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang
berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya
jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta
yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum
menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau
menambah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat
mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka
menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2)
dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila
asal masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9).
Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6
(setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan
ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala asal
masalahnya naik atau bertambah.
4. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga
bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah
berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata
harta warisan itu masih tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain
sebagai 'ashabah, maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan
lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka
masingmasing
5. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat seperti di bawah ini:
1. anak perempuan
5. ibu kandung
2. ‘Adadur Ru’ûs
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala. Asal Masalah
ditetapkan dan digunakan apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris
yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl. Sedangkan apabila para
ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah
maka Asal Masalahnya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang
menerima warisan.
3. Siham
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah
dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.
4. Majmu’ Siham
14 Musthafa AlKhin, alFiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, hlm.
339.
2. Tentukan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak
laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.
Penjelasan:
b. Angka 24 di atas adalah Asal Masalah yang merupakan bilangan terkecil yang
bisa dibagi habis oleh bilangan 8 dan 6 sebagai penyebut dari bagian pasti
yang dimiliki oleh ahli waris istri dan ibu.
Perhitungannya:
Kasus 2
Seorang perempuan meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang
suami, seorang ibu dan seorang anak laki-laki. Pewaris memiliki utang 5 juta,
biaya penguburan jenazah 1 juta, biaya rumah sakit 4 juta. Si pewaris
meninggalkan harta peninggalan sebesar 100 juta. Maka perhitungan pembagian
warisnya sebagai berikut:
Penjelasan:
Perhitungannya:
- Ahli Waris Suami, Ibu, Anak laki-laki
- Harta peninggalan 100 juta
- Biaya utang+rumah sakit+penguburan
5 juta+4juta+1juta = 10 juta
- Harta waris 100 juta – 10 juta = 90 juta
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh
syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal
harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan
benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada sang Kholiiqul 'alam yaitu Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang memberikan petunjuk dan rahmatNya sebagai ucapan rasa syukur
penulis dapat menyelesaikan tugas ini, walaupun masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan. Namun penulis berharap dengan karya ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Untuk itu penulis berharap kritik serta sarannya dari ibu Dosen, karena beliau
adalah sebagai sumber ilmu bagi penulis.
Wallahu a’lam bish-shawabi
Buku
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al‐Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995
Abdurrahman al‐Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
syariat Islam Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama, 2006)
Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al‐Fiqri: 2005), Muhammad
Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al‐Kutub Al‐Ilmiyah:
1995). Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al‐ Lu’ Lu’ Wal Marjan, (Surabaya:
Bina Ilmu, t.t)
Shalih bin Fauzy bin Abdullah al‐Fauzy, At‐Tahqiiqoot al‐Maradhiyyah fii al‐
Mabaahits al‐Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al‐Imam
Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H).
Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia,
(Bandung : PT Citra Adytia Bakti, 1999).
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al‐Fiqh, (Kairo: Jami'ah al‐Qohiroh, 1978).
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al‐Faraidl: Deskripsi
hukum Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005).
iv
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam
Internet
https://quran.kemenag.go.id/ tentang al-Quran digital
https://id.wikipedia.org tentang hadits
http://nashislam.com/ tentang hadits
https://store.lidwa.com/get/ tentang hadits
https://muslim.or.id/ tentang hadits
https://islamweb.net/en/ tentang hadits
http://www.academia.edu/Documents tentang ilmu waris islam