Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

FIQIH MAWARIS

Dosen Pengampu :

Rahmad Saleh Lubis, M.Pd

Oleh :

Jaya Wijaya Irawan


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu wa
Ta’ala, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa Iman, Islam dan
Ilmu serta bimbingan-Nya sehingga Alhamdulillah penyusun dapat
menyelesaikan tugas makalah “FIQIH MAWARIS“
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat lebih memperluas
pengetahuan mengenai tentang Fiqih Mawaris.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
terkait, khusunya kepada Syeikh Rasel yang telah memberikan ilmunya,
bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya tugas ini dapat saya selesaikan.
Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Sesuai dengan pepatah tak
ada gading yang tak retak maka kami sadar akan kekurangan pada makalah ini
baik dalam segi penulisan dan masalah penyusunan kata. Maka saran, kritik dan
masukan yang membangun sangat kami harapkan dari seluruh pihak dalam proses
membangun mutu dalam karya selanjutnya. Mohon maaf bila ada kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini, harap memakluminya karena penyusun
dalam proses pembelajaran.
Penyusun berharap, makalah ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bogor, 10 April 2023

Jaya Wijaya Irawan

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................
ii
BAB I - PENDAHULUAN ................................................................................... 3
A. Latar Belakang .......................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5
BAB II - PEMBAHASAN .................................................................................... 6
A. Pengertian ..................................................................................................... 6
B. Rukun Kewarisan .........................................................................................
8
1. Rukun Kewarisan ..................................................................................... 8
D. Sebab dan Penghalang Kewarisan .......................................................... 11
1. Sebab-sebab Mendapatkan Warisan ....................................................... 11
2. Penghalang Kewarisan. .......................................................................... 13
E. Derajat Ahli Waris ................................................................................... 17
1. Ashhabul furudh. .................................................................................... 18
2. Ashabat nasabiyah. ................................................................................. 18
3. Dikembalikan ke Ashhabul Furudh ........................................................ 18
4. Ashabah karena sebab. ........................................................................... 18
5. Baitulmal (kas negara)............................................................................ 18
F. Pembagian Waris ..................................................................................... 19
1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah .............................. 19
2. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat ........................... 20
3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan ........................ 21
4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga ............ 21
5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga .................. 23
6. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam ........................... 24
G. Ashobah………..………………………………………………………………………………..…… 24
BAB III – KESIMPULAN, SARAN, PENUTUP ............................................ 37
A. Kesimpulan .............................................................................................. 37
B. Saran ......................................................................................................... 37
C. Penutup .................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... iv
LAMPIRAN ......................................................................................................... v

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama dengan orang yang
dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab atau keturunan atau kerabat maupun dalam
arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain
serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat serta masyarakat dan
lingkungan sekitarnya.
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum
kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis,
yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris)
terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang
menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang
dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan
nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Di negara kita hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga
kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia,
yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa
(BW), hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda
untuk Hindia Belanda dahulu.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial yang
terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab
utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karena kekurang-tahuan
pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris.
Hukum waris Islam merupakan bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari
Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merupakan separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad Shallallahu

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 3


‘Alaihi wa Sallam. Mengkaji dan mempelajari hukum waris Islam berarti mengkaji separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia yang telah dan terus hidup di tengah-tengah masyarakat
muslim sejak masa awal Islam hingga abad pertengahan, masa kini serta di masa yang akan
datang.
Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan
dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga
unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan
pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum
adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok.1
Hukum Kewarisan Islam bukanlah spesial untuk laki-laki atau perempuan saja, tetapi
untuk kedua-duanya sesuai dengan peran masing-masing selaku insan Allah Subhanallahu
wa Ta’ala yang telah menciptakan manusia terdiri dari lakilaki dan perempuan.2 Dengan kata
lain, kaum laki-laki memiliki hak dan kewajiban atas kaum perempuan, dan kaum
perempuan juga memiliki hak dan kewajiban atas kaum laki-laki. Sesuai dengan firman
Allah:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. (Q.S.al-Hujurat: 13)

Waris merupakan salah satu kajian dalam Islam yang dikaji secara khusus dalam
lingkup fiqih mawaris. Pengkhususan pengkajian dalam hukum Islam secara tidak langsung
menunjukkan bahwa bidang waris merupakan salah satu bidang kajian yang penting dalam
ajaran Islam. Bahkan dalam al-Qur’an, permasalahan mengenai waris dibahas secara detail
dan terperinci. Hal tersebut tidak lain adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antara
anggota keluarga terkait dengan harta peninggalan anggota keluarga yang telah mati.3

1 Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,hlm. 1.


2 Abdurrahman al-Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan syariat Islam Tentang
Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) hlm. 11.
3 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 3.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 4


Indonesia sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu
mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya
hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di
masyarakat. Karena itu mengingat bangsa Indonesia mayoritas beragama Islam, tentunya
mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi
mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya penyusunan hukum waris nasional
tentang ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan
memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.
Oleh sebab itu, sangat penting kita perlu mengetahui hukum kewarisan yang ada di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan tugas Mata Kuliah HUKUM KEWARISAN ISLAM ini diarahkan
untuk mendapatkan pemahaman mengenai beberapa hal yang menjadi fokus penulisan
makalah, yaitu sebagai berikut:

1. Mencari dan memahami pegertian ilmu waris dan hal yang berkaitan dengannya dari
berbagai sumber dan pendapat.

2. Mencari dan memahami berbagai macam ilmu waris yang ada di Indonesia dan juga
cara pelaksanaannya.

3. Mencari sumber ilmu hukum waris baik yang berasal dari Al-Qur’an, Hadits
maupun UU yang ada di indonesia.

4. Mengetahui cara pelaksanaan ilmu hukum waris di indonesia dengan agama dan
suku yang beragam.

5. Contoh dan penyelesaian dari beberapa model kasus Hukum Kewarisan Islam.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan bagi penyusun
dan berbagi pengetahuan lebih dalam dengan pembaca mengenai FIQIH MAWARIS yaitu
hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia,

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 5


diharapkan dapat menjadi tambahan referensi yang berguna dalam memperluas ilmu
pengetahuan dan menjadi sumber informasi bagi kita semua. serta bertujuan sebagai berikut:

1. Supaya kita mengetahui dengan jelas siapa orang yang memang berhak untuk
mendapatkan dan menerima akan harta warisan yang ditinggalkan terdahulunya.

2. Supaya bisa menentukan dalam pembagian harta warisan dengan cara yang adil dan
tentunya juga benar.

3. Supaya terhindar dari yang namanya perselisihan karena perebutan harta warisan
peninggalan pemiliknya terdahulu yang di karenakan aturan dalam pembagian yang
tidak jelas.

4. Supaya beban dan juga tanggung jawab si mayit menjadi ringan dengan adanya
aturan dalam ilmu fiqh mewarisi ini. Sehingga tidak ada pihak pihak yang merasa
dirugikan antara satu dengan yang lainnya. Sebab dalam pembagian harta warisan
tersebut merupakan yang terbaik dalam pandangan Allah Subhanallahu wa Ta’ala
dan manusia.

5. Menyelamatkan harta orang yang meninggal dari pengambil alihan oleh orang yang
tidak bertanggungjawab.

6. Memahami asas-asas Hukum Kewarisan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam al-
Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau
menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah ulama’ ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syar’i.4

4 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 17. 5
Ibid., hlm. 19-20

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 6


Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum
kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan hukum al-mawaris. Menurut Mahally,
lafaz faraid merupakan jamak (bentuk umum) dari lafaz faridah yang mengandung arti
mafrudah, yang sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu yang ditetapkan bagiannya
secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Quran, lebih
banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh
karena itu hukum ini dinamakan dengan faraid. Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid
berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam al-Quran dan al-
Hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang
yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian
yang telah ditetapkan.5
Penggunaan kata hukum awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat
dan menggunakan kata Islam dibelakang mengandung arti dasar hukum yang menjadi
rujukan, dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam dapat
diartikan dengan seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi
tentang hal ikhwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang
masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam. 5
Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian hukum kewarisan, yaitu
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, dan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan masing-masing
bagiannya.
Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya hukum islam yang berjudul fiqh mawaris
(Hukum Waris Islam) telah memberikan pemahaman tentang pengertian hukum waris
menurut islam ialah:

"Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam,
orang yang tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh
masing-masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya"

Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hm. 6.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 7


kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan
hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya
dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri,
suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian
waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ para ulama sangat sedikit.
Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat AlQur’an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan
AlIah Subhanallahu wa Ta’ala. Di samping bahwa harta merupakan tonggak penegak
kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

B. Rukun kewarisan
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan
menurut ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris (Daud Ali, 1990:129). Pengertian tersebut akan
terwujud jika syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang
mewarisi.

1. Rukun Kewarisan
Suatu pewarisan atau lebih dikenal dengan istilah pusaka-mempusakai
memiliki 3 (tiga) rukun yang harus terpenuhi. Dan apabila salah salah satu
dari ketiga rukun ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Sebagaimana hukum lainnya, masalah warispun memiliki ketentuan
khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi. Dengan kata lain, hukum
waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam proses penetapannya
dipenuhi tiga rukun, yaitu: muwarrits, warits, dan mauruts. Hal ini senada

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 8


dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau pewarisan hanya dapat
terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:

a. Al-Muwarrits;
Muwarrits berasal dari bahasa Arab (‫ )ال ُم َو ِّ رث‬yang sering diartikan
sebagai pewaris, yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem
hukum waris Islam, muwarrits adalah orang yang meninggal dunia
dalam keadaan beragama Islam, baik meninggal dunia secara haqiqy
(sejati) maupun hukmy (menurut putusan hakim), yang meninggalkan
harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan
KHI Pasal 171 huruf b yaitu: “Pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu
proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal
dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih
hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat
disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat
menjelang kematiannya. Dan harta yang dibagi waris haruslah milik
sendiri, bukan milik instansi atau negara. Sebab instansi atau negara
bukanlah termasuk pewaris.

b. Al-Warits;
Warits (‫ارث‬
ِ ‫)الو‬
َ sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang
yang berhak mewarisi karena mempunyai sebab-sebab untuk
mempusakai, seperti adanya ikatan kekerabatan (nasab), pernikahan
atau lainnya.
Sedangkan pengertian ahli waris menurut KHI Pasal 171 huruf c
yaitu: “Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris”.
Berdasarkan KHI Pasal 172, ahli waris yang dipandang beragama
Islam disini adalah mereka yang dapat diketahui dari Kartu Identitas

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 9


atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya
atau lingkungannya. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabila dapat
dipastikan hidup melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka
bagi si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Hanya saja jumhur
ulama mensyaratkan bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup.
Sebab di kala ia masih dalam kandungan, walaupun sudah dianggap
hidup, namun ia bukan hidup yang sebenarnya (di dunia). Hal ini
didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
)‫اذااسهتل املولودورث (رواه احصالنت‬
Artinya: “Apabila anak yang dilahirkan itu berteriak, maka ia diberi
warisan.”

Dengan demikian apabila lahir keadaannya telah meninggal, maka ia


tidak berhak menerima warisan. Dan apabila telah disediakan harta
warisan untuknya, maka harta itu hendaknya diberikan kepada ahli
waris lainnya.
Dengan demikian apabila lahir keadaannya telah meninggal, maka ia
tidak berhak menerima warisan. Dan apabila telah disediakan harta
warisan untuknya, maka harta itu hendaknya diberikan kepada ahli
waris lainnya.
Untuk itu, perlu diketahui batasan yang tegas mengenai tenggang
waktu minimal usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui
kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. Para Imam madzhab
telah sepakat bahwa tenggang waktu minimal untuk kandungan itu
adalah 6 bulan.6

c. Al-Mauruts (Tirkah);
Di kalangan ahli faraid, istilah mauruts (‫ )ال َموْ رُوث‬lebih dikenal dengan
nama tirkah atau harta peninggalan, yakni harta benda yang
ditinggalkan oleh si mati yang bakal dipusakai oleh para ahli waris
6 Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis
dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hlm. 211. 26 Ibid, hlm. 22.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 10


setelah diambil untuk biaya perawatan, melunasi hutang-hutang dan
melaksanakan wasiat.26
C. Sebab dan Penghalang Kewarisan
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta merta dapat
dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang menghubungkan
penerima dengan orang yang mati.

1. Sebab-sebab Mendapatkan Warisan


Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak
untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab,
yaitu:

a. Nasab atau kekerabatan.


Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu hubungan
keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi.
Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini
ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S.
alAnfal:75).

b. Perkawinan yang terjadi dengan akad yang sah.


Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan sebagaimana
termuat dalam surah an-Nisa’ ayat 11, adalah perkawinan yang sah
menurut agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan
rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli
atau belum pernah dipergauli, disamping itu, perkawinan itu tidak
dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama, karena perkawinan
yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak sah. 7 Oleh
karena itu, bila salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka
saling mewarisi. Tidak termasuk dalam hal ini hubungan yang
disebabkan perzinahan, walaupun adanya hubungan badan antara
pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang dilahirkan
7 Fathurrahman, Ilmu Waris…, hlm. 114.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 11


akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi
akan mendapatkan dari ibunya.
Perkawinan itu dalam posisi:

1) Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih utuh –


tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-. Dalam posisi ini
suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya
perkawinan semata mata dengan matinya salah seorang suamiistri.

2) Perkawinan telah teputus, tetapi antara suami dan istri masih


dalam iddah (masa tunggu yang dibolehkan suami kembali kepada
istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut dengan
thalaq raj’iy, yaitu masa dimana suami dapat merujuk kepada istri
tanpa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin istri tersebut.
Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang mati, maka mereka
dapat saling mewarisi. Akan tetapi bila waktu iddah telah habis
kemudian salah seroang meninggal maka hak saling mewaris telah
habis dengan sebab iddah tersebut telah habis.8

c. Memerdekakan budak.
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu di zaman perbudakan.
Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang
yang telah memerdekakan budak, jika budak itu telah merdeka dan
memiliki kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak
mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yang
membebaskannya, budak yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak
mendapat warisan. Sebagaimana hadits berbunyi, ”Hak wala’ itu
hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahayanya.”(H.R.
Bukhari dan Muslim).
Keberadaan perbudakan ini nampaknya sudah tidak ada lagi di muka
bumi, sehingga keberadaan wala’ sebagai penyebab mendapat warisan
dengan sendiri tidak ada lagi.

d. Islam.

8 Ibid, hlm.
115.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 12


Seorang muslim yang meninggal dunia namun tak memiliki ahli waris
yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya maka harta
tinggalannya diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola demi
kemaslahatan umat Islam.

2. Penghalang Kewarisan.
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi Ahli Waris
untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun
sebagian besarnya), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab
waris.9 Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan tetapi
oleh karena ada suatu keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta
warisan.
Penghalang Waris secara garis besar terbagi menjadi dua:

a. Penghalang Waris Pertama


Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria tertentu yang dapat
menghalangi Ahli Waris dari jatah warisnya secara keseluruhan.
Penghalang jenis ini bisa menimpa seluruh Ahli Waris tanpa
terkecuali1011, yang dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah
Mawani’ul Irtsi (Penghalang-Penghalang Waris).
Adapun rincian Penghalang-Penghalang Waris jenis ini adalah sebagai
berikut:

1) Perbudakan:
Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia
dan hartanya menjadi milik tuannya. Tidak adanya hak milik bagi
seseorang merupakan penghalang syari baginya untuk
mendapatkan harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan
harta waris, maka harta waris itu akan menjadi milik tuannya,
padahal si tuan tersebut bukan bagian dari Ahli Waris si mayit.
Atas dasar itulah, jika seorang mayit Muslim meninggalkan
seorang anak Muslim yang berstatus budak dan seorang cucu

9 Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hlm. 45.


10 Al-Fawa’idul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, program Al-Maktabah Asy-Syamilah II,
hlm.
11 .

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 13


Muslim dari kalangan merdeka, maka yang mewarisi hartanya
adalah sang cucu walaupun ada bapaknya. Mengapa? Karena si
bapak statusnya masih budak dan budak tidak bisa mewarisi,
sedangkan sang cucu dari kalangan merdeka.12
2) Pembunuhan:
Pembunuhan yang dilakukan terhadap pemilik harta waris
(Muwarrits): Jika seorang Ahli Waris membunuh Muwarrits-nya,
maka si pembunuh tersebut TIDAK BERHAK mendapatkan harta
waris darinya.
Gambaran kasusnya adalah seorang anak (Ahli Waris) membunuh
bapaknya (pemilik harta waris), maka si anak tersebut tidak
berhak mendapatkan harta waris yang ditinggalkan bapaknya. Di
antara hikmah dari ketentuan di atas adalah mencegah
bermudahannya Ahli Waris dari perbuatan keji tersebut, hanya
karena untuk mendapatkan harta waris.
Hal ini didasarkan kaidah fikih yang berbunyi: “Orang yang
menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka diberi sanksi
untuk tidak mendapatkannya".
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan: “Dan setiap orang yang menyegerakan sesuatu yang
diharamkan, maka hendaknya ia dicegah.”
Kaidah ini adalah kaidah yang sudah maruf yang seringkali
digunakan oleh para ulama. Di antara contoh penerapan kaidah ini
adalah:

– Barang siapa yang membunuh orang yang (sebenarnya bisa)


mewariskan harta kepadanya, maka ia tidak mendapatkan
warisannya. Hal ini dikarenakan ia telah menyegerakan
sesuatu sebelum waktunya.

– Orang yang minum khamer (minuman keras) ketika di dunia,


maka ia tidak akan minum khamer ketika di Akhirat kelak.

12 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 46 dan Tashilul Faraidh, hml.
28

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 14


Padahal khamer di Akhirat itu tidak memabukan. Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

– dan seterusnya.
Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si pewaris
dengan maksud untuk segera mendapat warisannya. Akan tetapi
justru hukum melarang apa yang ingin disegerakannya yaitu
dengan tidak diberikan hak mendapat warisan kepadanya.
Lalu apakah setiap jenis pembunuhan dapat menghalangi
seseorang dari jatah warisnya? Para ulama berbeda pendapat
dalam permasalahan ini. Namun menurut Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dan Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, bahwa pembunuhan yang
menyebabkan terhalangnya seseorang dari jatah warisnya adalah
pembunuhan yang bersifat Bighairil Haq (tidak dibenarkan secara
syari), yaitu pembunuhan yang mengakibatkan Qishash,
membayar Diyat (Tebusan), atau membayar kafarah, seperti
misalnya:

a) Pembunuhan dengan sengaja (Qatlul ‘Amd),

b) Pembunuhan semi sengaja (Syibhul ‘Amd)


contohnya seseorang memukul orang lain dengan
menggunakan sandal, kemudian mati. Disebut semi sengaja,
karena di satu sisi sengaja memukul orang tersebut, namun di
sisi lain tidak berniat untuk membunuhnya dan

c) Pembunuhan karena kekeliruan (Khatha’an) contohnya


seseorang membidikkan tembakan ke arah rusa, namun
ternyata tembakan tersebut justru mengenai orang yang
kebetulan sedang melintas di jalan tidak jauh dari rusa
tersebut, hingga mati. Disebut keliru karena tidak ada niatan
untuk membunuhnya, dan tidak ada upaya sama sekali untuk
melakukan sesuatu terhadap orang tersebut.38

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 15


Dikecualikan darinya adalah pembunuhan Bil Haq (dengan cara
yang dibenarkan secara syari), misalnya seorang eksekutor yang
ditugasi Waliyul Amr (Pemerintah) untuk mengeksekusi seorang
pembunuh sebagai bentuk qishash (balasan bunuh) baginya,
seseorang yang membela diri hingga mengakibatkan terbunuhnya
si pelaku aniaya tersebut, dll.

3) Perbedaan Agama:
Perbedaan agama antara pemilik harta waris (Muwarrits) dengan
Ahli Warisnya.
Gambaran kasusnya: Si mayit yang meninggalkan harta waris
adalah seorang Muslim, sedangkan Ahli Warisnya non-Muslim
(kafir). Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta waris
adalah seorang non-Muslim (kafir), sedangkan Ahli Warisnya
seorang Muslim. Menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama,
masingmasingnya tidak bisa saling mewarisi. Karena secara
tinjauan syari, hubungan di antara mereka telah terputus.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala kepada Nabi Nuh alaihisalam:
“Allah berfirman: ‘Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik’.” Q.S Hud: 46
Demikian pula sabda Rasulullah: “Tidaklah seorang Muslim
mewarisi seorang non-Muslim (kafir) dan tidak pula seorang
nonMuslim (kafir) mewarisi seorang Muslim.” [HR. Al-Bukhari
no. 6383 dan Muslim no. 1614, dari hadits Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu)39
Namun apabila si Ahli Waris yang tadinya kafir kemudian masuk
Islam sebelum harta dibagi, maka si Ahli Waris yang mualaf ini

38 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 50-52 dan


Tashilul Faraidh, hlm.
29. 39 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 53 dan
Tashilul Faraidh, hlm. 31.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 16


berhak mendapatkan warisan. Jadi apabila pada waktu Muwarrits
meninggal dunia ada ahli waris yang berbeda agama, kemudian
sebelum harta warisan dibagi-bagi si Ahli Waris masuk Islam,
maka dia berhak mendapat warisan.

4) Wanita yang sudah ditalak (raj’i) habis masa iddahnya.

5) Wanita yang ditalak tiga (Talak Bain Qubro) tidak bisa rujuk lagi.

6) Anak angkat.
Sifatnya dua arah: Orang tua angkat tidak bisa mewarisi dari anak
angkatnya, demikian pula sebaliknya, anak angkat tidak bisa
mewarisi dari orang tua angkatnya.

7) Ibu tiri dan bapak tiri.

8) Anak Lian.
Lian adalah sumpah seorang suami untuk meneguhkan
tuduhannya bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain.
Sumpah itu dilakukan suami karena istrinya telah menyanggah
tuduhan suaminya itu, sementara suami sendiri tidak memiliki
bukti-bukti atas tuduhan zinanya.

9) Anak hasil zina.

E. Derajat Ahli Waris


Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan
derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:

1. Ashhabul furudh.
Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an,
AsSunnah, dan ijma'.

2. Ashabat nasabiyah.
Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian.
Ashabat nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima
sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 17


ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.
Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara
kandung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.

3. Dikembalikan ke Ashhabul Furudh


Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri).
Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya
masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh
masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun
suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta
yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan
pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama
mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.

4. Ashabah karena sebab.


Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang
memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan).
Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan,
maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli
warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada
lagi.

5. Baitulmal (kas negara).


Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun
kerabat maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal
untuk kemaslahatan umum.

F. Pembagian Waris
Jumlah bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga
(1/3), dan seperenam (1/6). Pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 18


1. Ashhabul Furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris
peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat
lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak
perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung
perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:

a. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan,


dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak
laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami
tersebut ataupun bukan.
Dalilnya adalah firman Allah: "... dan bagi kalian (para suami)
mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila
mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (QS. an-Nisa': 12)

b. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta


peninggalan pewaris, dengan dua syarat:

1) Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan


tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki).

2) Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal.


Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan)

hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang


ada". (QS.an-Nisa’:12)
Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan
pewaris tidak mendapat bagian setengah.

c. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian


separo, dengan tiga syarat:

1) Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu lakilaki


dari keturunan anak laki-laki).

2) Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan


anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).

3) Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak


laki-laki.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 19


d. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta
warisan, dengan tiga syarat:

1) Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.

2) Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).

3) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula


mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan
perempuan.

e. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta


warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.

b. Apabila ia hanya seorang diri.

c. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.

d. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak,
baik anak laki-laki maupun perempuan.

2. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat


Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari
harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.
Rinciannya sebagai berikut:

a. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta


peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri
mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya,
baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami
lain (sebelumnya).
Hal ini berdasarkan firman Allah berikut: "... Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya". (QS.an-Nisa': 12)

b. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta


peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak
mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun
dari rahim istri lainnya.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 20


Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut: "...Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak ...". (QS.an-Nisa': 12)

3. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan


Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian
seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan
mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami
mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau
dari rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: "... Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar utang-utangmu ...". (QS.an-Nisa': 12)

4. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta
peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

b. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.

c. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

d. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih. Ketentuan ini terikat
oleh syarat-syarat seperti berikut:

a. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara
laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris.
Dalilnya firman Allah berikut: "... dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta
yang ditinggalkan ..." (QS.an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam
memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa
itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua
anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para
ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 21


wa Sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim
yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad
bin ar-Rabi' r.a.13
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat
itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang
berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan
lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama.
Wallahu a'lam.
b. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan
mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai
berikut:
1) Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau
perempuan.
2) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
3) Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
c. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian
dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:
1) Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun
perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
2) Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai
saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
3) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki.
Dalilnya adalah firman Allah: "... tetapi jika saudara perempuan itu

13 Diriwayatkan oleh Al-Imam' Ahmad dalam Al-Musnad (14270), At-Tirmidzi (2018) Kitab
AlFaraidh an Rasulillah, bab fi mirotsil banat, bab Ma Ja'a fi miratsil Banat, Adu Dawud (2505)
Kitab Faraidh, Bab Ma ]a'a fi Miratsi As-Sulb, dan Ibnu Majah (2711) Kitab Faraidh, Bab Faraidh
AsSulb.
Dalam sanad ini ada rawi yang diperbincangkan oleh para imam dari sisi hafalannya yaitu Abdullah
bin Muhamad bin Uqail bin Abu Thalib, dan dikatakan oleh AI-Imam Al-Bukhari bahwasanya AI-
Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawih dan Al-Humaidi berhujah dengan Hadits yang diriwayatkannya,
serta riwayatnya ini dihasankan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Hakim Al-Mustadrak
(4/380), Khulasatul Badirl Munir (2/133), Nailul Authar (6/171), Ma'rifatuts Tsiqat
(2/57), Adh-Dhuaja wal Matrukin libnil fauzi (2/140), AlMajruhin (2/3), Al-Mughni Fidz Dzu'afa (1/356),
dan Tahdzibut Tahdzib (6/13), Al-Fath (8/244).

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 22


dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (QS.an-Nisa': 176)
d. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua
per tiga dengan syarat sebagai berikut:
1) Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
2) Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara
laki-laki seayah.
3) Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki
maupun perempuan).

5. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga


Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga
bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun
perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

a. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki.

b. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki


maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun
seibu.
Dalilnya adalah firman Allah: "... dan jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga...". (QS.an-Nisa': 11)

6. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam


Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6)
ada tujuh orang. Mereka adalah :
a. ayah,

b. kakek asli (bapak dari ayah),

c. ibu,

d. cucu perempuan keturunan anak laki-laki,

e. saudara perempuan seayah,

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 23


f. nenek asli,

g. saudara laki-laki dan perempuan seibu.

G. Ashobah
Kata 'ashabah dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak.
Disebut demikian, dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan
melindungi. Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli
waris yang tidak disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan AsSunnah
dengan tegas. Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid
ialah orang yang menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal.
Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh
menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Serta dipahami juga bahwa (Al-'Ashobah) jamak dari kata tunggal ('Aashib)
yaitu kerabat si mayit yang mewarisi harta warisannya dengan bagian yang tidak
ditentukan. Jika sendirian maka dia mengambil semua harta warisan, jika bersama
dengan ahli waris yang bagiannya ditentukan maka dia mengambil sisa pembagian
harta warisan setelahnya, sedangkan jika para ahli waris yang bagiannya
ditentukan telah mengambil bagiannya dari harta warisan sehingga tidak ada yang
tersisa maka gugurlah bagiannya.
Karena sabda Nabi : "Berikanlah bagian harta warisan yang telah ditentukan
dalam kitab Allah itu kepada yang berhak, jika masih ada harta yang tersisa
maka ia untuk orang laki-laki yang paling dekat nasabnya dengan yang
mewariskan (si mayit)". (Disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim).
'Ashobah terbagi menjadi tiga macam yaitu 'ashobah disebabkan dirinya
(ashobah bin nafsi), 'ashobah disebabkan yang lain (ashobah bil ghoiri) dan
'ashobah ketika bersama yang lain (ashobah ma'al ghairi).
1. Al-Ashobah bin Nafsi
a. Arah anak; mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai
cucu, cicit, dan seterusnya.

b. Arah bapak; mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya
dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan
seterusnya.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 24


c. Arah saudara laki-laki; mencakup saudara kandung laki-laki, saudara
laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung laki-laki,
anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya.
Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang
seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki.
Adapun saudara lakilaki yang seibu tidak termasuk 'ashabah
disebabkan mereka termasuk ashhabul furudh.

d. Arah paman; mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung


maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
2. Al-Ashobah bil Ghairi
Hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:

a. Anak perempuan; akan menjadi 'ashobah bila bersamaan dengan


saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).

b. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki; akan menjadi 'ashobah bila


berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki
pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik
sederajat dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.

c. Saudara kandung perempuan; akan menjadi 'ashobah bila bersama


saudara kandung laki-laki.

d. Saudara perempuan seayah; akan menjadi 'ashobah bila bersamaan


dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua
kali lipat bagian perempuan.
3. Al-Ashobah Ma'al Ghairi
Saudara-saudara perempuan sekandung dan saudara-saudara perempuan
sebapak ketika bersama keturunan-keturunan si mayit dari kalangan
wanita. Maka kedudukan saudara-saudara perempuan sekandung
dijadikan seperti kedudukan saudara-saudara laki-laki sekandung, dan
kedudukan saudara-saudara perempuan sebapak dijadikan seperti
kedudukan saudara-saudara laki-laki sebapak.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 25


Jalur kekerabatan yang menyebabkan seseorang mendapatkan bagian
'ashobah ada lima menurut pendapat yang kuat, terkumpul dalam suatu perkataan
dengan tartib (runtut):

1. Karena peranakan (bunuwwah); yaitu anak-anak laki-laki dan anak-anak


laki-lakinya anak laki dan seterusnya kebawah dari kalangan laki-laki
saja, seperti ini juga anakanak perempuan dan anak-anak perempuannya
anak laki-laki ketika bersama laki-laki yang menyebabkan mereka
mendapatkan bagian
'ashobah.

2. Karena kebapakan (ubuwwah); yaitu bapak dan bapak-bapaknya bapak


dan seterusnya ke atas dari kalangan laki-laki saja.

3. Karena persaudaran (ukhuwwah); yaitu saudara-saudara laki-laki yang


bukan seibu (saudara laki-laki sekandung dan sebapak), anak-anak laki-
laki mereka dan seterusnya ke bawah dari kalangan laki-laki saja, juga
saudara-saudara perempuan yang bukan seibu (saudara-saudara
perempuan sekandung dan sebapak) jika mereka sebagai ahli waris yang
mendapatkan bagian 'ashobah dengan sebab yang lain (ashobah biZ
ghairi) atau yang mendapatkan bagian 'ashobah dengan sebab bersama
yang lain (ashobah ma'al ghairi).

4. Karena kepamanan (umumah); adalah para paman yang bukan seibu


(paman dari saudara bapak yang sekandung atau yang sebapak
dengannya) anak-anak laki-laki mereka dan seterusnya ke bawah dari
jenis laki-laki saja.

5. Memiliki wala' yang sempurna; adalah seseorang yang memerdekakan


budak dan ahli warisnya yang mewarisinya dengan bagian 'ashobah
dengan sebab dirinya (ashobah bin nafsi).

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 26


I. Masalah al-'Aul dan ar-Radd

1. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya
bermakna azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang
difirmankanNya: "... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya." (QS.an-Nisa': 3).
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa
irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti
'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang
berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya
jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta
yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum
menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau
menambah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat
mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada -- meski bagian mereka
menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2)
dapat berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila
asal masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9).
Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6
(setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan
ashhabul furudh yang lain, bagian mereka dapat berkurang manakala asal
masalahnya naik atau bertambah.

2. Latar Belakang Terjadinya 'Aul


Pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai masa
kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau penambahan
sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris tidak pernah
terjadi. Masalah 'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin
Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang pertama kali

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 27


menambahkan asal masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan
hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris
bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang
wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung
perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima
suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung
perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah
melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap
menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang
ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan,
mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata:
"Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus
didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak
suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan
karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan
terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka
akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan
persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada
Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata:
"Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat
menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang 'aul
(penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh
sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

3. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan


Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya
dapat di-'aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas
(12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 28


dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan
(8).
Sebagai contoh: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok
masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan
bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti mendapat bagian
satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu.
Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi
bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu
mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung
laki-laki, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4)
berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara
saudara kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan
ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri,
anak perempuan, dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian istri
seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat
bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni
tiga per delapan (3/8).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah
yang dapat di-'aul-kan ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua
puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing
berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6)
hanya dapat di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik
menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau sepuluh. Lebih dari angka itu tidak
bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali
saja.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 29


Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga
tujuh belas (17), namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya,
pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga belas (13),
lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka
angka dua belas (12) hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja. Sedangkan
pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua
puluh tujuh (27) saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang
memang masyhur di kalangan ulama faraid dengan sebutan "masalah
almimbariyyah".

4. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga
bermakna 'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah
berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata
harta warisan itu masih tersisa, sementara itu tidak ada sosok kerabat lain
sebagai 'ashabah, maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan
lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka
masingmasing

5. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga
syarat seperti di bawah ini:

1. adanya ashhabul furudh

2. tidak adanya 'ashabah

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 30


3. ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus
ar-radd tidak akan terjadi.

6. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd


Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali
suami dan istri. Artinya, suami atau istri bagaimanapun keadaannya tidak
mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan
orang:

1. anak perempuan

2. cucu perempuan keturunan anak laki-laki

3. saudara kandung perempuan

4. saudara perempuan seayah

5. ibu kandung

6. nenek sahih (ibu dari bapak)

7. saudara perempuan seibu

8. saudara laki-laki seibu


Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk
ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa
mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam
pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -maka
tidak mungkin ada ar-radd, karena keduanya akan menerima waris
sebagai 'ashabah.

7. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd


Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan
arradd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya
bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan sababiyah (karena
sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan
putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak
berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 31


bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu
keadaan pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris,
suami atau istri tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.

L. Kasus Penerapan Ilmu Waris Islam


Beberapa istilah yang biasa dipakai dalam pembagian warisan antara lain
adalah:

1. Asal Masalah adalah: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan


bagian secara benar.”14

Adapun yang dikatakan “didapatkannya bagian secara benar” atau dalam


ilmu faraidl disebut Tashhîhul Masalah adalah:
Artinya: “Bilangan terkecil yang darinya bisa didapatkan bagian
masingmasing ahli waris secara benar tanpa adanya pecahan.”
Dalam ilmu aritmetika, Asal Masalah bisa disamakan dengan kelipatan
persekutuan terkicil atau KPK yang dihasilkan dari semua bilangan
penyebut dari masingmasing bagian pasti ahli waris yang ada. Asal
Masalah atau KPK ini harus bisa dibagi habis oleh semua bilangan bulat
penyebut yang membentuknya.

2. ‘Adadur Ru’ûs
Secara bahasa ‘Adadur Ru’ûs berarti bilangan kepala. Asal Masalah
ditetapkan dan digunakan apabila ahli warisnya terdiri dari ahli waris
yang memiliki bagian pasti atau dzawil furûdl. Sedangkan apabila para
ahli waris terdiri dari kaum laki-laki yang kesemuanya menjadi ashabah
maka Asal Masalahnya dibentuk melalui jumlah kepala/orang yang
menerima warisan.

3. Siham
Siham adalah nilai yang dihasilkan dari perkalian antara Asal Masalah
dan bagian pasti seorang ahli waris dzawil furûdl.

4. Majmu’ Siham

14 Musthafa AlKhin, alFiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II, hlm.
339.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 32


Majmu’ Siham adalah jumlah keseluruhan siham, harus sama dengan Asal
Masalah, tidak boleh lebih atau kurang..
Langkah-langkah dalam menghitung pembagian warisan:

1. Tentukan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan

2. Tentukan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak
laki-laki sisa (ashabah) dan seterusnya.

3. Tentukan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya


24

4. Tentukan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan


seterusnya
Untuk l ebih jelasnya dapat digambarkan dalam sebuah kasus perhitungan waris
sebagai berikut:
Kasus 1
Seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang istri,
seorang ibu dan seorang anak laki-laki. Pewaris memiliki utang 5 juta, biaya
penguburan jenazah 1 juta, biaya rumah sakit 4 juta. Si pewaris meninggalkan
harta peninggalan sebesar 100 juta. Maka perhitungan pembagian warisnya
sebagai berikut:

Penjelasan:

a. 1/8, 1/6 dan sisa adalah bagian masing-masing ahli waris.

b. Angka 24 di atas adalah Asal Masalah yang merupakan bilangan terkecil yang
bisa dibagi habis oleh bilangan 8 dan 6 sebagai penyebut dari bagian pasti
yang dimiliki oleh ahli waris istri dan ibu.

c. Angka 3, 4 dan 17 adalah siham masing-masing ahli waris dengan rincian:


- 3 untuk istri, hasil dari 24 x 1/8

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 33


- 4 untuk ibu, hasil dari 24 x 1/6
- 17 untuk anak laki-laki, sisa dari 24 – (3 + 4)
- Angka 24 di bawah adalah Majmu’ Siham, jumlah dari seluruh siham
semua ahli waris (3 + 4 + 17)

Perhitungannya:

- Ahli Waris Istri, Ibu, Anak laki-laki

- Harta peninggalan 100 juta

- Biaya utang+rumah sakit+penguburan


5 juta+4juta+1juta = 10 juta

- Harta waris 100 juta – 10 juta = 90 juta

Kasus 2
Seorang perempuan meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang
suami, seorang ibu dan seorang anak laki-laki. Pewaris memiliki utang 5 juta,
biaya penguburan jenazah 1 juta, biaya rumah sakit 4 juta. Si pewaris
meninggalkan harta peninggalan sebesar 100 juta. Maka perhitungan pembagian
warisnya sebagai berikut:

Penjelasan:

d. 1/4, 1/6 dan sisa adalah bagian masing-masing ahli waris.

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 34


e. Angka 12 di atas adalah Asal Masalah yang merupakan bilangan terkecil yang
bisa dibagi habis oleh bilangan 4 dan 6 sebagai penyebut dari bagian pasti
yang dimiliki oleh ahli waris suami dan ibu.

f. Angka 3, 2 dan 7 adalah siham masing-masing ahli waris dengan rincian:


- 3 untuk suami, hasil dari 12 x 1/4
- 2 untuk ibu, hasil dari 12 x 1/6
- 7 untuk anak laki-laki, sisa dari 12 – (3 + 2)
- Angka 12 di bawah adalah Majmu’ Siham, jumlah dari seluruh siham
semua ahli waris (3 + 2 + 7)

Perhitungannya:
- Ahli Waris Suami, Ibu, Anak laki-laki
- Harta peninggalan 100 juta
- Biaya utang+rumah sakit+penguburan
5 juta+4juta+1juta = 10 juta
- Harta waris 100 juta – 10 juta = 90 juta

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 35


BAB III KESIMPULAN, SARAN, PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang
meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh
syariat Islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal
harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada
bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan
benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.

2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan


dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian
tersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma’ dengan seadil-adilnya.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :

1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering


menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk
mecegah perpecahan dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah
pembagian waris sesuai dengan hukum Islam.

2. Sebagai masyarakat yang hidup di zaman modern, sebaiknya kita lebih


menggali informasi dengan mengikuti perkembangan zaman karena
pentingnya masalah seperti warisan, informasi yang di dapatkan
masyarakat bisa bermanfaat bagi orang lain seperti informasi mengenai

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 36


upaya seperti apa apabila seseorang ingin mendapatkan kejelasan status
kewarisannya.
Serta mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
oleh penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan
luas lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang
lebih baik. Dalam makalah ini penyusun berkeinginan memberikan masukan
kepada pembaca agar terus mempelajari dan mengkaji ilmu berkaitan dengan
hukum, terutama Hukum Kewarisan Islam khususnya.

C. Penutup
Syukur Alhamdulillah kepada sang Kholiiqul 'alam yaitu Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang memberikan petunjuk dan rahmatNya sebagai ucapan rasa syukur
penulis dapat menyelesaikan tugas ini, walaupun masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penulisan. Namun penulis berharap dengan karya ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Untuk itu penulis berharap kritik serta sarannya dari ibu Dosen, karena beliau
adalah sebagai sumber ilmu bagi penulis.
Wallahu a’lam bish-shawabi

FIQIH MAWARIS – Hukum Kewarisan Islam Halaman 37


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al‐Quran, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995
Abdurrahman al‐Baghdadi, Emansipasi adakah dalam Islam: Suatu Tinjauan
syariat Islam Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011)
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)
Otje Salman, Hukum Waris Islam, (Bandung : Aditama, 2006)

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐Qur’an dan


Terjemahannya, Depag RI, 1986)
Tentang Kehidupan Perempuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992) hlm. 11
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Bina Aksara,
1981)

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al‐Qur’an , al‐Qur’an dan


terjemahannya Depag RI, 1986.

Sunan Tirmidzi, Sunan Tirmidzi jilid 4i, (Beirut: Dar al‐Fiqri: 2005), Muhammad

Fuadi Abdul Baqi, Shohih Muslim jilid 6, (Beirut: Dar Al‐Kutub Al‐Ilmiyah:

1995). Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al‐ Lu’ Lu’ Wal Marjan, (Surabaya:
Bina Ilmu, t.t)

Shalih bin Fauzy bin Abdullah al‐Fauzy, At‐Tahqiiqoot al‐Maradhiyyah fii al‐
Mabaahits al‐Fardhiyyah, (Riyadh: Universitas Islam Al‐Imam
Muhammad ibnu Sa'ud, 1408 H).
Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum kewarisan Islam di Indonesia,
(Bandung : PT Citra Adytia Bakti, 1999).

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al‐Fiqh, (Kairo: Jami'ah al‐Qohiroh, 1978).
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al‐Faraidl: Deskripsi
hukum Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana,
2005).
iv

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama


RI, Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986).
Fathurrahman, Ilmu Waris…,.

Al‐Khulashah Fi Ilmil Faraidh.

Al‐Fawa’idul Jaliyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, program Al‐Maktabah Asy‐


Syamilah II.
At‐Tahqiqat Al‐Mardhiyyah Fil Mabahits Al‐Faradhiyyah, dan Tashilul Faraidh
Musthafa AlKhin, alFiqhul Manhaji, Damaskus, Darul Qalam, 2013, jilid II.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam

Internet
https://quran.kemenag.go.id/ tentang al-Quran digital
https://id.wikipedia.org tentang hadits
http://nashislam.com/ tentang hadits
https://store.lidwa.com/get/ tentang hadits
https://muslim.or.id/ tentang hadits
https://islamweb.net/en/ tentang hadits
http://www.academia.edu/Documents tentang ilmu waris islam

Anda mungkin juga menyukai