Makalah
Dosen Pengampu :
Prof.Dr.H.M.Damrah Khair,M.A.
Wahyudi (1921030562)
Kelas K Semester 4
FAKULTAS SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Swt karena dengan rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “PEWARIS DAN
AHLI WARIS DALAM HUKUM ISLAM” ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan kami juga berterima kasih pada Prof.Dr.H.M.Damrah
Khair,M.A. selaku Dosen mata kuliah Fiqh Mawaris Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka memenuhi
tugas dari mata kuliah fiqh mawaris dan menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai Pewaris dan Ahli Waris dalam Hukum Islam. Kami menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................1
Latar Belakang...........................................................................................................1
Rumusan Masalah......................................................................................................2
Tujuan Penulisan........................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................3
Pengertian Kewarisan Islam.......................................................................................3
Sebab-Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam..................................................4
Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam..............................................5
Rukun Dan Syarat Kewarisan....................................................................................6
Golongan Dan Bagian Warisan..................................................................................8
Kewarisan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam).................................................13
BAB III......................................................................................................................15
PENUTUP.................................................................................................................15
Kesimpulan................................................................................................................15
Daftar Pustaka..........................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan
mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang lazimnya disebut dengan
meninggal dunia.
Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro, hukum waris
diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia (Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu
kepada orang lain (Ahli Waris). Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum
dalam KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh
KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
mengenai Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang
tuanya ketika kedua orang tua atau si pewaris itu telah meninggal dunia. Untuk
melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat
mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum
kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan,
dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Kewarisan Islam?
2. Apa sajakah Sebab-Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam?
3. Apa sajakah Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam?
4. Apa sajakah Rukun Dan Syarat Kewarisan?
5. Bagaimanakah Golongan Dan Bagian Warisan?
6. Bagaimanakah Kewarisan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Kewarisan Islam
2. Mengetahui Sebab-Sebab Adanya Hak Kewarisan Dalam Islam
3. Mengetahui Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam
4. Mengetahui Rukun Dan Syarat Kewarisan
5. Mengetahui Golongan Dan Bagian Warisan
6. Mengetahui Kewarisan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,.ed.3 .( jakarta:
balai pustaka 2001).,hlm. 1386.
2
Munawwir,ahmad warson, Kamus Al Munawwir, (Pustaka Progressif, Surabaya,
thun1997,), hlm. 1634
3
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), hlm.3
4
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), hlm 13.
5
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), hlm. 4
3
(al-mafqud), dan tidak tahu kabar beritanya setelah melalui pencaharian
dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan
bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
2) Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah
diambil untuk keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah),
pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
3) Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini
berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak
bisa dibagi-bagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
4) Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia
sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan
utang, dan pelaksanaan wasiyat yang dilakukan oleh orang yang
meninggal ketika masih hidup.6
Hukum waris di indonesia ada tiga yaitu:
a. Hukum waris adat
b. Hukum waris perdata
c. Hukum waris islam
Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-beda.
4
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh adanya
akad nikah yang sah antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetagui hubungan
kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula
diketahui hungan kekerabatan ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya,
kebawah, kepada anak beserta keturunanya. Dari hubungan kerabat yang demikian,
dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bilamana
seorang mninggal dunia dan meninggalkan harta warisan.
Hubungan kerabata tersebut, bila dianalisis pengelompokannya menurut
Hazairin yang mengelompokannya kedalam tiga kelompok ahli waris, yaitu dzawul
faraid, dzawul qarabat dan mawali. Yang dimaksud mawali ialah ahli waris
pengganti, atau dapat juga diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris
dikarenakan tidak lagi penghubung antara mereka dengan pewaris. Demikian
pendapat ahlus sunna yang mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul
faraid, ashabah, dan dzawul arham.
b. Hubungan Perkawinan.
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami
meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk
ahli warisnya demikian pula sebaliknya .
c. Al-Wala’ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak)
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir ini,
agaknya jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang
pertama disebut dengan wala’ al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua
disebut dengan wala’ al-mualah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesedihan
seseorang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian
perwalian. Orang yang memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut dengan
al-mu’tiq dan jika perempuan al-mu’tiqah. Wali penolong disebut maula’ dan orang
yang ditolong yang disebut dengan mawali.
5
Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya adalah 1/6 dari
harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada
hamba sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan
salah satu keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada al-
mu’tiq dan atau al-mu’tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan motifasi
kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak
hamba sahaya menjadi orang yang merdeka.7
7
Op. Cit, Ahmad Rofiq hlm. 45
8
Muhammad Muslih, Fiqih, (Bogor: Yudhistira, thun 2007) hlm. 126
9
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika tahun 2007) hlm.
112.
6
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari
pewaris yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu
Hurairah yang di riwayatkan oleh Ibn Majah, bahwa seseorang yang
membunuh pewarisannya tidak berhak menerima warisan dari orang
yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa pembunuhan
menggugurkan hak kewarisan.10
d. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama
Islam, dan tidak dapat menerima harta pusaka dari keluarganya yang
muslim. Begitu pula sebaliknya.11
10
Ibid. hlm.113.
11
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan Sunnah ( Jakarta:
Cv Diponegoro, thun 2004) hlm.64
12
Muhammad Daut Ali, Asas Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali press thn 1990) hlm. 129
7
b. Adanya ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau
menerima harta penenggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab),atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalankan pewaris baik berupa uang, tanah.
Adapun syarat waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan.
Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
a. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang, yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan
menjadi 3 macam:
1) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan
oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan
alat bukti yang jelas dan nyata.
2) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).
Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya
beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis
muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun terdapat kemungkinan
muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah,
apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun,
sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain,
terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari
berbagai macam segi kemungkinannya.
3) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)
berdasarkan dugaan yang sangat kuat, misalnya dugaan seorang ibu
8
hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya
lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan kuat kematian itu
diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
b. Waris (ahli waris) yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya.
Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui
benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling
mewarisi.13
c. Al-Mauruts Adalah segala sesuatu harta benda yang menjadi warisan. Baik
berupa harta atau hak yang termasuk dalam kategori warisan.
13
Long. Cit, Ahmad Rofiq, hlm. 28
9
b. Ada tujuh ahli waris dari dari kalangan perempuan
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki-laki
3) Ibu
4) Nenek
5) Saudara perempuan
6) Istri
7) Tuan wanita yang memerdekakan budak
c. Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan
mendapatkan hak waris
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah
5) Anak yang langsung dari pewaris14
14
Mustafa Bid Al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir thun 2009) hlm. 327
10
10) Anak laki-laki paman
11) Jika Ashabah tidak ada, maka tuan yang memerdekakan budaklah yang
mendapatkannya.15
Ketentuan bagian masing-masing ahli waris dzawil al-furudl (Ashab al-
furudl) diperoleh dari al-Qur’an dan hadits. Sebagaimana telah disebutkan dalam
Al-Qur’an, ahli waris Ashab al-furudl terdiri dari 12 orang,yaitu: suami, istri, anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki laki, bapak, ibu, nenek, kakek, saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak, saudara laki-laki dan
perempuan seibu.
1) Suami
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 12, yang menentukan bagian suami
menjadi 2 macam, yaitu:
a) ½, jika pewaris tidak memiliki keturunan baik laki-laki maupun
perempuan baik itu dari suami tersebut atau bukan.
b) ¼, jika pewaris memiliki keturunan baik laki-laki maupun
perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-lakinya baik itu dari
darah dagingnya atau pun dari suaminya yang lain.
2) Istri
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 12 menentukan bagian suami menjadi 2
macam, yaitu:
a) ¼, jika tidak ada anak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
b) 1/8, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
3) Anak perempuan
15
Ibid., hlm. 328
11
a) 2/3, apabila ada 2 anak perempuan atau lebih itu tidak memiliki
saudara laki-laki yaitu anak laki-laki dari si pewaris.
b) ½, jika anak perempuan hanya seorang diri dan tidak ada
saudara laki laki .
c) Ashabah, bila anak perempuan bersamaan dengan adanya
saudara laki-laki (anak laki-laki).
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki
5) Bapak
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11 menentukan bagian bapak
menjadi 3 macam, yaitu:
12
c) Jika apak bersama ibu:
6) Ibu
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 11 menentukan bagian ibu menjadi
2 macam, yaitu:
a) 1/3, jika tidaak ada anak atau cucu atau tidak ada saudara
(pewaris) dua orang atau lebih.
b) 1/6, jika ada anak atau cucu atau ada saudara (pewaris) dua
orang atau lebuh.
7) Kakek dan Nenek
a) 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari
anak laki).
b) 1/6 + sisa, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan, dan
tidak ada far’un (cabang) waris laki-laki.
c) Ashabah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada far’un).
d) Muqosamah.
13
Adapun bagian nenek apabila tidak termahjub oleh ibu, yaitu:
a) ½, jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sekandung yang menariknya menjadi
‘ashabah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sekandung dua orang atau lebih,
tanpa ada saudara sekandung laki-laki.
c) Ashabah, jika ada saudara sekandung laki-laki.
d) Ashabah ma’al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
9) Saudara Sebapak
a) ½, jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sebapak yang menariknya menjadi ashabah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih,
tanpa ada saudara sebapak laki-laki.
c) Ashabah, jika ada saudara sebapak laki-laki.
d) Ashabah ma’al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
14
e) Tanpa ada saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan
sebapak mendapat 1/6, jika ada seorang saudara perempuan
sekandung sebagai pelengkap 2/3, sebagaimana cucu
perempuan (dari anak laki-laki) bersama dengan anak
perempuan.
10) Saudara Seibu
15
1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat para pewaris.
2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.16
16
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: CV. Akademika Pressindo thn 2007), hlm.. 156
16
a) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian
b) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda
atau duda bila bersama sama dengan ayah.17
BAB III
PENUTUP
17
Ibid. hlm.157
17
A. Kesimpulan
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi
para ahli warisnya dan juga berbagai aturan tentang perpindahan hak milik, hak milik
yang dimaksud adalah berupa harta, seseorang yang telah meninggal dunia kepada
ahli warisnya.
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan
kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli
warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan pada
asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah dengan sendirinya menurut ketetapan Allah
swt tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.
Hukum dalam kewarisan islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah
meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Pada prinsipnya sesuatu yang di tinggalkan leh rang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan atau warisan. Termasuk didalamnya bersangkutan
dengan utang piutang baik utang piutang itu berkaitan dengan pkk hartanya (seperti
harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit) juga didalamnya
terdapat harta yang akan di turunkan kepada para ahli waris yang sah.
Dalam pengertian waris dapat disimpulkan bahwa subyek waris yaitu pewaris
atau ahli waris, peristiwa kematian yang menjadi sebab timbulnya waris. Hubungan
waris yaitu peralihan hak dan kewajiban pewaris kepada ahli waris, bjek waris yaitu
harta warisan peninggalan almarhum. Semua itu di atur leh hukum waris. Jika
dirumuskan maka “Hukum waris adalah segala pengaturan hukum yang mengatur
tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau
rang yang di tunjuk”.
Daftar Pustaka
18
Ahmad Aarson, Munawwir. 1997. Kamus Al Munawwir, Pustaka Progressif,
Surabaya.
Ahmad Saebani, Beni. 2012. Fiqih Mawaris, Bandung :Pustaka Setia .
Rofiq Ahmad. 2005. Fiqh Mawaris, Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada.
As-Shabuni, Muhammad Ali. 2004. Hukum Kewarisan Menurut AlQur‟an Dan
Sunnah, Jakarta: Cv Diponegoro.
19