Anda di halaman 1dari 21

MEKANISME DAN SISTEMATIKA PERSIDANGAN PERADILAN PERDATA

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Peradilan
Agama

Dosen Pengampu : Ahmad Burhanuddin,S.H.I.,M.H.I

Disusun Oleh :

Ahmad Ammar Ramadhon (1921030551)

Aulia Zahara (1921030548)

M Syafi’i (1921030369)

Raka Nuary (1921030570)

Siska Aryanti (1921030530)

Kelas K – Semester 5

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat allah swt. karena dengan rahmat,karunia serta taufik dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Mekanisme dan sistematika
persidangan peradilan perdata” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya
dan kami juga berterimakasih kepada bapak Ahmad Burhanuddin,S.H.I.,M.H.I selaku
dosen mata kuliah hukum acara perdata dan peradilan agama universitas islam negeri raden
intan lampung yang telah memebrikan tugas ini kepada penulis.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka memenuhi tugas dari
matakuliah hukum acara perdata dan peradilan agama dan menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai mekanisme dan sistematika persidangan peradilan perdata.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaiakn di
masa depan.

Bandar Lampung, 21 November 2021

penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang.............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2

BAB II................................................................................................................................3

PEMBAHASAN................................................................................................................3

1. Pengertian Hukum Acara Perdata................................................................................3


2. Mekanisme Peradilan Perdata......................................................................................4
3. Sistematika Hukum Perdata.........................................................................................5
4. Proses Persidangan Perdata Di Pengadilan Negeri......................................................10

BAB III..............................................................................................................................14

PENUTUP.........................................................................................................................14

Kesimpulan.........................................................................................................................14

Daftar Pustaka..................................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Manusia saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi


kebutuhan dan kepentingannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi dalam kehidupan
bermasyarakat tidak terlepas dari adanya kekhilafan, kesalahan, dan kejahatan yang
dampaknya dapat mengganggu kepentingan dan hak-hak orang lain. Artinya kehidupan tidak
selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan, karena sebagai individu setiap manusia tetap
mempunyai perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu permasalahan yang disebut
sengketa atau konflik. Tentu saja, orang yang merasa dirugikan orang lain dan ingin
mendapatkan kembali haknya, dan harus berupaya melalui prosedur yang berlaku yaitu
menggugat melalui pengadilan.

Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua pihak, yaitu
penggugat dan tergugat. Jika di dalam masyarakat terjadi sengketa yang tidak dapat
diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka pihak yang dirugikan haknya dapat
mengajukan gugatan. Pihak ini disebut penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.

Selanjutnya proses di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan mengajukan


gugatan ke pengadilan yang berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan, juga harus
memperhatikan surat gugatan yang biasa diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh
ketua pengadilan atau oleh hakim. Apabila dalam pengajuan gugatan ke PN dan gugatan
dinyatakan diterima oleh pihak PN, maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata,
perdamaian selalu diusahakan sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan.

Berdasarkan ketentuan di atas upaya penyelesaian suatu kasus hukum dapat dilakukan
di luar pengadilan meskipun kasus tersebut telah disidangkan di pengadilan. Karena pada
dasarnya dalam suatu proses persidangan perkara perdata, hal pertama yang dilakukan oleh
majelis hakim adalah mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Yang Di Maksud Dengan Hukum Acara Perdata?
2. Bagaimana Mekanisme Peradilan Perdata?
3. Bagaimana Sistematika Hukum Perdata?
4. Bagaimana Proses Persidangan Perdata Pada Tingkat Pertama Di Pengadilan
Negeri?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hukum Acara Perdata
2. Untuk Mengetahui Mekanisme Peradilan Perdata
3. Untuk Mengetahui Sistematika Hukum Perdata
4. Untuk Mengetahui Proses Persidangan Pada Tingkat Pertama Di Pengadilan
Negeri

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Acara Perdata

Memahami Hukum Acara Perdata haruslah terlebih dahulu memahami apa


yang dimaksud dengan hukum, dan apakah hukum perdata itu. Meskipun hingga
sekarang tidak ada pengertian yang seragam tentang hukum, paling tidak jika
berbicara hukum ada 4 unsur yang harus ada, yaitu; unsur peraturan, unsur dibuat oleh
pihak yang berwenang, unsur diberlakukan ditengah masyarakat, unsur adanya sanksi
dan sifatnya yang memaksa. Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi
semua hukum ‘privat materil” yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan.

Hukum Acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur


proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (pengadilan) sejak dimajukannya
gugatan, dilaksanakannya gugatan, sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

WirjonoProdjodikoro merumuskan Hukum Acara Perdata itu sebagai


rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak
terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak,
satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Prof. Dr. SudiknoMertokusumo, SH mendifinisikan Hukum Acara Perdata


sebagai peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
Hukum Perdata materil dengan perantaraan hakim Singkatnya dalam peraturan
Hukum Acara Perdata ini diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya
kepada Hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak yang terserang (tergugat)
mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang
berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga dapat
diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan keputusan hakim dan
sebagainya, sehingga hak dan kewajiban orang seperti telah diatur dalam hukum
perdata itu berjalan sebagaimana mestinya.

Dengan adanya peraturan Hukum Acara Perdata ini orang dapat memulihkan
kembali haknya yang telah dirugikan atau terganggu melalui suatu mekanisme resmi

3
(pengadilan) dan menghindarkan tindakan main hakim sendiri. Untuk tercapainya
tujuan ini, maka pada umumnya peraturan-peraturan hukum acara perdata ini bersifat
memaksa (dwingendrecht), karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum,
meskipun ada juga bagian dari peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat
pelengkap (aanvullendrecht)

Hukum Acara Perdata merupakan salah satu bagian dari hukum privat yang
mengatur kepentingan perseorangan (bijzondere belangen). Konsekuensi yuridis yang
ditimbulkan adalah hakim harus adil dalam memeriksa perkara. Dengan kata lain,
hakim harus memperlakukan kedua belah pihak yang berpekara dalam kapasitas yang
sama, tidak memihak, dan mendengar keterangan dari kedua belah pihak tersebut.
Konkritnya pengadilan mengadili menurut hukum dengan tanpa membeda-bedakan
orang (Pasal 4 ayat (1) Undang Undang No. 48 Tahun 2009).Mendengar kedua belah
pihak juga disebut “prinsip kesetaraan” atau ”audi et alteram partem”. Prinsip kedua
pihak berhak atas proses atas proses pemeriksaan di pengadilan (audi et alteram
partem) bila prinsip tersebut tidak ditunjang oleh proses pemeriksaan yang memadai,
dapat menimbulkan keputusan yang tidak fair. Dengan aturan yang mengatur hak
kedua belah pihak untuk didengar oleh Hakim, harus ada keseimbangan kepentingan
tergugat dan penggugat dan hak diadili tidak boleh dirusak dengan fakta tergugat
tidak dapat menghadap pengadilan.1

Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak saja sebagai keterangan yang benar, bila pihak lawan tidak diberi kesempatan
untuk didengar keterangan atau pendapatnya. Hal ini juga bermakna bahwa pengajuan
alat bukti harus dilakukan di muka siding yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal
132a, 121 ayat (2) HIR, 145 ayat (2), 157 RBg. 47 Rv).

2. Mekanisme Dan Sistematika Persidangan Peradilan Perdata


a. Mekanisme Persidangan Perkara Perdata Gugatan Di Pengadilan Negeri
a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum
b. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang
c. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa
surat ijin praktik dari organisasi advokat

1
Lilik Mulyadi,Hukum acara perdata,cet.3 jakarta:2005 hlm 21

4
d. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk
menyelesaikan dengan perkara secara damai
e. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari
luar (lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008)
f. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan
pembacaan surat gugat oleh penggugat/kuasanya
g. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam
bentuk akta perdamaian yang bertitel Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yme
h. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat;
(jawaban berisi eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan
rekonvensi)
i. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat
rekonvensi
j. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan
sebagai tergugat rekonvensi
k. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan
intervensi (voeging, vrijwaring, toesenkomst)
l. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan
provisionil, putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat
intervensi)
m. Pembuktian
n. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi
o. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi
p. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat
q. Kesimpulan
r. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia)
s. Pembacaan Pputusan
t. Isi putusan:
1) Gugatan dikabulkan
2) Gugatan ditolak
3) Gugatan tidak dapat diterima

5
u. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima,
pikir-pikir atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama
14 hari
v. Dalam hal ini ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan
dalam waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan
sikap. Apabila waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap
menerima putusan.2
3. Sistematika Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasikan di Indonesia pada


tahun 1848 pada intinya mengatur hubungan hukum antara orang perorangan, baik
mengenai kecakapan seseorang dalam lapangan hukum; mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan kebendaan; mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
perikatan dan hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian dan lewat waktu atau
kadaluarsa.

Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan
berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang
hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal
ini dimungkinkan karena mengacu atau paling tidak mendapatkan pengaruh yang
sama, yaitu dari hukum Romawi ( Code Civil ).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW yang ada dan berlaku di


Indonesia mempunyai sistematika yang terdiri dari 4 buku yaitu :

1. Van Personen ( mengenai orang )


2. Van Zaken ( mengenai Benda )
3. Van Verbinsissen ( mengenai Perikatan
4. Van Bevijs En Verjaring ( mengenai bukti dan kadaluarsa )

Mengenai pembagian Hukum Perdata tersebut sudah barang tentu menimbulkan


berbagaim komentar dan analisis dari para ahli ilmu Hukum, Kansil ( 1993 : 119 )
merasakan, bahwa pembagian sistematika sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
tersebut kurang memuaskan, karena :

2
Https://Www.Surialaw.Com/News/Proses Dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata (Di Akses Pada
Tanggal 21 N0vember 2021)

6
a. Seharusnya KUH Perdata hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai Hukum
Privat Materiil. Dalam KUH Perdata terdapat tiga aturan mengenai Hukum Perdata
Formil, yaitu :

a. Ketentuan mengenai Hukum Pembuktian

b. Ketentuan mengenai lewat waktu extinctief

c. Ketentuan mengenai lewat waktu acquisitief

b. KUH Perdata berasal dari BW yang berasaskan liberalisme dan individualisme,


sehingga perlu dilakukan berbagai perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat Indonesia
c. Hukum waris bukan hanya bagian dari hukum benda, tetapi juga merupakan bagian
dari hukum kekeluargaan
d. Hukum Perdata lebih tepat dibagi menjadi 5 Buku, yaitu :
1. Buku I tentang : Ketentuan Umum
2. Buku II tentang : Perikatan
3. Buku III tentang : Kebendaan
4. Buku IV tentang : Kekeluargaan
5. Buku V tentang : Waris

Berdasarkan materi yang termuat dalam KUH Perdata tersebut, maka agar tidak
membingungkan berikut hal-hal pokok dari setiap Buku yang ada dalam KUH Perdata,
yaitu :

1. Buku I tentang orang antara lain memuat :


a. Subyek hukum atau hukum tentang orang
b. Perkawinan dan hak suami isteri
c. Kekayaan perkawinan
d. Kekuasaan orang tua
e. Perwalian dan Pengampuan
2. Buku II tentang benda yang memuat :
a. Bezit
b. Eigendom
c. Opstal
d. Erfpacht

7
e. Hipotek
f. Gadai
3. Buku III tentang perikatan yang memuat:
a. Istilah perikatan pada umumnya
b. Timbulnya perikatan
c. Persetujuan-persetujuan tertentu, seperti :
1) Jual beli
2) Tukar menukar
3) Sewa menyewa
4) Perjanjian perburuhan
5) Badan Usaha
6) Borgtocht
7) Perbuatan melanggar hukum

4. Buku IV tentang Pembuktian dan lewat waktu yang memuat :


a. Macam-macam alat bukti, seperti :
1) Surat
2) Saksi
3) Persangkaan
4) Pengakuan
5) Sumpah

Sedangkan para ilmu hukum sebagaimana dikemukakan oleh Kansil ( 1994 : 16-17 )
mengemukakan sistematika Hukum Perdata sebagai berikut:

1) Hukum tentang diri seseorang


Hukum tentang diri seseorang ini memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai
subyek dalam hukum; peraturan-peraturan perihal kecakapanuntuk memiliki hak-hak
dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal
yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2) Hukum Kekeluargaan
Hukum kekeluargaan mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul sebagai
akibat dari hubungan kekeluargaan, yaitu:Perkawinan beserta hubungan dalam

8
lapangan hukum kekayaan antara suami isteri, hubungan antara orang tua dan
anak,perwalian dan curatele.
3) Hukum Kekayaan
Hukum kekayaan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang, yaitu segala kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang demikian itu biasanya dapat
dipindahkan kepada orang lain.
4) Hukum Warisaan
5) Hukum warisan adalah hukum yang mengatur tentang benad atau kekayaan seorang
jikalau ia meninggal dunia.Hukum warisan ini juga mengatur akibat-akibat hukum
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.3

Berdasarkan sistematika sebagaimana disebutkan dalam KUH Perdata dan


menurut para ahli ilmu hukum, ternyata Hukum Kekeluargaan yang di dalam KUH
Perdata atau BW dimasukkan ke dalam Hukum tentang diri seseorang, karena
hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapan
seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk mempergunakan hak-
haknya tersebut.Sedangkan Hukum warisan dimasukkan ke dalam hukum tentang
kebendaan, karena dianggap hukum warisan itu mengatur cara-cara untuk
memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang ditinggalkan oleh
seseorang. Sementara itu perihal pembuktian dan lewat waktu sebenarnya adalah soal
hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan ke dalam KUH Perdata, yang pada
asasnya mengatur hukum perdata materiil, tetapi pernah ada pendapat yang
menyatakan bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil dan formil.
Nah persoalan-persoalan yang mengenai alat-alat pembuktian dapat dimasukkan
hukum acara materiil yang dapat diatur dalam suatu undang-undang tentang hukum
perdata materiil.

Sekedar perbandingan mengenai sistematika Hukum Perdata, berikut ini dapat


disajikan sistematika yang ada dan berlaku di negara-negara lain, seperti Sistem

3
Sarwono,hukum acara perdata,teori dan praktik, jakarta: sinar grafika 2012. Hlm 21

9
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perancis dan Jerman sebagaiman
dikemukakan oleh Subekti ( 1990 : 9-10 ), yaitu :

a. Perancis yang termuat dalam Code Civil, yang juga sebagai sumber dari BW
menganut sistematika sebagai berikut :
a) Buku I : Hukum Perseorangan ( perkawinan, keluarga dan sebagainya )
b) Buku II : Tentang barang dan macam-macam kekayaan
desbiensetdesdifferentesmodificationsdelapropiete )
c) Buku III : Tentang berbagai cara untuk memperoleh kekayaan
(desdifferentesmanieresdontonacquiertlapropiete ), yaitu : pewarisan, perjanjian
(termasuk perjanjian perkawinan atau yang dalam bahasa Belanda dinamakan
huwelijkesevoorwaarden ),perbuatan melanggar hukum dan sebagainya, dan juga
tentang gadai dan hipotik dan akhirnya tentang pembuktian

b. Jerman yang dinamakan BurgerlichesGesetzbuch Jerman ( dari tahun 1896 ) terbagi


atas.
a. Buku I : Bagian umum, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang orang,
tentang badan hukum, tentang penegrtian barang, tentang kecakapan
melakukan perbuatan-perbuatan hukum, tentang perwakilan dalam hukum,
tentang daluwarsa dan lain-lain.
b. Buku II : Tentang hukum mengenai hutang-piutang, yang memuat hukum
perjanjian.
c. Buku III: Hukum Benda, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang hak milik
dan hak-hak kebendaan lainnya
d. Buku IV : Hukum Keluarga, yang memuat ketentuan-ketentuan tentang
perkawinan yang dalam codecivil Perancis digolongkan pada hukum
perjanjian; tentang hubungan-hubungan kekeluargaan, kekuasaan orang
tua,perwalian dan sebagainya.
e. Buku V : Hukum waris, yang mengatur soalpewarisan pada umumnya dan
perihal surat wasiat atau testament.

Sementara itu Kansil ( 1993 : 135-136 ) mengemukakan sistematika Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata di negara Swis dan Yunani sebagai berikut :

10
c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swis “ SchwizerichesZivilgesetzbuch” yang
terdiri atas 5 bagian ( Kansil, 1993 :135 ), yaitu :
a) Bagian I : Hukum Orang pribadi
b) Bagian II : Hukum Kekeluargaan
c) Bagian III : Hukum Waris
d) Bagian IV : Hukum Kebendaan
e) Bagian V : Hukum Perikatan

d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Yunani, yang terdiri dari 5 buku


( Kansil,1993:136), yaitu :
a) Buku I : Asas-asas umum
b) Buku II : Hukum Perikatan
c) Buku III : Hukum Kebendaan
d) Buku IV : Hukum Kekeluargaan
e) Buku V : Hukum Waris

Bila kita kaji kembali sejarah perkembangan Hukum Perdata sebagaimana


diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, jelaslah bahwa pada mulanya hukum perdata
berasal dari hukum Romawi yang termuat dalam Corpus Juris Civilis yang terdiri dari
4 bagian sebagaimana dikemukakan oleh Kansil ( 1993 : 97 ), yaitu :

1) Sebagai Manaiones
Yaitu memuat segala sesuatu tentang pengertian (lembaga-lembaga) dalam
Hukum Romawi dan dianggap sebagai himpunan segala macam undang-undang.
2) Pandecta
Yaitu kumpulan pendapat-pendapat para ahli hukum bangsa Romawi yang
termasyhur.
3) Codex
Yaitu Himpunan undang-undang yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas
perintah kaisar Romawi.
4) Novelles

11
Yaitu himpunan tambahan-tambahan pada codex itu dengan pemberian penjelasan-
penjelasan atau komentar.4

5. Proses Persidangan Perdata Pada Tingkat Pertama Di Pengadilan Negeri

Pada garis besar, proses persidangan perdata pada tingkat pertama di Pengadilan
Negeri terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut:

a. Tahap Mediasi

Pada hari sidang yang telah dilakukan oleh Majelis Hakim, Penggugat dan
Tergugat (Para Pihak) telah hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan, wajib untuk upaya perdamaian dengan Mediasi, yaitu suatu cara
penyelesaian melalui proses kesepakatan untuk mencapai kesepakatan Para Pihak
dengan dibantu oleh Mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu Para
pihak yang berperkara dalam perundingan untuk menyelesaikan penyelesaian secara
mufakat. Mediator dapat merupakan seorang Hakim Pengadilan (yang bukan
memeriksa perkara) dan dapat juga merupakan seseorang dari pihak lain yang sudah
memiliki sertifikat sebagai Mediator.

Kewajiban Mediasi ini diatur secara umum dalam Pasal 130 HIR dan secara
khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik
Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kesempatan
Mediasi diberikan oleh Majelis Hakim selama 40 hari, dan apabila masih belum
cukup dapat diperpanjang selama 14 hari. Pada kesempatan tersebut Para Pihak akan
mengajukan apa yang menjadi pertimbangannya secara berimbang untuk
mendapatkan titik temu dalam penyelesaian sengketa secara win-win solution. Jika
dalam proses ini telah tercapai kesepakatan, maka dapat ditandatangani dalam suatu
akta perdamaian yang oleh Para Pihak dan diketahui oleh Mediator. Akta kesepakatan
ini disampaikan kepada Majelis Hakim untuk mendapatkan Putusan Perdamaian.
Akan tetapi sebaliknya, jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai perdamaian
dan kesepakatan, maka Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim yang
menyatakan Mediasi telah gagal dilakukan.

4
Accer,pengkajian hukm perdata belanda,jakarta:dian rakyat hlm 7

12
b. Tahap Pembacaan Gugatan (termasuk Penjelasan, Replik, dan Duplik)

Jika Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan Mediasi gagal dari


Mediator, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu membaca
surat Gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak Penggugat untuk
membacakan surat Gugatannya. Pihak Penggugat pada tahap ini juga diberikan
kesempatan untuk memperbaiki surat Gugatannya jika terdapat kesalahan-kesalahan,
sepanjang tidak mengubah pokok Gugatan, bahkan lebih dari itu pihak Penggugat
dapat mengamankan Gugatannya. Kedua kesempatan tersebut diberikan sebelum
Tergugat mengajukan Jawabannya.

Setelah membaca surat Gugatan, maka secara berimbang kesempatan kedua


diberikan kepada pihak Tergugat atau kuasanya untuk membacakan Jawabannya.
Jawaban yang dibacakan tersebut dapat berisikan hanya bantahan terhadap dalil-dalil
Gugatan itu saja, atau dapat juga berisikan bantahan dalam Ekssepsi dan dalam pokok
perkara. Bahkan lebih dari itu, dalam Jawaban dapat berisi dalam rekonpensi (apabila
pihak Tergugat ingin menggugat balik pihak Penggugat dalam perkara tersebut).

Acara jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai dengan Replik dari pihak
Penggugat dan Duplik dari pihak Tergugat. Replik merupakan penegasan dari dalil-
dalil Penggugat setelah adanya Jawaban dari Tergugat, sedangkan Duplik penegasan
dari bantahan atau Jawaban Tergugat setelah adanya Replik dari Penggugat. Dengan
berlangsungnya acara jawab-menjawab ini sampai kepada duplik, akan menjadi jelas
apa sebenarnya yang menjadi pokok perkara antara pihak Penggugat dan Tergugat.
Jika Jawaban Tergugat terdapat Eksepsi mengenai pengadilan, yaitu pengadilan yang
mengadili perkara tersebut tidak memeriksa perkara yang bersangkutan, maka sesuai
dengan ketentuan Pasal 136 HIR atau Pasal 162 Rbg Majelis Hakim akan
menjatuhkan Putusan Sela terhadap Eksepsi tersebut. Putusan Sela dapat berupa
permohonan Eksepsi dengan konsekuensi yang memulai pemeriksaannya, dan dapat
pula menolak Eksepsi tersebut dengan konsekuensi pemeriksaan perkara yang akan
dilanjutkan dengan tahap berikutnya.

Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak diberi
kesempatan yang sama dalam mengemukakan sesuatu untuk mempertahankan dan
membantah suatu Gugatan terhadapnya. Peluang yang sama juga akan kita lihat ketika
nanti dalam tahap Pembuktian.

13
c. Tahap Pembuktian

Tahap Pembuktian merupakan tahap yang cukup penting dalam semua proses
pemeriksaan perkara, karena dari tahap ini nanti yang akan menentukan apakah dalil
Penggugat atau bantahan yang akan terbukti. Dari alat-alat bukti yang diajukan Para
Pihak, Majelis Hakim dapat menilai peristiwa hukum apa yang terjadi antara
Penggugat dengan Tergugat sehingga terjadi perkara. Dari peristiwa hukum yang
terbukti nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan
diterapkan dalam perkara dan memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam
perkara tersebut.

Untuk membuktikan suatu peristiwa yang diperkarakan, Hukum Acara Perdata


sudah menentukan alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh Pihak di persidangan,
yaitu disebutkan dalam Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg yaitu:

a) Surat
b) Saksi
c) Persangkaan
d) Pengakuan dan
e) Sumpah.

d. Tahap Kesimpulan

Pengajuan Kesimpulan oleh Para Pihak setelah selesai acara Pembuktian tidak
diatur dalam HIR maupun dalam Rbg, tetapi akan mengajukan kesimpulan ini timbul
dalam praktek persidangan. Dengan demikian, sebenarnya jika ada pihak yang tidak
mengajukan Kesimpulan, merupakan hal yang diperbolehkan. Bahkan beberapa pihak
menyatakan secara tegas untuk tidak menyimpulkan, tetapi memohon kepada Hakim
untuk memutus dengan seadil-adilnya. Sebenarnya, proposal pengajuan Kesimpulan
sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa hukum Para Pihak, karena melalui kesimpulan
inilah seorang kuasa hukum akan menganalisis dalil-dalil Gugatannya atau dalil-dalil
Jawabannya melalui Pembuktian yang diperoleh selama persidangan. Dari analisis
yang dilakukan itu akan mendapatkan suatu kesimpulan apakah dalil Gugatan atau
tidak, dan kuasa Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar gugatan

14
dikabulkan. Sebaliknya kuasa Tergugat memohon kepada Majes Hakim agar gugatan
Penggugat ditolak.

Bagi Majelis Hakim yang akan memutuskan perkara, Kesimpulan sangat membantu
dalam merumuskan pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai analisis
hukum Kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum Para Pihak, dan akan dijadikan
bahan pertimbangan dalam Putusan, apabila analisis tersebut cukup rasional dan
beralasan hukum.

e. Tahap Putusan

Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka sampailah


pada proses dan tahapan terakhir, yaitu membaca Putusan. Menurut Sudikno
Mertokusumo, Put Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh, sebagai pejabat negara
yang berwenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara Para Pihak. Selanjutnya dikatakan,
bahwa suatu putusan Hakim terdiri dari 4 (empat) bagian, yaitu:

a) Kepala Putusan
b) Identitas Para Pihak
c) pertimbangan

Setiap Putusan pengadilan harus memiliki kepala pada bagian atas Putusan
yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” . Kepala
Putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan.

Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan.


Pertimbangan ini dibagi menjadi dua yaitu, Pertimbangan tentang duduknya perkara
dan Pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan Putusan sering dibuat dengan
huruf kapital dengan judul “Tentang Duduknya Perkara Dan Tentang Pertimbangan
Hukum“. Didalam Pertimbangan duduk tentangnya perkara memuat isi surat Gugatan
Penggugat, isi surat Jawaban Tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat bukti
yang diperiksa di persidangan, baik alat bukti dari pihak Penggugat maupun alat bukti
dari pihak Tergugat. Jika terdapat saksi yang diperiksa, maka nama saksi dan seluruh
keterangan tersebut dicantumkan dalam Pertimbangan ini, sedangkan pertimbangan

15
hukum suatu putusan perkara perdata adalah pekerjaan ilmiah dari seorang Hakim,
karena melalui Pertimbangan hukum inilah Hakim akan menerapkan hukum ke dalam
peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Biasanya pertimbangan hukum
ini diuraikan secara sistematis, dimulai dengan mempertimbangkan dalil-dalil
Gugatan yang sudah terbukti kebenarannya karena sudah diakui oleh Tergugat atau
tidak-tidaknya tidak dibantah oleh Tergugat. Setelah merumuskan hal yang telah
terbukti tersebut, maka akan dirumuskan pokok perkara berdasarkan bantahan
Tergugat.

Pokok perkara akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan oleh Para
pihak. Pertama akan diuji dengan bukti surat atau akta autentik/dibawah tangan yang
diakui kebenarannya. Bukti Surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan saksi-saksi
yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara demikian, maka Hakim akan
mendapatkan Kesimpulan dalam pokok perkara, mana yang benar di antara dalil
Penggugat atau dalilnya Tergugat. Bila yang benar menurut Pertimbangan hukum
adalah dalil Penggugat, maka Gugatan akan dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah
pihak yang menang perkara. Sebaliknya berdasarkan pertimbangan hukum putusan
putusan-dalil Gugatan Pengugat tidak terbukti, dan justru dalil Jawaban Tergugat
yang terbukti, maka Gugatan akan ditolak, sehingga pihak Tergugat yang menang
dalam perkara tersebut.

Jadi, bila ditinjau dari menang-kalahnya Para Pihak, maka Putusan perkara
perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Gugatan dikabulkan dan Gugatan ditolak,
selain kedua Putusan tersebut, terdapat 1 (satu) jenis Putusan lain, yaitu Putusan
Gugatan tidak dapat diterima. Setelah diucapkan oleh Hakim, maka kepada Para
Pihak akan diberitahukan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika tidak
menerima Putusan tersebut.5

5
https://doktor hukum,com /jangka waktu penyelesaian gugatan perdata di pengadilan negeri (di
akses tanggal 21 November 2021)

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Mekanisme Dan Sistematika Persidangan Peradilan Perdata


1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum
2. Para pihak (penggugat dan tergugat) diperintahkan memasuki ruang sidang
3. Para pihak diperiksa identitasnya (surat kuasanya), demikian pula diperiksa surat ijin
praktik dari organisasi advokat
4. Apabila kedua belah pihak lengkap maka diberi kesempatan untuk menyelesaikan
dengan perkara secara damai
5. Ditawarkan apakah akan menggunakan mediator dari lingkungan PN atau dari luar
(lihat PERMA RI No.1 Tahun 2008)
6. Apabila tidak tercapai kesepakatan damai maka sidang dilanjutkan dengan pembacaan
surat gugat oleh penggugat/kuasanya
7. Apabila perdamaian berhasil maka dibacakan dalam persidangan dalam bentuk akta
perdamaian yang bertitel Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yme
8. Apabila tidak ada perubahan acara selanjutnya jawaban dari tergugat; (jawaban berisi
eksepsi, bantahan, permohonan putusan provisionil, gugatan rekonvensi)
9. Apabila ada gugatan rekonvensi tergugat juga berposisi sebagai penggugat rekonvensi
10. Replik dari penggugat, apabila digugat rekonvensi maka ia berkedudukan sebagai
tergugat rekonvensi
11. Pada saat surat menyurat (jawab jinawab) ada kemungkinan ada gugatan intervensi
(voeging, vrijwaring, toesenkomst)
12. Sebelum pembuktian ada kemungkinan muncul putusan sela (putusan provisionil,
putusan tentang dikabulkannya eksepsi absolut, atau ada gugat intervensi)
13. Pembuktian
14. Dimulai dari penggugat berupa surat bukti dan saksi
15. Dilanjutkan dari tergugat berupa surat bukti dan saksi
16. Apabila menyangkut tanah dilakukan pemeriksaan setempat
17. Kesimpulan
18. Musyawarah oleh Majlis Hakim (bersifat rahasia)
19. Pembacaan Pputusan
20. Isi putusan:
21. Gugatan dikabulkan
22. Gugatan ditolak
23. Gugatan tidak dapat diterima
24. Atas putusan ini para pihak diberitahu hak-haknya apakah akan menerima, pikir-pikir
atau akan banding. Apabila pikir-pikir maka diberi waktu selama 14 hari
25. Dalam hal ini ada pihak yang tidak hadir maka diberitahu terlebih dahulu dan dalam
waktu 14 hari setelah pemberitahuan diberi hak untuk menentukan sikap. Apabila
waktu 14 hari tidak menentukan sikap maka dianggap menerima putusan.

17
Daftar Pustaka

Lilik Mulyadi, 2005, Hukum acara perdata,cet.3 jakarta

Sarwono, 2012. hukum acara perdata,teori dan praktik, jakarta: sinar grafika. Hlm 21

Accer,pengkajian hukum perdata belanda,jakarta:dian rakyat

Https://Www.Surialaw.Com/News/Proses Dan Tahapan Persidangan Perkara Perdata (21


N0vember 2021)

https://doktor hukum,com /jangka waktu penyelesaian gugatan perdata di pengadilan negeri


(21 November 2021)

18

Anda mungkin juga menyukai