Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“HAK WARIS DALAM KASUS JANIN”

Makalah Ini Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqih Mawaris

DOSEN PENGAMPU
H. Ali Ambar, Lc., M.Pd.I

DISUSUN OLEH
Muhammad Rezki

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)


BENGKALIS

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Segala puji bagi Allah SWT, Yang telah memberikan kami kesempatan dan kesehatan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Salam dan salawat semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, beserta
keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.
Makalah ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas kuliah. Kami
berharap penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak manfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan kita. Kami selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan manfaat positif bagi kita
semua, khususnya kami selaku penulis.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bengkalis, Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 3
C. Tujuan ................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Warisan................................................................................. 4
B. Faktor-Faktor Hukum Waris.................................................................. 6
C. Hak Waris dalam Kasus Janin................................................................ 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan
mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang lazimnya disebut dengan
meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang
sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana tentang pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.1 Menurut pakar
hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro, hukum waris diartikan sebagai hukum yang
mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia
(Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (Ahli
Waris).

Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH Perdata,


namun tata cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata.
Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia, pengertian hukum waris adalah
hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan Pewaris,
lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa besar bagian
masing-masing.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang
tuanya ketika kedua orang tua atau si pewaris itu telah meninggal dunia. Untuk
melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat
mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu.

Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya


tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud
tidak menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap
harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan
perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud. Hukum

1
kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan
peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum kewarisan ada tiga
unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta peninggalan, dan ahli waris.

Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hukum,
sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok.3 2 Muhammad
Amin Suma. “Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan Konteks”,
2013, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada 3 Anshary MK,”Hukum Kewarisan Islam
dalam teori dan Praktik”, yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2017, hlm 2 3 Pada prinsipnya
kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal
tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Hal
tersebut dinyatakan dalam Pasal 830 Bab XII KUHPerdata yang isinya bahwa
pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

Mengenai kaidah positif yang mengatur perihal kewarisan negara Indonesia


belum mempunyai hukum waris nasional. Sehingga terdapat pluralistik tentang
hukum waris di Indonesia, yang meliputi tiga kaedah hukum yang mengatur perihal
kewarisan, yaitu hukum Adat, hukum Islam, Hukum Perdata Barat. Pengaturan
mengenai pemindahan kekayaan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya. Baik dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga berdasarkan hukum waris barat diatur dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) atau KUHPerdata.1

Dalam hukum pewarisan. Unsur-unsur pewarisan terbagi menjadi beberapa


macam, yaitu : Pewaris, Warisan, dan Ahli Waris. Pewaris adalah orang yang memberi
pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta
kekayaan. Adapun harta warisan ini kemudian diadakan pembagian yang berakibat
para waris dapat menguasai dan memiliki bagian-bagian tersebut untuk dinikmati,
diusahakan, ataupun dialihkan kepada sesama waris, anggota kerabat, ataupun orang
lain. Begitu pewaris wafat, harta warisan harus segera dibagikan atau dialihkan
kepada ahli warisnya. Pasal 833 KUHPerdata menyatakan bahwa sekalian ahli waris
dengan sendirinya secara hukum memperoleh hak waris atas barang, segala hak, dan
segala piutang dari pewaris. Berkaitan dengan hak tersebut setiap ahli waris dapat
1
Caulson dalam Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 111. 14

2
menuntut agar harta warisan yang belum dibagikan untuk segera dibagikan, meskipun
ada perjanjian yang bertentangan dengan itu.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan mawaris?
2. Apa saja faktor-faktor dalam menerima waris?
3. Bagaimana hak waris dalam kasus janin?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian mawaris
2. Untuk mengetahui faktor-faktor dalam menerima waris
3. Untuk mengetahui bagaimana hak waris dalam kasus janin

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Mawaris

Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yurisu-warisan yang berarti
berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun
dalam al-Quran ditemukan banyak kata warasa yang berarti menggantikan
kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-
miras menurut istilah ulama’ ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa
harta, tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i. 2

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan


hukum kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan hukum al-mawaris.
Menurut Mahally, lafaz faraid merupakan jamak (bentuk umum) dari lafaz faridah
yang mengandung arti mafrudah, yang sama artinya dengan muqadarah yaitu sesuatu
yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang
terdapat dalam al-Quran, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan
bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu hukum ini dinamakan dengan faraid.
Kewarisan (al-miras) yang disebut faraid berarti bagian tertentu dari harta warisan
sebagaimana telah diatur dalam al-Quran dan al-Hadits.

Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan


seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan
bagian-bagian yang telah ditetapkan.3 Penggunaan kata hukum awalnya mengandung
arti seperangkat aturan yang mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang
mengandung arti dasar hukum yang menjadi rujukan, dengan demikian dengan segala
titik lemahnya, hukum kewarisan Islam dapat diartikan dengan seperangkat peraturan
tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ikhwal peralihan harta
atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan
diyakini berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam.

2
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011), hlm. 17.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hm. 6.

4
Dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian hukum
kewarisan, yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, dan menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris dan masing-masing bagiannya. Prof. T.M. Hasby As-Shid dalam bukunya
hukum islam yang berjudul fiqh mawaris (Hukum Waris Islam) telah memberikan
pemahaman tentang pengertian hukum waris menurut islam ialah: "Ilmu yang dengan
dia dapat diketahui orang-orang yang menjadi ahli waris dalam islam, orang yang
tidak dapat mewarisi harta warisan menurut islam, kadar yang diterima oleh masing-
masing ahli waris dalam islam serta cara pengambilannya" Syariat Islam menetapkan
aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil.

Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-
laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang
pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab
terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman,
cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.

Oleh karena itu, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan
pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat AlQur’an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian
disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan
dibenarkan AlIah Subhanallahu wa Ta’ala. Di samping bahwa harta merupakan
tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.

5
B. Faktor-Faktor Penerima Waris

Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga,
yaitu: Hubungan kekerabatan (al-qarabah), Hubungan perkawinan atau semenda (al-
musaharah), Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya (al-
wala') Namun untuk sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku Iagi
untuk sekarang, karena praktik perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah SAW.

1. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah). Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang


telah mati kepada yang masih hidup adalah adanya hubungan kekerabatan antara
keduanya. Adapun hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah
yang ditentukan pada saat adanya kelahiran. Jika seorang anak lahir dari seorang ibu,
maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkan.
Bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya maka dicari pula hubungan
dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara
hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu melahirkan, maka hubungan
kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah yang menyebabkan
kelahirannya. Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan Oleh
adanya akad nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan
melahirkan).
Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan
kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan
ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak dan
seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara beserta
keturunannya. Dari hubungan kekerabatan yang demikian, dapat juga diketahui
struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan.
2. Hubungan Perkawinan (al-musharah) Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai
penyebab hak adanya perkawinan, hal ini dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12,
yang intinya menjelaskan tentang hak saling mewarisi antara orang yang terlibat
dalam tali pernikahan yaitu suamiistri16 . Syarat suami-istri saling mewarisi di
samping keduanya telah melakukan akad nikah secara sah menurut syariat. Juga
antara suami-istri yang berakad nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah
seorang dari keduanya meninggal dunia.

6
3. Memerdekakan Budak Atau Hamba Sahaya (al-Wala') 13 Caulson dalam Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,. Adapun al-wala' yang pertama disebut
dengan wala ' al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala'
al-muwalah, yaitu wala' yang timbul akibat kesediaan orang untuk tolong menolong
dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian18 . Adapun bagian orang yang
memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6 dari harta peninggalan.
Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, maka
jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu keberhasilan
misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada almufiq atau al-mu 'ttqah salah
satu tujuannya adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja yang mampu,
agar membantu dan mengembalikan hak-hak hamba menjadi orang yang merdeka.

Apabila warisan yang diberikan adalah karena bencana, baik dalam bentuk
terbakar, tenggelam dan tertimpa bencana lainnya, maka Kaidah yang berlaku dalam
pembagian hak waris orang tersebut dengan menentukan mana di antara mereka yang
lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui dengan pasti, pembagian
waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada orang
yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian)
meninggal, maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang
berhak. Begitulah seterusnya.

Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan


lalu yang seorang meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah
beberapa saat kemudian, maka yang mati kemudian inilah yang berhak menerima hak
waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak setelah kematian saudaranya
yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak mewarisi,
yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.

Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara


bersamaan kemudian mati tanpa diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka
tidak ada hak waris di antara keduanya atau mereka tidak saling mewarisi. Hal ini
sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh yang menyebutkan:
"Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam

7
secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun
reruntuhan, serta yang meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."

Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan dalam mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada
segera dibagikan kepada ahli waris dari kerabat yang masih hidup.

Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu
meninggalkan istri, anak perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan
yang satunya lagi meninggalkan dua anak perempuan, dan anak laki-laki paman
kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka pembagiannya seperti berikut: istri
mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama setengah (1/2),
dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah. Adapun bagian kedua anak
perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya merupakan bagian
sepupu tadi sebagai 'ashabah.

C. Hak Waris Dalam Kasus Janin

Agama Islam memiliki aturan dalam setiap langkah kehidupan umat islam
agar terjaganya hak-hak setiap manusia bahkan sebelum manusia itu lahir ke dunia,
sedangkan dia masih berupa janin di dalam rahim ibunya. Bentuk penjagaan hak-hak
tersebut adalah Islam menjaga haknya dalam hal kewarisan. Sebagai contoh, jika
terdapat seorang perempuan yang sedang hamil, dan janin di dalam kandungannya
merupakan termasuk ahli waris, maka janin yang berada di dalam kandungan tersebut
seperti halnya dia hidup bersama ahli waris yang lain. Syariat Islam menjaga hak
waris janin tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah harta warisan dibagi kecuali janin di dalam
kandungan tersebut telah lahir ke dunia. Kecuali jika ahli waris yang lain
membutuhkan warisan tersebut dan terdapat kemaslahatan jika harta warisan tersebut
dibagi , maka para ulama memberikan jalan keluar yaitu dengan cara pembagian harta
warisan dengan tetap menjaga hak waris janin dalam kandungan tersebut. Pada ilmu
waris, telah dijelaskan syarat-syarat tertentu terhadap pembagian warisan, jika syarat-
syarat tersebut telah terpenuhi maka proses waris-mewarisi dapat dilaksanakan.

8
Adapun syarat – syarat tersebut adalah ahli waris dinyatakan hidup pada saat
meninggalnya pewaris. Pada saat menentukan ahli waris yang berhak atau tidak
berhak menjadi ahli waris serta dalam menentukan hak-hak dan kewajiban ahli waris
terhadap harta peninggalan kerabatnya yang telah meninggal banyak menimbulkan
masalah-masalah, di mana salah satunya tentang kedudukan anak dalam kandungan
yang menjadi ahli waris, karena apabila seseorang meninggal dunia, dan dia
meninggalkan ahli waris perempuan yang sedang hamil, misalnya istri , ibu, anak
perempuan, menantu perempuan, saudara perempuan dan yang lainnya, maka ada
tugas pembagian kewarisan yang harus diselesaikan.

Permasalahan ini adalah hubungan kewarisan antara pewaris (orang yang telah
meninggal dunia) dengan anak dalam kandungan kerabatnya tersebut.4Seorang anak
yang masih berada dalam kandungan ibunya tidak dapat dipastikan saat dilahirkan
nantinya dalam keadaan hidup atau tidak, serta belum dapat ditentukan bayi tersebut
yang ada dalam kandungan berjenis kelamin laki-laki atau berjenis kelamin
perempuan. Untuk itu juga masih belum dapat dipastikan apakah anak dalam
kandungan ibunya tersebut kembar atau tidak, sedangkan hal tersebut (keadaan hidup,
mati dan jenis kelamin laki-laki atau perempuan serta kembar atau tidaknya)
sangatlah penting, artinya dalam proses pelaksanaan pembagian harta warisan si
pewaris (termasuk dalam menentukan porsi atau bagiannya). Di antara ahli waris yang
berhak menerima warisan adalah anak.

Anak laki-laki maupun anak perempuan merupakan ahli waris, bahkan mereka
adalah ahli waris yang paling dekat dengan pewaris. Namun, sering menjadi persoalan
dan pertanyaan adalah apakah anak yang ada dalam kandungan ibunya tersebut
termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. 5 Salah satu syarat
menjadi ahli waris adalah masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, anak dalam
kandungan sudah bisa dianggap hidup walaupun dia hidup hanya sebatas hukum.
Dengan demikian anak dalam kandungan juga harus diperhitungkan sebagai ahli
waris. Perlu diketahui, ahli waris yang berupa anak dalam kandungan ibunya disebut
juga dalam ilmu ushul fikih ahliyatul wujub yang tidak sempurna, ia berhak menerima
hak namun belum mampu memenuhi kewajiban secara sempurna. Anak dalam

4
Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. 1, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1999, h.16.
5
Komite Fakultas Syariah Uiversitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004, h. 358.

9
kandungan merupakan ahli waris yang sah dari orang tuanya menurut Fikih Syafi‟i,
kedudukannya sama dengan anak yang telah lahir. Surat al-Luqman ayat 14

“ Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. “

Kewajiban manusia yang masih hidup adalah memberikan hak-hak kepada


yang berhak memperoleh hak warisan. Karena warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris tidak serta merta dimiliki oleh keluarga yang ditinggalkan (keluarga pewaris
sedarah seperti orang tua pewaris, kakak, adik pewaris) tanpa melihat keluarga
terdekat yang dalam ikatan perkawinan (istri pewaris). Padahal pada saat itu ternyata
istri pewaris dalam keadaan sedang mengandung anak dari pewaris. Sehingga
perhatian terhadap ahli waris sangat diperlukan, dengan tujuan untuk menjamin
kehidupan dari ahli waris pewaris (anak pewaris).

Sepeninggalnya pewaris, banyak menimbulkan masalah terhadap harta


warisan yang dimiliki semasa hidupnya. Permasalahan timbul apabila pewaris tidak
sempat membuat hak waris kepada siapa saja yang diberikan harta warisan yang
dimiliki. Apalagi harta warisan yang dimiliki pewaris adalah berupa harta dengan nilai
yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan akan diperebutkan oleh orang-orang
yang menginginkan harta pewaris tersebut. Sehingga, dengan keadaan seperti tersebut
akan mengakibatkan ahli waris (anak yang dikandung istri pewaris) dalam
kehidupannya mengalami gangguan untuk jaminan kehidupannya. Tidak sedikit ahli
waris (bukan pewaris utama seperti keluarga pewaris maupun yang masih ada
hubungan keluarga) memperebutkan untuk memperoleh bagian dari harta pewaris
tersebut dengan tidak melihat masih adanya ahli waris yang berhak dan paling utama
(anak yang masih dalam kandungan istri pewaris yang masih berupa janin).

Dengan pewaris meninggalkan istri (janda) dalam keadaan mengandung ahli


waris dari pewaris yang telah meninggal, maka hal tersebut akan menjadi beban dari

10
istri yang ditinggalkan untuk dapat menyapih dan memelihara ahli waris (anak dalam
kandungan istri pewaris) sampai ia dewasa dan dapat menjalani kehidupannya sendiri.
Beban ini yang banyak dan perlu diperhatikan oleh para ulama dan ahli hukum dalam
menetapkan keputusan tentang hak waris yang harus diberikan kepada yang berhak
dan utama untuk mendapatkan hak harta warisan dari pewaris bila ada meninggalkan
warisan.

Maka dari itu hak warisan kepada janin perlu diberikan haknya apabila
pewaris telah meninggal. Tujunnya adalah untuk menghindari adanya hak warisan
yang tidak diterima oleh ahli waris utama (janin dan istri maupun anak-anak pewaris).
Hal ini juga untuk menjaga hak warisan ahli waris tetap ada dan terpelihara serta
dapat di terima sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku (ahli waris dari janin
tersebut memenuhi syarat mendapatkan warisan dari pewaris). Untuk menjaga hak
dan ketetapan hukum Islam, maka perlu dilakukan upaya untuk menjaga hak-hak
warisan ahli waris, meskipun ahli waris masih berada di dalam kandungan ibunya.

Dalam fikih klasik, kendala dalam memutuskan hak waris janin (dalam
kandungan ibunya) adalah ahli waris (janin) tersebut sudah lahir dan sudah dipastikan
hidup dengan dibuktikan adanya tanda berupa suara (menangis), bersin, pergerakan
dan jenis kelamin. Sehingga ahli waris tersebut berhak memperoleh hak warisan yang
ditinggalkan oleh orang tuanya. Kendala ini yang menyebabkan hak waris untuk anak
dalam kandungan tidak dapat diberikan, sehingga pada saat pewaris meninggal, hak
waris janin tidak jelas ketetapannya. Untuk membantu dan mempermudah dalam
menetapkan suatu keputusan yang tepat dan dapat diterima, maka harus ada cara yang
dapat mendukung bahwa janin tersebut terbukti hidup dan dinyatakan janin
merupakan laki-laki/perempuan (diketahui jenis kelamin). Dukungan ilmu dan
teknologi sangat diperlukan untuk membantu dalam menentukan suatu keputusan
yang sifatnya masih samar-samar (belum jelas keberadaannya untuk di dunia). Pada
masa saat ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, sesuatu yang


mustahil tidak dapat dilihat maupun dicapai pada akhirnya dapat dilihat dan dicapai
seperti teleskop (alat untuk melihat benda yang jauh di langit), pesawat terbang yang
mampu mengangkut penumpang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dan
masih banyak bentuk teknologi lain yang mempermudah manusia dalam menjalankan

11
semua aktifitas dan pekerjaan. Tidak menutup kemungkinan, bahwa dalam ilmu
kedokteran/ kesehatan ikut berpartisipasi dalam kemajuan ilmu dan teknologi.

Di bidang kedokteran kemajuan teknologi sangat signifikan yaitu


diciptakannya alat untuk melihat janin dalam kandungan seorang wanita (ibu) (USG).
Diciptakannya alat tersebut, dengan mudah seorang dokter memberikan keterangan
kepada orang tua janin tentang keadaan isi kandungan (janin) tersebut. Alat ini dapat
memberikan informasi berupa keadaan janin masih hidup/tidak, jenis kelamin, berat
tubuh janin, panjang janin, detak jantung janin dan kondisi kesehatan janin. Kemajuan
teknologi di bidang kedokteran ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi
dan membantu dalam pengambil keputusan mengenai hak waris janin. Walaupun
adanya kemajuan teknologi yang dapat membantu dalam memutuskan hak waris
janin, permasalahan yang muncul adalah apakah alat teknologi tersebut dapat
digunakan sebagai pengambil keputusan yang bertentangan dengan fikih klasik.
Dukungan dari fikih kontemporer sangat diharapkan dalam memberikan keputusan
untuk kemaslahatan umat

“ Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteriisterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutang-hutangmu.

12
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari´at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.”

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang


yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-
bagian yang telah ditetapkan. Penggunaan kata hukum awalnya mengandung arti
seperangkat aturan yang mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang
mengandung arti dasar hukum yang menjadi rujukan, dengan demikian dengan segala
titik lemahnya, hukum kewarisan Islam dapat diartikan dengan seperangkat peraturan
tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Nabi tentang hal ikhwal peralihan harta
atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan
diyakini berlaku mengikat untuk semua yang beragama Islam.

Oleh karena itu, tidaklah harta warisan dibagi kecuali janin di dalam
kandungan tersebut telah lahir ke dunia. Kecuali jika ahli waris yang lain
membutuhkan warisan tersebut dan terdapat kemaslahatan jika harta warisan tersebut
dibagi , maka para ulama memberikan jalan keluar yaitu dengan cara pembagian harta
warisan dengan tetap menjaga hak waris janin dalam kandungan tersebut. Pada ilmu
waris, telah dijelaskan syarat-syarat tertentu terhadap pembagian warisan, jika syarat-
syarat tersebut telah terpenuhi maka proses waris-mewarisi dapat dilaksanakan.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca, makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Dan untuk itu saya mohon kepada para pembaca agar dapat
memberikan saran, maupun kritik dan komentarnya demi kelancaran tugas ini. Atas
perhatiannya saya ucapkan Terima Kasih.

14
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Haries, “Pluralisme Hukum Kewarisan Di Indonesia”, Jurnal Hukum,


2013

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008)


Caulson dalam Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009)
Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia dalam perspektif Islam, Adat,
Bw”, Bandung : PT Refika Aditama, 2014

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:


Kencana, 2011)
Hilman Hadikusuma, “Hukum Waris Adat”, Bandung : PT. Citra Sditya Bakti,
2003

Komite Fakultas Syariah Uiversitas Al-Azhar, Hukum Waris, Jakarta: Senayan


Abadi Publishing, 2004
Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet.
1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999

15

Anda mungkin juga menyukai