Anda di halaman 1dari 20

PEMBAGIAN WARISAN MENURUT KUHPERDATA DAN

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Disusun guna memenuhi tugas Ulangan Tengah Semester pada Mata Kuliah
Hukum Waris

Oleh:
Rafli Fachriansyah NPM 194301179

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. SRI AHYANI, S.H., M.H.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas hidayat dan rahmat-
Nya sehingga penyusun makalah ini dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa adanya hambatan dan halangan sedikit pun yang berarti dan sesuai dengan
harapan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Hj. Sri Ahyani, S.H.,
M.H. sebagai dosen pengampu Mata Kuliah Hukum Waris yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyusun makalah ini dengan berupaya menulis dengan sempurna.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Sehingga saya dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini kedepannya menjadi lebih baik.

Bandung, April 2022


Penulis,

Rafli Fachriansyah

i
DAFTAR ISI

COVER ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan.................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Kewarisan dalam KUHPerdata .......................... 4
2.2 Tinjauan Umum tentang Kewarisan dalam Hukum Islam ......................... 6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Pengertian dan Pembagian Waris Menurut KUHPerdata .......................... 9
3.1.1 Pewaris dan dasar hukum mewarisi .............................................. 9
3.1.2 Ahli waris dan bagian masing-masing BW ................................... 10
3.2 Pengertian dan Pembagian Waris Menurut Hukum Islam ....................... 12
BAB IV PENUTUP
4.1 Simpulan .................................................................................................. 16
4.2 Saran ......................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembagian harta warisan secara adil sesuai aturan hukum yang berlaku
merupakan hal utama dalam proses pewarisan. Keselarasan, kerukunan, dan
kedamaian merupakan hal terpenting yang harus mampu dijalankan. Kesepakatan
dalam musyawarah merupakan suatu nilai dasar kebersamaan dalam kehidupan
keluarga yang harus dikedepankan. Kebersamaan tanpa harus terjadi perselisihan
atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan merupakan hal terpenting,
karena dalam hal ini nilai kebersamaan dan kekeluargaan seharusnya mampu
menjadi pijakan tanpa harus mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing
pihak.
Pengertian warisan sendiri adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak
dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup. Hukum Waris sendiri adalah hukum
yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang
meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris. Pembagian harta warisan secara adil
sesuai aturan hukum yang berlaku merupakan dasar yang harus dipenuhi dalam
proses pembagianya.
Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro, hukum waris
diartikan sebagai hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia (Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta
kekayaan itu kepada orang lain (Ahli Waris). Meskipun pengertian hukum waris
tidak tercantum dalam KUH Perdata, namun tata cara pengaturan hukum waris
tersebut diatur oleh KUH Perdata.
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia, pengertian hukum waris
adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan
Pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris dan berapa
besar bagian masing-masing. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a

1
menyebutkan bahwa Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing
Disisi lain memahami bagaimanakah pembagian harta warisan, serta
bagaimana proses pembagian harta warisan menurut Hukum Islam dan KUPerdata,
merupakan hal yang juga sangat penting bagi penulis, yang menjadi dasar dalam
melakukan penelitian ini. Untuk memperjelas hal tersebut di atas diperlukan suatu
penelitian lebih lanjut, berdasarkan hal tersebut yang menjadi alasan penulis
memilih judul yang diteliti, yaitu : “Pembagian Warisan Menurut KUHPerdata
dan Hukum Islam di Indonesia”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah dibahas maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pembagian harta waris menurut Hukum Islam?
2. Bagaimana pembagian harta waris menurut KUHPerdata?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan perancangan ini ialah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui pembagian harta waris berdasarkan Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pembagian harta waris berdasar Hukum KUHPerdata.

1.4 Metode Penulisan


Adapun data yang digunakan dalam penulisan adalah :
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yatg dilakukan berupa penelitian deskriptif (descriptive
research). Metode deskriptif yaitu dengan seteliti mungkin seluruh
perkembangan, dengan peralihan dan pengaruh satu sama lain arti diuraikan
secara lengkap dan teratur.

2
2. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode
kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif
adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan
cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan
ini dikenal pula dengan penelitian kepustakaan (penelitian data sekunder),
yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis. Jenis
pendekatan masalah yang diteliti ini berdasarkan aturan perundang-
undangan (statute approach) yang berlaku di Indonesia, baik dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgelik Wetboek (BW)
4. Teknik Pengumpulan Data
Cara yang dilakukan untuk mengumpulkan data pada penulisan penelitian
ini yaitu melalui penelitian kepustakaan. Untuk mendukung memperoleh
data secara teoritis dengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan judul
Makalah. Dalam penelitian kepustakaan ini penulis memperoleh data dari
buku-buku, peraturan perudang-undangan, dan sumber lainnya.
5. Metode Analisis Data
Berkenaan dengan melakukan analisis ini, penulis meggunakan metode
analisa secara kualitatif, yaitu uraian yang dilakukan terhadap data yang
telah terkumpul, tidak menggunakan angka dan tidak ada pengukuran. Jadi,
data yang diperoleh adalah data kualitatif yang bersifat deskriptif.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Kewarisan dalam KUHPerdata

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), waris orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur
mengenai apa yang harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah
meninggal dunia, dengan perkataan lain mengatur peralihan harta kekayaan yang
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibat-akibatnya
bagi ahli waris.

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak da


kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak
dan kewajibannya beralih pada ahli warisnya. Pada prinsipnya warisan adalah
langkah-langkah penerusan dan pengoperan harta peninggalan baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. Akan
tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut
bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat ataupun
permasalahan lainnya.

Hukum waris merupakan seperangkat hukum yang mengatur perpindahan


atau beralihnya harta kekayaan yang ditinggalkan dari pewaris ke ahli waris karena
kematian baik memiliki hubungan antar mereka maupun pihak lain. Menurut
Supomo, Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang barang harta benda dan barang-barang yang
tak berwujud benda dari suatu generasi kepada keturunannya.

4
Waris menurut konsepsi hukum perdata barat yang bersumber pada
Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh
karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang
merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum
publik, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan
diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari
hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan. Pitlo menggambarkan
bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu:

"Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai


kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun
dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga."

Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah


harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa
kumpulan aktiva dan pasiva.Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan
seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena
kematian. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga
persyaratan, yaitu:

1) ada seseorang yang meninggal dunia


2) ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh
warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
3) ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa "apabila


seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya
beralih kepada sekalian ahli warisnya."Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
beralih pada ahli waris adalah sepanjang termasuk dalam lapangan hukum harta
kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Yang
merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain "adanya hak mutlak dari

5
para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari
harta warisan."

Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan
pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat ditolak oleh ahli waris yang lainnya.
Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu:

1) Dalam hal seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan
harta benda, orang itu tidak dapat dipaksa membiarkan harta benda itu tetap
tidak dibagi-bagi di antara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya;
2) Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut, meskipun ada
suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu;
3) Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan
selama waktu tertentu;
4) Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun, tetapi dapat
diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lalu.

Dari ketentuan Pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan


akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa sistem hukum waris menurut BW
memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas tersebut
di antaranya hukum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan
seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas
harta tersebut. Kalaupun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu
melalui persetujuan ahli waris.

2.2 Tinjauan Umum tentang Kewarisan menurut Hukum Islam

Waris adalah bentuk isim fa‟il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa,
waritsun, yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari
kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.
Sehingga secara istilah, ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses
perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya.

Pembagian warisan di Indonesia dikenal dengan tiga sistem, yaitu pembagian


warisan sistem Hukum Adat, Hukum Waris Perdata, dan Hukum Waris Islam.

6
Masing-masing memiliki dasar dan tata cara pembagiannya tersendiri. Ketiganya
digunakan untuk melakukan pembagian secara adil. Pembagian warisan harus
disegerakan untuk menghindari konflik keluarga. Banyak masalah timbul karena
pembagian warisan ditunda-tunda. Hal tersebut berpotensi menimbulkan
kecurigaan bahkan hilangnya harta sebelum habis dibagikan secara merata kepada
ahli waris yang berhak mendapatkan warisan. Terdapat beragam hukum terkait
pembagian warisan.
Berbagai Macam Hukum Waris di Indonesia dan Pembagiannya diantaranya
yaitu, yang pertama adalah Hukum Waris Menurut Islam. Menurut buku
Pembagian Warisan Menurut Islam yang ditulis oleh Muhammad Ali Ash-Sahbuni,
jumlah pembagian harta yang ditentukan dalam Alquran ada enam macam, yakni
setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
Pembagian warisan ini dibagi berdasarkan bagian masing-masing ahli waris yang
sudah ditetapkan juga besarannya. Sebagai negara dengan mayoritas beragama
Muslim, hukum terkait warisan dalam Islam juga tertulis dalam Pasal 176-185 ayat
KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Yang kedua hukum waris perdata. Sistem ini menggunakan dasar hukum
waris Perdata. Pembagian warisan ini biasanya dilakukan dihadapan seorang
notaris. Aturan hukum warisan perdata sudah mengatur secara jelas golongan mana
saja yang berhak mendapatkan warisan dan golongan mana saja yang tidak berhak
mendapatkan warisan. Golongan tersebut yaitu ahli waris absentantio (keluarga
pewaris) dan ahli waris testamentair (penunjukan berdasar surat wasiat).
Selanjutnya yang ketiga yaitu pembagian warisan dengan menggunakan
hukum waris adat didasarkan pada aturan suku yang masih dipegang teguh dan
dijalankan hingga saat ini. Hukum waris adat memiliki aturan yang berbeda-beda
yang menjadikan sistem penerapannya bisa berlainan jika berdasarkan dengan adat
masing-masing daerah atau komunitas. Pada dasarnya ada tiga sistem yang
dijadikan patokan dalam hukum waris yaitu Sistem Patrilineal Sistem Matrilineal,
Sistem Parental atau Bilateral.

7
Hukum waris menurut fiqih mawaris adalah fikih yang berkaitan dengan
pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui
bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan
untuk setiap yang berhak menerimanya. Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu
dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut
Al-mirats, sedangkan makna Al-mirats menurut istilah yang dikenal para ulama
ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa
saja yang berupa hak milik legal menurut syar’i.

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian dan Pembagian Waris menurut Hukum Perdata

Istilah hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfrecht. Pasal
830 KUHPerdata menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang
mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal,
terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. karenanya dalam
Burgerlijk Wetboek (BW), penempatannya dimasukan dalam buku II BW
tentang Benda (pasal 830 s/d 1130) .
Sistem waris BW idak mengenal istilah “harta asal maupun harta
gonogini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta
warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan kesatuan yang secara bulat
dan utuh dalam keseluruhan akan beralih tangan peninggal warisan/pewaris ke
ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas
dasar macam atau asla barang-barang yang ditinggalkan pewaris.
Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW yaitu, undang-undang tidak
memandang sifat atau asal barang-barangdalam suatu peninggalan untuk
mengatur pewarisan terhadapnya. Sistem hukum BW menyebutkan harta asal
yang dibawa masing masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh
selama perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan yang bulat yang akan
beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.
3.1.1 Pewaris dan dasar hukum mewarisi
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang 9 meninggalkan sejumlah harta kekayaan
maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajibankewajiban yang
harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun
tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
1. Menurut ketentuan undang-undang.

9
2. Ditunjuk dalam surat wasiat.

Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan


kedudukan hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin
disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
undang memiliki prinsip seseorang bebas untuk menentukan
kehendaknya tentang harta kekayaan setelah meninggal dunia. Akan
tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia hidup
tentang apa yang terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal
demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan
harta kekayaan seseorang tersebut. Selain undang-undang dasar lainnya
yaitu dalam bentuk surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu
pernyataan tentang apa yang dikehendaki oleh si pewaris.
Surat wasiat berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dunia dan
tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup,
surat tersebut dapat diubah dan dicabut. Seseorang dapat mewariskan
sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat wasiat. Apabila
seseorang hanya menetapkan sebagian melalui surat wasiat, selain itu
merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang. Wasiat ini
sebagaimana tercantum dalam BW Pasal 874, 875,879, 880, 890,
893, 894, 895, 897, 930, 944, 946, 947, 950, 951, 954, 988, yang mana
didalamnya mengatur tentang pembahasan wasiat.

3.1.2 Ahli waris dan bagian masing-masing menurut BW


Ahli waris ialah orang-orang tertentu, yang secara limitative diatur
dalam BW, yang menerima harta peninggalan , yaitu:
1) Ahli waris yang mewarisi berdasarkan kedudukan sendiri atau
mewarisi secara langsung, misalnya jika ayah meninggal dunia,
maka sekalian anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. cara ini
dikenal dengan pewarisan ab instestato, yaitu perolehan warisan
berdasarkan adanya hubungan darah atau disebut pula pewarisan
undang-undang, yang mana undang-undang dengan sendirinya

10
menjadi ahli waris. Yang termasuk dalam ab instetato terdapat
empat golongan dalam penentuan siapa saja yang berhak
mewarisi ini berlaku asas keutamaan golongan, maksudnya
apabila golongan teratas tidak ada, maka yang berhak mewarisi
adalah golongan di bawah berikutnya, antara lain :
a) Golongan I : yaitu suami/isteri yang masih hidup, dan
sekalian anak beserta keturunnya dalam
garis lurus kebawah.
b) Golongan II : yaitu orang tua dan saudarasaudara pewaris.
Pada asasnya bagian orang tua disamakan
dengan bagian saudara-saudara pewaris,
tetapi ada jaminan di mana bagian orang tua
tidak boleh kurang dari seperempat harta
peninggalan.
c) Golongan III : Yaitu kakek-nenek yang mana terdapat asas
kloving, yaitu harta peninggalan harus
dibagi dua, setengah untuk kakek nenen
pihak ayah, setengah bagian lain untuk
kakek nenek pihak ibu. Hal ini tidak terdapat
golongan I dan II (Pasal 853 dan 854).
d) Golongan IV : Yaitu sanak saudara dalam garis ke samping
dan sanak saudara lainnya samapai derajat
keenam.
2). Ahli waris berdasarkan penggantian (bij plaatsvervulling), dalam
hal ini disebut ahli waris tidak langsung.
3) Pihak ketiga yang bukan ahli waris dapat menikmati harta
peninggalan, yaitu dalam hal adanya suatu wasiat yang dibuat
oleh pewaris, yang menetapkan bagian tertentu harta
peninggalannya diwariskan kepada orang yang bukan ahli waris
sebenarnya. pihak ketiga ini bisa pribadi ataupun badan hukum.
Cara pewarisan ini dikenal sebagai cara pewarisan testamentaire.

11
Pihak ketiga yang menerima warisan ini disebut legataris
sedangakan harta peninggalan tersebut disebut legaat.

3.2 Pembagian Waris menurut Hukum Islam


Hukum Kewarisan menurut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari
hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar
supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan
dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari
hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan
hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh
muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk
menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni
tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya
hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh
rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah
faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang
yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang
berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan
mengabarkannya HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt
Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah
mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits
rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan
mengenai kewarisan ini, yaitu:
1. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

12
2. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan
putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
3. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
unutk menjadi ahli waris.
4. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya
maupun hak-haknya.
5. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama
sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah,
pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
6. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada
orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.
7. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa
imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup
untuk dimiliki.
8. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal


175 KHI adalah:
1. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah
selesai.
2. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan,
perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih
piutang.
3. Menyelesaiakan wasiat pewaris.
4. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

13
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Pasal 175. Ahli waris dan bagian masing-masing. Pembagian ahli
waris yang terdiri dari beberapa pengelompokan, yaitu:
a. Berdasarkan hubungan darah. terdiri dari dua golongan,
Pertama, golongan laki-laki: ayah, anak laki-laki, paman, dan
kakek. Kedua, golongan perempuan: ibu, anak perempuan,
saudara perempuan dan nenek.
b. Berdasarkan hubungan perkawinan terdiri dari duda dan
janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak menerima warisan
hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Bagian-bagian harta warisan
sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 176-182 Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya
(pasal 186 KHI). Wasiat di Kompilasi Hukum Islam berbeda dengan
wasiat pada hukum perdata BW. Disini wasiat diberikan kepada selain ahli
waris seperti anak asuh dan apabila ahli waris dapat diberikan wasiat
apabila disetujui oleh semua ahli waris, sebagaimana terteradalam pasal
195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan peraturan tentang
wasiat dalam KHI dapat dilihat pada pasal 194-210 KHI Buku II tentang
kewarisan.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui
permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan
(pasal 188 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara
jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa
Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang:

14
1. Perkawinan.
2. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan
hukum Islam.
3. Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga
wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak
perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja).
Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak
laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.

15
BAB VI
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pembagian antara hukum waris Islam dan KUHPerdata sangat berbeda, hukum
waris Islam tidak memperhatikan segi persamaan porsi tetapi lebih memperhatikan
perbedaan hak dan kewajiban antara laki- laki dengan perempuan. Perbedaan porsi
warisan yang diterima laki-laki lebih besar dari perempuan, karena adanya
perbedaan kewajiban yang dipikul laki- laki lebih besar daripada perempuan. Hal
ini berbeda dengan kewarisan menurut KUHPerdata yang memandang sama hak
dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak ada perbedaan porsi
warisan yang diterima laki-laki dengan perempuan dalam sistem pewarisan.
Persamaan asas-asas yang pada hukum waris Islam dengan hukum waris
KUHPerdata sama-sama berasas individual, berasas bilateral, berasas kematian,
berasas perderajatan, serta berasas kemanfaatan

4.2 Saran

Waris mewaris ini sangat penting untuk dipahami karena oleh sebabnya waris
sering menimbulkan perselisihan, sebagai umat yang beragama islam sebaiknya
menggunakan pembagian waris sesuai dengan hukum islam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Namawi, Maimun, Pengantar Hukum Kewarisan Islam Surabaya: Pustaka


Radja, 2016

Amanat, Anisituas,. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum


Perdata BW. Cet-1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000

Rahmaria, Zulfikar Muhmmad. Hukum Waris berdasarkan Sistem Perdata


Barat dan Kompilasi Hukum Islam

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan


Kompilasi Hukum Islam Dengan Pengertian Dalam
Pembahasannya - Mahkamah Agung RI 2011

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

KBBI Online (2022). Waris. Diunduh dari https://kbbi.web.id/waris diakses


pada tanggal 10 April 2022.

https://stih-painan.ac.id/3-sistem-hukum-waris-yang-berlaku-di-indonesia
menurut-bustomi-s-hi-m-h/ diakses 10 April 2022

17

Anda mungkin juga menyukai