Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PENGANTAR HUKUM INDONESIA


Dosen Pengampu Mata Kuliah : Dian Eriani ,S.H.,M.H
KELOMPOK 2
HUKUM PERDATA

Disusun Oleh :

ATHIRAH AFRA
DARA BALQIS NABILLA
NURFAZILAH
NONA BERBIE
MUNA TASYA
IMAM MUHAJIR

FAKULTAS HUKUM DAN SYARIAH


JURUSAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KEBANGSAAN INDONESIA
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
lah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata ini tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada ibu Dian Eriani selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun kami tetap mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

Bireuen, 01 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
I. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM PERDATA...............................................................................5
II. SEJARAH HUKUM PERDATA........................................................................................................5
III. ASAS-ASA HUKUM PERDATA.....................................................................................................6
A. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia...........................................................................................6
B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perdata.............................................................................8
C. Hubungan Antara Hukum Perdata Dan Hukum Politik...................................................................8
D. Sistematika Hukum Perdata............................................................................................................9
IV. HUKUM PERORANGAN................................................................................................................9
A. DEFINISI HUKUM PERORANGAN............................................................................................9
B. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM.......................................................................................10
C. PERIHAL BADAN HUKUM.......................................................................................................13
D. PERIHAL DOMISILI...................................................................................................................15
V. HUKUM KELUARGA....................................................................................................................16
A. PENGERTIAN HUKUM KELUARGA.......................................................................................16
B. HUKUM KELUARGA MENURUT KUHPER DAN UU NO. 1 TAHUN 1974.........................17
C. HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ISLAM...............................................................24
D. HUKUM KEKELUARGAAN ADAT..........................................................................................25
BAB III......................................................................................................................................................29
PENUTUP.................................................................................................................................................29
A. Kesimpulan.......................................................................................................................................29
B. Saran.................................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik
hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau
badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yangdiharapkan, sehingga seringkali menimbulkan
permasalahan hukum.

Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum. Hukum adalah
sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga
dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban
disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.

Bagaimana seseorang mengatur kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,


pewarisan harta benda dan lain-lain.

Hukum terbagi menjadi dua, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Dalam penulisan ini, saya
akan membahas mengenai hukum perdata, seperti apa tujuan kita mempelajari hukum perdata, sejarah
hukum perdata, asas-asas hukum perdata, dan beberapa subbab materi hukum perdata seperti hukum
perorangan dan hukum keluarga. Hukum perdata yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), bagaimana hukum mengatur setiapkegiatan atau tindakan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan mempelajari Hukum Perdata ?
2. Bagaimanakah sejarah Hukum Perdata ?
3. Apa saja asas-asas Hukum Perdata ?
4. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Perorangan ?
5. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Keluarga ?
BAB II

PEMBAHASAN
I. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM PERDATA
Sebagai mahasiswa hukum, penting bagi kita untuk mengetahui apa tujuan mempelajari hukum
perdata. Mempelajari hukum perdata umumnya dilaksanakan di perguruan tinggi yang dimaksudkan
sebagai upaya untuk membentuk kepribadian manusia yang mengacu pada nilai-nilai tertentu.
Kepribadian diartikan sebagai pola pikir, bersikap, merasa, dan bertindak secara terpadu dalam diri
individu.

Pendidikan bukan sekedar menggumuli fenomena yang tampak dari luar saja, tetapi juga
langsung memahami konsep dasarnya kemudian menganalisanya secara nalar. Pendidikan tinggi hukum
harus senantiasa diarahkan pada peningkatan kecerdasan sumberdaya manusia yang tidak hanya berguna
bagi kepentingan rakyat secara individu, tetapi juga agar mampu mengimplemantasikan ilmunya bagi
kepentingan masyarakat. Keberadaan pendidikan tinggi hukum memang memiliki peranan yang lebih
dibandingkan dengan subsistem lainnya yang ada di dalam masyarakat.

Tujuan mempelajari hukum perdata adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang segala hal
dan semua seluk-beluk keberadaan hukum dan segala yang melingkupinya yang begitu luas terutama atau
lebih tepatnya untuk memperoleh pengetahuan tentang bangaimana tata cara pembagian harta waris dari
pada orang tua kita, karna kadang-kadang orang banyak berpecah belah oleh sebab warisan ini,
selanjutnya tentang hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum benda dan lain sebagainya.

II. SEJARAH HUKUM PERDATA


Hukum Perdata berasal dari Hukum Perdata Prancis, sebelum dikodifikasikan pada tanggal 21
maret 1804 dengan nama code civil des francis, sebelum diakuinya hukum perdata Prancis tersebut tidak
ada kesatuan hukumnya, sehingga terbagi atas 2 bagian wilayah hukum Prancis, yaitu :

1. Wilayah Utara dan Tengah, wilayah ini merupakan daerah hukum lokal yang berlaku hukum
kebebasan Prancis kuno yang berasal dari germania.
2. Wilayah selatan, wilayah ini merupakan daerah hukum Romawi, dan hukum yang diakui disana yaitu
Hukum Syenes yang dikumpulkan secara sistematis dalam suatu kitab Undang-Undang Tahun 1800
yang disebut Carpus Juris Civiles oleh kaisar Justinianus pada tanggal 12-8-1800 dan oleh
pemerintah Napoleon dibentuklah panitia pengkodifikasian Undang-Undang ini. Pada tanggal 21
maret 1804 barulah diundang-undangkan dengan nama Code Civil Des Francis. Tahun 1807 diadakan
kodifikasi Hukum Dagang dan Hukum Perdata. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis di Belanda
berakhir dan belanda merdeka. Tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh.
Mr.J.M Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno. Pada tahun 1838
kodifikasi ini disahkan dengan nama: BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek
VanKoophandel) atau Kitab Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Hukum Dagang. Pada awal
kemerdekaan negeri Belanda 1814 Sistem Pemerintahannya menganut Sistem Disentralisasi yang
terdiri atas Provinsi-provinsi yang berdaulat dan mempunyai peraturan sendiri, sehingga belum ada
peraturan yang berlaku secara umum sehingga kepastian hukum tidak terpenuhi. Pada tahun itu pula
dibentuk panitia yang di ketuai oleh Mr JM Kempur (Guru Besar Bidang Hukum) membuat sendiri
yang memuat Hukuman Belanda Kuno, meliputi: Hukam Romawi, Hukam German, Hukum Kanonik
Gereja, dan disetujui oleh Raja yang dikenal dengan Rancangan 1816. Berdasarkan SK Raja semua
Undang-Undang Wetboek dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838. Pada tahun1838
kodifikasi ini disahkan oleh Raja dengan nama BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van
Koophandel) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
3. Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia.
Pada waktu Belanda menguasai Indonesia pemerintahan Hindai Belanda memperlakukan Hukum
Perdata sama yang berlaku di Negeri Belanda yaitu KUHPer dan KUHD. KUHPerdan KUHD
Berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 sampai saat ini KUHPer ini masih belaku menurut Pasal 11
Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun saat ini KUHPer (BW) sudah tidak berlaku
penuh sesuai dengan bab-bab dan pasal-pasal pada saat permulaan KUHPer berlaku. Sudah banyak
bab-bab dan pasal dan bidang-bidang hukum tertentu tidak berlaku karena telah dicabut oleh Per
Undang-Undangan RI. Hal ini terjadi karena beberapa pasal KUHPer tersebut saat ini tidak sesuai
lagi dengan keadaan masyarakat.

III. ASAS-ASA HUKUM PERDATA

A. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia


1. Aneka Pembagian Penduduk Indonesia
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, penduduk Indonesia dibagi dalam tiga
golongandan masing-masing golongan penduduk tersebut mempunyai Hukum Perdata sendiri-
sendiri. Menurut Pasal 163 ayat (1) I.S. (Indische Staatsregeling), penduduk Indonesia dibagi
dalam tiga golongan penduduk, yaitu:
a. Golongan Eropa

Menurut Pasal 163 ayat (2) I.S., yang termasuk golongan Eropa adalah:

1.Semua warga negara Belanda.


2.Bukan warga negara Belanda, melainkan orang yang berasal dari Eropa.
3.Semua warga negara Jepang.
4.Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum keluarganya sama dengan
hukum keluarga Belanda.
5. Keturunan mereka yang tersebut di atas.
b. Golongan Pribumi

Menurut Pasal 163 ayat (3) I.S., yang termasuk golongan Pribumi adalah:

1. Orang-orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain.


2. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya ke dalam
golongan Indonesia asli.
c. Golongan Timur Asing
Menurut Pasal 163 ayat (4) I.S., yang termasuk golongan Timur Asing adalah mereka
yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia asli, yaitu:

1. Golongan Timur Asing Tionghoa.


2. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa.
2. Keanekaragaman Hukum Perdata di Indonesia
Pada masa dahulu, masing-masing golongan penduduk di Indonesia, mempunyai Hukum
Perdata sendiri-sendiri. Ketidak seragaman dalam hukum perdata ini disebabkan karena
banyaknya macam golongan penduduk di Indonesia yang masing-masing golongan mempunyai
kebutuhan hukum perdata yang berbeda-beda pula. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
terdapat berbagai hukum perdata yang berlaku bagi golongan-golongan warga negara di
Indonesia. Penggolongan tersebut, yaitu:
a. Golongan bangsa Indonesia asli (Bumpuitera)
Bagi golongan Bumiputera, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dulu
telah berlaku di kalangan masyarakat. Tetapi hukum ini pun masih berbeda-beda
sesuai dengan daerahnya masing-masing.
b. Golongan Eropa
Bagi golongan Eropa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
c. Golongan Tionghoa
Bagi golongan Tionghoa, berlaku KUHPer dan KUHD dengan beberapa
pengecualian.
d. Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
Bagi golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
(seperti Arab, India, Pakistan, Mesir), berlaku sebagian dari KUHPer dan
KUHD, yaitu hanya mengenai Hukum Harta Kekayaan.
3. Penundukan Diri Secara Sukarela kepada Hukum Perdata Barat
Ada empat jenis penundukan dengan sukarela kepada Hukum Barat di Indonesia, yaitu:
1. Penundukan dengan sukarela pada seluruh Hukum Perdata barat
2. Penundukan dengan sukarela pada sebagian Hukum Perdata barat.
3. Penundukan dengan sukarela pada Hukum Perdata barat mengenai suatu perbuatan hukum
yang tertentu.
4. Dianggap tunduk pada Hukum Perdata Barat karena menjalankan suatun tindakan hukum
yang tertentu (penundukan secara “diam-diam”)
4. Kodifikasi Hukum Perdata Eropa
Seperti kita ketahui, bahwa Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sekarang ini
berasal dari Hukum Perdata Belanda yang disebut Burgerlijk Wetboek (BW). Adapun Hukum
Perdata Belanda ini berasal dari Hukum Perdata Perancis. Hukum Perdata Perancis ini
dikodifikasikan pada 21 Maret 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Tahun 1807,
kodifikasi ini diundangkan lagi dengan nama Code Napoleon
Sewaktu Perancis menduduki Belanda, Code Napoleon ini berlaku pula di negeri Belanda
sebagai kitab undang-undang resmi. Setelah Belanda merdeka dan Perancis meninggalkan
Belanda, makam Pemerintah Kerajaan Belanda mengadakan kodifikasi hukum Belanda yang
bersumber dari Code Napoleon dan Hukum Belanda Kuno.
5. Pada waktu Belanda menguasai Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van
Koophandel di Indonesia. Kemudian, KUHPer dan KUHD inilah yang ditiru oleh Pemerintah
Hindia Belanda berdasarkan Asas Konkordasi (asas persamaan berlakunya sistem hukum) di
dalam menyusun kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kodifikasiini diumumkan pada 30 April 1847
berdasarkan Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 di Hindia Belanda. Dengan
demikian, berlakunya suatu sistem hukum di Indonesiayang sama dengan sistem hukum yang
berlaku di begeri Belanda ini berdasarkan AsasKonkordansi, yang tercantum dalam Pasal 75
Regerings Reglement jo. Pasal 131 Indische Staatsregeling. Menurut Pasal ini, bagi golongan
Eropa berlaku hukum yang sama dengan hukum yang berlaku bagi mereka di negeri Belanda.

B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perdata


1. Definisi Hukum Perdata
Mengenai pengertian dari Hukum Perdata ini, oleh para pakar sarjana hukum diartikan
secara berbeda-beda. Pendapat para pakar sarjana hukum tersebut, antara lain:
a. Menurut Prof. Subekti S.H., Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum
“privat materiel”, yaitu segala Hukum Pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., Hukum Perdata (materiel) ialah kesemuanya
kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban perdata.
c. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Perdata merupakan suatu
rangkaian hukum antara orang-orang atau badan hukum satu sama lain tentang hak dan
kewajiban.
2. Hukum Perdata dalam Arti Luas dan dalam Arti Sempit
Menurut Prof. Subekti, perkataan hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua
hukum “privat materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
Lebih lanjut menurut beliau, perkataan “Perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari “Pidana”.
Namun ada juga yang memakai perkataan “Hukum Sipil” untuk hukum privat materiel, tetapi
karena perkataan “Sipil” itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari “Militer”, maka lebih baik
dipakai istilah “Hukum Perdata” dalam arti yang sempit dipakai sebagai lawan “Hukum Dagang”.
3. Hukum Perdata Materiel dan Hukum Perdata Formil
a. Hukum Perdata Materiel adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hak-hak dankewajiban
perdata. Misalnya hukum dagang, hukum perkawinan, hukum waris, hukum perjanjian, dan
hukum adat.
b. Hukum Perdata Formil adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana
caramelaksanakan serta mempertahankan hak-hak dak kewajiban-kewajiban perdata(Hukum
Perdata Materiel). Misalnya hukum acara perdata.

C. Hubungan Antara Hukum Perdata Dan Hukum Politik


1. Menurut Pendapat Para Sarjana
Menurut Apeldoorn, kepentingan yang diatur oleh hukum dapat berupa dua, yaitu
kepentingan umum atau kepentingan publik dan kepentingan khusus atau kepentingan
perdata. Sepanjang peraturan hukum mengatur kepentingan umum atau kepentingan
khusus peraturan-peraturan itu kita bagi dalam hukum publik dan hukum perdata.
Menurutnya, hubungan antara hukum publik terdapat hukum perdata adalah hubungan
antara hukum khusus atau hukum perkecualian terhadap hukum umum. Hukum publik
merupakan perkecualian atas hukum perdata apabila itu diperlukan oleh pemerintah
untuk memelihara kepentingan umum dengan sepatutnya.
2. Definisi Hukum Perdata dan Hukum Publik
a. Hukum Privat adalah hukum yang mengatur mengenai hubungan hukum antara orang
yang satu dan orang yang lain dalam pergaulan masyarakat dengan menitik beratkan
pada kepentingan perseorangan. Yang termasuk dalam hukum privat ialah hukum
perkawinan, hukum dagang, hukum perburuhan, hukum waris dan sebagainya.
b. Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat
perlengkapannya atau hubungan antara negara dan perseorangan (warga negara).
Yang termasuk dalam hukum publik ialah hukum pidana, hukum tata negara, dan
hukum internasional.

D. Sistematika Hukum Perdata


1. Pembagian Hukum Perdata Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Berdasarkan KUHPer, sistematika Hukum Perdata terdiri atas empat buku, yaitu seperti
berikut.
a. Buku I: tentang Orang
Buku ini memuat tentang Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan, yang
terdiriatas 18 bab.
b. Buku II: tentang Kebendaan
Buku ini memuat tentang Hukum Benda dan Hukum Waris, yang terdiri atas 21 bab.
c. Buku III: tentang Perikatan
Buku ini memuat tentang Hukum Harta Kekayaan, yang terdiri atas 18 bab.
d. Buku IV: tentang Pembuktian dan Kedaluarsa
Buku ini memuat tentang perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu
terhadap hubungan-hubungan hukum, yang terdiri atas 7 bab.
2. Pembagian Hukum Perdata Berdasarkan Ilmu Pengetahuan Hukum
Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan hukum sekarang ini, terdiri atas empat bagian yaitu:
a. Hukum Perorangan (personenrecht)
b. Hukum Keluarga (familierecht)
c. Hukum Harta Kekayaan (vermogensrecht)
d. Hukum Waris (erfrecht).

IV. HUKUM PERORANGAN

A. DEFINISI HUKUM PERORANGAN


Adapun definisi mengenai Hukum Perorangan (personenrecht) menurut para pakar sarjanahukum,
antara lain :
a. Menurut Prof. Subekti, S.H., hukum tentang diri seseorang ialah peraturan-peraturan tentangmanusia
sebagai subjek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untukmemiliki hak-hak dan
kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya ituserta hal-hal yang memengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
b. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn, Hukum Purusa adalah seluruh peraturan tentang purusa
atau subjek-subjek hukum. Hukum Purusa memuat peraturan kewenangan
hukum(rechtsbevoegdheid) dan kewenangan bertindak (handelingsbevoegdheid).
c. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., Hukum Pribadi ialah semua kaidah hukumyang
mengatur siapa-siapa yang dapat membawa hak, yang menjadi pembawa hak(rechtsubjecten) dan
kedudukannya dalam hukum.

B. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM


1.Manusia Sebagai Subjek Hukum

Dalam dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hal, yaitu segala sesuatu yang
mempunyai hak dan kewajiban, atau disebut juga sebagai subjek hukum. Sebagai pembawa hak, padanya
dapat diberikan hak (hak menerima warisan, hak menerima hibah, dan sebagainya) dan dapat dilimpahkan
kewajiban. Pada saat sekarang ini boleh dikatakan, bahwa setiap manusia itu adalah pembawa hak (subjek
hukum).

Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, dimulai pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia. Terhadap hal ini terdapat suatu pengecualian, dimana anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak
menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 KUHPer). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUHPer ini mempunyai arti
penting apabila dalam hal :

a. Perwalian oleh bapak atau ibu (Pasal 348 KUHPer)


b. Mewarisi harta peninggalan (Pasal 836 KUHPer)
c. Menerima wasiat dari pewaris (Pasal 899 KUHPer)
d. Menerima hibah (Pasal 1679 KUHPer)

2. Kecakapan Bertindak dalam Hukum

a. Orang yang Tidak Cakap Bertindak dalam Hukum

Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya,
akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam
melaksanakan hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum,
sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut pasal 1330 KUHPer,
mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum
ialah :

1) Orang yang belum dewasa.


2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele).
3) Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).
b. Orang-orang yang Belum Dewasa

Orang-orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan
perantaraan orang lain, atau sama sekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak didalam hukum bagi
orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut :

1) Menurut Pasal 330 KUHPer, orang yyang dikatakan belum dewasa apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. Apabila ia telah menikah, maka ia
dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang yang dibawah umurlagi, meskipun
perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun.
2) Untuk melangsungkan perkawinan:
 Menurut Pasal 29 KUHPer, bagi seorang laki-laki harus berumur 18 tahundan bagi
seorang wanita harus berumur 15 tahun.
 Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagiseorang
laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 16 tahun.
 Dalam Hukum Waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidakdapat
membuat wasiat (Pasal 897 KUHPer).
 Menurut Pasal 19 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, untuk dapat memilihdi
dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
c. Orang yang Ditaruh di Bawah Pengampuan

Menurut Pasal 433 KUHPer, orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orangyang dungu,
sakit ingatan atau mata gelap, dan orang boros. Mengenai hal ini, diatur dalam ketentuan-ketentuan
berikut ini :

1) Seseorang yang karena ketidak sempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan, telah
mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminta pembatalan perkawinan (Pasal
88 ayat 1 KUHPer).
2) Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seorang harus mempunyai akal
budinya (Pasal 895 KUHPer).
3) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tak cakap untuk membuat suatu
perjanjian (Pasal 1330 KUHPer).
d. Kedudukan Wanita dalam Hukum
Khusus untuk orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum dalam
hal :
1) Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami (Pasal 108 KUHPer).
2) Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUHPer).
Untuk masa sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPer ini telah dicabut dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri ialah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat; dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, mengenai harta
bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
3. Pendewasaan

a. Pengertian Pendewasaan
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap
orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan
kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum
dewasa.
Dengan demikian, menurut Pasal 424 KUHPer, anak yang dinyatakan dewasa, dalam
segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa.
b. Macam-macam Bentuk Pendewasaan
Pada dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan, yaitu :

1) Pendewasaan Terbatas
Dengan pendewasaan terbatas, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa),
dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan hukum tertentu. Syarat
untukmengajukan pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18 tahun dan
permohonan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUHPer).
2) Pendewasaan Penuh
Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa),
dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk mengajukan
pendewasaan penuh yaitu harus sudah berusia 20 tahun dan permohonan ini diajukanke
presiden (dalam hal ini, Menteri Kehakiman – lihat Pasal 420-421 KUHPer)
c. Pencabutan Hak Pendewasaan
Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh Pengadilan Negeri apabila anak
yang belum dewasa ini menyalah gunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau suatu
alasan tertentu (Pasal 431 KUHPer). Menurut ketentuan Pasal 432 KUHPer, segala bentuk
pendewasaan dan pencabutan atas pendewasaan ini, harus diumumkan dalam berita negara agar
berlaku bagi umum.

4. Pengampuan

a. Pengertian Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan
seorangyang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang
ditaruhdibawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan
pengampuannya disebut curatele. Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang
menderita sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan.
Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan, atau mata
gelap, tidak boleh ditaruh dibawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah pengawasan
bapak dan ibunya atau walinya (Pasal 462 KUHPer).
b. Pengajuan Permohonan Pengampuan
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya
permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan ialah:
1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya dungu, sakit
ingatan atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).
2) Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal
434 ayat 2 KUHPer).
3) Suami atau istri boleh meminta pengampuan atas istri atau suaminya (Pasal 434 ayat
3 KUHPer).
4) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434
ayat 4 KUHPer).
5) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaan dungu atau sakit ingatan (Pasal 435
KUHPer).
c. Akibat Hukum Penganpuan
Akibat hukum dari orang yang ditaruh dibawah pengampuan:
1) Ia sama dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 ayat 1 KUHPer).
2) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh dibawah pengampuan,
batal demi hukum (Pasal 446 ayat 2 KUHPer).

Di samping kedua hal di atas, terdapat terdapat pengecualiannya, yaitu:

1) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh membuat
suratwasiat (Pasal 466 ayat 3 KUHPer).
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masoh bisa melangsungkan
perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya (Pasal 452
ayat 2 KUHPer).
d. Berakhirnya Pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang (Pasal
460 KUHPer). Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal dunia.

C. PERIHAL BADAN HUKUM


1. Pengertian Badan Hukum
Di samping manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum), di dalam hukum terdapat pula badan-
badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-
perbuatan hukum seperti layaknya seorang manusia. Badan-badan dan perkumpulan itu mempunyai
kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat
dan dapat menggugat di muka hakim. Badan atau perkumpulan yang demikian itu dinamakan badan
hukum atau
rechtpersoon, yang berartiorang yang diciptakan oleh hukum.
Menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang disamping manusia
perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-
kewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.
2. Syarat-syarat Berdirinya Suatu Badan Hukum
Pada dasarnya, suatu badan atau perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum jika telah
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan orang perseorangan yang bertindak
b. Adanya suatu tujuan tertentu
c. Adanya suatu kepentingan sendiri dari sekelompok orang
d. Adanya suatu organisasi yang teratur.
Badan hukum ini mulai berlaku sebagai subjek hukum sejak badan hukum itu disahkanoleh
undang-undang dan berakhir saat dinyatakan bubar (dinyatakan pailit) oleh Pengadilan.
Mengenai syarat berdirinya suatu badan hukum ini, diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan, antara lain:
a. Berdirinya suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, di atur dalam Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007
b. Berdirinya suatu badan hukum berbentuk Koperasi, diatur dalam Undang-Undang No.17
Tahun 2012
c. Berdirinya suatu badan hukum berbentuk Bank, diatur dalam Undang-Undang No.10Tahun
1998
d. Berdirinya suatu badan hukum berbentuk Yayasan, diatur dalam Undang-Undang No.16
Tahun 2001
3. Beberapa Teori Mengenai Badan Hukum
Ada beberapa pandangan pendapat dan teori mengenai badan hukum ini, yaitu:
a. Teori Fiksi (fictie theorie) Teori ini dipelopori oleh Freidrich Carl Von Savigny. Menurut
teori ini, hanya manusialah yang menjadi subjek hukum, sedangkan badan hukum
dikatakan sebagai subjek hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak
ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.
Badan hukum itu semata-mata buatan negara saja.
b. Teori Organ (orgaan theorie) Teori ini diajarkan oleh Otto von Gierke. Menurut teori ini,
badan hukum adalahorgan seperti halnya manusia, yang menjelma dalam pergaulan
hukum, yang dapat menyatakan kehendak melalui alat-alat perlengkapan yang ada
padanya (seperti pengurus dan anggota-anggota) seperti halnya manusia biasa yang
berpanca indera.Teori Harta Kekayaan Bertujuan (zweckvermogens theorie)Teori ini
diajarkan oleh A. Brinz dan E.J.J. van der Heyden. Menurut teori ini, hanya manusia
yang menjadi subjek hukum dan badan hukum yaitu untuk melayanikepentingan
tertentu..
c. Teori Harta Karena Jabatan (theorie van het ambtelijk vermogen) Teori ini diajarkan oleh
Holder dan Binden. Menurut teori ini, badan hukum ialah suatu badan yang mempunyai
harta yang berdiri sendiri, yang dimiliki oleh badan hukum itu, tetapi oleh pengurusnya
dan karena jabatannya, ia diserahkan tuga untukmengurus harta tersebut.
d. Teori Kekayaan Bersama (propriete collective theorie) Teori ini diajarkan oleh
molengraaff dan marcel planiol. Menurut teori ini, apa yangmerupakan hak dan
kewajiban badan hukum pada hakikatnya juga merupakan hak dankewajiban para
anggota bersama-sama. Maka dari itu, kekayaan badan hukum pun jugamerupakan
kekayaan bersama (milik bersama seluruh anggota).
e. Teori Kenyataan Yuridis (juridische realiteitsleer) Teori ini dikemukakan oleh meijers.
Menurut teori ini, bahwa badan hukum adalah merupakan kenyataan/realita yuridis yang
dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi. Hendaknya dalam mempersamakan
badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
4. Pembagian Badan Hukum
Pada dasarnya, badan hukum ini terbagi atas dua bagian, yaitu:
a. Badan Hukum Publik (publiek rechtspersoon)
Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan oleh negara untuk kepentingan
publik atau negara. Badan-badan hukum ini merupakan badan-badan negaradan diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Contoh badan hukum publik antara lain:
1) Negara Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Dasal 1945
2) Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, yang diatur dalam Undang-Undang No. 22Tahun
1999 dan undang-undang lainnya.
3) Bank Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 dan bank- bank
milik negara lainnya yang diatur menurut undang-undang nya tersendiri.
4) Perusahaan milik negara, yang diatur dalam undang-undang nya masing-masing.
b. Badan Hukum Privat (privaat rechtspersoon)
Badan hukum privat/badan hukum keperdataan adalah badan hukum yang didirikan untuk
kepentingan individu. Badan hukum ini merupakan badan hukum milik swasta yangdidirikan
oleh individu-individu untuk tujuan tertentu dan sesuai menurut hukum yang berlaku secara sah.
Contoh badan hukum privat ini antara lain:
1) Perseorangan Terbatas, yang diatur dalam KUHD dan UU No. 40 Tahun 2007.
2) Firma, yang diatur dalam KUHD.
3) Persekutuan Komanditer (CV), yang diatur dalam KUHD.
4) Perbankan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 10/1998.
5) Koperasi, yang diatur dalam Undang-Undang No. 2/2011.
6) Partai Politik, yang diatur dalam Undang-Undang No. 2/2011.
7) Organisasi Kemasyarakatan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 17/2013.
8) Yayasan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 16/2001.

D. PERIHAL DOMISILI
1. Pengertian Domisili
Pada dasarnya, setiap orang harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari (Pasal 17ayat 1
KUHPer). Tempat tinggal itu disebut domisili (tempat tinggal/tempat kediaman).
Domisili adalah tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-haknya
dan memenuhi kewajibannya, meskipun sesungguhnya ia bertempat tinggal di tempat lain. Bahkan,
sebuah badan hukum pun dapat memiliki tempat kedudukan tertentu. Dengan demikian, domisili ini
dapat berarti tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum. Tetapi dalam hal tidak
adanya tempat tinggal tertentu, maka tempat kediaman, yang sewajarnya dianggap sebagai tempat
tinggal/domisili (Pasal 17 ayat 2 KUHPer).
2. Pentingnya Domisili
Pada dasarnya, domisili ini penting untuk diketahui karena:
a. Untuk mengetahui dimana seseorang harus menikah.
b. Untuk mengetahui di mana ia harus mengajukan gugatan perceraian.
c. Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara
perdata seseorang.
d. Untuk mengetahui di mana ia harus mengikuti pemilihan umum (pemilu), apakah ia
bertempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di luar negeri.
e. Untuk mengetahui tempat pembayaran suatu barang. Menurut Pasal 1393 ayat (2)
KUHPer, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang dan di dalam hal
lainnya di tempat tinggal si berutang.
3. Macam-macam Domisili
Mengenai domisili atau tempat tinggal atau tempat kediaman seseorang ini dapatdibedakan dalam
dua macam, yaitu:

a. Tempat Tinggal yang Sesungguhnya


Tempat tinggal yang sesungguhnya adalah tempat tinggal di mana seseorang itu
sesungguhnya berada. Tempat tinggal atau tempat kediaman yang sesungguhnya ini dapat
dibedakan lagi atas dua macam, yaitu:
1) Tempat tinggal bebas : tempat tinggal atau tempat kediaman yang bebas adalahtempat
tinggal yang tidak terikat atau tidak tergantung pada orang lain. Ia bebas untuk
menentukan tempat tinggalnya sendiri.
2) Tempat tinggal yang tidak bebas : tempat tinggal atau tempat kediaman yang tidak bebas
adalah tempat tinggal yang terikat atau tergantung atau mengikuti tempat tinggal orang
lain.
b. Tempat Tinggal Pilihan
Disamping tempat tinggal sesungguhnya, terdapat pula tempat tinggal/domisili yang dipilih.
Hal ini berhubungan dengan hal-hal dalam melakukan perbuatan hukum tertentu saja, dan
dipilihlah tempat tinggal tertentu. Dalam suatu sengketa perdata di muka hakim, kedua belah
pihak yang berperkara atau salah satu dari mereka, berhak bebas dengan suatu akta memilih
tempat tinggal lain dari tempat tinggal mereka sebenarnya (Pasal 24 ayat 1 KUHPer).

V. HUKUM KELUARGA
A. PENGERTIAN HUKUM KELUARGA
Sebenarnya, hukum keluarga ini adalah kelanjutan dari hukum perkawinan. Setelah manusia
menikah, maka akan terbentuk suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hubungan keluarga
ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, hubungan
keluarga ini timbul,dari hubungan perkawinan antara suami dan istri, hubungan anak dengan orangtuanya
dan hubungan anak dengan walinya. Sehingga dengan demikian,hubungan keluarga ini tidak dapat dinilai
dengan uang.

Adapun pengertian hukum keluarga menurut para sarjana hukum anatara lain sebagai berikut :

a. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn, hukum keluarga (familierecht) adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum keluarga adalah kesemuanya kaidah-
kaidah hukum yang menetukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan abadi serta
seluruh akibatnya.

B. HUKUM KELUARGA MENURUT KUHPER DAN UU NO. 1 TAHUN 1974


1. Keturunan

a. Anak Sah
1) Pengertian Anak Sah
Dalam prinsip menurut KUHPer, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Adapun menurut Pasal 42 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalamatau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
2) Penyangkalan Anak Sah
a) Menurut KUHPer
Menurut Pasal 250 KUHPer, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya,kepada suami diberi
hak penyangkalan anak sah, yaitu sebagai berikut:
 Menurut Pasal 251 KUHPer, seorang anak yang dilahirkan sebelum 180 hari
terhitung sejak tanggal perkawinan, maka si suami boleh manyangkal anak tersebut,
tetapi penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal :
- Si suami telah mengetahui bahwa pada saat perkawinan, si istri sudah hamil.
- Si suami turut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan turut menanda
tanganinya.
- Anaknya lahir dalam keadaan meninggal.
 Menurut Pasal 252 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat
membuktikan bahwa ia sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak
terjadi hubungan kelamin dengan istrinya.
 Menurut Pasal 253 KUHPer, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang anak
dengan alasan istrinya telah berzina dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
 Menurut Pasal 254 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak,yang
dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan pemisahan meja dan tempat tidur
memperoleh kekuatan hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak
tersebut disebut anak di luar kawin atau anak tidak sah.
 Menurut Pasal 256 KUHPer, tenggang waktu untuk penyangkalan adalah :
- Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika si suami berdiam di tempat
kelahiran si anak.
- Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya si suami jika ia berada dalam keadaan
tak hadir.
- Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
b) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinahan
tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan (Pasal 44 UUP).
3) Pembuktian Anak Sah
a) Menurut KUHPer
Menurut Pasal 25 KUHPer, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan dibubarkan
adalah tidak sah. Menurut KUHPer, seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
 Akte kelahiran anak yang dibukukan dalam register Catatan Sipil (Pasal 261 ayat1
KUHPer).
 Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang sah(Pasal 261
ayat 2 KUHPer).
 Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan atau dugaan-dugaan
atau petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidakdapat disangkal
lagi kebenarannya (Pasal 264 KUHPer).

Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan kata kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut
tidak ada, maka Pengadilan dapat megeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan. (Pasal 55).

b. Anak Luar Kawin


1) Pengertian Anak Luar Kawin
Pada dasarnya, anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
pria dan wanita di luar perkawinan yang sah, di mana diantara mereka tidak terkena larangan
kawin atau tidak sedang terikat perkawinan dengan orang lain. Anak luar kawin tidak mempunyai
hubungan perdata dengan orang tuanya. Menurut Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan, anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
2) Peningkatan Status Anak Luar Kawin
Status anak luar kawin dapat ditingkatkan dengan cara-cara sebagai berikut :
a) Pengakuan anak, Caranya :
 Perkawinan dari kedua orangtua yang telah mengakui anak tersebut (Pasal 272
KUHPer).
 Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan akta autentik (Pasal 281
KUHPer). Jadi, bisa dengan notaris, bisa juga dengan Catatan Sipil.
 Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan apabila anak itu telah berumur 19 tahun
(bagi pria) dan bagi anak perempuan tanpa batas usia. Pengakuan ini dilakukan bukan
akibat paksa, khilaf, tipu muslihat atau atas bujukan (Pasal 282 KUHPer).
 Pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan oleh ibu anak tersebut (Pasal
284KUHPer). Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,
timbullah hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunya (Pasal 280
KUHPer).
b) Pengesahan anak. Anak luar kawin dapat disahkan melalui surat pengesahan dari
presiden dalam hal :
 Jika kedua orangtua sebelum atau pada saat kawin telah melalaikan mengakui anak
luar kawin (Pasal 274 KUHPer).
 Jika anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu, di mana karena meninggalnya seorang di
antaranya tidak dapat melangsungkan perkawinan (Pasal 275 KUHPer).
c. Anak Sumbang
Yang dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan pria
dan wanita di luar perkawinan yang sah, di mana di antara mereka dilarang untuk melangsungkan
perkawinan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 283 KUHPer, anak sumbang tidak bisa diakui. Apabila
orangtua dari anak sumbang memperoleh dispensasi (dari pengadilan) untuk melangsungkan
perkawinan, maka si anak sumbang dapat diakui pada saat perkawinan kedua orangtuanya.
d. Anak Zina
Yang dimaksud dengan anak zina di sini adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat hubungan
pria dan wanita di luar perkawinan yang sah di mana salah satu atau kedua-duanya sedang terikat
dalam perkawinan dalam pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 283 KUHPer, anak zina tidak
dapat diakui dan tidak ada upaya hukum untuk peningkatan statusnya.

2. Kekuasaan Orangtua

a. Kekuasaan Orangtua Terhadap Diri si Anak


1) Menurut KUHPer
Seorang anak yang belum mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawahkekuasaan
orangtuanya selama kedua orangtua itu terikat dalam hubungan perkawinan(Pasal 299 KUHPer).
Apabila perkawinan bubar (karena meninggal/cerai), maka kekuasaan orangtua berubah menjadi
perwalian. Menurut Pasal 300 KUHPer, kekuasaan orangtua ini biasanya dilakukan oleh si ayah.
Hanya saja apabila si ayah tidak mampu untuk melakukannya (misalnya karena sakit keras, sakit
ingatan, keadaan tidak hadir), kekuasaan itu dilakukan oleh istrinya.
Orangtua wajib memelihara dan mendidik semua anak-anaknya. Kewajiban ini tetap berlaku
juga jika mereka kehilangan hak untuk melakukan kekuasaan orangtua atau hak untuk menjadi
wali (Pasal 298 ayat 2 KUHPer).
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 41 UUP, bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Menurut Pasal 45 UUP, kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Kewajiban orangtua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.
b. Kekuasaan Orangtua Terhadap Harta Kekayaan Anak
1) Menurut KUHPer
Harta benda anak yang belum dewasa wajib diurus oleh orangtuanya/pemangku kekuasaan
orangtua (Pasal 307 KUHPer). Orangtualah yang akan mewakili anak terhadap tindakan-tindakan
hukum. Atas pekerjaan orangtua tersebut, orangtua mempunyai hak nikmat hasil atas harta benda
anaknya (Pasal 311 KUHPer). Menurut Pasal 313 KUHPer, pemegang kekuasaan orangtua tidak
berhak menikmati hasil harta kekayaan anak apabila terhadap :
a) Barang yang diperoleh si anak karena kerja dan usaha sendiri
b) Hibah yang diterima si anak dengan ketentuan, bahwa kedua orangtua tidak boleh
menikmatinya.
Hak nikmat hasil tidak dapat beralih kepada ahli waris, karena hak ini adalah hak subjektif.
Apabila orangtua hendak manjaminkan atau menjual harta benda anaknya yang belum dewasa,
maka orangtua harus memperoleh izin dari pengadilan (Pasal 309KUHPer).
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan,
kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48 UUP).
c. Pembebasan dan Pencabutan Kekuasaan Orangtua
1) Menurut KUHPer
Menurut Pasal 319a KUHPer, seorang bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orangtua
dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut berdasarkan alasan ia tidak cakap atau tidak mampu
menunaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya. Selanjutnya menurut pasal
ini, pembebasan ini tidak boleh diperintahkan jika si yang memangku kekuasaan orangtua
mengadakan perlawanan. Adapun apabila menurut pertimbangan hakim kepentingan anak
menghendakinya, kekuasaan orangtua dapat dicabut karena:
a) Orangtua telah menyalahgunakan atau melalaikan kewajibannya sebagai orangtua dalam
memelihara dan mendidik anaknya.
b) Berkelakuan buruk.
c) Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan
mutlak,karena sengaja telah turut serta dalam sesuatu kejahatan terhadap seorang anak
belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
d) Telah mendapat hukuman penjara selama 2 tahun atau lebih.
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 49 ayat (1) UUP menegaskan, bahwa salah seorang atau kedua orangtua dapatdicabut
kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan
orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilandalam hal-hal sebagai berikut :
a) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b) Ia berkelakuan buruk sekali.
Selanjutnya menurut ayat (2)-nya, meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih
tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

3. Perwakilan

a. Pengertian Perwakilan
Menurut Prof. Subekti, perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah
umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut diatur oleh undang-undang. Adapun menurut Prof. Ali Afandi, perwalian (voogdij) adalah
pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika
anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orangtua. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang
dimaksud dengan perwalian itu adalahsuatu upaya hukum untuk mengawasi dan memelihara anak
yatim-piatu atau anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orangtuanya.
b. Anak di Bawah Perwakilan
1) Menurut KUHPer
Dalam tiap perwalian, hanya ada satu orang wali (Pasal 331 KUHPer). Anak yang berada di
bawah perwalian itu :
a) Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaan sebagai orangtua
b) Anak sah yang orangtuanya telah bercerai.
c) Anak sah yang salah satu atau kedua orangtuanya telah meninggal dunia,
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 50 UUP, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernahmelangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di
bawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupunharta
bendanya. Menurut Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUP, wali dapat ditunjuk oleh satu orangtua yang
menjalankan kekuasaan orangtua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c. Macam-macam Perwakilan
Mengenal perwalian ini, terdapat bermacam-macam, yaitu antara lain:
1) Wali orangtua yang hidup terlama, yaitu apabila salah satu orangtua meninggal, maka
perwalian terhadap anak kawin yang belum dewasa dilakukan oleh orangtua yang hidup
terlama (Pasal 345 KUHPer).
2) Kawan wali, yaitu jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi, maka suaminya
menjadi kawan wali (Pasal 351 KUHPer).
3) Wali orangtua yang telah dewasa atas anak luar kawin yang diakui (Pasal 353 KUHPer).
4) Perwalian menurut wasiat, yaitu wali yang diangkat berdasarkan surat wasiat orangtua anak
tersebut (Pasal 355 KUHPer).
5) Wali datif, yaitu wali yang diangkat oleh penetapan pengadilan negeri negeri (Pasal 359
KUHPer).
6) 6)Perwalian badan hukum yang diangkat oleh hakim (Pasal 365 KUHPer).
7) 7)Wali curator/wali pengampu atas anak sah dari orangtua yang di bawah pengampuan (Pasal
453 KUHPer).
d. Kewajiban Seorang Wali
1) Menurut KUHPer
Kewajiban-kewajiban seorang wali menurut KUHPer antara lain :
a) Wajib mengurus harta kekayaan anak yang belum dewasa (Pasal 385 ayat 1 KUHPer).
b) Wajib membuat atau menyuruh membuat perincian akan barang-barang kekayaan
anakyang belum dewasa (Pasal 386 ayat 1 KUHPer).
c) Wajib menyelenggarakan pemilihan dan pendidikan terhadap pribadi anak yang
belumdewasa sesuai dengan harta kekayaannya, dan mewakilinya dalam segala tindak
perdata (Pasal 383 KUHPer).
d) Tidak boleh menjual barang tak bergerak milik anak di bawah perwaliannya dengan cara
lain melainkan dengan lelang umum (Pasal 399 ayat 1 KUHPer).
e) Tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri barang- barang
kekayaan si belum dewasa, kecuali apabila Pengadilan Negeri telahmengizinkan syarat-
syaratnya (Pasal 400 ayat 1 KUHPer).
f) Wajib pada akhir perwaliannya mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup (Pasal
409 KUHPer).
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 51 dan 52 UUP disebutkan, bahwa seorang wali adalah :
a) Wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik- baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
b) Wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu.
c) Bertanggung jawab tentang harta benda anak yang di bawah perwaliannya serta kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
d) Tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anak yang berada di bawah penguasaannya, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
e. Pembebasan dan Pemecatan dari Perwalian
1) Menurut KUHPer
a) Pembebasan dari Perwalian
Menurut Pasal 379 KUHPer, orang yang tidak dapat diangkat sebagai wali adalah:
 Orang yang sakit ingatan.
 Orang yang belum dewasa.
 Orang yang berada di bawah pengampuan.
 Orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua maupun sebagai wali.
 Kepala dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan, kecuali dari anak-anaknya
sendiri.
Adapun menurut Pasal 377 KUHPer, alasan-alasan seseorang menolak sebagai wali adalah :
Mereka yang dalam melakukan kepentingan karena berada di luar Indonesia.
 Anggota tentara dalam menunaikan tugasnya.
 Mereka yang telah berusia 60 tahun.
 Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit atau kesusahan yang berat.
 Mereka yang sudah menjadi wali untuk seorang anak lain.
 Mereka yang pada hari pengangkatan mempunyai 5 orang anak sah atau lebih.
 Seorang perempuan yang sudah kawin
b) Pemecatan atau Pencabutan Kekuasaan Perwalian

Menurut Pasal 380 KUHPer, hakim dapat memecat kekuasaan seorang wali apabila:

 Ia berkelakuan buruk.
 Ia tidak cakap dalam menunaikan perwalian.
 Ia menyalah gunakan kekuasaan
 Ia dalam keadaan pailit.
 Ia berperkara dengan si anak yang belum dewasa.
 Ia mendapat hukuman karena suatu kejahatan terhadap si anak yang ada dalam
kekuasaannya.
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anak yang di bawah penguasaannya dan ia berkelakuan buruk sekali. Dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, oleh pengadilan di tunjuk orang lain sebagai wali (Pasal
53UUP). Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak itu atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan,
yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54 UUP).
f. Mulai dan Berakhirnya Hak Perwalian
Menurut Pasal 331 a KUHPer, perwalian mulai berlaku apabila :
1) Jika seorang wali diangkat oleh hakim
2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orangtua.
3) Jika seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali, baik oleh hakim maupun
olehsalah satu dari kedua orangtua.
4) Jika suatu perhimpunan, yayasan atau lembaga anak diangkat menjadi wali.
5) Jika seseorang menjadi wali karena hukum.

Menurut ketentuan Pasal 331 b KUHPer, hak perwalian berakhir apabila:

1) Diangkat wali lainnya


2) Anak yang belum dewasa setelah berada di bawah perwalian, dikembalikan ke dalam
kekuasaan orangtuanya.
3) Anak luar kawin yang belum dewasa yang telah diakui oleh undang-undang, disahkan pada
saat berlangsungnya perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak itu atau saat pemberian
surat-surat pengesahan.

4. Sistem Kekerabatan

a. Pengertian Sistem Kekerabatan


Sistem kekerabatan adalah serangkaian aturan yang mengatur penggolongan orang-orang
sekerabat. Hal ini mencakup berbagai tingkat hak dan kewajiban di antara orang-orang sekerabat
yang membedakan hubungan mereka dan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat.
Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah sejumlah orang yang dapat dihubungkan satu sama
lainnya melalui hubungan darah yang bersumber dari orangtua atau leluhur yang sama.
b. Kekeluargaan Sedarah
Kekeluargaan sedarah adalah suatu pertalian keluarga antara mereka, yang mana yang satu adalah
keturunan yang lain atau yang semua mempunyai nenek moyang yang sama. Pertalian keluarga
sedarah dihitung jumlah kelahiran. Tiap-tiap kelahiran dinamakan derajat (Pasal 290KUHPer).
Adapun menurut Prof. Ali Afandi, kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Urutan perderajatan merupakan garis
yang disebut garis lurus ialah urutan perderajatanantara mereka, yang mana yang satu adalah
keturunan yang lain. Garis menyimpang ialah urutan perderajatan antara mereka yang mana yang satu
bukanlah keturunan yang lain, melainkan yang mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291
KUHPer).
c. Kekeluargaan Semenda
Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian keluarga yang diakibatkan karena perkawinan,
ialah sesuatu antara seorang di antara suami-istri dan para keluarga sedarah yanglain (Pasal 295 ayat
1 KUHPer). Jadi, hubungan keluarga karena semenda adalah pertaliankeluarga yang terjadi karena
perkawinan seorang dengan keluarga si suami atau istri (hubungan saudara periparan).Walau
demikian menurut Pasal 295 ayat (2) KUHPer, tiada kekeluargaan semenda antara para keluarga
sedarah si suami dan keluarga si istri dan sebaliknya. Jadi, antara keluarga suami dan keluarga istri
tidak terdapat hubungan semenda. Perderajatan kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang
sama dengan perderajatan pertalian keluarga sedarah diukurnya (Pasal 296 KUHPer). Dengan
bubarnya suatu perkawinan, maka kekeluargaan semenda antara bekas suami atau istri dan para
keluarga lainnya, tidak dihapuskan (Pasal 297 KUHPer).

C. HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ISLAM


1. Keturunan

a. Anak Sah
1) Pengertian Anak Sah
Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah :
a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b) Hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
2) Penyangkalan Anak Sah
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang suami yang mengingkari sahnya anak,
sedang istri tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
li’an (Pasal 101 KHI). Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari
lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itumengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya
kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak
dapat diterima (Pasal 102 KHI).
3) Pembuktian Anak Sah
Menurut Kompilasi Hukum Islam, asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikandengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnyatersebut tidak ada,
maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. Atas dasar ketetapan
Pengadilan Agama tersebut, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 103
KHI).
b. Anak Luar Kawin
Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI).

2. Kekuasaan Orangtua
a. Kekuasaan Orangtua Terhadap Diri si Anak

Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya


telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban
memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama 2 tahun,
dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang 2 tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya
(Pasal 104 KHI).

Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu (Pasal 98 KHI).

b. Anak di Bawah Perwalian

Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas
permohonan kerabat tersebut. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan
hukum (Pasal 107 KHI).

c. Kewajiban Seorang Wali

Dalam Pasal 110-111 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa seorang wali :

1) Berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan
sebaik-baiknya.
2) Berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
3) Dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di
bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
4) Bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
5) Berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila
yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.

d. Berakhirnya Hak Perwalian

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas pemohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila dan/atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya (Pasal 109 KHI).

D. HUKUM KEKELUARGAAN ADAT


1. Hal Keturunan
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang
dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur,
adalah keturunan yang seorang dari yang lain.

Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan
kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, wajib saling memelihara dan saling membantu, dapat
saling mewakili dalam melakukan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.

Lazimnya, untuk kepentingan keturunannya, dibuatkan : silsilah”, yaitu suatu bagan di mana
digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah,
maupun yang menyimpang.

2. Hubungan Anak dengan Orangtua

Hubungan anak dengan orangtuanya menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut :

a) Larangan kawin antara bapak dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya.
b) Saling berkewajiban untuk memelihara dan memberi nafkah.

Orangtua tanpa pamrih selalu membimbing dan mendidik anak-anaknya sampai anak itu
dewasa.Hal ini dilakukan dengan harapan, bahwa anak tersebut sebagai penerus keturunan dapat
membawa nama baik keluarganya dan berguna dalam masyarakat, serta memelihara orangtuanya yang
secara fisik sudah tidak mampu mencari nafkah.

a. Anak Kandung

Pada dasarnya, anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan yang sah adalah anak kandung
(anak sah). Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam setiap somah (gezin) dalam
suatu masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian anak kandung tersebut menjadi penerus generasi
keluarga, kerabat, dan sukunya.

b. Anak Lahir di Luar Perkawinan

Dalam masyarakat hukum adat, dijumpai pula anak yang lahir di luar perkawinan, yaitu anak
yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak kawin (secara adat dan agama). Mengenai hal ini,
beberapa daerah menganggap bahwa anak yang lahir di luar perkawinan adalah suatu hal yang biasa
dan tidak tercela, misalnya pada masyarakat Minahasa, Mentawai, Timor, dan Ambon. Tetapi di
beberapa daerah lainnya, terdapat petentangan keras terhadap ibu yang tidak kawin beserta anaknya.

c. Anak yang Lahir karena Zina

Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain yang
bukan suaminya, maka menurut hukum adat, bapaknya anak itu ialah lelaki suaminya perempuan itu,
kecuali apabila si suami menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan olehi strinya karena zina
dengan alasan-asalan yang dapat diterima.

d. Anak yang Lahir setelah Perceraian


Menurut hukum adat, anak yang dilahirkan setelah perceraian, mempunyai bapak bekas suami
wanita yang melahirkan anak itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas batas waktu hamil.

e. Anak Piara

Anak piara adalah anak yang dititipkan pada orang lain (biasanya seorang warga keluarga yang
agak berada) untuk dipelihara. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajibannya sebagai orangtua
untuk memelihara anak. Dengan kata lain, orangtua yang bersangkutan tidak mampu untuk
memenuhi kewajiban orangtua terhadap anaknya. Tindakan peniripan anak ini berbedadengan adopsi
(pengangkatan anak). Anak yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diambil kembali oleh orangtuanya
dengan penggantian biaya pemeliharaan.

f. Anak Tiri

Yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak dari salah seorang suami atau istri yangdibawa
dalam hubungan perkawinan dan diakui sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian,anak tiri tersebut
akan melanjutkan keturunan, dan kadang-kadang juga sebagai ahli waris sepenuhnya.

g. Anak Angkat

Yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat karena alasan tertentu
dan dianggap sebagai anak kandung. Pengangkatan anak pada saat sekarang ini sudah sangat umum
dan pengangkatan anak ini disebut pula dengan adopsi. Alasan untuk melakukan adopsi ini ialah
kekhawatiran akan kepunakan kerabatnya. Mengenai pengangkatan anak (adopsi/ambil anak) ini ada
beberapa macam, antara lain :

1) Pengangkatan anak yang sama sekali bukan dari keluarga/kerabat.


2) Pengangkatan anak dari kalangan keluarga sendiri.
3) Pengangkatan anak dari kalangan kemenakan/keponakan (baik laki-laki maupun
perempuan).

3. Hubungan Anak dengan Kerabatnya

Pada masyarakat yang menganut sistem bilateral atau parental, hubungan antara golongan kerabat
pihak bapak terhadap anak adalah sama dengan perhubungan anak dengan golongan-golongan kerabat
pihak ibunya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral demikian, maka masalah-masalah tentang
larangan perkawinan, kecenderungan-kecenderungan perkawinan, hukum waris, kewajiban memelihara,
kesemuanya ini berlaku sama terhadap kedua belah pihak dengan mutu yang sama pula.

4. Perwalian

Menurut hukum adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orangtua, tidaklah
menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak-anakmasih berada
pada salah satu dari kedua orangtuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya
perwalian, adalah apabila kedua orangtua dari anak tersebut meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan
belum dewasa. Dengan meninggalnya keduaorangtua, anak-anak menjadi yatim-piatu dan mereka
semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orangtua. Mengenai bentuk perwalian ini dalam masyarakat
hukum adat diatur secara berbeda- beda.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan diatas dari sana kita semua bisa lihat betapa pentingnya kita
mempelajari tentang hukum perdata ini, sebab ini sangat berguna untuk kita sekarang maupun sampai saat
yang akan datang dan memberikan pemahaman dan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main
hakim sendiri dan untuk menciptakan suasana yang tertib. Atau dengan kata lain tujuan nya adalah untuk
mencapai suasana yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan haknya melalui badan peradilan
sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang. Kita juga jadi mengetahui perihal asas-asas hukum
perdata, bagaimana tentang hukum perorangan, dan apa itu hukum keluarga.

B. Saran
Demikianlah makalah telah kami susun semoga dengan adanya makalah ini, kita semua dapat
sekiranya sedikit mengerti atau mengetahui hendaknya, dan kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca sekalian, untuk dapat menjadi pedoman dalam penyusunan makalah
selanjutnya agar lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

Subekti, R. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta:Intermasa. Cet. XXI.

Kartohadiprodjo, Soediman. 1984. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: Ghalia


Indonesia. Cet. X.

Prodjodikoro, R. Wirjono. 1992. Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: Sumur Bandung. Cet. XI.

Apeldoorn, L.J. Van. 1980. Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan: Oetarid Sadino). Jakarta: Pradnya
Paramita. Cet. XVI.

Subekti, R., dan Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:Pradnya Paramita.
Cet. XXVIII.

Syahrani, Riduan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni. Cet. III.

Kansil, C.S.T. 1991. Modul Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Cet. I.

Anda mungkin juga menyukai