Disusun Oleh :
ATHIRAH AFRA
DARA BALQIS NABILLA
NURFAZILAH
NONA BERBIE
MUNA TASYA
IMAM MUHAJIR
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum
Indonesia. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada ibu Dian Eriani selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun kami tetap mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................................................4
BAB II.........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
I. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM PERDATA...............................................................................5
II. SEJARAH HUKUM PERDATA........................................................................................................5
III. ASAS-ASA HUKUM PERDATA.....................................................................................................6
A. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia...........................................................................................6
B. Pengertian Dan Ruang Lingkup Hukum Perdata.............................................................................8
C. Hubungan Antara Hukum Perdata Dan Hukum Politik...................................................................8
D. Sistematika Hukum Perdata............................................................................................................9
IV. HUKUM PERORANGAN................................................................................................................9
A. DEFINISI HUKUM PERORANGAN............................................................................................9
B. PERIHAL ORANG DALAM HUKUM.......................................................................................10
C. PERIHAL BADAN HUKUM.......................................................................................................13
D. PERIHAL DOMISILI...................................................................................................................15
V. HUKUM KELUARGA....................................................................................................................16
A. PENGERTIAN HUKUM KELUARGA.......................................................................................16
B. HUKUM KELUARGA MENURUT KUHPER DAN UU NO. 1 TAHUN 1974.........................17
C. HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ISLAM...............................................................24
D. HUKUM KEKELUARGAAN ADAT..........................................................................................25
BAB III......................................................................................................................................................29
PENUTUP.................................................................................................................................................29
A. Kesimpulan.......................................................................................................................................29
B. Saran.................................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik
hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau
badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yangdiharapkan, sehingga seringkali menimbulkan
permasalahan hukum.
Semua tindakan yang dilakukan oleh manusia yang selalu terikat oleh hukum. Hukum adalah
sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga
dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban
disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya.
Hukum terbagi menjadi dua, yaitu hukum perdata dan hukum publik. Dalam penulisan ini, saya
akan membahas mengenai hukum perdata, seperti apa tujuan kita mempelajari hukum perdata, sejarah
hukum perdata, asas-asas hukum perdata, dan beberapa subbab materi hukum perdata seperti hukum
perorangan dan hukum keluarga. Hukum perdata yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer), bagaimana hukum mengatur setiapkegiatan atau tindakan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah tujuan mempelajari Hukum Perdata ?
2. Bagaimanakah sejarah Hukum Perdata ?
3. Apa saja asas-asas Hukum Perdata ?
4. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Perorangan ?
5. Bagaimanakah penjelasan tentang Hukum Keluarga ?
BAB II
PEMBAHASAN
I. TUJUAN MEMPELAJARI HUKUM PERDATA
Sebagai mahasiswa hukum, penting bagi kita untuk mengetahui apa tujuan mempelajari hukum
perdata. Mempelajari hukum perdata umumnya dilaksanakan di perguruan tinggi yang dimaksudkan
sebagai upaya untuk membentuk kepribadian manusia yang mengacu pada nilai-nilai tertentu.
Kepribadian diartikan sebagai pola pikir, bersikap, merasa, dan bertindak secara terpadu dalam diri
individu.
Pendidikan bukan sekedar menggumuli fenomena yang tampak dari luar saja, tetapi juga
langsung memahami konsep dasarnya kemudian menganalisanya secara nalar. Pendidikan tinggi hukum
harus senantiasa diarahkan pada peningkatan kecerdasan sumberdaya manusia yang tidak hanya berguna
bagi kepentingan rakyat secara individu, tetapi juga agar mampu mengimplemantasikan ilmunya bagi
kepentingan masyarakat. Keberadaan pendidikan tinggi hukum memang memiliki peranan yang lebih
dibandingkan dengan subsistem lainnya yang ada di dalam masyarakat.
Tujuan mempelajari hukum perdata adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang segala hal
dan semua seluk-beluk keberadaan hukum dan segala yang melingkupinya yang begitu luas terutama atau
lebih tepatnya untuk memperoleh pengetahuan tentang bangaimana tata cara pembagian harta waris dari
pada orang tua kita, karna kadang-kadang orang banyak berpecah belah oleh sebab warisan ini,
selanjutnya tentang hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum benda dan lain sebagainya.
1. Wilayah Utara dan Tengah, wilayah ini merupakan daerah hukum lokal yang berlaku hukum
kebebasan Prancis kuno yang berasal dari germania.
2. Wilayah selatan, wilayah ini merupakan daerah hukum Romawi, dan hukum yang diakui disana yaitu
Hukum Syenes yang dikumpulkan secara sistematis dalam suatu kitab Undang-Undang Tahun 1800
yang disebut Carpus Juris Civiles oleh kaisar Justinianus pada tanggal 12-8-1800 dan oleh
pemerintah Napoleon dibentuklah panitia pengkodifikasian Undang-Undang ini. Pada tanggal 21
maret 1804 barulah diundang-undangkan dengan nama Code Civil Des Francis. Tahun 1807 diadakan
kodifikasi Hukum Dagang dan Hukum Perdata. Pada tahun 1813 pendudukan Perancis di Belanda
berakhir dan belanda merdeka. Tahun 1814 Belanda mengadakan kodifikasi yang diketuai oleh.
Mr.J.M Kempur yang bersumber dari Code Napoleon dan hukum Belanda kuno. Pada tahun 1838
kodifikasi ini disahkan dengan nama: BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek
VanKoophandel) atau Kitab Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang Hukum Dagang. Pada awal
kemerdekaan negeri Belanda 1814 Sistem Pemerintahannya menganut Sistem Disentralisasi yang
terdiri atas Provinsi-provinsi yang berdaulat dan mempunyai peraturan sendiri, sehingga belum ada
peraturan yang berlaku secara umum sehingga kepastian hukum tidak terpenuhi. Pada tahun itu pula
dibentuk panitia yang di ketuai oleh Mr JM Kempur (Guru Besar Bidang Hukum) membuat sendiri
yang memuat Hukuman Belanda Kuno, meliputi: Hukam Romawi, Hukam German, Hukum Kanonik
Gereja, dan disetujui oleh Raja yang dikenal dengan Rancangan 1816. Berdasarkan SK Raja semua
Undang-Undang Wetboek dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1838. Pada tahun1838
kodifikasi ini disahkan oleh Raja dengan nama BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek Van
Koophandel) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang.
3. Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia.
Pada waktu Belanda menguasai Indonesia pemerintahan Hindai Belanda memperlakukan Hukum
Perdata sama yang berlaku di Negeri Belanda yaitu KUHPer dan KUHD. KUHPerdan KUHD
Berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 sampai saat ini KUHPer ini masih belaku menurut Pasal 11
Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD 1945. Namun saat ini KUHPer (BW) sudah tidak berlaku
penuh sesuai dengan bab-bab dan pasal-pasal pada saat permulaan KUHPer berlaku. Sudah banyak
bab-bab dan pasal dan bidang-bidang hukum tertentu tidak berlaku karena telah dicabut oleh Per
Undang-Undangan RI. Hal ini terjadi karena beberapa pasal KUHPer tersebut saat ini tidak sesuai
lagi dengan keadaan masyarakat.
Menurut Pasal 163 ayat (2) I.S., yang termasuk golongan Eropa adalah:
Menurut Pasal 163 ayat (3) I.S., yang termasuk golongan Pribumi adalah:
Dalam dunia hukum, perkataan orang (persoon) berarti pembawa hal, yaitu segala sesuatu yang
mempunyai hak dan kewajiban, atau disebut juga sebagai subjek hukum. Sebagai pembawa hak, padanya
dapat diberikan hak (hak menerima warisan, hak menerima hibah, dan sebagainya) dan dapat dilimpahkan
kewajiban. Pada saat sekarang ini boleh dikatakan, bahwa setiap manusia itu adalah pembawa hak (subjek
hukum).
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, dimulai pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia. Terhadap hal ini terdapat suatu pengecualian, dimana anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila kepentingan si anak
menghendakinya (Pasal 2 ayat 1 KUHPer). Ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUHPer ini mempunyai arti
penting apabila dalam hal :
Meskipun menurut hukum sekarang ini, setiap orang tanpa kecuali dapat memiliki hak-haknya,
akan tetapi di dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak sendiri di dalam
melaksanakan hak-haknya itu. Ada beberapa golongan orang yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum,
sehingga mereka itu harus diwakili atau dibantu oleh orang lain. Menurut pasal 1330 KUHPer,
mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum
ialah :
Orang-orang yang belum dewasa hanya dapat menjalankan hak dan kewajibannya dengan
perantaraan orang lain, atau sama sekali dilarang. Kecakapan untuk bertindak didalam hukum bagi
orang-orang yang belum dewasa ini diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
1) Menurut Pasal 330 KUHPer, orang yyang dikatakan belum dewasa apabila ia belum
mencapai usia 21 tahun dan tidak lebih dulu telah kawin. Apabila ia telah menikah, maka ia
dianggap telah dewasa dan ia tidak akan menjadi orang yang dibawah umurlagi, meskipun
perkawinannya diputuskan sebelum ia mencapai usia 21 tahun.
2) Untuk melangsungkan perkawinan:
Menurut Pasal 29 KUHPer, bagi seorang laki-laki harus berumur 18 tahundan bagi
seorang wanita harus berumur 15 tahun.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagiseorang
laki-laki harus berumur 19 tahun dan bagi seorang wanita harus berumur 16 tahun.
Dalam Hukum Waris, seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun tidakdapat
membuat wasiat (Pasal 897 KUHPer).
Menurut Pasal 19 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, untuk dapat memilihdi
dalam pemilihan umum harus sudah berumur 17 tahun.
c. Orang yang Ditaruh di Bawah Pengampuan
Menurut Pasal 433 KUHPer, orang yang ditaruh dibawah pengampuan adalah orangyang dungu,
sakit ingatan atau mata gelap, dan orang boros. Mengenai hal ini, diatur dalam ketentuan-ketentuan
berikut ini :
1) Seseorang yang karena ketidak sempurnaan akalnya ditaruh di bawah pengampuan, telah
mengikatkan dirinya dalam suatu perkawinan, dapat diminta pembatalan perkawinan (Pasal
88 ayat 1 KUHPer).
2) Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seorang harus mempunyai akal
budinya (Pasal 895 KUHPer).
3) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dianggap tak cakap untuk membuat suatu
perjanjian (Pasal 1330 KUHPer).
d. Kedudukan Wanita dalam Hukum
Khusus untuk orang perempuan yang dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum dalam
hal :
1) Membuat perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suami (Pasal 108 KUHPer).
2) Menghadap di muka hakim harus dengan bantuan suami (Pasal 110 KUHPer).
Untuk masa sekarang ini, ketentuan Pasal 108 KUHPer ini telah dicabut dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963. Hal ini ditegaskan lagi dalam
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana hak dan kedudukan istri ialah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat; dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Selanjutnya menurut Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, mengenai harta
bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
3. Pendewasaan
a. Pengertian Pendewasaan
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap
orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi, maksudnya adalah memberikan
kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum
dewasa.
Dengan demikian, menurut Pasal 424 KUHPer, anak yang dinyatakan dewasa, dalam
segala-galanya mempunyai kedudukan yang sama dengan orang dewasa.
b. Macam-macam Bentuk Pendewasaan
Pada dasarnya, ada dua macam bentuk pendewasaan, yaitu :
1) Pendewasaan Terbatas
Dengan pendewasaan terbatas, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa),
dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan hukum tertentu. Syarat
untukmengajukan pendewasaan terbatas adalah harus sudah berusia 18 tahun dan
permohonan ini diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 426 KUHPer).
2) Pendewasaan Penuh
Dengan pendewasaan penuh, maka anak di bawah umur (yang belum dewasa),
dinyatakan dewasa untuk melakukan segala tindakan. Syarat untuk mengajukan
pendewasaan penuh yaitu harus sudah berusia 20 tahun dan permohonan ini diajukanke
presiden (dalam hal ini, Menteri Kehakiman – lihat Pasal 420-421 KUHPer)
c. Pencabutan Hak Pendewasaan
Pendewasaan ini dapat dicabut atau ditarik kembali oleh Pengadilan Negeri apabila anak
yang belum dewasa ini menyalah gunakan kewenangan yang diberikan kepadanya atau suatu
alasan tertentu (Pasal 431 KUHPer). Menurut ketentuan Pasal 432 KUHPer, segala bentuk
pendewasaan dan pencabutan atas pendewasaan ini, harus diumumkan dalam berita negara agar
berlaku bagi umum.
4. Pengampuan
a. Pengertian Pengampuan
Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan
seorangyang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Orang yang
ditaruhdibawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator dan
pengampuannya disebut curatele. Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang
menderita sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan.
Setiap anak yang belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit ingatan, atau mata
gelap, tidak boleh ditaruh dibawah pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah pengawasan
bapak dan ibunya atau walinya (Pasal 462 KUHPer).
b. Pengajuan Permohonan Pengampuan
Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan dengan adanya
permohonan pengampuan. Yang dapat mengajukan permohonan pengampuan ialah:
1) Keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadaannya dungu, sakit
ingatan atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer).
2) Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis
menyimpang sampai dengan derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal
434 ayat 2 KUHPer).
3) Suami atau istri boleh meminta pengampuan atas istri atau suaminya (Pasal 434 ayat
3 KUHPer).
4) Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434
ayat 4 KUHPer).
5) Kejaksaan, dalam hal mata gelap, keadaan dungu atau sakit ingatan (Pasal 435
KUHPer).
c. Akibat Hukum Penganpuan
Akibat hukum dari orang yang ditaruh dibawah pengampuan:
1) Ia sama dengan orang yang belum dewasa (Pasal 452 ayat 1 KUHPer).
2) Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang ditaruh dibawah pengampuan,
batal demi hukum (Pasal 446 ayat 2 KUHPer).
1) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih boleh membuat
suratwasiat (Pasal 466 ayat 3 KUHPer).
2) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masoh bisa melangsungkan
perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya (Pasal 452
ayat 2 KUHPer).
d. Berakhirnya Pengampuan
Pengampuan ini berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang (Pasal
460 KUHPer). Pengampuan juga berakhir apabila si curandus meninggal dunia.
D. PERIHAL DOMISILI
1. Pengertian Domisili
Pada dasarnya, setiap orang harus mempunyai tempat tinggal yang dapat dicari (Pasal 17ayat 1
KUHPer). Tempat tinggal itu disebut domisili (tempat tinggal/tempat kediaman).
Domisili adalah tempat dimana seseorang dianggap selalu hadir mengenai hal melakukan hak-haknya
dan memenuhi kewajibannya, meskipun sesungguhnya ia bertempat tinggal di tempat lain. Bahkan,
sebuah badan hukum pun dapat memiliki tempat kedudukan tertentu. Dengan demikian, domisili ini
dapat berarti tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum. Tetapi dalam hal tidak
adanya tempat tinggal tertentu, maka tempat kediaman, yang sewajarnya dianggap sebagai tempat
tinggal/domisili (Pasal 17 ayat 2 KUHPer).
2. Pentingnya Domisili
Pada dasarnya, domisili ini penting untuk diketahui karena:
a. Untuk mengetahui dimana seseorang harus menikah.
b. Untuk mengetahui di mana ia harus mengajukan gugatan perceraian.
c. Untuk mengetahui pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili suatu perkara
perdata seseorang.
d. Untuk mengetahui di mana ia harus mengikuti pemilihan umum (pemilu), apakah ia
bertempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di luar negeri.
e. Untuk mengetahui tempat pembayaran suatu barang. Menurut Pasal 1393 ayat (2)
KUHPer, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si berpiutang dan di dalam hal
lainnya di tempat tinggal si berutang.
3. Macam-macam Domisili
Mengenai domisili atau tempat tinggal atau tempat kediaman seseorang ini dapatdibedakan dalam
dua macam, yaitu:
V. HUKUM KELUARGA
A. PENGERTIAN HUKUM KELUARGA
Sebenarnya, hukum keluarga ini adalah kelanjutan dari hukum perkawinan. Setelah manusia
menikah, maka akan terbentuk suatu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Hubungan keluarga
ini menimbulkan akibat-akibat hukum yang diatur dalam undang-undang. Dengan kata lain, hubungan
keluarga ini timbul,dari hubungan perkawinan antara suami dan istri, hubungan anak dengan orangtuanya
dan hubungan anak dengan walinya. Sehingga dengan demikian,hubungan keluarga ini tidak dapat dinilai
dengan uang.
Adapun pengertian hukum keluarga menurut para sarjana hukum anatara lain sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn, hukum keluarga (familierecht) adalah peraturan
hubungan hukum yang timbul dari hubungan keluarga.
b. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum keluarga adalah kesemuanya kaidah-
kaidah hukum yang menetukan syarat-syarat dan caranya mengadakan hubungan abadi serta
seluruh akibatnya.
a. Anak Sah
1) Pengertian Anak Sah
Dalam prinsip menurut KUHPer, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Adapun menurut Pasal 42 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalamatau
sebagai akibat perkawinan yang sah.
2) Penyangkalan Anak Sah
a) Menurut KUHPer
Menurut Pasal 250 KUHPer, tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Sebagai akibatnya,kepada suami diberi
hak penyangkalan anak sah, yaitu sebagai berikut:
Menurut Pasal 251 KUHPer, seorang anak yang dilahirkan sebelum 180 hari
terhitung sejak tanggal perkawinan, maka si suami boleh manyangkal anak tersebut,
tetapi penyangkalan ini tidak boleh dilakukan dalam hal :
- Si suami telah mengetahui bahwa pada saat perkawinan, si istri sudah hamil.
- Si suami turut hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan turut menanda
tanganinya.
- Anaknya lahir dalam keadaan meninggal.
Menurut Pasal 252 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan anak apabila dapat
membuktikan bahwa ia sejak 300 hari sampai 180 hari sebelum lahirnya anak tidak
terjadi hubungan kelamin dengan istrinya.
Menurut Pasal 253 KUHPer, suami tidak dapat mengingkari keabsahan seorang anak
dengan alasan istrinya telah berzina dengan lelaki lain, kecuali jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
Menurut Pasal 254 KUHPer, suami boleh mengingkari keabsahan seorang anak,yang
dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan pemisahan meja dan tempat tidur
memperoleh kekuatan hukum. Apabila penyangkalannya dikabulkan, maka anak
tersebut disebut anak di luar kawin atau anak tidak sah.
Menurut Pasal 256 KUHPer, tenggang waktu untuk penyangkalan adalah :
- Dalam waktu 1 bulan dari lahirnya si anak, jika si suami berdiam di tempat
kelahiran si anak.
- Dalam waktu 2 bulan, setelah kembalinya si suami jika ia berada dalam keadaan
tak hadir.
- Dalam waktu 2 bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak itu
disembunyikan.
b) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bila mana ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinahan
tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan (Pasal 44 UUP).
3) Pembuktian Anak Sah
a) Menurut KUHPer
Menurut Pasal 25 KUHPer, anak yang dilahirkan 300 hari setelah perkawinan dibubarkan
adalah tidak sah. Menurut KUHPer, seorang anak yang sah dapat dibuktikan dengan:
Akte kelahiran anak yang dibukukan dalam register Catatan Sipil (Pasal 261 ayat1
KUHPer).
Anak itu terus-menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak yang sah(Pasal 261
ayat 2 KUHPer).
Saksi-saksi, apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan atau dugaan-dugaan
atau petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidakdapat disangkal
lagi kebenarannya (Pasal 264 KUHPer).
Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan kata kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut
tidak ada, maka Pengadilan dapat megeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut, maka instansi pencatat kelahiran yang ada
dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan. (Pasal 55).
2. Kekuasaan Orangtua
3. Perwakilan
a. Pengertian Perwakilan
Menurut Prof. Subekti, perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah
umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut diatur oleh undang-undang. Adapun menurut Prof. Ali Afandi, perwalian (voogdij) adalah
pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika
anak itu tidak berada di tanah kekuasaan orangtua. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang
dimaksud dengan perwalian itu adalahsuatu upaya hukum untuk mengawasi dan memelihara anak
yatim-piatu atau anak-anak yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orangtuanya.
b. Anak di Bawah Perwakilan
1) Menurut KUHPer
Dalam tiap perwalian, hanya ada satu orang wali (Pasal 331 KUHPer). Anak yang berada di
bawah perwalian itu :
a) Anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaan sebagai orangtua
b) Anak sah yang orangtuanya telah bercerai.
c) Anak sah yang salah satu atau kedua orangtuanya telah meninggal dunia,
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 50 UUP, anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernahmelangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di
bawah kekuasaan wali. Perwalian ini mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupunharta
bendanya. Menurut Pasal 51 ayat (1) dan (2) UUP, wali dapat ditunjuk oleh satu orangtua yang
menjalankan kekuasaan orangtua sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan 2 orang saksi. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c. Macam-macam Perwakilan
Mengenal perwalian ini, terdapat bermacam-macam, yaitu antara lain:
1) Wali orangtua yang hidup terlama, yaitu apabila salah satu orangtua meninggal, maka
perwalian terhadap anak kawin yang belum dewasa dilakukan oleh orangtua yang hidup
terlama (Pasal 345 KUHPer).
2) Kawan wali, yaitu jika yang menjadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi, maka suaminya
menjadi kawan wali (Pasal 351 KUHPer).
3) Wali orangtua yang telah dewasa atas anak luar kawin yang diakui (Pasal 353 KUHPer).
4) Perwalian menurut wasiat, yaitu wali yang diangkat berdasarkan surat wasiat orangtua anak
tersebut (Pasal 355 KUHPer).
5) Wali datif, yaitu wali yang diangkat oleh penetapan pengadilan negeri negeri (Pasal 359
KUHPer).
6) 6)Perwalian badan hukum yang diangkat oleh hakim (Pasal 365 KUHPer).
7) 7)Wali curator/wali pengampu atas anak sah dari orangtua yang di bawah pengampuan (Pasal
453 KUHPer).
d. Kewajiban Seorang Wali
1) Menurut KUHPer
Kewajiban-kewajiban seorang wali menurut KUHPer antara lain :
a) Wajib mengurus harta kekayaan anak yang belum dewasa (Pasal 385 ayat 1 KUHPer).
b) Wajib membuat atau menyuruh membuat perincian akan barang-barang kekayaan
anakyang belum dewasa (Pasal 386 ayat 1 KUHPer).
c) Wajib menyelenggarakan pemilihan dan pendidikan terhadap pribadi anak yang
belumdewasa sesuai dengan harta kekayaannya, dan mewakilinya dalam segala tindak
perdata (Pasal 383 KUHPer).
d) Tidak boleh menjual barang tak bergerak milik anak di bawah perwaliannya dengan cara
lain melainkan dengan lelang umum (Pasal 399 ayat 1 KUHPer).
e) Tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri barang- barang
kekayaan si belum dewasa, kecuali apabila Pengadilan Negeri telahmengizinkan syarat-
syaratnya (Pasal 400 ayat 1 KUHPer).
f) Wajib pada akhir perwaliannya mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup (Pasal
409 KUHPer).
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut Pasal 51 dan 52 UUP disebutkan, bahwa seorang wali adalah :
a) Wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik- baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
b) Wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau
anak-anak itu.
c) Bertanggung jawab tentang harta benda anak yang di bawah perwaliannya serta kerugian
yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
d) Tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anak yang berada di bawah penguasaannya, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.
e. Pembebasan dan Pemecatan dari Perwalian
1) Menurut KUHPer
a) Pembebasan dari Perwalian
Menurut Pasal 379 KUHPer, orang yang tidak dapat diangkat sebagai wali adalah:
Orang yang sakit ingatan.
Orang yang belum dewasa.
Orang yang berada di bawah pengampuan.
Orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua maupun sebagai wali.
Kepala dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan, kecuali dari anak-anaknya
sendiri.
Adapun menurut Pasal 377 KUHPer, alasan-alasan seseorang menolak sebagai wali adalah :
Mereka yang dalam melakukan kepentingan karena berada di luar Indonesia.
Anggota tentara dalam menunaikan tugasnya.
Mereka yang telah berusia 60 tahun.
Mereka yang terganggu oleh suatu penyakit atau kesusahan yang berat.
Mereka yang sudah menjadi wali untuk seorang anak lain.
Mereka yang pada hari pengangkatan mempunyai 5 orang anak sah atau lebih.
Seorang perempuan yang sudah kawin
b) Pemecatan atau Pencabutan Kekuasaan Perwalian
Menurut Pasal 380 KUHPer, hakim dapat memecat kekuasaan seorang wali apabila:
Ia berkelakuan buruk.
Ia tidak cakap dalam menunaikan perwalian.
Ia menyalah gunakan kekuasaan
Ia dalam keadaan pailit.
Ia berperkara dengan si anak yang belum dewasa.
Ia mendapat hukuman karena suatu kejahatan terhadap si anak yang ada dalam
kekuasaannya.
2) Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Wali dapat dicabut dari kekuasaannya dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anak yang di bawah penguasaannya dan ia berkelakuan buruk sekali. Dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut, oleh pengadilan di tunjuk orang lain sebagai wali (Pasal
53UUP). Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak itu atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan,
yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54 UUP).
f. Mulai dan Berakhirnya Hak Perwalian
Menurut Pasal 331 a KUHPer, perwalian mulai berlaku apabila :
1) Jika seorang wali diangkat oleh hakim
2) Jika seorang wali diangkat oleh salah satu dari kedua orangtua.
3) Jika seorang perempuan bersuami diangkat menjadi wali, baik oleh hakim maupun
olehsalah satu dari kedua orangtua.
4) Jika suatu perhimpunan, yayasan atau lembaga anak diangkat menjadi wali.
5) Jika seseorang menjadi wali karena hukum.
4. Sistem Kekerabatan
a. Anak Sah
1) Pengertian Anak Sah
Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, anak yang sah adalah :
a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b) Hasil pembuahan suami-istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
2) Penyangkalan Anak Sah
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang suami yang mengingkari sahnya anak,
sedang istri tidak menyangkalnya, maka dapat meneguhkan pengingkarannya dengan
li’an (Pasal 101 KHI). Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari
lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itumengetahui bahwa
istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya
kepada Pengadilan Agama. Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak
dapat diterima (Pasal 102 KHI).
3) Pembuktian Anak Sah
Menurut Kompilasi Hukum Islam, asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikandengan akta
kelahiran atau alat bukti lainnya. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnyatersebut tidak ada,
maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. Atas dasar ketetapan
Pengadilan Agama tersebut, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum
Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 103
KHI).
b. Anak Luar Kawin
Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 100 KHI).
2. Kekuasaan Orangtua
a. Kekuasaan Orangtua Terhadap Diri si Anak
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu (Pasal 98 KHI).
Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas
permohonan kerabat tersebut. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan
hukum (Pasal 107 KHI).
Dalam Pasal 110-111 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, bahwa seorang wali :
1) Berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan
sebaik-baiknya.
2) Berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya
untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
3) Dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di
bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
4) Bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
5) Berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila
yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin.
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
memindahkannya kepada pihak lain atas pemohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk,
penjudi, pemboros, gila dan/atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya
sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya (Pasal 109 KHI).
Individu sebagai keturunan mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan
kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, wajib saling memelihara dan saling membantu, dapat
saling mewakili dalam melakukan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.
Lazimnya, untuk kepentingan keturunannya, dibuatkan : silsilah”, yaitu suatu bagan di mana
digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah,
maupun yang menyimpang.
a) Larangan kawin antara bapak dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya.
b) Saling berkewajiban untuk memelihara dan memberi nafkah.
Orangtua tanpa pamrih selalu membimbing dan mendidik anak-anaknya sampai anak itu
dewasa.Hal ini dilakukan dengan harapan, bahwa anak tersebut sebagai penerus keturunan dapat
membawa nama baik keluarganya dan berguna dalam masyarakat, serta memelihara orangtuanya yang
secara fisik sudah tidak mampu mencari nafkah.
a. Anak Kandung
Pada dasarnya, anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan yang sah adalah anak kandung
(anak sah). Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam setiap somah (gezin) dalam
suatu masyarakat Hukum Adat. Dengan demikian anak kandung tersebut menjadi penerus generasi
keluarga, kerabat, dan sukunya.
Dalam masyarakat hukum adat, dijumpai pula anak yang lahir di luar perkawinan, yaitu anak
yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak kawin (secara adat dan agama). Mengenai hal ini,
beberapa daerah menganggap bahwa anak yang lahir di luar perkawinan adalah suatu hal yang biasa
dan tidak tercela, misalnya pada masyarakat Minahasa, Mentawai, Timor, dan Ambon. Tetapi di
beberapa daerah lainnya, terdapat petentangan keras terhadap ibu yang tidak kawin beserta anaknya.
Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang pria lain yang
bukan suaminya, maka menurut hukum adat, bapaknya anak itu ialah lelaki suaminya perempuan itu,
kecuali apabila si suami menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan olehi strinya karena zina
dengan alasan-asalan yang dapat diterima.
e. Anak Piara
Anak piara adalah anak yang dititipkan pada orang lain (biasanya seorang warga keluarga yang
agak berada) untuk dipelihara. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kewajibannya sebagai orangtua
untuk memelihara anak. Dengan kata lain, orangtua yang bersangkutan tidak mampu untuk
memenuhi kewajiban orangtua terhadap anaknya. Tindakan peniripan anak ini berbedadengan adopsi
(pengangkatan anak). Anak yang dititipkan dapat sewaktu-waktu diambil kembali oleh orangtuanya
dengan penggantian biaya pemeliharaan.
f. Anak Tiri
Yang dimaksud dengan anak tiri adalah anak dari salah seorang suami atau istri yangdibawa
dalam hubungan perkawinan dan diakui sebagai anaknya sendiri. Dengan demikian,anak tiri tersebut
akan melanjutkan keturunan, dan kadang-kadang juga sebagai ahli waris sepenuhnya.
g. Anak Angkat
Yang dimaksud dengan anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat karena alasan tertentu
dan dianggap sebagai anak kandung. Pengangkatan anak pada saat sekarang ini sudah sangat umum
dan pengangkatan anak ini disebut pula dengan adopsi. Alasan untuk melakukan adopsi ini ialah
kekhawatiran akan kepunakan kerabatnya. Mengenai pengangkatan anak (adopsi/ambil anak) ini ada
beberapa macam, antara lain :
Pada masyarakat yang menganut sistem bilateral atau parental, hubungan antara golongan kerabat
pihak bapak terhadap anak adalah sama dengan perhubungan anak dengan golongan-golongan kerabat
pihak ibunya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral demikian, maka masalah-masalah tentang
larangan perkawinan, kecenderungan-kecenderungan perkawinan, hukum waris, kewajiban memelihara,
kesemuanya ini berlaku sama terhadap kedua belah pihak dengan mutu yang sama pula.
4. Perwalian
Menurut hukum adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orangtua, tidaklah
menimbulkan perwalian. Hal ini disebabkan oleh karena di dalam perceraian, anak-anakmasih berada
pada salah satu dari kedua orangtuanya. Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya
perwalian, adalah apabila kedua orangtua dari anak tersebut meninggal dunia, dan anak yang ditinggalkan
belum dewasa. Dengan meninggalnya keduaorangtua, anak-anak menjadi yatim-piatu dan mereka
semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orangtua. Mengenai bentuk perwalian ini dalam masyarakat
hukum adat diatur secara berbeda- beda.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan diatas dari sana kita semua bisa lihat betapa pentingnya kita
mempelajari tentang hukum perdata ini, sebab ini sangat berguna untuk kita sekarang maupun sampai saat
yang akan datang dan memberikan pemahaman dan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main
hakim sendiri dan untuk menciptakan suasana yang tertib. Atau dengan kata lain tujuan nya adalah untuk
mencapai suasana yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan haknya melalui badan peradilan
sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-wenang. Kita juga jadi mengetahui perihal asas-asas hukum
perdata, bagaimana tentang hukum perorangan, dan apa itu hukum keluarga.
B. Saran
Demikianlah makalah telah kami susun semoga dengan adanya makalah ini, kita semua dapat
sekiranya sedikit mengerti atau mengetahui hendaknya, dan kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca sekalian, untuk dapat menjadi pedoman dalam penyusunan makalah
selanjutnya agar lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1992. Asas-Asas Hukum Perdata. Jakarta: Sumur Bandung. Cet. XI.
Apeldoorn, L.J. Van. 1980. Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan: Oetarid Sadino). Jakarta: Pradnya
Paramita. Cet. XVI.
Subekti, R., dan Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta:Pradnya Paramita.
Cet. XXVIII.
Syahrani, Riduan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni. Cet. III.
Kansil, C.S.T. 1991. Modul Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita. Cet. I.