Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGANTAR MATERI HUKUM PERDATA


Tugas Ini Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum perdata
Dosen Pengampu: Nurman Ritonga, M.HI

Disusun Oleh:
• Dinda juliati
• Putri rahma sundari

PRODI HUKUM KELUARGA SEMESTER SATU


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH ABDUL HALIM HASAN
AL-ISHLAHIYAH BINJAI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadiran Allah SWT. Karena atas limpahan Rahmat dan
hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik. Yang sudah di tentukan
makalah ini berjudul “Pengantar materi hukum perdata” makalah ini disusun agar dapat
bermanfaat sebagai media sumber informasi dan pengetahuan.
Ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah hukum perdata, teman-teman, dan
semua pihak yang telah terlibat dalam memberikan bantuan dalam bentuk moral maupun
material dalam proses penyusun makalah ini, sehingga dapat terselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan berguna serta bisa digunakan sebagaimana semestinya.

Binjai, 8 Maret 2023

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG.........................................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH..................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................5
A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA INDONESIA............................................................................5
1. Hukum Perdata di Indonesia.................................................................................................5
B. SEJARAH HUKUM PERDATA INDONESIA..................................................................................6
1. Hukum Perdata pada Masa Penjajahan Belanda.................................................................7
2. Hukum Perdata Sejak Kemerdekaan....................................................................................7
C. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA INDONESIA...........................................................................8
D. SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA ISLAM............................................................................8
BAB III..................................................................................................................................................11
KESIMPULAN.......................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”,
baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga
seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya
hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum atau contoh lain
dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Hal
tersebut termasuk dalam masalah hukum perdata.
Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuaanya berfungsi
untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi
pelanggarnya. Salah satu bidang.
hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan
antara obyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan
dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara),kegiatan pemerintahan
sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka
hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari- hari.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hukum perdata?
2. Bagaimana sejarah hukum perdata?
3. Bagaimana sistematika hukum perdata?
4. Apa saja sumber-sumber hukum perdata?
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA INDONESIA


Apa yang dimaksud dengan Hukum Perdata? Kita harus lebih dahulu membedakan Hukum
Perdata itu atas dua macam, yaitu Hukum Perdata materil dan Hukum Perdata formil. Hukum
Perdata materil lazim disebut Hukum Perdata saja, sedangkan Hukum Perdata formil lazim disebut
hukum acara perdata.

Para sarjana mendefinisikan Hukum Perdata, kebanyakan para sarjana menganggap Hukum
Perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan
hukum public sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat). 1 Prof. R. Subekti, S.H.
Menyatakan bahwa yang dimaksud Hukum Perdata adalah segala hukum pokok yang mengantur
kepentingan-kepentingan perseorangan.2 Selanjutnya, Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjhoen Sofwan,
S.H. menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang lain. 3

Oleh karena itu, secara umum dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hukum
Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lain di
dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi).

Kendatipun Hukum Perdata mengatur kepentingan perseorangan, tidak berarti semua Hukum
Perdata tersebut secara murni mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena
perkembangan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian
rupa oleh hukum public, misalnya bidang perkawinan, pemburuhan, dan sebagainya.

Selanjutnya, Hukum Perdata ini ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum Perdata
yang tertulis ialah Hukum Perdata yang termuat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Sedangkan Hukum Perdata yang tidak tertulis ialah Hukum Adat. Hukum Perdata yang tertulis
sebagaimana termuat dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun dalam peraturan
perundang-undangan lainnya.

1. Hukum Perdata di Indonesia


Hukum Perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis). Masing-
masing golongan penduduk mempunyai Hukum Perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu
yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman Hukum Perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah
berlangsung lama. Bahkan, sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1959. 4

Keanekaragaman hukum ini bersumber pada ketentuan dalam Pasal 163 IS (Indische
Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan asalnya atas tiga
golongan:

 Golongan Eropa, ialah: semua orang Belanda; semua orang Eropa lainnya; semua orang jepang;
semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk kepada hukum keluarga

1
Prof. Dr. R. Wijono Prodjodikoro, S.H., Asas-asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta, cet VII, 1979, hal.7
2
Prof. R. Subekti, S.H., Pokok-pokok dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet XI, 1975, hal 9.
3
Prof. Dr. Ny. Sri soedewi Masjhoen Sofwan, S.H., Hukum Perdata Hukum Benda, Seksi Hukum Perdata
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal 1.
4
Mr. Drs. E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, cet. IV, 1957, hal 174.
yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum belanda; dan anak sah atau
diakui menurut undang-undang, dan anak yang lahir di hindia belanda.
 Golongan Bumiputra, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli, yang tidak beralih
masuk golongan lain dan mereka yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan
dirinya dengan rakyat Indonesia asli.
 Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra. 5

Selanjutnya, dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan eropa berlaku hukum di
negeri belanda (yaitu hukum eropa atau hukum barat) dan bagi golongan lainnya (bumiputra
dan timur asing) berlaku hukum adatnya masing-masing. Kemudian apabila kepentingan umum
serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, hukum untuk golongan eropa dapat
dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan
juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasarkan ketentuan pasal 131 IS di atas ini, kodifikasi Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek)hanya berlaku bagi golongan bumiputera dan timur asing berlaku hukum aadat mereka
masing-masing, kecuali sejak tahun 1855 Hukum Perdata eropa diberlakukan terhadap golongan
timur asing selain Hukum Keluarga dan Hukum Mawaris.
Peratruran perundang-undangan eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang
bumiputera antara lain pasal 1601-1603 (lama) BW tentang pemburuhan (Stb. 1879 No. 256),
pasal 1788-1791 tentang hutang piutang karena perjudian (Stb.1907 No. 306) dan beberapa
pasal KUHD yaitu sebagian besar hukum laut.
Kemudian peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan misalnya undang-undang
hak pengarang (Auteurswet tahun 1912), peraturan umum tentang koperasi (Stb. 1933 No.108),
Woeker ordonasi (Stb. 1938 No. 523), dan ordonasi tentang pengangkutan di udara (Stb. 1938
No. 100).
Seperti dinyatakan Mr. C.J. Scholten Van Oud-Haarlem, ketua Hooggerechtshof yang Ketika
itu menjabat sebagai ketua Lembaga penundukan dalam notanya tahun 1840, bahwa
penundukan sukarela akan memberi keamanan besar (groteveiliheid) dan keuntungan kepada
orang eropa, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang
tidak tergolong ke dalam orang eropa, dengan memperlakukan hukum eropa atas perjanjian
yang di buatnya itu. Dengan demikian, kepentingan orang eropa dapat diamankan karena
hukum eropa merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum
dari pada hukum adat yang tidak tertulis.

B. SEJARAH HUKUM PERDATA INDONESIA


Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata
Belanda yang diberlakukan dengan asas Konkordansi, yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan
(Belanda) sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah.
Secara makrosubtansial perubahan-perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia:
Pertama, pada mulanya hukum perdata Indonesia merupakan ketentuan-ketentuan
pemerintahan Hindia-Belanda yang diberlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van
Wetgeving/AB). Sesuai dengan Stbll. No 23 tanggal 30 April 1947 yang terdiri dari 36 pasal;
Kedua, dengan konkordinasi pada tahun 1848 diundangkan KUH Perdata (BW) oleh pemerintah
Belanda. Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang diatur dalam Stbl. 1847 No. 23.

5
Achmad Ichsan, S.H., Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hal 53.
Dalam perfektif sejarah, hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua
periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka.

1. Hukum Perdata pada Masa Penjajahan Belanda


Pada mulanya hukum Perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun
1814 yang diketuai oleh Mr. J. M Kempers (1776-1824). Tahun 1816, Kempers menyampaikan
rencana code hukum tersebut pada pemerintah Belanda didasarkan pada hukum Belanda Kuno
dan diberi nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini tentang keras oleh P. Th. Nicolai, yaitu
anggota parlemen berkebangsaan Bergia dan sekaligus menjadi Presiden pengadilan Belgia.
Tahun 1824 Kempers meninggal, selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum diserahkan
Nicolai. Akibat perubahan tersebut, dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar
berorientasi pada code civil Perancis. Code civil Perancis sendiri meresepsi hukum Romawi,
corpus civilis dari Justinianus. Dengan demikian hukum perdata Belanda merupakan kombinasi
dari hukum kebiasaan/hukum Belanda Kuno dan code civil Perancis. Tahun 1838, kodifikasi
hukum perdata Belanda ditetapkan dengan Stbl. 838.

Pada tahun 1848, kodifikasi hukum perdata Belanda diberlakukan di Indonesia dengan Stbl.
1848. Hukum ini hanya diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamakan dengan mereka
(golongan Tiong Hoa). Tujuh puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1919, kodifikasi hukum
perdata Belanda yang diberlakukan di Indonesia dipertegas lagi dengan Stbl. 1919.

2. Hukum Perdata Sejak Kemerdekaan


Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Pasal II aturan Peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku
sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda
yan berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum),
di bidang hukum perdata.
Menurut Sudikno Mertosumo, keberlakuan hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia
didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
1.) Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam tentang mengapa BW masih
berlaku di indonesia. Tatanan hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan
dari tata hukum Belanda, tetapi sebagai tata hukum nasional;
2.) Sepanjang hukum tersebut (BW) tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,
peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan dan
3.) Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi. 6
Selain itu, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanannya sejarahnya
mengalami beberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan
kondisi bangsa Indonesia sendiri.

C. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA INDONESIA


Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi dalam 4 (empat) bagian,
yaitu:
1.) Hukum Perorangan (personenrecht), yang memuat antara lain: (1) Peraturan-peraturan
tentang manusia sebagai subjek hukum, kewenangan hukum, domisili, dan catatan sipil; (2)
Peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri

6
Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal 13.
melaksanakan hak-haknya itu; dan (3) hal-hal yang memengaruhi kecakapan-kecakapan
tersebut.
2.) Hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain: (1) Perkawinan beserta
hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri; (2) hubungan antara orang tua
dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua-ouderlijkemacht); (3) perwalian (voodgdij), yaitu
hubungan antara wali dengan anak; dan (4) Pengampunan (Curatele), yaitu hubungan antara
orang yang diletakkan di bawah pengampunan karena gila atau pikiran kurang sehat atah
karena pemborosan.
3.) Hukum harta kekayaan (vermogensreht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan
hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum ini meliputi; (1) Hak mutlak, yaitu hak-hak
yang berlaku terhadap tiap orang, meliputi; (a) Hak kebendaan, yaitu hal mutlak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat; dan (b) Hak mutlak, yaitu hak
mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat
(immaterial); misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang pedagang
untuk memakai sebuah merek dan lain-lain; dan (2) Ha perorangan, yaitu hak-hak yang
hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.
4.) Hukum waris (erfecht), adalah hukum yang mengatur tentang benda dan kekayaan
seorang jika ia meninggal dunia. Dengan kata lain, bahwa hukum waris tersebut mengatur
akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Menurut
Subekti, berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, hukum waris lazimnya
ditempatkan tersendiri.
Hukum perdata tertulis Indonesia yang terkemas dalam kitab undang-undang hukum
perdata (burgelijik wetboek) pertama kali diundangkan melalui staatsblad 1847-23 dengan
publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD
1945.

D. SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA ISLAM


Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan
sanksi yang tegas dan nyata.
Disamping itu, pengertian sumber hukum dalam ilmu pengetahuan hukum digunakan dalam
beberapa pengertian oleh para ahli dan penulis, antara lain:
1). Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘asalnya hukum’ ialah berupa keputusan
penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan itu
haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.
2). Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘tempat’ ditemukannya peraturan-peraturan
hukum yang berlaku. Bentuknya berupa undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi
atau doktrin dan terdapat dalam UUD 1945, ketetapan MPR, undang-undang, perpu,
peraturan pemerintah, Keppres, dan lainnya, dan
3). Sumber hukum dalam pengertian sebagai ‘hal-hal yang dapat atau seyogiannya
memengaruhi kepada penguasa di dalam menentukan hukumnya. Misalnya, keyakinan akan
hukumnya, rasa keadilan, ataupun perasaan akan hukum.

Vollmar membagi sumber hukum perdata menjadi 2 (dua), yaitu: (1) sumber hukum perdata
tertulis, yaitu KUH Perdata (BW), traktat dan yurisprudensi; dan (2) sumber hukum perdata tidak
tertulis, yaitu kebiasaan.
Secara khusus yang menjadi sumber hukum perdata indonesia tertulis, antara lain:
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB)
Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) merupakan ketentuan-ketentuan umum
pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia dengan Stbl. 1847 No. 23, tanggal 30
April 1847 yang terdiri dari 36 pasal.
2. KUH Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW)
Burgelijik Wetboek (BW) merupakan ketentuan hukum produk Hindia Belanda yang
diundangkan tahun 1848 diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas korkordansi.
3. KUHD atau Wetboek van Koopandhel (WvK)
KHUD diatur dalam Stbl. 1847 No. 23. KHUD ini meliputi dua buku; Buku I tentang Dagang
secara umum dan Buku II tentang Hak-hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran. Terdiri
dari 754 pasal.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
UU ini telah mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai hak atas tanah,
kecuali mengenai hipotek. Secara umum dalam UU ini diatur mengenai hukum pertahanan yang
berlandaskan pada hukum pertahanan yang berlandaskan pada hukum adat, yaitu hukum yang
menjadi karakter bangsa indonesia sendiri.
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Kententuan-Ketentuan Pokok Perkawinan
Ketentuan ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai peraturan pelaksanaannya,
seperti PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 10 Tahun 1974
tentang Perkawinan; PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil jo. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Penambahan atas PP
Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai Negeri Sipil. Dengan
berlakunya ketentuan ini, maka ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH
Perdata, Khususnya tentang perkawinan menjadi tidak berlaku secara penuh.
6. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan dengan Tanah
UU ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata,
sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai Credieverband dalam Stbl. 1908-524
sebagaimana telah diubah dalam Stbl. 1937-190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum
dalam buku II KUH Perdata dan Stbl. 1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia.
7. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Ada tiga pertimbangan lahirnya UU Nomor 42 Tahun 1999. Pertama, adanya kebutuhan yang
sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi
dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga
jaminan. Kedua, jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini
masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan perundang-undangan
secara lengkap dan komprehensif. Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih
memacu pembangunan nasional, dan untuk menjamin kepastian hukum, serta mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk
ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fidusia dan jaminan tersebut perlu didaftarkan pada
Kantor Pendaftaran Fidusia.
UU ini terdiri dari 7 bab dan 41 pasal. Hal-hal yang diatur dalam UU ini meliputi
pembebanan, pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusia, hak mendahulu, dan
eksekusi jaminan fidusia.
8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS)
UU LPS di dalamnya mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan hukum
perdata, konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap nasabah
penyimpanan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukumnya sesuai dengan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum publik, di mana nasabah penyimpan dana memperoleh
hak/perlindungan sesuai yang diberikan oleh negara/badan hukum publik/LPS (keadilan
distributif) dan sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum perdata, di mana
nasabah penyimpan dana memperoleh hak/perlindungan sama banyaknya (keadilan
commutatif).
9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI mengatur tiga hal, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan.
Ketentuan ini hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam. 7

7
Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2008, cet. I
BAB III

KESIMPULAN

Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam pergaulan
masyarakat. Jadi, hukum perdata adalah hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perorangan. Dalam peradilan hukum perdata diutamakan perdamaian karena hukum perdata itu
tidak hanya difungsikan untuk menghukum seseorang, tetapi juga sebagai alat untuk mendapatkan
keadilan dan perdamaian.
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. R. Wijono Prodjodikoro, S.H., Asas-asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta,
cet VII, 1979, hal.7

Prof. R. Subekti, S.H., Pokok-pokok dari Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet XI, 1975, hal
9.

Prof. Dr. Ny. Sri soedewi Masjhoen Sofwan, S.H., Hukum Perdata Hukum Benda, Seksi
Hukum Perdata Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975, hal 1.

Mr. Drs. E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ikhtiar, Jakarta, cet. IV, 1957, hal
174.

Achmad Ichsan, S.H., Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969, hal 53.

Sudikno Mertokusumo dalam Ibid., hal 13.

Dr. Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2008, cet. I

Anda mungkin juga menyukai