Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA


DI INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING : Dr.Sinung Mufti Hangabei, S.H.,M.H

DI SUSUN OLEH : Satria Fitrahul Qolbi (2274201018)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU


FAKULTAS HUKUM
PRODI HUKUM
2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji sukur atas kehadiran ALLAH Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
nya, atas berkat rahmat dan hidayah-nya serta shalawat dan salam kepada Nabi besar
Muhammad Saw., tugas makalah yang berjudul Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia ini
dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan makalah ini , di tulis berdasar kan buku dan jurnal yang berkait
dengan judul yang di berikan kepada kami yaitu Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia.
Kami sebagai penulis makalah ini menyadari makalah ini mungkin masih banyak kurangnya,
maka dari itu kami mengharapkan berbagai masukan yang bersifat membangun agar kami dapat
menyempurnakan makalah kami.

Terimakasih kepada bapak Dr. Sinung Mufti Hangabei, S.H.,M.H atas tugas yang di
berikan kepada kami. Dan semoga makalah yang kami buat dapat membawa manfaat bagi yang
membaca. Kami sebagai penulis mengucapkan terimakasih atas berbagai perhatian baik dalam
bentuk kritikan ataupun masukan yang di berikan kepada kami.

Bengkulu, Juli 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG...................................................................................................1


1.2 RUMUSAN MASALAH..............................................................................................2
1.3 TUJUAN PENULISAN................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3

2.1 PENGERTIAN HUKUM PERDATA...........................................................................3

2.2 PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA......................................5

2.3 KEADAAN HUKUM PERDATA SEBELUM KEMERDEKAAN, SETELAH


KEMERDEKAAN DAN SAAT INI...................................................................................9

2.3 SEJARAH HUKUM PERDATA..................................................................................14

BAB III PENUTUP...........................................................................................................23

3.1 KESIMPULAN.............................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum perdata hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antara warga
perseorangan lainnya, kenyataannya para ahli hukum mendefinisikan hukum perdata sesuai
sudut pandang mana mereka melihat.Van Dunne mengartikan hukum perdata sebagai suatu
aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti
orang dan keluarga, hak milik dan perikatan.

Hukum perdata adalah hukum atau aturan yang berpusat pada dua subject hukum atau
lebih, dengan menitikberatkan masalah pada kepentingan pribadi subject hukum tersebut.
Hukum perdata dalam arti yang lebih luas adalah hal-hal hukum dalam arti hukum perdata (BW),
yaitu semua hukum dasar yang mengatur kepentingan individu.

Suatu pertanyaan besar apakah hukum diciptakan oleh suatu kedaulatan yang bisa
memadati bentuk aturan hukum supresi, hukum otonom atau hukum kooperatif seperti yang telah
dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip. Kedaulatan yang absolut hanya membuat produk
hukum yang supresi. Perkembangan peralihan hukum ketika otoritarianisme berkurang adalah
ketika hukum membentuk lebih otonom dan responsif. Alterasi pertumbuhan hukum di negara
yang sudah modern akan terus terjadi saat mengikuti sistem hukum yang otonom dan responsif.
Dalam masyarakat demokratis yang menggunakan hukum yang fleksibel dan otonom, sifat
ikatan hukum dan kehidupan sosial akan beralih, dan legitimasi serta efisiensi akan kelihatan.
Kemudian dibahaslah keadilan tata cara dan keadilan substansif. Pendekatan hukum merupakan
prinsip dan kebijakan yang sistematis dan terpadu. Pendekatan sosial dalam hukum (yuridis
sosiologis) dilakukan. Diskresi berorientasi pada tujuan. Moralitas sipil membatasi kekuasaan
negara. Dan terjadi adanya hubungan antara aspirasi hukum dan politik. Berdasarkan uraian
diatas, maka bisa kita tentukan bahwa Keadaan Hukum Perdata saat ini masih beraneka ragam,
namun tidak ada yang salah dalam keberaneka ragaman hukum perdata tersebut. Untuk
menyeragamkan Hukum Perdata di Indonesia sendiri tidak akan bisa karena banyaknya
keanekaragaman serta budaya yang ada di Indonesia, kecuali dalam hal hal tertentu yang tidak
bisa diselesaikan dengan cara selain berpegangan pada Hukum Perdata yang sudah ada.

Sehingga meskipun tidak seragam, keadaan Hukum Perdata di Indonesia dirasa sudah
memadai untuk mengatur hubungan privat di masyarakat. Ke depannya sendiri, tentu pemerintah
akan selalu berusaha meningkatkan dan membuat peraturan-peraturan baru seiring dengan

4
perkembangan jaman. Sehingga ke depannya keadaan Hukum Perdata di Indonesia akan mampu
menyelesaikan sengketa-sengketa dan permasalahan yang ada.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa Pengertian Hukum Perdata ?
2. Bagaimana Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia?
3. Bagaimana Keadaan Hukum Perdata Sebelum Kemerdekaan, Setelah Kemerdekaan Dan
Saat Ini?
4. Bagaimana Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia?
1.3 TUJUAN
1. Mengetahui Apa Itu Hukum Perdata
2. Dapat Memahami Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia
3. Memahami Keadaan Hukum Perdata Sebelum Kemerdekaan, Setelah Kemerdekaan Dan
Saat Ini.
4. Mengetahui Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HUKUM PERDATA

A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA MENURUT PARA AHLI

 Prof. Subekti, S.H.: Hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum “privat
materiel”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.

 Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Hukum perdata (materil) adalah kesemuanya


kaidah hukum yang menentukan dan mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
perdata.

 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.: Hukum perdata adalah hukum antar-perorangan
yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam
hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat.

 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Hukum perdata adalah suatu rangkaian
hukum antara orang-orang atau badan hukum yang satu sama lain tentang hak dan
kewajiban.

 Prof. Mr. Dr. L.J. van Apeldoorn: Hukum Perdata adalah peraturan-peraturan hukum
yang objeknya ialah kepentingan-kepentingan khusus dan yang soal akan
dipertahankannya atau tidak, diserahkan kepada yang berkepentingan.

B. Pengertian hukum perdata

Hukum perdata adalah hukum atau aturan yang berpusat pada dua subject hukum atau
lebih, dengan menitikberatkan masalah pada kepentingan pribadi subject hukum tersebut.

C. Pengertian hukum perdata dalam artian luas dan sempit

· Hukum perdata dalam arti yang lebih luas adalah hal-hal hukum dalam arti hukum perdata
(BW), yaitu semua hukum dasar yang mengatur kepentingan individu.

· Hukum perdata dalam arti sempit adalah hukum perdata dalam pengertian Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (BW). Subekti mengatakan hukum perdata dalam arti yang lebih luas
mencakup semua hukum privat yang substantif, yaitu semua hukum dasar yang mengatur

6
kepentingan individu. Hukum perdata kadang-kadang digunakan dalam arti yang lebih sempit
sebagai lawan dari hukum komersial. Sumber-sumber hukum perdata:

1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB).

2. Burgelik Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketetapan produk
hukum dari Hindia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan asas concordantie.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koopandhel (wvk).

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria. Keberadaan UU ini


mencabut berlakunya Buku II KUHP yang berkaitan dengan hak atas tanah, kecuali
hipotek. Undang-undang Agraria secara umum mengatur mengenai hukum pertanahan
yang berlandaskan hukum adat.

5. Uug Nomor 16 Tahun 2019 jo No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

6. UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan terhadap tanah dan benda
berhubungan dengan tanah.

7. UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

8. UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan.

9. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

D. Hukum perdata di Indonesia

1. Hukum perdata adat. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan pribadi masyarakat
hukum adat dalam kaitannya dengan kepentingan pribadi. Aturan adat ini umumnya tidak tertulis
dan diterapkan secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat adat.

2. European Civil Code. Peraturan atau undang-undang yang mengatur hubungan hukum yang
mempengaruhi kepentingan orang Eropa.

3. KUH Perdata Domestik. Bidang hukum akibat produk dalam negeri. Bagian dari kuhperdata
adalah UU Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974 dan UU Pertanian, UU No. 5 Tahun 1960.

Kasus hukum perdata

1. Masalah Warisan

7
2. Utang Piutang

3. Wanprestasi

4. Sengketa Kepemilikan Barang

5. Pelanggaran Hak Paten

6. Perebutan Hak Asuh Anak

7. Pencemaran Nama Baik

8. Perceraian

2.2 PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA MODERN

Pembentukan negara-negara baru tidak berarti juga ada pembentukan hukum baru yang
kekinian, sebab negara baru tak serupa dengan hukum yang terbaru yang pertumbuhannya
didorong oleh kedaulatan yang ada sekaligus berwenang dalam pembentukannya dari hukum
modern tersebut. Suatu pertanyaan besar apakah hukum diciptakan oleh suatu kedaulatan yang
bisa memadati bentuk aturan hukum supresi, hukum otonom atau hukum kooperatif seperti yang
telah dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip. Kedaulatan yang absolut hanya membuat produk
hukum yang supresi. Perkembangan peralihan hukum ketika otoritarianisme berkurang adalah
ketika hukum membentuk lebih otonom dan responsif. Alterasi pertumbuhan hukum di negara
yang sudah modern akan terus terjadi saat mengikuti sistem hukum yang otonom dan responsif.

Dalam masyarakat demokratis yang menggunakan hukum yang fleksibel dan otonom,
sifat ikatan hukum dan kehidupan sosial akan beralih, dan legitimasi serta efisiensi akan
kelihatan. Kemudian dibahaslah keadilan tata cara dan keadilan substansif. Pendekatan hukum
merupakan prinsip dan kebijakan yang sistematis dan terpadu. Pendekatan sosial dalam hukum
(yuridis sosiologis) dilakukan. Diskresi berorientasi pada tujuan. Moralitas sipil membatasi
kekuasaan negara. Dan terjadi adanya hubungan antara aspirasi hukum dan politik. Dalam
masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan dari masyarakat yang bersifat tertutup,
tetap dan Jurnal Mahasiswa Karakter Bangsa Vol. 1 No.2 September Tahun 2021 165

8
keterbelakangan menuju masyarakat yang terbuka, beremangat, dan kemajuan (modern), serta
nilai masyarakatnya pun mengalami perubahan.

Hukum modern berasal dari pergerakan hukum, seiring dengan perkembangan hukum
dan masyarakat itu sendiri. Disini adanya suatu perubahan tertentu. Satjipto Rahardjo melalui
bukunya menjelaskan (2006), hukum yang saat ini diadopsi dan diterapkan di seluruh dunia pada
umumnya yang termasuk dalam ciri-ciri hukum modern. Modernitas ini memiliki kategori
sebagai berikut:

1) Bentuk tertulis
2) Hukum berlaku untuk seluruh wilayah negara Ini tidak selalu terjadi jika kita
memperhatikan sejarah. Seperti yang dikatakan Mark Galanter, di masa lalu, wilayah suatu
negara dapat memiliki hukum yang berbeda dari otoritas persaingannya. Hukum modern
saat ini terdiri dari aturan seragam yang berlaku tanpa melihat perbedaan.
3) Hukum merupakan adalah alat yang secara sadar digunakan untuk melaksanakan keputusan
politik rakyatnya. Perkembangan masyarakat dan hukum dalam sebuah negara tak dapat
dipisahkan dari penguasanya.

Pada umumnya bagi penguasa yang otoriter, hukum juga cenderung bersifat menindas
dan hanya ditujukan demi harapan pejabat yang sewenang-wenang. Ketika para penguasa
menjadi terdemokratisasi, pembangunan juga mengarah pada hukum yang demokratis, di mana
konteks hukum dan konstitusi merupakan fondasi penting. Ciri kehidupan konstitusional
semacam itu adalah adanya sistem norma hukum yang menjadi dasar semua kegiatan individu
dan negara. Keberadaan konstitusi, yang dianggap sebagai hukum paling tinggi dalam sebuah
negara, ialah kategori dari negara dan hukum yang modern.

Pemerintahan atau sistem ketatanegaraan berarti bahwa negara memiliki hukum dasar
(basic law) yang menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemerintah
negara-negara ini mencirikan negara-negara dengan hukum represif dan demokrasi lainnya.
Kategori yang khas demokrasi konstitusional adalah ide bahwa pemerintahan yang demokratis
adalah pemerintahan dengan kekuasaan terbatas dan tidak dapat bersikap otoriter kepada
warganya. Kekuasaan negara dikelompokkan sehingga potensi penyelewengan kekuasaan
terminimalisir. Dalam konteks ini, sebagai negara yang dilindungi oleh hukum, masyarakat atau
warganya ikut menentukan jalannya negara. Hak-hak sipil tidak bisa dibatasi ataupun dicabut
secara mudah oleh negara sebab konstitusi memberikan standar yang tegas pada hak-hak warga

9
negara. Karakter konstitusi modern ini pada dasarnya terdapat pada negara-negara modern saat
ini.

Konstitusi modern yang secara yuridis berisi elemen-elemen dasar yang melindungi hak
asasi rakyat, termasuk hak sipil, yang terdapat pada hasil-hasil hukum perdata, yang terutama
bersumber dari ketentuan-ketentuan konstitusional seperti pada hak warga negara yang diayomi
ataupun dilindungi oleh undang-undang yang dimiliki, seperti pada Hukum Perlindungan
Konsumen. Jurnal Mahasiswa Karakter Bangsa Vol. 1 No.2 September Tahun 2021 166 Sampai
saat ini, jika undang-undang perlindungan konsumen jelas-jelas bukan untuk kebutuhan
konsumen, maka kebutuhan konsumen juga diatur oleh undang-undang, dan bagaimanapun,
unsur-unsur dasar undangundang tersebut menggambarkan terdapatnya pelestarian hukum dalam
warga sebagai konsumen. Contoh tersebut menggambarkan rekonsiliasi hukum. Dengan fungsi
sebagai mengatur batas-batas agar pihak negara mengetahui ruang lingkup perjanjian hukum
untuk produsen atau bisnis sekaligus untuk kepentingan konsumen. Itu adalah tugas mereka.

Perkembangan Hukum-hukum Perdata di Indonesia Tidak sama dari Hukum Ketenaga


kerjaan, dan Hukum Perlindungan Konsumen yang memiliki ciri-ciri yaitu sebuah sistem
pemeriksaan yang bisa melanggar kecakapan reflektif, sebab keperluan dan angan-angan
pegawai serta keperluan dan angan-angan konsumen termasuk dalam esensi hukum. Pada
fenomena ini, kedudukan negosiasi antar penerima kerja atau pegawai dan para pegawai dengan
pengusaha atau pemberi kerja maupun pemimpin, ikut diawasi sehingga mendapatkan
pengawasan terhadap keperluan atau anganangan pihak yang lain, yaitu penerima kerja atau
maupun pegawai. Sama halnya dalam keperluan dan kehendak konsumen bersamaan dengan
Hukum Perlindungan Konsumen, dalam hal ini, semua hak konsumen dijadikan sebuah
kepedulian yang diutamakan.

Berbeda dengan Hukum Tenaga Kerja dan Hukum Perlindungan Konsumen yang
memiliki ciri dengan sistem pemantauan yang bisa memperhitungkan kecakapan refleksi sebab
keperluan dan kehendak konsumen serta dengab pekerja memuat muatan hukum. Juga
memperhatikan posisi tawar antara pengusaha dan penguasa dengan pekerja dan serikat pekerja
agar memperhatikan keperluan dan kehendak pihak lain (pekerja dan para buruh). Demikian pula
hak konsumen atas keperluan dan kehendak konsumen menurut undangundang perlindungan
konsumen menjadi perhatian penting. Potensi reflektif hukum ketenagakerjaan, misalnya, dapat

10
dilihat pada awal negosiasi atau negosiasi antar pegawai dan serikat buruh di satu sisi dan
pemimpin dan otoritas/pemerintah di sisi lain, termasuk pembentukan aturan substantif.
UndangUndang Perundingan Bersama terutama dijalankan melalui pembentukan organisasi
perundingan/perundingan bersama dan pemberlakuan aturan prosedur. Peran otoritas wilayah
yang baru dalam perlindungan konsumen dapat mendapatkan suatu informasi untuk kepentingan
konsumen.

Maka peran hukum dalam suatu negara bukan merupakan norma material, melainkan
prosedur dan struktur organisasi otonom lainnya. Pada hukum wasiat, keterkaitan diantara pihak
menetapkan berakhirnya kontrak atau perjanjian itu sendiri, memuat keleluasaan dalam
perjanjian. Yang dimaksud kebebasan berkontrak adalah merupakan prinsip dasar hukum
perdata, dan tak bisa diganggu gugat bahwa ia asalnya dari masamasa permulaan kapitalisme.
Dengan demikian, dimungkinkan untuk memahami bahwa nuansa muncul kemudian dalam
perkembangan hukum kontrak (seperti pelajaran mengenai kepercayaan, 'undue influence').
Jurnal Mahasiswa Karakter Bangsa Vol. 1 No.2 September Tahun 2021 167 Privilese dalam
membuat perjanjian atau kontrak (pacta suet servanda) merupakan masalah lainnya. Dalam ranah
perlindungan tenaga kerja dan konsumen, sebagaimana juga dimasuki oleh beberapa pihak atau
pihak, kebebasan untuk membuat kontrak atau kontrak untuk membuat kontrak, yang
sesungguhnya bertautan dengan hukum perburuhan dan hukum perlindungan konsumen.

Kebebasan berkontrak dapat dilihat baik dalam arti materiil maupun formal. Pertama,
kebebasan untuk mengadakan kontrak dalam arti materiil berarti persetujuan atau persetujuan
diberikan untuk isi atau isi yang diinginkan. Pembatasan kontrak hanya berupa ketentuan umum
yang menyatakan bahwa isinya harus legal dan jenis kontrak tertentu seperti kontrak kerja dan
sewa harus berlaku dalam bentuk aturan khusus berupa undang-undang yang bersifat memaksa.
Dalam artian material, kebebasan berkontrak dikenal sebagai sistem konsensus terbuka. Kedua,
kebebasan berkontrak dalam arti formal, yaitu dapat menandatangani kontrak apa pun yang
diinginkan. Pada prinsipnya, tidak ada persyaratan untuk bentuk. Cukup dengan menuruti
kemauan atau persetujuan para pihak. Dalam pengertian formal, kebebasan berkontrak sering
disebut sebagai asas perjanjian. Dalam konteks ini, untuk mengimbangi kekuasaan dan informasi
yang tidak setara, dan untuk meningkatkan efektivitas sistem desentralisasi dengan

11
menggunakan sarana kompensasi logika hukum, “ketentuan umum” tertentu atau standar sebagai
bukti ajaran logika reflektif.

Misalnya, standar seperti “keadilan/integritas” atau “kebijakan publik” umumnya


dianggap sebagai alat intervensi yudisial yang signifikan, tetapi dapat dilihat sebagai alat
sosialisasi kontrak dengan cara yang sangat berbeda dari intervensi pemerintah tradisional.
Penggunaan standar seperti keadilan dan kebijakan publik untuk mengimbangi ketidakadilan
terkait erat dengan keterkaitan politik, ekonomi, budaya, dan hukum, dan ini tercermin sejauh
sistem hukum itu sendiri meniru proses regulasi sosial itu sendiri. Hukum kontrak, hukum
perburuhan, dan hukum perlindungan konsumen merupakan sebuah wujud hukum yang umum di
negaranegara modern, khususnya di bidang hukum perdata, yang mencerminkan hukum modern,
memberdayakan organisasi non-pemerintah untuk berperan. Hal ini memperkuat peran aktor
non-negara yang terlibat dalam menentukan isi atau isi undang-undang. Oleh karena itu, isi dan
unsur reflektif dari hukum perdata modern juga ditampilkan dalam bentuk penguatan mekanisme
refleksi tertentu. Dari awal hingga sekarang, hukum perdata modern yang dimulai dari asal usul
dan perkembangannya terus menunjukkan perubahan perkembangan dalam berbagai bentuk
sesuai dengan zaman hukum itu sendiri. Pergeseran perkembangan ini terlihat dari keinginan
untuk mendemonstrasikan hukum klasik bebas formal.

Kontrol yudisial saat ini atas tindakan asosiasi dan peraturan pemerintah tampaknya telah
mencapai batasnya. Oleh karena itu, menjadi isu penting untuk menciptakan kerangka hukum
yang secara sistematis memperkuat mekanisme refleksi organisasi. Perubahan perkembangan
tersebut bukan hanya usaha konsolidasi keikutsertaan seseorang dalam hal keikutsertaan dalam
demokrasi, tetapi juga terstruktur serta terorganisasi yang membuat lembaga korporasi, asosiasi
kuasi-sosial, media, dan Jurnal Mahasiswa Karakter Bangsa Vol. 1 No.2 September Tahun 2021
168 institusi pendidikan rentan terhadap pengaruh eksternal. Oleh karena itu, fungsi utamanya
adalah menggantikan pengendalian gangguan eksternal dengan struktur pengendalian internal
yang efektif. Hukum materiil tersebut mengatur fungsi pengawasan dini dari dalam sebagai
pengendalian internal untuk mencapai tujuan dari Hukum itu sendiri.

2.4 KEADAAN HUKUM PERDATA SEBELUM KEMERDEKAAN, SETELAH


KEMERDEKAAN DAN SAAT INI
A. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN.

12
Indonesia merupakan negara yang dijajah sangat lama oleh pemerintahan Kolonial
Belanda, sebelum bersatu menjadi suatu kesatuan. Indonesia terdiri atas banyak kerajaan-
kerajaan dengan aturannya masing-masing. Tentulah saat menjadi negara jajahan Belanda, tidak
ada kesamaan hukum antara kerajaan-kerajaan tersebut.

Sehingga Belanda menerapkan hukumnya sendiri di negara jajahannya yang disebut


Hindia-Belanda, yang dikenal dengan Asas Konkordasi. Asas Konkordansi adalah suatu asas
yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu
untuk diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada
masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum
perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.

Hukum Perdata yang diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan adalah B.W.Hindia


Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan B.W.Belanda. Untuk kodifikasi KUH Perdata di
Indonesia dibentuk suatu panitia yang diketahui oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem.
Kodifikasi KUH Perdata yang dilaksanakan dalam tahun 1848.

Kodifikasi pada saat itu mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia
dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di negeri Belanda aliran kodifikasi adalah aliran
kodifikasi di Eropa yang berlangsung secara umum pada akhir abad ke-18, bahkan pada waktu
itu sudah ada negara-negara yang telah selesai dengan kodifikasinya.

Demikian Perancis, sudah 10 tahun bekerja, dalam tahun 1804 telah menyelesaikan
kodifikasinya yaitu Code Civil des Francais1. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki
kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri
Belanda.

Dengan kata lain B.W. Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda berdasarkan asas
persamaan B.W. Hindia Belanda ini disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846, yang
diundangkan melalui Staatsblad 1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.

1. Aneka Pembagian Penduduk Indonesia

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda dahulu penduduk Indonesia dibagi dalam 3
golongan dan masing – masing golongan tersebut mempunyai hukum Perdata masing – masing
berdasarkan pasal 163 ayat (1) IS (Indesehe staatsnegeling) sebagai berikut.

a. Golongan Eropa menurut pasal 163 (2) yang termasuk didalamnya.


- Semua Warga Negara Indonesia
- Bukan warga negara Belanda tetapi orang yang berasal dari Eropa
- Semua warga negara Jepang

13
- Orang – orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama
dengan hukum kekeluargaan Belanda.

b. Golongan Pribumi

Pasal 163 ayat (3) IS yang termasuk dalam golongan Pribumi adalah:

- Orang – Orang Indonesia asli yang tidak pindah ke golongan lain.

- Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membawurkan dirinya ke


dalam golongan Indonesia asli.

c. Golongan Timur Asing

Menurut pasal 163 ayat (4) IS yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah

- Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina).

- Golongan Timur Asing bukan Tionghoa.

Penggolongan ini sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Dengan
dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet no.31/U/12/1966 telah diinstrusikan kepada menteri
kehakiman serta kantor pencatatan sipil untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk
indonesia berdasarkan pasal 163 IS tersebut.

2. Keaneka Ragaman Hukum Perdata di Indonesia

Hukum Perdata di Indonesia sampai sekarang masih beraneka ragam. Pada masa dulu,
masing – masing Golongan Penduduk Indonesia mempunyai hukum Perdata sendiri – seperti:

a. Golongan Bangsa Indonesia asli (bumi putra) Berlaku Hukum Adat dari beberapa
Undang – undang yang secara khsus di buat oleh pemerintah Hindia beanda, antara lain :

· Ordonansi perkawinan bangsa indonesia kristen ( stb.1933 No. 74 )

· Ordonansi tentang maskapai audit indonesia ( stb.1939 No 569 jo. 717)

· Ordonansi tentang perkumpulang bangsa indonesia (stb. 1929 No 57 jo. 717)

b. Golongan eropa, berlaku Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan
Kitab Undang - Undang Hukum Dagang (KUHD) yang di selaraskan dengan Burgerlyk
wetboek dan wetboek van koophandel yang berlaku di belanda

c. Golongan timur Asing Thionghoa (china), berlaku KUHPer dan KUHD dengan
beberapa pengecualian yaitu mengenai pencacatan sipil, cara – cara perkawinan dan
pengangkatan anak (adopsi)

14
d. Golongan Timur asing (bukan china), terdiri dari Arab, India, Pakistan, mesir dan
lain – lain. Berlaku sebagian dari KUHPer dan KUHD yaitu hanya mengenai harta kekayaan
sedangkan hukum waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum
negara mereka sendiri.

B. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SETELAH KEMERDEKAAN


Hukum perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku
sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk didalamnya hukum perdata belanda
yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (Rechtvacum),
dibidang Hukum Perdata.

Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata Belanda tersebut di


Indonesia didasarkan pada berberapa pertimbangan. Selain itu, secara keseluruhan hukum
perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami berberapa proses perubahan yang
mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri. Hukum perdata
ini meliputi enam pembahasan, yaitu : Hukum Agraria, Hukum Perkawinan, Hukum Islam yang
Direseptio, Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah,
Jaminan Fidusia, dan Lembaga Penjaminan Simpanan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, arus globalisasi meningkat dengan sangat cepat. Dari
pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era
globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan
hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa
Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan
yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur
asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan
sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.

Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum Prof. Dr.
Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan “bahwa hukum dalam masyarakat
itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional
nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi
Bangsa Indonesia”.2

Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan


Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van
Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti

15
• Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,

• Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,

• Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995,

• Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas
Tanah No. 4 Tahun 1996,

• Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999,

• Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung


No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.

Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap


keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat
bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya.

Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri
Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan
Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi
sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu
kelompok hukum yang tidak tertulis”3

Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu
Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono
Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran
tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :

• Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah
tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;

• Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan


berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;

• Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi
hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik.
Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk
mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;

16
• Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia
perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang,
tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung.

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan
undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang
menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan
ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama
baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam
pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan
Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang
limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut.

Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di


mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi.

C. KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA SAAT INI


Setelah melalui beberapa periode pemerintahan, keadaan hukum perdata di Indonesia
sejatinya tidak banyak berubah melainkan hanya berkembang, dimana untuk sebagian besar
peraturan perdata tetap mengacu pada burgerlijk wetboek yang merupakan naskah asli
peninggalan zaman kolonialisme Belanda.

Namun seiring perkembangan waktu tentu keadaan hukum perdata harus fleksibel dan
menyesuaikan dengan keadaan di Indonesia, baik dari sisi HAM, ekonomi, politik, social, dan
budaya.

Pemberlakuan hukum keperdataan sendiri masih majemuk dan beraneka ragam. Di


daerah daerah tertentu, masih memberlakukan Hukum Adat setempat untuk penyelesaian
sengketa tanah maupun perkawinan, dimana pemberlakuan Hukum Adat tersebut dianggap lebih
kekeluargaan dan juga dianggap melestarikan tradisi dari nenek moyang4.

Apakah hal tersebut dianggap melanggar Hukum Perdata di Indonesia? Tentu saja tidak,
dimana sebelum melangkah dengan Hukum Perdata yang berlaku, biasanya masyarakat lebih
memilih jalan kekeluargaan, baik berupa mediasi, maupun negosiasi untuk menyelesaikan
masalah tertentu yang di alaminya.

Lantas, bagaimana sebenarnya keadaan Hukum Perdata di Indonesia dewasa ini?

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia saat ini masih berbentuk majemuk, beraneka ragam
dan warna. Dimana Hukum Perdata sekarang ini tidak hanya terbatas pada burgerlijk wetboek

4
Biasanya berbentuk rapat tetua tetua Adat setempat dan hasilnya haruslah disetujui bersama sama.

17
saja melaikan juga banyak peraturan perundang-undangan lain yang muncul seiring dengan
perkembangan waktu.

Klasifikasi dasar pembagian Hukum Perdata saat ini terbagi menjadi dua, antara lain :

1. Hukum Perdata Tertulis


2. Hukum Perdata Tidak Tertulis
Hukum Perdata Tertulis tentulah hukum yang menyangkut hal-hal keperdataan yang
sudah dikodifikasikan dalam bentuk Kitab Undang-Undang maupun Peraturan Perundang-
Undangan lain.

Hukum perdata tertulis ini pun tidak hanya terbatas kepada persoalan Perkawinan,
Kebendaan, dan juga Perjanjian. Melainkan sudah berkembang hingga cabang-cabang
keperdataan yang modern seperti Perasuransian dan lain sebagainya.

Dibandingkan dengan Hukum Perdata yang tidak tertulis, jenis hukum perdata ini
sifatnya adalah rigid dan konkret. Dimana peraturan yang ada sudah mengatur jelas apa, siapa,
dan bagaimana dalam masalah masalah keperdataan yang terjadi.

Sedangkan, Hukum Perdata yang tidak tertulis 5 bentuknya lebih fleksibel dimana
peraturan peraturannya bisa berubah-ubah sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Meskipun
demikian, Keberadaan Hukum Perdata tidak tertulis ini diakui adanya dan hasil akhirnya pun
harus dituruti dan dilaksanakan sebagaimana halnya hasil akhir dari penyelesaian masalah dalam
Hukum Perdata Tertulis.

Selain dari klasifikasi dasar diatas, banyak juga yang membagi antara Hukum
Keperdataan di Indonesia. Misalnya perbedaan penggunaan Hukum Perkawinan antara umat
beragama, dimana masing masing agama memiliki pilihan atas Hukum Perkawinan yang
digunakan. Dan juga ada perbedaan antara penggunaan Hukum Perdata dalam penyelesaian
masalah Waris, dimana bisa digunakan burgerlijk wetboek, Hukum Adat, maupun Hukum Islam
bagi para penganutnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka bisa kita tentukan bahwa Keadaan Hukum Perdata saat
ini masih beraneka ragam, namun tidak ada yang salah dalam keberaneka ragaman hukum
perdata tersebut. Untuk menyeragamkan Hukum Perdata di Indonesia sendiri tidak akan bisa
karena banyaknya keanekaragaman serta budaya yang ada di Indonesia, kecuali dalam hal hal
tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan cara selain berpegangan pada Hukum Perdata yang
sudah ada.

Sehingga meskipun tidak seragam, keadaan Hukum Perdata di Indonesia dirasa sudah
memadai untuk mengatur hubungan privat di masyarakat. Ke depannya sendiri, tentu pemerintah
akan selalu berusaha meningkatkan dan membuat peraturan-peraturan baru seiring dengan
5

18
perkembangan jaman. Sehingga ke depannya keadaan Hukum Perdata di Indonesia akan mampu
menyelesaikan sengketa-sengketa dan permasalahan yang ada.

2.3 SEJARAH HUKUM PERDATA DI INDONESIA


A. SEJARAH LAHIRNYA HUKUM

Manusia dalam kedudukannya sebagai individu dan makhluk sosial mempunyai


kebebasan asasi. Kebebasan asasi yang dimiliki manusia harus dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu pelaksanaan hak asasi di Indonesia lebih
berfungsi sosial, artinya dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kepentingan orang lain
yang juga mempunyai kebebasan asasi. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial
(zoon politicon) tidak bisa berbuat sekehendak hatinya karena terikat norma dan peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku di mana dia berada. Hal ini mengandung konsekuensi
bahwa setiap bertindak manusia harus mengacu dan berdasarkan diri pada norma dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik norma agama, norma kesusilaan, norma adat maupun
norma hukum.

Dalam sejarah perkembangan manusia, jauh sebelum lahir dan berkembang aturan yang
bersifat tertulis (norma hukum) telah ada dan berkembang norma-norma atau aturan yang tidak
tertulis. Namun demikian, pada akhirnya manusia tidak merasakan kenyamanan dan
ketenteraman hanya dengan adanya norma-norma atau aturan yang bersifat tidak tertulis.
Manusia memerlukan norma atau aturan yang tertulis karena: K 1.4 Hukum Perdata dan Acara
Perdata  1. Tidak semua orang mengetahui, memahami, menyikapi, dan melaksanakan aturan-
aturan yang ada dan berkembang dalam normanorma tersebut; 2. Masih banyak kepentingan-
kepentingan manusia yang tidak dijamin oleh norma-norma tersebut, misalnya dalam
pelaksanaan aturan lalu-lintas yang mengharuskan setiap orang dan atau kendaraan berjalan di
sebelah kiri; 3. Ada sebagian kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan norma
tersebut, padahal masih memerlukan perlindungan hukum.

Dalam pergaulan hidup di masyarakat, aturan atau kaidah berperan sedemikian rupa
sehingga setiap anggota masyarakat akan menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya,
yang menjadikan segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur sesuai dengan apa yang dicita-
citakan. J.P. Glastra van Loan sebagaimana dikutip Dudu Duswara M (2001: 51) menyatakan
bahwa dalam menjalankan peranannya hukum (aturan) mempunyai fungsi sangat penting, yaitu:
1. Menertibkan masyarakat dan pengaturan pergaulan hidup; 2. Menyelesaikan pertikaian; 3.
Memelihara dan mempertahankan tata tertib dan aturan jika perlu dengan kekerasan; 4.
Mengubah tata tertib dan aturan-aturan dalam rangka penyesuaian dengan kebutuhan
masyarakat; 5. Memenuhi tuntutan keadilan dan kepastian hukum dengan cara merealisasikan
fungsi hukum sebagaimana disebutkan di atas. Satjipto Rahardjo (1993: 13) juga menyatakan
bahwa masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa

19
juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat
tanpa ada suatu ketertiban.

Kehidupan dalam masyarakat sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur didukung
oleh adanya suatu tatanan karena tatanan inilah kehidupan manusia menjadi tertib. Hukum dalam
arti ilmu pengetahuan yang disebut ilmu hukum berasal dari Bangsa Romawi karena bangsa ini
telah mempunyai hukum yang paling baik dan sempurna apabila dibandingkan dengan hukum
yang ada dan berkembang di negara-negara lain. Perkembangan dan penyempurnaan hukum di
negara-negara lain tidak terlepas dari pengaruh Hukum Romawi. Kitab undang-undang Hukum
Romawi (KUH-Romawi) diciptakan pada masa Caisar Yustinianus, yaitu Institutiones Yutinanae
yang disebut Corpus Juris-Civilis. Adapun tujuan dilakukannya kodifikasi suatu hukum adalah
agar tercipta kepastian hukum.

Dalam mempelajari dan menyelidik hukum Romawi, bangsa-bangsa Eropa, seperti


Prancis, Belanda, Jerman, dan Inggris melakukannya melalui 4 cara sebagai berikut. 1. Secara
teoretis (theoritische Receptie), yaitu mempelajari hukum Romawi sebagai Ilmu Pengetahuan,
dalam arti setelah mahasiswa dari negara yang bersangkutan mempelajari dan memperdalam
hukum Romawi, kemudian dibawa ke negaranya untuk dikembangkan lebih lanjut, baik dalam
kedudukan dia sebagai pegawai di pengadilan ataupun badan-badan pemerintah lainnya. 2.
Secara praktis (praktiche Receptie) karena menganggap hukum Romawi ini lebih tinggi
tingkatnya dari hukum mana pun di dunia, bangsa-bangsa Eropa Barat mempelajarinya dan
melaksanakan atau menggunakan Hukum Romawi ini dalam kehidupannya sehari-hari dalam
negaranya. 3. Secara Ilmiah (Wetenschappetyk Receptie), Hukum Romawi yang telah dipelajari
oleh para mahasiswa hukum dikembangkan lebih lanjut di negara asalnya melalui perkuliahan-
perkuliahan di perguruan tinggi.

Hal ini karena tidak sedikit mahasiswa yang telah mempelajari hukum tersebut setelah
kembali ke negaranya bekerja sebagai dosen. 4. Secara Tata Hukum (Positiefrechttelyke
Receptie), di mana setelah Perguruan-Perguruan Tinggi di Jerman dan Prancis, dan negara-
negara tersebut dalam membuat dan melaksanakan Undang-undang selalu mengambil dasar dari
hukum Romawi dijadikan Hukum Positif dalam negaranya masing-masing. Walaupun demikian,
tentu saja penerimaan hukum ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara-negara tersebut.
Hukum adalah suatu aturan yang harus dipertahankan oleh semua pihak dan diberi sanksi jika
dilanggar. Sanksi berarti aturan yang tidak dijalankan dan dengan sendirinya pemerintah akan
ikut campur tangan, seperti halnya dalam Hukum Pidana, namun bisa juga pemerintah
memberikan bantuan kepada seseorang untuk memperoleh haknya, seperti diatur dalam Hukum
Acara Pidana. Begitu juga apabila terjadi perselisihan atau persengketaan di antara sesama warga
masyarakat, seperti masalah warisan, perceraian, perbatasan pekarangan dengan tetangga rumah,
sewa menyewa, perjanjian 1.6 Hukum Perdata dan Acara Perdata  jual beli, dan lain sebagainya
maka akan berbicara Hukum Perdata. Hal ini sesuai dengan batasan Hukum Perdata
sebagaimana dikemukakan oleh para ahli berikut. Volmar (1983: 2) bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan
20
dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan
dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan yang lain dari orang-orang
di dalam suatu masyarakat tertentu, terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan
lalu-lintas.

Hukum Perdata disebut juga Hukum Sipil atau Hukum Privat Dengan demikian, hukum
perdata menentukan bahwa di dalam perhubungan antar mereka, orang harus menundukkan diri
kepada apa saja dan norma-norma apa saja yang harus mereka indahkan. Hukum Perdata
memberikan norma-norma yang didasarkan atas keadilan dan kepantasan. Hukum Perdata adalah
aturan-aturan tentang tingkah laku, hak-hak dan kewajiban-kewajiban perseorangan tentang
orang yang lain untuk melakukan perbuatan tertentu yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban terhadap seseorang lainnya. Hukum Perdata adalah suatu hubungan hukum apabila
hubungan itu adalah hubungan yang oleh hukum diberi akibat dan akibat dan akibatnya ini ialah
perseorangan yang satu mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap perseorangan.
Sedangkan menurut Paul Scholten hukum Perdata adalah hukum antara perseorangan, hukum
yang mengatur wewenang kewajiban dari seorang yang satu terhadap seseorang lain di dalam
perhubungan keluarga dan pergaulan masyarakat.

Dalam masyarakat luas menuju kepada hukum kekayaan, sedangkan dalam pergaulan
keluarga menuju kepada hukum keluarga. Selain batasan atau pengertian hukum perdata yang
dikemukakan oleh Volmar maka pengertian yang lebih luas dapat kita cermati dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau yang dalam bahas asingnya Burgerlijk
Wetboek (BW), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Kophandel/W.v.K),
beserta sejumlah undang-undang tambahan. Sedangkan dalam arti sempit hukum perdata adalah
apa yang tertera dalam KUH Perdata saja. Kansil (1993: 85), menyatakan bahwa Hukum Perdata
Materiel yang termuat dalam KUH Perdata berlaku bagi:  PKNI4421/MODUL 1 1.7 1. Warga
negara Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing Cina dan bukan Cina (Arab; India;
Pakistan, dan lain-lain) untuk sebagian tertentu dari KUH Perdata; 2. Warga Negara Indonesia
pribumi untuk beberapa perbuatan hukum tertentu dalam KUH Perdata. Hukum Perdata materiel
ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hakhak dan kewajiban-kewajiban perdata itu sendiri,
sedangkan hukum perdata formil menentukan cara, menurut mana pemenuhan hak-hak materiel
tersebut dijamin.

Hukum Perdata merupakan hukum umum terhadap hukum dagang sebagai hukum
khusus, artinya apa yang diatur dalam hukum perdata (BW) itu merupakan aturan-aturan umum,
sedangkan apa yang diatur dalam hukum dagang itu merupakan aturan-aturan khusus, hanya
mengenai hal-hal khusus. Aturan-aturan umum itu juga berlaku terhadap hal-hal yang khusus
dengan mengingat: Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali. Pemisahan BW dan KUHD
bukanlah merupakan pembagian yang prinsip, tetapi hanya bersifat historis, yaitu setelah:

a. Kerajaan Romawi membentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu kodifikasi dari
Kaisar Justinianus (Corpus Juris Civilis) dalam masyarakat lalu mengalami perkembangan-

21
perkembangan baru dalam perdagangan. Kompleksitas masalah-masalah yang terjadi dalam
lapangan perdagangan menuntut adanya pemisahan aturan atau kitab undang-undang
tersendiri;
b. Dikenal adanya golongan kaum dagang yang mempunyai aturan-aturan sendiri yang belum
dikenal dalam corpus iuris civilis.

Keadaan demikian, dikenal juga di Prancis. Kondisi dan perkembangan hukum di


Indonesia tidak terlepas dari pengaruh hukum Romawi. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh
langsung dari pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan politik dalam lapangan hukum perdata di
Indonesia yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, mengakibatkan terjadinya
pluralisme atau kebhinnekaan dalam lapangan hukum perdata di Indonesia. Pluralisme itu
tampak dengan adanya pembagian golongan penduduk. Di Indonesia penduduk dibagi menjadi 3
golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumi Putera. Bagi
golongan Eropa 1.8 Hukum Perdata dan Acara Perdata  berlaku semua ketentuan hukum
perdata sebagaimana termuat dalam KUH Perdata atau BW. Bagi golongan Timur Asing Cina
dan bukan Cina (Arab, India, Pakistan, dan lain-lain) berlaku untuk sebagian tertentu dari KUH
Perdata.

Hukum Perdata bagi golongan pribumi ialah semua kaidah-kaidah hukum yang
menguasai suatu peristiwa hukum perdata yang di dalamnya hanya tersangkut orang golongan
pribumi. Sedangkan hukum yang berlakunya adalah hukum Adat. Menurut ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 163 (3) IS mereka yang takluk pada peraturan-peraturan bagi golongan
pribumi ialah:

1. Mereka termasuk penghuni pribumi yang tidak pindah ke lain golongan;


2. Mereka yang tadinya termasuk golongan lain, tetapi telah meleburkan diri ke dalam
golongan pribumi.

B. SEJARAH HUKUM PERDATA

Sejarah Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah


perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti perkembangan hukum
perdata di Indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di negara-negara lain,
terutama yang mempunyai hubungan langsung. Indonesia sebagai negara yang berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda maka kebijakan-kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas
dari kebijakan yang terjadi dan diterapkan di negara Belanda. Menurut Kansil (1993 : 63), tahun
1848 menjadi tahun yang amat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun ini hukum
privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni dikumpulkan dan
dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang berdasarkan suatu sistem tertentu. Pembuatan
kodifikasi dalam lapangan hukum perdata, dipertahankan juga asas konkordansi, risikonya
hampir semua hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah tiruan hasil kodifikasi yang telah

22
dilakukan di negeri Belanda pada tahun 1838, dengan diadakan beberapa perkecualian agar dapat
menyesuaikan hukum bagi golongan hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa.

Adapun yang dimaksud dengan asas konkordansi adalah asas penyesuaian atau asas
persamaan terhadap berlakunya sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan
Pasal 131 ayat (2) I.S. yang berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda harus dianut atau
dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil (1993: 115) berarti bahwa
hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di Indonesia harus disamakan dengan hukum
yang berlaku di negeri Belanda. Jadi jelasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum
kodifikasi di negeri Belanda adalah berdasarkan asas konkordansi. Sumber pokok Hukum
Perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum Sipil disingkat KUHS atau Burgerlijk Wetboek
(BW). Sumber KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon tahun
1811-1838 sebagai akibat pendudukan Prancis di Belanda maka Hukum Perdata Prancis berlaku
di negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi.

Sedangkan dari Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam penyusunannya
mengambil karangan pengarang-pengarang bangsa Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus
Juris Civilis) yang pada zaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada zaman Romawi tidak dimasukkan dalam Code Civil,
tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce. Setelah pendudukan Prancis berakhir oleh
pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai Mr. J.M. Kemper dan bertugas
membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan sumber sebagian
besar Code Napoleon dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno. Meskipun penyusunan sudah
selesai sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober
1838. Pada tahun itu, dikeluarkan: 1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil); 2. Wetboek van
Koophandel (KUH Dagang). 3. Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata
Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini
diumumkan tanggal 30-4-1847 Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku 1 Mei 1848 di Indonesia.

Adapun dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di


Indonesia adalah Pasal 1 Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 hasil perubahan keempat,
yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. 1.10 Hukum Perdata dan
Acara Perdata  Dengan demikian, sepanjang belum ada peraturan yang baru maka segala jenis
dan bentuk peraturan perundang-undangan yang ada yang merupakan peninggalan dari zaman
kolonial masih dinyatakan tetap berlaku. Hal ini termasuk keberadaan Hukum Perdata.

Hanya saja dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan asas dan falsafah negara Pancasila,
termasuk apabila telah lahir peraturan perundang-undangan yang baru maka apa yang ada dalam
KUH Perdata tersebut dinyatakan tidak berlaku. Contohnya, masalah tanah yang telah ada
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, terutama yang mengenai
Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan yang

23
mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulainya berlaku undangundang ini; begitu juga
masalah Perkawinan yang telah ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Perkawinan. Ketentuan lain adalah dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 1963 yang menyatakan beberapa pasal yang ada dalam KUH perdata dinyatakan tidak
berlaku lagi. Adapun pasal-pasal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Pasal 108 sampai dengan 110 BW tentang ketidakwenangan bertindak dari istri
konsekuensinya suami istri mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Hal ini
diperkuat oleh bunyi Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat, masing-masing pihak (suami istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum
b. Pasal 284 ayat (3) BW tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari wanita Indonesia
Asli. Konsekuensinya, yaitu tidak menimbulkan putusnya hubungan hukum antara ibu dan
anak. Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin ini maka dia mendapatkan hak
untuk mewarisi dari orang tuanya yang meninggal, misalnya kalau dia bersama-sama
dengan golongan 1, dia akan mendapatkan bagian 1/3- nya, apabila dia bersama-sama
dengan golongan 2, dia akan mendapatkan bagian ½ dari harta warisan yang ditinggalkan
pewaris tersebut.
c. Pasal 1579 BW: yang menentukan bahwa dalam sewa menyewa barang, pemilik tidak dapat
menghentikan sewa dengan alasan akan memakainya sendiri barangnya. Konsekuensinya,
yaitu boleh menghentikan, sekalipun demikian, apabila si pemilik akan memakai kembali
barang yang disewakannya tersebut, sementara si penyewa masih mempunyai hak maka si
pemilik harus memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada si penyewa sesuai
dengan kesepakatan bersama sehingga si penyewa tidak merasa dirugikan.
d. Pasal 1682 BW yang mengharuskan penghibahan dengan akta notaris. Konsekuensinya,
yaitu tidak mengharuskan penghibahan melalui akte notaris, ini juga berarti bahwa apabila
terjadi proses hibah tidak perlu dilakukan melalui akte notaris, namun saksi-saksi sebagai
bukti harus tetap ada.
e. Pasal 1238 BW yang menentukan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta
di depan hakim jika didahului dengan penagihan tertulis. Konsekuensinya, yaitu tidak harus
didahului dengan penagihan tertulis
f. Pasal 1460 BW tentang risiko dalam perjanjian jual beli barang ditentukan risiko ada pada
pembeli. Konsekuensinya, yaitu risiko ditanggung bersama, artinya baik si pembeli maupun
si penjual sama menanggung risiko, bahkan apabila terdapat cacat barang yang tersembunyi
tidak tertutup kemungkinan risiko tersebut menjadi tanggung jawab si penjual seluruhnya.
Sebaliknya, apabila terjadi kasus overmatch atau keadaan memaksa, risiko bisa menjadi
tanggungan si pembeli seluruhnya. Jadi, mengenai risiko dari perjanjian jual beli amat
tergantung dari persetujuan bersama, kecuali hal-hal yang diatur secara tegas dalam
peraturan perundang-undangan.

24
g. Pasal 1630 BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa dan bukan Eropa dalam
perjanjian perburuhan. Konsekuensinya, yaitu tidak ada diskriminasi dalam perburuhan.

Bagaimana kondisi atau keadaan hukum perdata di Indonesia saat ini? Keadaan Hukum
Perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman (pluralisme).
Hal ini dikarenakan adanya kebijakan tentang pembagian penduduk di Indonesia, yaitu sebagai
berikut:

1. WNI asli (dahulu Bumi Putera) berlaku Hukum Perdata Adat, yaitu keseluruhan aturan-aturan
hukum yang tidak tertulis. Namun, ada beberapa pasal dalam KUH Perdata dan KUHD yang
dinyatakan berlaku bagi WNI asli tersebut, yaitu:

a. Pasal-pasal yang berhubungan dengan pembagian kerja lama, yaitu Pasal 1601 BW tentang
persetujuan-persetujuan untuk melakukan jasa-jasa yang diatur dalam ketentuan-ketentuan
khusus; Pasal 1602 BW tentang kewajiban majikan dalam membayar upah pada buruh, Pasal
1603 tentang kewajiban-kewajiban buruh. Selain itu ada juga pasal-pasal tentang perjanjian
kerja baru yang khusus berlaku bagi golongan Eropa, yaitu pasal-pasal yang terdapat dalam
Titel 7A Buku III BW).
b. Pasal-pasal tentang permainan dan peraturan (perjudian), yaitu Pasal-pasal: 1788 BW
(Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu utang yang
terjadi karena perjudian atau pertaruhan), Pasal 1789 BW (dalam ketentuan tersebut di atas
tidak termasuk permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olahraga, seperti main
anggar lari cepat dan sebagainya), Pasal 1790 BW (tidaklah diperbolehkan untuk menyingkiri
berlakunya ketentuan-ketentuan kedua pasal yang lalu dengan jalan perjumpaan utang), dan
Pasal 1791 BW (seorang yang secara sukarela telah membayar kekalahannya sekali-sekali tak
diperbolehkan menuntutnya kembali, kecuali apabila dari pihaknya pemenang telah dilakukan
kecurangan atau penipuan).
c. Pasal-pasal dari KUHD tentang Hukum Laut.

2. WNI Keturunan Eropa berlaku Hukum Perdata Barat, termasuk WvK. Adapun yang dimaksud
golongan Eropa menurut Soediman Kartohadiprodjo (1987:58) adalah:

a. semua warga negara Nederland;


b. kesemuanya orang, tidak termasuk yang disebut (1) di atas yang berasal dari Eropa;
c. kesemuanya warga negara Jepang;
d. kesemuanya orang di luar 1 dan 2 yang hukum keluarganya sama dengan hukum Belanda;
e. anak-anak dari 2 dan 3 yang lahir di Indonesia.

3. WNI Keturunan Timur Asing

a. Non-Tionghoa, yaitu berlaku Hukum Perdata yang ditetapkan berdasarkan Lembaran


Negara 1925 nomor 556, yaitu yang memberlakukan sebagian dari BW dan WvK, yaitu
bagian-bagian yang mengenai Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris yang dengan

25
surat wasiat. Yang lainnya berlaku Hukum Adatnya, yaitu menurut yurisprudensi tetap di
Indonesia ialah Hukum Perdata Adat dari orang-orang Timur Asing yang tumbuh di
Indonesia.
b. Tionghoa, yaitu diberlakukan Hukum Perdata sebagaimana diatur dalam LN 1925 nomor
557 yaitu berlaku seluruh Hukum Perdata (BW) dan WvK dengan pengecualian dan
penambahan:
1) Pengecualiannya, yaitu pasal-pasal mengenai upacara perkawinan dan mengenai
pencegahan (penahanan) perkawinan dari BW tidak berlaku bagi mereka karena
mereka tetap tunduk kepada hukum adatnya sendiri.
2) Penambahannya, yaitu Peraturan-peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi)
dan Kongsi (badan perdagangan).

Lembaga adopsi ini menjadi sangat penting mengingat masyarakat Tionghoa menarik
garis keturunan laki-laki, sementara dalam BW tidak diatur mengenai lembaga adopsi. Untuk
mengurangi masalah pluralisme hukum perdata di Indonesia, Pemerintahan Kolonial Belanda
mengeluarkan serangkaian kebijakan yang termuat dalam Pasal 131 IS. Kebijakan ini dikenal
dengan nama politik hukum pemerintah Belanda yang lengkapnya berbunyi, seperti berikut.

1. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan
Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undangundang yang dikodifikasi (asas
kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di
Negeri Belanda (asas konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya)
jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapat menggunakan
peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa.
4. Orang Indonesia asli dan Timur Asing sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah
peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen).
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undangundang, bagi mereka itu
akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Pasal 131 IS memuat dasar politik hukum mengenai
hukum perdata, hukum pidana serta hukum acara perdata 1.14 Hukum Perdata dan Acara Perdata
dan pidana. Dalam ayat (2) Pasal 131 IS disebut perkataan Europeanen (suba) dan Indonesiers en
Vreemde Oosterlingen (sub-b), dengan ketentuan tampak bahwa IS dalam politik hukumnya
tidak bersandar pada satu hukum, melainkan menentukan akan berlakunya lebih dari satu sistem
hukum di Indonesia. Sistem Hukum untuk Europeanen dan sistem hukum untuk Indonesiers dan
Vreemde Oosterlingen, yaitu yang menurut penjelasan Pasal 131 ayat (1) dinyatakan jikalau
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam peraturan umum dan peraturan setempat,
dalam aturan-aturan, peraturan polisi dan administrasi diadakan perbedaan antara golongan
Eropa, golongan Pribumi, dan Golongan Timur Asing maka kesemuanya ini dijalankan menurut

26
aturan-aturan. Selain melalui kebijakan politik hukum, juga dikenal adanya penundukan diri.
Penundukan Diri sebagaimana diatur dalam Stb. 1917 Nomor 12 ada 4 macam, yaitu:

a. penundukan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa;


b. penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yaitu hanya pada hukum kekayaan
harta benda saja, seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing;
c. penundukan diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d. penundukan diri secara diam-diam. Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini
Kitab UndangUndang Hukum Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan
berlaku di Indonesia.

Adapun dasar hukum berlakunya Kitab UndangUndang Hukum Perdata tersebut adalah
Pasal 1 Aturan peralihan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
selengkapnya berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

27
BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Perkembangan dan perubahan hukum perdata modern erat kaitannya dengan perubahan
masyarakat dan pemerintahan di satu sisi, peningkatan peran serta partisipasi masyarakat, dan
penurunan peran negara dalam sisi lainnya. Ini terkait erat dengan modernisasi dan demokratisasi
negara dan masyarakat itu sendiri. Perubahan UU Kontrak, UU Ketenagakerjaan, dan UU
Perlindungan Konsumen Kontrak telah memperkuat fungsi pengendalian intern menggantikan
fungsi pengendalian eksternal.

Sejarah Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah


perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti perkembangan hukum
perdata di Indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di negara-negara lain,
terutama yang mempunyai hubungan langsung. Indonesia sebagai negara yang berada di bawah
pemerintahan Hindia Belanda maka kebijakan-kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas
dari kebijakan yang terjadi dan diterapkan di negara Belanda.

Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dibagi menjadi tiga periode yakni Sebelum
Kemerdekaan, Sesudah Kemerdekaan, dan Keadaan. Saat Ini Keadaan Hukum Perdata di
Indonesia Sebelum Kemerdekaan terbatas pada Hukum yang di terapkan oleh kolonialisme
Belanda. Keadaan Hukum Perdata di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mulai berkembang
dengan di akuinya Hukum Adat setempat yang sama kedudukannya dalam penyelesaian
sengketa.Keadaaan Hukum Perdata di Indonesia Saat Ini sudah berkembang pesat dan sudah
mencakupi berbagai bidang keperdataan seiring dengan perkembangan jaman.

28
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/37705612/
KEADAAN_HUKUM_PERDATA_DI_INDONESIA

https://www.google.com/search?client=firefox-b-
d&q=bagaimana+perkembangan+hukum+perdata+di+indonesia

https://www.google.com/search?client=firefox-b-
d&q=jurnal+perkembangan+hukum+perdata+di+indonesia

https://www.google.com/search?
q=+perkembangan+hukum+perdata+di+indonesia&client=firefox-b-
d&sxsrf=AB5stBgpMLU5JgJTR5hY9C3hG3IFUVU5KA
%3A1688712454240&ei=BrWnZPivDr6M4-
EP8oy6uAg&ved=0ahUKEwj4ytmPgPz_AhU-
xjgGHXKGDocQ4dUDCA4&uact=5&oq=+perkembangan+hukum+perdata+di+ind
onesia&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQAzIHCCMQigUQJzIHCAAQigUQQzIF
CAAQgAQyBggAEAcQHjIGCAAQBxAeMgYIABAHEB4yBggAEAcQHjIFCAA
QgAQyBggAEAgQHjIGCAAQCBAeOgoIABBHENYEELADOgcIIxCwAhAnOgg
IABAIEAcQHkoECEEYAFDTBViRCmCmEmgBcAF4AIAB9AGIAawIkgEFMC4
yLjOYAQCgAQHAAQHIAQg&sclient=gws-wiz-serp

https://www.google.com/search?
q=makalah+perkembangan+hukum+perdata+di+indonesia&client=firefox-b-
d&sxsrf=AB5stBgjcsoI8DB3lldXpW_ul5xZ1Gvdag
%3A1688712526036&ei=TrWnZMvsAcvy4-
EPk4yr6AM&ved=0ahUKEwjLy_exgPz_AhVL-
TgGHRPGCj0Q4dUDCA4&uact=5&oq=makalah+perkembangan+hukum+perdata+
di+indonesia&gs_lcp=Cgxnd3Mtd2l6LXNlcnAQAzIHCCMQigUQJzIGCAAQBxA
eOgcIIxCwAxAnOgoIABBHENYEELADOgoIABCKBRCwAxBDOgcIIxCwAhAn
OgcIABANEIAEOggIABAFEB4QDToICAAQCBAeEA1KBAhBGABQlAVYghB
gvBloAXABeACAAZICiAGWDZIBBTAuNC40mAEAoAEBwAEByAEK&sclient
=gws-wiz-serp

29

Anda mungkin juga menyukai