Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I
PERKEMBANGAN HUKUM ORANG

A. Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu menjelaskan perkembangan hukum perdata khususnya
dalam bidang hukum orang dan hukum keluarga

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mempelajari Bab I ini, Mahasiswa mampu menjelaskan Pengertian
Hukum Perdata, Perkembangan dan Perubahan Terhadap KUH Perdata, dan
Tentang Orang.

C. Uraian Materi
1. Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya menurut isinya hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam yaitu hukum publik dan hukum privat (hukum perdata). Apakah
hukum perdata, apabila kita melihat definisi hukum perdata di berbagai buku
tentang hukum perdata maka kita akan menemukan berbagai pendapat dari
berbagai sarjana yang masing-masing berbeda. Namun perbedaan tersebut
tidak berarti ada pertentangan yang tajam melainkan menunjukkan adanya
perbedaan penekanan dan bukan perbedaan yang prinsipiil.
Kata perdata bersal dari kata pradoto (bahasa jawa kuno) yang berarti
bertengkar atau berselisish sehingga secara letterlijk dapat dikatakan bahwa
hukum perdata berarti hukum pertengkaran atau hukum
perselisihan.Beberapa pakar memberikan pengertian hukum perdata sebagai
berikut :
a. Sri Sudewi Masjchoen : “Hukum perdata ialah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang
lain”.
2

b. Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum perdata : “hukum antar


perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perorangan yang
satu terhadap yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam
pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan masing-masing
pihak”.
Dari kedua definisi ini dapat dilihat bahwa hukum perdata diberi arti
mengatur kepentingan/perlindungan antara orang yang satu dengan orang
yang lain. Di dalam ilmu hukum kita mengenal subyek hukum bukan hanya
orang (manusia) tetapi juga badan hukum. Oleh karenanya dapat diartikan
bahwa hukum perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum
yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat
(Salim HS 2003: 6).
Meskipun hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan
namun tidak berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur
kepentingan perseorangan, melainkan karena perkembangan masyarakat,
banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa
oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan, ketenagakerjaan dan
sebagainya.
Selanjutnya hukum perdata dapat dibedakan dalam arti tertulis dan
tidak tertulis. Hukum perdata tertulis yaitu Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, sedangkan yang tidak tertulis ialah hukum adat. Hubungan hukum
perdata tertulis dan tidak tertulis terletak pada Pasal 1339 KUH Perdata dan
Pasal 1347 KUHPerdata. Hukum perdata ada dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Hukum perdata dalam arti sempit ialah Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, sedangkan dalam arti luas ialah KUHPerdata dan
KUHDagang, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Asas lex specialis
derogat legi generalis terdapat dalam hubungan hukum perdata dalam arti
sempit dengan hukum perdata dalam arti luas sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 KUH Dagang. Hukum perdata juga dapat dibedakan dalam arti
materil dan dalam arti formil. Hukum perdata dalam arti materil adalah KUH
3

Perdata dan dalanm arti formil adalah Hukum Acara Perdata. Hukum materil
mengatur hak dan kewajiban sedangkan hukum formil mengatur bagaimana
caranya menjalankan dan mempertahankan hak dan kewajiban (Djaja S
Meliala, 2007: 14).

2. Perkembangan dan Perubahan Terhadap KUH Perdata


Hukum perdata di Indonesia sampai saat masih beraneka ragam
(pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum
perdata sendiri kecuali bidang-bidang tertentu yang suda hada unifikasi.
Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah
berlangsung lama bahkan sejak kedatangan Belanda di Indonesia. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 timbul
pertanyaan bagaimana Indonesia akan menentukan politik hukumnya agar
tidak terjadi kevacuman hukum yang bisa menimbulkan ketidakpastian dan
kekacauan dalam masyarakat.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Konstitusi RIS dan UUDS 1950
ada dimuat aturan peralihan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
menentukan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar
ini”. Jadi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan Peraturan
Pemerintah No 2 Tahun 1945 maka keadaan hukum perdata pada tanggal 17
Agustus 1945 diteruskan berlakunya di Indonesia. Dengan adanya peraturan
peralihan tersebut di atas, maka segala peraturan hukum peninggalan
pemerintah Hindia Belanda seperti IS, BW, Wv dan sebagainya dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bagaimana kedudukan BW (Burgerlijk Wetboek) pada waktu sekarang?
Apakah BW tersebut masih bisa dianggap berlaku sebagai sebuah kitab
undang-undang (kodifikasi) di Indonesia ? Menteri Kehakiman Sahardjo
S.H., pada rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional bulan Mei 1962 melontarkan suatu problema hukum : “Apakah BW
sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita
4

memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945?” Sahardjo


berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai undang-undang melainkan sebagai
suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak
tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai wetboek tetapi rechtboek
yang hanya dipakai sebagai pedoman (Saleh Adiwinata, 1985: 32).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Menteri Kehakiman
Sahardjo SH tersebut, Prof Mahadi SH berpendapat sebagai berikut :
a. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi
b. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
c. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin untuk menetapkan aturan
mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak dipakai lagi.
d. Tidak setuju diambil suatu ttindakan legislatif untuk menyatakan bahwa
aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis. Tegasnya tidak
setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku
menjadi hukum kebiasaan (hukum adat)
Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai
wetboek tetapi rechboek ini kemudian dibawa ke dalam Konggres Majelis
Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di
Yogyakarta pada bulan Oktober 1962. Kemudian terdengar banyak sekali
suara-suara dari para sarjana hukum di Indonesia yang menyetujui gagasan
tersebut, Sebagai konskuensi dari gagasan ini maka Mahkamah Agung
menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk
Wetboek dengan mengeluarkan Surat Edarán Mahkamah Agung No 3 Tahun
1963 yang ditanda tangani Wirjono Projodikoro tersebut beberapa pasal BW
dinyatakan tidak berlaku lagi. Beberapa pasal yang dinayatakan tidak berlaku
antara lain:
1) Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang istri untuk
melakukan perbutan hukum dan untuk menghadap di pengadilan tanpa
izin dan bantuan suami.
5

2) Pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar
perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian
pengakuan anak itu tidak lagi berakibat putusnya hubungan hukum
antara ibu dan anak sehingga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan
di anatara semua warga negara Indonesia.
3) Pasal 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan
dengan akta notaris.
4) Pasal 1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa
barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan
mengatakan, bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali
apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini
dijanjikan diperbolehkan.
5) Pasal 1238 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu
perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan ini
didahului denganpenagihan tertuis.
6) Pasal 1460 BW tentang risiko seorang pembeli barang, pasal mana
menentukan bahwa suatu barangg tertentu yang sudah dijanjikan dijual
sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan
barang itu belum dilakukan.
7) Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW, yang mengadakan diskriminasi
antara Eropah di satu pihak dan bukan Eropah di lain pihak mengenai
perjanjian perburuhan.
Selanjutnya perkembanngan dan perubahan terhadap KUH Perdata lainnya
antara lain :
a) UU Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No 5 Tahun 1960 yang
menyataka mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengatur
tentang bumi,air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
kecuali ketentuan mengenai hipotik.
b) UU No 4/1961 tentang Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga,
berlaku tanggal 21 Pebruari 1961. Undang-undang ini menyatakan
tidak berlaku lagi Pasal 6,7,8,9 dan 10 KUHPerdata. Kemudian
6

undang-undang ini pun sekarang sudah dicabut dan dinyatakan tidak


berlaku oleh UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
c) UU Perkawinan (UU No 1 Tahun 1974/uu No 16 Tahun 2019)
d) UU PT (UU No 40 Tahun2007)
e) UU No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan.
f) UU Hak Tanggungan (UU No 4 Tahun 1996).
g) UU tentang Jaminan Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999).
h) UU tentang HAM, UU No 39 Tahun 1999.
i) UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
j) UU tentang Perlindungan Anak, UU No 23 Tahun 2002
k) UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No
23 Tahun 2004)
l) UU tentang Kewarganegaraan RI (UU No 12 Tahun 2006)
m) UU tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk , UU No 23
Tahun 2006) yang menyatakan antara lain mencabut dan tidak berlaku
lagi Buku Kesatu Bab Kedua Bagian Kedua dan Bab Ketiga KUH
Perdata dan UU No 4 Tahun 1961.
Dengan demikian pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti
mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, akan tetapi beberapa bagian
ketentuan yang terdapat di dalamnya sudah tidak berlaku lagi, baik arena
adanya peraturan perundang-undangan nasional di lapangan perdata ysng
menggantikannya maupun karena dikesampingkan dan mati oleh putusan-
putusan hakim yang merupakan yurisprudensi karena ketentuan-ketentuan
BW itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan
kemajuan jaman sekarang.

3. Tentang Orang
a. Subyek Hukum
7

Subjek hukum adl pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak


dan kewajiban itu disebut orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari
manusia pribadi, dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subjek hukum
dalam arti bilogis, sebagai gejala alam, sebagai makhluk budaya yang
berakal, berperasaan dan berkehendak. Badan  Hukum adl subjek hukum
dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai
badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai hak dan
kewajiban seperti manusia pribadi. Dalam perkembangan perundang-
undangan sekarang ini, yang dinamakan subyek hukum itu bukan lagi
dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan
hukum, tetapi manusia dan korporasi.
Perbedaan prinsip Badan Hukum dgn manusia pribadi; 
 Manusia pribadi adalah makhluk ciptaan Tuhan, mempunyai  akal,
perasaan, kehendak dan dapat mati. Sedangkan badan hukum adalah
ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum dan dapat dibubarka
oleh pembentuknya.
 Manusia pribadi mempunyai kelamin, sehingga ia dapat kawin,
dapat beranak, sedangkan badan hukum tidak.
 Manusia pribadi dapat menjadi ahli waris, sedangkan badan hukum
tidak dapat.
Pengakuan terhadap manusia pribadi sebagai subjek hukum  dapat 
dilakukan sejak ia masih dalam kandungan ibunya asalkan ia lahir dalam
keadaan hidup. Hal ini penting artinya apabila kepentingan si anak
menghendaki missal dalam menerima waris atau hibah.Jadi pengakuan
manusia menjadi subyek hukum sejal ia lahir sampai meninggal dunia.
Badan hukum adalah subjek hukum ciptaan manusia pribadi
berdasarkan hukum yang diberi hak dan kewajiban seperti manusia pribadi
Menurut  ketentuan  pasal  1653 KUH Perdata  ada tiga macam klasifikasi
badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu ;
1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, seperti badan
pemerintahan, perusahaan negara
8

2) Badan hukum yang diakui pemerintah, seperti PT, Koperasi


3) Badan Hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan tertentu
yang bersifat ideal, seperti yayasan (pendidikan, sosial, keagamaan
dll)
Badan hukum  yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan hukum
yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan pemerintah,
baik lembaga negara maupun perusahaan milik negara. Badan hukum ini
dibentuk oleh pemerintah dengan UU atau dengan Peraturan Pemerintah.
apabila dibentuk dengan UU, maka pembentuk badan hukum tersebut
adalah presiden bersama DPR RI. Apabila dibentuk dengan PP, maka
pembentuk badan hukum itu adalah presiden sebagai kepala pemerintahan.
Badan hukum  yang diakui oleh pemerintah adalah badan hukum
yang dibentuk oleh pihak swasta atau pribadi warga negara untuk
kepentingan pribadi pembentuknya sendiri, tetapi badan hukum tersebut
mendapatkan pengakuannya menurut UU. Pengakuan itu diberikan oleh
pemerintah karena isi anggaran dasarnya tidak dilarang oleh UU, tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan badan hukum itu tidak akan
melanggar UU. Pengakuan tersebut diberikan pemerintah melalui
pengakuan ADnya.
Badan hukum  yang diperbolehkan adalah badan hukum yang tidak
dibentuk oleh pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan menurut
UU, tetapi diperbolehkan karena tujuannya bersifat ideal di bidang sosial,
pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan. Badan hukum ini
selalu berupa yayasan. Untuk mengetahui apakah anggaran dasar badan
hukum itu dilarang oleh UU, tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, maka akta pendiriannya memuat anggaran dasar yang harus
dibuat di muka notaris, karena notaris adalah pejabat resmi berdasarkan
UU.
Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan kepada badan hukum
dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu : 
9

1) Badan  hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang


dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum
publik, misalnya departemen pemerintahan, propinsi, lembaga-
lembaga negara seperti MPR,DPR,MA dan sebagainya.
2) Badan hukum  privat (keperdataan), yaitu badan hukum yang
dibentuk oleh pemerintah atau swasta, diberi wewenang menurut
hukum perdata.badan hukum keperdataan ini mempunyai
bermacam ragam tujuan keperdataan. 
Dilihat dari segi tujuan keperdataan yang hendak dicapai oleh badan
hukum itu, maka badan hukum keperdataan dapat diklasifikasikan menjadi
3 macam, yaitu ; 
1) Badan hukum yang  bertujuan  memperoleh laba terdiri dari
perusahaan negara,  yaitu  Perum,  Persero, Perjan, PT
2) Badan hukum yang bertujuan memenuhi kesejahteraan para
anggotanya yaitu koperasi.
3) Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal di bidang sosial,
pendidikan dan ilmu pengetahuan, kebudayaan, keagamaan. Ada
pemisahan antara kekayaan badan hukum dan kekayaan pribadi
pengurusnya. Termasuk dalam jenis ini adalah yayasan, organisasi
keagamaan, wakaf.
b. Catatan Sipil
Lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan
mengadakan pendaftaran, pencatatan serta pembuktian yang selengkap-
lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberi kepastian hukum yang
sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan dan
kematian (Nyoman Budijaya, 1987: 9).
Semula di Indonesia dalam praktek penyelenggaraan catatan sipil
terdapat hambatan karena adanya pembagian golongan penduduk
sebagaimana diatur dalam Pasal 131 jo Pasal 163 I.S, tetapi kemudian
dengan Instruksi Presidium Kabinet Ampera tanggal 27 Desember 1966,
No 31/U/IN/12/1966 dinyatakan bahwa dalam pencatatan sipil tidak lagi
10

dikenal adanya golongan-golongan penduduk dan kantor catatan sipil


terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia. Selanjutnya perkembangan
lembaga ini setelah berlakunya UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun
1975 (Pasal 2). Pasal 2 PP No 9 tahun 1975 menyebutkan :

(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan


perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalamm UU No 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

(2) Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan


perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai
perundang-undanfan mengenai pencatatan perkawinan.
Ada lima akta catatan sipil yaitu akta perkawinan, akta kelahiran,
akta perceraian, akta kematian, dan akta pengakuan anak. Akta ini dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang kuat atas peristiwa atau kejadian
sebagaimana tersebut dalam akta itu sendiri atau dengan kata lain, untuk
memperoleh kepastian hukum tentang status keperdataan seseorang yang
mengalami peristiwa hukum tersebut dan membantu memperlancar
aktivitas Pemerintah di bidang kependudukan (Suroso, 2003: 155).
Dalam UU No 23 Tahun 2006 tentang Adminduk mengenal
pencatatan akta catatan sipil sebagai berikut :
1) Pencatatan kelahiran (Pasal 27)
2) Pencatatan lahir mati (Pasal 33)
3) Pencatatan Perkawinan (Pasal 34, 36 dan 37)
4) Pencatatan Pembatalan Perkawinan (Pasal 39)
5) Pencatatan Perceraian (Pasal 40)
6) Pencatatan Pembatalan Perceraian (Pasal 43)
7) Pencatatan Kematian (Pasal 44)
8) Pencatatan Pengangkatan Anak (Pasal 47 dan 48)
11

9) Pencatatan Pengakuan Anak (Pasal 49)


10) Pencatatan Pengesahan anak (Pasal 50)
11) Pencatatan Perubahan Nama (Pasal 52)
12) Pencatatan Perubahan Status kewarganegaraan (Pasal 53 dan 54)
13) Pencatatan Peristiwa penting lainnya (pasal 56 ayat 1)
c. Domisili
Tempat tinggal atau domisili adalah tempat dimana seseorang
tinggal/berkedudukan serta mempunyai hak dan kewajiban hukum.
Tempat tinggal dapat berupa wilayah atau daerah dan dapat pula berupa
rumah kediaman (kantor) yang berada dalam wilayah tertentu. Tempat
tinggal manusia pribadi, disebut tempat kediaman sedangkann untuk
badan hukum, disebut tempat kedudukan (Abdulkadir Muhammad,
1990: 35).
Menurut Sri Soedewi Masjchoen sofwan domisili atau tempat
kediaman itu adalah “tempat di mana seseorang dianggap hadir mengenai
hal melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun
kenyataannya dia tidak di situ” Menurut kitab Undang-undang Hukum
Perdata tempat kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang
kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang dianggap
selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan
kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Kadang-kadang
menetapkan tempat kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-
pindah (banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut dibedakan
antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang
sesungguhnya. Tempat kediaman hukum adalah: “Tempat dimana
seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal melakukan hak-
haknya serta kewajiban-kewajibannya, meskipun sesungguhnya mungkin
ia bertempat tinggal di lain tempat. Bagi orang yang tidak mempunyai
tempat kediaman tertentu,maka tenpat tinggal dianggap di mana ia
sungguh-sungguh berada.
Menurut KUH Perdata ada 4 (empat) macam tempat tinggal yaitu :
12

1) Tempat tinggal hukum (Pasal 17 (1) KUH Perdata)


2) Tempat tinggal senyatanya (Pasal 17 ayat (2) KUH Perdata)
3) Tempat tinggal yang dipilih (pasal 24 KUHPerdata)
4) Tenpat tinggal wajib (Pasal 21 dan 22 KUH Perdata)
Dengan berlakunya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikenal satu jenis domisili yaitu “rumah
aman” atau tempat tinggal sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 22
butir c UU No 23 Tahun 2004.
Mengapa perlu ditetapkan tempat tinggal seseorang ? Hal ini penting
dalam beberapa hal antara lain:
1. Tempat seseorang harus mempertanggunggjwabkan perbuatannt\ya
jika ia melakukan perbuatan melawan hokum
2. Tempat seseorang melangsungkan perkawinannya (Pasal 76 KUH
Perdata).
Dengan berlakunya UU Adminduk UU No 23 Tahun 2006. Ketentuan
tentang domisili sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal
25 KUH Perdata sudah dinyatakan tidak berlaku.
Di dalam UU Adminduk diatur juga mengenai “Pendaftaran
Penduduk” dalam Bab IV, bagian Kesatu, Nomor Induk Kependudukan
pada Pasal 13 yang berbunyi :
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK
(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur hidup
dan selamanya yang diberikan oleh pemerintah dan diterbitkan
oleh instansi pelaksana kepada setiap penduduk setelah dilakukan
pencatatan biodata.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam
setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan
paspor, surat ijin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis
asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen
identitas lainnya.
(4) ………dan seterusnya.
13

Pengertian NIK (Nomor Induk Kependudukan) berdasarkan UU


Adminduk adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik dan khas,
tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk
Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud dokumen kependudukan meliputi :
a. Biodata Penduduk ; b. Kartu Keluarga; c. Kartu Tanda Penduduk; d.
Surat Keterangan Kependudukan; e. akta Pencatatan Sipil (Pasal 59
ayat 1).
Berapa lama masa berlakunya KTP seorang penduduk? Untuk
warganegara Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun (Pasal 64 ayat (4)
butir a), penduduk yang berusia 60 tahun lebih diberi KTP yang berlaku
seumur hidup (Pasal 64 ayat (5)). Selanjutnya setiap penduduk yang
dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota
keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(6) dipidana pnjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
d. Kewarganegaraan
UU Kewarganegaraan yang pertama sebagai pelaksanaan Pasal 26
UUD 1945, adalah UU No 3 Tahun 1946 yang telah mengalami perubahan
melalui UU No 6 jo UU No 8 Tahun 1947 dan UU No 11 tahun 1948. UU
ini menganut asas ius soli yaitu asas tempat kelahiran. Kemudian UU
tersebut diganti dengan UU No 62 Tahun 1058 yang menganut asas ius
sanguinis (keturunan), walaupun dalam hal-hal tertentumasih menganut
asas ius soli. Asas ius soli dipakai oleh UU No 62 Tahun 1958 sebagai
kekecualian untuk mencegah apatride yaitu khusus untuk anak-anak yang
lahir di wilayah Indonesia,yang kedua orang tuanya tidak diketahui atau
orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau mungkin belum
mendapat kewarganegaraan.
Pada prinsipnya UU Kewarganegaraan No 62 Tahun 1958 mengatur
tentang memperoleh kewarganegaraan dan kehilangan kewarganegaraan.
UU No 62 tahun 1958 inipun sekarang sudah dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku uleh UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang mulai
14

berlaku 1 Aguatus 2006. UU No 12 Tahun 2006 ini menganut asas ius


sanguinis dan asas ius soli terbatas yaitu terbatas bagi anak-anak. UU No
12 Tahun 2006 mengatur 5 (lima) hal yaitu :
1) Siapa yang menjadi warga negara Indonesia (Pasal 2 dan 4)
2) Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik
Indonesia (Pasal 8 s/d 22)
3) Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia (Pasal 23 s/d
30)
4) Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan
Indonesia (Pasal 31 s/d 35)
5) Ketentuan Pidana (Pasal 36 s/d 38)
Perubahan mendasar dari UU No 12 Tahun 2006 adalah asas
persamaan di dalam hukum yang tercermin dalam Pasal 2 yang
berbunyi sebagai berikut : “bangsa Indonesia asli adalah orang
Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak dilahirkan dan
tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
Demikian pula terhadap anak hasil perkawinan campuran baik yang
lahir dari perkawinan yang sah maupun anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah (Pasal 4). UU No 12 Tahun 2006 ini juga
menerapkan asas kewarganegaraan ganda (bi[atride) terbatas bagi
anak-anak (Djaja S. Meliala, 22010: 59-61).
Apa pengaruhnya UU kewarganegaraan ini terhadap hukum
perdata? Kewarganegaraan dapat membatasi kecakapan berhak
seseorang juga berkaitan dengan hukum keluarga dalam hal
pengangkatan anak dan anak luar kawin dalam bidang perkawinan
campuran, kedudukan anak dari perkawinan campuran dan hukum
waris.

Anda mungkin juga menyukai