Anda di halaman 1dari 144

BAB I

PENDAHULUAN

A. Istilah Hukum Perdata


Hukum di Indonesia pada dasarnya dapat dibedakan atas dua macam, yaitu : hukum publik
dan hukum privat tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan Hukum Perdata.
Istilah Hukum Perdata berasal dari dua kata yaitu : Hukum dan Perdata. Kata Hukum
diambil dari Bahasa Arab dari kata Hukm (tunggal), Ahkam (jamak) yang artinya : norma atau
kaedah yakni ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku
atau perbuatan manusia dan benda.
Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut di atas dengan hukm
dalam pengertian norma dalam bahasa Arab itu erat sekali, sebab setiap peraturan apapun macam
dan sumbernya mengandung norma atau kaedah sebagai intinya.1
Sedangkan istilah perdata sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu Pradoto/Pradata.
Istilah Hukum Perdata di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh Djojodiguno sebagai
terjemahan dari Burgelijk Recht di masa penjajahan Jepang.2
Istilah hukum Perdata diterjemahkan dari berbagai bahasa, antara lain :
a. Bahasa Belanda : Privaat Recht, Burgelijk Recht atau Civil Recht
b. Bahasa Inggris : Private Law
c. Bahasa Jerman : Privat Recht
d. Bahasa Perancis : Droit Prive
e. Bahasa Indonesia : Hukum Privat
Istilah Hukum Perdata dalam berbagai istilah tersebut di atas lazimnya dilawankan dengan
istilah dalam :
a. Bahasa Belanda : Publiek Recht
b. Bahasa Inggis : Public Law
c. Bahasa Jerman : Offenliches
d. Bahasa Perancis : Droit Public
e. Bahasa Indonesia : Hukum Publik
Jika istilah Hukum Perdata tersebut dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, maka pemberian
istilah Hukum Perdata biasanya dikacaukan dengn istilah Hukum Perdata Adat. Sejak

1
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits ( Jakarta : Tinta Mas, 1982), h.68

2
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia ( Surabaya : Prestasi Pustaka Publisher, 2006 ),
h.2

1
berdirinya Fakultas hukum di Tanah air Indonesia, istilah Hukum Perdata terdapat berbagai istilah
yang diberikan.
a. Hukum Perdata Barat
b. Hukum Perdata BW
c. Hukum Perdata
Namun, berkat hasil usaha Konsorsium Ilmu Hukum yang merupakan salah satu dari
Konsorsium Ilmu Pengetahuan yang bernaung dibawah Koordinasi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada Maret 19733, maka ragam istilah tersebut mengarah kesatu istilah yaitu Hukum
Perdata
Dilain pihak, istilah Hukum Perdata juga dikacaukan dengan istilah Hukum Adat,
namun hasil usaha Konsorsium Ilmu Hukum juga berhasil memberikan istilah permanen kedua
sistem hukum tersebut yaitu:
a. Istilah hukum Perdata diberi istilah Hukum Perdata
b. Istilah hukum Perdata Adat diberi istilah Hukum Adat
Perbedaan antara Istilah Hukum Perdata dengan istilah Hukum Adat erat kaitannya
dengan sejarah penjajahan Belanda di Indonesia yang menggolong-golongkan penduduk Indonesia
dalam tiga (3) golongan ( pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)) dalam kaitannya dengan
berlakunya Hukum Perdata atas mereka. Pedoman politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap
hukum di Indonesia ditegaskan dalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS), sebelumnya diatur
dalam pasal 75 Regeringsreglement (RR).
Kemudian, pemisahan lain yaitu istilah Hukum Perdata dengan istilah Hukum Dagang,
dimana kedua bidang hukum ini sama-sama merupakan hukum materil, namun dipisahkan karena
berdasarkan sejarah penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgelijk Wetboek yang
disingkat BW ) dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( Wetboek Van Koophandel yang
disingkat WvK) pada zaman Romawi.

B. Pengertian Hukum Perdata


Pengertian Hukum Perdata menurut berbagai pakar hukum antara lain :
1. HFA Vollmar
Hukum Perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan
oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan
dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain

3
Badu Wahab Pangaribuan, Pengantar Tata Hukum Indonesia-Diktat ( Jogyakarta : FH UGM Jogyakarta,
1981), h.ii

2
dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas.4
2. Sudikno Mertokusumo
Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang
perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam
pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak.5
3. R. Soeroso
Hukum Perdata adalah hukum yang memuat semua peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan hukum dan kepentingan-kepentingan antara anggota masyarakat yang satu dengan
anggota masyarakat yang lain, kadang-kadang antara anggota masyarakat dengan
pemerintah dengan menitikberatkan kepada kepentingan masyarakat.6
4. Van Dunne
Mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke-19 adalah: Suatu peraturan yang
mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan
keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang
minimal bagi kehidupan pribadi.7
5. Ilhami Bisri
Memberi arti hukum perdata adalah hukum atau sistem aturan yang mengatur tentang hak
dan kewajiban orang dan badan hukum sebagai perluasan dari konsep subyek hukum yang
satu terhadap yang lain baik dalam hubungan keluarga maupun dalam hubungan
masyarakat.
6. Secara umum
Pengertian/batasan atau defenisi hukum Perdata dapat diartikan bahwa:
Hukum tentang Pribadi atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang yang lain.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas, walaupun terdapat beberapa perbedaan
tetapi kesemuanya berangkat pada pemahaman yang sama bahwa dalam Hukum Perdata yang diatur
dan dilindungi adalah kepentingan perorangan/pribadi/individu dengan demikian yang
mempertahankannya juga adalah perorangan.

4
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.2.

5
Ibid. .

6
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata ( Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h.48.
7
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.I ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002), h.5.

3
C. Sistematika Hukum Perdata
1. Sistematika Menurut KUHPerdata :
Buku I : Hukum Orang dan Kekeluargaan
Buku II : Hukum Benda
Buku III: Hukum Perikatan dan Perjanjian
Buku IV: Hukum Pembuktian dan Daluarsa
Sistematika dalam KUHPerdata tersebut di atas, menurut Marilang sudah tidak tepat karena
Buku IV KUHPerdata dari segi :8
1).Hukum Pembuktian :
Hukum pembuktian yang terdapat dalam Buku IV KUHPerdata seharusnya dicabut
oleh karena hukum pembuktian tarmasuk hukum acara perdata, sedangkan Hukum Acara
Perdata Indonesia adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disingkat HIR),
Rechtsreglement Buitengewesten (selanjutnya disingkat Rbg) dan UU No.14 Tahun 1970
junto UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman serta UU No. 7
Tahun 1989 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Peradilan Agama dll.
2). Hukum Tentang Daluarsa, terbagi dua :
a). Daluarsa untuk dibebaskan dari suatu kewajiban yang sebaiknya dimasukkan dalam
buku III (Tentang Hukum Perikatan dan Perjanjian)
b). Daluarsa untuk memperoleh sesuatu benda yang sebaiknya dimasukkan dalam buku II
KUHPerdata (Tentang Hukum Benda).
Sementara ilmuan hukum berpendapat dengan merujuk pada penegasan dalam Surat
Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nr 1115/P/3292/M/1963, bahwa
KUHPerdata, tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum tak tertulis9 dengan demikian hanya sebagai buku
hukum karena substansi yang diaturnya sebagian besar sudah tidak berlaku. Dengan
demikian di kalangan ilmuan hukum melakukan pembagian yang berbeda dalam sistematika
hukum perdata.
2. Sistematika menurut Ilmu pengetahuan hukum
Lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :10
a. Hukum tentang Diri Seseorang (Personenrecht)

Marilang,Hukum Perdata (Bahan Ajar yang disajikan pada Perkuliahan pada Fakultas Syariah dan
8

Hukum UIN Alauddin, Makassar 6 Pebruari 2011.

9
CST Kansil dan Christine ST Kansil, Modul Hukum Perdata-Termasuk Asas Hukum Perdata ( Jakarta :
Pradnya Paramita, 2004), H.58.
10
Subekti, op. cit.,h.22.

4
Memuat antara lain tentang manusia sebagai subyek hukum, kewenangan hukum,
kecakapan hukum, domisili dan sebagainya.
b. Hukum Keluarga (Familierecht)
Memuat antara lain tentang hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan harta kekayaan
antara suami isteri, hubungan antara orang tua dan anak (kekuasaan orang tua-
ouderlijkemacht), perwalian (voodgdij) dan kuratel (curatele).
c. Hukum Harta Kekayaan/Hukum Benda (Vermogensrecht)
Memuat antara lain tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang,
meliputi : Hak hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan ( di atas benda milik sendiri
maupun benda milik orang lain ) dan yang memberi jaminan ( hak tanggungan, gadai,
hipotik dan fidusia ).
d. Hukum Waris (Erfrecht)
Memuat antara lain tentang benda dan kekayaan seseorang apabila telah meninggal
dunia, dengan kata lain mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta benda
peninggalan seseorang meliputi.

D. Perubahan dalam Hukum Perdata


Hukum Perdata yang berlaku saat ini di Indonesia, merupakan produk hukum peninggalan
Belanda yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat
KUHPerdata), dalam Bahasa Belanda disebut Burgelijk Wetboek ( untuk selanjutnya disingkat
BW) yang diundangkan pada 1 Mei Tahun 1848 (Stb.1848).
Legalitas berlakunya Hukum Perdata Belanda tertera dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945 junto Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (Amandemen) bahwa : Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.11 Penegasan tersebut dimaksudkan dalam rangka mengisi kekosongan
hukum (rechtvacuum) dalam lapangan Hukum Perdata dengan ketentuan tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 serta masih dibutuhkan . Pemberlakuan tersebut sifatnya hanya
sebagai pengisi masa transisi dan diakui hingga saat ini telah telah terjadi beberapa perubahan dan
pembaharuan untuk mengakomodir nilai-nilai yang tidak sesuai dengan perasaan hukum,
kepribadian seluruh bangsa Indonesia dan perkembangan ilmu pengetahuan serta kemajuan zaman.
Dalam Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda yaitu Pasal 131 dan 163 Indische
Staatsregeling (IS), Belanda menggolongkan penduduk atas tiga (3) golongan yaitu: Golongan

11
.Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya ( Jakarta : Fokusmedia,2009) h.32

5
Eropah,Timur Asing dan Bumi Putera dengan konsekewensi penundukan hukum yang juga
berbeda-beda. Hal tersebut sangat bertentangan dengan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 yang tidak mengenal penggolongan penduduk. Pasal-pasal tersebut dihapuskan berdasarkan
Instruksi Presidium Kabinet Ampera No.: 31/U/IN/12/1966 yang mulai berlaku pada tanggal 27
Desember 1966. 12 Sebagai dasar pertimbangan disebutkan bahwa demi tercapainya pembinaan
kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya perasaaan persamaan nasib
diantara sesama bangsa Indonesia, maka dirasa perlu segera menghapus praktek-praktek
berdasarkan pada penggolongan tersebut. Pelaksanaan Instruksi tersebut diperkuat dengan Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman yaitu Surat Edaran Pendes 51/1/3/ dan
J.A.2/25 yang mengatur tentang Pelaksanaan Instruksi Presidium Kabinet Ampera
No:31/U/IN/12/1966. Dengan dasar nasionalisme tersebut, maka beberapa substansi/pasal-pasal
dalam Hukum Perdata diadakan/mengalami perubahan. Perubahan terjadi karena tergantikan
dengan lahirnya beberapa produk hukum nasional atau dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah
Agung , antara lain seperti :

1. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria

Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960
dalam Lembaran Negara 1960-104. Sejarah telah mencatat salah satu perkembangan
keagrariaan/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan pembaharuan Hukum Agraria/Hukum
Tanah pada Indonesia pada khususnya. 13 Dalam konsideransnya memutuskan mencabut secara
fundamental peraturan yang berkaitan dengan pertanahan seperti :14
a.Agrarische Wet (S.1870-55) sebagai yang termuat dalam Pasal 51 Wet op de
Staatsinrichting van Nederlands Indie (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya
dari pasal itu;
b. 1) Domeinverklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118);
2) Algemene Domeinverklaring tersebut dalam S.1875-119a;
3) Domeinverklaring untuk Sumatera tersebut dalam pasal 1 dari S.1874-94f;

12
.Badu Badu Wahab Pangaribuan, op. cit., h.40, lihat juga CST Kansil dan Christine ST Kansil, op. cit., h.99.

13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya -Jilid 1- Hukum Tanah Nasional ( Jakarta : Djambatan,1996), h.1.

14
Republik Indonesia, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dalam Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah ( Jakarta : Prenada Media Group, 2005) h.151.

6
4) Domeinverklaring untuk Keresidenan Manado tersebut dalam pasal 1 dari
S.1877.55 ;
5) Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo tersebut
dalam pasal 1 dari S.1888-58;
c. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No.29 (S.1872-117) dan Peraturan
Pelaksanaannya.
d. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sepanjang yang mengenai
Bumi, Air, Angkasa serta Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya
Undang-undang ini.
Tetapi ketentuan tentang hipotik hanya berlaku bagi benda yang bukan tanah, yaitu kapal-
kapal dengan isi-bruto sekurang-kurangnya 20 meter kubik, seperti yang diatur dalam pasal 314
KUHDagang, sedangkan hipotek sebagai lembaga jaminan atas tanah sudah tidak berlaku lagi, yang
semakin dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Undang-Undang
Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang baru.15
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria yang dipertegas dengan Surat
Departemen Agraria tanggal 26 Pebruari 1964 Nomor Unda 10/3/29 dapat dirinci atas 3 macam,
yaitu: 16
a. Pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengenai bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, meliputi :17
1). Pasal-pasal tentang benda bergerak yang diatur dalam Pasal 505, 509-518 KUHPerdata;
2). Pasal-pasal tentang penyerahan benda bergerak yang diatur dalam Pasal 612-613
KUHPerdata;
3). Pasal-pasal tentang bewoning yang diatur dalam Pasal 505, 509-518 KUHPerdata;
4.) Pasal-pasal tentang hukum waris yang diatur dalam Pasal 830-1130 KUHPerdata (khusus
bagi masyarakat yang memilih tunduk pada pewarisan menurut KUHPerdata);
5). Pasal-pasal tentang piutang diistimewakan (preveligie) yang diatur dalam Pasal 1130-
1149 KUHPerdata;
6). Pasal-pasal tentang gadai yang diatur dalam pasal 1150-1160 KUHPerdata;
7).Pasal-pasal dalam Buku ke II KUHPerdata tentang hipotek yaitu : Pasal 1162-1163, 1165-
1170, 1171 ayat 2-4, 1173-1181, 1184-1185, 1189-1194 dan 1197-1232 KUHPerdata;18

15
Boedi Harsono, op. cit., h.122.

16
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.30.
17
Ibid., h.31.

7
b. Pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang mengatur tentang
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pasal-pasal dalam Buku
II KUHPerdata yaitu : 19
1). Titel satu (tentang Benda dan pembedaannya) : pasal 508 dan 520-525 KUHPerdata
2). Titel dua (tentang Bezit) : pasal 545,552-553,562 dan 565 KUHPerdata
3). Titel tiga (tentang Eigendom) : pasal 571,586-587, 589-605 dan 616-624 KUHPerdata
4). Titel empat (tentang Hak/Kewajiban Sesama Tetangga) : pasal 625-672KUHPerdata
5). Titel enam (tentang Servituut) : pasal 674-710 KUHPerdata
6). Titel tujuh (tentang Opstal) : pasal 711-719 KUHPerdata
7). Titel delapan (tentang Erfpacht) : pasal 720-736 KUHPerdata
8). Titel Sembilan (tentang Grondrenten dan Tienden) : pasal 737-755 KUHPerdata
9). Titel sepuluh (tentang Vruchtgebruik) : pasal 760 ayat 1, 762,766-771, 773-777,795-
797,799, 802, 811 ayat2-3 dan 812 KUHPerdata
10). Titel sebelas (tentang Gebruik dan Bewoning) : pasal 821,825 dan 829 KUHPerdata
c. Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-
ketentuannya tidak tidak berlaku sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung lainnya, tetapi masih berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya,
meliputi: 20
1). Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;
2). Pasal-pasal tentang cara membedakan benda yang dapat dilihat dalam 503-505
KUHPerdata;
3). Pasal-pasal tentang benda sepanjang tidak mengenai tanah, yang dapat dilihat diantara
pasal 529-568 KUHPerdata;
4). Pasal-pasal tentang Hak Milik sepanjang tidak mengenai tanah, yang dapat dilihat
diantara pasal 570 KUHPerdata;
5). Pasal-pasal tentang Hak Memungut Hasil ( vruchtgebruik) sepanjang tidak mengenai
tanah yang dapat dilihat dalam pasal 756 KUHPerdata;
6). Pasal-pasal tentang Hak Pakai sepanjang tidak mengenai tanah yang dapat dilihat dalam
pasal 818 KUHPerdata;

18
Boedi Harsono, Op.cit, h.122.

19
Ibid. h.123.
20
. Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.32.

8
7). Pasal-pasal tentang hipotek sepanjang tidak mengenai tanah , yang dapat dilihat dalam
Pasal 1162-1163, 1165-1170, 1171 ayat 2-4, 1173-1181, 1184-1185, 1189-1194 dan 1197-
1232 KUHPerdata;21

2 .Dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 yang mencabut
8 pasal KUHPerdata (BW)
Pasal-pasal yang dicabut, yakni :
a. Pasal 108 KUHPerdata (BW)
Isi Pasal 108 bahwa Seorang Istri sekalipun ia kawin diluar harta bersama atau
dengan harta terpisah tidak dapat menghibahkan, memindahtangankan,
menggadaikan, memperoleh apapun baik secara Cuma-Cuma maupun dengan beban
tanpa bantuan suami dengan bentuk akta/tertulis sekalipun memang telah ada kuasa
kepada istrinya untuk membuat kata atau perjanjian tertentu, si istri tidak berwenang
untuk menerima pembayaran apapun, atau memberi pembebasan untuk itu tanpa izin
tegas dari suami.
b. Pasal 110 KUHPerdata (BW)
Pasal 110 berisi tentang istri tidak boleh tampil dalam pengadilan tanpa bantuan
suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bersama, atau dengan harta
terpisah atau meskipun dia secara mandiri menjalankan pekerjaan bebas.
c. Pasal 284 ayat 3 KUHPerdata (BW)
Pasal 284 ayat 3 menganggap dengan diakuinya seorang anak diluar kawin yang
ibunya termasuk golongan Indonesia atau golongan yang disamakan dengan itu
berakhirlah hubungan keturunan alamiah, tanpa mengurangi akibat-akibat yang
berhubungan dengan pengakuan oleh ibu dengan ha-hal dia diberi wewenang untuk
itu.
d. Pasal 1238 KUHPerdata (BW)
Pasal 1238 menentukan bahwa bila Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah,
atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu
bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan.
e. Pasal 1460 KUHPerdata (BW)

21
. Boedi Harsono, op. cit., h.122.

9
Pasal 1460 menentuka jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah
ditentukan, maka sejak saat pembelian barang itu menjadi tanggungan pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.
f. Pasal 1579 KUHPerdata (BW)
Pasal 1579 menentukan bahwa dalam suatu hal sewa menyewa barang, si pemilik
tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, akan memakai sendiri
barangnya, kecuali apabila membentuk persetujuan sewa-menyewa diperjanjikan
diperbolehkan
g. Pasal 1603 ayat 1 dan 2 KUHPerdata (BW)
Pasal di atas menunjukkan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan bukan
Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
h. Pasal 1682 KUHPerdata (BW)
Pasal ini menentukan bahwa setiap penghibahan harus dilakukan dengan akta notaris.
Pasal-pasal tersebut dicabut dengan pertimbangan substansi yang diaturnya
bertentangan jiwa Pancasila dan UUD 1945 serta perkembangan mayarakat.

3. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diundangkan di Jakarta pada
tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975. Dengan lahirnya
Undang-Undang Perkawinan tersebut maka segala ketentuan yang terdapat dalam Buku I
KUHPerdata (BW) tentang perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 66 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut :22
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesiaers :1933 No.74), Perkawinan Campuran (Regeling 0p de gemeng de
Huwelijken S.1898 No.158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

E. Ruang Lingkup Kajian Hukum Perdata


Luas kajian Hukum Perdata menurut Titik Triwulan Tutik pada dasarnya mengacu pada
obyek kajian daripada Hukum Perdata itu sendiri.23 Sedangkan menurut Volmar luas kajian Hukum
Perdata dibedakan atas dua macam, yaitu :

22
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980), 66.
23
Titik Triwulan Tutik, op. cit. (Jakarta :Prestasi Pustaka, 2006), h.4

10
1. Hukum Perdata dalam arti luas
Obyek kajiannya merujuk pada bahan hukum sebagaimana yang tertera dalam
KUHPerdata(BW),KUHD (WvK) beserta sejumlah Undang-Undang tambahan seperti Undang-
Undang tentang Perniagaan, Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi, Hukum Kepailitan
dan Hukum Acara
2. Hukum Perdata dalam arti sempit
Obyek kajiannya merujuk pada bahan hukum sebagaimana yang tertera dalam
KUHPerdata(BW) semata, seperti Hukum Orang, Hukum Keluarga, Hukum Benda, Hukum
24
Waris dan Hukum Perikatan. (dalam pembahasan ini yang dimaksud Hukum Perdata
adalah Hukum Perdata dalam arti sempit)25 beserta beberapa perubahannya.
Dilihat dari segi ruang lingkupnya, hukum Perdata terbagi dua:
a. Hukum Perdata dalam arti luas yaitu:
Serangkaian peraturan-peraturan hukum yang pada asasnya mengatur kepentingan-
kepentingan perorangan.
b. Hukum Perdata dalam arti sempit, yaitu:
Rangkaian hukum yang mengatur tentang perdagangan, atau lebih jelasnya hukum Perdata
dalam arti sempit sama dengan Hukum Dagang KUHD.
Dilihat dari segi isinya, hukum Perdata terbagi dua, yaitu:
a. Hukum Perdata Materil, yaitu:
Memuat aturan hukum Perdata dalam keadaan diam, seperti aturan tentang
perikatan/perjanjian, perkawinan, pewarisan dsb
b. Hukum Perdata Formal yaitu:
Memuat aturan tentang bagaimana cara seseorang yang haknya dilanggar untuk mengajukan
gugatannya kedepan Pengadilan (Hukum Acara Perdata)

24
Ibid. .
25
CST.Kansil dan Christine Kansil, op. cit., h.10

11
BAB II
SEJARAH DAN KEDUDUKAN HUKUM PERDATA

A. Masa Penjajahan Belanda


Pada umumnya hukum yang berlaku di Indonesia berasal dari Hukum Perancis, yaitu pada
masa kekuasaan/Rezim Napoleon Bonaparte menjajah Belanda, maka sistem hukumnya
diberlakukan juga di Negeri Belanda kemudian Belanda menjajah Indonesia, maka sistem hukum
Belanda juga ikut diberlakukan di Indonesia.
1. Proses kedatangan Belanda di Indonesia
Dibagi atas 4 tahap, yaitu:26
a. Berdagang
b. Berdagang dan menduduki sebagian wilayah/daerah tanah air
c. Berdagang dan menempati daerah serta memperluas daerahnya.
d. Berdagang dan menjajah Indonesia
2. Keadaan pada masa Penjajahan Belanda
Hukum yang berlaku di Indonesia pada dasarnya hukum yang berasal dari Belanda yaitu
berdasarkan Pasal 131 (2) IS, pasal ini mengandung asas konkordansi artinya orang-orang Eropa
yang berada di Indonesia di berlakukan Burgelijk Wetbook (BW dari Belanda), kecuali :27
1). Ada suatu keadaan istimewa yang terjadi di Indonesia.
2). Ada peraturan bersama yang berlaku untuk orang Eropa dan penduduk lainya.
Burgelijk Wetbook (BW) hanya berlaku pada golongan orang-orang :
1). Orang-orang Eropa
2). Orang-orang Indonesia turunan Eropa
3).Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa (orang Kristen).
Pada masa penjajahan Belanda, wilayah jajahan Belanda dikenal dengan nama Hindia
Belanda (Nederland voor Indie) sedangkan Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda lebih dikenal
dengan sebutan Indische Staatsregeling (IS).Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)
Hindia Belanda membagi penduduknya atas 3 golongan, yaitu :
a. Golongan Eropa, terdiri dari ;
1). Orang Belanda
2). Orang yang berasal dari Eropah
3). Orang Jepang, BW diberlakukan terhadap orang Jepang berdasarkan adanya :

26
I Gede AB Wiranata, Hukum Adat Indonesia-Perkembangannya dari Masa ke Masa (Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2002),30-39.
27
Soebekti, op. cit., h.9-14.

12
a). Perjanjian perdagangan dan perkapalan antara Nederland dengan Jepang.
b). Belanda memberikan peluang kepada Jepang untuk dipersamakan dengan orang Eropah
demi mempermudah perjanjian/transaksi.
4).Orang yang tidak termasuk orang Belanda/Eropah tetapi taat pada hukum keluarga yang
sama dengan hukum keluarga yang terdapat dalam BW seperti: orang Amerika, Kanada,
Afrika Selatan, Australia, Selandia Baru dsb. Terhadap golongan Eropah ini ditundukkan
sepenuhnya BW.
b. Golongan Timur Asing dapat dibedakan atas 2 macam :
1). Golongan Timur Asing berbangsaTionghoa (China),atasnya berlaku sebagian besar
ketentuan BW kecuali tentang upacara yang mendahului pernikahan serta penahanan/penangguhan
pernikahan, adopsi dan kongsi diatur tersendiri.
2). Golongan Timur Asing berbangsa bukan Tionghoa (China) seperti :Orang Arab, India,
Pakistan dsb.Terhadap mereka tersebut diatas yang diberlakukan dari BW hanya dibidang
hukum harta kekayaan harta benda , sedangkan hukum keluarga dan hukum waris kecuali
testamen (wasiat) berlaku hukum adatnya masing-masing.Yang dimaksud dengan Hukum
adat bagi orang-orang Arab adalah Hukum Islam yang dianutnya. Terhadap orang-orang
Arab ini sangat tidak memungkinkan untuk ditundukkan pada hukum hukum keluarga dan
waris Belanda karena terdapat perbedaan nilai tentang perbuatan tertentu, misalnya Hukum
Islam membolekan poligami sedangkan BW tidak membolehkan.
c. Golongan Bumi putera
Yang termasuk didalam golongan Bumi Putera adalah orang Indonesia asli yang tidak
beragama Kristen. Terhadap mereka diberlakukan hukum Adatnya masing-masing. Pada masa itu
van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlands Indie membagi hukum adat atas 19
wilayah hukum (rechtskringen).

B. Masa Penjajahan Jepang


Jepang menduduki Indonesia dari Tahun 1942 sampai dengan 1945.Satu-satunya peraturan
pokok yang dikeluarkan pemerintahan Jepang pada saat menjajah Indonesia kurang lebih tiga (3)
tahun, adalah Undang-Undang No. 1 tahun 1942 Pasal 3 pada tanggal 8 Maret 1942 yang
dikeluarkan oleh pembesar Balatentara Dai Nippon yang berbunyi :28
Semua badan-badan pemerintahan kekuasaannya, hukum dan undang-undang adri
pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan aturan pemerintah militer.

28
Badu Wahab P, op. cit., h.41.

13
Ketentuan di atas merupakan legalitas formal juga berlakunya semua ketentuan yang
dtinggalkan oleh Belanda, walaupun dalam kenyataannya yang berlaku adalah hukum militer
Jepang.
Berdasarkan ketentuan hukum tersebut di atas maka semua badan-badan, wilayah kekuasaan
dan produk hukum peninggalan Belanda pada penjajahan Jepang masih lansung diberlakukan.

C. Masa Kemerdekaan
Keadaan berlakunya hukum pada zaman jepang sama halnya dengan setelah merdeka, yakni
bahwa segala badan negara dan hukum yang sudah ada masih tetap berlaku sebelum diadakan yang
baru.
Dasar berlakunya hukum belanda setelah Indonesia merdeka adalah :
a. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi :
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut UUD ini.

b. PP. No. 2 tahun 1945, pasal 1 yang berbunyi :


Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan UUD tersebut.

Pada zaman Hindia Belanda terdapat kecenderungan peraturan perundangan yang


menunjukkan hierarki pluralisme hukum, yaitu dengan adanya sejumlah peraturan perundang-
undangan yang mengatur hukum perkawinan, seperti:
a. Burgerlijke Wetboek, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
b. Regeling op de Gemengde Huwelijken, Staatsblad Tahun 1898 Nomor 158.
c. Huwelijke Ordonnantie Christen Inlanders, Staatsblad Tahun 1933 Nomor 74.
d. Huwelijksordonnantie, Staatsblad Tahun 1929 Nomor 348 (Peraturan tentang
Perkawinan dan Perceraian bagi Orang-orang Islam di Jawa dan Madura).
e. Vorstenlandse Huwelijksordonnantie, Staatsblad Tahun 1933 Nomor 98 jo.
Staatsblad Tahun 1941 Nomor 320 (Peraturan tentang Perkawinan dan Talak /
Perceraian bagi Orang-orang Islam di Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta) .
f. Huwelijsordonnantie Buitengewesten, Staatsblad Tahun 1932 Nomor 482.

Hingga awal kemerdekaan peraturan di atas masih tetap berlaku, kecuali Huwelijks
ordonnantie, Staatsblad Tahun 1929 Nomor 348 (Peraturan tentang perkawinan dan perceraian bagi
orang-orang Islam di Jawa dan Madura ) dan Vorstenlandse Huwelijksordonnantie , Staatsblad
Tahun 1933 Nomor 98 jo.Staatsblad Tahun 1941 Nomor 320 (Peraturan tentang perkawinan dan

14
talak /perceraian bagi orang-orang Islam di Gubernemen Surakarta dan Yogyakarta dan dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 (Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan
Rujuk) dinyatakan tidak berlaku lagi dan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954
Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 98, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 102 Undang-Undang Dasar Sementara mengamanatkan perlu segera dilakukannya
usaha usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum termasuk hukum perkawinan. Namun, hingga
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang menyatakan diberlakukannya kembali
Undang-Undang Dasar 1945, usaha-usaha itu tidak terwujud.Setelah melalui perjalanan panjang,
usaha yang tidak kenal menyerah ini, pada tanggal 2 januari 1974 berhasil mengundangkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinann (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
1,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).29

29
I Gede AB Wiranata , op. cit., h.271-272.

15
BAB III
HUKUM TENTANG ORANG

A. Konsep Dasar

Istilah hukum (tentang orang) berasal bahasa Belanda dari terjemahan kata
personenrecht. Dalam KUHPerdata tidak ditemukan pengertian tentang hukum orang, sebab itu
hanya berdasarkan doktrin ilmuan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Subekti bahwa:30
Hukum orang adalah peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-
peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak dan kewajiban untuk bertindak sendiri,
melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.

Menurut berbagai pakar pengertian tersebut kurang lengkap, karena pengertian yang
dikemukakan di atas hanya merujuk hukum orang dari aspek ruang lingkupnya, yang meliputi
subyek hukum, kecakapan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 31 Pengertian secara
lebih lengkap dikemukakan oleh SalimHS sebagai berikut:32
Hukum orang adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang subyek
hukum dan wewenangnya, kecakapannya, domisili dan catatan sipil.

Definisi terakhir, mengandung dua (2) cakupan, yaitu : wewenang subyek hukum dan ruang
lingkup pengaturan hukum orang. Wewenang pada hakekatnya merupakan hak dan kekuasaan dari
seseorang untuk melakukan perbuatan hukum. Wewenang tersebut dapat diklasifikasikan menjadi
dua macam, yaitu : (1) wewenang untuk mempunyai hak, dan wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.33
Hak menurut Satjipto Raharjo 34 adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada
seseorang, dengan maksud untuk melindungi kepentingan seseorang tersebut. Hak tersebut
merupakan pengalokasian kekuasaan tertentu kepada sesorang untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut.
Bila mengikuti pandangan tersebut di atas, nampak bahwa hanya kekuasaan tertentu saja
yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dan tidak setiap kekuasaan di dalam masyarakat
disebut hak.

30
Subekti, op. cit., h.9.

31
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.35

32
Salim HS, , op. cit.h.19.

33
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.36
34
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 1982),h.94.

16
Dengan mengacu pada kemungkinan-kemungkinan dimensi kekuasaan yang dikemukakan
oleh Soerjono Soekanto35sebagai berikut :a) Kekuasaan yang sah dengan kekerasan; b) Kekuasaan
yang sah tanpa kekerasan; c) Kekuasaan tidak sah dengan kekerasan; dan d) Kekuasaan tidak sah
tanpa kekerasan.
Maka hanya kekuasaan yang sah yang dapat dimasukkan dalam pengertian hak untuk
subyek hukum tersebut.

B. Subyek Hukum
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan subyek hukum ialah suatu pendukung hak, yaitu manusia atau badan
yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Suatu subyek hukum
mempunyai kekuasaan untuk mndukung hak (rechtsvoegd-heid). 36 Dapat juga dikatakan, subyek
hukum adalah sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, atau sebagai
pendukung hak dan kewajiban, dalam bahasa lebih praktis yang dapat dikenai hak dan kewajiban.
Adapun yang menjadi subyek hukum adalah orang (persoon). Pengertian orang
dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai berikut :37
a. Hardjawidjaja, orang adalah merupakan pengertian terhadap manusia
b. Eggens, yang dimaksud dengan orang adalah manusia sebagai rechspersoon
c. Ko Tjai Sing berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang tidak hanya manusia
biasa tetapi juga badan hukum.Manusia dan Badan Hukum dapat mempunyai hak
seperti orang dapat diartikan sebagai subyek hukum.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat diketahui menurut macamnya subyek
hukum terdiri atas dua. Pertama manusia (natuurlijke persoon), kedua badan hukum (rechts
persoon).
Pengakuan manusia sebagai salah satu subyek hukum, terlihat secara tersirat pada Pasal 6
Universal Declaration of Human Right yang berbunyi : Everyone has the right to recognition
everywhere as a person before the law. Dengan demikian kedudukan manusia sebagai subyek
hukum, juga sekaligus mendudukkan manusia memiliki kesamaan dimuka hukum (Equality before
the law dan man is person before the law).
Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka ia memliki kewenangan untuk bertindak.
Sudah tentu kewenangan bertindak dimaksud di sini harus menurut hukum. Hak dan kewajiban

35
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar ( Jakarta : Rajawali Press,1982), h.269.

36
Soerjono Soekanto, op. cit., h. 129.

37
Ibid., h.229.

17
tersebut dilindungi oleh hukum misalnya :Larangan seseorang melakukan perampasan hak sehingga
mengakibatkan kematian perdata (burgelijke dood) bagi orang lain walaupun termasuk mendukung
hak, maka hal ini dilarang. Contoh, Perbudakan adalah dilarang karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Larangan kematian perdata tercantum juga tercantum secara tegas dalam beberapa ketentuan
(walau sebagian sudah tidak berlaku) antara lain:
a. Pasal 3 KUHPerdata yang berbunyi :
Generlei straf heft de burgelijke dood of het verlies van alle bergelijke reghten
tengevolge (HUkuman tidak dapat merampas semua hak dari yang dikenai hukuman itu)
c. Pasal 15 UUDS 1950 ayat (2) berbunyi :

Tidak ada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan semua
hak-hak kewarganegaraan

d. Pasal 10 UUDS berbunyi :


Tidak seorangpun boleh diperbudak, diberlakukan atau diperhamba. Perbudakan,
perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan apapun yang tujuannya sama
dilarang

Dalam UUD 1945 tidak memuat secara tegas tentang hal tersebut di atas.38Seyogyanya hal
tersebut dicantumkan oleh pembuat undang-undang supaya jaminan terhadap subyek hukum lebih
pasti.
2. Orang dalam bentuk Manusia Pribadi
Pada dasarnya seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum ketika dilahirkan, dan berakhir
ketika meninggal dunia. Namun hal in tidak mutlak, sebab ada kekecualian seperti yang diatur dan
ditetapkan dalam Pasal 2 KUHPerdata:39
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan,
bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah
ia tak pernah telah ada.

Sebagai subyek hukum, manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan kewajiban dan
menerima haknya, yang disebut dengan kewenangan hukum. Dengan dengan adanya kewenangan
tersebut manusia dapat bertindak sendiri untuk memfungsikan hak dan kewajibannya yang disebut
dengan kecakapan hukum, seperti melakukan perbuatan hukum (handelingsbekwaanheid),
misalnya membuat perjanjian-perjanjian dalam lapangan harta benda maupun lainnya seperti jual
beli, sewa-menyewa, penghibahan dan lain sebagainya.

38
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), h.228-229.
39
E. Utrceht, Pengantar dalam Hukum Indonesia ( Jakarta : Universitas, 1966), h. 234.

18
Akan tetapi tidak semua manusia dapat memfungsikan sendiri hak dan kewajibannya
tersebut, karena kewenangannya itu dibatasi oleh beberapa faktor dan keadaan tertentu. Manusia
yang tidak dapat memfungsikan haknya tersebut disebut dengan istilah personae miserabile
(manusia tidak cakap hukum), yang saat ini tinggal dua (2) golongan, yaitu:
a. Manusia yang belum dewasa dan belum kawin/pernah, dan
b. Manusia dewasa yang karena sebab-sebab tertentu disimpan di bawah pengampuan
seperti : sakit ingatan, pemboros, pemabuk dan penjudi berat
Diadakannya lembaga personae miserabile ini disamping untuk melindungi kepentingan
pribadinya juga untuk keluarga lainnya dari tindakan-tindakan merugikan dari orang-orang yang
tergolong dalam status tersebut. Dari uraian di atas dapat mengetahui, bahwa seseorang yang
wenang hukum belum tentu cakap hukum (beckwaam).
Berkaitan dengan syarat kedewasaan, ternyata pengertian dewasa tersebut bervariasi
menurut berbagai peraturan dan hukum lainnya, berikut di bawah ini :40
Menurut KUHPerdata, kedewasaan untuk melansungkan perkawinan apabila seorang laki-
laki telah berumur 18 tahun, sedangkan untuk perempuan apabila ia telah berumur 15 tahun.
Klausul ini dapat kita temukan dalam pasal 29 KUH Perdata yang menetapkan:
Seorang jejaka yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, sepertipun seorang
gadis yang belum mencapai umur genap lima belas tahun, tak diperbolehkan mengikat
dirinya dalam perkawinan... .

Sedangkan menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditetapkan:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai sembilan belas tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur enam belas tahun.

Jadi pengertian dewasa untuk kawin menurut Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 tahun
1974), apabila pria sudah berumur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila ia telah berumur 16
tahun.
Sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengertian dewasa ditetapkan apabila
seseorang baik pria maupun wanita apabila ia telah berumur 16 tahun. Dalam salah satu pasalnya
ditetapkan:41
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika
umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh: memerintahkan,supaya si tersalah itu
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, dengan tidak dikenakan
hukuman....

40
Lihat Dudu Duswara Machmuddin, Pengantar Ilmu Hukum-Sebuah Sketsa (Bandung : Refika Aditama,
2010) , h.33-35.
41
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 45 (Bogor: Politeria, 1981), h. 5.

19
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan umum
Anggota-anggota badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, seseorang baik pria maupun wanita
disebut telah dewasa apabila telah berumur 17 tahun. Dalam salah satu pasal undang-undang
tersebut ditetapkan:42
Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu pendaftaran pemilih untuk Pemilihan
Umum sudah genap berumur tujuh belas tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak
memilih.

Menurut Hukum Adat seseorang dikatakan telah dewasa apabila ia telah kuat gawe atau
telah mampu mencari nafkah sendiri. Perhatikan pendapat Soepomo,Anak Lelaki yang tertua telah
dewasa, ia cakap bekerja (kuat gawe).43
Pengertian dewasa dalam Hukum Islam, seseorang dinyatakan sebagai subyek hukum atau
mukallaf (kewajiban untuk melaksanakan peraturan Allah) yaitu apabila:
a. Ajaran Islam sudah sampai kepadanya;
b. Berakal (sehat, tidak gila atau dalam keadaan tidak sadar, dan sebagainya);
c. Baligh yang ciri-cirinya antara lain sudah berumur 15 tahun, pernah mimpi bersetubuh,
sudah menikah, dan menstruasi (haid) bagi wanita.
Sedangkan usia kedewasaan, kaitannya untuk bertindak sendiri (kecakapan hukum)
dimulai pada umur 18 tahun (Pasal 47 UUP), yang menggantikan berlakunya ketentuan serupa
dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata yang menentukan 21 tahun. Maka setelah berlakunya
UUP, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum
ditentukan sebagai berikut :
1) Jika seseorang
a) Telah berumur 18 tahun, atau
b) Telah menikah.
c) Seseorang yang telah menikah tapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia
genap 21 tahu tetap dianggap telah dewasa.
2) Seorang anak yang belum mancapai 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap
tindakannya dalam hukum diwakili oleh :
a. Orang tua, dalam hal ini, anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua
(ayah dan ibu sacara bersama-sama)

42
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1985 tentang pemilihan Umum
pasal 1 Ayat(6).

43
Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980) h. 84.

20
Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya
(artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
Berikut di bawah ini beberapa peraturan perundangan yang menegaskan standar usia 18
tahun sebagai usia dewasa, yang berkorelasi dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum, antara
lain:
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 5 dan 61) juga
menetapkan usia dewasa 18 tahun (bandingkan dengan KUHPidana=16 tahun).
Begitu pula yang terdapat dalam Pasal 5-6, 9,21-22 dan 41 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Seseorang dinyatakan dewasa apabila ia
telah berumur 18 tahun.
Hal yang sama, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris
(Pasal 39 jo 30 ) juga menetapkan usia dewasa 18 tahun
Mencermati argumentasi kedewasaan tersebut di atas, sudah selayaknya usia kedewasaan 21
tahun dalam KUHPerdata yang terdapat dalam Pasal 330 jo 1330-nya ditinggalkan.Pergeseran
standar usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa (kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum)
sudah lazim juga dilakukan diberbagai negara yang menganut sistem civil law maupun common
law,44 termasuk Belanda sendiri sebagai pemberi rujukan di Indonesia di masa lalu.

3. Orang dalam bentuk Badan Hukum


Pengertian Badan Hukum adalah perkumpulan yang dibentuk oleh manusia untuk tujuan-
tujuan tertentu
Badan Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan
manusia. Sebagai subyek hukum badan hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum, misalnya mengadakan perjanjian dengan pihak lain, mengadakan transaksi jual beli dan lain
sebagainya. Sudah tentu pelaksanaan tindakan hukum tadi dilakukan oleh para pengurus badan
hukum tersebut.45
Menurut hukum suatu badan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu badan hukum
publik dan badan hukum perdata.
Badan hukum publik, yaitu suatu badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum
publik. Contohnya desa, kotamadya, provinsi, dan negara. Sedangkan badan hukum perdata, yaitu
badan hukum yang didirikan dan diatur menurut hukum perdata. Contohnya: perseroan terbatas,

44
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian.Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial (Jakarta :
Laksbang, 2008),167.
45
Dudu Duswara Machmuddin , op. cit., h. 35.

21
koperasi, yayasan, gereja (Badan hukum perdata Barat), gereja Indonesia, mesjid, wakaf, koperasi
Indonesia (Badan hukum perdata Indonesia).
Suatu badan hukum hampir selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya;
b. Memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya
secara pribadi;
c. Memiliki sifat kesinambungan, sebab hak dan kewajiban badan hukum tetap melekat
walaupun anggotanya silih berganti.
Di samping itu, dilihat hari bentuknya badan hukum dapat berbentuk:
a. Korporasi (corporation), yaitu sekumpulan orang, yang untuk hubungan hukum
tertentu sepakat untuk bertindak dan bertanggung jawab sebagai satu subyek hukum
tersendiri. Misalnya: Perseroan Terbatas (PT), Partai Politik (Parpol), dan lain
sebagainya;
b. Yayasan (foundation), yaitu kekayaan yang bukan milik seseorang atau suatu badan
hkum, yang diberi tujuan tertentu. Yayasan tidak memiliki anggota, yang ada
hanyalah pengurus yayasan.
Sebagai landasan Yuridis dari suatu badan hukum, akan diemukakan beberapa teori
(anggapan) dari para pakar hukum terkenal, yaitu:46
a. Teori Fiksi (Fictie Theorie) dari F.C. von Savigny.
Menurut teori ini, badan hukum itu semata-mata buatan negara. Selain negara, badan hukum
itu merupakanfiksi semata. Artinya sesuatu yang sesungguhnya tidak pernah ada, akan tetapi
dihidupkan dalam bayangan manusia guna menerangkan sesuatu.47
b. Teori Kekayaan Tujuan (Zweckvermorgen Theorie) dari Brinz.
Menurut teori ini, hanya manusialah yang dapat menjadi subyek hukum dan kekayaan yang
dianggap milik suatu badan hukum sebenarnya milik suatu tujuan. Teori ini hanya dapat
menerangkan landasan yuridis dan yayasan.48
c. Teori Organ (Orgaan Theorie) dari Otto von Gierke.
Menurut teori ini, badan hukum itu diibaratkan seperti manusia sesuatu yang sungguh-
sungguh menjelma dalam pergaulan hukum (eine leiblichgeistige Lebenseinheit).
Selanjutnya menurut teori ini disebutkan bahwa badan hukum itu menjadi suatu

46
Ibid., h.36-37.

47
Friedrich Carl von Savigny, Sistem des Heutigen Romishen Rechts, II, 1866, par, 85, dalam E. Utrecht, op.
cit., h. 239.

48
A. Brinz, Lehrbuch der Pandacten, III, 1883, dalam E. Utrecht, ibid., h. 240.

22
Verbandpersonlichkeit, yaitu suatu badan yang membentuk kemauannya dengan perantaraan
alat-alat yang ada padanya, seperti manusia. 49 Jadi, berfungsinya badan hukum
dipersamakan dengan manusia.
d. Teori Milik Bersama (Propiete Collective) dari Planiol dan Molengraaff.
Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan
kewajiban anggota secara bersama-sama. Maka dari itu badan hukum hanyalah merupakan
konstruksi yuridis semata. 50
Disamping empat teori yang telah dikemukakan, perlu juga diperhatikan pandangan dari
Leon Dugit. 51 Ia pada intinya mengtakan bahwa hanya manusialah yang dapat menjadi subyek
hukum, selain manusia tidak ada subyek hukum.

C. Tempat Tinggal (Domisili)


1. Pengertian
Tempat tinggal (domisili) diatur terdapat dalam Pasal 17-25 KUHPerdata, tetapi tidak ada
satu pasalpun yang memberikan pengertian tentang Tempat Tinggal (domisili) tersebut. Dalam
Pasal 17 KUHPerdata hanya menyatakan bahwa setiap orang dianggap bertempat kediaman di
tempat tinggalnya yang pokok.
Pengertian pada umumnya dalam hukum Indonesia terkandung arti territorial, sehingga
yang dimaksud dengan domisili adalah tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan hukum,
tetapi terkadang sulit menentukan tempat seseorang yang mempunyai beberapa tempat kediaman.
Oleh karenanya lebih tepat pengertian Tempat Tinggal yang dirumuskan oleh Vollmaar , bahwa
Tempat Tinggal adalah tempat seseorang melakukan perbuatan hukum.52 Perbuatan hukum adalah
suatu perbuatan yang menimbulkan akibat hukum. Yang termasuk perbuatan hukum adalah segala
bentuk perjanjian yang bernama atau tidak bernama seperti jual-beli,sewa-menyewa,tukar-
menukar,hibah,beli-sewa,leasing , pinjam meminjam dan lain-lain.Tujuan dari penentuan domisili
ini adalah untuk mempermudah para pihak dalam mengadakan hubungan hukum dengan pihak
lainya.

49
Otto von Gierke, Dasdeutsche Genossenchaftsrecht,II, 1873, h. 475, dalam E. Utrecht, ibid. .

50
Mercel Planiol dan G. Riert, Traite elementaire de droit civil, 1928, Nomor 3063, dalam E. Utrecht, ibid. .

51
Leon Duguit, Traite de droit constitutionnel,1972, I, h. 319, dalam E. Utrecht, ibid. .
52
Salim HS, op. cit. ,h. 37

23
Unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan domisili,yaitu:53
1). Adanya tempat tertentu (tetap atau sementara);
2). Adanya orang yang selalu hadir pada tempat tersebut.
3). Adanya hak dan kewajiban.
4). Adanya prestasi.
Arti penting penentuan tempat tinggal (domisili) adalah dimana seseorang harus dicari bila
ada hubungan hukum antara duapihak, seperti :54 a). Dimana seseorang harus menikah (Pasal 78
KUHPerdata), b). Dimana seseorang harus dipanggil oleh pengadilan (Pasal 1393 KUHPerdata),
dan c). Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang (Pasal 207 KUHPerdata) dsb, serta
mamfaat lainnya penentuan tempat tinggal (domisili) ini adalah dapat ditentukan tempat
pendaftaran akta tertentu misalnya pendaftaran kelahiran pada pada kantor catatan sipil tertentu.
Misalnya,seorang anak lahir di Makassar maka pendaftaran kelahirannya pada Kantor Catatan Sipil
Kodya Makassar, bukan pada Kantor Catatan Sipil Sungguminasa.

2. Macam Domisili
Dalam ilmu menurut Soeroso 55 , dalam penentuan domisili seseorang harus memenuhi
dua(2) kriterium :
a. Animus (kehendak), ialah kehendak untuk menetapkan atau mengubah tinggal tinggal.
b. Corpus (perbuatan) ialah tingkah laku yang menunjukkan dilaksanakannya kehendak
tersebut.
Berdasarkan pada kriterium yang kedua menurut Harjowijaya,56 bahwa sesorang tidak perlu
selalu berada di tempat tinggal utama (pokok), karena hal itu bukan merupakan syarat mutlak.
Selain kriterium tersebut, penentuan domisili juga dapat didasarkan atas dua(2) hal:
a. Dimana seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi kewajibannya dan
melaksanakan hak-haknya.
Contohnya : Seorang Pegawai UIN Alauddin Makassar yang dalam kenyataannya
bertempat tinggal di Sungguminasa akan dikatakan bertempat tinggal di Makassar,
karena meskipun ia bertempat tinggal di Sungguminasa, Makassar adalah tempat dimana
ia melaksanakan hak-hak serta memenuhi kewajibannya.

53
Ibid. .

54
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.56

55
Soeroso, Perbandingan, h.167.
56
Ibid. .

24
b. Dimana perbuatan hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu instansi
yang bersangkutan.
Contohnya :
Dalam Pasal 76 KUHPerdata junto Pasal 2-9 PP No.9 Tahun 1975, ditentukan bahwa
perkawinan harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah dari salah satu pihak
yang hendak kawin. Bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa untuk melaksanakan
perbuatan hukum berupa perkawinan harus ada tempat tinggal yang tertentu dan instansi
yang berkompoten mencatat dalam wilayah hukum tersebut.
Domisili juga dapat dibedakan menurut sistem yang mengaturnya,yaitu menurut Common
Law (hukum Inggris) dan hukum Eropa Continental.
Didalam Common Law (hukum Inggris), domisili dibagi menjadi tiga macam yaitu: 57
a. Domicile of origin,adalah tempat tinggal seseorang ditentukan oleh tempat asal seseorang
sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah;
b. Domicile of dependence, adalah tempat tinggal yang ditentukan oleh domisili dari ayah
bagi anak yang belum dewasa,domisili ibu bagi anak yang tidak sah, dan bagi seseorang istri
ditentukan oleh domisili suaminya.
c. Domicile of choice, adalah temat tinggal yang ditentukan oleh/dari pilihan seseorang yang
telah dewasa, disamping tindak tanduknya sehari-hari.
Didalam hukum Eropa Kontitental, khususnya KUHPerdata dan NBW (BW Baru) negeri
Belanda,tempat tinggal dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Tempat kediaman yang dipilih.
b. Tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman yang sesungguhnya adalah melakukan perbuatan hukum pada umumnya.
Tempat kediaman yang sesungguhnya dibedakan menjadi dua macam yaitu;
1) Tempat kediaman sukarela atau yang berdiri sendiri adalah tempat kediaman yang
tidak bergantung/ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain.
2) Tempat kediaman yang wajib adalah tempat kediaman yang ditentukan oleh
hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain,misalnya antara istri dengan
suaminya,antara anak dengan walinya,dan antara curatele dengan curator-nya
(pengampunya).
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tempat kediaman yangsesungguhnya, terdapat didalam
Pasal 20-23 KUHPerdata. Ketentuan tersebut dikemukakan berikut ini.

57
Salim, op. cit., h.37-40

25
1) Pasal 20 KUH Perdata; Domisili pengawai adalah tempat kediaman pengawai
adalah tempat dimana dia melaksanakan jabatanya.
2) Pasal 21 KUH Perdata: Domisili istri,anak dibawah umur dan kuratel. Seorang istri
yang tidak bercerai dan tidak berpisah meja dan tempat tidur,maka tempat
kediamanya pada domisili suaminya.Tempat domisili dari anak dibawah umur
adalah ditempat orang tuanya bertempat tinggal atau walinya. Orang dewasa yang
berada dibawah pengampunan (Curatele) adalah mengikuti tempat kediaman
kuratornya (pengampunya).
3) Pasal 22 KUH Perdata : Domisili Buruh Ada tiga golongan buruh,Yaitu:Buruh
dibawah umur,buruh Kuratel,dan buruh yang tinggal dirumah majikan. Buruh
dibawah umur mengikuti tempat tinggal orang tuanya.Buruh dibawah pengampuan
(Curatele), tempat tinggalnya mengikuti tempat tinggal curator-nya
(Pengampunya). Buruh yang bertempat tinggal dirumah majikannya( dalam praktek
saat ini seorang buruh bebas memilih tempat tinggal tergantung perjanjian awal
sebelum bekerja .
4) Pasal 23 KUH Perdata : Tempat kediaman orang meninggal Dunia seorang yang
meninggal dunia,ditentukan tempat kediamannya di tempat ia berdiam terakhir.
Domisili yang dipilih (domocili of choice) dapat dibedakan menjadi dua macam
dikemukakan berikut ini.
1) Domisili yang ditentukan oleh UU, adalah tempat kediaman yang dipilih
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Biasanya terdapat dalam hukum acara, waktu melakukan eksekusi, dan orang orang
yang mengajukan eksepsi (tangkisan). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 66 UU
Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, yang berbunyi :Seorang suami
yang ingin menggungat istrinya maka ia harus mengajukan gugatan di tempat
tinggal istrinya,
2) Domisili secara bebas ,adalah tempat kediaman yang dipilih secara bebas oleh para
pihak yang akan mengadakan kontrak atau hubungan hukum. Misalnya, A
melakukan pembayaran pada B maka kedua belah pihak memilih kantor Notaris
sebagai tempat pembayaran. Dasar Hukumnya adalah Pasal 24 KUH Perdata.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam menentukan domisili yang
dipilih, yakni:
a) Pilihan harus terjadi dengan perjanjian.
b) Perjanjian harus diadakan secara tertulis.

26
c) Pilihan hanya dapat terjadi untuk satuatau lebih perbuatan hukum atau hubungan
hukum tertentu.
d) Untuk pilihan itu diperlukan adanya kepentingan yang wajar.
Dari keempat syarat itu, syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak adalah
syarat kedua,yaitu perjanjian yang dibuat dalam bentuk perjanjian dibawah tangan
dan perjanjian autentik.Perjanjian autentik adalah suatu perjanjian yang dibuat
dimuka dan atau dihadapan pejabat yang berwenag, Seperti Notaris , Camat , dan
Juru sita.

D. Catatan Sipil
1. Konsep Dasar Catatan Sipil
Catatan Sipil adalah catatan tentang peristiwa penting mengenai keperdataan seseorang
seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, kematian dan sebagainya.
Lembaga Catatan Sipil diberikan pengertian berikut di bawah ini, menurut :
a. Nico Ngani.
Lembaga Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh
pemerintah yang bertugas untuk mencatat/mendaftar setiap peristiwa penting yang
dialami warga masyarakat, seperti misalnya kelahiran, perkawinan, perceraian,
pengakuan, kematian dsb.
b. Departemen Kehakiman (termasuk BPHN)
Lembaga Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang bertugas untuk mencatat
atau mendaftar setiap peristiwa yang dialami oleh warga masyarakat, misalnya
kelahiran, perkawinan, kematian dsb.
Dasar hukum catatan sipil diatur di dalam Bab 11 Buku 1 KUH Perdata, terdiri atas tiga
bagian dan 13 pasal, dan dimulai dari Pasal 4 KUH Perdata sampai dengan Pasal 16 KUH Perdata.
Didalam NBW Baru Negeri Belanda ketentuan tentang catatan sipil diatur didalam Titel 4 Buku 1
NBW, yang dimulai dari Art. 16 sampai dengan Art. 29 . Di luar KUH Perdata terdapat berbagai
ketentuan yang mengatur tentang catatan sipil. Ketentuan yang dimaksud dikemukakan berikut ini:
a) Stb . 1849 tentang peraturan catatan sipil untuk golongan eropa Stb .1849 merupakan
ketentuan catatan sipil yang dikhususkan bagi penduduk golongan eropa. Ketentuan ini
mulai pada tanggal 10 Mei 1849 dan terdiri atas lima bagian dan 89 Pasal.
b) Stb, 1917 No. 130 jo. Stb 1919 No.81 tentang peraturan catatan Sipil untuk Golongan
Tionghoa, mulai berlaku tanggal 1 Mei 1919. Ketentuanini terdiri atas delapan bagian
dan 102 Pasal.

27
c) , mulai berlaku tanggal 1 januari 1928 . ketentuan ini terdiri atas enam bagian dan 56
Pasal. Stb. 1920 No. 751 jo. Stb 1927 No. 564 tentang peraturan catatan sipil golongan
Indonesia asli di Jawa dan Madura
Yang Diartikan dengan golongan Indonesia Asli adalah:
1) Orang-orang yang berhak untuk memakai salah satu gelar dan predikat
kebangsawanan Indonesia yang diakui , kecuali mereka yang memakai Mas
Saja.
2) Pegawai-pegawai Negeri sipil dengan gaji paling sedikit f 100,- per bulan, dan
termasuk juga pegawai yang telah pensiun.
3) Perwira-perwira tentara, termasuk yang telah pensiun.
4) Semua orang, yang berdasarkan peraturan Raja tanggal 15 September 1916 No.12
yang untuk sebagian tunduk atau menundukan diri kepada seluruh hukum perdata
Eropa.
d) Stb. 1933 No.75 jo. Stb. 1936 No. 607 tentang peraturan catatan sipil untuk Indonesia
Kristen yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1937. Ketentuan ini terdiri atas 8 bagian
dan 70 Pasal. Peraturan ini berlaku bagi penduduk yang beragama Kristen, dan berlaku
bagi golongan Indonesia Asli di Jawa dan Madura, Minahasa, Ambon, Saparua, dan
Banda, Kecuali Pulau-pulau Teun, Nila, dan Serua.
Ketentuan yang dipaparkan diatas merupakan peraturan catatan sipil yang berasal dari
produk pemerintah Hindia Belanda,yang diberlakukan berdasarkan pada Pasal 11 aturan peralihan
UUD 1945. Tujuanya untuk mencegah terjadinya kekosongan Hukum dibidang catatan sipil.
Ketentuan yang dimaksud dikemukakan berikut ini.
a) Instruksi Presedium Kabinet Ampera No. 31/U/IN/12/1966 yang dikeluarkan pada
tanggal 1 Januari 1967. Inpres ini memuat pernyataan politis dimana catatan sipil
terbuka untuk umum dan hapusnya penulisan golongan penduduk. Dampak positif dari
adanya Inpres No. 31/U/IN/12/1966 adalah.
1) Terbukanya kesempatan pendaftaran kelahiran dan kematian bagi orang Indonesia
yang beragama islam.
2) Penulisan golongan penduduk di Kepala akta diganti dengan Kewarganegaraan.
3) Merupakan dasar hukum bagi kegiatan catatan sipil untuk PRODA, NON STBL,
dan pembaruan akta
b) Keputusan presiden Nomor 12 Tahun 1983 tentang penataan dan peningkatan
pembinaan penyelenggaraan catatan sipil.
c) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi dan Tata
Kerja catatan sipil.

28
d) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 477-752 Tahun 1983 tentang penetapan
Besarnya biaya catatan sipil.
Catatan sipil adalah suatu lembaga yang bertujuan mengadakan pendaftaran, pencatatan
serta pembukuan yang selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya serta memberikan kepastian
hukum yang sebesar-besarnya atas peristiwa,Kelahiran, Pengakuan, Perkawinan, dan Kematian
(Lie Oen Hock, 1961: 1). Didalam Art. 16 NBW Baru Negeri Belanda disebutkan bahwa catatan
sipil merupakan insitusi untuk meregistrasi kedudukan hukum mengenai pribadi seseorang
terhadap Kelahiranya, Perkawinanya, Perceraianya, Orang tuanya dan, Kematiannya.
Apabila dikaji kedua defenisi diatas, tampaklah bahwa ada lima jenis register catatan sipil
yaitu : (1) Kelahiran, (2) Perkawinan, (3) Perceraian, (4) orang tua dan(1) Kelahiran, (2)
Perkawinan, (3) Perceraian,.Di dalam KUH Perdata terdapat enam jenis register catatan sipil ,
yaitu (1) Kelahiran, (2) Pemberitahuan kawin, (3) Izin Kawin, (4) Perkawinan, (5) Perceraian,
dan (6) Kematian (Pasal 4 KUH Perdata), dengan pengecualian khusus orang Islam khusus
pencatatan yang berkaitan pemberitahuan kawin, perkawinan, izin kawin dan perceraian di KUA.
Lembaga yang berwenang mengeluarkan keenam jenis register catatan sipil yaitu Kantor Catatan
Sipil kabupaten/kotamadya. Yang diberikan kepada yang bersangkutan hanya salinannya,
sedangkan aslinya tetap tersimpan di kantor catatan sipil

2. Jenis-jenis Catatan Sipil

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 1983 tentang Organisasi
dan Tata Kerja catatan sipil Kabupaten/ kotamadya.Disebutkan ada lima jenis akta catatan sipil
yang harus dikeluarkan oleh kantor catatan sipil kabupaten/kotamadya, yaitu: (1)Akta Kelahiran,
(2) Akta Perkawinan, (3) Akta Perceraian, (4) Akta Kematian, dan (5) Pengakuan dan pengesahan,
Kelima hal itu akan dijelaskan berikut ini.58
a) Akta kelahiran.
Akta kelahiran adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag,yang
berkaitan dengan adanya kelahiran. Manfaat akta kelahiran adalah: (1) Memudahkan
pembuktian dalam hal yang berkaitan dengan pengurusan warisan, dan (2) Syarat untuk
diterima dilembaga pendidikan,mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi. Akta kelahiran
dapat dibedakan menjadi empat jenis, sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1) Akta Kelahiran umum.
Akta kelahiran umum adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan
kelahiran yang disampaikan dalam waktu yang ditentukan oleh perundang-undagan,

58
Salim, op. cit. , h.42-50

29
yakni 60 hari kerja sejak peristiwa kelahiran untuk semua golongan, kecuali golongan
Eropa selama 10 hari kerja. Inti dari akta kelahiran umum adalah disampaikan dalam
60 hari kerja sejak kelahiran.
2) Akta kelahiran istimewa.
Akta kelahiran istimewa adalah akta kelahiran yang diterbitkan berdasarkan laporan
kelahiran yang disampaikan setelah melewati batas waktu pelaporan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undagan . Batas waktu yang dilampau adalah
melebihi 60 hari.
3) Akta kelahiran Luar Biasa.
Akta kelahiran luar biasa adalah akta kelahiran yang diterbitkan oleh kantor catatan
sipil pada zaman revolusi antara 1 Mei 1940 sampai dengan 31 September 1949 dan
kelahiran tersebut tidak diwilayah hukum kantor catatan sipil setempat.
4) Akta kelahiran Tambahan.
Akta kelahiran tambahan adalah merupakan akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwewenang terhadap orang yang lahir pada tanggal 1 Januari 1967 s.d. 31 Maret
1983, yang tunduk pada stb. 1920 No. 751 jo. 1927 No. 564 dan stb. 1933 No. 75 jo.
1936 No. 607.
Adapun persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh pemohon dalam pengurusan
akta kelahiran dikemukakan berikut ini.
1) Surat keterangan kelahiran dari yang berwewenang,seperti dari dokter , bidan, dukun
beranak, nahkoda, dan pilot pesawat terbang.
2) Surat pengantar Lurah/kepala desa.
3) Surat nikah/akta perkawinan orang tuanya.
4) Surat bukti kewarganegaraanya (SBK) bagi WNA yang telah menjadi warga Negara
Indonesia dan ganti nama.
5) Kartu Keluarga (KK).
6) Bagi WNA melampirkan dokumen-dokumen asing.
7) Dua orang saksi yang memenuhi persyaratan, seperti: (a) Dewasa (Berumur 21 tahun
keatas), (b) sehat jasmani dan rohani, (c) tidak buta huruf, dan (d) berdomisili dikantor
catatan sipil yang bersangkutan.
Syarat 1),2),3),5) dan 7) berlaku bagi WNI, sedangkan WNA yang telah menjadi WNI
ditambah dengan persyaratan No. 4) dan 6). Akta kelahiran telah dituangkan dalam bentuk
formulir yang telah disediakan oleh Kantor Catatan Sipil setempat.

30
b) Akta Perkawinan.
Akta perkawinan adalah suatu akta yang dikeluarkan /diterbitkan oleh pejabat yang
berwenag untuk itu. Pejabat yang berwenag untuk mengeluarkan akta perkawinan dapat
diklasifikasi menjadi dua macam, yaitu : (1) Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) bagi
orang yang beragama Islam dan, (2) Kepala kantor catatan sipil bagi yang beragama non
Islam (Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha ).
Syarat untuk mendapatkan akta perkawinan, adalah berikut ini.
(1) Persyaratan Umum, seperti (a) surat pengantar dari lurah (b) KTP (Kartu Tanda
Penduduk), (c) KK (Kartu Keluarga): (d) akta kelahiran/ surat kenal lahir, dan (e)
pas foto 3x4 lembar.
(2) Persyaratan khusus : (a) WNI keturunan asing,harus dilengkapi dengan SBKRI,KI
dan ganti nama; (b) Warga Negara asing (WNA),harus dilengkapi dengan : STMD
(Polisi), STA (Imigrasi), surat keterangan Model KR, Pajak bangsa Asing, dan
KIM/KIMS.
(3) Bagi WNI keturunan asing yang bukan penduduk wilayah hukum kantor catatan
sipil tempat diajukan akta, harus dilengkapi surat keterangan dari kantor catatan
sipil dari daerah asalnya. Paspor surat keterangaan kedutaan (Izin) perwakilan
diplomatic bagi orang asing.
(4) Khusus bagi anggota ABRI, harus ada izin dari komandan.
(5) Bagi PNS harus memperhatikan PP Nomor 10 tahun 1983 Jo. PP Nomor 45 Tahun
1990 tentang perubahan izin perkawinan dan perceraian bagi pengawai negeri sipil.
(6) Akta cerai/ surat talak, akta kematian dari suami/istri terdahulu.
(7) Surat izin orang tua bagi mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun.
(8) Apabila orang tua mengizinkan, harus ada izin dari pengadilan Negeri.
(9) Surat dispensasi dari pengadilan negeri bagi calon mempelai yang usianya belum
mencapai 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
(10) Surat keputusan dari pengadilan kalau terjadi sanggahan.
(11) Surat izin dari pengadilan negeri bagi calon suami yang hendak poligami
(12) Izin dari BHP (Balai Harta Peninggalan) bagi calon mempelai yang berada
dibawah pengampuan (curatele).
(13) Bagi perkawinan yang dilaksanakan kurang dari 10 hari kerja sejak dilaporkan,
harus ada dispensasi camat.
(14) Akta kelahiran anak luar kawin yang akan diakui dan disahkan dalam
perkawinan
(15) Surat perjanjian perkawinan (Pemisahan harta) dari notaris.

31
(16) Ada dua orang saksi, syarat menjadi saksi adalah berumur 21 tahun, sehat
jasmani dan rohani,tidak buta huruf,dan berdomisili diwilayah kantor catatan
sipil.
Ketujuh belas syarat itu bersifat fakulatif. Artinya bahwa berlakunya syarat itu tergantung
dari situasi dan kondisi dari orang yang akan melangsungkan perkawinan. Misalnya, calon
pasangan suami-istri menginginkan adanya pemisahan harta harta perkawinan maka kedua belah
pihak harus mendatangani perjanjian akta kawin yang dibuat oleh notaris. Perjanjian akta kawin itu
harus dilampirkan sebagai syarat dalam perkawinan, sedangkan bagi yang tidak menginginkan
pemisahan harta perkawinan maka syarat itu tidak dperlukan.
Didalam formulir akta perkawinan, telah ditentukan isinya oleh pemerintah. Para petugas
tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta tersebut. Dalam akta perkawinan tersebut ada
beberapa hal yang tercantum didalamnya, antara lain sebagai berikut.
(1) Hari, tanggal, tahun dan jam pelaksanaan perkawinan.
(2) Nama calon pasangan suami dan isteri.
(3) Umur.
Ini berkaitan dengan umur batas mimal orang untuk melakukan perkawinan. Menurut
Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974 batas minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu
laki-laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Menurut KUH Perdata, umur minimal
untuk melangsungkan perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi wanita
(ketentuan dalam KUHPerdata ini sudah tidak berlaku -baca pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Apabila umur calon pasangan suami isteri belum memenuhi ketentuan hukum, maka pembuatan
akta perkawinan itu ditangguhkan sampai yang bersangkutan telah memenuhi syarat, sesuai
ketentuan perundang-undangan.
(4) Agama , pekerjaan, dan tempat kediaman.
Pencantuman agama sangat penting karena erat kaitan dengan keabsahan perkawinan yang
akan dilangsungkan olehn para pihak (baca Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 ).
c) Akta perceraian.
Akta perceraian adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang setelah adanya
putusan pengadilan. Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan akta perceraian bagi orang yang
beragama Islam adalah Panitera Pengadilan Agama atas nama Ketua Pengadilan Agama, dan bagi
yang beragama non Islam, adalah Kantor Catatan Sipil. Ada dua persyaratan untuk dapat terbitnya
akta perceraian bagi orang yang beragam non-Islam, yaitu : (1) ada penetapan perceraian dari
pengadilan negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti/tetap dan (2) harus ada ada
akta perkawinan. Apabila kedua syarat itu terpenuhi,maka Kantor Catatan Sipil segera
menerbitkan akta perkawinan tersebut. Akta pengesahan dan pengakuan anak.

32
d) Akta pengesahan dan pengakuan anak.
Adalah suatu akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang,yang berkaitan dengan
pengesahan dan pengakuan terhadap anak luar kawin. Konsekwensi logis dari adanya akta
tersebut, akan menimbulkan hubungan hukum antara anak yang diakui dengan ayah yang
mengakuinya, beserta ibunya.
e) Akta kematian.
Akta kematian adalah suatu akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (dalam hal
ini kantor catatan sipil), yang berkaitan dengan meninggalnya seseorang. Akta kematian dapat
dibagi menjadi 2 dua macam yaitu umum dan khusus.
Akta kematian umum adalah akta yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang,dimana
laporan kematian itu belum melewati 10 hari kerja bagi WNI asli bagi orang Eropa tiga hari kerja.
Ada dua syarat untuk mendapatkan akta kematian umum, sebagai berikut.
(1) Surat keterangan kematian dari lurah/kepala desa dan atau dari rumah sakit.
(2) Akta perkawinan dan akta kelahiran anak-anaknya, bila sudah menikah dan mempunyai
anak.
Didalam akta kematian memuat hal-hal berikut ini,yaitu: (a) tanggal kematian (b) tempat
kematian (c) nama orang yang meninggal dunia.
Akta kematian khusus adalah salah suatu akta yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang,di mana laporan kematian oleh suami atau istri,atau keluarga telah melewati 10
hari.syarat untuk mendapatkan akta kematian khusus ini harus ada penetapan dari pengadilan
negeri di wilayah hukum tempat terjadinya kematian.
Untuk mendapatkan penetapan pengadilan negeri maka pemohon harus
membawa/melampirkan hal-hal berikut ini.
(a) Surat kematian dari lurah/ kepala desa dan atau dari rumah sakit.
(b) Akta perkawinan dan akta kelahiran anak/anak-anaknya kalau telah kawin dan
mempunyai anak.
(c) Dua orang saksi yang betul-betul yang mengetahui peristiwa kematian tersebut.
Manfaat akta kematian.
(a) Menetapkan wali bagi anak yang belum berumur 18 tahun.
(b) Menetapkan ahli waris
(c) Menetapkan waktu tunggu bagi janda yang akan kawin.
(d) Bukti Surat izin orang tua bagi perkawinan di bawah umur 21 tahun.
(e) Bagi pemerintah, dapat menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan pemakaman dan
kesehatan.

33
3. Mamfaat Akta Catatan Sipil

Akta catatan sipil mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam proses
pembangunan nasional karena dapat memberikan manfaat bagi individu maupun pemerintah.
Mamfaat tersebut bagi pribadi maupun pemerintah.
Manfaat akta catatan sipil bagi pribadi, ada tiga(3) yaitu:
a. Menentukan status hukum seseorang.
b. Merupakan alat bukti yang paling kuat dimuka dan dihadapan hakim.
c. Memberikan kepastian tentang peristiwa itu sendiri.
Manfaat bagi pemerintah, ada tiga(3) yaitu:
a. Meningkatkan tertib administrasi kependudukan.
b. Merupakan penunjang data bagi perencanaan pembagunan.
c. Pengawasan dan pengendalian terhadap orang asing yang datang ke Indonesia
Disamping kedua manfaat itu, akta catatan sipil juga diakui sah dalam pergaulan
internasional.
Mengingat pentingnya arti catatan sipil bagi pemerintah dan warga masyarakat, ketentuan
pidana yang berhubungan dengan pelaksanaan catatan sipil, antara lain :
a. Pasal 61 ayat (2) dan (3) UU No.1 Tahun 1974
b. Pasal 45 ayat (1) dan (2) PP No.9 Tahun 1975
c. Pasal 436 ayat (1) dan (2) KUHPidana
d. Pasal 556-559 KUHPidana

34
BAB IV
HUKUM PERKAWINAN

A. Pluralisme Hukum Perkawinan Di Indonesia


Di Indonesia terdapat tiga (3) sistem hukum yang hidup berdampingan, yaitu :
1.Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat yang paling tua berlaku di Indonesia, walaupun tidak dapat dipastikan
awal mulanya karena keterbatasan sumber acuan dan fakta-fakta sejarah merupakan salah satu hal
yang menyulitkan. Tetapi penelusan dapat dimulai sebelum masa kerajaan besar nusantara berjaya,
sebagai berikut : 59
a. Masa Proto Malalo.
Dengan ditemukannya naskah kuno yang menggambarkan suatu masa pada bangsa Proto
Malalo (Melayu Tua) dan Deutoro Malalo (Melayu Muda) telah mengenal suatu ajaran Kong Hu
Chu yang mengatur hubungan dalam pergaulan sehari-hari dengan tetap bertumpu pada
kepercayaan/kekuatan gaib sebagai zat kesaktianyang menganggap bahwa segala yang ada pada
alam semesta ini mempunyai jiwa/roh dan mempunyai kekuatan untuk menentukan nasib baik dan
buruk sesesorang. Untuk menghindari nasib buruk tersebut pemujaanpun dilakukan pada tempat-
tempat tertentu.
b. Masa Kerajaan Besar Nusantara
Perkembangan hukum adat pada masa kejayaan kerajaan besar nusantara dapat disisir mulai
dari :
1). Kerajaan Sriwijaya.
Aturan hukum pada masa tersebut masih bercampur secara sederhana dengan ketentuan
agama, budaya, pemerintahan, pertanian dsb. Aktifitas hukum tersebut tergambar dalam temuan
karya inskripsi (prasasti) di bawah ini, diantara : Palas- Kalianda Lampung Selatan berangka tahun
abad ke-7, Prasasti Raja Sanjaya tahun 732 di Kedu Jawa Tengah (aksara Pallawa) memuat aturan
tentang keagamaan, perekonomian dan pertambangan, prasasti Raja Dewasimha tahun 760 (aksara
Jawa Kuno) memuat aturan tentang keagamaan dan kekaryaan, Prasasti Raja Tulodong tahun 784 di
Kediri memuat aturan tentang hukum pertanahan dan pertanian, Prasasti Bulai Rakai Garung tahun
860 memuat aturan tentang peradilan perkara perdata, Prasasti Kurunan tahun 855 memuat aturan
tentang transaksi tanah antara desa dan rakyat guna melunasi hutang Desa Parhyanan yang
mewilayahi Kurunan, Prasasti Pereng tahun 863 di Prambanan tentang Penganugrahan tanah untuk
keperluan keagamaan.

59
I Gede AB Wiranata , op. cit., h.24-26

35
2). Kerajaan Mataram
Setelah runtuhnya Kerajaan Sriwijaya diikuti dengan perkembangan kerajaan besar lainnya,
yaitu Mataram. Kejayaan Mataram banyak diberitakan oleh bangsa China dan temuan beberapa
prasasti seperti : Prasasti Guntur tahun 907 yang memuat tentang pelaksanaanperadilan oleh Samgat
(hakim), Prasasti Raja Tulodong tahun919 memuat tentang jabatan pemerintahan, hak raja atas
tanah dang anti rugi, Prasasti Mpu Sendok tahun 919 di Solo memuat informasi tentang peradilan
atas hutang piutang isteri yang meninggal tanpa ahli waris, Prasasti Dharmawangsa tahun 991
memuat tentang perintah raja untuk menyusun terjemahan aturan-aturan adat. Perkembangan
hukum adat berlanjut hingga pemerintaha Raja Hayam Wuruk dan Mahapatihnya Gajah Mada yang
memutuskan berbagai perkara berdasarkan hukum adat setempat dengan mengindahkan hukum
tertulis dari negara.
Prasasti-prasasti tersebut menggambarkan bahwa sejak dahulu kala telah masyarakat telah
mengenal suatu tatanan yang hidup dalam kehidupan mereka yang dikenal dengan hukum adat.
c. Masa Penjajahan
Pada saat Portugis dan Belanda masuk diIndonesia untuk berdagang (masa Vereenigde Oost-
Indische Companie/VOC), telah mendapati hukum yang hidup dan dipatuhi oleh masyarakat beserta
lembaga penegakannya. Pada mulanya sikap Belanda tetap membiarkan berlakunya hukum adat dan
lembaga pengadilan asli pada masyarakat setempat, karena tidak ingin terbebani dengan pekerjaan
administrasi di bidang hukum. Belanda hanya mencampuri sebagian kecil perkara pidana karena
menyangkut kepentingan umum. Keadaan ini terus berlanjut hingga pemerintahan Gubernur Jendral
Herman Willem Daendels (1762-1818), walaupun Daendels sempat merubah sistem penghukuman
hukum pidana adat terhadap masyarakat adat disesuaikan dengan hukum pidana Eropa apabila :60
(a). Perbuatan Pidana yang dilakukan berakibat mengganggu kepentingan dan ketertiban
umum, (b). Perbuatan pidana yang dilakukan bila dituntut berdasar atas hukum pidana adat dapat
mengakibatkan si pelaku dinyatakan bebas dari hukuman, (c). Perbuatan pidana yang dituntut tidak
cukup bukti sehingga dikhawatirkan si pelaku dapat dibebaskan.
Kemudian Pemerintahan Inggris (1811-1816) dengan Gubernur Jendral Raffles
menggantikan kekuasaan Belanda, dengan politik humanistisnya juga tetap membiarkan hukum
adat dan pengadilan adatnya hidup, asalkan hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan the
universal and acknowledged principles of natural justice atau the acknowledged principles of

60
lbid., h.33

36
substantial justice. Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar
terhadap pribumi, untuk menarik simpati dengan jalan membiarkan hukum adat tersebut.61
Lima tahun kemudian, Belanda kembali bercokol menggantikan kekuasaan Inggris di
Indonesia. Secara formal pemberlakuan hukum adat mendapat pengakuan sebagai bagian dari tata
pemerintahan penjajahan Belanda yang tertuang dalam Pasal 11 Algemeene Bebalingen van
Wetgeving (AB), yang kemudian disempurnakan dalam Pasal 75 Regerings Reglement (RR) tahun
1854. Pada kedua pasal sebelumnya di atas pada intinya menegaskan pengakuan terhadap
berlakunya hukum adat dalam lapangan hukum dan pengadilan pada umumnya bagi penduduk non
Eropa dengan pengecualian penundukan dalam hal tertentu, tetapi pada tahun 1918 berdasarkan
Staatsblad 1915 No.732 jis Staatsblad 1917 No.497 dan No.645 berlaku unifikasi hukum untuk
berbagai golongan penduduk dalam lapangan hukum pidana dengan lahirnya Wetboek van
Starfrecht(WvS) yang lebih dikenal oleh orang Indonesia dengan sebutan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHPidana), sedangkan dalam lapangan hukum perdata lebih disempurnakan
dalam Pasal 131 ayat(2) Indische Staatsregeling (IS) pada Januari 1926, yang menyatakan :62
(1). ...
(2). Bagi golongan Indonesia (asli), golongan Timur Asing dan bagian-bagiannya berlaku
peraturan hukum yang didasarkan atas agama-agama (godsdienstige wetten) dan
kebiasaan mereka (gewoonten samenhangende rechtsregelen); tetapi terhadap
peraturan-peraturan tersebut dapat dikecualikan apabila kepentingan umum atau
keperluan social memerlukan pengecualian itu. Jika kebutuhan sosial mereka
memerlukan, maka dapat ditetapkan bagi mereka hukum Eropa-jika perlu dengan
perubahan-ataupun hukum yang berlaku bagi mereka dan golongan Eropa bersama-
sama.

Bila dicermati semua isi naskah baik naskah kuno (prasasti) maupun pra modern/modern
(media cetak) menggambarkan bahwa dalam Hukum Adat tidak mengenal pemisahan antara hukum
publik dan hukum privat/perdata sebagaimana hukum barat.

2.Sistem Hukum Islam


Telah dipahami bersama bahwa agama Islam diturunkan dijazirah Arab pada Tahun 610 M,
sebagai ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan wahyu Allah SWT. Ketika
Nabi Muhammad SAW wafat pada Tahun 632 M, agama Islam telah berkembang pesat ke seluruh
dunia. Bahkan antara abad ke VII M Islam telah masuk secara damai dengan berbagai cara 63dan

61
Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia (Jakarta : RajaGrafindo
Persada, 2004),h.119.

62
I Gede AB Wiranata , op. cit.,h.37

63
Pola pengaruh masuknya Hukum Islam dengan pengaruh adat beserta mistiknya, masih tetap dominan
sampai sekarang ini. Hal ini nampak dalam kegiatan-kegiatan yang sebenarnya merupakan penyimpangan dari nilai-

37
dianut oleh sebagian besar orang Indonesia, baik sebagai agama maupun sebagai hukum, khususnya
dalam bidang keperdataan . Hukum Islam mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan
bangsa Indonesia, bahkan merupakan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (living law) saat itu.
Faktor-faktor penunjang mudahnya Hukum Islam diterima oleh masyarakat sebagai berikut :64
(1). Bersifat demokratis
(2). Prosedur menjadi muslim tidak sulit
(3). Mudah menyesuaikan diri dengan keadaan setempat; dengan menjadikan adat/kebiasaan
sebagai salah satu sumber hukum=Aladdatu muhakkamatun.
(4). Akhlak penyebar agama yang baik, sehingga menjadi panutan bagi pengikutnya.
Hukum Islam dilihat dari isi yang diaturnya, dapat dibagi dalam dua (2) bidang yaitu :
a. Bidang Ibadah.
Yang mengatur tentang cara berhubungan lansung dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT.
Ketentuan tersebut sudah terinci secara jelas, tidak boleh dtambah-tambah atau dikurangi.
b. Bidang Muamalah (dalam pengertian yang luas).
Yaitu ketetapan yang diberikan oleh Sang Pencipta (Tuhan) yang lansung berhubungan
dengan kehidupan sosial manusia, yang terbatas pada hal-hal pokok semata. Penjelasan Nabi,
walaupun ada tidak terlalu terinci seperti halnya dalam segi ibadah. Oleh karena itu, sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan
usaha tersebut.65
Hukum Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum
publik sebagaimana dalam sistem hukum Barat. Hal ini disebabkan sistem hukum Islam menilai
pada hukum perdata (Islam) terdapat segi-segi publik dan sebaliknya pada hukum publik( Islam)
ada segi-segi perdatanya.66 Itulah penyebab hukum Islam tidak membedakan kedua bidang hukum
tersebut. Yang disebutkan hanya bagian-bagiannya seperti misalnya:67
1) .Munakahat
2). Wirasah
3). Muamalat dalam arti khusus
4). Jinayat atau ukubat
5). Al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah)

nilai Islam. Hal ini dipertegas lagi oleh Clifford Geertz tentang adanya Islam santeri dan Islam abangan. Lihat A.
Mamun Rauf, Asas-Asas Hukum Islam (Ujungpandang : LPP UMI, 1991), h.24.

64
Ibid.,h. 24

65
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004),h.55.

66
Ibid., h.56.
67
H.M.Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1971), h.25.

38
6). Siyar
7). Mukhasamat
Tetapi bila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat
yang membedakan antara hukum perdata dan hukum publik, maka susunan hukum muamalah
dalam arti luas adalah sebagai berikut :68
a.Hukum Perdata Islam adalah :
1). Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian
serta akibat-akibatnya.
2). Wirasah, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta pembagian warisan.
3). Muamalat dalam arti khusus, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa-menyewa,
pinjam-meminjan, perserikatan dan sebagainya
b.Hukum Publik Islam adalah :
1). Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah tazir.69
2). Al-ahkam as-sulthaniyah, memuat hal-hal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan (pusat dan daerah), tentara, pajak dan sebagainya.
3). Siyar, memuat hal-hal yang berhubungan dengan urusan perang dan damai,tata hubungan
dengan pemeluk agama dan negara lain.
4). Mukhasamat, memuat hal-hal yang berhubungan tata cara peradilan, kehakiman dan
hukum acara
Secara formal, pengakuan terhadap berlakunya Hukum Islam di Indonesia pada masa
Penjajahan Belanda dituangkan dalam berbagai peraturan yang berubah-ubah, antara lain mulai
dari : Pasal 11 Algemene Bepalingen van wetgeving (AB), kemudian dirubah dengan Pasal 75
Regerings Reglement( RR), lalu disempurnakan dalam Pasal 131 dan 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (IS)
Dalam pasal-pasal tersebut di atas, pada pokoknya menegaskan bagi orang Indonesia yang
baginya tidak berlaku hukum perdata Belanda, baik karena perbedaan agama maupun karena
penundukan secara sukarela berlaku atasnya ketentuan-ketentuan hukum agama ( hukum agama

68
Mohammad Daud Ali, loc. cit. .

69
Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Jarimah
tazir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi
pelakunya.

39
identik dengan hukum agama- Teori Receptio in Complexu dari LWC van den Berg dan Salmon
Keyzer tahun 1895/ hukum agama sudah disaring oleh hukum adat -Teori Receptie dari Christian
Snouck Hurgronje), dan lembaga-lembaganya serta kebijaksanaan kerajaan, sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas kepatutuan dan keadilan. Dalam perkembangan sebelumnya Hukum
agama (Islam) dan hukum kebiasaan berlaku sama kuat sepanjang dihormati oleh masyarakat dan
tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Wujud pengakuan formal terhadap keberadaan hukum Islam dalam bidang keperdataan
terkait dengan perkawinan dsb tertera dalam Pasal 134 ayat 2 IS, dengan dibentuknya Lembaga
Peradilan Agama dalam Staatsblaad Tahun 1882 No.152 dan 153 yang berwenang menangani
nikah, talak, rujuk, nafkah, penyelesaian wakaf dan warisan untuk wilayah Jawa dan Madura.
Tetapi wewenang tersebut berkurang/terbatasi dengan keluarnya Staatsblaad Tahun 1937 No.116
dan 610 yang mengeluarkan warisan dan wakaf sebagai kompetensi Peradilan Agama dan
memasukkannya dalam wewenang Pengadilan Negeri (Landraad), sedangkan untuk luar Jawa dan
Madura Peradilan Agama belum diatur, kecuali untuk sebagian Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur, dimana berlaku Pengadilan Qadhi sebagaimana yang diatur dengan Staatsblaad Tahun 1937
No.638.70
3.Sistem Hukum Barat
Sistem Hukum Barat baik yang berasal dari Eropa Daratan (Kontinental) yang disebut Civil
Law maupun yang berasal dari Eropa Kepulauan yang terkenal dengan nama Common Law atau
Hukum Anglo Sakson. Kedua Sistem Hukum Eropa ini dulu dibawa oleh Belanda dan Inggris ke
negeri-negeri jajahannya.
Sistem Hukum Eropa Daratan (Kontinental)-Civil Law dibawa oleh penjajah Belanda ke
Indonesia pada pertengahan abad ke XIX(1854), semula dimaksudkan sebagai pengganti Hukum
Adat dan Hukum Islam bagi semua penduduk.71 Namun muncul kekekhawatiran penduduk yang
beragama Islam akan mengadakan perlawanan terus-menerus, maka berdasarkan nota Scholten van
Oud Harlen (saat itu sebagai Ketua Komisi Penyesuain Undang-Undang Belanda) diberilah ruang
sempit untuk hukum adat/kebiasaan (bagi masyarakat yang masih teguh pada adat/kebiasaannya)

70
A.Mamun Rauf, op. cit., h.205.

71
Ibid., h.27- Bahwa Harry J.Benda dalam bukunya : The Crescent and Rising Sun bahwa pada abad ke XIX
M banyak orang Belanda baik di negerinya sendiri, maupun di Hindia Belanda, sangat berharap segera dapat
menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, berdasarkan anggapan
superioritas agama Kristen, adanya sifat singkritik agama Islam di pedesaan Jawa, disamping itu pada pemerintah
Belanda ada keinginan untuk melakukan kodifikasi hukum di Hindia Belanda, seperti halnya di negeri Belanda pada
tahun 1838 M, berdasarkan adanya anggapan bahwa hukum Eropah jauh lebih baik dari hukum yang ada di Indonesia.
Usaha tersebut dilakukan a.l. melalui Kristenisasi dan pembatasan berlakunya hukum Islam dengan cara
memperlakukan teori receptie (resepsi).

40
dan hukum agama (maksudnya Hukum Islam) yang telah diresepsi oleh hukum adat, bagi penduduk
pribumi atau golongan bumiputera dalam lapangan hukum perdata.72
Kini, setelah kemerdekaan ketiga sistem hukum tersebut masih mewarnai pelaksanaan
Hukum Perkawinan di Indonesia. Dengan demikian pelaksanaan Hukum Perkawinan di Indonesia
masih bersifat plural. Sifat pluralistik tersebut sudah terjadi pada masa penjajahan Belanda yang
ditandai dengan penundukan yang berbeda pada suatu ketentuan hukum keperdataan untuk untuk
tiap golongan penduduk. Keadaan ini masih nampak walaupun telah lahir Undang-Undang
Perkawinan. Sifat pluralisme tersebut ditimbulkan oleh tiga (3) pasal dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1974, yaitu :
a. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, berbunyi :
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Menampilkan pluralisme sehubungan dengan perbedaan agama antara kedua calon
mempelai.
b. Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.

Sifat Pluralisme yang ditimbulkan berdasarkan penjelasan UU No.1 Tahun 1970 yang
dimaksud dengan kata hukumnya masing-masing yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-
hukum lainnya. Dengan demikian bila terjadi perceraian antara suami isteri maka harta bersama
(gono-gini) bisa dibagi berdasarkan hukum tertentu yang dipilih/ditundukkan atasnya.
c. Pasal 66 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, berbunyi :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Christen Indonesiaers), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de
Huwelijken), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Tidak tuntasnya Undang-Undang Perkawinan mengatur materi hukum perkawinan karena


sangat sukar membuat suatu aturan dalam lapangan hukum keluarga dan hukum waris yang dapat
diterima oleh semua kalangan masyarakat yang berasal dari latarbelakang agama dan budaya yang

72
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dalam Negara Republik Indonesia -Kedudukan dan Pelaksanaannya,
Jurnal Mimbar Hukum No.29 Tahun VII 1996, h.7 , Lihat juga A.Mamun Rauf, ibid., h.27

41
berbeda. Hal tersebut juga merupakan penyebab sangat sukar menerapkan Undang-Undang
Perkawinan secara sempurna sebagaimana yang di kemukakan oleh Soepomo bahwa :73
Dalam lapangan hukum keluarga dan hukum waris unifikasi hukum akan sukar untuk
dilaksanakan kemudian hari, karena kekuasaan tradisi dari masing-masing berbagai
golongan jenis bangsa, masih teguh. Paham-paham mengenai pertalian darah dalam
keluarga Indonesia di satu pihak dan keluarga Belanda dan keluarga bukan Indonesia
lainnya di pihak lain adalah demikian besar bedanya.

Sepatutnya bangsa Indonesia berbangga telah memiliki Undang-Undang Perkawinan yang


bersifat nasional, yang memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini telah menjadi
pedoman dan pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia, walaupun
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 hanya mengatur hal-hal pokok tentang dasar, syarat,
pencegahan, batalnya perjanjian, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, perwalian,
ketentuan lain dan ketentuan penutup ( sebagai kaedah hukum),sedangkan tentang tata cara
peminangan, upacara perkawinan dsb belum disinggung samasekali.
Ketidak tuntasan materi perkawinan (sebagai kaidah hukum) mengatur hal-hal yang sifatnya
sensitif tersebut memberikan peluang bagi berlakunya hukum (kaidah) lain untuk mengaturnya baik
sifatnya sebagai pelengkap maupun sebagai penunjang seperti kaedah agama, kebiasaan dan
kesusilaan. Menurut Daliyo,ada dua (2) bentuk hubungan yang bisa terjadi antara kaidah hukum
dan kaidah lainnya, yaitu :74
1). Hubungan Negatif,
Yakni hubungan yang saling melemahkan, apabila terjadi pertentangan antara materi
tertentu dari suatu kaidah hukum dengan kaidah lainnya, contohnya : Dalam salah satu pasal
KUHPidana menganggap perbuatan zina apabila yang melakukan persetubuhan salah
satu/keduanya masih terikat perkawinan dengan orang lainnya, sementara kaidah agama (Islam)
menganggap zina apabila belum terikat perkawinan diantara keduanya. Pada kedua kaidah tersebut
terjadi perbedaan nilai tentang zina.
2). Hubungan positif,
Yakni hubungan yang saling memperkuat berupa saling menunjang atau melengkapi. Dalam
kaitan antara kaidah hukum (perkawinan) dan kaedah hukum lainnya terjadi hubungan yang saling
melengkapi misalnya : Kaidah hukum perkawinan hanya mengatur keabsahan secara administrasi
contohnya tentang usia kawin, halangan kawin, pencatatan nikah dsb , sedangkan syarat sahnya
suatu perkawinan diserahkan/dikembalikan pada kaidah agama masing-masing calon mempelai
contohnya dalam kaidah agama Islam harus memenuhi rukun dan syarat nikah.

73
I Gede AB Wiranata,op.cit., h.273
74
R.Soeroso, Pengantar, h.219-221

42
B. Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata, Hukum Islam, UU No.1 Tahun 1970 dan
Hukum Adat

Manusia diciptakan dalam bentuk jenis laki-laki dan perempuan serta mempunyai fitrah
untuk hidup bahagia berpasang-pasangan. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut dibutuhkan suatu
norma atau aturan tertentu yang disebut dengan hukum perkawinan.
Hukum Perkawinan merupakan salah satu bagian dari kajian Hukum Perdata, berupa
peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua
pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan maksud hidup bersama untuk waktu yang
lama menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Kaedah-kaedah
pergaulan hidup sehari-hari antara suami-isteri dan anak-anaknya serta keluarga lainnya lebih
banyak terdapat dalam kaedah agama, kesusilaan dan kebiasaan/kesopanan.
Hukum Perkawinan dibagi dalam dua(2) bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Hukum Perkawinan, yaitu : keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu
perkawinan, misalnya hak dan kewajiban suami isteri
b. Hukum Kekayaan dalam Perkawinan, yaitu keseluruhan peraturan hukum yang berhubungan
dengan harta kekayaan suami isteri di dalam perkawinan, misalnya tentang harta bawaan masing-
masing sebelum menikah.75
1. Hukum Perkawinan Menurut KUHPerdata
Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasalpun yang memberikan pengertian tentang
perkawinan. Oleh karena itu, pengertian perkawinan hanya dikemukakan oleh beberapa sarjana
hukum ( doktrin) antara lain oleh :
a. Subekti menyatakan bahwa: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.76
b. Scholten berpendapat bahwa : Perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang
pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
c. Rien G.Kartasapoertra mengartikan bahwa : Perkawinan adalah hubungan hukum seorang
laki-laki dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan untuk jangka
waktu yang selama mungkin.
Dalam Pasal 26 KUHPerdata hanya menyatakan bahwa undang-undang memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan artinya, apabila perkawinan telah memenuhi syarat-
syarat pokok (intern dan external) menurut hukum perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata
maka sudah dianggap sah, ketentuan agama dari kedua calon suami-isteri boleh dikesampingkan.

75
Titik Triwulan Tutik, op. cit.,h. 103.
76
Subekti,op.cit.,h.23.

43
Dengan demikian walaupun pelaksanaan perkawinan telah sah menurut tatacara menurut ajaran
agama dari masing-masing kedua calon suami isteri tetap dianggap tidak sah, karena perkawinan
hanya ditinjau sebagai lembaga hukum tidak tergantung pada pandangan-pandangan keagamaan
calon suami-isteri. Hukum terpisah dari agama adalah ciri dari hukum perdata barat yang sekuler
dan individualis.
Syarat-syarat perkawinan dalam KUHPerdata dapat dibedakan dalam :77
a. Syarat-syarat intern
b. Syarat-syarat extern
a.Syarat-syarat intern ( pasal27-49 KUHPerdata )
Syarat-syarat intern ini merupakan syarat terhadap para pihak terutama mengenai kehendak,
wewenang dan persetujuan orang lain yang diperlukan oleh pihak itu untuk mengadakan
perkawinan.
Syarat-syarat intern terbagi lagi atas dua (2) macam, yaitu :
1). Syarat intern yang absolut/mutlak
Artinya apabila salah satu syarat tidak terpenuhi pada diri seorang calon mempelai, maka
seseorang tidak dapat melansungkan perkawinan. Ada lima (5) syarat intern yang harus terpenuhi
yaitu :
a). Kedua calon mempelai dalam keadaan tidak kawin (pasal 27 KUHPerdata)
Berdasarkan syarat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata menganut asas
monogami mutlak, yang berarti dalam keadaan apapun seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dalam waktu yang sama. Asas monogami dalam KUHPerdata tersebut dipengaruhi
oleh ajaran agama Kristen yang tidak membolehkan poligami dan juga sangat mempersukar
perceraian.
b). Persetujuan sukarela atau kemauan bebas antara bakal suami isteri (pasal 28
KUHPerdata)
Persetujuan sukarela hanya dikhususkan bagi orang yang sehat akalnya. Apabila yang
mengadakanya salah satu pihak dari bakal suami isteri mengidap sakit jiwa maka persetujuannya
untuk melansungkan perkawinan dianggap tidak sah.
c). Memenuhi batas umur minimal tertentu (pasal 29 KUHPerdata)
Batas umur bagi laki-laki (calon suami) minimal 18 tahun sedangkan bagi perempuan (calon
isteri) minimum 15 tahun. Akan tetapi Presiden (Baca: Menteri Kehakiman-(pada Masa Hindia
Belanda adalah Gouverneur General/GG=Gubernur Jendral) diberikan wewenang untuk
memberikan dispensasi bagi seorang perempuan dengan alasan-alasan tertentu yang sifatnya tidak

77
R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga (Bandung :
Alumni,1982),h.32.

44
bisa ditunda. Pada umumnya alasan tersebut sang perempuan (calon isteri) sudah mengandung
sebelum perkawinan berlansung (in zwangerschap).
d). Masa tunggu (iddah) bagi perempuan sesudah putusnya perkawinan ((pasal 34
KUHPerdata).
Seorang wanita tidak boleh kawin sebelum lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan
sebelumnya. Ketentuan dimaksudkan untuk menghindarkan confusio sanguinis (kekacauan
nasab)=onzekerheid van de afstamming). Sedang waktu 300 hari menurut ilmu medis adalah waktu
paling lama untuk sebuah kandungan.
e). Harus ada persetujuan dari pihak ke-3 bagi anak di bawah umur minderjarig dari orang
tua atau walinya(pasal 35-47 KUHPerdata)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan anak yang masih di bawah umur, untuk
memberikan pertimbangan/mencegah seorang anak terlalu dini melansungkan perkawinan sebelum
matang secara biologis dan psikologis
2). Syarat intern yang relatif/nisbi.
Syarat ini mengandung larangan tertentu sebagai berikut :
a). Larangan perkawinan antara orang-orang yang ada hubungan keluarga ( pasal 30-31),
yaitu:
(1). antar wangsa : mereka yang berinduk pada nenek pada nenek moyang yang sama;
(2). antar ipar : mereka yang menjadi keluarga karena terjadinya perkawinan dari
saudara/anak/cucunya.
b).Larangan perkawinan antara mereka karena adanya putusan hakim terbukti melakukan
overspel (pasal 32 BW).
Pasal 32 BW menentukan bahwa seorang yang dengan putusan hakim telah terbukti
melakukan overspel tidak pernah diperbolehkan melangsungkan perkawinan dengan orang yang
diajak melakukan overspel itu. Juga sampai setelah meninggalnya orang yang melakukan overspel
itu maka perkawinan yang demikian dilarang. Larangan ini dimaksudkan untuk memberantas
hubungan-hubungan asusila versi sekuler.
Akan tetapi dalam praktek pasal ini sesungguhnya merupakan suatu ketentuan kosong (een
dode letter) sebab praktek hakim dalam menjatuhkan putusannya tidak pernah (tidak diwajibkan)
menyebutkan nama orang yang diajak overspel itu.78
c).Larangan perkawinan karena perkawinan yang dahulu atau sebelumnya (pasal 33 BW).
Pasal ini semula menyatakan bahwa sesudah perkawinan yang terdahulu tidak boleh suami
istri itu kawin lagi.Akan tetapi larangan itu mempunyai akibat yang buruk maka di Indonesia pada

78
Ibid., h. 42

45
tahun 1923 (S. 1923 31) maka diadakan perubahan atas isi pasal diatas, sehingga orang yang
sudah bercerai masih dapat kawin lagi asal jangka waktu antara pemutusan perkawinan dengan
perkawinannya kembali itu sudah melampaui setahun. Tetapi bila perkawinan yang kedua kalinya
ini kemudian putus lagi maka untuk seterusnya mereka dilarang mengulangi perkawinannya lagi. 79
c. Syarat Extern
Syarat extern merupakan syarat formal dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi
dalam dua (2) tahapan. Syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilaksanakan sebagai
berikut : 80
1). Pemberitahuan tentang rencana kawin dan pengumuman rencana kawin pada Kantor
Catatan Sipil. Pengumuman ditempel selama 10 hari pada register-register catatan sipil
diselenggarakan. Tujuan pengumuman tersebut untuk memberi kesempatan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mencegah terjadinya perkawinan karena alasan-alasan tertentu yang
dibenarkan oleh hukum.
2). Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan dilansungkannya perkawinan.
Apabila semua syarat telah terpenuhi, maka perkawinan dapat dilansungkan dan perkawinan
telah dianggap sah.
2. Hukum Perkawinan Menurut Agama Islam
Hukum Perkawinan dalam Islam disebut dengan figih munakahat, yang mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya.
Menurut istilah hukum Islam perkawinan disebut dengan pernikahan yaitu ikatan atau
aqad yang sangat kuat. Disamping itu perkawinan juga tidak terlepas dari unsur mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya juga bernilai ubudiyah (ibadat).81Hal senada juga dikemukakan oleh
Ahmad Azhar Basyir bahwa nikah ialah melakukan aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri
antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar suka rela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu
kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara
yang diridhoi oleh Allah SWT.82 Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan kehalalan hubungan
seksual, kerelaan kedua belah pihak dsb tertera dalam kalam-kalam Ilahi sebagai berikut :

79
Ibid. .

80
Salim HS, op. cit., h.64.

81
Mohammad Daud Ali, Hukum, h.5.

82
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.108.

46
Al Quran Surah An-Nisa (4) ayat 24 :
...




Terjemahnya :
... . Dan dihalalkan bagimu selain ( perempuan-perempuan) yang demikian itu, jika kamu
berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan
yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah mas kawinnya kepada mereka sebagai
suatu kewajiban. ... .83

Kehalalan hubungan seksual dan kemitraan suami isteri ditegaskan pula dalam Al Quran
pada Surah Al Baqarah ayat 187 sebagai berikut :





...
Terjemahannya :
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. ...84

Al Quran Surah Ar Rum ayat 21:







Terjemahnya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.85

Berdasarkan ayat-ayat Al quran tersebut di atas, hikmah nikah antara lain : menyalurkan
naluri sex, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyaluran naluri kebapakan dan keibuan,

83
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemah Kata Perkata,( Bandung :Syaamil Al Quran, 2007) h.82

84
Ibid, h.29.
85
Ibid.,h.406.

47
dorongan untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan
menghubungkan silaturrahmi antara keluarga suami-isteri.86
Dalam Hukum Islam dalam perkawinan adalah sunnatullah, maka dianggap sah apabila
memenuhi rukun dan syarat nikah sbb :
a. Rukun Nikah, ada 5 yaitu :
1). Ada Calon suami; calon suami biasanya selalu ada dalam upacara pernikahan tetapi
dalam keadaan tertentu (sangat darurat) boleh diwakili oleh orang lain dalam ijab kabul.
2). Ada Calon isteri;
Calon isteri biasanya hadir dalam upacara pernikahannya .
3). Ada Wali;
Yang menjadi wali adalah yang mempunyai hubungan darah dengan calon pengantin wanita
(wali nasab), tetapi dalam keadaan tertentu (darurat) wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim,
4). Ada dua(2) saksi;
Dalam pelaksanaan perkawinan harus dihadiri minimal dua orang saksi yang memenuhi
syarat. Menurut pendapat umum walaupun rukun-rukun lainnya terpenuhi, apabila tidak ada saksi
yang menghadirinya maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah.
5). Adalah Ijab Kabul:
Harus terjadi ijab Kabul, ijab menurut arti katanya adalah menawarkan tanggungjawab ,
sedangkan kabul artinya menerima tanggung jawab tersebut. Dalam pengertian hukum perkawinan,
ijab artinya penegasan kehendak untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dari pihak
wanita, sedangkan Kabul adalah penegasan penerimaan pengikatan diri itu oleh pengantin pria.
Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh pengantin pria lansung sesudah ucapan penegasan
penawaran dilakukan oleh pihak wanita. Tidak ada jeda waktu yang lama yang mengesankan
keragu-raguan. 87
Adapun Syarat Nikah dalam Hukum Islam yaitu :88
1). Persetujuan kedua mempelai.
Persetujuan ini merupakan syarat mutlak untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan itu
harus lahir dari perasaan dan pikiran kedua calon pengantin, tanpa tekanan atau paksaan.Bila kedua
calon pengantin tidak menyatakan persetujuannya untuk menikah, perkawinan tidak dapat
dilangsungkan .

86
H.Djamaan Nur, Fiqih Munakahat ( Semarang : Toha Putera, 1993),h.10.

87
Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995), h.72.

88
Ibid., h.72-76.

48
2). Mahar (maskawin).
Menurut hukum Islam, mahar adalah hak mutlak calon pengantin perempuan dan calon
calon pengantin laki-laki memberikan sebelum akad nikah dilangsungkan. Bentuknya bermacam-
macam. Pelaksanannya dapat tunai, dapat diutangkan. Mahar yang diberikan pengantin laki-laki
menjadi milik mutlak pengantin perempuan. Mahar adalang lambang penghalalan hubungan suami
isteri dan lambang tanggung jawab pengantin pria terhadap pengantin wanita yang kemudian
menjadi isterinya.
3). Tidak boleh melanggar larangan-larangan perkawinan.
Larangan-larangan perkawinan secara rinci dan tegas disebutkan dalam Al Quran pada surat
2,4 dan surat-surat lain. Pengelompokannya adalah sebagai berikut:
a). Larangan perkawinan karena perbedaan agama
Larangan ini ditujukan kepada laki-laki sebagaimana disebutkan dalam Qs 2:221. Dalam
ayat tersebut ditegaskan bahwa laki-laki muslim tidak boleh mengawini waniti musyrik sebelum ia
beriman, juga laki-laki muslim tidak boleh mengawinkan laki-laki musyrik dengan perempuan
beriman (bertauhid) sebelum laki-laki musyrik itu beriman (yang sama) pula. Sebab,wanita dan pria
yang musyrik itu akan membawa pasangannya ke neraka (menurut istilah Al Quran), sedangkan
tuhan akan membawa pria dan wanita beriman itu kearah kebaikan dan keampunan. Dalm QS 5:5
Tuhan membolehkan laki-laki muslim mengawini wanita Ahlul-kitab, yaitu menurut pendapat
umum, wanita Yahudi dan Nasrani. Namun , mengenai kebolehan laki-laki mengawini wanita
Ahlul-Kitab ini, para ahli hukum Islam ada yang berpendapat bahwa untuk kepentingan kesatuan
imam dalam keluarga dan untuk kepentingan pendidikan anak-anak,kebolehan yang berbentuk
kewenangan itu, sebaiknya tidak dipergunakan oleh laki-laki muslim. Bahkan ada yang tegas
mengharamkan. Alasanya, rumah tangga yang didirikan oleh orang-orang yang berbeda agama,
menurut pengalaman, lebih rapuh dibandingkan dengan rumah tangga yang didirikan oleh orang-
orang seiman, seagama.89
Larangan ditujukan kepada wanita muslim untuk kawin dengan laki-laki non muslim,
disebutkan diberbagai ayat diantaranya Qs 2;21 yakni larangan kawin dengan laki-laki musyrik, Qs
60;10 larangan kawin dengan laki-laki kafir, dan secara tersirat dalam Qs 5;5 dan 60;10 larangan
kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, yakni laki-laki yang beragama Yahudi dan Nasrani.
b). Larangan perkawinan karena hubungan darah
Larangan ini dirinci dalam Qs 4;23 yang antara lain larangan mengawini (1)ibu,(2)anak
perempuan,(3)saudara perempuan,(4)saudara perempuan ibu,(5)saudara perempuan ayah(6)anak
perempuan saudara laki-laki,(7)anak perempuan saudara perempuan.

89
Ibid. .

49
c). Larangan perkawinan karena adanya hubungan kekeluargaan yang disebabkan karena
perkawinan.
Larangan ini disebutkan dalam Qs 4;32 lanjutan ayat diatas. Dalam ayat ini ditegaskan
larangan:(1). Mengawini mertua perempuan; (2). Anak tiri perempuan yaitu anak isteri yang telah
dicampuri yang berada dalam pemeliharaan seseorang;(3). Menantu perempuan; (4). Dua wanita
bersaudara; dan (5).Ibu tiri yaitu wanita-wanita yang pernah dinikahi oleh ayah (Qs. 4;22)
d). Larangan perkawinan karena hubungan sepersusuan
Larangan ini disebutkan dalam Qs 4;32 lanjutan ayat diatas. Dalam ayat ini dengan jelas
ditegaskan larangan mengawini: (1). Ibu susu, yaitu wanita yang menyusukan seseorang sewaktu ia
kecil; (2). Saudara sepersusuan yaitu orang yang pernah menyusu pada ibu susu yang sama.
Hubungan sepersusuan ini , menurut Al quran, dekat sama dengan hubungan darah. Karena itu,
perkawinan antara perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan darah sepersusuan,
dilarang.
d. Larangan bagi wanita, yaitu larangan poliandri
Larangan ini tersirat dalam Qs. 4;24. Dalam ayat ini disebutkan larangan bagi laki-laki
untuk mengawini perempuan yang sedang bersuami. Kalau larangan ini dilihat dari sudut
perempuan (sebaliknya), maka ini berarti bahwa wanita dilarang mempunyai suami lebih dari
seorang atau poliandri. Sebab, dalam hukum perkawinan dan kewarisan Islam, soal kemurnian
keturunan sangatlah penting dan menentukan. Artinya, keturunan atau hubungan darah seseorang
itu harus jelas benar jalurnya. Karena itu, darah anak yang dikandung oleh seseorang haruslah
murni. Darah tersebut hanya dapat dihubungkan dengan darah seorang laki-laki saja sebagai
ayahnya, tidak(bercampur) dengan beberapa darah laki-laki lain.
Dalam pasal 8 Undang-undang perkawinan Indonesia disebutkan larangan-larangan
perkawinan antara dua orang (a) behubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan
keatas (b) berhubungan darah dalam keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya (c) berhubungan semenda
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri (d) berhubungan susuan (e) berhubungan saudara
dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri, dalam hal seorang suami istri lebih dari
seorang, dan (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin. Larangan-larangan perkawinan dalam pasal 8 undang-undang perkawinan ini sesuai
dengan ajaran Islam.

3. Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun 1974


UU No.1 Tahun 1974 terdiri 14 (empat belas) bab dan 67 (enam puluh tujuh) pasal yang
hanya mengatur hal-hal pokok saja tentang dasar, syarat, pencegahan, batalnya perjanjian, putusnya

50
perkawinan, serta akibatnya, kedudukan anak, perwalian, ketentuan lain, peralihan, dan ketentuan
penutup. Untuk kelancaran pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975.
Pengertian perkawinan menurut pasal 1 UU No.1 No. Tahun1974 adalah sebagai berikut :
Perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa.

Antara pengertian Perkawinan menurut KUHPerdata dengn UU No.1 Tahun 1974 terdapat
perbedaan menyolok, yaitu dalam KUHPerdata aspek keagamaan bisa diabaikan dan juga
menganut asas monogami mutlak (Pasal 27 KUHPerdata), sedangkan UU No.1 Tahun 1974 sangat
memperhatikan aspek keagamaan dan tidak menganut asas monogami mutlak.
Ketidak mutlakan asas monogami dalam UU No.1/1974 dapat dilihat dalam pasal 3 (1) dan
(2), untuk dapatnya seorang laki-laki mempunyai seorang istri lebih dari seorang diatur dalam pasal
4 (2) yaitu:
1). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
2). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3). Istri tidak dapat melahirkan
Disamping itu, ketika mengajukan permohonan izin beristri lebih dari seorang kepada
Pengadilan Agama, ia harus juga membuktikan :
1) adanya persetujuan dari istri atau istri-istri,
2). ada kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup istri-istri serta anak-anaknya,
dan
3). ada jaminan bahwa suami itu akan berlaku adil terhadap istri-istri serta anak-anaknya.
Peluang yang diberikan bagi laki-laki tersebut sebagai pintu terakhir untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tidak teratasi dengan satu (1) isteri.
Ketidakmutlakan monogami dalam UU No.1 Tahun 1974 sejalan dengan asas perkawinan
dalam hukum Islam. Asas tersebut terdapat dalam QS An Nisaa (4) ayat 3 yang (terjemahannya)
antara lain berbunyi: .... jika kamu takut tidak dapat berlaku adil (terhadap istri-istrimu jika kamu
beristri lebih dari seorang), kawinilah seorang wanita saja....(sebab) kawin dengan seorang wanita
saja lebih baik bagimu agar kamu tidak berbuat aniaya.90
Ayat tersebut menunjukkan nasihat atau anjuran Tuhan (Islam) agar laki-laki sebaiknya
beristrikan seorang wanita saja, karena beristri lebih dari seorang wanita berpotensi membuat suami
berlaku curang, aniaya, dan sewenang-wenang terhadap istri-istri atau anak-anaknya. Monogami

90
Departemen Agama RI, op. cit., h.7.

51
adalah asas hukum Islam sedangkan poligami hanya pengecualian (dibolehkan-bukan dianjurkan)
sebagai jalan atau pintu darurat untuk ke-luar dari kesulitan rumah tangga atau terdapat suatu
keadaan mendesak, tujuan-tujuan yang baik tetapi dengan syarat-syarat yang berat.
Perbedaan lainnya antara KUHPerdata sebagai hukum yang bersumber dari hukum barat,
suami adalah pemegang kekuasaan atas istri (marital) dan istri harus tunduk dan patuh pada suami,
dengan demikian setiap perbuatan hukum yang akan dilakukan oleh isteri harus diwakili oleh
suaminya. Demikian yang tertuang dalam KUHPerdata, tetapi mungkin dalam praktek adalah
sebaliknya.
Hal ini di sebabkan kaidah hukum keluarga bersifat mengatur dan hukum yang bersifat
memaksa tidaklah merupakan sebenarnya (essensial), walaupun dalam pasal 106 KUHPerdata dan
pasal-pasal lainnya menegaskan bahwa istri harus tunduk dan patuh pada suaminya.
Kedudukan istri menurut KUHPerdata, yang berasal dari Hukum Barat adalah berlainan
dengan Hukum Adat (sistem kekerabatan parental), Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-Undang No.1 Tahun 1974).
Menurut Hukum Adat yang menganut sistem kekerabatan parental dan Hukum Agama
Islam , istri mempunyai kedudukan yang sama dengan suami dan begitu pula dalam pasal 31
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Undang-Undang Perkawinan) menegaskan bahwa hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dalam rumah tangga, pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian seorang
istri juga cakap hukum.
4. Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan dan keluarga dalam hukum adat, menurut Otje Salman Soemadiningrat 91
memiliki korelasi yang sangat tajam. Bukan semata-mata sebagai ikatan kontraktual antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan implementasi perintah Tuhan yang melembaga
dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan. Konsep
hukum adat sama pula dengan konsep dalam hukum Islam dan UUP.
Setelah berlakunya UUP, secara formal menurut M Yahya Harahap92:
Kedudukan hukum adat telah tergeser,landasan primer dalam suatu perkawinan telah
diambil alih oleh undang-undang ini (UUP), sedangkan hukum adat semata-mata sebagai
unsur komplementer atau sekunder yang tidak menentukan bagi sahnya suatu perkawinan,
perceraian maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pemeliharaan anak.

91
HR Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer (Bandung : Alumni, 2002),
h.173.

92
M Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 1993), h.18.

52
Walaupun hukum adat telah tergeser dengan keberadaan UUP, tetapi sepanjang
menyangkut urusan materil, internal, kepercayaan masyarakat masih bersifat plural. 93Karena UUP
lebih banyak mengatur urusan-urusan yang bersifat publik atau administratif (menyangkut
wewenang pejabat-pejabat negara dan pengadilan).
Sebagai telah diketahui, bahwa di Indonesia dikenal tiga(3) bentuk sistem kekerabatan,
yaitu: a. Patrilineal. b. Matrilineal, dan c. Parental. Bahkan variasi dari ke tiga bentuk tersebut
dikenal juga sistem kekerabatan alternered parten. Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat
sangat mempengaruhi bentuk perkawinannya dan akibatnya.
a. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Patrilineal
Pada kekerabatan Patrilineal, masyarakat menarik garis keturunan/kekeluargaan dari pihak
laki-laki(bapak). Bentuk perkawinannya disebut dengan kawin jujur dimana pihak mempelai laki-
laki memberikan jujuran kepada pihak mempelai perempuan. Jujuran (bruidschaadt) tersebut
berupa benda-benda suci/bernilai magis/uang sebagai simbol pelepasan isteri dari klan (marga)
asalnya untuk masuk dalam klan (marga) suaminya. Perkawinan yang dilakukan dengan
pembayaran jujuran (beli di Maluku, belis di Timor, dan tuhor di Batak) dari pihak kerabat
laki-laki kepada kerabat perempuan. Dengan diterimanya benda/uang jujuran ini, maka mempelai
perempuan akan melepaskan kedudukan dirinya pada kerabat asal dan masuk bergabung menjadi
anggota kerabat pihak laki-laki selama ikatan perkawinan.
Konsekwensi bentuk perkawinan tersebut antara lain : 1) Isteri mempunyai hak dan
kewajiban yang sepadam dengan anggota-anggota keluarga suaminya; 2) Anak-anak masuk dalam
klan bapaknya, dengan demikian tanggung pemeliharaan dan pewarisan anak-anak hanya dari garis
bapaknya.
Variasi bentuk perkawinan jujur, di antaranya.94
1) Perkawinan ganti suami
Perkawinan ganti suami (levirate, Belanda; mangabia di Batak semalang nyikok di
Sumatera Selatan) disebabkan dalam perkawinan jujur si suami meninggal. Untuk meneruskan
hubungan kekeluargaan, adik atau kakak si suami menggantikan posisi suami yang meninggal
dengan tidak ada kewajiban untuk membayar uang jujur.
2) Perkawinan ganti istri
Perkawinan ganti istri (nuket di Lampung, karang wulu di Jawa, dan turun atau naik
ranjang di Banten) adalah kebalikan dari bentuk ganti suami, yaitu bahwa si istrilah yang
meninggal sehingga adik atau kakak perempuan si istri yang menggantikan posisinya.

93
HR Otje Salman Soemadiningrat, op. cit., 173.
94
I Gede AB Wiranata , op. cit., h.279

53
3) Perkawinan mengabdi
Terjadinya variasi ini (iring beli di Lampung, nunggonin di Bali) adalah disebabkan
pada saat peminangan pihak pria belum memenuhi tanggung jawab uang jujur di satu pihak,
sedangkan di pihak lain tidak ada hasrat untuk mengikuti bentuk semanda. Lama waktu bertempat
tinggal pada pihak kerabat wanita adalah sesuai dengan kesepakatan yang menyatakan waktu yang
pantas pengabdiannya setara dengan nilai uang jujur yang tidak terbayarkan.
4) Perkawinan ambil beri
Bentuk perkawinan ini juga disebut ngejuk ngakuk di Lampung, yaitu pada suatu masa
laki-laki dari keluarga A mengambil calon istri pada keluarga B. Pada masa lain keluarga B
mengambil calon istri pada keluarga A. Hal ini dianggap impas dan dari perjanjian tidak usah
diadakan pembayaran uang jujur. Selain itu, tentu juga harus mempertimbangkan nilai-nilai
kepatutan dan kebolehan pada hukum agama yamg dianut.
5) Perkawinan ambil anak
Di Lampung bentuk ini dikenal dengan ngakuk ragah,sedangkan di Bali disebut
nyentane adalah perkawinan yang terjadi karena hanya mempunyai anak perempuan (tunggal)
maka keluarga wanita tersebut mengambil pria (dari anggota kerabat) untuk menjadi suaminya dan
mengikuti kerabat istrinya selama pelaksanaan ikatan perkawinan dan menjadi penerus keturunan
pihak istri. Suami berkedudukan sebagai wanita di dalam kerabat istrinya (jeng mirul di
Lampung).
b. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Matrilineal
Pada kekerabatan Patrilineal, masyarakat menarik garis keturunan/kekeluargaan dari pihak
perempuan (ibu). Bentuk perkawinannya disebut dengan semendo dimana pihak mempelai
perempuan menjemput mempelai laki-laki. Bentuk semendo ini sering terjadi di Minangkabau dan
Rejang-Lebong Bengkulu.
Didaerah yang masih kental menganut perkawinan semendo seperti misalnya Minangkabau,
berlaku tiga (3) bentuk perkawinan, yaitu :95 1) Kawin semendo bertandang; 2) Kawin menetap; dan
3) Kawin Bebas.
1) Kawin semendo bertandang
Ciri-ciri kawin semendo bertandang : a) Suami isteri tidak tinggal bersama, masing-masing
tinggal dalam lingkungan klan-nya; b) Kedudukan suami hanya sebagai tamu ke keluarga
isterinya; c) Tidak mempunyai hak dan kewajiban terhadap isteri dan anak-anaknya serta segala hal
dalam rumah tangga; d) Harta pencaharian suami hanya untuk dirinya, ibunya dan saudara-saudara

95
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat (Jakarta : Pradnya Paramita), h. 15-16.

54
perempuan berserta anak-anaknya (harta suarang); dan f) Pemeliharaan isteri dan anak-anaknya
menjadi tanggung keluarga isteri, g) Tidak mengenal harta bersama, harta dikuasai isteri.
2) Kawin semendo menetap
Perkembangan selanjutnya adalah kawin menetap, ciri-cirinya : a) Suami isteri sudah tinggal
bersama dalam satu rumah meninggalkan rumah (gadang) klannya masing-masing; b) Isteri dan
anak-anak sudah berhak terhadap harta pencaharian suami secara mandiri, c) Harta benda hasil
pencaharian suami secara mandiri sudah diwariskan pada anak-anak kandung dan menjadi harta
peninggalan generasi pertama (harta pusaka rendah).
3) Kawin semendo bebas
Pada bentuk perkawinan semendo bebas, setiap orang sudah dapat memilih pasangannya
tanpa harus terikat dengan tradisi adat yang mengikat bagi kelompok mereka.Bentuk perkawinan
yang terakhir ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang secara fisik jauh dari lingkungan
keluarga asalnya.
Variasi dari bentuk perkawinan semanda:96
1) Semendo raja-raja
Kedudukan kedua belah pihak akan ditentukan sendiri oleh pihak suami istri yang
menikah.Anak-anak yang akan lahir dibebaskan untuk memilih siapa yang menjadi ayahnya dan
siapa penerus pihak ibunya.
2) Semendo lepas
Semanda ini dapat dikatakan bentuk semanda yang asli, dimana suami melepaskan diri dari
kedudukan dalam keluarganya, dan masuk serta menjadi anggota kerabat pihak istrinya.
3) Semendo nunggu
Bersifat sementara, menunggu waktu tertentu, misalnya menunggu adik si istri yang masih
kecil-kecil, menunggu sampai tugas dan tanggung jawabnya terhadap keluarga mertua selesai
diurusnya, dan lain-lain.
4) Semendo anak dagang
Bentuk perkawinan semanda yang tidak kuat ikatannya. Datangnya dapat kapan saja dan
suami dapat pergi kapan saja tanpa membawa apa-apa. Bentuk ini sering juga disebut semanda
nabuh bedug yang penyebabnya bisa karena hanya untuk bayar hutang, untuk membayar
pengabdian, dan lain-lain.
5) Semendo ngangkit
Berlaku pada masyarakat adat yang menganut aturan penguasaan atas harta kekayaan pada
tangan anak perempuan. Misalnya karena suatu keluarga yang hanya mempunyai anak laki-laki

96
I Gede AB Wiranata , op. cit., h.280-282.

55
saja, padahal penguasaan harta ada pada tangan perempuan. Maka anak laki-laki salah satu
daripadanya harus bertempat tinggal di rumah dan ia dicarikan istri secara semenda.
c. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Parental
Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental, garis keturunan ditarik dari
kedua belah pihak yaitu laki-laki (bapak) dan perempuan (ibu).Pada umumnya sistem kekerabatan
inilah yang dominan di anut masyarakat di Indonesia seperti di Sulawesi Selatan, Jawa. Madura
dsb. Bentuk perkawinannya yang dilaksanakannya adalah kawin bebas. Artinya setiap orang bebas
memilih pasangan dari dalam atau luar lingkungan keluarga. Demikian pula hak dan kewajiban
antara suami dan isteri seimbang dalam rumah tangga dan dalam pergaulan sosial.

C. Tujuan, Asas-asas dan Syarat-syarat Perkawinan


1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan terdapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, kata-kata ikatan lahir-batin dimaksudkan bahwa


perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, tapi harus
kedua-duanya, sebagaimana yang dikemukakan K. Wantjik Saleh bahwa, 97 suatu ikatan lahir
adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang
pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami-istri, dengan kata lain dapat disebut hubungan
formil. Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain
atau masyarakat. Sebaliknya, suatu ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak formil,
suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa
adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh.
Dengan demikian idealnya sebelum pasangan laki-laki perempuan melansungkan
perkawinan harus harus diawali dengan sikap kesungguhan berumah tangga, berbekal kematangan
psikis dan fisik.
Selanjutnya K. Wantjik Saleh98, mengemukakan bahwa Perkawinan yang bertujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu harusnya
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja, sebab itu pemutusan perkawinan
selain karena kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang

97
K. Wantjik Saleh, op. cit., h.14
98
Ibid., h. 15

56
berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat ditempuh
lagi.
Ungkapan terakhir, menunjukkan sebelum terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian
antara suami isteri, terlebih dahulu harus didamaikan. Ketentuan Upaya damai dalam perkawinan
tentang perceraian tertuang dalam al: Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 56 ayat (2)dan
65 dan 82-83 UU No. 7 Tahun 1989, dan Pasal 115 KHI (Inpres No.1 Tahun 1991). Dalam
ketentuan-ketentuan tersebut pada intinya menegaskan dalam perkara perceraian, upaya perdamaian
harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh pihak-pihak yang berwenang, supaya tujuan luhur
dapat dipertahankan. Konsep tentang Upaya perdamaian perceraian sangat sesuai dengan ajaran
Islam sebagaimana yang terdapat dalam QS An Nisa (4) ayat 128:








Terjemahannya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan
jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.99
dan QS Al Hujarat (49) ayat 9.









Terjemahannya:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka

99
Departemen Agama RI, op. cit., h.99.

57
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.100

Selanjutnya dalam rumusan terakhir Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 juga ditegaskan bahwa
pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Menunjukkan bahwa perkawinan tersebut bernilai ibadah (perintah Tuhan), artinya menurut
Otje Salman Soemadiningrat101 Perkawinan dan Tuhan memiliki korelasi yang sangat tajam. Bukan
semata-mata sebagai ikatan kontraktual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Perkawinan implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk
rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan. Konsep hukum UUP sama pula dengan konsep
dalam hukum Islam dan hukum adat.
2.Asas-asas Perkawinan
Di bawah ini akan diuraikan tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan yang terdapat
dalam penjelasan umum UU No. Tahun 1974 (UUP):
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
d. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bila mana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkautan mengijinkan, seorang suami
dapat beristri lebih dari seorang.
f. Undang-undang ini (UUD No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975)
menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan supaya baik
tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
g. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera,
maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
h. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulaan masyarakat, sehingga dengan demikian
segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

100
Ibid., h.516.
101
HR Otje Salman Soemadiningrat, op. cit., h.173.

58
Sesuai dengan asas-asas perkawinan tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa
keberadaan UUP nasional ini mengangkat harkat dan peranan isteri sebagai mitra suami,
diantaranya ialah :
a. Dalam kewajiban luhur serta keseimbangan, istri maupun suami dan hak dan kewajibannya
adalah seimbang berarti sama memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga.Ketentuan ini mengandung arti bahwa didalam kehidupan keluarga salah satu pihak
tidak boleh merupakan beban terhadap pihak yang lain. Maksud dari kedudukan yang seimbang
ini adalah seimbang dalam arti menurut sifat dan hakekatnya. Bahwa suami sebagai kepala
keluarga yang harus bertaggung jawab kepada baik buruknya keluarga, sedangkan istri sebagai
ibu tumah tangga mengatur dan menata rumah tangga sebaik-baiknya.102
b. Keabsahan perkawinan bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan di samping itu harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-
undangan yang berlaku.Ini menunjukkan perkawinan tidak akan diakui oleh negara bila
pelaksanaannya tidak seseuai ajaran agma masing-masing pihak serta tidak terdaftar pada
Kantor Pegawai Pencatat Nikah (KUA bagi orang Islam sedangkan bagi non Islam di Kantor
Catatan Sipil)
c. Mengenai ketentuan batas umur, maka sekarang wanita tidak dapat melangsungkan perkawinan
sebelum wanita itu genap berumur 16 tahun. Ini adalah suatu keuntungan bagi diri wanita
karena ada jaminan tidak akan terjadi perkawinan anak-anak.Ketentuan ini dimaksudkan pula
untuk menjaga kesehatan bagi wanita tersebut.103
d. Undang-undang perkawinan nasional sekarang menganut asas monogami artinya seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Hanya dalam keadaan tertentu saja maka suami mendapat kesempatan untuk mengambil istri
lagi dengan syarat-syarat tertentu. Dengan adanya pasal yang menyebutkan tersebut, bahwa
undang-undang bermaksud untuk melindungi wanita dari poligami sewenang-wenang yang
dilakukan laki-laki.

3. Syarat-syarat Perkawinan
Setelah berlakunya UU No. Tahun 1974 (UUP) maka ketentuan yang terdapat KUHPerdata
demikian syarat-syarat perkawinan yang di bahas di bawah ini yang terdapat dalam UU No.1
Tahun1974 (UUP).

102
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta :Bina
Aksara,1987),h.14.
103
Ibid. .

59
Dalam 7 Pasal UU No. Tahun 1974 (UUP) ditentukan dua (2) syarat-syarat untuk
melansungkan perkawinan, yaitu : Syarat intern dan syarat extern.
a. Syarat intern
Yang dimaksud dengan syarat intern yaitu syarat-syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan, meliputi :
1). Harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2).Yang masih dibawah umur harus ada izin kedua orang tuanya
3).Laki-laki berumur 19 tahun, wanita 16 tahun
4). Tidak dilarang UU untuk kawin
Larangan untuk kawin dituangkan beberapa pasal di bawah ini sebagai berikut :
a) Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan ditetapkan sebagai berikut:
Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang:
(1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
(2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
(3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan bapak/ibu tiri;
(4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan;
(5) berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
b) Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin, yang di atur di bawah ini :
(1) Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974, menetapkan Seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, dengan pengecualian yang tersebut pada Pasal
3 ayat (2) dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 (peluang poligami dengan persyaratan
ketat).
(2) Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan : Apabila suami dan istri yang telah
cerai kawin lagi 1 (satu) dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya , maka
diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(3) Wanita yang pernah kawin berlaku masa iddah (masa tunggu) tertentu , yang dituangkan
dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1979, apabila :(1). Perkawinan putus
karena kematian = 130 hari, (2). Perkawinan putus karena cerai : (a). Bagi Wanita
masih haid= 3 x suci, (b). Bagi Wanita sudah tidak haid = 90 hari.
b. Syarat Extern

60
Yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan,
meliputi :
1) Mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk;
2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, yang
memuat : a) nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan orang tua serta nama mantan suami/isteri( bila ada); dan b) hari, tanggal,
jam dan tempat perkawinan dilangsungkan.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat intern dan extern di atas, perkawinan telah dapat
dilaksanakan. Walaupun persyaratan di atas telah terpenuhi, momentum terpenting sahnya suatu
perkawinan menurut hukum apabila:
1) Telah dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing,
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974;
2) Dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974.
Tujuan diadakannya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang ketentuan
agama bagi syahnya suatu perkawinan untuk menghindari konflik hukum antara hukum adat,
hukum agama dan hukum antar golongan. Sedangkan tujuan pencatatan perkawinan (Pasal 2 ayat
(2) UU No.1 Tahun 1974)adalah :104 a) Menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas, baik yang
bersangkutan maupun pihak lainnya; b) Sebagai alat bukti bagi anak-anaknya kelak dikemudian
hari apabila timbul sengketa, baik diantara anak kandung maupun saudara tiri; dan sebagai dasar
pembayaran tunjangan isteri atau suami bagi PNS/BUMN.

D. Perjanjian Kawin
Ketentuan tentang Perjanjian perkawinan terdapat Pasal 29 UU No.1 1974 dan Pasal 139-
154 KUHPerdata. Masih berlakunya pasal-pasal dalam KUHPerdata tersebut karena Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1979 sebagai Peraturan Pelaksanaan dari UU No.1 1974 tidak mengatur
mengenai perjanjian kawin-untuk itu melalui Petunjuk Mahkamah Agung RI No.: MA/0807/75
membolehkan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata.
Adapun pengertian Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri
sebelum atau pada saat perkawinan dilansungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
terhadap harta benda mereka.

104
Salim HS, op. cit., h.64.

61
Perjanjian kawin dapat dilakukan apabila pengaturan harta benda tidak sesuai dengan
keinginan calon suami isteri suami isteri sebagaimana yang diatur dalam dalam Pasal 35 UU
No.Tahun 1974, yaitu:
a. Harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi bercampur
b. Harta bawaan, hadiah atau warisan menjadi harta masing-masing selama tidak diperjanjikan
sebelumnya.
Dengan demikian apabila calon suami isteri ingin menyimpang dari ketentuan tersebut di
atas, maka perjanjian perkawinan dapat dilakukan sesuai ketentuan dalam Pasal 29 UU No.1 1974
sebagai berikut:
a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilansungkan, kedua belah pihak atas persetujuan
bersama, dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama
dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilansungkan.
d. Selama perkawinan berlansung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan ini tidak merugikan
pihak ketiga.
Berdasarkan ketentuan di atas, perjanjian bisa dibuat asalkan tidak melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan serta harus dibuat tertulis (akta notaris) dengan tujuan:105
1) Keabsahan perjanjian kawin tentang harta benda;
2) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat dari perkawinan itu
seumur hidup;
3) Demi kepastian hukum;
4) Sebagai alat bukti yang sah;
5) Mencegah adanya penyelundupan hukum.
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan : 106 1) Bilamana terdapat
sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain; 2) Kedua
belah pihak masing-masing membawa masukan (penghasilaan) yang cukup besar; 3) Masing-
masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata salah satu jatuh bangkrut (pailit),

105
Ibid., h.72-73
106
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.129.

62
yang lain tidak tersangkut; 4) Masing-masing bertanggungjawab atas utang-utang yang mereka
buat sebelum kawin.107

E. Batalnya Perkawinan
Hal-hal yang terkait dengan pembatalan perkawinan terdapat dalam Pasal 22-28 UU No.1
1974
Ketentuan tentang dapat batalnya perkawinan terdapat dalam pasal 22 UU No.1 1974 bahwa
suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Dalam bagian penjelasan pasal 22 UU No.1 1974 pengertian dapat
pada pasal tersebut diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan
hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, menurut pasal 23 UU
No.1 1974 ialah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2. Suami atau istri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Apabila seseorang masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak dan
dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang-undang ini (pasal 24). Permohonan
pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan
dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (pasal 25).
Dalam ketentuan pasal 26 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 bahwa suatu perkawinan yang
dilangsungkan di muka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang
tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi, dapat dimintakan
pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa
dan suami atau istri.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal 26,
gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.

107
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia (Surabaya :
Airlangga University Press, 2002), h.58.

63
Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami atau
istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan
dalam jangka waktu enam bulan setelah itu masih tetap sebagai suami istri dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, haknya gugur.
Saat batalnya perkawinan, menurut Pasal 28 ayat 1 UU No.1 1974 jo Pasal 37 PP No.9
Tahun 1975, ialah dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap (Pasal 28 ayat 2 UU No.1 1974):
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu;
c. Orang yang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

F. Putusnya Perkawinan
Dalam UU No.1 1974 dalam Pasal 38 , putusnya perkawinan karena tiga (3) hal, yaitu :
1. Kematian
2. Perceraian
3. Keputusan pengadilan
Syarat-syarat perceraian menurut Penjelasan pasal 39 ayat( 2) UU No.1 Tahun 1974 junto
Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 menambah 2 butir dari syarat-syarat menurut KUHPerdata,
lengkapnya sbb :
Di dalam penjelasan Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tersebut disebutkan bahwa alasan-
alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2(dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.

64
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Tuntutan perceraian di pengadilan hanya dapat diajukan oleh suami atau isteri yang tidak
bersalah/terkena dengan alasan tersebut dan sebelum pengadilan memberikan putusan terlebih
dahulu harus berupaya melakukan mediasi (perdamaian-dading) sebagaimana yang ditegaskan
dalam pasal 39 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 junto Pasal 31 PP No.9 Tahun 1975 junto Pasal 115
KHI (Inpres No.1 Tahun 1991 junto Pasal 56 ayat (2), 65, dan 82 UU No. 7 Tahun 1989.
Bunyi dari salah satu pasal tentang upaya perdamaian di atas , yaitu Pasal 39 UU No.1
Tahun 1974, sebagai berikut :
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak
akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Mengenai putusnya perkawinan dan akibat yang ditinbulkannya, UU No.1 Tahun 1974
menentukan dalam :
a. Pasal 37, Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya Masing-masing.
b. Pasal 41, Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:1) Baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

65
BAB V
HUKUM KELUARGA

A. Konsep Dasar, Istilah dan Pengertian


Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu : familierecht. Hukum
keluarga diartikan oleh Ali Affandi sebagai berikut : 108
Keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan yang bersangkutan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir.
Dua (2) hal penting yang terdapat dalam pengertian tersebut di atas, yaitu mengatur
hubungan kekeluargaan yang timbul karena : (1) hubungan darah (nazab); dan (2) perkawinan.
Hubungan kekeluargaan sedarah yaitu terjadinya suatu pertalian darah karena mempunyai satu
ketunggalan leluhur yang sama. Sedangkan Hubungan kekeluargaan karena perkawinan yaitu
terjadinya pertalian keluarga karena perkawinan salah seorang anggota keluarga dengan orang
lainnya.
Salim HS, mengartikan hukum keluarga sebagai :109
Keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur
hubungan hukum mengenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan,
kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Dalam pengertian Salim HS tersebut, memuat dua (2) hal penting yaitu (1) kaidah hukum;
dan (2) substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi hukum keluarga tertulis dan
hukum keluarga tidak tertulis. Kaidah hukum keluarga tertulis bersumber dari undang-undang,
yurisprudensi dan traktat. Sedangkan kaidah hukum keluarga tidak tertulis bersumber dari
kebiasaan dalam masyarakat setempat.
Adapun pengertian menurut Titik Triwulan Tutik,110 pada dasarnya :
Hukum keluarga merupakan keseluruhan kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga yang meliputi :
(1)Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan; (2) Peraturan
perceraian; (3) Peraturan kekuasaan orang tua; (4) Peraturan kedudukan anak; (5) Peraturan
pengampuan (curatele); dan (6) Peraturan perwalian (voogdij).

108
Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga,Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata-BW (Jakarta : Bina Aksara, 1986 ), h.93.

109
Salim HS, op. cit.,h. 56.
110
Titik Triwulan Tutik, op. cit., 76.

66
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
keluarga merupakan sekumpulan kaidah yang tertuang dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis
yang mengatur hubungan hukum dan akibatnya yang timbul karena hubungan darah dan
perkawinan.

A. Keturunan (Afstamming)
1. Golongan Anak
Dalam KUHPerdata dikenal 4 anak macam golongan anak yaitu :
a. anak sah yaitu anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya.
b. anak zinah yaitu anak yang lahir dari hubungan dimana salah satu/keduanya sudah
terikat perkawinan dengan orang lainnya.
c. anak sumbang (incess) yaitu anak yang lahir dari seorang ibu dan seorang ayah yang
pernikahannya dilarang oleh UU.
d. anak luar kawin yaitu anak yang lahir dari seorang ibu dan ayah tanpa pernikahan
dimana keduanya belum terikat perkawinan dengan orang lainnya.
2. UU No.1 Tahun 1974
DalamUU No.1 Tahun 1974 (selanjutnya disebut UUP) hanya menyebut dua (2) golongan
anak, yaitu :
a. Anak Sah (Pasal 42 UUP), adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.
b. Anak di luar Perkawinan (Pasal 43 UUP), tidak memberikan pengertian hanya
menegaskan bahwa anak di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Penentuan bilamana seorang anak masuk kategori anak sah sah atau luar kawin berbeda-
beda. UUP maupun PP No.9 Tahun 1975-nya tidak ada satu pasalpun yang merincinya.
KUHPerdata menentukan bahwa termasuk anak luar kawin apabila:
1). Anak lahir sebelum lewat 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya (pasal 251
KUHPerdata ), atau
2). Anak lahir lewat 300 hari hapusnya perkawinan orang tuanya ( pasal 254 KUHPerdata)
Perincian juga terdapat dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Juynboll bahwa
dalam Hukum Islam anak dapat dianggap sah apabila lahir sekurang-kurangnya enam (6) bulan

67
setelah pernikahan orang tuanya atau dalam tenggang iddah yaitu empat (4) bulan sepuluh (10) hari
setelah perkawinan putus.111Sementara dalam hukum adat tergantung dari adat setempat.
Seorang suami dapat menyangkali sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya apabila dapat
membuktikan bahwa isterinya berzinah dan anak tersebut akibat dari perzinahan tersebut (Pasal 44
UUP) dan pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan, sementara dalam KUHPerdata selain alasan perzinahan isteri untuk menyangkali
seorang anak, juga apabila anak tersebut lahir dalam 180 hari setelah pernikahan antara suami-isteri,
akan tetapi :
a). seorang suami tidak diperbolehkan untuk menyangkali seorang anak apabila telah
mengetahui sebelumnya bahwa calon isterinya sudah hamil lalu dinikahinya,
b). Suami hadir pada saat dibuatnya surat kelahiran sang anak dan ditanda-tanganinya.
Tenggang waktu penyangkalan anak juga diatur dalam KUHPerdata, yaitu :
1). 1 bulan jika suami berada ditempat kelahiran anak.
2). 2 bulan setelah suami kembali dari tempat lain ( bila suami tidak berada di tempat harus
diketahui bahwa tidak dibolehkan untuk mengakui anak yang lahir karena zinah dan anak yang lahir
dari kedua orang tuanya yang yang dilarang kawin ( anak sumbang ).

B. Kekuasaan Orang Tua


1. Kekuasaan orang tua berlangsung selama :
a. Anak itu masih belum dewasa (belum mencapai 18 Tahun) dan belum menikah (Pasal 47
UUP).
b. orang tua tidak dicabut kekuasaannya (Pasal 47 UUP).
2. Kekuasaan orang tua berakhir apabila :
a. setelah anak itu dewasa atau sudah menikah sebelum masuk usia dewasa.
b. orang tua dicabut kekuasaannya (Pasal 48 UUP).
3. kekuasaan orang tua dicabut (Pasal 49 ayat 1 UUP) apabila :
a. Orang tua sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. Orang tua berkelakuan buruk sekali
Meskipun orang tua telah dicabut kekuasaannya,tetapi masih berkewajiban memberi biaya
pemeliharaan kepada anaknya (Pasal 49 ayat 2 UUP).

111
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,op. cit., h.122.

68
3. Kekuasaan orang tua meliputi :
a. Diri anak yaitu untuk mewakili anaknya bertindak menurut hukum di dalam maupun di luar
pengadilan ( pasal 47 ayat(2) KUHPerdata.
b. Meliputi harta benda anaknya yaitu harus mengurus harta anaknya.
4. Pembatasan kekuasaan orang tua :
a. Orang tua di batasi kekuasaannya untuk memindahkan hak, dan
b. Menggadaikan barang-barang tetap anak, kecuali kepentingan anak tersebut menghendaki
(pasal 48 UUP)

C. Perwalian
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak dibawah
kekuasaan orang tuanya serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-
undang. Ketentuan tentang perwalian terdapat dalam Pasal 331-344 KUHPerdata dan Pasal 50-54
UUP
1. Anak dibawah perwalian adalah :
a. anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
b. anak sah yang orang tuanya telah meninggal.
c. anak yang lahir diluar nikah
2. Perwalian anak terbagi dua :
a. perwalian karena UU yaitu karena salah satu orang tuanya meninggal dunia.
perwalian karena testamen yaitu salah satu orang tuanya membuat wasiat untuk mengangkat
wali (wasiat perwalian), bisa dengan surat wasiat ataupun dengan lisan dihadapan dua
orang saksi.
b. perwalian karena testamen yaitu salah satu orang tuanya membuat wasiat untuk mengangkat
wali (wasiat perwalian), bisa dengan surat wasiat ataupun dengan lisan dihadapan dua
orang saksi.
3. hak untuk menolak menjadi wali :
a. untuk kepentingan negara ia harus berada di luar negeri
b. dia anggota tentara dalam dinas aktif
c. ia sudah berumur 60 tahun
d. ia sudah menjadi wali untuk anak orang lain
e. ia sudah mempunyai 5 orang anak.
4. Orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali :
a. orang sakit ingatan
b. orang belum dewasa

69
c. orang dibawah curatele
d. orang tua yang telah dicabut kekuasaanyasebagai orang tua
e. kepala dan anggota-anggota weskamer (balai harta peninggalan).
5. Perwalian itu mengenai :
a. diri anak
b. harta benda anak
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga terdekat si anak atau orang lain yang
sudah dewasa, jujur, berfikiran sehat dan berkelakuan baik.
6. Wali dapat dicabut kekuasanya dengan keputusan pengadilan pasal 52 UUP, apabila :
a. sangat melalaikan kewajibannya
b. berkelakuan buruk
7. Kewajiban seorang wali :
1. mengurus harta benda milik anak dengan sebaik mungkin
2. melaporkan dan mempertanggung jawabkan pengurusannya setelah anak itu dewasa
8. Larangan seorang wali :
a. meminjam untuk kepentingan anak itu
b. menjual dan menggadaikan harta benda dan tak bergerak, surat-surat sero dan hak-hak
tagihan milik anak tampa izin hakim.

D. Pendewasaan (Handlichting)
Pendewasaan artinya ialah suatu pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia
dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan orang yang sudah
dewasa. Ketentuan tentang pendewasaan dapat dilhat dalam Pasal 419-432 KUHPerdata).
Anak yang sudah berumur 20 tahun dapat bermohon kepada Presiden untuk dijadikan sebagai
anak yang sudah dewasa . Presiden dapat memutuskan apabila setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung meminta pertimbangan dari kedua orang tuanya/wali
dan atau wali pengawas. Anak tersebut (yang dinyatakan dewasa ) tetap harus mendapat izin kedua
orang tuanya apabila ia hendak menikah( pasal 35 dan 37 KUHPerdata).
E. Pengampuan (Curatel)
Pengampuan artinya ialah setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,
sakit otak atau mata gelap ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap dalam
mempergunakan pikirannya. Dengan demikian orang yang mempunyai kondisi seperti itu untuk
mengurus urusannya dapat dimintakan pengawas(pengampu/curator). Ketentuan hukum
pengampuan terdapat dalam 433-462 KUHPerdata.
Alasan orang yang harus dibawah pengampuan:
a. pemboros
b. lemah pikiran

70
c. kekurangan daya berpikir : sakit ingatan, dungu disertai dengan mengamuk (433-434
KUHPerdata).
Dengan diletakkannya seseorang dalam lembaga pengampuan, maka segala tindakan orang-
orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus dilaksanakan oleh pengampuannya, yang
demi hukum bertindak untuk dan atas nama orang yang diampu oleh pengampu tersebut.

G. Orang yang hilang (Afwezigheid)


Orang yang hilang ialah orang yang meninggalkan tempat selama 5 tahun tanpa kabar sama
sekali. Keadaan tidak ada di tempat tidak menghentikan wewenang berhaknya seseorang, dengan
demikian statusnya tetap sebagai persoon yang mempunyai kewenangan dalam hukum dalam
perbuatan hukum tertentu.Akan tetapi keadaan seperti itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal
ini merupakan salah satu penyebab pembuat undang-undang mengatur prihal tidak ada di tempat.
Orang yang hilang kaitannya dengan harta bendanya, terbagi tiga (3) yaitu :112
a. Orang yang hilang tanpa meninggalkan surat kuasa kepada orang lain untuk mengurus
kepentingan-kepentingannya, maka 5 tahun lewat harus dimintakan kepada hakim untuk
memutuskan ia telah meninggal dunia.
b. Apabila ia meninggalkan tempat dan menunjuk kuasa untuk mengurus kepentingan-
kepentingannya, maka nanti setelah 10 tahun barulah ia dapat dinyatakan telah meninggal
dunia.
c. Apabila yang tidak ada di tempat merupakan Anak Buah Kapal (ABK) atau penumpang
kapal yang dinyatakan hilang atau mengalami kecelakaan, 1 tahun sudah dapat dimintakan
persangkaan mati.
Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, maka ada dua akibat hukum yang dapat
terjadi yakni :
1). hartanya dapat dibagi-bagi oleh ahli warisnya (tetapi tidak boleh dijual, kecuali setelah
lewat 30 tahun ia dinyatakan meninggal dunia oleh hakim, maka hartanya dapat dibagi-bagi
secara tetap oleh para ahli warisnya.
2). orang yang ditinggalkan (suami atau isteri ) dapat kawin lagi dengan izin hakim.

112
R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, op. cit., h.219.

71
BAB VI
HUKUM BENDA

A. Konsep Dasar Hukum Benda


1. Pengertian
Hukum Benda (zakenrecht) adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda dan hak kebendaan.
Pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata adalah segala sesuatu yang dapat dihaki
atau menjadi objek hak milik. Dengan demikian menurut hukum benda adalah sesuatu yang dapat
dimiliki oleh subyek hukum. Yang dapat dimiliki oleh orang disebut juga dengan objek hukum,
yaitu segala sesuatu yang bermamfaat bagi subyek hukum serta yang dapat menjadi objek dalam
suatu perhubungan hukum, yang dapat menjadi objek hukum adalah benda (zaak) yaitu segala
barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki subyek hukum. Yang menjadi subyek hukum
adalah orang, baik dalam bentuk sebagai manusia pribadi maupun dalam bentuk badan hukum.
2. Penggolongan Benda
Benda dapat dibedakan atas empat (4) golongan, yaitu sbb :
a. Benda bergerak - benda tak bergerak (Pasal 503 KUHPerdata).
b. Benda yang dapat diganti benda yang tidak diganti (istilah dihabiskan dalam pasal
505 KUHPerdata kurang tepat).
c. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi.
d. Benda yang boleh diperdagangkan dan benda diluar perdagangan.

a. Benda Bergerak (Tidak Tetap) Benda tak Bergerak ( Benda Tetap)


Yang dimaksud dengan benda bergerak adalah benda-benda yang secara fisik mudah
dipindah-pindahkan.
Benda bergerak dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :(a). Karena sifatnya, suatu benda
yang tidak berhubungan tanah seperti sepeda, meja, dan sebagainya), (b) Karena penentuan
undang-udang (segala hak kebendaan dan hak tagihan yang mengenai benda bergerak).
Sedangkan yang dimaksud dengan Benda tak Bergerak yaitu suatu benda secara fisik tidak
mudah atau tidak bisa dipindahkan.
Ada tiga jenis benda tak bergerak (a). Karena sifatnya , yaitu tanah serta segala sesuatuyang
erat melekat pada tanah seperti bangunan, tanaman, bahan tambang dalam tanah dsb), (b).Karena
tujuan pemakaiannya, suatu benda yang dipasang di atas atau dalam tanah untuk jangka waktu yang
lama misalnya : mesin dalam pabrik, (c). Karena penentuan undang-undang, yaitu termasuk
kategori benda tidak bergerak karena ditetapkan oleh undang-undang semata, walau dalam

72
kenyataannya bisa bergerak seperti: Kapal yang bobotnya 20 ton/lebih (Pasal 314 KUHD) dan
pesawat terbang serta segala hak kebendaan dan hak tagihan yang mengenai benda tak bergerak.
Pada umumnya negara-negara di Eropa Barat kontinen mengenal pembedaan ini, walaupun
Belanda telah mengadakan pembedaan lain untuk menggantikan pembedaan bergerak tak
bergerak, yaitu pembedaan : benda atas nama dan benda yang tidak atas nama. Benda atas nama
ialah tanah dan beberapa benda lain, misalnya kapal yang terdaftar,sementara Hukum Adat tidak
mengenal pembedaan bergerak - tak bergerak, tetapi pembedaan : tanah bukan tanah.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa :
Hukum Nasional kelak sebaiknya menuruti sistim Hukum Adat ini. Meskipun demikian,
kita perlukan pengertian benda bergerak berhubung dengan azas yang tercantum dalam pasal
1977 KUHPerdata azas ini kita perlukan dalam Hukum Nasional.113

Arti pentingnya mengadakan pembedaan benda bergerak dan benda tak bergerak berkaitan
dengan cara penyerahan (lavering) hak milik yang berlainan atau berbeda ( asas pasal 1977
KUHPerdata hanya berlaku bagi benda bergerak. Penyerahan hak milik atas benda bergerak bisa
hanya dengan penyerahan secara nyata ( tidak harus balik nama)-Pasal 612 KUHPerdata, sedangkan
benda tidak bergerak mutlak penyerahannya dilakukan dengan balik nama pada daftar umum (Pasal
616 KUHPerdata), serta perjanjian pengalihan hak harus dengan dengan akte otentik yang dibuat
oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu. Benda bergerak bila objeknya tanah, aktenya dibuat Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam Peraturan Menteri Agraria No.10 Tahun 1960 Pasal 3 dan 5
yang ditunjuk sebagai PPAT yaitu camat atau notaris, sebagai amanat dari Pasal 19 UUPA
sedangkan kapal oleh Syahbandar.
b. Dapat Diganti Tak Dapat Diganti
Benda yang dapat diganti ialah misalnya : uang, beras. Benda yang tak dapat diganti: rumah,
meja. Akan tetapi apakah sesuatu dapat atau tak dapat diganti bukan terutama ditentukan oleh sifat
benda, melainkan terutama ditentukan oleh maksud kedua pihak dalam perjanjian. Kalau mereka
maksudkan mengadakan perjanjian pinjam pakai, maka benda yang dipinjamkan tak boleh diganti.
Kalau mereka maksudkan mengadakan perjanjian pinjam mengganti, maka benda yang
dipinjamkan boleh diganti, misalnya : perjanjian pinjaman uang pada umumnya termasuk perjanjian
pinjam mengganti, oleh karena itu tidak perlu lembaran-lembaran yang kertas yang sama
dikembalikan. Tetapi kalau uang kertas lama (misalnya uang O.R.I dipinjamkan untuk dipamerkan,
maka disini terjadi perjanjian pinjam pakai.
Demikian juga dengan meminjamkan seekor kerbau bisa dimaksudkan sebagai perjanjian
pinjam pakai tetapi bisa juga dimaksudkan sebagai perjanjian pinjam mengganti,

113
Wirjono Prodjodikoro, Sekitar Kodifikasi Hukum Perjanjian, dalam Majalah Hukum dan Masyarakat
(Nopember 158), h.16.

73
Jadi pentingnya pembedaan ini ialah dalam hubungannya dengan kedua jenis perjanjian
tersebut.
c. Dapat Dibagi Tidak Dapat Dibagi
Secara fisik semua benda dapat dibagi, tetapi menurut hukum yang dimaksud dengan
benda yang tak dapat dibagi ialah benda yang jika secara fisik bila dibagi kehilangan
kegunaannya ( seperti buku) atau sangat berkurang nilainya (berlainan)
Perbedaan ini penting dalam hal sesuatu benda yang dimiliki bersama oleh dua orang
hendak dibagi, atau dengan kata lain mereka berniat mengakhiri milik bersama itu.Kalau benda itu
merupakan benda yang tidak dapat dibagi, maka atau benda itu dijual dan masing-masing
mendapat separuh dari harga atau benda itu menjadi milik salah satu diantara mereka dengan
kewajiban memberikan kompensasi berupa uang kepada pihak lain
d. Boleh Diperdagangkan-Diluar Perdagangan
Beberapa pasal dalam KUHPerdata menyebut tentang benda diluar perdagangan, (537,
1444, 1953), dan tentang benda yang boleh diperdagangkan (1332).
Benda yang diluar perdagangan menurut sistim KUHPerdata yang dimaksud ialah benda
yang mempunyai tujuan publik atau umum, seperti gedung departemen, museum, tanah lapang
umum, dan sebagainya. Benda-benda ini tidak dapat menjadi objek bezit (537), tidak dapat
menjadi obyek sesuatu perjanjian (1332).
Sebagai perbandingan pengertian benda diluar perdagangan (thins with drawn from civil
commerce) seperti yang terdapat dalam kita-kitab Hukum Sipil dari negara-negara bagian Uni
soviet, yaitu benda-benda seperti : senjata apai, bahan peledak, pakaian dan peralatan militer, dan
lain-lainnya yang tidak boleh menjadi obyek sesuatu perjanjian.

3. Kedudukan Benda dalam Hukum Perdata


Benda dalam perspektif hukum perdata memiliki fungsi yang penting dalam kehidupan
manusia karena ia menjadi sarana utama dari pencapaian kesejahtraan hidup setiap orang.
Beberapa prinsip hukum kebendaan yang menjadi pedoman dalam hukum kebendaan
adalah:114
a. Prinsip pembagian hak manusia ke dalam hak kebendaan dan hak perorangan. Hak
kebendaan adalah hak untuk menguasai benda secara langsung atas suatu benda dan
kekuasaan tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Hak tersebut dalam
hukum tersebut hak mutlak (hak absolut). Contoh hak mutlak adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Sedangkan hak perorangan terhadap

114
Ilhami Bisri,op. cit., h.55.

74
kebendaan adalah hak untuk menuntut suatu taguhan kepada seseorang tertentu. Hak ini
termasuk dalam hak relatif, karena hanya diakui oleh orang yang dituntut saja serta
timbul karena adanya kewajiban lainnya.
b. Prinsip hak milik fungsi sosial. Prinsip hukum ini memiliki makna bahwa orang tidak
dibenarkan untuk menggunakan hak miliknya secara merugikan orang lain. Dengan
demikian walaupun hak milik bersifat mutlak, namun tetap mempunyai batas tertentu
dalam perspektif tanggung jawab sosial, yakni tidak merugikan orang lain.
4. Asas-asas Hukum Benda
Asas-asas umum hukum benda meliputi : 115
a. Merupakan hukum pemaksa
Atas suatu benda itu hanya dapat diadakan hak kebendaan.Hak-hak kebendaan tersebut tidak
akan memberikan wewenang yang lain daripada apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang.
Dengan kata lain, bahwa kehendak para pihak itu tidak dapat mempengaruhi isi hak kebendaaan.
Hukum benda adalah merupakan dwingendrecht (hukum memaksa), artinya bahwa berlakunya
aturan-aturan itu tidak dapat disimpangi oleh para pihak,116 dengan perjanjian sebelumnya.
b. Dapat dipindahkan
Kecuali hak pakai dan hak mendiami semua hak kebendaan dapat dipindahtangankan. Yang
berhak itu tidak dapat menentukan bahwa; tidak dapat dipindah-tangankan . Berlainan dengan pada
tagihan, di sini para pihak dapat menentukan bahwa: tidak dapat dipindah-tangankan. Namun
berhak juga dapat menyanggupi akan tidak memperlainkan (vervreemdem) barangnya. Tetapi
berlakunya dibatasi oleh etische causaliteitsregel (Pasal 1337KUH Perdata): tidak berlaku jika
tujuannya bertentangan dengan kesusilaan. Ini terdapat jika barang itu dikeluarkan dari lalu lintas
lebih lama daripada waktu yang diperbolehkan untuk kepentingan masyarakat.
c. Individualiteit
Objek dari hak kebendaan selalu adalah barang yang individueel bepaald, yaitu sutau barang
yang dapat ditentukan. Artinya, orang hanya dapat sebagai pemilik dari barang yang berwujud yang
merupakan kesatuan, Tidak dapat atas barang yang ditentukan menurut jenis dan jumlahnya.
d. Totaliteit
Hak kebendaan selalu meletak atas keseluruh obyeknya (Pasal 500, 588, 606 KUHPer.).
Siapa yang mempunyai zakelijkrecht atas suatu zaak ia mempunyai zakelijkrecht itu atas
keseluruhan zaak itu, jadi juga atas bagian-bagiannya yang tidak sendiri.

115
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.171-175
116
Ibid., h.171

75
Atas bagian yang tidak tersendiri baru dapat diadakan zakelijkrecht , sesudah bagian itu
menjadi zaak yang berdiri sendiri misalnya; agar pembeli dapat mperoleh hak milik dari suatu
panenan, maka penjual harus sudah menuai padinya. Di pihak lain, jika suatu zaak suda melebur
dalam zaak lain, maka zakelijkrecht atas zaak yang pertama tadi lenyap. Misalnya, pemilik batu
bata yang sudah menjadi dinding rumah, hilang hak milik atas batu bata itu, sebab batu bata tidak
lagi zaak tersendiri.
Konsekuensi tersebut, dalam bebarapa hal diperlunak, antara lain: (1) adanya milik bersama
atas barang yang baru (Pasal 607 KUPer.); (2) lenyapnya zaak itu karena usaha pemilik zaak itu
sendiri yaitu terleburnya zaak tadi dalam zaak lain secara kwade trouw (Pasal 606, 608 KUHPer.);
(3) pada waktu terleburnya zaak sudah ada perhubungan hukum antara kedua eigenaar yang
bersangkutan (Pasal 714 jo Pasal 725 jo Pasal 1567 KUHPerdata).117
e. Tak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid)
Yang berhak tak dapat memindah-tangankan sebagian daripada wewenang yang termasuk
suatu hak kebendaan yang ada padanya, misalnya pemilik. Pemisahan daripada zakelijkrecht itu
tidak diperkenankan. Tetapi pemilik dapat membebani hak miliknya dengan iura in realiena. Ini
kelihatannya seperti melepaskan sebagian dari wewenangnya. Tetapi itu hanya kelihatannya saja,
hak miliknya tetap utuh.118
f. Prioriteit
Hak prioriteit adalah hak yang lebih dahulu terjadinya dimenangkan dengan hak yang terjadi
kemudian.
Pada dasarnya semua hak kebendaan memberi wewenang yang sejenis dengan wewenang-
wewenang dari eigendom, sekalipun luasnya berbeda-beda, sehingga perlu diatur urutannya. Iura in
realiena meletakkan sebagai beban atas eigendom. Sifat ini membawa serta bahwa iura in realiena
didahulukan (Pasal 674, 711, 720, dan 1150 KUHPerdata).119
Tetapi mana dari beberapa iura in realiena yang harus didahulukan? Maka di sini urutannya
menurut lebih dulunya diadakan. Misalnya, atas sebuah rumah di bebani hipotek kemudian
diberikan dengan hak memungut hasil, maka hak memungut hasil atas rumah haknya baru timbul
kemudian setelah adanya hipotek atas rumah tersebut.120
Azas prioriteit sifatnya tidak tegas, tetapi akibat dari asas ini bahwa seseorang itu hanya
dapat memberikan hak yang tidak melebihi apa yang dipunyai (Azas nemoplus).

117
Ibid., h.172.

118
Ibid., 173.

119
Ibid. .
120
Ibid. .

76
g. Percampuran (Verminging)
Hak kebendaan yang terbatas jadi selainnya hak milik hanya mungkin atas benda orang
lain. Tidak dapat orang itu untuk kepentingannya sendiri memperoleh hak gadai (menerima gadai)
hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak yang membebani itu menjadi lenyap (Pasal
706, 718, 736, 724, dan 807 KUHPer.). Jadi jika orang yang mempunyai hak memungut hasil atas
tanah kemudian membeli tanah itu maka hak memungut hasil itu menjadi lenyap.121
h. Perlakuan yang berbeda atas jenis benda yang berbeda
Perlakuan atas benda bergerak dan benda yang tidak bergerak itu berlainan. Aturan-aturan
mengenai pemindahan , pembebanan (bezwaring),bezit dan verjaring mengenai benda-benda
roerend dan onroerend berlainan. Juga mengenai iura in realiena yang dapat diadakan. 122
i. Publisitas (Publiciteit)
Mengenai benda-benda yang tidak bergerak mengenai penyerahan dan pembebanannya
berlaku azas publitas (publiciteit) yaitu dengan pendaftaran di dalam register umum. Sedangkan
mengenai benda-benda yang bergerak cukup dengan penyerahan nyata, tanpa pendaftaran dalam
register umum.123
j. Sifat perjanjian
Orang mengadakan hak kebendaan itu, misalnya mengadakan hak memungut hasil, gadai,
hipotek dan lain-lain-itu sebenarnya mengadakan perjanjian. Mengenai sifat perjanjian yang
berkaitan dengan kebendaan tersebut, merupakan perjanjian yang zakelijk, yaitu perjanjian untuk
mengadakan kebendaan. Jadi halnya dengan perjanjian yang terdapat dalam buku III KUPerdata.
Misalnya, itu merupakan perjanjian yang bersifat obligator, yaitu perjanjian yang menimbulkan
verbintennis.124
Menurut Syuling, perjanjian yang zakelijk itu bersifat abstrak, sedangkan perjanjian
obligator bersifat causal. Artinya, pada perjanjian yang zakelijk dengan selesainya perjanjian tujuan
pokok dari perjanjian itu sudah tercapai yaitu adanya hak kebendaan. Sedangkan perjanjian
obligatoir dengan selesainya perjanjian tujuan pokok dari perjanjian itu belum tercapai, hak
belum beralih masih harus ada penyerahan terlebih dahulu.125

121
Ibid., 174.

122
Ibid. .

123
Ibid. .

124
Ibid. .
125
Ibid. , h. 175.

77
B. Hak-hak Kebendaan
Menurut Salim HS Hak kebendaan (zakelijkrecht) adalah suatu hak untuk menguasai suatu
benda. Hak kebendaan juga terbagi atas dua (2) macam, yaitu : Hak yang Memberi Kenikmatan dan
Jaminan.126
1. Hak Kebendaan yang Memberi Kenikmatan (zakelijk genotsrecht)
Yaitu hak dari subyek hukum untuk menikmati suatu benda secara penuh, di atas benda
milik sendiri atau di atas benda milik orang lain.
a. Hak Kebendaan yang Memberi Kenikmatan di atas Benda Milik Sendiri
Yaitu suatu hak untuk menikmati suatu benda secara penuh di atas benda milik kepunyaan
sendiri. Benda milik sendiri tersebut dapat dibedakan lagi atas dua (2) yaitu :1) Hak Kenikmatan di
atas Benda Milik Sendiri yang Wujudnya Bergerak; dan 2) Hak Kenikmatan di atas Benda Milik
Sendiri yang Wujudnya Tidak Bergerak
1). Hak Kenikmatan di atas Benda Milik Sendiri yang Wujudnya Bergerak.
Adalah benda-benda karena sifatnya atau penetapan undang-undang dinyatakan sebagai
benda bergerak. Tentang benda bergerak di atur dalam Pasal 509-111 KUHPerdatal, sedangkan hak
milik atas benda bergerak terdapat dalam Pasal 570-624 KUHPerdata.
Lebih jelasnya Pasal 570 KUHPerdata, menegaskan :
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan kebendaan dengan leluasa dan untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan tidak mengganggu hak orang
lain

Bunyi pasal tersebut menggambarkan pemilik berhak melakukan perbuatan apapun terhadap
benda bergerak (meja, kursi, motor, pulpen dsb) yang dimilikinya asalkan tetap tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum dan tidak mengganggu hak orang lain seperti : melakukan
perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dsb. Sebagai contoh : A mempunyai sepeda motor. Hak
yang dapat dinikmati dari kepemilikan sepeda motor tersebut berupa : bisa dipakai sendiri,
dipinjamkan, dijual, disewakan, dihadiahkan, dijaminkan dsb, tetapi bila motor tersebut dipakai
balapan di jalan raya, bertentangan dengan pasal 570 KUHPerdata karena mengganggu hak orang
lain untuk berkendara secara aman di jalanan.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak milik adalah hak yang paling
utama jika dibandingkan dengan hak-hak kebendaan yang lain. Karena yang berhak itu dapat
menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya, tetapi menurut Sri
Soedewi 127 , pengertian dapat menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya memiliki dua arti.

126
Salim HS, op. cit., h.100
127
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.176

78
Pertama, dalam arti dapat memperlainkan (vervreem den), membebani, menyewakan dan lainnya.
Yang pada intinya dapat melakukan perbuatan hukum terhadap sesuatu benda(zaak). Kedua, dalam
arti dapat memetik hasinya, memakainya, merusak, memelihara dan lain-lain.Yaitu dapat
melakukan perbuatan-perbuatan yang materil
Ciri-ciri Hak milik antara lain:128
a). Merupakan hak pokok terhadap hak-hak kebendaan lain yang bersifat terbatas;
b). Merupakan hak yang paling sempurna;
c). Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap oleh hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak
kebendaan yang lain dapat lenyap oleh hak milik.
d). Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.
Selain ciri tersebut hak milik juga memiliki sifat elastis, artinya bila diberi tekanan dibebani
dengan hak kebendaan yang lain menjadi lekuk, sedangkan kalau tekanan ditiadakan menjadi penuh
kembali.129
Suatu hak milik dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu (1) pendakuan(toeeigening),
(2) perlekatan (natrekking), (3) daluarsa (verjaring), (4) pewarisan, (5) penyerahan (lavering).
Hak milik dapat hapus karena: (1) orang lain memperoleh hak milik dengan salah satu cara
memperoleh hak milik, (2) musnahnya benda, (3) pemilik melepaskan benda tersebut, dan (4)
benda/binatang menjadi hilang/liar.
2). Hak Kenikmatan di atas Benda Milik Sendiri yang Wujudnya Tidak Bergerak
Adalah benda-benda karena sifatnya, tujuan pemakaiannya atau penetapan undang-undang
dinyatakan sebagai benda tidak bergerak. Hak milik di atas benda tidak bergerak adalah tanah
beserta tanpa beserta dengan bangunan-bangunan, tanaman-tanaman, bahan galian tambang di atas
atau di bawahnya.
Ketentuan tentang Hak Milik atas tanah terdapat dalam pasal 20 UU No. 5 Tahun
1960(UUPA) berbunyi:
Hak Milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan hak milik, harus
memperhatikan 4 hal sebagai berikut:130
(1) Ketentuan hukum yang berlaku, sepertin UU Gangguan, UUPA, UU Pencabutan Hak
atas tanah;
(2) Ketertiban umum;

128
Ibid., h.176

129
Ibid. .
130
Ibid., 177

79
(3) Hak-hak orang lain, seperti hak jasa pekarangan, hak guna usaha, dan lain-lain;
(4) Fungsi sosial.
Penjelasan pasal 20 UUPA menyebutkan, bahwa walaupun hak milik itu merupakan hak
yang terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah. Tetapi pemberian sifat ini tidak
berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat
sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli. Sifat yang demikian akan terang
bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Sifat terkuat dan
terpenuhi hanya dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak atas tanah lainnya sepeerti, hak
guna usaha, hak pakai dan sebagainya.131
Sesuai dengan pasal 571 jo 588 jo 601 jo 588 KUHPerdata. Yang berkaitan dengan accessi
(perlekatan) menentukan, bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya hak milik
atas segala apa yang ada di atas dan di dalam tanah (pasal 571 KUHPerdata). Artinya, segala
bangunan yang didirikan di atasnya adalah kepunyaan pemilik pekarangan pula, asal bangunan itu
melekat menjadi satu dengan tanah pekarangan (pasal 601 KUHPerdata). Segala apa yang melekat
pada suatu benda atau yang merupakan setubuh dengan benda itu adalah milik orang yang menurut
ketentuan Undang-Undang dianggap sebagai pemiliknya (Pasal 588 KUHPerdata).132
Sifat accessi ini tidak berlaku dalam hukum Adat. Dalam hukum adat dikenal asas
horizontale scheiding atau pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan-bangunan atau
tanaman-tanaman di atas tanah itu. Jadi pengertiannya dalam hukum adat tanah yuridis harus
dipandang terlepas dari bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atasnya. Hal ini mengandung
maksud bahwa menurut asas ini bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah yang
bersangkutan, sehingga hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman
yang ada di atasnya begitupun dengan perbuatan hukum atas tanah. Dalam hal ini Ter Haar
mengatakan, bahwa hak milik atas rumah dan tanaman pada asasnya adalah terpisah daripada hak
atas tanah dimana benda-benda itu berada, seseorang dapat saja mempunyai hak milik atas pohon-
pohon dan rumah-rumah di atas tanah orang lain. 133 Pendapat Ter Haar tesebut kurang sesuai
diterapkan dalam kondisi masa kini, mengingat terbatasnya lahan jika dibandingkan dengan
perkembangan penduduk.
b. Hak Kebendaan yang Memberi Kenikmatan di atas Benda Milik Orang Lain
Yaitu suatu hak untuk menikmati suatu benda secara penuh di atas benda milik kepunyaan
orang lain . Benda yang dapat dinikmati kepunyaan orang lain tersebut ada dua (2) yaitu : 1) Hak

131
Ibid. .

132
Ibid. .
133
Ibid. .

80
Kenikmatan di Atas Benda Milik Orang Lain yang Wujudnya Bergerak ;dan 2) Hak Kenikmatan di
Atas Benda Milik Orang Lain yang Wujudnya Tidak Bergerak
1). Hak Kenikmatan di Atas Benda Milik Orang Lain yang Wujudnya Bergerak
Yaitu hak untuk menikmati sesuatu di atas benda bergerak kepunyaan orang lain. Wujud
nyata dari hak yang memberi kenikmatan di atas benda orang lain yang berjenis benda bergerak,
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari seperti hak untuk menyewa, meminjam, memakai benda-
benda bergerak milik orang lain dsb, contohnya : A menyewa (naik) becak B. Pada saat terjadi
perjanjian tersebut, timbul hak menikmati dari A untuk diantar sampai ke tujuan oleh B
2). Hak Kenikmatan di Atas Benda Milik Orang Lain yang Wujudnya Tidak Bergerak
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)mengatur bahwa Hak Milik atas Tanah dapat
digunakan atau diusahakan oleh orang yang bukan sebagai pemiliknya tetapi dengan pembatasan
tertentu dan diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
24 UUPA.
Hak-hak yang dapat dinikmati di atas Benda milik orang lain yang wujudnya tidak bergerak
berikut di bawah ini antara lain yaitu :134
1). Hak Guna Bangunan (Pasal 35 - 40 UUPA)
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan bangunan dan mempunyai bangunan atas
tanah yang bukan milik sendiri dalam batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun(Pasal 35 ayat
(1)UUPA), dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 [dua puluh] tahun (Pasal 35 ayat
(2)UUPA).
Hak Guna Bangunan terjadi (Pasal 37 UUPA): (1) mengenai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dengan Penetapan Pemerintah, (2) mengenai tanah hak milik, dengan perjanjian antara
pihak yang berbentuk otentik antara pemilik yang bersangkutan dengan pihak yang akan
memperoleh hak guna.bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak
Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan (Pasal 36 UUPA) antara lain: (1) warga
negara Indonesia, (2) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
Hak Guna Bangunan dapat hapus (Pasal 40 UUPA), karena: (1) jangka waktunya berakhir,
(2) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, (3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktunya berakhir, (4) dicabut untuk kepentingan umum, (5) ditelantarkan, (6) tanahnya
musnah, dan (7) pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi.

134
Ibid., h.178-186, Lihat juga Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah (Jakarta : Prenada
Media, 2006), h.98, Boedi Harsono, op. cit. , h. 222, Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria ( Jogyakarta : Liberty,
1997), h. 29-40.

81
2). Hak Guna Usaha(Pasal 28-34 UUPA)
Pengertian Hak Guna Usaha (Pasal 28(1) UUPA) yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan
atau peternakan.
Batasan tertentu terhadap tanah yang dapat diusahakan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 28 ayat (2) UUPA, yaitu: (1). Luas tanah minimal 5 hektar, (2). Bila Tanah luasnya 25
hektar/lebih diharuskan memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik.
Hak Guna Usaha dapat hapus, karena: (1) jangka waktunya berakhir, (2) dihentikan sebelum
jangka waktunya berakhir, (3) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir, (4) dicabut untuk kepentingan umum, (5) ditelantarkan, (6) tanahnya musnah dan (7)
pemegang hak tidak memenuhi syarat lagi
3). Hak Pakai
Pengertian Hak pakai ((Pasal 41(1) UUPA)adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yangt bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, selain itu hak pakai diberikan secara cuma-cuma,
dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun (Pasal 41 ayat (2) UUPA, dan pemberian
hak pakai tidak boleh disertai dengan unsur-unsur pemerasan (Pasal 41 ayat (2) UUPA ).
Hak Pakai atas tanah dalam pasal 26 RUU tentang Sumberdaya Agraria meliputi antara
lain:135
(1). Hak pakai atas tanah Negara dengan jangka waktu tertentu, yaitu diberikan jangka
waktu 50 tahun;
(2). Hak pakai atas tanah hak milik yang diberikan dalam jangka waktu sesuai perjanjian,
selama-lamanya 50 tahun;
(3). Hak pakai atas tanah Negara dengan jangka waktu selama tanahnya dipergunakan, yaitu
yang penggunaanya bagi keperluan public yang bersifat nasional atau internasional;
(4). Hak pakai khusus dengan jangka waktu selama tanahnya dipergunakan.
Hak pakai atas tanah memiliki sifat sementara sehingga dapat dihapus dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.

135
Ibid., h.180.

82
Menurut pasal 30 RUU tentang sumberdaya Agraria menyebutkan bahwa hak pakai dapat
terhapus, karena beberapa hal antara lain: (1). Jangka waktunya berakhir; (2). Dicabut haknya atau
haknya dibatalkan karena salah satu kewajiban sebagai pemegang hak tidak dipenuhi;(3).Pemegang
hak tidak melepaskan haknya kepada Negara secara suka rela atau pemegang haknya tidak
diketahui lagi keberadaannya yang diperkuat dengan penetapan pengadilan;( 4).Tanahnya
ditelantarkan, tanahnya musnah dan secara teknis tidak dapat lagi difungsikan sebagaimana
mestinya atau tanahnya tidak lagi digunakan sesuai tujuan pemberian haknya sebagaimana
tercantum dalam surat keputusan pemberian hak dan sertifikatnya.
Dalam praktek hak pakai itu diberikan sebagai hak sementara. Hak sementara dalam arti
diberikan sebagai persiapan untuk memperoleh Hak Guna Bangunan atau Hak Milik. Atau sifat
sementara itu karena tanah yang dimiliki itu direncanakan dipakai hanya untuk sementara. Mungkin
karena kawasan dimana tanah itu terletak terkena proyek untuk kepentingan umum atau swasta.136
Dalam surat keputusan pemberian Hak Pakai itu sering terdapat syarat bahwa hak itu dapat
dicabut secara sepihak oleh pejabat yang memberikan. Hal itu tentu saja membuat pemegang hak
tidak mempunyai kepastian hukum tentang masa hidup hak pakai itu. Untuk mendapatkan
legalitas dari hak pakai atas tanah Negara maka wajib di daftar dalam buku tanah tanda bukti hak
pakai diberikan sertifikat atas tanah. Tanda bukti hak pakai itu hanya perjanjian hak pakai ( bukan
surat keputusan pemberian hak serta pengalihan subjek hak pakai harus dengan persetujuan/ijin
pejabat yang memberikannya.137
4). Hak Sewa
Hak sewa atas tanah, menurut UUPA adalah hak untuk maksud untuk mendirikan bangunan
(Pasal 44 UUPA) dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang, jadi tidak untuk
pertanian, peternakan, dan perikanan. Untuk maksud yang terakhir ini yang dipergunakan
adalah perjanjian bagi hasil.
Yang boleh memberikan hak sewa adalah pemilik hak atas tanah, Pemegang hak guna
bangunan atas hak guna usaha tidak berwenang menyewakan haknya itu. Negara yang tidak
mempunyai hak milik atas tanah juga tidak dapat menyewakan tanah. Karena menurut
Effendi Perangin, sebutan hak sewa atas tanah Negara secara yuridis adalah tidak benar.
Jangka waktu hak sewa tidak ditentukan dalam UUPA, sehingga para pihak (pemilik dan
penyewa) bebas untuk menentukan jangka waktu persewaan.
5). Hak Pengelolaan

136
Ibid., h.183.
137
Ibid., h.183.

83
Menurut AP. Parlindungan, bahwa Hak Pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama
sekali tidak ada istilah dalam UUPA. Secara tidak langsung pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan
bahwa dari hak menguasai dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan sehingga ada
kemungkinan dibuka untuk menerbitkan hak baru .,138 yang pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada pihak tertentu.
Hak pengelolaan tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9
Tahun 1999, pasal 1 ayat (3), yang menyatakan bahwa hak pengelolaan adalah hak menguasai dari
Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sehingga
hak pengelolaan adalah bukan hak atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 16
UUPA.
Negara memberikan Hak Pengelolaan yang didalamnya termasuk memberikan kewenangan
untuk :139
a). Merencanakan penggunaan tanah tersebut;
bala). Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c). Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak atas
tanah lainnya;
d). Menerima uang kompensasi sebagai realisasi dari penyerahaan penggunaan kepada pihak
ketiga.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999, dikenal
dua cara pemberian hak atas tanah antara lain: (a). Pemberian hak atas tanah secara individu, yaitu
pemberian hak atas sebidang tanah kepada seseorang atau sebuah badan Hukum tertentu ataun
kepada beberapa orang (Badan Hukum) secara bersama sebagai penerima hak bersama, yang
dilakukan dengan satu ketetapan pemberi hak;(b). Pemberian hak atas tanah secara kolektif, yaitu
pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada seseorang (Badan Hukum atau
beberapan orang/Badan Hukum) sebagai penerima hak, yang dilakukan dengan satu ketetapan
pemberi hak.
Permohonan pemberian hak atas tanah, hanya berkaitan dengan alas hak adalah perjanjian
tertulis antara pemegang hak pengelolaan dengan pihak ketiga yang isinya memuat: (1) identitas
pihak-pihak yang bersangkutan, (2) letak, batas dan luas tanah yang bersangkutan; (3) jenis
penggunaan, (4) hak atas tanah yang diminta dan jangka waktunya, (5) jenis bangunan yang akan
didirikan dan ketentuan kepemilikannya setelah jangka waktu haknya berakhir, (6) Syarat lain yang
dipandang perlu.

138
Ibid., h.184.
139
Ibid., h.185.

84
Selain hak-hak diatas masih terdapat hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang
tersebut dalam Pasal 53 UUPA meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil
(Perjanjian Bagi Hasil), Hak Menumpan (Numpang Karang )dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak
tersebut disebut sementara, karena diusahakan akan dihapus dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, karena mengandung unsur-unsur pemerasan, walau dalam kenyataannya sampai saat ini
tidak dihapuskan, yang dapat dilakukan adalah mengurangi unsur-unsur pemerasannya.140 Di luar
UUPA dikenal pula Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil. Disamping itu pula Hak Milik
Atas satuan Rumah Susun dan Hak Ulayat dalam Hukum Adat, yang kesemuanya merupakan satu
kesatuan dalam Kerangka Hukum Perdata Indonesia.
2. Hak Kebendaan yang Memberi Jaminan
Yaitu jaminan berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai hubungan lansung atas
benda tertentu, dapat dipertahan kan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat
dialihkan. 141
Jaminan kebendaan dapat dilakukan dengan empat (4) macam bentuk pembebanan sebagai
berikut : Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996), Hipotik (Bab 21 Buku II KUH Perdata),
Fidusia (UU Nomor 42 Tahun 1999) dan Gadai (Bab 20 Buku II KUH Perdata).
a. Hak Tanggungan
1). Dasar Hukum dan Pengertian Hak Tanggungan
Semula pembebanan hak atas tanah diatur dalam Buku II KUH Perdata, Credietverband
dalam Staatsbland 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 dan Pasal 57
UUPA. Ketiga ketentuan itu telah dicabut dengan Undang Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah karena tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. 142 Undang Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dikenal juga dengan sebutan Undang Undang Hak Tanggungan biasa
disingkat UHT
Ada 4 (empat) pertimbangan dibentuknya UU No. 4 Tahun 1996, yaitu: (1). Bahwa
bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga diperlukan lembaga hak jaminan yang
kuat dan mampu member kepastian hokum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat
mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2). Bahwa sejak

140
Urip Santoso, op. cit., h. 130.

141
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.193.
142
Salim op. cit., h.113.

85
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
sampai dengan saat ini, ketentuan yang lengkap mengenai Hak Tanggungan sebagai lembaga hak
jaminan yang dapat dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, belum terbentuk;(3). Bahwa ketentuan mengenai Hipotik sebagaimana yang diatur
dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan
ketentuan mengenai Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan
Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya
Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, dipandang tidak sesuai lagi kebutuhan kegiatan
perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia;(4). Bahwa mengingat
perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah
serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain hak milik, Hak Guna Usaha, dan Hak
Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang
wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk
dibebani Hak Tanggungan;(5). Bahwa berhubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dibentuk
undang-undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.
Pengertian Hak Tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 1999 adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kredito-kreditor
lainnya.
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan yaitu : (1). Hak jaminan
yang dibebankan hak atas tanah; (2). Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu; (3). Untuk pelunasan hutang tententu; (4).
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor
lainnya143.
Ciri-ciri hak tanggungan adalah sebagai berikut: (1). Memberikan kedudukan yang
diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference.
Keistimewaan ini ditegaskan dalam pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 (1) UU Nomor 4 Tahun 1996.

143
Ibid., h.115

86
Apabila debitor cedera janji, kreditor pemegang Hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang
dijadikan jaminan melalui pelelamgan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor-
kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditor pemegang hak tanggungan
dengan pringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditor bukan
pemegang hak tanggungan; (2). Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda
itu berada atau disebut dengan droit de suit. Keistimewaan ini ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor
4 Tahun 1996. Bairpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain,
kreditor pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum
jika debitor cidera janji; (3). Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat
pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi yang berkepentingan; (4). Mudah dan pasti
dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 memberikan kemudahan dan
kepastian kepada kreditor dalam pelaksanaan eksekusi.144
Keistimewaan lainnya kedudukan hukum kreditor pemegang Hak Tanggungan juga dijamin
melalui ketentuan Pasal 21 UU Nomor 4 Tahun 1996. Apabila pemberi Hak Tanggungan
dinyatakan pailit, objek Hak Tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi Hak
Tanggungan, sebelum kreditor pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan objek Hak Tanggungan itu. 145
2). Asas-Asas Hak Tanggungan
Di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 dikenal beberapa asas Hak Tanggungan, yaitu:146
a). Mempunyai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan
(Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996).
b). Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996).
c). Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 4
Tahun 1996).
d). Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996);
e). Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada
dikemudian hari (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 4 Tahun 1996) dengan syarat
diperjanjikan secara tegas;
f). Sifat perjanjiannya adalah tambahan (accessoir) (Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 Ayat (1)
UU Nomor 4 Tahun 1996); g). Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada
(Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1996);

144
Ibid., h. 115.

145
Ibid., h. 116.
146
Ibid., h. 117.

87
h). Dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1996)
mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada (Pasal 7 UU Nomor 4 Tahun
1996);
i). Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
j). Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 4
Tahun 1996);
k). Wajib didaftarkan (Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996;
l). Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
m). Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 4
Tahun 1996);
n). Objek tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan bila
pemberi hak tanggungan cidera janji.

3). Objek dan Subjek Hak Tanggungan


Persyaratan yang harus dipenuhi hak atas tanah sehingga dapat dijadikan jaminan sebagai
berikut:
a). Dapat dinilai dengan uang karena utang yang dijamin berupa uang
b). Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat
publisitas
c). Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan karena apabila debitor cidera janji benda
yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum
d). Memerrlukan penunjukan dengan undang-undang.147
Ada 5 jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan hak tanggungan (Pasal 4-7 UU Nomor 4
Tahun 1996), yaitu:
a). Hak milik;
b). Hak Guna Usaha;
c). Hak Guna Bangunan;
d). Hak Pakai, baik hak milik maupun hak atas Negara;
e). Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas yang
pembebannya dengan tegas dan dinyatakan dalam akta pemberian hak tanah yang bersangkutan.
Subjek hukum dalam pemasangan Hak Tanggungan (Pasal 8 UU Nomor 4 Tahun 1996)
adalah sebagai berikut:
a. Pemberian hak tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan.
b. Pemegang Hak Tanggungan.
Pemegang Hak Tanggungan terdiri dariperorangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak berpuitang.

147
Boedi Harsono, op. cit.,h.5.

88
Biasanya dalam praktek pemberi Hak Tanggungan disebut dengan debitor, yaitu orang yang
meminjamkan uang di lembaga perbankan, sedangkan penerima Hak Tanggungan disebut dengan
istilah kreditor, yaitu orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang. 148
4). Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
Tata cara pemberian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 UU Nomor 4
Tahun 1996. Dalam Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara pemberian Hak
Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 UU
Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan Hak tanggungan oleh pemberi
Hak Tanggungan kepada penerima kuasa. Prosedur pemberian Hak Tanggungan sesuai ketentuan
Pasal 10 UU Nomor 4 Tahun 1996 adalah sebagai berikut:149
a). Didahului janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang
tertentu, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang;
b). Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai
perundang-undangan yang berlaku;
c). Objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi belum dilakukan, pemberian Hak
Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Ada dua alasan pembuatan dan penggunaan Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan
(SKMHT), yaitu alasan subjektif dan objektif. Yang termasuk alasan subjektif, yaitu: 150
a). Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaries/PPAT untuk
membuat akta Hak Tanggungan;
b). Prosedur pembebanan Hak Tanggungan panjang/lama;
c). Biaya pembuatan Hak Tanggungan cukup tinggi;
d). Kredit yang diberikan jangka pendek;
e). Kredit yang diberika tidak besar/kecil;
f). Debitor sangat dipercaya/bonafid.
Yang termasuk dalam kategori alasan objektif dikemukakan berikut ini.
a). Sertifikat belum diterbitkan.
b). Balik nama atas tanah pemberi Hak Tanggungan belum dilakukan.
c). Pemecahan/penggabungan tanah belum selesai dilakukan atas nama pemberi Hak
Tanggungan .
d). Roya/pencoretan belum dilakukan.

148
Salim, op. cit., h.118.

149
Ibid. .
150
Ibid.,h.119.

89
Prosedur pembebanan Hak Tanggungan yang menggunakan surat kuasa pembebanan Hak
Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dala pasal 15 UU Nomor 4 Tahun1996 dikemukakan
berikut ini :
a). Wajib dibuatkan dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
b). Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan
Hak Tanggungan;
c). Tidak memuat kuasa subtitusi;
d). Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas
kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
e). Tidak dapat ditarik kembali atau taidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali
karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya.
f). Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah
diberikan.
g). Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Prosedur pada huruf c dan d tidak berlaku dalam hal
surat kuasa membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang belaku.
Di dalam akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:151
a). Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b). Domisili para pihak apabila diantara mereka ada yang berdomosili di luar Indonesia,
baginya harus pula dicantumkan suatu domisili Pilihan di Indonesia. Apabila domisili itu tidak
dicantumkan. Kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai
domisili yang dipilih;
c). Nilai tanggungan;
d). Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan (pasal 11 ayat (1) UU nomor 6
Tahun 1996).
Di samping itu, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji
antara lain:152

151
Ibid., h.120.
152
Ibid., h. 121-122.

90
a). Janji yang membatasi kewenangan penberi Hak Tanggungan untuk menyerahkan objek
Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menrima uang
sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dar pemegang Hak Tanggungan;
b). Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk
atau tata susunan objek Hak Tanggungan;
c). Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan, untuk
mengelolah objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh ceder janji;
d). Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau
untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan
karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuanUU;
e). Janji bahwa pemegang Hak Tannggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas
kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji;
f). Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama adalah bahwa objek Hak
Tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan;
g). Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak
Tanggunganb tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h). Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak
Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk
kepentingan umum;
i). Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari
uang asuransi yang diterima pemberi hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak
Tanggungan diasuransikan;
j). Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada
waktu eksekusi Hak tanggungan;
k). Janji bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan penbebanan Hak
Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 11 ayat (2)
UU Nomor 6 Tahun 1996).
Janji yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam Akta pemberian Hak Tanggungan
adalah janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki
objek Hak Tanggungan apabila debitor cedera janji. Janji semacam ini batal demi hukum, artinya
bahwa dari sejumlah perjanjian itu dianggap tidak ada (Pasal 21 UU Nomor 4 Tahun 1999).
5). Pendaftaran Hak Tanggungan

91
Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 UU Nomor 4
Tahun 1996. Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Secara
sistematis, tata cara pendaftaran dikemukakan berikut ini:153
a). Pendaftaran dilakukan di kantor pertanahan.
b). PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib
mengirimkan akta PHT dan warkah lainnya kepada kantor BPN.
c). Kantor pertanahan membuatkan buku tanah Hak Tamggungan dan mencatatnya dalam
buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut
pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
d). Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan
secar lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari
libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.
e). Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan dibuatkan (Pasal 13 UU
Nomor 4 tahun 1999).
f). Kantor pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan
memuat irah-irah dengan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sertifikat Hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada pemegang Hak Tanggungan. Apabila
diperhatikan prosedur pendaftaran di atas, tampak lain bahwa momentum lahirnya pembebanan Hak
Tanggungan atau tanah adalah pada saat hari buku tanah Hak Tanggungan dibuatkan di kantor
perbankan.
6). Peralihan Hak Tanggungan
Peralihan Hak Tanggungan ini diatur dalam Pasal 16-17 UU Nomor 4 Tahun 1996.
Peralihan Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan cara (1) cessi, (2)subrogasi, (3) kewarisan, dan
sebab-sebab lainnya.
Cessi adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak lainnya. Cessi harus dilakukan dengan akta autentik dan akta di bawah
tangan. Secara lisan tidak sah. Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang
melunasi utang debitor. Ada dua cara terjadinya subrogasi, yaitu karena : (1) perjanjian
(kontraktual), dan Undang-undang. 154
Subrogasi kontraktual dilakukan dengan cara: (1) kreditor menerima pembayaran baik untuk
sebagian maupun untuk seluruhnya dari pihak ketiga, dan serta-merta mengalihkan hak dan tuntutan

153
Ibid., h.122.
154
Ibid., h.123.

92
yang dimilikinya tehadap orang ketiga tersebut, dan (2) pihak ketiga membantu debitor. Debitor
meminjamkan uang dari pihak ketiga yang dipergunakan untuk membayar utang kepada kreditor,
dan sekaligus menempatkan pihak ketiga tadi menggantikan kedudukan semulaterhadap diri
debitor. Supaya subrogasi ini dianggap sah, maka harus diikuti dengan tata cara sebagai berikut: (1)
pinjam uang mesti ditetapkan dengan akta autentik, (2) dalam akta autentik mesti dijelaskan
besarnya jumlah pinjaman dan diperuntukkan melunasi utang debitor, dan (3) tanda pelunasan,
berisi pernyataan bahwa uang pembeyaran utang yang diserahkan kepada kreditor adalah uang yang
berasal dari pihak ketiga, sedangkan subrogasi karena UU terjadi karena adanya pembayaran yang
dilakukan pihak ketiga untuk kepentingannya sendiri, seoramng kreditor melunasi utang kepada
kepada kreditor lain yang sifat utangnya mendahului. Akibat adanya subrogasi adalah beralihnya
hak tuntutann dari kreditor kepada pihak ketiga. Peralihan hak itu meliputi hak dan tuntutan (pasal
1400 KUH Perdata). Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain adalah hal-hal lain selain yang dirinci
dalam ayat ini, mislanya dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan
sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan baru.
Peralihan Hak Tanggungan wajib didaftarkan olek kreditor yang baru kepada kantor Pertanahan.
Hal-hal yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan berkaitan dengan pendaftaran peralihan Hak
Tanggungan adalah melakukan: (1) pencatatan pada buku tanah Hak Tanggungan, (2) buku-buku
hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, dan (3) menyalin catatan tersebut pada
sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (pasal 2 ayat (2) dan
ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 1996). Tanggal pencatatn pada buku tanah adala tanggal hari ketujuh
setelah diterimanya secara lengakap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak
Tanggungan dan jika pada hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari
kerja berikutnya, sedangkan momentum berlakunya peralihan Hak dan Tanggungan bagi pihak
ketiga, yaitu pada hari tanggal pencatatn pada buku tanah pleh Kantor Pertanahan.155
7). Hapusnya Hak Tanggungan
Yang dimaksud dengan hapusnya Hak Tanggungan adalah tidak berlakunya lagi Hak
Tanggungan, yang diatur dalam Pasal 18-19 UU Nomor 4 Tahun 1996. Ada empat sebab hapusnya
Hak Tanggungan, yaitu:
a). Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b). Dilepaskan Hak Tanggungan oleh pemegan Hak Tanggungan;
c). Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapanoeringkat oleh Ketua Pengadilan
Negeri;
d). Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

155
Ibid., h.123-124.

93
Walaupun hak atas tanah itu hapus, namun pemberi hak hak tanggungan tetap berkewajiban
untuk membayar utangnya. Hapusnya Hak Tanggungan yang dilepas oleh pemegang Hak
Tanggungan dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak
Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat
oleh ketua pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut, agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak
tanggungan.156
8). Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20-21 UU Nomor 4 Tahun 1996. Apabila
debitor cedera janji, maka:
a). Hak pemegang Hak Tangungan pertama untuk menjual hak tanggungan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 6
b). Title eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).
Ada dua macam cara eksekusi objek Hak Tanggungan, yaitu: (1) melalui pelelangan umum,
dan (2) eksekusi di bawah tangan.
Pada dasarnya, setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena
dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan.
Kreditor berhak mengambil pelunasan piutang yang dijamin dari hasil penjualan objek Hak
Tanggungan. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut, yang setinggi-
tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. 157
Eksekusi di bawah tangan adalah penjualan barang objek hak tangungan yang dilakukan
oleh pemberi hakntanggunga, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak tanggungan, jika
dengan cara ini akan diperoleh harga yang tertinggi. 158
9). Pencoretan (Roya) Hak Tanggungan
Apabila hak tanggungan hapus, maka kantor pertanahan melakukan roya (pencoretan)
catatan Hak Tanggungan pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 22 UU Nomor 4 Tahun 1996 . Sertifikat Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku
oleh kantor pertanahan. Apabila sertifikat karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada kantor

156
Ibid.,h. 124.

157
Ibid., h.125.
158
Ibid. .

94
pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan. Prosedur pencoretan itu
dikemukakan berikut ini:159
Permohonan pencoretan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan
hal-hal sebagai berikut.
a). Sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak
Tanggungan hapus karena piutangnya telah lunas
b). Pernyataan tertulis darii kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus. Karena piutang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan telah lunas atau kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan, sebagaimana dikemukakan di atas
maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan kepada Ketua
pengadilan Negeri yang daerah hukumya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan
didaftar, tetapi apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa
oleh Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Permohonan pencoretan
catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah pengadilan Negeri tersebut diajukan kepada Kepala
Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Setelah menerima tersebut, maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencoretan
menurut tata cara yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 hari
kerja.160
b. Hipotik
Pasal 1162 KUHPerdata mendefenisikan hipotek sebagai suatu kebendaan atas benda-benda
tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
Hipotek merupakan hak yang bersifat assesoir artinya merupakan perjanjian tambahan atau
pelengkap untuk menjamin pengembalian/pelunasan utang. Sedangkan perjanjian utamanya berupa
perjanjian utang piutang. Objek Hipotek sesuai dengan pasal 1164 KUHPerdata adalah barang tidak
bergerak.
Tetapi dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Hak
Tanggungan, maka hak-hak atas tanah, sebagaimana yang diatur dalam UUPA yaitu: Hak Milik
(pasal 25 UUPA), Hak guna Usaha (Pasal 33 UUPA) Dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA)
hanya dapat dibebani dengan hak tanggungan menurut ketentuan Undang-Undang Hak Tanggungan
No. 4 Tahun 1996, dengan demikian dewasa ini yang bisa dibebani hipotik hanyalah benda tidak
bergerak karena penetapan undang-undang yaitu kapal laut (terdaftar) dan pesawat terbang.

159
Ibid. .
160
Ibid. .

95
1). Benda-benda yang dapat dibebani hak hipotek
Ada dua (2) macam benda yang dapat dibebani hak hipotek yaitu :
- kapal laut yang terdaftar ; dan
- kapal terbang
a). Kapal laut yang terdaftar ( Pasal 314 ayat 3 KUHD )
Ketentuan tentang Hipotek atas kapal laut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang KUHD) Buku Kedua Bab Kesatu pasal 314-316, yang untuk selanjutnya menunjuk
pemberlakuan pasal 1168, 1169, 1171 ayat (3) dan ayat (4), 1175-1176 ayat( 2), 1177-1178, 1180,
1186-1187, 1189-1190, 1193, 1197, 1199, 1205, 1207-1219, dan pasal 1224- 1227 dari ketentuan
ketentuan hipotek yang terdapat pada kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kedua Bab
Kedua puluh satu.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) membedakan kapal laut dalam dua
golongan yaitu: (1). kapal laut sebagai kebendaan yang bergerak dan: (2).kapal laut sebagai
kebendaan yang tidak bergerak. Pentingnya pembedaan tersebut berkaitan dengan pembebanan
jaminan atasnya.
Pendaftaran atau registrasi hipotek atas kapal laut diadakan oleh departemen perhubungan,
dalam hal ini Syahbandar Direktorat Jenderal perhubungan Laut Departemen Perhubungan RI.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) bahwa
Kapal Laut yang memiliki ukuran sekurang kurangnya dua puluh meter kubik isi kotor dapat
didaftarkan di Kantor Syahbandar Direktorat Jenderal perhubungan Laut Departemen Perhubungan,
dan yang dengan pendaftaran tersebut memiliki kebangsaan sebagai kapal Indonesia.
KUHD selanjutnya memperlakukannya sebagai kebendaan yang tidak bergerak, dan oleh
sebab itu pula penjaminan yang dapat diletakkan diatasnya-pun hanya dalam bentuk hipotek.
Sedangkan bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar dianggap sebagai kebendaan yang bergerak (Pasal
314 KUHD).161
Yang dapat meletakkan/ melakukan hipotek ialah yang berhak memindah tangankan benda
yang dibebani (Pasal 1168 KUHPerdata). Orang yang berhak meletakkan/ melakukan hipotek ialah
orang yang cakap hukum. Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak
dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orangperorangan ini diatur dalam Pasal
1329-1331 KUHPerdata.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut :
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh Undang-undang
tidak dinyatakan tidak cakap.

161
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia ( Jakarta : Pt RajaGrafindo Persada, 2007), h.95.

96
Bunyi pasal tersebut menentukan apabila seseorang masuk kategori cakap hukum, dapat
melakukan perbuatan hukum sendiri akan tetapi apabila masuk kategori tidak cakap hukum
karena belum dewasa/ kurandus harus diwakili oleh orang tua/wali/pengampunya yang bertindak
untuk dan atas nama orang yang dibawah kekuasaannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1152 ayat(4) KUHPerdata sebagai berikut :
Bilamana pemilik benda adalah seorang yang belum dewasa, seorang yang ditaruh dalam
pengampuan atau seorang yang berada dalam keadaan tak hadir, maka yang dapat
meletakkan hipotek ialah yang menurut hukum mewakilinya.
Seorang kuasa dapat juga meletakkan hipotek dari orang yang memberi kuasa untuk itu,
tetapi pemberian kuasa harus dibuat dengan akta otentik ( Pasal1171 ayat (2 KUHPerdata). Dalam
hal ini hipotek berbeda dengan gadai,sebab untuk sahnya gadai tidak perlu yang berhak yang
menggadaikan.
Seperti halnya pembebanan jaminan atas benda tidak bergerak lainnya harus diikat dengan
akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk untuk itu, kapal juga harus dibuatkan Akta
Hipotek pada Syahbandar tempat kapal laut didaftarkan.
Yang harus tercantum dalam akta hipotek adalah : (1). Menguraikan secara khusus tentang
benda yang dibebani; (2). Penyebutan nama nama kreditur dan debitur ; (3). Penyebutan jumlah
uang untuk mana hipotek telah diberikan.
Selain yang tersebut diatas, kedua pihak diperbolehkan mengadakan persetujuan
persetujuan (bedingen ) tertentu dalam akta hipotek. Yang lazim diperjanjikan adalah persetujuan
persetujuan berikut: (1). Persetujuan yang memberi hak kepada pemegang hipotek untuk dalam hal
ini debitor tidak membayar hutangnya ,menjual sendiri ( diluar Pengadilan ) benda yang menjadi
obyek hipotek dimuka umum dan mengambil pelunasan dari hasil lelang tersebut. Persetujuan ini
hanya mampu dapat diadakan oleh pemegang hipotek pertama ( Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata-
beding van eigenmachtige verkoop); (2). Persetujuan bahwa hipotek tidak akan terhapus
(dibersihkan) dalam hal pemberi hipotek menjual umum bendanya secara sukarela (artinya tidak
atas perintah hakim ). Persetujuan ini dinamakan beding van niet-zuevering dan diatur dalam pasal
1210 ayat 2KUHPedata .
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dimpulkan bahwa pemberian hipotek dilakukan
dengan pembuatan Akta Hipotek Kapal di hadapan Pegawai pendaftaran dan pencatat balik Nama
Kapal Kapal, Yang dibantu oleh pegawai pembantu pendaftaran kapal-kapal di kantor syahbandar
setempat tempat kapal didaftarkan. Setelah pembuatan akta hipotek Kapal tersebut selesai, maka
harus dilakukan pencatatan/pendaftaran pemberian Hipotek atas Kapal itu dalam Buku Daftar yang
disediakan untuk itu (Pasal 315 KUHD), sebagai tanda telah terbitnya pembebanan Hipotek atas
Kapal guna memenuhi syarat publisitas dari pembebanan Hipotek, dan dengan pendaftaran itu pula

97
hak-hak istimewa dari Hipotek, yang berupa droit de preference dan droit de suite dapat
dilaksanakan oleh kreditor atas Kapal yang dijaminkan dengan Hipotek tersebut.162
Sebagai konsekwensi dari pembebanan Hipotek tersebut, beberapa dokumen yang disebutkan
di bawah ini, perlu untuk diperiksa oleh kreditor akan kebenaran dari kelengkapannya :163
a). Grosse Akta Pendaftaran Kapal (sementara), atau Grosse Akta Balik Nama Kapal;
b). Surat Izin Perusahaan Pelayanan (SIUPP); dan
c). Keterangan mengenai Spesifikasi Kapal yang dihipotekkan.
Grosse Akta Pendaftaran Kapal (sementara) atau Grosse Akta Balik Nama Kapal perlu
dikuasai secara fisik oleh kreditor selaku pemengang Hipotek atas kapal tersebut,
Selain dari pembuatan Akta Hipotek dan pendaftarannya sebagaimana kita sebutkan di atas,
beberapa macam perjanjian yang di sebutkan di bawah ini perlu juga untuk dibuat guna
mengamankan kepentingan kreditor terhadap kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya.
Perjanjian-perjanjian tersebut adalah :164
a). Perjanjian Pengalihan Hak atas klaim Asuransi Kapal;
b). Perjanjian Pengalihan Hak atas Tagihan Pencarteran Kapal yang di miliki oleh debitor atas
pihak ketiga yang mencarter kapal debitor
c). Perjanjian gadai atas Perjanjian Pencarteran Kapal yang dibuat oleh debitor dengan pihak
ketiga.
Perjanjian Pengalihan Hak atas klaim Asuransi Kapal memungkinkan debitor untuk
memperoleh pelunasan dari kreditor seketika atas utang-utangnya yang dijaminkan dengan kapal
tersebut, dalam hal kapal tersebut mengalami kerugian (kecelakaan) laut. Dan dengan di buatnya
pengalihan Hak atas Klaim Asuransi tersebut, berarti penggantian atas klaim yang di berikan oleh
pihak Asuransi tersebut hanya akan dapat di terima secara langsung oleh kreditor, sebagai pihak
yang memiliki kepentingan atas kerugian yang diderita oleh kapal tersebut. Selanjutnya
pemanfaatan hasil penggantian klaim asuransi diserahkan pada perjanjian kredit antara kreditor dan
debitor. Yang jelas dalam hal ini, apa pun perjanjian yang di sepakati, kreditor tidak akan rugi
karenanya.165
4). Asas-asas hipotik
Di dalam hipotek juga dikenal beberapa asas, antara lain sebagai berikut.166

162
Ibid., h.96.

163
Ibid., h.97.

164
Ibid.,h. 97-99.

165
Ibid., h. 98.
166
Salim HS, op. cit., h. 117.

98
a). Asas publisitas (publiciteit-openbaarheid), adalah asas yang mengharuskan bahwa
hipotek itu harus didaftarkan di dalam register umum, supaya dapat diketahui oleh pihak
ketiga/umum. Yang didaftarkannya ialah akta dari hipotek pada seksi pendaftaran syahbandar
setempat.
b). Asas spesialis(specialiteit), adalah asas yang menghendaki bahwa hipotek hanya dapat
diadakan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, yaitu Benda-benda tak bergerak karena
penetapan undang-undang yang telah dibebani hipotik. Misalnya, benda-benda yang dihipotekkan
itu berwujud apa, berapa luasnya/besarnya.
c). Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheit)- Pasal 1163 ayat (1)KUHPerdata, ini berarti
bahwa hipoteik itu membebani seluruh objek/benda yang dihipotekkan dalam keseluruhan atas
setiap benda dan atas setiap bagian dari benda-benda tak bergerak. Dengan demikian dibayarnya
sebagian dari Utang tidak mengurangi/menyediakan sebagian dari benda yang menjadi jaminan.
5). Hapusnya hipotek
Menurut Pasal 1209 KUHPerdata hipotek hapus :
a). Karena hapusnya perikatan pokok.
b). Karena pelepasan hipotek oleh kreditur.
c). Karena pembersihan ( zuivering )yang dilakukan dengan putusan pengadilan.
Yang sering terjadi dalam praktek ialah yang disebut pada sub a) bilamana piutang yang
dijamin dengan hipotek telah dibayar lunas,maka hipotek dengan sendirirnya hapus ( sifat accesoir
dari hipotek ).
Selain daripada yang disebut dalam pasal 1209 KUHPerdata masih ada kemungkinan
kemungkinan lain yang menyebabkan hipotek hapus, antara lain : karena musnah atau hilangnya
kapal laut atau kapal terbang tersebut.
b). Kapal terbang ( Keputusan Menteri Perhubungan SK 13/S/1971)
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU
No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang
serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Hingga saat ini di Indonesia belum di atur mengenai sifat kebendaan dari pesawat terbang,
berbeda dengan kapal laut. Dalam prakteknya, orang menganggap pesawat terbang sebagai
kebendaan yang bergerak, meskipun ia dapat didaftarkan sebagaimana halnya kebendaan-
kebendaan tidak bergerak yang ada dan dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Karena sifat
kebendaan yang di anggap bergerak itu, maka pesawat terbang pada pokoknya hanya akan dapat
dijadikan jaminan dalam bentuk Fidusia. Walau demikian berdasarkan konvensi Geneva 1948
tentang Convention on the International recognition of the in aircraft, diakui secara tegas jaminan
dalam bentuk hipotek (mortgages) atas pesawat terbang. Hal ini tampaknya disadur kembali oleh

99
undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 yang menyatakan secara tegas bahwa Undang-undang
Jaminan Fudisia tersebut tidak berlaku bagi pesawat terbang.167
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di
Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat
terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak
didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
(1) Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
(2) Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga
Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2
(dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha,
atau bentuk perjanjian lainnya;
(3) Dimiliki oleh instansi pemerintah;
(4) Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah.
Selain tanda pendaftaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU
Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula
mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan
diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran
Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi
pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang
dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak
kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangansiapapun benda itu
berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik
dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang
dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau
helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara
lengkap berbunyi sebagai berikut :

167
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., h.99.

100
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan
Indonesia dapat dibebani Hipotek.
(2) Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka disimpulkan oleh Achmad Susetyo dan
Pudyo Bayu Hartawan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui
pembebanan hipotik.168 Lembaga yang berwenang mencatat pendaftaran dan menerbitkan Sertipikat
Hipotik atas pesawat terbang dan helikopter dalam prakteknya diadakan oleh departemen
perhubungan. 169 seperti halnya kapal laut. Tetapi berdasarkan penelitian Achmad Susetyo dan
Pudyo Bayu Hartawan,170 peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas
pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang
Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas
Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas
Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap
pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan
terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang
ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan
Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan
Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor
Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
Sedangkan tata cara pendaftarannya seperti halnya penjaminan kapal laut dalam bentuk
hipotek, maka dalam perjanjian hipotik pesawat terbang dan helikopter beberapa dokumen tersebut
di bawah ini perlu untuk diperhatikan dan dilengkapi:171
a). Surat tanda pendaftaran pesawat terbang;
b). Surat tanda kelaikan udara;
c). Surat tanda kemampuan motor.

Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan, Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang, Blog Achmad
168

Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan. http/mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/pengikatan-jaminan-pesawat-


terbang.html(15 Nopember 2008)

169
Gautama : Pengaruh Perdagangan dan Penanaman Modal Asing terhadap pembaharuan Hukum Nasional,
ceramah pada Seminar Hukum Nasional ke III di Surabaya, hal. 6 dan 9.

170
Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan, loc. cit. .

171
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., h.99.

101
Surat tanda Pendaftaran Pesawat terbang atau Pesawat Terbang, harus dikuasai secara fisik
oleh kreditor. Kedua surat yang disebut terakhir diperlukan untuk menjamin bahwa telah diadakan
pemeriksaan yang baik dan akurat atas pesawat terbang yang dijaminkan, sehingga masih memiliki
arti ekonomis sebagai jaminan, disamping menjamin bahwa pesawat terbang tersebut memang
masih layak dioperasikan, sehingga debitor masih mampu melunasi utangnya kepada kreditor
melalui hasil penerimaan pengoperasian pesawat terbang tersebut.172
Tidak beda dengan jaminan kapal laut secara hipotek, maka pada penjaminan pesawat
terbang ini selain pembuatan perjanjian penjaminan, kreditor perlu juga untuk membuat perjanjian-
perjanjian tersebut di bawah ini :173
a). Perjanjian Pengalihan Hak atas Klaim Asuransi Pesawat Terbang.
b). Perjanjian Pengalihan Hak atas Tagihan Penyewaan Pesawat Terbang yang dimiliki oleh
debitor atas pihak ketiga yang menyewa pesawat terbang debitor
c). Perjanjian gadai atas Perjanjian Penyewaan Pesawat terbang yang di buat oleh debitor
dengan pihak ketiga.
Ketiga perjanjian ini juga dibuat guna melindungi kepentingan kreditor atas kemampuan
debitor guna melunasi utangnya.
Sebagai tambahan dalam UU Penerbangan 2009 (UU No. 1 Tahun 2009) yang baru
ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82, tetapi tetap tidak
menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang. Dengan demikian
sebaiknya sebelum ada yang mengaturnya lebih lanjut pembebanan fidusia juga bisa dibebankan
atasnya apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan, walaupun pembebanan melalui
Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang
secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap atas pesawat terbang.
Fidusia
1) . Dasar Hukum dan Pengertian Fudicia
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, sering
disebut sebagai jaminan hak milik secara kepercayaan, yang keberadaannya didasarkan pada
yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda tanggal 18 Agustus 1932. Berdasarkan putusan ini,
fiducia hanya berlaku bagi benda bergerak, namun dalam prakteknya kemudian orang sudah
menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Yang diserahkan sebagai jaminan adalah
hak milik kepada kreditor (Penerima Fidusia) tetapi barangnya tetap di kuasai debitor (Pemberi
Fidusia)- penyerahan constitutum possessorium. Pada prinsipnya, apabila suatu barang dijaminkan
dengan fiducia berarti kepemilikan atas barang tersebut beralih kepada kreditor, tetapi penguasaan

172
Ibid., h.99.
173
Ibid., h.100.

102
174
barang itu tetap pada debitor. Setelah lahirnya yurisprudensi tersebut lembaga fidusia
berkembang dengan baik disamping gadai dan hipotik.
UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia disahkan dan diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 September 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.168.
Dasar pertimbangan ditetapkannya UU Fiducia adalah:
a). Bahwa kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas
tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang
mengatur mengenai lembaga jaminan;
b). Bahwa jaminan fiducia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan masi didasarkan pada
yurispedensi dan belum diatur dalam preturan perundangan-undangan secara lengkap dan
komperehensif.
c). Bahwa untuk memenuhi kebutuhan hukum yang dapat lebih memacu pembangunan
nasional dan untuk menjamin kepastian hukum serta mampu memberikan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan, maka perlu dibentuk ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fiducia
dan jaminan tersebut perlu didaftarkan di Kantor pendaftaran Fiducia;
d). Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c
dipandang perlu membentuk Undang-Undang Jaminan fiducia.
UU No. 42 Tahun 1999 terdiri atas 8 bab dan 41 pasal. Undang-Undang ini dimaksudkan
untuk:175
a). Menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan jaminan fiducia sebagai salah
satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para
pihak yang berkepentingan;
b). Memberikan kemudahan bagi pihak yang menggunakannya, khususnya bagi pemberi
fiducia, namun sebaliknya karena jaminan fiducia tidak didaftarkan, kurang menjamin kepentingan
pihak yang menerima fudicia karena memberi fiducia mungkin saja menjaminkan benda yang telah
fibebani dengan fiducia kepada pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fiducia.
Pengertian Fiducia menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 1999 adalah :
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
yang hak kepemilikannya diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.
Berikut di bawah ini beberapa istilah yang terkait dengan Jaminan Fidusia, sebagai
berikut :176

174
.Peter Mahmud Marzuki, Tinjauan atas UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia , Mataram, 6-7 Desember 1999,
h.2, lihat juga Salim HS, op. cit., h.126.
175
Salim HS, ibid., h.127.

103
a) Jaminan Fidisia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani dengan hak hak tanggunan.
b) Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran.
c) Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi
objek jaminan fidusia.
d) Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang
yang pembayarannya dijamin dengan fidusia.
e) Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik
dalam mata uang Indonesia atau mata uang lainnya, baik secara lansung maupun
kontinjen.
f) Kreditor adalah adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-
undang.
g) Debitor adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang.
h) Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Dari beberapa istilah di atas, nampak bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia
dimana fidusia merupakan suatu proses hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan
yang diberikan dalam bentuk fidusia.
Objek jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 42 Tahun 1999, sebagai
berikut :
Jaminan fidusia adalah hak atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani Hak
Tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
tanggungan yang tetap berada dalam penguasan pemberi fiducia, sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima
fiducia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan definsi di atas dapat dikemukakan bahwa benda yang dapat dijadikan jaminan
fiducia adalah:
a). Benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud ;
b). Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan,
berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun.
2) . Objek dan Subjek jaminan Fiducia
Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999, maka yang menjadi objek jaminan fiducia
adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan,

176
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., 129.

104
piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor 177 , tetapi dengan berlakunya UU Nomor 42
Tahun 1999, maka objek jaminan fiducia diberikan pengertian yang luas.
Berdasarkan UU ini objek jaminan fiducia dibagi dua macam, yaitu:
a). Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud;
b). Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Hak Tanggungan.
Yang dimaksud dengan bangunan di sini dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun,
sedangkan yang dapat menjadi subjek dari jaminan fiducia adalah pemberi dan penerima fiducia.
Pemberi fiducia adalah perorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan
fiducia, sedangkan penerima fiducia adalah orang perorangan atau korporasi yang mempumyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fiducia.178
3). Pembebanan Fiducia
Pembebenan jaminan fiducia diatur dalam pasal 4-10 UU Nomor 42 Tahun 1999, sifat
jaminan fiducia adalah perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban
bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Pembebanan jaminan fiducia dilakukan dengan
cara berikut ini:179
a). Di buatdengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Akta jaminan sekurang-kurangnya
memuat: (1). Indentitas pihak memberi fiducia dan penerima fiducia;(2). Data perjanjian pokok
yang di jamin fiducia; (3). Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fiducia; (4). Nilai
penjaminan; (5). Nilai benda yang menjadi jaminan fidusia.
b). Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fiducia adalah :(1). Utang yang
telah ada; (2). Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah
tertentu; (3). Utang yang pada utang eksekusi dapat di tentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suau prestasi.
c). Jaminan fiducia dapat di berikankepada lebih dari satu fiducia atau kepda kuasa atau
wakil dari penerima fiducia.
d). Jaminan fiducia dapat di berikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis benda
termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan di berikan maupun yang diperoleh
kemudian. Pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang di peroleh kemudian tidak perlu di
lakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri kecuali diperjanjikan lain, seperti: (1). Jaminan
fiducia, meliputi hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fiducia; (2). Jaminan fiducia,
meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek jaminan fiducia diasuransikan.

177
Ibid., h.128.

178
Ibid. .
179
Ibid., h.128-129.

105
4). Pendaftaran jaminan fiducia
Pendaftaran jaminan fiducia di atur dalam Pasal 11-18 UU Nomor 42 Tahun 1999. Benda
yang dibebani jaminan fiducia wajib didaftarkan. Pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran
fiducia. Untuk pertama kalinya kantor pendaftaran Fiducia didirikan di Jakarta dengan wilayah
kerja mencakup seluruh wilayah RI. Kantor pendaftaran fiducia berada dalam lingkup tugas
Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Prosedur dalam pendaftaran jaminan fiducia di
kemukakan berikut ini :180
a). Penerima fiducia, kuasa atau wakilnya mengajukan permohonan pendaftaran fiducia pada
Kantor Pendaftaran Fiducia, dengan melampirkan pernyataan pendaftaran fiducia. Pernyataan itu
memuat : (1). Indentitas pihak pemberi dan penerima fiducia; (2). Tempat, nomor akta jaminan
fiducia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fiducia; 3).Data
perjanjian pokok yang dijamin fiducia; (4). Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi
objek jaminan fiducia; (5). Nilai penjaminan; (6). Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan
fiducia.
b). Kantor Pendaftaran Fiducia mencatan jaminan fiducia dalam buku daftar fiducia pada
tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
c). Membayar biaya pendaftaran fiducia
d). Kantor Pendaftaran Fiducia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima Fiducia
sertifikat jaminan fiducia pada tanggal yang sama dengan penerimaan permohonan pendaftaran.
Sertifikat jaminan fiducia merupakan salinan dari Buku Daftar Fiducia. Hal-hal yang tercantum
dalam sertifikat jaminan fiducia dikemukakan berikut ini: 181 (1). Dalam judul sertifikat jaminan
fiducia dicantumkan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA. Sertifikat jaminan ini mempunyai kekuatan eksekuatorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Apabila debitor cedera janji,
penerima fiducia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fiducia atas
kekuasaannya sendiri.(2). Di dalam sertifikat jaminan fiducia dicantumkan hal-hal berikut ini : (a).
Identitas pihak pemberi dan penerima fiducia;(b).Tempat, nomor akta jaminan fudicia, nama, dn
tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fiducia; (c).Data perjanjian pokok yang di
jamin fiducia; (d).Uraian mengenai objek benda jaminan yang menjadi objek jaminan fiducia;
(e).Nilai penjaminan; (f).Nilai benda yang menjadi objek benda jaminan fiducia.
e). Jaminan fiducia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal di catatnya jaminan fiducia
dalam buku daftar fiducia.

180
Ibid., h.129-131.
181
Ibid.,h. 130-131.

106
Apabila sertifikat jaminan terjadi perubahan terhadap substansinya maka :(1). Permohonan
pendaftaran atas perubahan diajukan kepada kantor pendaftaran fiducia;(2). Kantor pendaftaran
fiducia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan perubahan, melakukan
pencatatan perubahan tersebut dalam buku daftar fiducia dan menerbitkan pernyataan perubahan
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sertifikat jaminan fiducia (pasal 16 UU nomor 42 tahun
1993) pemberi fiducia di larang melakukan fiducia ulang terhadap benda yang jadi objek jaminan
fiducia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fiducia yang sudah terdaftar keterangan
mengenai benda yang menjadi objek jaminan fiducia yang ada pada kantor pendaftaran fiducia
terbuka untuk umum.
5). Pengalihan fiducia
Pada dasarnya pengalihan hak atas utang (cessi) dengan jaminan fiducia dapat di alihkan
oleh penerima fudicia kepada penerima fiducia baru (kreditor baru). Kreditor baru inilah yang
melakukan pendaftaran tentang beralihnya jaminan fiducia pada kantor pendaftaran fiducia.
Pemberi fiducia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain
benda yang menjadi objek fiducia karena jaminan fiducia tetap mengikuti benda yang menjadi
objek jaminan fiducia dalam tangan siapapun benda tersebut berada pengecualian dari ketentuan ini
adalah bahwa pemberi fiducia dapat mengalihkan atas benda persediaan yang menjadi objek
jaminan fiducia.182
6). Hapusnya jaminan fiducia
Ada tiga penyebab hapusnya jaminan fiducia, yaitu :
a). Hapusnya utang yang di jamin fiducia antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya
utang berupa keterangan yang di buat kreditor.
b). Pelepasan hak atas jaminan fiducia oleh penerima fiducia .
c). Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fiducia (Pasal 25 UU No. 42 Tahun
1999).
Musnahnya benda jaminan fiducia tidak menghapuskan klaim asuransi. Supaya jaminan
fiducia itu dapat di roya maka penerima fiducia memberitahukan kepada kantor pendaftaran fiducia
mengenai hapusnya jaminan fiducia, dengan melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang,
pelepasan hak, atau musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fiducia. Dengan adanya
pemberitahuan tersebut, kantor Pendaftaran Fiducia melakukan pencoretan pencatatan jaminan
fiducia daftar Fiducia. Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fiducia menerbitkan surat keterangan yang
menyatakan Sertifikat jaminan fiducia yasng bersangkutan tidak berlaku lagi.183

Ibid., h.131.
183
Ibid., h.131-132.

107
7). Hak mendahului
Hak mendahului di atur dalam Pasal 27-28 UU Nomor 42 tahun 1999. Yang di maksud
dengan hak mendahului adalah hak penerima fiducia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas
hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fiducia.
Berdasarkan defenisi ini, jelas bahwa hak untuk mengambil pelunasan piutang untuk
diutamakan/didahulukan kepada penerima fiducia, tetapi apabila benda yang sama di jadikan objek
untuk lebih dari satu jaminan fiducia, maka hak yang didahulukan diberikan kepada pihak yang
lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fiducia.184
8). Eksekusi jaminan fiducia
Eksekusi jaminan fiducia di atur dalam Pasal 29-34 UU Nomor 42 Tahun1999. Yang
dimaksud dengan eksekusi jaminan fiducia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi
objek jaminan fiducia.
Penyebab timbulnya eksekusi jaminan fiducia ini adalah karena debitor atau pemberi fiducia
cedera janji (wanprestasi) atau tidak memenuhi prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima
fiducia.
Ada empat cara eksekusi benda jaminan fiducia, dikemukakan berikut ini:185
a). Pelaksanaan title eksekutorial oleh penerima fiducia. Yang dimaksud dengan title
eksekutorial adalah kekuatan eksekusi yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b). Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fiducia atas kekuasaan penerima fiducia
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualannya.
c). Penjualan di bawah tangan yang dilakukak berdasarkan kesepakatan pemberi dan
penerima fiducia, jika dengan cara demikian dapat diperoleh dengan harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan penerima
fiducia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam bulan 2
(dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan (pasal 29 UU Nomor 42
Tahun 1999)
Untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fiducia, maka pemberi fiducia wajib
menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fiducia. Apabila benda yang menjadi objek
jaminan fiducia terdiri atas benda perdagangan atau efek yang dapat dijual di pasar atau di bursa,

184
Ibid., h.132.
185
Ibid., 132-133.

108
penjualanya dapat dilakukan ditempat-tempat tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang jaminan
fiducia, yaitu:186
a). Hasil eksekusi menilai hasil penjaminan, penerima fiducia wajib mengembalikan
kelebihan tersebut kepada pemberi fiducia;
b). Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor atau pemberi fiducia
tetap bertanggung jawab atas utang yang belum dibayar.
Ada dua janji yang dilarang dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan fiducia,yaitu:187
a). Janji melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fiducia dengan
cara yang bertentangan dengan pasal 29 UU Nomor 42 tahun 1999;
b). Janji yang memberi kewenangan kepada penerima fiducia untuk memiliki benda yang
menjadi objek jaminan fiducia apabila debitor cedera janji. Kedua macam perjanjian
tersebut adalah batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap
tidak ada.
c. Gadai
1). Pengertian Gadai (Pand)
Pengertian Gadai (pand) menurut Pasal 1150 KUHPerdata adalah : Sesuatu hak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh yang
berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang untuk mengabil pelunasan dari benda tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang
berpiutang lainnya.
Gadai (begitu pula hipotek) adalah hak kebendaan. Bukan hak utuk menikmati benda seperti
HGB, HGU dan hak pakai , tetapi hak atas benda sebagai barang jaminan. Dengan demikian harus
ada piutang (hak tagihan atau hak perseorangan) barulah ada jaminan. Dengan kata lain : gadai
(begitu pula hipotek) bersifat assesoir, yaitu selalu melekat pada piutang dan tidak mungkin berdiri
sendiri. Karena itu hak gadai otomatis hapus kalau hutang debitor telah dibayar lunas.
Hak-hak kebendaan yang berupa hak kenikmatan adalah hak-hak yang berdiri sendiri.
Sedangkan Gadai (pand) adalah hak kebendaan yang bersifat assesoir, artinya suatu hak tambahan
(ikutan) dari suatu hak utama. Yang dimaksud perjanjian yang utama (pokok) adalah perjanjian
utang piutangnya, sedangkan sebagai sebagai tambahannya ada suatu benda yang dijaminkan bagi
pelunasan utang tertentu.

186
Ibid., h.133.
187
Ibid. .

109
Antara gadai menurut KUHPerdata dan hukum adat, terdapat perbedaan yaitu :Gadai
menurut hukum adat adalah suatu lembaga hukum yang objek jaminannya tidak terbatas atas benda
bergerak, tapi juga atas tanah.
Selanjutnya dalam subbab ini dmaksud dengan istilah gadai ialah gadai menurut
KUHPerdata (Hukum Perdata Barat)
2). Fungsi gadai
Suatu pinjaman uang sudah dijamin pelunasannya oleh Pasal 1131KUHPerdata , sebab pasal
ini mengatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitur menjadi tanggungan atau jaminan untuk
segala hutang-hutangnya. Dan bila tidak ada pengecualian maka semua kreditor mempunyai hak
yang sama atas harta kekayaan tersebut secara perbandingan menurut piutang masing-masing
debitur (Pasal 1132KUHPerdata).
Akan tetapi jaminan umum ini tidak kuat, sebab pada umumnya seorang kreditor tidak
mengetahui keadaan harta kekayaan seseorang debitur dan tidak mengetahui pula hutang debitor
kepada kreditor-kreditor lain. Lagi pula keadaan harta kekayaan debitur tiap saat dapat berubah.
Oleh karena itu undang-undang (KUHPerdata) memberi kemungkinan kepada seorang
kreditur untuk meminta jaminan yang lebih kuat atas sesuatu benda tertentu, sehingga bila hasil
penjualan benda dibagi maka kreditor tersebut didahulukan dari pada kreditor-kreditor yang lain.
Jaminan atas benda bergerak dinamakan gadai, atas benda tetap dinamakan hak tanggungan ( bagi
tanah dan bangunan) dan hipotek (kapal laut dan pesawat terbang).
Seperti halnya hak jaminan lainnya, dalam gadai dikenal asas tak dapat di bagi-bagi
artinya debitor (pemberi gadai) hanya dapat menuntut pengembalian barang gadai setelah ia
melunasi seluruh hutangnya beserta bunga dan biaya-biaya. Jika ia, hanya melunasi sebagaian dari
hutangnya, maka tak dapatlah ia menuntut pengembalian dari sebahagian barang gadai, terkecuali
jika telah di perjanjikan sebaliknya.
Sifat tak dapat dibagi-bagi dari barang gadai bukan saja berlaku antar debitor dan kreditor,
akan tetapi berlaku pula diantara para waris dari debitor dan diantara para waris dari kreditor,
walaupun hutang itu sendiri dapat dibagi-bagi (untuk jelasnya lihat Pasal 1160KUHPerdata).
3.) Objek gadai
Yang dapat menjadi objek gadai adalah:
a). Benda yang bergerak bertubuh (arloji, perhiasan emas, motor,televisi).
b). Benda bergerak yang tak bertubuh yang didimaksud ialah berbagai hak untuk mendapatkan
pembayaran uang, berupa:(1). Surat Piutang aan toonder ( kepada si pembawa); (2). Surat
Piutang aan order (atas petunjuk); (3). Surat Piutang op naam (atas nama ).

110
Oleh karena yang penting dari benda yang menjadi barang gadai ialah nilainya sebagai
barang jaminan, maka dapatlah dimengerti bahwa benda-benda tak bertubuh ini juga dapat
digadaikan.
Seorang kreditur tentu menghendaki bahwa nilai dari pada benda yang digadai lebih tinggi
dari pada jumlah hutang debitor. Dalam dunia perdagangan dan perbankan di luar negeri, sekarang
sudah jauh lebih banyak benda-benda tak bertubuh yang digadaikan (obligasi dan saham-saham).
Sedangkan benda-benda bergerak yang bertubuh (arloji, cincin, gelang, dan sebagainya).digadaikan
oleh perseorangan di rumah gadai (pandhuis).
4). Bentuk Perjanjian gadai
Bentuk perjanjian gadai dalam KUHPerdata tidak diwajibkan dalam bentuk tertulis, jadi
dapat diadakan dengan lisan. Ini dapat disimpulkan dari Pasal 1151KUHPerdata yang mengatakan
bahwa perjanjian gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan sebagai perjanjian pokok.
Hak gadai kreditor belum terbentuk dengan adanya perjanjian gadai, tetapi baru terbentuk
kalau perjanjian gadai itu diikuti oleh penyerahan barang gadai kepada kreditor atau kepada seorang
ketiga yang telah disetujui bersama oleh kreditor-kreditor (Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata).Yang
lebih dipertegas dalam Pasal 1152 ayat (2)KUHPerdata bahwa :Tidaklah sah hak gadai atas benda
yang diberikan tetap dalam kekuasaan debitor atau pemberi gadai, ataupun yang kembali atas
kemauan kreditor.
Dari ayat ini, dan dari kemungkinan bahwa barang gadai dikuasai oleh pihak ketiga, dapat
ditarik kesimpulan bahwa yang penting dan menentukan ialah terlepasnya barang gadai dari
kekuasaan pemberi gadai.9)188
5). Penyerahan gadai
Cara penyerahan gadai berbeda-beda:
a). Benda bergerak yang bertubuh serta piutang yang berbentuk surat toonder: dengan
penyerahan nyata (1152 ayat (1)KUHPerdata )
b). Piutang yang berbentuk surat order: dengan endossemen beserta penyerahan nyata dari surat
itu (1152 KUHPerdata )
c). Piutang atas nama dan saham atas nama : dengan pemberitahuan perihal penggadaian
kepada orang terhadap setiap hak yang digadaikan itu harus dilaksanakan (1153
KUHPerdata).
Jika dicermati pada umumnya penyerahan benda sebagai barang gadai adalah sama dengan
penyerahan benda sebagai peralihan hak milik atas benda. Yang merupakan pengecualian ialah
piutang atas nama, sebab cessie (peralihan utang) terjadi dengan akta cessie sedangkan penggadaian

188
Wirjono Prodjodikoro SH, Hukum Perdata Tentang Hak-hak atas Benda, (cetakan 3) hal. 184.

111
piutang atas nama terjadi dengan pemberitahuan penggadaian tersebut pada orang terhadap siapa
yang digadaikan dilaksanakan.
6). Subyek yang dapat menggadaikan
Yang dapat menggadaikan ialah:
a). Yang berhutang (debitor) sendiri.
b). Seorang lain (pasal 1150KUHPerdata )
Pada umumnya yang menggadaikan ialah yang berhutang sendiri. Perjanjian gadai tentunya
tunduk kepada peraturan-peraturan perihal perjanjian dalam buku III KUHPerdata oleh karena itu
maka sipemberi gadai harus cakap untuk membuat perjanjian (1329 dan 1330 KUHPerdata).
Untuk melindungi kepentingan debitor (pemberi gadai), maka dalam perjanjian gadai tidak
boleh disyaratkan, bahwa kreditur memilki barang gadai apabila debitor tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Jika hal itu dipersyaratkan maka perjanjian gadai batal menurut hukum
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1154 KUHPerdata , yang bertujuan melindungi debitor,
sebagai pihak yang lemah (ekonomi). Pada umumnya barang gadai mempunyai nilai yang lebih
tinggi dari hutang, dan seumpamanya syarat yang tersebut di atas diperbolehkan, maka tiap kreditor
akan mensyaratkannya, sedang seorang debitor yang sangat membutuhkan pinjaman selalu terdesak
untuk menerima syarat atau clausule itu.
Akan tetapi bilamana dibitor sudah lalai dalam pembayaran hutangnya, maka ia tidak berada
lagi dalam kekuasaan kreditor dan karena itu ia dengan bebas ( tanpa tekanan) dapat mengadakan
persetujuan dengan kreditor, bahwa barang gadai menjadi milik kreditor sebagai pembayaran
hutang debitor, dengan atau tanpa kewajiban-kewajiban bagi kreditor untuk mengrestitusi
kelebihan nilai dari barang gadai.
7). Hak-hak Kreditur
Hak-hak kreditur yang timbul dari perjanjian gadai ialah :
a). Hak retensi atau hak untuk menahan barang gadai sampai debitor melunasi hutangnya
beserta bunga dan biaya-biaya hutang maupun biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kreditor untuk
memelihara/menyelamatkan barang gadai. Terkecuali jikalau kreditor menyalah gunakan barang
gadai itu (lihat pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata).
Bila timbul hutang kedua dari debitor kepada kreditor maka hak retensi ini di
perluas, yaitu kreditor mempunyai hak untuk terus menahan barang gadai sampai debitor
melunasi juga hutang kedua itu, beserta bunga dan biaya-biayanya, meski pun tidak ada
perjanjian untuk mengikat barang gadai itu untuk pelunasan hutang kedua. Hanya hutang kedua
itu harus memenuhi persyaratan berikut : (1). Hutang kedua itu di buat sesudah saat pemberian
gadai; (2).Hutang kedua itu dapat ditagih sebelum atau pada hari pembayaran hutang pertama
(lihat pasal 1159 ayat 2 KUHPerdata.

112
b). Hak untuk mendapat pembayaran hutang, baik dari hasil penjualan barang gadai atau barang
gadai itu menjadi miliknya.
Hak ini dalam bahasa Belanda di sebut verhaalsrecht, dan hak inilah menjadi tujuan
pokok dari perjanjian gadai. Tetapi hak ini baru dapat dipergunakan oleh kreditor dalam hal debitor
tidak membayar hutannya sedangkan tenggang waktu yang telah ditetapkan untuk itu telah lampau
atau jika tidak ada tenggang waktu yang di tetapkan setelah dilakukan suatu somasi (peringatan)
untuk membayar hutang.
Hak ini di atur dalam Pasal 1155-1156 KUHPerdata, yang memungkinkan 3 cara
pelaksanaan hak ini, yaitu : (1). Penjualan umum dari barang gadai atas inisiatip kreditor (pasal
1155); (2). Penjualan barang gadai menurut putusan hakim (pasal 1156);(3). Barang gadai menjadi
milik kreditor sebagai pembayaran hutang dengan cara perhitungan menurut keputusan hakim
(1156).
Dalam perjanjian gadai juga dapat di tentukan, bahwa kreditor tidak boleh menjual barang
gadai atas inisiatipnya sendiri. (lihat permulaan kalimat dari pasal 1155 KUHPerdata). Maksud dari
ayat ini bahwa bila debitor lalai dalam pelunasan utangnya, maka kreditor tidak dapat
mengeksekusi (menjual) lansung agunan, tetapi penjualan harus di lakukan dengan persetujuan
pihak debitor. Bila hal itu tidak diperjanjikan sebaliknya maka penjualan di muka umum menurut
kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku lansung dapat
dilaksanakan oleh kreditor.
Selain itu kreditor dapat memohon penjualan barang gadai menurut cara yang di tentukan
oleh hakim. Cara ini dapat di tempuh oleh kreditur, bilamana : (a).Perjanjian gadai tidak di
memperbolehkan eksekusi lansung; (b). Penjualan di bawah tangan akan lebih baik hasilnya
daripada penjualan umum; (c). Kreditur menginginkan barang gadai menjadi miliknya sebagai
pembayaran hutang dengan cara perhitungan menurut keputusan hakim.
Cara yang ketiga (3) ini di tempuh kreditor, bilamana barang gadai jika dijual hasilnya tidak
akan menyenangkan. Dalam hal ini, jika hakim mengabulkan gugatan itu maka ia menafsir nilai
barang gadai itu supaya nilai itu dapat di perhitungkan dengan jumlah hutang beserta bunga dan
biaya-biayanya (pasal 1157 ayat 2KUHPerdata ).
Dalam pelaksanaan salah satu dari ketiga upaya tersebut di atas, jika ternyata bahwa hasil
penjualan atau nilai yang di taksir dari barang gadai ialah melebihi jumlah hutang beserta bunga dan
biaya-biaya, maka kreditor (penerima gadai) wajib menyerahkan kelebihan itu kepada debitor
(pemberi gadai). Sebaliknya, jika ternyata kurang dari pada jumlah hutang beserta bunga dan biaya-
biaya, maka kreditor berhak untuk menagih sisa hutang tersebut dengan status kreditor biasa tanpa
jaminan (concurrente schuldeiser).

113
Selanjutnya kreditor berkewajiban untuk memberitahukan kepada pemberi gadai tentang
penjualan barang gadai atau jatuhyta barang gadai dalam miliknya.(lihat pasal 1156 ayat
2KUHPerdata ).
Perbedaan antara pasal 1155KUHPerdata (cara (1)) dengan pasal 1156KUHPerdata (cara(2)
dan(3)) ialah, bahwa ketentuan dalam pasal 1155KUHPerdata merupakan hukum mengatur, yaitu
hak dapat dikesampingkan dengan adanya perjanjian, sedangkan pasal 1156 KUHperdata
merupakan hukum memaksa, yaitu hak tidak dapat di kesampingkan dalam perjanjian gadai.
c). Kreditor (penerima gadai) berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang
telah dikeluarkan untuk keselamatan barang debitor (Pasal 1157 ayat (2) KUHPerdata).
8). Kewajiban-kewajiban kreditor
Kewajiban-kewajiban kreditor ialah :
a). Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotannya barang gadai, sekedar
itu terjadi karena kelalaiannya.(pasal 1157 ayat (1)KUHPerdata).
(b). Kewajiban untuk memberitahukan kepada pemberi gadai tentang penjualan barang
barang gadai atau jatuhnya barang gadai dalam miliknya.(pasal 1156 ayat(2)KUHPerdata).
c). Kewajiban untuk mempertanggung jawaban hasil penjualan barang gadai dan
menyerahkan kelebihan hasil kepada pemberi gadai (pasal 1150,1155, dan 1156KUHPerdata).
d). Kewajiban untuk mengembalikan barang gadai setelah debitur membayar lunas
hutangnya beserta bunga,biaya hutang dan biaya yang telah di keluarkan oleh kreditur untuk
menyelamatkan barang gadai (pasal 1159KUHPerdata).
9). Hapusnya hak gadai.
KUHPerdata tidak mengatur hapusnya hak gadai secara sistimatis seperti pada hipotek (liha
Bab 21, bagian ke-5 : tentang hapusnya hipotek).
Hak gadai hapus dalam hal-hal berikut :
a). Karena hapusnya perikatan pokok(lihat pasal 1381KUHPerdata), akibat daripada sifat
accessoir hak gadai (bandingkan pasal 1209 sub 1KUHPerdata untuk hipotek).
b). Karena pelepasan hak gadai dengan sukarela (pasal 1152 ayat 2 KUHPerdata bagian
akhir).
c). Karena musnahnya barang gadai.
d). Karena pencampuran, yaitu hak milik dan hak gadai berada dalam satu tangan (lihat
hapusnya hak-hak kebendaan).
e). Apabila barang gadai keluar dari kekuasaan sipenerima gadai (pasal 1152 ayat
(3)KUHPerdata). Tetapi dalam ayat (3) itu di tentukan pula bahwa dalam hal pemegang gadai
kehilangan atau kecurian barang gadai itu, maka ia mempunyai droit de suite (hak untuk

114
menuntut kembali barang-barang itu), dan apabila barang gadai didapatnya kembali, maka hak
gadai di anggap tidak pernah hilang.
f). Apabila kreditur menyalahgunakan barang gadai (pasal 1159 ayat (1) KUHPerdata) pada
umumnya kreditor tidak berhak memakai atau menikmati barang gadai, sehingga tiap pemakaian
dapat berakibat, bahwa debitor berhak menuntut kembali barang gadai( berbeda dengan gadai
menurut hukum Adat)
g). Karena kreditor telah mempergunakan verhaalsrecht-nya(lihat uraian sebelumnya
diatas).

115
BAB VII
HUKUM PERIKATAN/PERJANJIAN

A. Pengertian Perikatan/Perjanjian
1. Pengertian Perikatan
Yaitu suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih diamana pihak yang satu
berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu,contohnya : A menyewa rumah B , maka A berhak menuntut tinggal
sementara di rumah sewaan tersebut dan B berkewajiban untuk menyewakan rumahya pada A
tersebut.
2. Pengertian Perjanjian, menurut :
a. Pasal 1313 KUHPerdata) suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
b. Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji.
Pengertian perjanjian sebagaimana yang diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata. Tidak tepat
oleh karena bukannya satu orang atau lebih mengikatkan diri akan tetapi kedua belah pihak saling
mengikatkan dirinya untuk melakukan sesuatu hal.
Yang dimaksud sesuatu hal yang harus dilakukan adalah sesuatu yang bisa dituntut
(prestasi), berupa :
1). Menyerahkan sesuatu barang (bukang sembarang barang).
2). Melakukan sesuatu perbuatan.
3). Tidak melakukan sesuatu perbuatan.
Jadi, hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan,
tetapi perikatan belum tentu lahir dari perjanjian.

B. Sumber-sumber Perikatan
1. Undang-Undang
Dalam suatu perikatan yang lahir dari undang-undang asas kebebasan membuat perjanjian
tidak berlaku, karena suatu perbuatan yang dilakukan/terjadi tidak memerlukan perjanjian
sebelumnya antara kedua belah pihak.Suatu perbuatan menjadi perikatan karena ditentukan oleh
undang-undang.
Dasar hukum perikatan yang lahir dari undang-undang yaitu : Pasal 1352-1380
KUHPerdata. Untuk terjadinya perikatan yang lahir dari undang-undang harus selalu dikaitkan

116
dengan suatu kenyataan atau peristiwa tertentu sebagaimana makna dari Pasal 1352 KUHPerdata
sebagai berikut :
Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia

Mengacu pada ketentuan di atas, ada dua (2) macam perikatan yang bersumber dari undang-
undang, yaitu :
1). perikatan yang lahir dari undang-undang saja
Yaitu perikatan yang timbul karena adanya hubungan kekeluargaan, misalnya hak dan
kewajiban alimansi (Pasal 104 KUHPerdata jo 41 UUP) , alimentasi (Pasal 46 UUP)
2). Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia
Perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia, dapat dibedakan atas
dua (2) macam, yaitu :
a). Perbuatan manusia yang dibolehkan hukum (rechtmatige daad)
Pasal 1352 KUHPerdata menentukan bahwa perbuatan manusia berdasarkan haknya,
189
meliputi : (1). Perwakilan sukarela (zaakwaar-neming)-diatur dalam Pasal 1354-
1358KUHPerdata, yaitu mengurus kepentingan orang lain tanpa diminta oleh pihak yang diuruskan
kepentinganya, artinya tindakan yang dilakukannya bukanlah suatu kewajiban dari undang-undang;
(2).Pembayaran tak terutang (onverschuldigde betalling)-diatur dalam Pasal 1359KUHPerdata,
bahwa seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa yang telah
dibayarkan, dan yang menerimanya tanpa hak berkewajiban untuk mengembalikan ; dan (3).
Perikatan alam (naturlijke verbintenis)- diatur dalam Pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata, bahwa
perikatan alam yang secara sukarela dipenuhi, tidak dapat dituntut pengembaliannya, misalnya
pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan.
b). Perbuatan manusia yang melanggar hukum (onrechmatige daad)
Pasal 1353 KUHPerdata mengatur tentang perbuatan manusia yang melanggar hukum,
misalnya : A menyenggol telur yang ditenteng B tanpa sengaja hingga pecah. Maka B dapat
menuntut ganti rugi pada A, sedangkan A wajib memenuhi tuntutan B tersebut (Pasal 1365
KUHPerdata).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan dikatakan melawan
hukum apabila memenuhi persyaratan, antara lain :190(1). Perbuatan melawan hukum (onrechmatige
daad); (2). Harus ada kesalahan (schuld); (3). Harus ada kerugian yang ditimbulkan; dan (4).
Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian.

189
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.264.
190
Ibid., h. 265.

117
2. Perjanjian
Pengertian Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah sesuatu perbuatan dimana
seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lainnya.
Menurut ahli hukum terdapat beberapa kelemahan dalam ketentuan Pasal 1313
KUHPerdata, antara lain :191 (1). Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian; (2).
Tidak tampak asas konsensualisme; dan (3). Bersifat dualisme. Sehingga menurut teori baru dalam
setiap perjanjian haruslah berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum192.
Selanjutnya menurut ahli hukum merumuskan, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
perjanjian apabila memenuhi beberapa unsur, antara lain : 193
a. Ada pihak-pihak (subyek), minimal dua pihak
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
c. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan suatu pihak
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
d. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. 194

C. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian


Berdasarkan Pasal 1350 KUHPerdata ditetapkan syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu, :
1). Sepakat mengikatkan dirinya
2). Cakap hukum untuk melakukan suatu perjanjian
3). Mengenai suatu hal tertentu
4). Suatu sebab (causa) yang halal.
Syarat no.1) atau Sepakat mengikatkan dirinya dan Syarat no.2) atau Cakap hukum untuk
melakukan suatu perjanjian di sebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau
orangnya. Sedangkan Syarat no.3) atau Mengenai suatu hal tertentu dan syarat no.4) Suatu sebab
(causa) yang halal di sebut syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
Ad.1). Sepakat
Yang dimaksud dengan sepakat terjadinya persetujuan bebas antara kedua belah pihak
secara ikhlas tentang sesuatu hal .

191
Ibid., h. 243.

192
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan.Persetujuan Tertentu (Bandung : Sumur, 1981
cet.VII), h.11.

193
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.244.
194
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Citra Aditya Bakti,1990), h. 79-80.

118
Kebebasan bersepakat (konsensual) para subjek hukum atau orang, dapat terjadi dengan :
a). Secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau tertulis.
b). Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.
Persetujuan tidak bebas apabila terdapat unsur-unsur di bawah ini:
a). Ada unsur paksaan (dwang), ancaman ada dua macam bentuk yaitu ancaman fisik
seperti : diancam akan ditembak, dan dipaksa (dipegang tangannya untuk menandatangani surat)
dan ancaman psikis seperti diancam akan dibuka rahasianya. Tetapi ada juga ancaman yang
diperkenankan oleh hukum seperti : bila tidak membayar tepat waktu akan dituntut di pengadilan.
b). Kekhilapan (dwaling) , ada macam :(1). Khilaf akan orangnya ( misalnya berjanji
menyewa penyanyi tersohor padahal tidak); (2). Khilaf akan barangnya ( misalnya dikiranya lukisan
Basuki Abdullah padahal bukan); dan
c). Penipuan (bedrog) yaitu suatu pihak dengan sengaja menberikan informasi yang tidak
benar tentang sesuatu.
Bila salah satu pihak melakukan penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dituntut
pembatalannya sampai batas jangka waktu 5 tahun seperti di maksud oleh Pasal 1454 KUHPerdata.
Ad.2) cakap menurut hukum :
Kecakapan bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya
perjanjian yang sah antara pihak. Kecakapan bertindak berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum.
Ada tiga (3) golongan yang tidak cakap menurut hukum (1330 KUHPerdata) yaitu:
a). Belum dewasa
b). Dibawah Pengampuan
c). Isteri yang tunduk pada KUHPerdata (tidak berlaku lagi)
ad. a). Belum Dewasa
Usia kedewasaan berbeda dalam berbagai perundang-undangan. Dalam Pasal 330
KUHPerdata belum dewasa bila anak belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak
lebih dahulu telah kawin.Apabila perkawinan mereka dibubarkan sebelum umur mereka genap dua
puluh satu tahun, maka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Sedangkan dengan
berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 50, ditentukan bahwa:
(1). Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di kekuasaan wali; (2). Perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Berdasarkan rumusan tersebut kedewasaan seseorang dimulai pada umur 18 tahun, yang
menggantikan berlakunya ketentuan serupa dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata yang
menentukan 21 tahun. Maka setelah berlakunya Undang_undang Nomor 1 Tahun 1974, kecakapan

119
bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai
berikut : (1). Jika seseorang : (a). Telah berumur 18 tahun, atau (b). Telah menikah; dan (3).
Seseorang yang telah menikah tapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap 21 tahun
tetap dianggap telah dewasa. (2). Seorang anak yang belum mancapai 18 tahun, dan belum
menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh : (a). Orang tua, dalam hal ini, anak
tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua ( ayah dan ibu sacara bersama-sama); atau (b).
Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya ( artinya
hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
Ad. b). Di bawah pengampuan.
Ketentuan tentang pengampuan terdapat dalam pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa :
setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap
ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap dalam mempergunakan
pikirannya.Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Dengan diletakkannya orang-orang tersebut dalam pasal 433 KUHPerdata di bawah


pengampuan, maka segala tindakan orang-orang yang berada di bawah pengampuan tersebut harus
dilaksanakan dengan wali pengampuhnya atau dikenal juga dengan istilah kurator, yang demi
hukum bertindak untuk dan atas nama orang yang diampu oleh wali pengampuh (kurator) tersebut.
c). Isteri yang tunduk pada KUHPerdata( sekarang tidak berlaku lagi).
Dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 31 ayat (1), berbunyi :
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Maka kekuasaan suami pada isteri dalam Pasal 108 KUHPerdata yang menentukan tidak
dapatnya seorang isteri melakukan perbuatan hukum sendiri seperti menghibahkan,
memindahtangankan, menggadaikan dan memperoleh apapun tanpa bantuan suaminya, berakhir.
Dengan demikian, seorang isteri sudah dianggap cakap hukum hukum untuk melakukan
perbuatan hukum sendiri.
Kelahiran UUP menganut asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami isteri dalam
rumah tangga, pergaulan masyarakat dan hukum.
Ad.3). Suatu hal tertentu
Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer ialah suatu hal
tertentu. Rumusan tentang suatu hal tertentu tersebut terdapat dalam Pasal 1333 KUHPerdata,
yang berbunyi sebagai berikut :
Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang
paling sedikit ditentukan jenisnya.

120
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu
kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, nampak bahwa yang dimaksud dengansuatu hal
tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya harus dipastikan sebelum terjadi
perjanjian.
Rumusan tentang suatu hal tertentu dalam Pasal 1333 KUHPerdata, diperluas cakupannya
oleh Kartini Muladi sebagai berikut : 195
Secara sepintas, dengan rumusan pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan
jenisnya tampaknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menekankan ...pada
perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun jika diperhatikan lebih
lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis
perikatannya, baik perikatan memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya hendak menjelaskan bahwa semua jenis
perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan
tertentu.

Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan
suatu perikatan tertentu tersebut haruslah sesuatu yang telah ditentukan secara pasti. Dalam jual beli
misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai kebendaan yang dijual atau
dibeli harus telah ditentukan terlebih dahulu bendanya, contohnya jual beli sebuah sepeda motor,
maka harus ditentukan merek sepeda motor tersebut, kapasitasnya secara spesifikasi lain yang
melekat pada kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan menerbitkan
keraguan sepeda motor lainnya yang serupa tetapi bukan yang dimaksudkan.196
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah
juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun
kebendaan yang tak berwujud. Dalam perjanjian penanggungan utang misalnya, seorang
penanggung yang menanggung utang seorang debitor, harus mencantumkan secara jelas utang mana
yang ditanggung olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh dapat dan baru diwajibkan
untuk memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wan prestasi dari pihak
debitor.197 Pasal 1824 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa :
Penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan pernyataan yang
tegas. Tidaklah diperbolehkan untuk memperluas penanggungan hingga melebihi ketentuan-
ketentuan yang menjadi syarat sewaktu mengadakannya.

195
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2006) , h..155.

196
Ibid., h.156.
197
. Ibid., h.157.

121
Lebih jauh lagi misalnya tentang pemberian kuasa, yang diatur dalam Bab XVI Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, meskipun dalam ketentuan pasal 1796 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ditentukan bahwa :
Pemberian kuasa yang ditentukan secara umum hanya meliputi tindakan tindakan yang
menyangkut pengurusan. Untuk memindah tangankan barang atau meletakkan hipotek
diatasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya
dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang
tegas.

Ketentuan ini, tidaklah berarti tidak ada suatu hak tertentu dari pemberian kuasa yang harus
dijalankan, dipenuhi atau dilaksanakan oleh penerima kuasa. Hak pengurusan yang bersifat umum
ini adalah suatu kebendaan yang menurut ketentuan Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang telah harus ditentukan. Rumusan pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa :
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai suatu kepentingan
tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa.
Jadi jelaslah, bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
dimaksudkan dengan kebendaan yang telah ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan
untuk memberikan sesuatu, melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga
perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.198
Ketentuan Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: hanya
kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian.
Pada dasarnya hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini,
yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta
kekayaan.199 I
Ad.4). Suatu sebab (causa) yang halal.
Sebab (causa)yang halal diatur dalam Pasal 1335- 1337 KUHPerdata. Pasal 1335
KUHPerdata menyatakan bahwa :
suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidaklah mempunya kekuatan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian dari sebab yang
dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah :200

198
. Ibid. .

199
. Ibid., h.158.
200
Ibid. , h.161.

122
a). Bukan tanpa sebab
b). Bukan sebab yang palsu
c). Bukan sebab yang terlarang.
Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada dalam benak, ataupun hati
seseorang. Yang diperhatikan oleh hukum adalah yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi
perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam perjanjian tersebut.201 Oleh karena
itu, maka selanjutnya dalam pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan lebih lanjut bahwa :
Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak dilarang, atau jika ada sebab
lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah.

Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang
tidak terlarang,202 sebaimana tertera dalam pasal 1337 KUHPerdata bahwa :
Suatu sebab yang terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan
denga kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang
merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang
merupakan unsure esensialia atau yang terikat erat dengan unsur esensialia dalam perjanjian
tersebut, yang tanpa adanya unsur esensilia tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut dibuat oleh
para pihak.203
Dengan demikian, berarti apa yang disebut dengan sebab yang halal dalam pasal 1320 jo.
Pasal 1337 KUHPerdata tidak lain dan tidak bukan adalah prestasi dalam perjanjian yang
melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa ada prestasi
yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada
diantara para pihak.204

D. Macam-macam Perikatan
1. Perikatan yang bersyarat
Perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari yang masih belum tentu
akan terjadi. Misalnya, saya menjual mobil jika saya lulus ujian.
2. Perjanjian yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu.

201
Ibid. .

202
Ibid., h.162.

203
Ibid., h.163.
204
Ibid., h.164.

123
Perjanjian yang di gantungkan pada kejadian di kemudian hari yang pasti terjadi . misalnya ,
saya akan menjual mobil saya jika ayah saya meninggal dunia.
3. Perikatan yang membolehkan memilih
Perikatan yang membolehkan memilih antara dua jenis prestasi ( pelunasan) misalnya,
dibayar dengan uang atau barang yang senilai dengan uang.
4. Perikatan tanggung menanggunng.
Perikatan dimana banyak orang secara tanggung menanggung membayar utang kepada si
berpiutang.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat di bagi tergantung dari dapat atau tidaknya
dibagi-bagi prestasi. misalnya, saya berjanji untuk menjual seekor kerbau. untuk pembayaran
pertama dengan satu kakinya dulu daqn pembayaran kedua dengan kaki yang lainnya dan
seterusnya.
6. Perikatan dengan penetapan hukum.
Perikatan yang sebelumnya ditentukan hukumnya. misalnya, apabila pembeli tidak
membayar pada tanggal yang ditentukan ia harus didenda.

D. Hapusnya Perikatan
Hapusnya perikatan menurut pasal 1381 KUHPer terjadi karena 10 penyebab, yaitu:
1. Pembayaran(betaling)
2. Konsignasi yaitu penawaran pembayaran tunai oleh penyimpanan artinya, yang akan
dibayarkan itu telah di simpan di tempat tertentu atau ditempat kreditor untuk diambil
sebagai pelunasan jika sampai waktunya.
3. Pembaharuan hutang. artinya perjanjian baru yang menghapuskan perikatan lama.
4. Kompensasi atau perhitungan utang timbal balik. artinya, kedua belah pihak sama-sama
punya utang yang jumlahnya sama.
5. Pencampuran utang. misalnya, orang yang berpiutang kawin dengan orang yang berhutang
akhirnya hutang lunas karena percampuran kekayaan atau orang yang berhutang
menggantikan kedudukan orang yang berpiutang dalam pewarisan.
6. Pembebasan hutang artinya, orang yang berpiutang membebaskan utang orang yang berutang.
7. Hapusnya barang dalam objek perjanjian, misalnya hapusnya barang yang diperjanjikan itu
karena larangan pemerintah, seperti larangan berdagang bawang putih dari Malaysia.
8. pembatalan perjanjian.
9. Berlakunya suatu syarat pembayaran yang di atur dalam bab 1 Buku III KUHPerdata
10. Lewat waktu (daluwarsa).

124
BAB VIII

HUKUM WARIS

A. Pengertian hukum waris


Istilah hukum waris (barat) berasal dari bahasa Belanda yaitu erfrecht. Pengaturan Hukum
Waris terdapat dalam Pasal 830-1130KUHPerdata dan ditempatkan dalam buku II tentang benda,
dengan alasan:
a. Hak mewaris diidentikkan dengan hak kebendaan sebagaimana diatur dalam pasal 528
KUHPerdata.
b. Hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, yang dirumuskan
dalam pasal 584 KUHPerdata.
Penempatan hukum waris dalam buku II KUHPerdata tersebut diatas, menimbulkan reaksi
dikalangan para ahli hukum. Para ahli hukum berpendapat, bahwa dalam hukum waris tidak hanya
terdapat aspek hukum benda saja, tetapi terdapat juga aspek-aspek yang lainnya, meskipun tidak
dapat disangkal bahwa sebenarnya hukum waris termasuk dalam hukum harta.205
Dalam KUHPerdata, tidak ditemukan pengertian tentang hukum waris. Pasal 830
KUHPerdata pada intinya hanya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur
kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, terutama berpindahnya
harta kekayaan seseorang itu kepada orang lain.206Pengertian hukum waris hanya dikemukakan oleh
beberapa ahli hukum dan hukum lainnya.
Beberapa pengertian hukum waris , antara lain menurut :
a. Hukum kodifikasi
Hukum waris berupa perangkat ketentuan hukum yang mengatur akibat-akibat hukum
umumnya di bidang hukum harta kekayaan karena kematian seseorang, yaitu pengalihan
harta yang ditinggalkan si mati beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi para
penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar mereka dengan pihak
ketiga.
b. Subekti
Hukum waris adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseong meninggal
dunia kepada satu atau beberapa orang lain.

205
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat.Pewarisan Menurut Undang-
Undang ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2006) , h.9.
206
CST Kansil dan Christine ST Kansil, op. cit., h.143.

125
c. Vollmar
Hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang
terhadap harta kekayaan.
d. Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), Pasal 171 huruf a.
Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
penunggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagian masing-masing.
Subyek hukum waris dalam KUHPerdata hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau
menundukan diri kepada KUHPerdata. Mereka yang tunduk kepada KUHPerdata, khususnya
mengenai hukum waris ialah Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa, imbas dari
pluralisme yang ditimbulkan Pasal 35-37 dan 66 UUP.
Hukum waris sama halnya dengan hukum perkawinan merupakan bidang hukum yang
sensitif atau rawan. Keadaan inilah yang mengakibatkan sulitnya diadakan unifikasi di bidang
hukum waris. Unifikasi yang menyeluruh dalam perkawinan khususnya yang berkaitan dengan
hukum waris tidak mungkin dicapai.
Berdasarkan beberapa pengertian hukum waris tersebut, dapat ditarik tiga (3) unsur dalam
pewarisan sebagai berikut :
a. Ada Pewaris
Yaitu orang yang meninggal dunia secara alamiah sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 830 KUHPerdata, tetapi dalam prakteknya orang yang meninggal dunia secara yuridispun
harta warisannya sudah dapat dibagi-bagi dengan persyaratan tertentu.
b. Ada harta warisan
Dalam KUHPerdata yang dapat diwarisi ahli waris meliputi semua hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dari pewaris.
Dengan demikian ahli waris menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal.
Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja.
Kekayaan berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada
para ahli waris. Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama
ahli waris disebut boedel. Harta peninggalan selain berupa hak-hak kebendaan yang nyata ada ,
dapat juga berupa tagihan-tagihan atau piutang-piutang dan dapat juga berupa sejumlah utang-utang
yang melibatkan pihak ketiga (hak perorangan).
Selain tersebut diatas, terdapat juga hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan yang
tidak beralih, misalnya: 207

207
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, op. cit., h. 8.

126
a. Hubungan kerja atau hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan yang sifatnya sangat
pribadi, mengandung prestasi yang kaitannya sangat erat dengan pewaris. Contoh: hubungan
kerja pelukis, pematung, sebagaimana diatur dalam pasal 1601 dan pasal 1318 KUHPerdata,
b. Keanggotaan dalam perseorangan, sebagaimana diatur dalam pasal 1646 ayat (4) KUHPerdata,
d. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya orang yang memberi kuasa, diatur dalam pasal
1813 KUHPerdata,
e. untuk menikmati hasil orang tua/wali atas kekayaan anak yang dibawah kekuasaan orang tua
atau dibawah perwalian, berakhir dengan meninggalnya si anak, diatur dalam pasal 314
KUHPerdata,
f. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang memiliki hak tersebut, diatur dalam
pasal 807 KUHPerdata.
Sebaliknya ada juga hak dan kewajiban di bidang hukum keluarga yang ternyata dapat
diwariskan, misalnya: 208
a. Hak suami untuk menyangkal keabsahan anak, ternyata dapat dilanjutkan oleh para ahli
warisnya, sebagaimana diatur dalam pasal 257 jo. Pasal 252 jo. Pasal 259 KUHPerdata,
b. Hak untuk menuntut keabsahan anak dapat pula dilanjutkan oleh para ahli warisnya, kalau
tuntutan tersebut sudah diajukan oleh anak yang menuntut keabsahan, yang sementara
perkaranya berlangsung telah meninggal dunia. Hal-hal yang diatur dalam pasal 269,270,dan
pasal 271 KUHPerdata, secara garis besar menetapkan bahwa seorang anak dapat mewujudkan
tuntutan agar ia oleh pengadilan dinyatakan sebagai anak yang sah.
Sementara hak dan kewajiban yang bersifat pribadi atau yang bersikap hukum keluarga
(misalnya suatu perwalian) tidaklah beralih.
c. Ada ahli waris
Adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan
pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya pewaris, baik karena penunjukan
undang-undang maupun karena pewasiatan.
Orang yang mewaris disebut pewaris ( erflater ), orang yang menerima warisan karena
hubungan darah yang ditentukan dalam undang-undang disebut ahli waris (erfgenaam) sedangkan
orang yang menerima warisan karena wasiat disebut waris berwasiat (legataris) dan bagian warisan
yang diterima oleh legataris disebut legaat.
Tetapi tidak mutlak semua ahli waris berhak menerima harta warisan dari pewaris. Ada lima
(5) alasan ahli waris tidak berhak mendapatkan warisan dari pewaris yaitu:
a. Membunuh/ mencoba membunuh pewaris (Pasal 838 KUHPerdata)

208
Ibid. .

127
b. Menfitnah/mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan dengan
ancaman hukuman di atas 5 tahun (Pasal 838 ayat 2 KUHPerdata)
c. Orang tersebut memaksa untuk membuat/ menggugurkan surat wasiat (Pasal 838 ayat 3
KUHPerdata)
d. Orang tersebut menggelapkan, merusak, memalsukan surat wasiat pewaris (Pasal 838
ayat 4 KUHPerdata)
e. Menolak untuk menjadi ahli waris (Pasal 1057 KUHPerdata)

B. Terjadinya pewarisan
Pewarisan terjadi karena dua hal, yaitu : karena ditunjuk undang-undang (ab-intestaat) dan
wasiat (ad-testamento)
1. Undang-undang (ab- intestaat)
Pewarisan menurut undang-undang ialah pembagian warisan kepada orang-orang yang
ditunjuk lansung oleh undang-undang, baik karena mempunyai hubungan darah yang terdekat
dengan pewaris maupun karena terjadinya perkawinan dengan si pewaris. Hubungan kekeluargaan
sampai derajat tertentu yang berhak menerima warisan oleh undang-undang
Pada pewarisan menurut undang-undang terdapat pengisian tempat ( plaatsvervulling )
artinya apabila ahli waris yang berhak langsung menerima warisan, telah mendahului meninggal
dunia atau karena sesuatu hal dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris; maka anak-anaknya berhak
menggantikan menjadi ahli waris dan demikianlah seterusnya.
Apabila si pewaris yang meninggal dunia tidak meninggalkan keturunan, suami atau isteri
maupun saudara-saudara, maka terjadilah pecah dua (kloving), artinya warisan harus dibagi dalam
dua bagian yang sama yaitu satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah menurut garis pancar
bapak lurus ke atas dan satu bagian lain untuk keluarga yang sama garis pancar ibu.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa kewarisan berdasarkan penunjukan undang-
undang terjadi karena :
a. Haknya sendiri
b. Penggantian
Syarat-syarat penggantian yaitu :
1). Yang diganti mati terlebih dahulu dari pewaris
2). Yang mengganti adalah keturunan sah dari yang diganti
3). Yang mengganti adalah anak dari orang yang berada disamping orang-orang yang berhak
lainnya.

128
2. Wasiat (Testamen)
a. Pengertian wasiat ( testamen )
Dalam Pasal 875 KUHPerdata yang dimaksud wasiat (testamen) adalah suatu akta yang
memuat pernyataaan seseorang tentang apa yang dikehendaki agar terjadi setelah ia meninggal
dunia, dan olehnya dapat dicabut kembali.
Pewarisan berdasarkan wasiat merupakan pembagian warisan kepada orang-orang yang
berhak menerima warisan atas kehendak terakhir ( wasiat ) si pewaris. Wasiat itu harus dinyatakan
dalam bentuk tulisan misalnya dalam akta notaris (warisan testamenter).
b. Unsur-unsur testamen :
1). Akta, artinya testamen yang harus dibuat dalam bentuk akta (tertulis). Jadi dapat dibuat
dalam bentuk : akta otentik dan akta di bawah tangan;
2). Pernyataan kehendak, artinya pernyataan kehendak terakhir dari si pembuat testamen
dan merupakan tindakan hukm sepihak (jadi hukum merupakan perjanjian) karena
testamen tidak ada kata sepakat.
3). Apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia. Artinya testamen berlaku setelah si
pembuat surat wasiat telah meninggal dunia.
4). Dapat dicabut kembali. Artinya, surat wasiat itu dapat dicabut kembali oleh si pembuat
surat wasiat, pada saat masih hidup.
c. Bentuk-bentuk surat wasiat :
1). Olografis, adalah surat wasiat yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani sendiri
oleh testateur (pembuat wasiat) kemudian dibawa ke notaris yang disaksikan dua saksi,
kemudian notaris membuat surat penyimpanan surat wasiat itu (akta van depot).
2). Surat wasiat umum adalah surat wasiat yang dibuat oleh testateur dihadapan notaris atas
pembimbing notaries;
3). Surat wasiat rahasia adalah surat wasiat yang dibuat dan ditanda tangani sendiri oleh
testateur kemudian dibawa ke notaris dalam keadaan tertutup (tersegel)

C. Asas hukum waris


Asas hukum waris antara lain :
a. Golongan ahli waris terdekat menutup golongan ahli waris terjauh, kecuali ada kloving.
b. Derajat keluarga terdekat tidak pasti menutup derajat keluarga terjauh.
c. Hanya hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda yang dapat
diwariskan.

129
d. Apabila seseorang meninggal, 209 maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya
beralih kepada ahli warisnya.

D. Golongan-Golongan ahli waris


1. Ahli waris golongan I adalah :
a. suami/istri)
b. Anak-anak dan keturunan sahnya
2. Ahli waris golongan II adalah :
a. Orang tua
b. Saudara-saudara sekandung/tiri dan keturunan sahnya
3. Ahli waris golongan III adalah :
a. Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari pihak bapak (kakek, nenek dari bapak ke
atas).
b. Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari pihak ibu (kakek, nenek dari ibu ke atas).
4. Ahli waris golongan IV adalah :
a. Keluarga sedarah dalam garis menyimpang dari pihak bapak sampai derajat ke enam
(saudara sepupu dari bapak)
b. Keluarga sedarah dalam garis menyimpang dari pihak ibu sampai derajat ke enam (saudara
sepupu dari ibu)

E. Pembagian warisan :
1. Golongan I
Syaratnya :
a. Anak dan istri I yaitu mendapat bagian yang sama kepala demi kepala
b. Istri II mendapat bagian dengan syarat :
1). Tidak boleh mendapat lebih besar dari bagian terkecil seorang anak.
2). Tidak boleh mendapat lebih bagian dari jumlah warisan.
2. Golongan II
Syaratnya :
a. Jika bapak atau ibu saja, maka ia mendapat semuanya
b. Jika bapak bersama ibu, maka masing-masing mendapat nya
c. Jika bapak dan ibu bersama 1 saudara, maka masing-masing dapat 1/3nya
d. Jika bapak dan ibu bersama 2 atau lebih saudara, maka bapak dan ibu masing-masing
mendapat nya

209
Subekti, op. cit., h.96.

130
e. Jika bapak saja atau ibu saja bersama 2 saudara, maka masing-masing mendapat 1/3nya
f. Jika bapak saja atau ibu saja bersama 3 saudara, maka masing-masing nya.
3. Golongan III
Syaratnya : Dalam pembagian warisan golongan III terjadi kloving (pemecahan) menjadi 2
dan setiap garis mawaris secara berdiri sendiri.
4.Golongan IV
Syaratnya : Dalam pembagian warisan golongan IV terjadi kloving (pemecahan) menjadi 2
dan setiap garis mewaris secara berdiri sendiri.
e. Golongan anak luar kawin
Syaratnya :
a. Anak luar kawin bila mewaris bersama golongan I ia mendapat 1/3 dari yang
semestinya dia peroleh seandainya anak sah.
b. Anak luar kawin mewaris bersama golongan II dan III ia mendapat dari harta
c. Anak luar kawin mewaris bersama golongan IV ia mendapat dari harta
Apabila anak luar kawin mewaris bersama dengan golongan berbeda-beda maka ia
mendapat bagian berdasarkan golongan terdekat, dan apabila anak luar kawin tersebut lebih dahulu
daripada pewaris dapat digantikan tempatnya oleh anak sahnya.
Penggantian anak luar kawin ,syaratnya :
- Anak luar kawin tersebut telah diakui sebagai anak sah
- Anak luar kawin itu digantikan oleh anak sahnya.

F. Legitieme portie
1. Pengertian Legitim Porsi
Legitim porsi ialah bagian mutlak dari bagian harta peninggalan yang harus diberkan
kepada ahli waris menurut UU. Legitim Porsi biasanya disingkat LP.
Yang harus menerima Legitim Porsi, syaratnya :
a. Mereka harus ahli waris dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
b. Mereka yang benar-benar terpanggil untuk mewaris berdasarkan UU pada saat
matinya pewaris.
Contoh 1 :
Pewaris meninggal dan meninggalkan :
A dan B : ibu dan ayah
C : Istri
D dan E : anak-anak

131
Siapakah diantara mereka yang mempunyai Legitim Porsi? Kita harus memperhatikan
syarat-syaratnya tersebut diatas.
A, B, D dan E adalah anggota keluarga dalam garis lurus.
C bukan anggota keluarga dalam garis lurus.
A dan B bukan ahli waris yang terpanggil oleh Undang-Undang karena A dan B (golongan
II) tertutup oleh D, E dan C (golongan I).
Jadi dapat mendapat Legitim Porsi, berdasarkan syarat-syarat tersebut adalah hanya D dan E saja.
Contoh 2 :
P = Pewaris,meninggalkan
A dan B = orang tua (golongan II )
C = istri (golongan I)
D dan E = anak-anak (golongan I) tetapi meninggal dunia terlebih dahulu dari P, maka
yang memperoleh warisan adalah C seluruhnya, karena A dan B berada pada
Golongan II sehingga tidak mendapat Legitim Porsi karena tertutup oleh C
yang berada pada Golonga I.
2. Besarnya Legitim Porsi (LP)
Besarnya Legitim Porsi ahli waris menurut pasal 914 KUHPerdata sebagai berikut:
a. Keturunan
1) Jika hanya 1 orang anak, maka LP-nya = dari yang sedianya diterima seandainya
mewaris menurut UU
2) Jika 2 orang anak, maka LP-nya masing-masing = 2/3 dari yang sedianya diterima
seandainya mewaris menurut UU (masing-masing).
3) Jika 3 atau lebih orang anak, maka LP-nya masing-masing dari yang sedianya
diterima seandainya mewaris menurut UU.
4) dalam Legitim Porsi juga dikenal penggantian tempat.
b. Orang tua ke atas
Orang tua keatas mendapat,masing-masing dari apa yang sedianya masing-masing
diterima menurut UU.
c. Anak luar kawin
Anak luar kawin mendapat Legitim Porsi sebesar dari bagian yang sedianya diterima
seandainya mewaris menurut UU.

132
BAB IX
YURISPRUDENSI HUKUM PERDATA

A. Istilah dan pengertian


Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formil di Indonesia. Sebagai sumber
hukum maka segala keputusan yang terdapat dalam putusan tersebut mengikat dan memaksa untuk
dipatuhi oleh yang ditunjuk dalam putusan tersebut.
Istilah yurisprudensi berasal dari kataJurisprudentia(latin) yang berarti pengetahuan hukum
(rechtgeleerdheid). Sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan jurisprudentia(Belanda)
dan Jurisprudence (Perancis) yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. Hal ini berbeda
dengan kata Jurisprudence (Inggris) yang berarti teori ilmu hukum(algemene rechtsleer, atau
generale theory of law). Sedangkan untuk Yurisprudensi dipergunakan istilahcase law atau judge
made law.210
Yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar
keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Hal ini berarti pula bahwa
yurisprudensi adalah hasil penetapan seorang hakim terhadap masalah atau perkara yang
dihadapinyadan yang merupakan hasil ijtihad-nya karena untuk perkara tersebut, tidak ada undang
undang yang mengaturnya atau kurang jelas undang undangnya yang kemudian diikuti oleh
hakim yang lain. Istilah yurisprudensi di Indonesia, sering digunakan juga untuk menyebut
kumpulan putusan pengadilan.211
Dasar hukum yurisprudensi di Indonesia ini merujuk pada Pasal 14 dan Pasal 27 Undang
Undang Pokok kekuasaan Kehakiman. Yang telah diubah dengan Pasal 16 dan Pasal 28 UU NO. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (baru).
Pasal 16 menyatakan:
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan megadilinya.
Pasal 28 menyatakan:
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib mengadili, mengikuti dan memahami
nilai nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

210
Titik Triwulan Tutik, op. cit., h.351.

211
Ibid., h.352.

133
1. Sifat dan Asas Yurisprudensi
a. Sifat Yurisprudensi
Berdasarkan sifat berlakunya, suatu yurisprudensi, terdiri dari: 212
1) Yurisprudensi tetap
Yurisprudensi tetap, yaitu keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa
dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk mengambil keputusan.
2) Yurisprudensi tidak tetap
Yaitu keputusan hakim yang terjadi hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil
sesuatu keputusan mengenai suatu perkara serupa.
b. Asas Yurisprudensi
Suatu yurisprudensi hanya dapat berlaku pada perkara yang bersangkutan saja. Oleh karena
itu yurisprudensi tidak mengikat kepada hakim dalam menagani perkara di masa mendatang.
Dengan kata lain bahwa hakim bebas untuk mengikuti atau tidak mengikuti suatu yurisprudensi
dalam menangani suatu perkara. Berdasarkan hal tersebut terdapat dua (2) asas yang dianut dalam
setiap yurisprudensi, yaitu asas preseden, dan asas bebas.
1) Asas Preseden
Pada dasarnya dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus berdasarkan
putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan lain dari perkara
sejenis sebelumnya. Hal ini mengandung arti bahwa hakim terikat kepada keputusan
hakim yang telah lalu dari hakim yang sama derajatnya (Asas Preseden).
Dengan dianutnya ajaranthe doctrine of precedent atau stare decist pada common law,
maka dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada
prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara yang sejenis sebelumnya
(precedent). Tetapi dalam hal itu, belum ada putusan hakim lain yang serupa, atau putusan
pengadilan yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka hakim dapat
menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common
sense) dengan pertimbangan yang penuh tanggungjawab.213
Asas Preseden berlaku berdasarkan 4 (empat) faktor, yaitu:214
a) Penerapan dari peraturan yang sama pada kasus kasus sama meghasilkan perlakuan
yang sama bagi siapa saja;

212
Ibid., h.353.

213
Ibid.
214
Ibid., h.353.

134
b) Mengikuti precedent secara konsisten dapat menyumbangkan pendapatnya dalam
masalah masalah di kemudian hari.
c) Penggunaan kriteria yang menatap untuk menetapkan masalah masalah yang baru
dapat menghemat waktu dan tenaga;
d) Menghormati kebijaksanaan dan pengalaman dari pengadilan pada generasinya
sebelumnya;
2). Asas Bebas
Dalam hal tidak ada putusan hakim dari perkara atau putusan hakim lain dari
perkara atau putusan hakim yang telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan jaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai
nilai keadilan, kebenaran dan akan sehat (cammon sense) yang dimilikinya.
Dengan demikian pasa asas bebas ini mengandung makna bahwa pengadilan
[hakim] tidak terikat pada putusan hakim sebelumnya.
2. Penyebab Hakim Menggunakan Putusan Hakim lain
Sebab-sebab seorang hakim mempergunakan putusan hakim lain antara lain :215
a. Pertimbangan Psikologis
Karena keputusan hakim mempunyai kekuatan hukum terutama keputusan Pengadilan
Tinggi dan Mahkama Agung, biasanya hakim bawahan segan untuk tidak mengikuti
putusan tersebut.
b. Pertimbangan Praktis
Karena kasus yang sama, dan sudah pernah dijatuhkan putusan oleh hakim terdahulu-
terlebih apabila putusan tersebut sudah dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung, maka dianggap oleh hakim setelahnya bila menyangkut kasus yang
sama lebih praktis bila lansung mengikuti putusan hakim sebelumnya. Dengan
pertimbangan menciptakan yurisprudensi baru belum tentu dibenarkan dalam tingkat
banding dan kasasi, terlebih apabila yurisprudensi baru tersebut di buat oleh hakim yang
lebih rendah tingkatan peradilannya.
c. Pendapat yang sama
Antara hakim yang belakangan dan hakim terdahulu yang menangani kasus yang sama
modelnya mempunyai pandangan yang sama. Apalagi bila pandangan tersebut
didasarkan pada isi dan tujuan suatu perundang-undangan sudah tidak sesuai lagi
dengan keadaan nyata dalam mayarakat.

215
Soeroso, Pengantar, h.161.

135
3. Nilai dan Arti Pentingnya Yurisprudensi
Ditinjau dari berbagai segi aliran-aliran hukum, nilai dan arti pentingnya sebagai berikut :216
a. Aliran Legisme
Bertolak dari ajaran Trias Politika Montesquieu 217 , aliran legis ini hanya mengakui
keberadaan hukum tertulis (ius scriptun) yaitu undang-undang sebagai sumber hukum tertulis. Di
luar perundang-undangan tidak ada hukum, karena pembuat undang-undang menganggap substansi
yang diaturnya sudah lengkap (sempurna).
Aliran legisme berpandangan bahwa undang undang sudah sempurna mengatur berbagai
hal. Dengan demikian hakim tinggal membuka-buka buku perundang-undangan yang telah
disediakan oleh pembuat undang-undang untuk menyelesaikan suatu perkara (kasus). Hakim dalam
melaksanakan tugasnya hanya sebagai corong atau terompet undang-undang atau dalam bahasa
Prancisnya : les judges de la nation ne somt, gue la bouche qui pronounce les paroles de laloi, des
etres inanimes qui nen peuvent moderer ni la force ni la rigueur (Dalam model negara ini, hakim
hanya merupakan suatu terompet pembuat undang-undang).
Berdasarkan uraian di atas, nampak maksud dari aliran legisme tersebut supaya terjadi
kepastian hukum dalam menangani berbagai kasus yang sama.Karena hakim hanya sebagai
penyambung lidah dari undang-undang, penemuan hukum hakim tidak dibutuhkan dalam peradilan.
Ternyata setelah berjalan lebih kurang 40-50 tahun di negara-negara Eropa Barat seperti
Prancis (terutama), Belgia, Swiss, Jermn, Belanda), menunjukkan kekurangannya. Berbagai
permasalahan yang timbul tidak mampu terpecahkan oleh undang-undang. Tepatlah, dengan
meminjam istilah von Kirtcmaan, hukum selalu tertatih-tatih mengejar perkembangan dalam
masyarakat.
b. Aliran Begriffsjurisprudenz
Aliran begriffsjurisprudenz ini lebih maju dari dari aliran legis, karena begriffsjurisprudenz
telah mengakui undang-undang tidak lengkap. Walaupun demikian tetap beranggapan bahwa hakim
tidak membentuk hukum. Tugas hakim hanya membuka tabir-tabir pikiran yang terletak dalam
undang-undang, dengan menggunakan logische gesclossenheit
Brinz. 218 Kekurangan dari aliran begriffsjurisprudenz, menurut Rusli Efendi 219 terlalu
mendewa-dewakan logika dan rasio, sedang keadilan dan kemamfaatan kurang diperhatikan.

216
Ibid., h.166-168.

217
Montesquieu mengadakan pemisahan secara tegas antara kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif,
dengan demikian kekuasaan membentuk hukum hanya terletak pada legislatif semata, diluar produk legislatif tidak
diakui sebagai hukum.

218
Rusli Effendi,Achmad Ali dan Poppy Andi Lolo, Teori Hukum (Ujungpandang: Hasanuddin University
Press, 1991),h. 58.

136
c. Aliran Freie Rechtslehre
Aliran ini lahir sebagai reaksi dari aliran legis dan aliran begriffsjurisprudenz yang timbul
pada tahun 1840, karena dianggap undang-undang tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan masyarakat dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta pertumbuhan penduduk
yang pesat dengan berbagai permasalahan hukum yang timbul, tidak mampu diakomodir oleh
undang-undang.
Menurut aliran Freie Rechtslehre ini atau yang disebut dengan hukum bebas tumbuh di
dalam masyarakat dan diciptakan oleh masyarakat berupa kebiasaan dalam kehidupan dan hukum
alam (kodrat) yang sudah merupakan tradisi sejak dahulu, baik yang diajarkan oleh agama maupun
yang merupakan adat istiadat. Intinya aliran Freie Rechtslehre bertolak pada hukum di luar
perundang-undangan.
Selanjutnya aliran ini berkembang menjadi dua (2) aliran yaitu :220
1) Aliran hukum bebas sosiologis, yang berpandangan bahwa hukum bebas adalah
kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat dan berkembang secara sosiologis;
2) Aliran hukum bebas natuurrechtelijk, yang berpendapat bahwa hukum bebas ialah
hukum alam.
d. Aliran Rechtsvinding
Pada aliran Rechtsvinding ini, intinya mempergunakan undang-undang dan hukum di luar
undang-undang. Dengan kata lain, hakim diberikan kebebasan untuk melakukan penemuan hukum
bila mana suatu kasus tidak bisa diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang.
221
Aliran ini mulanya dipelopori oleh Paul Scholten yang melihat hukum sebagai satu
sistem, yakni bahwa seluruh peraturan-peraturan saling berhubungan satu sama lain, dan
kesemuanya itu dapat disusun secara mantik dan untuk yang bersifat khusus dapat dibicarakan
aturan-aturan umumnya sehingga tiba pada asas-asasnya. Inti dari ajaran tersebut bahwa putusan
kakim didasarkan pada 1) pekerjaan intelek (ratio dan logica); dan 2) penilaian hakim.
Penilaian hakim tersebut berakibat hakim harus melakukan penemuan hukum sendiri
melalui konstruksi atau penafsiran, bilamana dalam ketentuan dalam perundang-undangan tidak ada
atau kurang jelas mengaturnya. Peluang tersebut diberikan bagi hakim melakukan penemuan hukum
dalam rangka mengisi kekosongan hukum tersebut. Aliran yang tersebut terakhir ini, merupakan
aliran masa kini yang banyak dianut oleh berbagai negara termasuk Indonesia.

219
Ibid., h,58.

220
R.Soeroso, Pengantar, h.85.
221
Rusli Effendi,Achmad Ali dan Poppy Andi Lolo, op. cit., h.59.

137
Di Indonesia hakim diberikan kesempatan luas untuk mengembangkan bahkan mengadakan
pembahasan hukum melalui keputusan keputusannya, apabila perundang undangan itu sendiri
kurang up to date (lengkap), kehilangan atau tertinggal dalam problema masyarakat yang semakin
meluas. Rumusan perundang undangan yang serba umum dan kurang jelas sehingga hakim
dituntut untuk mengetahui isinya secara umum dan luas, serta menggunakan rumusan diperluas
dengan menyandarkan diri pada rasio suatu peraturan 222 . Sehingga dibutuhkan yurisprudensi
sebagai asas asas hukum yang tidak tertulis.
Dengan menggunakan bermacam macam metode interprestasi yang lebih luas dari ilmu
hukum, maka yurisprudensi bermanfaat antara lain:
a) Sebagai pengembangan hukum melalui putusan putusan Mahkamah Agung
b) Untuk memberikan bahan bagi ilmuan hukum dalam hal mengadakan suatu
deskripsi, analisis, sistematika dan sampai interprestasi mengenai hukum posistif;
dan
c) Untuk dipersembahkan kepada perundang undangan.
Menurut putusan Mahkamah Agung No. 838/K/SIP/1997, dalam hal pengetahuan hukum
ada tiga kriteria suatu yurisprudensi Mahkamah Agung apakah sudah merupakan yurisprudensi
tetap atau belum antara lain:
a) Perbuatan melanggar hukum oleh penguasa harus diukur dengan UU dan peraturan -
peraturan formil yang berlaku
b) Harus diukur dengan peraturan-peraturan dalam masyarakat yang seharusnya
dipatuhi oleh penguasa; dan
c) Penilaian tentang faktor sosial ekonomi (dari penyewa dan pemilik)

B. Yurisprudensi Mahkamah Agung


Titik pangkal awal munculnya yurisprudensi karena tidak semua kasus konkrit diatur
dalam undang undang atau undang-undang tidak mampu mengakomodir kondisi-kondisi
tertentu dan perkembangan dalam masyarakat.
Implikasi dari ketentuan di atas bahwa, seorang hakim dalam menangani suatu perkara,
di satu pihak memperoleh keterikatan, sedang di lain pihak mempunyai kebebasan. Hakim bebas
menjatuhkan kemana arah putusannya. Namun kebebasan itu di batasi dengan pertimbangan
pertimbangan sendiri dalam putusannya. Pertimbangan pertimbangan hakim tersebut tidak
dapat melepaskan dari ketentuan undang undang yang berlaku .

222
Ibid. .

138
Suatu undang - undang umumnya tidak ada yang sempurna. Isi undang undang
seringkali kurang lengkap. Di samping itu, banyak undang - undang setelah sekian tahun
berjalan, menjadi ketinggalan jaman. Menghadapi ketentuan yang demikian, seorang hakim tentu
merasa sulit untuk menerapkan peraturan itu, maka masyarakat yang akan merasakan
ketidakadilan akibat putusan hakim.223
Dengan kebebasan yang dimiliki, hakim tidak boleh berfungsi sebagai corong undang
undang, yang hanya dapat menerapkan begitu saja ketentuan undang - undang. Untuk itu
Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah di perbaharui dengan Undang Undang 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, telah mewajibkan kepada hakim dalam memeriksa
dan megadili suatu perkara untuk menggali nilai nilai yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat untuk dapat diterapkan. Adapun maksud ketentuan tersebut, agar putusan hakim
benar benar dapat mencerminkan keadilan bagi masyarakat yang sesuai dengan kesadaran
hukumnya.224
Dengan demikian fungsi lahirnya putusan putusan hakim melengkapi ketentuan
undangundang.
Masalah masalah yurisprudensi banyak sekali terjadi pada hukum perorangan, hukum
keluarga dan lain- lain. Sebagai contoh, di sini dikemukakan Proyeksi Yurisprudensi Mahkamah
Agung tentang Penetapan Hukum Waris:225

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TANGGAL 23


OKTOBER 1957
MENGENAI PENETAPAN AHLI WARIS
I. Kasus posisi
Seorang dokter bernama Raden Mas Soertman Erwin meninggal dunia dengan meninggalkan tiga
orang anak yang bernama:
1. Dr. R.M.Soeherman Erwin
2. Drs. R.M. Eppie Soeratman Erwin
3. R.M. Guustaaf Husni Erwi
Dan seorang janda yang bernama Ny. Eny Siti Roekasih.
II. Pendapat pendapat Pengadilan
A. Masalahnya:

223
Ibid. .

224
Ibid. .
225
Ibid., h.359-363.

139
Mahkamah Agung:
Bolehkah Pengadilan Negeri menetapkan bagian dari ahli waris apabila hal itu tak diminta?
B. KESIMPULAN
Pengadilan Negeri Bandung:
Mengabulkan permohohnan pemohon dengan putusannya tertanggal 7Agustus 1995 No.
607/1995.
Menetapkan
a. Bahwa Ny Eny Sti Roekasih adalah janda dari Dr. R.M. Soeratman Erwin
alhamarhum.
b. Bahwa pemohon Dr. R.M Soehirman Erwin, Drs. R.M. Eppie Soeratman Erwin
dan R.M. Guustaf Husni Erwin adalah ahli waris dari Dr. R.M. Soeratman Erwin
almarhum.
Menetapkan : Bahwa dari harta peninggalan R.M.Seratman Erwin almarhum, seperempat dari
barang campur kaya yang didapatkanoleh R.M. Soeratman Erwin almarhum
dengan jandanya Nyi. Eny Siti Roekasih tersebut antara tanggal 15 Oktober
1942 sampai tanggal 23 Desembar 1947 dan seperduanya dari barang campur
kaya yang didapatkan oleh R.M. Soeratman Erwin dengan jandanya antara 23
Desember1947 hingga akhir meninggalnya R.M. Soeratman Erwin pada tanggal
14 julo 1956 merupakan haknya Nyi Eny Siti Roekasih.
Menetapkan : bahwa atas sisanya setelah dipotong dengan ongkos- ongkos kematian R.M.
Soerataman Erwin, berhak ketiga warisnya ialah:
1. R.M. Soehirman Erwin
2. R.M. Eppie Soeratman Erwin
3. R.M. Guustaf Husni Erwin.
Putusan Pengadilan Negeri:
Pengadilan Tinggi Jakarta ini berpendapat bahwa tindakan Pengadilan Negeri Bandung tak
dianggap suatu putusan Pengadilan, melainkan suatu pertolongan kepada ahli waris dari almarhum
R.M. Soeratman Erwin atas permintaan mereka untuk melaksanakan pembagian warisan, yang
dimaksudkan dalam Pasal 236 a HIR dan yang tidak takluk dalam pemeriksaan banding. Maka
Pengadilan Tinggi Jakarta yang dalam putusannya tertanggal 28 Desember 1956 menyatakan
pemohon tak dapat diterima dengan permohohan banding.
Menghukum pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkatan biaya yang
mana dalam peradilan bandingnya banyaknya Rp63,50 (enam puluh tiga lima puluh sen)
Mahkamah Agung:

140
Mahkamah Agung berpendapat apabila dinyatakan bahwa tiga anak tersebut adalah ahli
waris dan Ny Eny Siti Roekasih selaku janda seperti bunyi bagian pertama dan dictum PN maka
mungkin sekali ada salah paham dan dikira bahwa janda itu tak berhak atas harta warisan.
Maka sebaiknya perkataanahli waris tak dipakai, melainkan ditetapkan saja bahwa para tiga
pemohon kasasi dan Nyi Eny Sit Roekasih berhak atas warisan.
Dan biaya perkara semua harus dipikul oleh para pemohon kasasi, oleh karena tak ada pihak
yang kalah.
Dengan demikian maka MA membatalkan putusan putusan dari PT Jakarata Tanggal 19
Januari 1957 No.607/1956.
Menerima permohonan kasasi dari Dr. R.M. Soehirman Erwin, Drs Erwin Eppie Soeratman
Erwin dan R.M. Guustaf Husni Erwin.
Cara Mendekati Masalah sampai pada kesimpulan:
MA berpendapat bahwa untuk menghindarkan kesalahfahaman maka sebaiknya janda dan
para anak dari peninggal warisan ditetapkan bersama sama berhak atas harta warisan.
Maka MA menerima permohonan kasasi dan membatalkan putusan PN Bandung oleh karena yang
dimohon oleh pemohon kasasi ialah menetapkan siapa saja ahli waris dari almarhum tersebut. Dan
juga membatalkan putusan PT Jakarta, berdasarkan putusannya bahwa tindakan PN Bandung itu
tidak dianggap suatu putusan pengadilan melainkan suatu pertolongan kepada para ahli waris dari
almarhum R.M. Soertaman Erwin atas permintaan mereka untuk melaksanakan pembagian warisan
yang dimaksudkan dalam pasal 263a H.I.R dan takluk dalam pemeriksaan banding .
III. Catatan atas Pendapat Pengadilan
Kesimpulan
Karena pada pemeriksaan perkara di muka Pengadilan Negeri, terang bahwa para tiga
pemohon kasasi adalah janda dari almarhum tersebut, sedang menurut Hukum Adat empat orang itu
masing- masing berhak atas bagian dari harta warisan, maka sebaiknya perkara ahli waris tidak
dipakai, melainkan ditetapkan saja bahwa para tiga pemohon kasasi Ny Eny Siti Roekasih tepatnya
bersama sama berhak atas harta warisan dari almarhum tersebut.
Maka berdasarkan ini MA menerima permohonan kasasi dari Dr. R.M. Soehirman Erwin,
Drs R.M. Eppie Soeratman Erwin dan R.M. Guustaf Husni Erwin serta membatalkan putusan PN
Bandung dan putusan PT Jakarta. Lalu MA mengadili sendiri, menetapkan Dr.R.M. Soehirman
Erwin, Drs. R.M. Eppie Soeratman Erwin, dan R.M. Guustaf Husni Erwin selaku anak dan Nyi Eny
Siti Roekasih selaku janda almarhum R.M. Soeratman Erwin, empat empatnya berhak atas harta
warisan almarhum tersebut.
Menghukum penggugat- penggugat untuk kasasi untuk membayar biaya dalam tingkatan ini
ditetapkan banyaknya Rp. 83.75 (delapan puluh tiga rupiah tujuh puluh lima sen).

141
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan, Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang, Blog
Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan. http/mkn-unsri.blogspot.com/2010/02/
pengikatan-jaminan-pesawat-terbang.html(15 Nopember 2008)

Affandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga,Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata-BW . Jakarta : Bina Aksara, 1986

Ali, Mohammad Daud . Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004

Ali, Mohammad Daud dan Habibah Daud. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1995

Bisri, Ilhami. Sistem Hukum Indonesia-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia. Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 2004

Departemen Agama RI. Al Quran dan Terjemah Kata Perkata. Bandung :Syaamil Al Quran,
2007

Effendi, Rusli , Th.I Achmad Ali dan Poppy Andi Lolo. Teori Hukum. Ujungpandang: Hasanuddin
University Press, 1991

Harahap,M Yahya Harahap. Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,


Isi dan Pelaksanaannya -Jilid 1- Hukum Tanah Nasional. Jakarta : Djambatan,1996

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Quran dan Hadits . Jakarta : Tinta Mas, 1982

Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian.Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial.


Jakarta : Laksbang, 2008

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cet.I . Jakarta : Sinar Grafika, 2002

Kansil, CST dan Christine ST Kansil. Modul Hukum Perdata-Termasuk Asas Hukum Perdata.
Jakarta : Pradnya Paramita, 2004

Machmuddin,Dudu Duswara . Pengantar Ilmu Hukum-Sebuah Sketsa. Bandung : Refika Aditama,


2010

Mudjion. Politik dan Hukum Agraria. Jogyakarta : Liberty, 1997

Muhammad, Abdul Kadir . Hukum Perikatan. Bandung : Citra Aditya Bakti,1990

Muhammad, Bushar Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Adat . Jakarta : Pradnya Paramita

142
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian . Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006

Nur,H.Djamaan Nur, Fiqih Munakahat. Semarang : Toha Putera, 1993

Pangaribuan, Badu Wahab Pangaribuan. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jogyakarta : FH UGM
Jogyakarta, 1981

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta :Bina
Aksara,1987

Prawirohamidjojo, R.Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung :
Alumni,1982

________, Soetojo. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. Surabaya :


Airlangga University Press, 2002

Prodjodikoro, Wirjono . Hukum Perdata Tentang Hak-hak atas Benda, (cetakan 3)

________, Wirjono . Hukum Perdata tentang Persetujuan.Persetujuan Tertentu. (Bandung :


Sumur, 1981

Raharjo,Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1982

Rasjidi,HM. Keutamaan Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1971

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya. Jakarta : Fokusmedia,2009

Republik Indonesia, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1985 tentang pemilihan
Umum

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1980

Santoso, Urip. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta : Prenada Media Group, 2005

_________. Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah. Jakarta : Prenada Media, 2006

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat.Pewarisan Menurut
Undang-Undang. Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2006

Soekanto,Soerjono . Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press,1982

Soemadiningrat,HR Otje Salman. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontenporer. Bandung : Alumni,


2002

Soepomo. Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980

Soeroso,R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2002

143
Soeroso,R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Soesilo,R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bogor: Politeria, 1981

Tutik,Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Surabaya : Prestasi Pustaka


Publisher, 2006

Utrceht,E. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta : Universitas, 1966

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta : Pt RajaGrafindo Persada, 2007

Wiranata, I Gede AB . Hukum Adat Indonesia-Perkembangannya dari Masa ke Masa.Bandung : PT


Citra Aditya Bakti, 2002

Sumber lain :

Gautama : Pengaruh Perdagangan dan Penanaman Modal Asing terhadap pembaharuan Hukum
Nasional, ceramah pada Seminar Hukum Nasional ke III di Surabaya

Marilang,Hukum Perdata (Bahan Ajar yang disajikan pada Perkuliahan pada Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Alauddin, Makassar 6 Pebruari 2011.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dalam Negara Republik Indonesia -Kedudukan dan
Pelaksanaannya, Jurnal Mimbar Hukum No.29 Tahun VII 1996Peter Mahmud Marzuki,
Tinjauan atas UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia , Mataram, 6-7
Desember 1999

Wirjono Prodjodikoro, Sekitar Kodifikasi Hukum Perjanjian, dalam Majalah Hukum dan
Masyarakat (Nopember 158)

144

Anda mungkin juga menyukai