Disusun Oleh :
Kelompok 3
Anisa Afrianti (1120015)
Putri Ramadhani (1120019)
Ilham Dani (1120031)
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hukum perdata
2. Untuk mengetahui bagaimana pluralisme hukum perdata di Indonesia
3. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk sumber-sumber hukum perdata
4. Untuk mengetahui bagaimana sistematika hukum perdata
BAB II
PEMBAHASAN
1
Samijo, Pengantar Hukum Indonesia, Armico, Bandung, 1985, hlm.75
2
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011, hlm.9
tentang kewenangan dan kecakapan bertindak, tentang status dalam hubungan keluarga, ten-
tang hubungan dengan benda sebagai obyek kepentingan persoon, dan perikatan-perikatan
yang bisa dilakukan dalam rangka memenuhi kepentingan ekonominya. 3
3
Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Perdata, Malang: Setara Press, 2016. hlm. 1.
BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan
Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari
hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian.
Adapun kriteria hukum perdata yang dikatakan nasional yaitu :
1. Berasal dari hukum perdata Indonesia
2. Berdasarkan sistem nilai budaya
3. Produk hukum pembentukan Undang-undang Indonesia
4. Berlaku untuk semua warga negara Indonesia
5. Berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia
1) Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia
tidak lepas dari sejarah Hukum Perdata Eropa. Bermula di benua Eropa berlaku Hukum
Perdata Romawi, disamping adanya hukum tertilis dan hukum kebiasaan setempat.
Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli di negara-
negara di Eropa. Oleh karena itu keadaan hukum di Eropa kacau balau, dimana setiap
daerah selain mempunyai peraturan-peraturan sendiri juga peraturan itu berbeda-beda.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu
kumpulan peraturan yang bernama Code Civil de Francais yang juga dapat disebut Code
Napoleon, karena Code Civil des Francais ini merupakan sebagaian dari Code Napoleon.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civilini dipergunakan karangan dari beberapa ahli
hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies. Disamping itu juga dipergunakan
Hukum Bumi Putra Lama, Hukum Jernonia dan Hukum Cononiek.
Mengenai peraturan hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain masalah
wessel, asuransi, dan badan-badan hukum, pada jaman Aufklarung (sekitar abad
pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama Code
de Commerce.
Sejalan dengan adanya penjajahan oleh Belanda (1809-1811), Raja Lodewijk
Napoleon menetapkan Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk
Holland (isinya mirip dengan Code Civil ded Francais atau Code Napoleon) untuk
dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Netherland). Pada 1811, saat berakhirnya
penjajahan dan Netherland disatukan dengan Prancis, Code Civil des Francais atau Code
Napoleon tetap berlaku di Belanda.
Setalah beberapa tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, Belanda mulai
memikirkan dan mengerjakan kodefikasi dari hukum perdatanya. Pada 5 Juli 1830,
kodefikasi ini selesai dengan terbentuknya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek Van
Koophandle (WVK) yang isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des
Frances dan Code de Commerce.
Pada tahun 1948, kedua undang-undang produk Netherland ini diberlakukan di
Indonesia berdasarkan Azas Koncordantie (Azas Politik Hukum). Saat ini kita mengenal
Burgerlijk Wetboek (BW) dengan nama KUH Sipil (KUHP), sedangkan untuk Wetboek
Van Koophandle (WVK) kita mengenalnya dengan nama KUH Dagang.
2) Pluralisme dalam Sistem Hukum Perdata Barat di Indonesia
Sejarah perjalanan hukum Indonesia menjelaskan bahwa Belanda sebagai negara
penjajah berupaya untuk menerapkan hukum-hukumnya diantaranya dalam bidang
hukum perdata, sehingga pada tanggal 1 Mei 1848 BW diberlakukan di Indonesia dengan
berdasarkan asas konkordansi, yaitu asas kesamaan hukum yang berlaku di daerah
jajahan dengan hukum yang berlaku di Belanda. Sehingga BW diberlaku bagi golongan
Eropa, golongan Timur Asing, dan bagi golongan Bumi Putera yaitu rakyat Indonesia
Asli berlaku hukum perdata adat atau hokum adat.
Keadaan pluralism hukum perdata ini berlaku dalam masyarakat pada saat itu se-
hingga terjadi dualism hukum, yaitu perbedaan hukum yang berlaku untuk golongan
orang yang berbeda-beda dalam suatu negara. Hukum perdata yang beraneka ragam itu,
karena berlaku bermacam-macam system hokum perdata, yaitu hokum perdata Eropa
(Barat), hokum perdata Timur asing dan hokum perdata adat (hokum adat), yang
semuanya berlaku resmi bagi golongan-golongan penduduk di Hindia Belanda (Indone-
sia). Keadaan demikian merupakan pluralime dalam hokum perdata.
Sesudah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hokum perdata Barat
dalam BW masih tetap berlaku berdasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Dan untuk menyesuaikan dengan suasana nasional, maka BW pening-
galanpenjajah itu berganti nama menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dan
sampaisekarang ini masih tetap dan teus berlaku sebagai salah satu sumber hokum
perdata di Indonesia. Disamping berlaku hokum perdata Barat tersebut, ternyata juga ber-
laku hukumperdata lainnya, yaitu hokum perdata adat dan hokum perdata Islam dalam
masyarakat Indonesia.
Adapun faktor yang menyebabkan terjadi pluralisme dalam hukum perdata di In-
donesia adalah faktor golongan penduduk. Dimana setelah proklamasi kemerdekaan, se-
jak berlakunya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 ketentuan pasal 163 IS jo Pasal 75 RR
secara formal tidak berlaku lagi. Akan tetapi di bidang hokum perdata, faktor golongan
penduduk masih tetap memainkan peranan.
Jadi secara kenyataan, peninggalan sejarah hukum yang membagi penduduk In-
donesia atas tiga golongan, masih tetap bertahan dalam bidang hokum perdata.
Keberadaannya masih persis seperti yang diatur dalam pasal 163 IS jo pasal 75 RR. Oleh
karenaitu, penerapan hukum perdata dalam praktek peradilan masih bertitik tolak dari
faktorkelompok golongan penduduk. Bagi golongan Eropa dan Tionghoa tetap merujuk
kepada ketentuan hokum perdata yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Dan bagi golongan Bumi putera berlaku hokum adat.
Dasar berlakunya pasal 163, 131 IS dan stb. 1917-129, stb. 1924-556 merupa-
kanketentuan-ketentuan hokum dari tata hokum Hindia Belanda adalah Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Jadi peraturan-peraturan itu masih tetap berlaku, karena belum di-
ganti oleh peraturan perundang-undangan.
Dengan berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, maka orang Indonesia asli (Bumi-
putera) dapat memakai peraturan-peraturan undang-undang hokum perdata Eropa baik
yang dimuat dalam BW dan WK maupun dalam undang-undang diluar kedua kodifikasi
tersebut.
Faktor agama dalam pluralism hukum perdata telah ikut juga mempertajam pen-
erapan pluralistic hokum perdata, karena ada perbedaan penerapan hokum bagi penduduk
yang berbeda agama. Dimana bagi mereka yang beragama Islam dapat diterapkan hokum
perdata Islam, sedang bagi golongan Bumi putera yang non Islam diterapkan hokum adat.
Dengan demikian secara teoritis kepada golongan Bumi putera berlaku hokum
adat, tetapi inkonkreto penerapan hokum adat pada saat sekarang hanya diterapkan kepa-
da golongan Bumi putera yang non-Islam. Sedang kepada mereka yang beragama Islam,
diperlakukan hokum perdata Islam sebagaimana yang diatur dalam Komplilasi Hukum
Islam.
Jadi hokum perdata yang berlaku saat ini dalam penerapannya adalah bagi golon-
gan Eropa, golongan Timur asing berlaku hokum perdata yang diatur dalam Kitab Un-
dang-undang Hukum Perdata. Bagi golongan penduduk Bumi putera yang non Islam ber-
laku hokum adat. Sedang bagi golongan penduduk yang beragama Islam berlaku hukum-
perdata Islam.
Dan kekuasaan mengadili sengketa perdata adalah bagi golongan Eropa, Timur
Asing, dan Bumi putera yang non Islam menjadi yuridiksi Peradilan Umum, sedang un-
tuk mereka yang beragama Islam, kewenangan mengadili menjadi yuridiksi Peradilan
Agama. 4
b. Hukum Perdata Islam
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, istilah hukum Islam sering men-
imbulkanpengertian rancu, hingga kini hukum Islam terkadang dipahami dengan pengertian
syariah dan terkadang dipahami dengan pengertian fiqh.
Secara bahasa, kata syariah berarti “jalan ke sumber air” dan “tempat orang-orang mi-
num”. Orang Arab menggunakan istilah ini khususnya dengan pengertian “jalan setapak
menuju sumber air yang tetap dan diberi tanda yang jelas sehingga tampak oleh mata”.
Denganpengertian bahasa tersebut, syariah berarti suatu jalan yang harus dilalui.
Adapun kata fiqh secara bahasa berarti “mengetahui, memahami sesuatu”. Dalam
pengertian ini, fiqh adalah sinonim kata “paham”. Al-Quran menggunakan kata fiqh dalam
pengertian memahami dalam arti yang umum. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pada ma-
sa Nabi, istilah fiqh tidak hanya berlaku untuk permasalahan hokum saja, tetapi meliputi
pemahaman seluruh aspek ajaran Islam. (Ahmad Hanafi, 1970: 11).
Dalam perkembangan selanjutnya, fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul al-fiqh se-
bagai hokum praktis hasil ijtihad. Kalangan fuqaha (ulama fiqh) pada umumnya
mengartikanfiqh sebagai kumpulan hokum Islam yang mencakup semua aspek hokum syar’i,
baik tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atas teks. Pada sisi lainnya, di kalangan
ahli ushul fiqh, konsep syariah dipahami dengan pengertian “teks syar’i” yakni sebagai al-
4
Muhammad Noor, Unifikasi Hukum Perdata Dalam Pluralitas Sistem Hukum Indonesia hlm.116-117
Nash al-Muqaddas yang tertuang dalam bacaan Al-Quran dan hadis yang tetap, tidak men-
galamiperubahan.
Fenomena perkembangan lainnya adalah adanya upaya untuk membedakan antara syari-
ah dengan fiqh. Di antaranya adalah Yusuf Musa yang setelah mengutip beberapa rujukan-
seperti uraian Al-Jurjani dalam Al-Ta‖rifat, uraian Al-Gazali dalam Al-Mustasyfa, ia men-
jelaskan perbedaan antaras yari’ah dan fiqh dalam tiga aspek.
a. Perbedaan ruanglingkup, cakupannya. Syariah lebih luas meliputi seluruh ajaran agama,
sedangkan fiqh hanya mencakup hukum-hukum perbuatan manusia.
b. Perbedaan dalam hal subjek. Subjek syariah adalah syar’i, yakni Allah, sedang subjek fiqh
adalah manusia.
c. Perbedaan mengenai asal mula digunakannya kedua istilah tersebut dalam pengertian
teknis. Kata syariah telah digunakan sejak awal sejarah Islam seperti yang terdapat dalam Al-
Quran (QS. 5: 48).
Adapun kata fiqh dalam pengertian teknis baru digunakan setelah lahirnyailmu-ilmu keIs-
laman, pada abad ke-2 Hijriah.
Hukum Islam (fiqh) sebagai sebuah ketentuan, pada umumnya bersandar pada dua kate-
gorisasi hukum Islam, yakni ibadah dan muamalah. Namun demikian, kategorisasi terse-
butselain bersifat rancu, juga kurang lengkap. Bersifat rancu karena banyak materi hukum Is-
lam bersatu dalam kedua kategori tersebut, misalnya wasiat. Bersifat kurang lengkap, karena
banyak materi hukum Islam yang tidak termasuk dalam salah satu kategori tersebut, misalny-
awaris, iinayah, munakahat dan lain-lain.
Ada pula pendapat yang mengatakan kategorisasi hukum Islam yang lebih tepat adalah
ubudiyah dan ghairu ubudiyah. Kategorisasi ini lebih mengarah pada pemilihan aspek hukum
yang bercorak agama dan aspek hukum yang bercorak peradaban, sekalipun aspek-aspek ter-
sebut bersatu dalam sebuah kasus hukum. Misalnya, permasalahan qashar dan jama’ da-
lamshalat, ketentuan kebolehannya dan cara mengerjakannya merupakan aspek ubudiyah,
sementara batas atau jarak perjalanan yang membolehkannya erat sekali dengan aspek
peradaban. Aspek-aspek ubudiyah dalam hukum Islam bersifat mutlak dan universal, se-
dangkan aspek-aspek ghairu ubudiyah bersifat relatif dan kondisional. 5
5
Wati Rahmi Ria, Hukum Perdata Islam (Sebuah Pengantar), (Lampung : CV Utama Anugrah Raharja,2018),
hlm. 2-3
c. Hukum Perdata Adat
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar merupakan kebiasaan
dan sebagian lagi merupakan hukum islam. Hukum adat juga merupakan hukum yang ber-
dasarkan keputusan-keputusan yang berisikan asas-asas hokum dalam lingkungan, dimana
iamemutuskan perkara. Hukum adat beruratakar pada kebudayaan tradisionil. Hukum adat
juga merupakan suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang
nyata dari rakyat. Hukum adat berbeda dengan hukum yang bersumber dari Romawi atau
Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatism-realisme artinya mampu mem-
berikan kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religious, sehingga hokum adat
mempunyaifungsi social atau keadilan sosial. Ada 3 sifat yang menjadi cirri dari hokum adat,
yaitu sebagai berikut :
1. Communal atau komunal atau kekeluargaan: masyarakat lebih penting dari pada individu;
2. Contant atau tunai yaitu perbuatan hokum dalam hokum adat sah bila dilakukan secara
tunai, sebagai dasar mengikatnya suatu perbuatan hukum
3. Concrete atau nyata atau real, yaitu perbuatan hukum yang dinyatakan sah bila dilakukan-
secara kongkret bentuk perbuatan hukumnya.
Masyarakat hukum adat juga disebut sebagai masyarakat tradisional dan dikenal dengan kata
masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat hokum adat merupakan seke-
lompok manusia yang taat pada peraturan yang berupa hukum yang mengatur tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain yang berupa kumpulan dari kebia-
san dan norma kesusilaan yang benar-benar hidup dan diyakini oleh masyarakat, dan
pelakunya akan mendapat sanksi dari penguasa adat apabila di langgar.
Dalam hukum adat, ada dua unsur yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan se-
bagai hukum adat dan unsure inilah yang menimbulkan adanya kewajiban hokum yaitu :
1. Unsur kenyataan yang menyatakan bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di in-
dahkan oleh rakyat
2. Unsur psikologis, yaitu bahwa dengan unsure ini maka terdapat adanya keyakinan pada
rakyat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan
diwilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang
lebih tinggi atau oleh penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara
anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayah sebagai sumber kekayaan
yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Secara history, Hukum yang
ada di Indonesia bersumber dari dua sumber, yaitu, yang bersumber dari hukum yang dibawa
oleh orang asing (Belanda) dan bersumber dari hukum yang lahir dan tumbuh di Negara In-
donesia itu sendiri dan Mr.C.Van Vollenhoven adalah seorang peneliti yang berhasil mem-
buktikan bahwa negara Indonesia memiliki hokum adat asli.
Menurut Prof.H.Hilman Hadikusuma, mendefinisikan hukum adat sebagai aturan ke-
biasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Kehidupan manusia berawal dari berkeluarga
dan mereka telah mengatur dirinya dan anggotanya menurut kebiasaan dan kebiasaan itu
akan dibawa dalam bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Van Vallenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dan pihak lain dalam keadaan tidak
dikodifikasi sehingga disebut hukum adat.
Tiap-tiap hukum merupakan suatu system, yaitu merupakan peraturan-peraturan dari
suatu kebulatan berdasarkan atas kekuatan pikiran begitu juga dengan hukum adat yang bes-
endi atas dasar-dasar alampikiran yang menguasai system hukum barat.Untuk dapat sadar da-
lam system hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
Antara system hukum adat dan system hukum barat terdapat perbedaaan yang fundamental,
yaitu sebagai berikut :
1. Hukum Barat mengenal “zakelij kerechten” dan “persoonlij kerechten”. “ zakelij kerech-
ten” adalah hak atas suatu barang, yang bersifat zakelijk, yaitu yang berlaku terhadap
tiap-tiap orang. Sedangkan “persoonlij kerechten” adalah hak seseorang atas suatu objek
yang hanya berlaku terhadap barang tertentu. Hukum adat tidak mengenal pembagi-
anhak-hak seperti yang tersebut dalam hukum Barat itu. Perlindungan hak-hak dalam
hukum adat adalah di tangan hakim (kepala adat). Didalam persengketaan di Pengadilan,
hakim akan menimbang berat ringannya kepentingan-kepentingan hukum yang saling
bertentangan. Misalnya apabila seseorang bukan sipemilik sawah kemudian dia menjual
sawah itu kepada orang lain dan kemudian sipemilik sawah menuntut sipembeli sawah
untuk sawah itu dikembalikan kepadanya, maka hakim akan menimbang kepentingan si-
pembeli tersebut.
2. Hukum Barat mengenal perbedaan antara public recht (hukum umum) dan privat recht
(hukum privat). Hukum adat tidak mengenal perbedaaan yang demikian dan jikai ngin-
mengadakan perbedaan antara hukum-hukum tersebut yaitu hukum adat yang bersifat
public dan yang bersifat privat maka batas-batas antara kedu alapangan itu didalam
hukum adat adalah berbeda dengan batas-batas yang ditentukan pada Hukum Barat
3. Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut system hukum Barat, dibagi-bagi dalam
golongan pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana dan
pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata,
pelanggaran itu harus diadili oleh hakim perdata Hukum adat tidak mengenal.
4. Perbedaaan tersebut karena setiap pelanggaran hukum adat akan membutuhkan
pembetulan hukum kembali dan kepala adat memutuskan agar adat apa yang harus
digunakan untuk membetulkan adat yang dilanggar itu.6
6
Ramiah Lubis, Sistem Hukum Menurut Hukum Adat Dan Hukum Barat, (Palembang, 2020), hlm.2-5
7
Dr. Yulia, S.H., M.H., Hukum Perdata, (Lhokseumawe, Aceh 2015), hlm.3
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber
hukum dalam arti materiil adalah sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad (stbl)
atau Lembaran Negara dimana dirumusan ketentuan undang-undang Hukum Perdata
dapat dibaca oleh umum. Contoh, stbl.1847-23 memuat B.W, L.N. 1974-1 memuat Un-
dang-Undang Perkawinan. Keputusan Hakim (Yurisprudensi) juga termasuk dalam arti
tempat dimana Hukum Perdata yang dibentuk hakim dapat dibaca, sehingga sumber da-
lam arti tempat disebut sumber dalam arti materiil.
2. Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkai-
tan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volmar membagi sumber Hukum Perdata menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
a. KUH Perdata
b. Traktat, adalah sebuah perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih
dalam bidang keperdataan. Terutama erat kaitannya dengan perjanjian Inter-
nasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah In-
donesia dengan PT Freeport Indonesia
c. Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang
berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang ber-
perkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya, tentang pengertian per-
buatan melawan hukum, dengan adanya putusan tersebut maka pengertian
melawan hukum tidak menganut arti luas. Putusan tersebut dijadikan pe-
doman oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan
melawan hukum.
d. Kebiasaan
Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:
a. Sumber Hukum Perdata Tertulis, yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah
Hukum Perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah Hukum
Perdata Tertulis terdapat didalam peraturan perundang-undangan, traktat dan
yurisprudensi.
b. Sumber Hukum Perdata Tidak Tertulis, adalah tempat ditemukannya kaidah
Hukum Perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti dalam hukum
kebiasaan.
8
Ibid, hal.3-5
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup. Jadi, Hukum Waris Menga-
tur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
9
Dr. Yulia, S.H., M.H., Hukum Perdata, (Lhokseumawe, Aceh 2015), hlm. 8-11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Perdata adalah hukum yang memuat semua peraturan-peraturan yang meliputi
hubungan-hubungan hukum antara orang yang satu dengan dengan orang yang lainnya di da-
lam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan. Hukum Perdata
hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar orang perseorangan yang sa-
tu dengan warga perorangan lainnya.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang
pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang
RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-
Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
Adapun faktor yang menyebabkan terjadi pluralisme dalam hukum perdata di Indonesia ada-
lah faktor golongan penduduk. Dimana setelah proklamasi kemerdekaan, sejak berlakunya
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 ketentuan pasal 163 IS jo Pasal 75 RR secara formal tidak
berlaku lagi. Akan tetapi di bidang hokum perdata, faktor golongan penduduk masih tetap
memainkan peranan.
Sumber hukum adalah asal mula Hukum Perdata, atau tempat dimana hukum perdata
ditemukan. Sumber dalam arti “sejarah asalnya”, dimana hukum perdata adalah buatan
Pemerintah Kolonial Belanda yang terhimpun dalam Bulgelijk Wetbook (B.W). berdasarkan
aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), B.W itu dinyatakan tetap berlaku
sepanjang belum diganti dengan undang-undang yang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber
dalam arti “Pembentuknya” adalah pembentuk undang-undang berdasarkan UUD 1945. Oleh
karena itu atas dasar aturan peralihan, B.W dinyatakan tetap berlaku, hal ini berarti pemben-
tuk UUD 1945 ikut menyatakan berlakunya B.W. yang disebut dengan kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Sistematika Hukum Perdata dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.
a. Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (pers0onenrecht).
b. Hukum Keluarga (familierecht).
c. Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht).
d. Hukum Waris (erfrecht).
2. Menurut KUH Perdata.
Sistematika KUH Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila
dibandingkan dengan KUH Perdata yang ada dan berlaku di Negara lain,
tidaklah terlalu jauh bebeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu atau
dipengaruhi dari Hukum Romawi (code civil).
3.2 Saran
Semoga makalah yang kami susun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
memberikan pengetahuan sedikit tentang Asas-Asas Hukum Perdata. Kami mengetahui da-
lam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dar segi penulisannya,
bahasa dan lain sebagainya. Untuk itu saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat
kami harapkan agar dapat terciptanya makalah yang baik yang dapat memberikan penge-
tahuan yang benar kepada pembaca.
DAFTAR PUSTAKA