Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

HUKUM PERDATA

Disusun oleh :
Faras Ramadhan_D1A021137

Dosen Pengampu :
Dr. Aris Munandar, SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah tentang “Hukum Perdata” ini dapat diselesaikan dengan
baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Hukum Perdata. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah Hukum Perdata ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan
kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semuanya.

Mataram, Maret 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial, makhluk yang selalu berhubungan dengan
manusia lainnya. Tentunya, dalam menjalani kehidupan sosial, menimbulkan suatu hukum
untuk mengatur kehidupan itu. Dalam kehidupan antar suatu individu atau subjek hukum
pasti memiliki suatu hal yang disebut dengan “hubungan”, baik itu hubungan kepemilikan
suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Tidak bisa di pungkiri bahwa hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga
seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh akibat terjadinya hubungan
pinjam meminjam seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal
terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Hal tersebut
termasuk dalam masalah hukum perdata.

Hukum perdata di Indonesia adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan

larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan

pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai

dengan sanksi bagi pelanggarnya. Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan

kewajiban yang dimiliki pada subjek hukum dan hubungan antara objek hukum. Hukum

perdata disebut pula sebagai hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum

(misalnya politik dan pemilu), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau

tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan

antara penduduk atau warga negara sehari- hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum perdata?

2. Apa saja sumber-sumber hukum perdata?

3. Apa saja asas-asas hukum perdata?

4. Bagaimana hukum perdata yang berlaku di Indonesia?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perdata


Hukum merupakan alat atau seperangkat kaidah. Perdata merupakan pengaturan hak,
harta benda dan sesuatu yang berkaitan antara individu dengan badan hukum. Hukum perdata
adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat. 
Istilah hukum perdata ini berasal dari bahasa Belanda ‘Burgerlijk Recht’. Hukum perdata
juga sering dikenal dengan sebutan hukum privat atau hukum sipil. Namun, istilah hukum
perdata lebih umum digunakan saat ini. 

Istilah hukum perdata pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai
teremahan dari burgerlijkrecht pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim
hukum perdata adalah civielrecht dan privatrecht. Para ahli memberikan batasan hukum
perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19
adalah: “suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan
individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public
memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”. Pendapat lain yaitu Vollmar,
dia mengartikan hukum perdata adalah: “aturan-aturan atau  norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan
dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain
dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas”

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan
para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang
satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang
tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna
yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur
hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di
dalam pergaulan kemasyarakatan.

- Hukum  Perdata Material
Pengertian hukum perdata material adalah menerangkan perbuatan-perbuatan apa

yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan. Hukum materil

menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam

pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.

- Hukum Perdata Formal

Pengertian hukum perdata formil adalah menunjukkan cara mempertahankan atau

menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu

menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum

Acaara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara

mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan.

B. Sumber-sumber Hukum Perdata


Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum perdata adalah asal
mula hukum perdata atau tempat dimana hukum perdata di temukan.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam. Yaitu
KUHperdata ,traktat, yurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi
menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang dimaksud
dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum
perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat
di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata
tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber
tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1. Sumber Hukum Materiil

Sumber Hukum Materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber
dalam arti materiil adalah sumber dalam arti “tempat” adalah Staatsblad (Stbl) atau Lembaran
Negara di mana dirumusan ketentuan undangundang Hukum Perdata dapat dibaca oleh
umum. Contoh, Stbl. 1847-23 memuat B.W, L.N. 1974-1 memuat Undang-Undang
Perkawinan. Keputusan Hakim (yurisprudensi) juga termasuk sumber dalam arti tempat di
mana Hukum Perdata yang dibentuk hakim dapat dibaca, sehingga sumber dalam arti tempat
disebut sumber dalam arti materiil.

2. Sumber Hukum Formal

Sumber Hukum Formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini


berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volmar membagi sumber Hukum Perdata menjadi 4 (empat) macam, yaitu: KUH Perdata,
Traktat, Yurisprudensi dan Kebiasaan. Traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua
Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Terutama erat kaitannya dengan perjanjian
internasional. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia
dengan PT Freeport Indonesia.

Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi


kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihakpihak yang berperkara terutama dalam
perkara perdata. Contohnya, tentang pengertian perbuatan melawan hukum, dengan adanya
putusan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Putusan tersebut
dijadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutuskan sengketa perbuatan
melawan hukum. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu
sumber Hukum Perdata tertulis dan sumber Hukum Perdata tidak tertulis. Sumber Hukum
Perdata tertulis, yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah Hukum Perdata yang berasal dari
sumber tertulis. Umumnya kaidah Hukum Perdata tertulis terdapat di dalam peraturan
perundangundangan, traktat dan yurisprudensi. Sumber Hukum Perdata tidak tertulis adalah
tempat ditemukannya kaidah Hukum Perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis, seperti
dalam hukum kebiasaan.

Secara khusus, sumber Hukum Perdata Indonesia terulis, yaitu:

1. Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), merupakan ketentuan-ketentuan umum


Pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan di Indonesia (Stbl. 1847 No. 23,
tanggal 30 April 1847, terdiri atas 36 pasal)
2. KUH Perdata atau Burgelijk Wetboek (BW), merupakan ketentuan hukum produk
Hindia Belanda yang diundangkan tahun 1848, diberlakukan di Indonesia berdasarkan
asas konkordansi
3. KUHD atau Wetboek van Koopandhel (WvK), yang terdiri atas 754 pasal, meliputi
Buku I (tentang dagang secara umum) dan Buku II (tentang hak-hak dan kewajiban
yang timbul dalam pelayaran.
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, undang-undnag
ini mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai hak atas tanah,
kecuali hipotek.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Perkawinan, dan ketentuanketentuan yang tercantum dalam Buku I KUH Perdata,
khususnya mengenai perkawinan tidak berlaku secara penuh.
6. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Undangundang ini mencabut berlakunya
hipotek sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah
dan ketentuan mengenai Credieverband dalam Stbl. 1908-542 sebagaimana telah
diubah dalam Stbl. 1937-190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam
Buku II KUH Perdata dan Stbl. 1937-190 adalah karena tidak sesuai lagi dengan
kegiatan kebutuhan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata
perekonomian Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Ada 3 (tiga)
pertimbangan lahirnya, yaitu:

a) adanya kebutuhan yang sangat besar dan terus meningkat bagi dunia usaha
atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas
dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan.

b) jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk lembaga jaminan sampai saat ini
masih didasarkan pada yurisprudensi dan belum diatur dalam peraturan
perundangundangan secara lengkap dan komprehensif.

c) untuk memenuhi kebutuhan hukum yang lebih dapat memacu serta mampu
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, maka perlu dibuat
ketentuan yang lengkap mengenai jaminan fidusia; dan jaminan tersebut perlu
didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fiduasia.

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Jaminan Simpanan (LPS)


untuk mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan Hukum Perdata.
9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang
mengatur 3 (tiga) hal, yaitu Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan dan Hukum
Perwakafan. Ketentuan dalam KHI hanya berlaku bagi orang-orang yang beragama
Islam.

Oleh karena itu dapat disimpulkan, bahwa di dalam Hukum Perdata terdapat juga 2 (dua)
kaidah, yaitu:

1. Kaidah tertulis.

Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.

2. Kaidah tidak tertulis.

Kaidah Hukum Perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah Hukum Perdata yang
timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan).

C. Asas-asas Hukum Perdata

Adapun beberapa asas yang sangat penting dalam berikut ini :

1. Asas kebebasan berkontrak

Merupakan asas yang mengandung makna bahwa setiap orang dapat mengadakan
perjanjian apapun itu, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum
diatur dalam undang. Asas ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt,
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk:

 Membuat atau tidak membuat perjanjian;


 Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
 Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

2. Asas konsesualisme

Merupakan asas yang berhubungan saat lahirnya perjanjian. Pada pasal 1320 ayat 1
KUH Perdata, syarat sahnya perjanjian itu karena adanya kata kesepakatan antara dua belah
pihak. Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan
sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang
dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik
berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).

3. Asas kepercayaan

Yaitu asas yang mengandung makna bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi  setiap prestasi yang diadakan diantara mereka.

4. Asas kekuatan mengikat

Yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang
mengikatkan diri atau terlibat pada perjanjian tersebut. Pasal 1340 KUHPdt berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud
bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317
KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga,
bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.”

5. Asas persamaan hukum

Yaitu asas yang mengandung maksud bahwa subjek hukum yang membuat perjanjian
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum sebagaimana juga
pada hukum kebiasaan .
6. Asas keseimbangan

Yaitu asas yang menginginkan kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang telah dijanjikan.

7. Asas kepastian hukum (Asas pacta sunt servada)

Yaitu asas yang diakibatkan dari suatu perjanjian dan diatur dalam pasal 1338 ayat 1
dan 2 kuh perdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata “……. berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”.  Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam
hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar
pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan
dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asaspacta sunt
servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan
sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup
dengan kata sepakat saja

8. Asas moral

Yaitu asas yang terikat dalam perikatan wajar, artinya perbuatan seseorang yang
sukarela tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur
dalam contoh hukum positif

9. Asas Perlindungan

Yaitu asas yang memberikan perlindungan hukum antara debitur dan kreditur.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah debitur ddikarenakan berada pada
posisi yang lemah sebagai fungsi hukum.

10.  Asas kepatutan

Yaitu asas yang berkaitan dengan ketentuan tentang isi perjanjian yang diharuskan
oleh kepatutan. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya  dalam tujuan acara pidana.

11. Asas kepribadian

Yaitu asas yang mengharuskan seseorang dalam mengadakan perjanjian untuk


kepentingan dirinya sendiri.  Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa
untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

12. Asas itikad baik

Yaitu asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, asas ini menyatakan bahwa
apa saja yang harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan dan tidak melanggar
kepatutan. Hal ini sesuai dalam pasal 1338 ayat 3.  Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad
baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari
subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-
norma yang objektif.

D. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia

Hukum Perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis). Di mana
masing-masing golongan, penduduk mempunyai hukum perdata sendiri-sendiri kecuali
bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi misalnya di bidang hukum perkawinan,
hukum agraria. Tetapi apabila ditinjau lebih mendalam tampaklah bahwa unifikasi di bidang
hukum tersebut belumlah tercapai sepenuhnya.
Dengan kata lain, bahwa tujuan mewujudkan unifikasi di bidang hukum hukum
perdata belum tercapai sepenuhnya. Kondisi keanekaragaman tersebut telah berlangsung
lama, bahkan sejak tahun 1900-an di mana pada waktu itu kaula Hindia Belanda di bagi
menjadi tiga golongan  berdasarkan Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) : golongan Eropa,
golongan Bumi Putra, dan golongan Timur Asing. Pembagian golongan tersebut diikuti
dengan pembagian kuasa hukum yang berlaku  masing-masing golongan tersebut 
berdasarkan pasal 131 IS. Dapat dijelaskan lebih lanjut isi Pasal 163 dan 131 IS bahwa Kaula
Hindia Belanda berdasarkan asalnya dan hukum yang berlaku dibagi menjadi :

Golongan Eropa

Yang termasuk golongan ini adalah :

1. Semua orang Belanda


2. Semua orang Eropa lainnya
3. Semua orang Jepang
4. Semua orang yang berasal dari tempat lain yang negaranya tunduk kepada hukum
keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda
5. Anak yang sah atau diakui menurut undang-undang dan yang dimaksud  sub 1.c dan
sub 1.f : kepada golongan Eropa berlakulah hukum perdata (KUH Perdata). Jadi KUH
Perdata yang muali berlaku sejak 1 Mei 1848 (juga KUH Dagang) berlaku bagi
golongan Eropa.

Golongan Bumi Putra

Ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli, yang tidak beralih masuk
golongan lain, dan mereka yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan
dirinya dengan rakyat Indonesia asli. Menurut isi pasal 131 IS maka bagi golongan Bumi
Putra hukum yang berlaku adalah hukum adatnya masing-masing.

Tetapi lebih lanjut pasal 131 ayat 4 IS memberi kemungkinan kepada golongan Bumi
Putra secara perseorangan dapat menghapuskan berlakunya hukum adat bagi mereka sendiri
dengan jalan menundukkan dirinya kepada hukum Perdata Eropa (KUH Perdata), yaitu
melalui lembaga penundukan diri (diatur dalam Stb.1917 No.12 Regeling Nopensde Vrijvil
lige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht). Di dalam hukum perdata (KUH Perdata)
terdapat pula peraturan-peraturan yang dinyatakan berlaku bagi golongan Bumi Putra :
1. Buku II Bab VII, bagian 5 pasal 1601 s/d pasal 1603 lama tentang perburuhan meskipun
dengan Stb 1926 No. 335, Jis 458, 565 dan Stb. 192 No. 105 pasal-pasal tersebut telah
diganti dengan pasal-pasal baru, sebagaimana tercantum dalam bab VIIA buku III, namun
bagi mereka tetap berlaku pasal lama.
2. Buku III bab XV, bagian 3 pasal 1788 s/d pasal 1791 tentang utang piutang karena
perjudian (Stb.1907 No.306).
3. Beberapa pasal dari buku II KUH Dagang yaitu sebagian besar hukum laut

Ada pula beberapa peraturan secara khusus dibuat untuk golongan Bumi Putra, misalnya :

1. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama kristen (Stb.1933 No.74).


2. Ordonansi tentang maskapai andil Indonesia (IMA / Stb. 1939 No.569 jo 717).
3. Ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No.570 jo 717).

Disamping itu terdapat pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan, misalnya
: Undang-undang Hak Pengarang 1912; peraturan umum tentang koperasi (Stb.1933 No.
108), ordonansi pengangkutan udara (Stb. 1938 No. 100).

Golongan Timur Asing

Ialah semua orang yang bukan golongan Eropa dan pula golongan Bumi Putra. Golongan ini
dibagi menjadi dua :

 Golongan Timur Asing Tionghoa, berlakulah seluruh hukum Perdata (KUH Perdata),
dengan beberapa pengecualian dan tambahan.
 Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, berlakulah seluruh hukum perdata (KUH
Perdata) dan hukum adat yang berlaku di Negerinya. Termasuk dalam golongan ini
yaitu Arab, India dan Pakistan.

Dari uraian di atas tampak secara jelas bahwa hukum Perdata yang berlaku di Indonesia
masih beranekaragam (Pluralistis), walaupun dalam bidang tertentu telah terdapat unifikasi
namun belum sepenuhnya.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas sambil kita mengusahakan terciptanya suatu
kodifikasi hukum nasional khusunya di bidang hukum Perdata, maka atas dasar isi ketentuan
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, hukum Perdata (KUH Perdata dan KUH Dagang)
masih tetap berlaku. Pada tahun 1963 Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan
Surat Edaran No. 3/1963 (dikenal dengan SEMA 3/1963) yang menjadi dasar hukum hakim
dalam hal ia akan memberlakukan atau tidak suatu pasal atau suatu ketentuan hukum perdata
(KUH Perdata dan KUH Dagang) manakalah hakim berpendapat bahwa pasal tersebut tidak
sesuai lagi dengan kemajuan jaman.

Dikatakan bahwa KUH Perdata dan KUH Dagang itu tidak lagi merupakan suatu
Wetboek tetapi suatu Rectboek. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara yuridis
formal kedudukan KUH Perdata / BW dan KUH Dagang / WvK tetap sebagai undang-
undang, sebab BW dan Wvk tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang
(Syahrani, 1985, hal.28).

Apabila dilihat dari kenyataan yang ada, maka kiranya tepatlah apa yang ditulis oleh
R. Abdoel Djamali berpendapat bahwa hukum perdata di Indonesia terdiri dari :

1. Hukum Perdata Adat, hukum ini umumnya tidak tertulis dan berlaku dalam kehidupan
masyarakat adat secara turun temurun serta ditaati. Isinya mengatur hubungan antar
individu dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan kepentingan perseorangan.
Masyarakat adat yang dimaksud di sini ialah kelompok sosial bangsa Indonesia (Bumi
Putra).
2. Hukum Perdata Eropa, berbentuk tertulis dan berlakunya (untuk saat ini) didasarkan
pada Aturan Peralihan (pasal II Aturan Peralihan) UUD 1945.

Isinya mengatur tentang hubungan hukum yang menyangkut mengenai kepentingan


orang-orang Eropa dan bukan Eropa yang tunduk / menundukkan diri pada ketentuan
tersebut.

3. Hukum Perdata bersifat Nasional ini merupakan produk Nasional, yaitu merupakan
ketentuan hukum yang mengatur tentang kepentingan perseorangan yang dibuat
berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, misalnya Undang-undang Nomor
5/1960 yang dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA);
Undang-undang No.1/1974 tentang Perkawinan. (Djamali, 1984, hal. 147).
Suatu hal yang perlu disadari bersama bahwa hingga saat ini masih belum ada hukum
perdata nasional secara menyeluruh sebagai satu sistem norma-norma hukum perdata, namun
hal tersebut masih dalam usaha mewujudkannya. Itu semua mengandung arti pula bahwa
hukum perdata  yang berlaku di Indonesia masih menggunakan dasar hukum pasal II Aturan
Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang dalam proses pengembangannya berdasarkan
politik hukum sebagai tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). / BW di
Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum perdata adalah  hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam

pergaulan masyarakat. Jadi, hukum perdata adalah hukum pokok yang mengatur

kepentingan-kepentingan perorangan. Dalam Peradilan hukum perdata diutamakan

perdamaian karena hukum perdata itu tidak hanya difungsikan untuk menghukum seseorang,

tetapi juga sebagai alat untuk mendapatkan keadilan dan perdamaian.


DAFTAR PUSTAKA

Nandy.(2021).“Pengertian Hukum Perdata dan Contoh Hukum Perdata” diakses dari


(https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-hukum-perdata-dan-contoh-hukum-
perdata/)

Fhunikama. (2017). “Pengertian HukumPerdata” diakses dari


(https://fh.unikama.ac.id/id/2017/05/24/pengertian-hukum-perdata/)

Kasim.joni. (2021). “Perbedaan Hukum Formil dan Materil Berdasarkan Sumber Hukumnya” diakses
dari (https://tribratanews.kepri.polri.go.id/2021/05/20/perbedaan-hukum-formil-dan-
materil-berdasarkan-sumber-hukumnya/)

Simatupang.estomihi (2021). “Sumber-sumber hukum perdata” diakses dari


(https://berandahukum.com/a/sumber-sumber-hukum-perdata)

Purwati.puput. (2018). “Asas hukum Perdata yang berlaku” diakses dari


(https://hukamnas.com/asas-hukum-perdata)

Anda mungkin juga menyukai