HUKUM ORANG
1. Manusia sebagai subjek hukum
Semua manusia pada saat ini merupakan subjek hukum,
pada masa dahulu tidak semua manusia itu sebagai subjek hukum
hal ini ditandai dengan adanya perbudakan. Beberapa ketentuan
yang melarang perbudakan dapat dilihat dalam Magna Charta,
Bill of Right. Di Indonesia terlihat dalam Pasal 27 UUD 1945,
Pasal 7(1) KRIS 1949 dan Pasal 7 (1) UUDS, Pasal 10 KRIS dan
Pasal 10 UUDS. Tidak semua manusia pribadi dapat menjalankan
sendiri hak-haknya. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa
pada dasamya semua orang cakap kecuali oleh UU dinyatakan
tidak cakap. Orang-orang yang dinyatakan tidak cakap menurut
UU adalah : orang-orang yang belum dewasa, mereka yang
ditaruh di bawah pengampunan serta perempuan yang telah
kawin. Selanjutnya menurut Pasal 330 KUH Perdata ditentukan
bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum
berumur 21 tahun atau belum menikah. Orang yang ditaruh di
bawah pengampuan menurut ketentuan Pasal 433 dan Pasal 434
KUH Perdata adalah orang yang senantiasa berada dalam keadaan
keborosan, lemah pikiran dan kekurangan daya berpikir seperti
sakit ingatan, dungu, dungu disertai dengan mengamuk.
Sementara itu untuk perempuan yang telah kawin, sejak
dikeluarkannya UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
kedudukannya sama dengan suamiriya, artinya cakap untuk
melakukan perbuatan hukum dalam lapangan hukum harta
kekayaan. Berakhirnya status manusia sebagai subjek hukum
adalah pada saat meninggal dunia. Dulu ada kematian perdata
sekarang tidak ada. Pasal 3 KUHPerdata menyatakan bahwa tidak
ada satu hukumanpun yang mengakibatkan kematian perdata.
2. Badan hukum sebagai subjek hukum
Badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai
gejala dalam hidup bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia
berdasarkan hukum, mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia
pribadi. Selain manusia yang secara kodrati merupakan subjek hukum,
hukum juga mengakui eksistensi badan hukum atau rechtspersoon
sebagai badan hukum, yang berkedudukan sebagai pendukung hak
dan kewajiban. Badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat
memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan
perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka
pengadilan. Badan-badan atau perkumpulan tersebut dinamakan
Badan Hukum (rechtpersoon) yang berarti orang (persoon) yang
diciptakan oleh hukum. Rechtspersoon biasa disebut sebagai badan
hukum yang merupakan persona ficta atau orang yang diciptakan oleh
hukum sebagai persona.
Dalam peraturan di Indonesia, istilah yang resmi digunakan adalah
badan hukum, istilah ini dapat ditemukan dalam peraturan
perundangundangan berikut:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok
Agraria;
b. . Peraturan Pemerintah Peng-ganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1960 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara;
d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
dan sebagainya.
Pada umumnya, ahli hukum tidak sependapat dengan
menempatkan pengaturan badan hukum di dalam Buku III KUH
Perdata. Badan hukum yang pada dasarnya merupakan subyek hukum
tidaklah tepat dimasukkan dalam hukum perikatan, walau sebagian
dari badan hukum tersebut lahir dari perjanjian. Namun demikian
tidaklah tepat pula bila badan hukum yang merupakan subyek hukum
diatur bersama-sama dengan subyek hukum manusia. Badan hukum
merupakan persoon karena hukum dan struktur badan hukum yang
menopang eksistensi badan hukum adalah struktur hukum, berbeda
dengan manusia yang struktur manusia sama sekali bukan persoalan
hukum.
HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Kesepakatan 2 pihak/lebih perjanjian. Kesepakatan tidak boleh
dilakukan secaara paksa atau ada paksaan.
1. Hofmann
Perikatan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara sejumlah
subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang
daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara
tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
2. Pitlo
Perikatan adalah merupakan suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu
berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi.
3. Vollmar
Memberikan penjelasan bahwa perikatan itu akan ada selama seseorang itu
(debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan
terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
Jadi perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menuntut suatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi kebutuhan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan
kreditur sedangkan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi dinamakan
debitur atau si berhutang.
WANPRESTASI
A. Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara
kreditur dengan debitur. Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji
dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Seorang
debitur dikatakan lalai, apabila ia tidak memenuhi kewajibannya atau
terlambat memenuhinya tetapi tidak seperti yang telah diperjanjikan.
Kata lain wanprestasi juga dapat diartikan suatu perbuatan ingkar janji
yang dilakukan oleh salah satu pihak yang tidak melaksanakan
isiperjanjian, isi ataupun melaksanakan tetapi terlambat atau melakukan
apa yang sesungguhnya tidak boleh dilakukannya.
B. Akibat Wanprestasi
Penetapan debitur diselesaikan dalam KUHPerdata pasal 1238 yang
berbunyi sebagai berikut:
"Si berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau derni perikatannya
sendiri jika lID menetapkan bahwa SI berutang akan harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Istilah "akibat hukum" mengacu pada setiap tindakan yang diambil
untuk menangani suatu akibat yang telah disetujui oleh hukum dan
telah disepakati oleh pelaku serta pengatur hukum. Dapat juga berarti
akibat hukum adalah segala akibat yang tersebut dalam berbagai
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek
hukum atau akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian
tertentu oleh hukum yang ditentukan ataupun dianggap sebagai akibat
hukum.
HUKUM BENDA
A. Pengertian Benda
Dalam KUH Perdata, pengertian benda sebagai objek hukum tidak hanya
meliputi barang yang berwujud, namun juga barang yang tidak berwujud,
meskipun sebagian besar pasal-pasal dalamBuku II KUH Perdata mengatur
mengenai benda dalam arti berwujud. Sistem hukum benda adalah sistem tertutup,
artinya orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang
sudah ditetapkan dalam undang-undang. Jadi hanya dapat mengadakan hak
kebendaan terbatas pada yang sudah ditetapkan dalam undang-undang saja.Ini
berlawanan dengan sistem hukum perjanjian atau perikatan, yang menganut
sistem terbuka, artinya orang dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya dalam undang-undang
(KUH Perdata, KUH Dagang, peraturan khusus), maupun yang belum ada
pengaturannya sama sekali. Hukum benda adalah peraturan yang mengatur
tentang hak-hak kebendaan dan barang-barang tak terwujud (immaterial).
HUKUM PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Dalam Bahasa Indonesia, “Perkawinan” berasal dari kata “Kawin” yang
menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis
melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut
juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan arti bersetubuh
(wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti bersetubuh
(coitus), juga untuk arti akad nikah. Pengertian Perkawinan Menurut
Undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam Pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Perkawinan menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki-
laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang
sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fiqih berkata,
zawwaj atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya
mengandung kata; inkah atau tazwij.
B. Syarat-syarat Perkawian
Syarat nikah menjadi proses yang harus dilalui oleh calon pengantin
sebelum melangsungkan pernikahan secara legal. Di Indonesia telah
terdapat beberapa syarat nikah yang harus dilengkapi oleh calon
mempelai baik pria maupun perempuan, termasuk di antaranya
biaya pernikahan. Masalah biaya sebagai salah satu syarat nikah,
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2014 Tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku
Pada Departemen Agama (Depag), menikah di KUA tidak dipungut
biaya.
Perlu diperhatikan bahwa proses melengkapi syarat nikah ini dapat
berbeda tergantung dengan agama yang Anda anut, status
kenegaraan, rumah ibadah atau lokasi pernikahan dilaksanakan, dan
ketentuan dari kantor kelurahan di mana Anda akan menumpang
nikah. Perhatikan baik-baik setiap syarat nikah yang ditetapkan,
seperti dokumen kependudukan, dan segeralah melengkapinya,
bahkan jika memungkinkan, lakukan sebelum merencanakan detail
pernikahan lainnya.
Perkawinan yang tidak dicatatkan sangat merugikan bagi istri dan, baik
secara hukum maupun sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap
sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami
jika ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas
harta gono-gini jika terjadi perceraian, karena secara hukum
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial,
Perempuan yang perkawinan yang tidak dicatatkan sering dianggap
menjadi istri simpanan. Selain itu status anak yang dilahirkan dianggap
sebagai anak tidak sah.
D. Putusnya Perkawinan
Putusnya pernikahan adalah istilah hukum yang digunakan dalam
UU Perkawinan untuk menjelaskan "perceraian" atau berakhirnya
hubungan perkawinan antara seorang laki-laki degan perempuan
yang selama ini hidup sebagai suami istri. Untuk maksud perceraian
itu fiqh menggunakan istilah furqah. Penggunaan istilah ''putusnya
perkawinan" ini harus dilakukan secara hati-hati, karena untuk
pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan
kata "ba-in", yaitu satu bentuk perceraian yang suami tidak boleh
kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad
nikah yang baru. Ba-in itu merupakan satu bagian atau bentuk dari
perceraian, sebagai lawan pengertian dari perceraian dalam bentuk
raf'iy, yaitu bercerainya suami dengan istrinya namun belum dalam
bentuknya yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada
mantan istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih
berada dalam iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu
itu ternyata dia tidak kembali kepada mantan istrinya, baru
perkawinannya dikatakan putus dalam arti sebenamya, atau yang
disebut ba-in.
HUKUM KELUARGA
A. Keturunan
Kekuasaan orang tua menurut B.W. terjadi kekuasaan orang tua sepanjang
perkawinanbapak dan ibu ( pasal 299 B.W. ) . Jadi apabila orang tua cerai, tidak
ada kekuasaan orang tua, melainkan di bawah perwalian. Demikian pula, apabila
salah satu dari oarang tua meninggal dunia, maka anak di bawah perwalian.
Tegasnya, menurut B.W. kekuasaan orang tua berada di tangan orang tua, sedang
yang melaksanakan adalah bapak ( pasal 300 B.W. ) .Disamping kekuasaan orang
tua terjadi sepanjang perkawinan bapak dan ibu, ketentuan lainnya adalah sampai
dewasa dan tidak dibebaskan / dipecat dari kekuasaan orang tua.Isi kekuasaan:
1. Terhadap diri anak (orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak)
2. Terhadap harta benda anak
Berdasarkan SEMA Nomor 07 Tahun 2012, tentang akibat perceraian,
berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 UUP, dengan adanya perceraian tidak
menjadikan kekuasaan orang tua berakhir dan tidak memunculkan Perwalian
(bandingkan dengan Pasal 299 KUHPerd), Hakim harus menunjuk salah satu dari
kedua orang tua sebagai pihak yang memelihara dan mendidik anak tersebut
(Pasal 41 UUP).
C. Perwalian (Voogdji)
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut diatur walian.
Perwalian menurut KUH Perdata yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan:
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam
bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Menurut Riduan Syahrani bahwa perwalian itu sama halnya seperti orang-
orang yang belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan
(curatele) dalam melakukan perbuatan – perbuatan hukum diwakili oleh orang
tuanya, kecuali atau pengampunya sedangkan penyelesain hutang – hutang
piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh balai harta
peninggalan.
a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai
orang tua
b. Anak sah yang orang tuanya sudah bercerai
c. Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind).
Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja.
Kecuali, apabila seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana
suaminya menjadi medevoogd. Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali,
harus menerima pengangkatan itu, kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau
jika ia mempunyai alasan-alasan menurut undang-undang untuk minta dibebaskan
dari pengangkatan itu
Alasan-alasan itu antara lain jika ia, untuk kepentingan Negara harus
berada di luar Negeri, jika ia adalah seorang anggota Tentara dalam dinas aktif,
jika ia sudah berusia 60 tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk seorang anak lain
atau jika ia sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.
Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu,
ialah orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang di bawah
curatele, orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, jika
pengangkatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan
tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan
(weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak-anaknya
sendiri.
D. Pendewasaan(handliching)
Pendewasaan atau perlunakan adalah suatu upaya hukum yang digunakan
untuk meniadakan keadaan minderjarigheid, baik untuk keseluruhannya,
maupun untuk hal-hal tertentu. dengan kata lain pendewasaan adalah suatu
daya upaya hukum untuk menempatkan seorang yang belum dewasa
(minderjarigheid) menjadi sama dengan orang yang telah dewasa
(meerderjarigheid), baik untuk tindakan tertentu maupun untuk semua
tindakan. Sehingga ia memiliki kedudukan yang sama dengan orang dewasa.
Ada dua macam pendewasaan, yaitu
1. Pendewasaan sempurna, adalah pendewasaan yang meniadakan keadaan
minderjarigheid untuk keseluruhan. Pendewasaan yang sempurna
diperoleh melalui surat pernyataan sudah meerderjarig (venia aetatis) dari
presiden setelah mendapat pertimbangan dari mahkamah agung.
Permohonan untuk mendapatkan venia aetatis dapat diajukan apabila yang
bersangkutan paling tidak sudah berumur 20 tahun. Melalui pendewasaan
yang sempurna ini ia diperkenankan untuk bertindak sendiri dalam lalu
lintas hukum seolah-olah ia sudah meerderjarig (pasal 424 burgerlijk
wetboek).
2. Pendewasaan terbatas, merupakan pendewasaan yang diberikan hanya
untuk hal-hal tertentu (pasal 426 burgerlijk wetboek). Sesuai dengan
ketentuan pasal 426 burgerlijk wetboek, pendewasaan terbatas hanya
diberikan kepada anak-anak yang sudah genap berumur 18 tahun.
Sebelum memberikan pendewasaan, pengadilan akan terlebih
dahulu mendengar orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua atau
wali, dan wali pengawas bila anak tersebut berada di bawah
perwalian.pendewasaan terbatas diberikan untuk memberikan hak-hak
tertentu seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang sudah meerderjarig.
E. Pengampunan (curatele)
Pengampuan atau dikenal juga dengan istilah Curatele
adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya
lantas dianggap tidak cakap dalam berbagai hal untuk bertindak di
dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna
menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenankan
seseorang agar dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang
berada dibawah pengampuan.Pengampuan dalam Pasal 433 Kitab
UndangUndang Hukum Perdata ialah: “Setiap orang dewasa, yang
selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap
harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadangkadang
cakap mempergunakan pikirannya.
Karena diatur dalam satu bagian dengan kekuasaan orang
tua dan perwalian maka pengampuan memiliki persamaan dan
perbedaan antara satu dengan yang lain. Persamaannya ialah bahwa
kesemua itu mengawasi dan menyelenggarakan hubunganhukum
orang-orang yang dinyatakan tidak cukup bertindak, sedangkan
perbedaannya adalah pada kekuasaan orang tua, kekuasaan asli
dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih dalam ikatan
perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa; pada
perwalian pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali,
dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam ikatan
perkawinan lagi atau orang lain terhadap orangorang dewasa,
sedangkan pada pengampuan bimbingan dilaksanakan oleh kurator
(yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-
orang dewasa yang karena suatu sebab diyatakan tidak cakap
bertindak dalam lalu lintas hukum.
HUKUM WARISAN
Dalam KUH Perdata (BW) menurut Pasal 830 “Pewarisan hanya terjadi
karena apabila ada kematian”. Apabila belum ada kematian maka belum terjadi
warisan. Wiryono Prodjodikoro mengatakan:“warisan adalah soal apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup.”
Berdasarkan pasal 1126, 1127, 1128 KUH Perdata, maka istilah Harta Tak
Terurus berarti “Jika suatu suatu warisan terbuka, tiada seorangpun menuntutnya
ataupun semua ahli waris yang terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan
itu sebagai tak terurus”
Bila batasan pengertian harta peninggalan tak terurus tersebut di atas di analisa
dengan cermat, dapat diketahui beberapa unsur yang membentuk pengertian harta
tak terurus, yaitu:
3. Tidak ada ahli waris, atau jika ada, para ahli waris menolak warisan
tersebut
Pada dasarnya proses pengurusan harta peninggalan tidak terurus tidak jauh beda
dengan proses pengurusan harta yang dinyatakan tidak hadir berawal dari
Penetapan Pengadilan tentang Ketidakhadiran orang tersebut, maka pengurusan
harta peninggalan tak terurus bertolak dari proses pemeriksaan harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia yang akta kematiannya diperoleh dari
Kantor Catatan SIpil.
Apabila dalam pemeriksaan terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi
hukum Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut
antara lain dengan melakukan pendaftaran budel. Bila dirasa perlu, maka Balai
Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan atas harta tersebut.
a. Akta otentik
Pengertian Akta Otentik telah ditentukan di dalam pasal
1868 KHUPerdata,yakni “ suatu akta otentik ialah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh
atau di hadapan pejabat umumm yang berwenang untuk itu di
tempa akta itu dibuat.” Contoh akta otentik diantarana sertifikat
hak atas tanah yang diterbitkan oleh BPN,putusan hakim,akta
jual beli (AJB) yang diterbitkan oleh pejabat pembuat akta tanah
(PPAT) dan lain-lain.
b. Surat dibawah tangan
Pengertian akta dibawah tangan dapat dilihat di dalam pasal
1869 KHUPerdata,yakni “suatu akta yang tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik,baik karena tidak berwenang
atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun
karena cacat dalam bentuknya,mempunyai kekuatan sebagai
tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para
pihak.”surat di bawah tangan ini memiliki ciri atau kekhasan
tersendiri,berupa:
1. Bentuknya bebas
2. Pembuatannya tidak harus dihadpan pejabat umum.
3. Tetap mempunyai kekuatan pembuktian selama tidak
disangkal oleh pembuatnya,artinya bahwa isi dari akta
tersebut tidak perlu dibuktikan lagi kecuali ada yang
bisa membuktikan sebaliknya (menyangkal isinya).
4. Dalam hal harus dibuktikan,maka pembuktian tersebut
harus dilengkapi juga dengan saksi-saksi & bukti
lainnya.oleh karena itu,biasanya dalam akta di bawah
tangan,sebaiknya dimasukkan 2 orang sanksi yang
sudah dewasa untuk memperkuat pembuktian.
c. Surat biasa
Surat biasa ini dalam beberapa literatur diterangkan sebagai
surat yang dalam penulisannya tidak diniatkan atau tidak
ditujukan akan dijadikan bukti baik di depan maupun di luar
persidangan,tetapi jika suatu saat surat itu digunakan sebagai
bukti maka itu bersifat kebetulan saja.contoh surat menyurat
antara dua sahabat yang dipisahka oleh jarak,surat seorang anak
di perantauan kepada orang tuanya untuk menginformasikan
tentang keadaan dan lain-lain.
2. Bukti saksi
Menurut darwan prinst saksi adalah “orang yang memberikan
keterangan/kesaksian di depan persidangan mengenai apa yang mereka
ketahui,lihat sendiri,dengar sendiri atau alami sendiri yang dengan
kesaksia itu akan menjadi jelas suatu perkara.” Saksi yang di hadirkan
di hadapan hakim bertujuan untuk menguatkan peristiwa yang
didalilkan di depan persidangan.jumlah saksi yang dihadirkan dapat
minimal dua orang dewasa dan cakap hukum,keterangan satu saksi di
depan persidangan tidak dapat dipercaya sepanjang tidak didukung
dengan alat bukti yang lain,sesuai ketentuan pasal 1905 KUH Perdata
yang menyatakan “keterangan seorang saksi saja tanpa alat
pembuktian lain,dalam pengadilan tidak boleh dipercaya.”
3. Persangkaan
Alat bukti yang diakui di dalam hukum adalah “persangkaan” yang
dalam pasal1915 KUH Perdata diberi pengertian yakni “persangkaan
ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik
dari suatu peristiwa yangdiketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum.ada dua persangkaan,yaitu persangkaan yang
berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan
undang-undang.”dalam berbagai leteratur,ketentuan pasal di atas
dimaknai bahwa persangkaan ini terbagi dua jenis yakni persangkaan
undang-undang dan persangkaan hakim.
Persangkaan hakim adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari
suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang
tidak diketahui umum,seperti fakta-fakta yang terungkap di
persidangan yang dijadikan dasar hakim untuk menyusun
pertimbangan hukum di dalam putusannya,dari fakta itu hakim akan
meletakan hukumnya dan menjatuhkan putusan.sedangkan
persangkaan undang-undang telah dimaksudkan di dalam pasal 1916
KUH perdata yang menerangkan bahwa persangkaan undang-undang
ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus untuk
undang-undang,dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu
4. Pengakuan
pengakuan itu ada di utarakan di depan hakim dan ada yang tidak
di hadapan hakim atau di luar persidangan.pengakuan di depan hakim
adalah persidangan mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna,baik diungkapkan sendiri maupun melalui seorang kuasa.hal
itu seperti dinyatakan di dalam ketentuan pasal 1925 KUH perdata
yang isinya menyatakan “pengakuan yang diberikan di hadapan
hakim,merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang
telah memberikannya,baik sendiri maupun dengan perantaraan
seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.”
Pengakuan seperti yang dimaksud di dalam pasal 176 HIR
mengandung asas “onsplitbaar aveu” atau pengakuan yang tidak boleh
dipisah-pisah,yaitu tiap-tiap pengakuan harus diterima segenapnya dan
hakim tidak bebas akan menerima bagiannya saja dan menolak bagian
yang lain sehingga menjadi kerugian kepada orang yang mengaku itu
melainkan jika orang yang berutang untuk melepaskan dirinya
menyebutkan bersama pengakuan itu beberapa perbuatan yang nyata
palsu.
5. Sumpah
Pengertian sumpah sebagai alat bukti,adalah suatu keterangan atau
pernyataan yang dikuatkan atas nama tuhan,dengan tujuan:
a. Agar orang yang bersumpah dalam meberi keterangan atau
pernyataan itu,takut atas murka tuhan,apabila dia berbohong
b. Takut kepada murka atau hukuman tuhan,dianggap sebagai daya
pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang
sebenarnya