Anda di halaman 1dari 31

DASAR-DASAR

HUKUM PERDATA
Tugas: Hukum Perdata
Semester: III (tiga)
Disusun oleh: L Sugianto Wijaya
Menurut isinya hukum dapat dibagi menjadi 2 yaitu: hukum privat dan
hukum publik.

• Hukum Privat (privaatrecht) atau sering juga disebut Hukum Sipil (civielrehct)
adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang
lain di dalam pergaulan masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi atau badan hukum). Hukum Privat disebut juga Hukum
Perdata. Yang termasuk dalam hukum privat antara lain Hukum Perkawinan, Hukum
Dagang, Hukum Waris, Hukum Perburuhan, dan sebagainya.
• Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan negara dengan alat
perlengkapan negara, atau hubungan negara dengan perorangan atau warga negara, di
antaranya Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, dan Hukum Internasional.
Pengertian Hukum Perdata
• Prof. Subekti S.H., hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum “privat
materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perorangan.
• Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo S.H., hukum antar perorangan yang mengatur hak
dan kewajiban orang perorangan yang satu terhadap yang lainnya di dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat.
• Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., hukum perdata ialah hukum yang
mengatur kepentingan antar warganegara perseorangan yang satu dengan warganegara
perseorangan yang lain.
Hukum perdata dibagi menjadi dua yaitu hukum perdata dalam arti luas
dan hukum perdata dalam arti sempit.

• Hukum perdata dalam arti luas meliputi seluruh aturan dalam KUHPerdata,
KUHD, beserta peraturan undang-undang tambahan lainnya (seperti: Hukum
Agraria, Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Perburuhan, dan sebagainya).
• Sedangkan hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata
sebagaimana terdapat dalam KUHPerdata saja.
Kaidah Hukum Perdata
Kaidah hukum perdata ada yang berbentuk tertulis, dan tidak tertulis.
• Hukum perdata tertulis, adalah peraturan diatur dalam KUHPerdata (BW)
dan KUHDagang (WvK), serta peraturan perundang-undangan lainnya,
Traktat, dan Yurisprudensi.
• Hukum perdata tidak tertulis, mengacu pada kebiasaan-kebiasaan di
masyarakat, yang disebut sebagai Hukum Adat.
Jenis-jenis Hukum Perdata
1. Hukum Perdata Materiil
adalah aturan-aturan hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan
perdata setiap subyek hukum. Hukum Perdata Materiil sering disebut
Hukum Perdata.
2. Hukum Perdata Formil
adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara seseorang
mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Hukum Perdata
Formil sering disebut sebagai Hukum Acara Perdata.
Sejarah Hukum Perdata
◦ Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia saat ini berasal Hukum Perdata
Belanda yang disebut Burgerlijk Wetboek(BW). Menurut sejarahnya, BW
adalah hasil jiplakan dari Hukum Perdata Perancis yang telah dikodifikasi
dengan nama Code Civil des Francais. Sewaktu Perancis menduduki Belanda,
Hukum Perdata Perancis ini menjadi sum­ber Hukum Perdata di Belan­da.
◦ Setelah Belanda merdeka, Code Civil Perancis tetap berlaku di Belanda, dan
pada tahun 1838, Code Civil dikodifikasikan menjadi Burgerlijk Wetboek dan
Wetboek van Koophandel (WvK).
◦ Berdasarkan asas konkordasi yaitu azas persamaan berlakunya sistem hukum,
Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK) ini dikodifikasi
dan diterapkan di Hindia Belanda sebagai negara jajahan ke dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD). Kodifikasi ini dilakukan pada tahun 1847.
◦ Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, diberlakukan hukum yang
berbeda bagi masing-masing golongan. Hal ini didasarkan pada pasal 163 IS
(Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda
berdasarkan atas tiga golongan yaitu: Golongan Bumi Putera, Golongan Timur
Asing dan Golongan Eropa.
a. Untuk golongan Bumi Putera, berlaku “Hukum Adat”, yaitu hukum yang
sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
belum tertulis. Dimana setiap daerah memiliki Hukum Adat yang berbeda-
beda.
b. Untuk golongan Tionghoa, berlaku KUHPerdata dan KUHDagang dengan
beberapa pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, pernikahan, dan
peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi).
c. untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari Tionghoa
atau Eropa (yaitu: Arab, India dan lain-lain) berlaku sebahagian dari
KUHPerdata dan KUHDagang, yaitu mengenai hukum harta kekayaan.
◦ Masa kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, penggolongan penduduk tidak berlaku, karena
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh karena UUD NRI 1945 tidak mengenal adanya penggolongan
warga negara.
Karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki kodifikasi hukum perdata
nasional, maka BW masih tetap berlaku sebagai pedoman dengan pengecualian
apabila telah dibuat aturan yang baru sebagai penggantinya. Hal ini sesuai
dengan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi
dasar berlakunya aturan-aturan peninggalan Belanda di Indonesia sampai ada
aturan baru yang dibuat oleh pemerintah.
Kedudukan KUHPerdata saat ini
Bahwa secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai UU sebab BW tidak
pernah di cabut dari kedudukannya sebagai UU. Namun pada waktu sekarang
BW bukan lagi sebagai kitab UU hukum perdata yang bulat dan utuh seperti
keadaan semula saat diundangkan. Beberapa bagian dari padanya sudah tidak
berlaku lagi, baik karena peraturan baru dalam lapangan perdata maupun karena
disingkirkan dan mati oleh keputusan-keputusan hakim (yurisprudensi). Hal ini
terjadi karena beberapa pasal dari KUHPerdata tersebut saat ini tidak sesuai lagi
dengan perasaan keadilan masyarakat.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum perdata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu menurut menurut
KUHPerdata dan Ilmu Pengetahuan.
Sistematika Hukum Perdata menurut KUHPerdata:
a. Buku I, perihal orang (van Personen), memuat hukum perorangan dan hukum
kekeluargaan
b. Buku II, perihal benda (van Zaken), memuat hukum benda dan hukum waris.
c. Buku III, perihal perikatan (van Verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan
berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-
pihak tertentu.
d. Buku IV, perihal pembuktian dan kadaluarsa (van Bewijs en Verjaring), memuat perihal
alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan
hukum.
Sistematika menurut ilmu pengetahuan, Hukum Perdata yang termuat dalam
KUHPerdata dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu:
1. Hukum Perorangan/Hukum Pribadi (Personenrecht):
a. peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subjek hukum.
b. peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.
c. peraturan-peraturan tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum Keluarga (Familierecht):
a. perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/isteri.
b. hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua-ouderlijke
macht).
c. perwalian (voogdij).
d. pengampuan (curatele) karena gila, atau karena pemborosan.
3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht):
mengatur hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksud ialah jumlah segala hak dan
kewajiban orang itu yang dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hukum harta kekayaan
meliputi:
a. hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang. Hak mutlak yang
memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas
suatu pendapat dalam ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk
memakai sebuah merek dinamakan hak mutlak.
b. hak perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu
pihak tertentu saja.
4. Hukum Waris (Erfrecht):
memuat hukum tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal
dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang). Dapat dikatakan pula, hukum waris itu mengatur
akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, hukum waris
lazimnya ditempatkan tersendiri.
Perihal Orang Dalam Hukum Perdata
Dalam hukum, kata orang (persoon) berarti pembawa hak yaitu segala sesuatu yang
mempunyai hak dan kewajiban dan disebut juga sebagai subyek hukum. Istilah subyek
hukum berasal dari terjemahan recht subject (Belanda) atau law of subject (Inggris).
Dalam pengertian ini subyek hukum memiliki wewenang yang dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
a. Wewenang untuk mempunyai hak (rechts bevoegdheid)
b. Wewenang untuk melakukan/menjalankan perbuatan hukum dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Subyek hukum itu terdiri dari:
c. Orang (naturlijke persoon);
d. Badan hukum (rechtspersoon).
Naturlijke Persoon/Orang
Secara hukum keperdataan seorang manusia sebagai pembawa hak atau sebagai
subyek hukum mulai berlaku pada saat ia masih dalam kandungan ibunya atau
belum dilahirkan, misalkan kepentingan si janin tersebut diperhatikan secara hukum
perdata dalam konteks hukum waris bilamana bayi yang dilahirkan tersebut terus
hidup namun sebaliknya jika bayi yang dilahirkan tersebut meninggal dunia maka
dianggap tidak pernah ada, dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Hal ini diatur
dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan:
Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
Namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid).
Orang yang menurut perundang-undangan dinyatakan tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa atau belum cukup umur
2. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan seperti perwalian atau pengampuan
(curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya,
karena orang tersebut dalam keadaan dungu, gila, gelap mata (kalap) dan pemboros
(Pasal 1330 BW juncto Pasal 433 BW).
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu misalnya orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 juncto UU
Kepailitan).
Oleh karena itu, tidak ada satu hukuman yang dapat mengakibatkan kematian perdata
(burgerlijke dood) atau kehilangan segala hak perdata.
Usia subyek hukum yang cakap secara hukum
Indonesia sebagai negara hukum mengakui manusia pribadi sebagai subyek hukum
sebagaimana ditegaskan di dalam UUD 1945, bahwa semua warga negara adalah sama
kedudukannya di dalam hukum. Oleh karena itu, meskipun adanya persamaan
kedudukan yang sama dimuka hukum, tentunya ada ketentuan yang mengatur manusia
dikatakan cakap hukum, sebagaimana ditegaskan dalam KUHPerdata, yaitu apabila
orang telah berusia 21 tahun keatas. Dengan demikian, apabila orang tersebut belum
mencapai usia 21 tahun, maka masih dikategorikan subyek hukum yang belum cakap
hukum terkecuali apabila orang tersebut telah atau pernah melaksanakan perkawinan
Recht Persoon/Badan Hukum
Sebagaimana dengan subjek hukum manusia, badan hukum dapat mempunyai hak dan
kewajiban serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum baik dengan badan
hukum yang lain maupun dengan subjek hukum manusia, karena itu badan hukum dapat
mengadakan perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan segala macam
perbuatan di lapangan harta kekayaan. Tiga macam badan hukum:
1. Badan hukum yang dibuat pemerintah, misalnya perusahaan, dan bank-bank yang
didirikan oleh Negara.
2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah misalnya perseroan terbatas, koperasi.
3. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang seperti (yayasan, pendidikan, keagamaan, sosial (LSM)
HUKUM KELUARGA
• Undang-Undang yang berlaku diluar KUHPerdata yang mengatur tentang
perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
• Pengertian perkawinan: ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
• Dalam Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya dilihat sebagai keperdataan
saja, yang berarti perkawinan hanya sah jika memenuhi syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam KUHPerdata
Syarat-Syarat Perkawinan
1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai
2. Kedua mempelai harus berusia 19 tahun (sesuai UU No. 16 Tahun 2019)
3. Tidak ada hubungan darah
4. Bila seorang perempuan sebelumnya sudah pernah kawin, maka harus lewat 300
hari sesudah putusnya perkawinan
5. Adanya izin dari orangtua/wali jika ada yang masih di bawah umur
6. Tidak ada larangan dalam Undang-Undang bagi kedua belah pihak untuk
melaksanakan perkawinan pertama
Sebelum perkawinan dilangsungkan ada sesuatu hal yang harus dilakukan terlebih
dahulu, yaitu:
• Pemberitahuan tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai Pencatatan Sipil.
• Pengumuman oleh pegawai tersebut, tentang akan dilangsungkan perkawinan itu
Selain itu, terdapat surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil, agar
dapat dilangsungkan pernikahan, yaitu:
• Akta kelahiran kedua belah pihak.
• Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin dari orangtua.
• Proses verbal dari perantaraan hakim, karena dalam hal ini perantaraan itu dibutuhkan.
• Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan sebelumnya.
• Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah dilangsungkan
pengumuman dengan tiada perlawanan dari suatu pihak.
• Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan untuk kawin
Perjanjian Perkawinan
• Dalam KUHPerdata dijelaskan bahwa setelah adanya perkawinan, maka harta
kekayaan suami istri baik harta asal maupun harta bersama sebagai suami dan
istri menjadi bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan. 
• Jadi dalam hal ini perjanjian perkawinan adalah kesepakatan untuk memisahkan
dan mengurus harta masing-masing dalam perkawinan sebagai suami istri.
• Dalam Pasal 147 KUHPerdata, menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan itu
harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian dibuat dengan
suatu akta notaris sebelum waktu dilangsungkannya perkawinan, untuk
kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat.
• Pada dasarnya perjanjian kawin perlu dibuat dalam rangka antisipasi jika terjadi hal-
hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan, seperti perceraian, hutang piutang
dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh suami/istri.
• Mengenai isi perjanjian perkawinan, diserahkan kepada kedua belah pihak, asal tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, tidak boleh
menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal 140, 142 dan 143 KUHPerdata.

Terdapat beberapa macam perjanjian perkawinan, yaitu:


• Perjanjian perkawinan diluar persekutuan harta benda.
• Perjanjian perkawinan persekutuan hasil dan pendapatan.
• Perjanjian perkawinan persekutuan untung dan rugi.
• Perjanjian kawin diluar persekutuan harta benda.
Perceraian
• Perkawinan dapat hapus apabila salah satu pihak meninggal. Selain itu,
perkawinan dapat hapus apabila salah satu pihak baik suami atau istri telah
mendapat izin hakim dengan perceraian.
• Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau
tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan tersebut.
• Dalam Undang-Undang, perceraian tidak boleh dilakukan dengan
permufakatan antara suami dan istri, jadi dalam hal ini perceraian didasari
dengan alasan.
Alasan-alasan dalam perceraian, meliputi:
• Zina;
• Ditinggalkan dengan sengaja;
• Hukuman badan yang melebihi 5 tahun karena melakukan kejahatan penganiayaan berat;
• Salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit, sehingga tidak dapat menjalankan
kewajibannya;
• Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam perceraian terdapat akibat pula dalam kekuasaan orang tua yang berakhir dan
berubah menjadi perwalian. Karena itu, jika perkawinan dipecahkan oleh hakim, harus pula
diatur tentang perwalian terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. 
Dalam hal ini hakim bebas untuk menetapkan ayah atau ibu yang akan menjadi wali,
tergantung dari siapa dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak.
Pemisahan Kekayaan
• Dalam melindungi si istri  terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas atas
kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, Undang-Undang memberikan
pada si istri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan
kekayaan dengan tetap berlangsungnya perkawinan. 
◦ Pemisahan kekayaan dapat diminta oleh si istri dengan alasan, yaitu:
◦ Apabila suami dengan kelakuan yang nyata tidak baik, mengorbankan
kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga.
◦ Apabila suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan istri,
hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis.
◦ Apabila suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si istri akan kehilangan
tanggungan yang oleh Undang-Undang diberikan padanya atas kekayaan
tersebut, karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap kekayaan
istrinya.
◦ Perlu diingat, bahwa di Indonesia sudah ada Undang-Undang yang berlaku
diluar KUHPerdata yang mengatur tentang perkawinan, yaitu Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Referensi Buku:
◦ PNH Simanjuntak, S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan,
2009.
◦ Martha Eri Safira, M.H., Hukum Perdata, CV. Nata Karya, 2017
◦ Makalah kuliah Hukum Perdata oleh Lily Syafrina, S.H., M.H.
◦ Makalah kuliah Hukum Perkawinan oleh Lily Syafrina, S.H., M.H.

Anda mungkin juga menyukai