Anda di halaman 1dari 32

HUKUM INTERNASIONAL

MAKALAH

OLEH

Akhiro Murio
1910003600411

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan


Mata Kuliah Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS EKASAKTI
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Hukum Internasional” sesuai dengan yang penulis
harapkan.
Makalah ini masih jauh dari sempurna maka kritik dan saran akan berguna
bagi penulis. Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu pernyaratan untuk
mata kuliah Hukum Internasional. Penulis harapkan makalah ini bisa membantu
memenuhi persyaratan tersebut.
Penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik berkat bantuan dari
berbagai macam sumber yang tidak dapat disebutkan. Semoga makalah ini dapat
menjadi salah satu referensi untuk orang yang membutuhkan. InsyaAllah.

Padang, April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................2

DAFTAR ISI................................................................................................3

A. PENDAHULUAN................................................................................... 4

B. PEMBAHASAN.......................................................................................5

1. Pengertian dan Sejarah Hukum Internasional.................................5


2. Teori Hukum / Dasar Berlakunya Hukum Internasional................9
3. Sumber Hukum Internasional.........................................................12
4. Subjek dan Objek Hukum Internasional........................................14
5. Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional................................19
6. Hukum Internasional di Indonesia................................................25

7. Pandangan Internasional Terhadap Wabah Covid-19 ..................29

C. KESIMPULAN.......................................................................................31

Daftar Pustaka

3
HUKUM INTERNASIONAL

A. Pendahuluan

Perkembangan teknologi pada saat ini amat pesat. Hampir semua kegiatan
dapat berbasis aplikasi yang dapat memangkas kebutuhan biaya akan ruang dan
waktu. Pendidikan tidak lagi membutuhkan kelas, buku-buku dapat berbentuk
soft file yang dapat dikirimkan melalui aplikasi media sosial. Sebuah gadget
dapat menjadi pustaka untuk semua disipiln ilmu. Pembelajaran pun dapat
dilaksanakan secara Online melalui E-learning atau yang sejenisnya.
Pengetahuan dan ilmu hasil karya orang lain dapat dibaca dan diperoleh kapan
saja dan dimana saja. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana
dengan hak-hak orang yang telah membuat karya tersebut? Tentu dibutuhkan
suatu aturan yang mengatur tentang hal yang demikian. Ini merupakan salah
satu aspek dan masih banyak aspek lain yang mempunyai permasalahan yang
sama. Dan dalam hal ini negara harus hadir untuk memfasilitasi akan kebutuhan
tersebut.

Kehadiran negara untuk membuat landasan hukum yang mengatur terkait


dengan segala bentuk kegiatan yang berbasis teknologi ini dapat dilaksanakan
jika terjadi dalam satu negara. Namun akan timbul pertanyaan baru, bagaimana
jika pelanggaran hukum terjadi lintas negara. Sebagaiman diketahui hukum di
setiap negara tentunya berbeda. Hal ini akan menjadi permasalahan jika tidak
ada landasan hukum yang jelas terkait dengan pelanggaran hukum lintas
negara.

Pelanggaran hukum lintas negara dapat melibatkan antara dua negara atau
lebih. Negara-negara yang mempunyai permasalahan yang sama harus
mendapatkan jalan keluar agar tidak muncul dampak yang lebih besar.
Pertemuan antar negara untuk memikirkan langkah-langkah kongkrit sebagai
problem solving harus menjadi isu utama. Dalam hal ini Hukum Internasional
akan mengambil peranan yang sangat penting. Sehingga Hukum tetap dapat
ditegakkan dalam situasi apapun. Fiat Justitia Ruat Caelum.

4
B. Pembahasan
1. Pengertian dan Sejarah Hukum Internasional

Pemahaman akan suatu makna dari kata dibutuhkan sebelum


membicarakan permasalahan yang terkait dengannya. Salah satu caranya adalah
dengan mencari padanan kata dari bahasa asing atau bahasa asli kata tersebut.
Untuk kebutuhan tersebut dikenal istilah terminologi; yaitu ilmu untuk
menjelaskan pengertian dari beberapa istilah.

1.1.Pengertian Hukum Internasional

Secara terminologi Hukum Internasional yang digunakan di Indonesia


merupakan padanan dari istilah bahasa asing, diantaranya adalah Internasional
Law (Inggris), Droit Internasional (Prancis), Internasional Recht (Belanda) dan
juga ada istilah lain namun maknanya hampir sama seperti; Hukum Antar
Bangsa (The Law of Nations), Hukum Antar Negara (Interstates Law), Hukum
Dunia (World Law) dan Hukum Transnasional (Transnatinal Law) (Diantha,
2017: 11). Diharapkan dengan mengetahui beberapa istilah ini dapat membantu
pemahaman akan Hukum Internasional. Dengan demikian akan lebih mudah
untuk mempelajari hukum internasional secara komprehensif dengan membaca
literatur dari negara-negara yang memilikinya.

1.2. Sejarah Hukum Internasional

Sebelum berbicara lebih jauh tentang Hukum Internasional ada baiknya


untuk mengetahui sejarah dari Hukun Internasional itu sendiri. Menurut
Diantha (2017: 27-33) sejarah Hukum Internasional dalam perkembangannya
terdiri dari beberapa periode yaitu: zaman India Kuno, bangsa Yahudi, zaman
Yunani, zaman Romawi, perjanjian Westphalia dan abad ke delapan belas
(XVIII). Berikut akan dipaparkan secara singkat dari tiap periode.

Periode yang pertama adalah Zaman India Kuno. Dalam kebudayaan


India Kuno telah telah dikenal Hukum bangsa-bangsa yang mengatur
ketentuan-ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa seorang duta. Mereka
juga mempunyai kaedah dan lembaga hukum yang mengatur hubungan antar
kasta, suku bangsa dan raja-raja. Mereka juga mengatur tentangi perjanjian-

5
perjanjian, hak dan kewajiban raja dan juga pengaturan hukum perang. Pada
Zaman India Kuno telah ada sebuah buku yang ditulis oleh Kautilya yang
berjudul Artha Sastra Gautamasutra yang berisi tentang hukum kerajaan dan
hukum keluarga, serta hukum kasta. Hingga pada akhirnya pada abad ke 5
Masehi lahir Undang-undang Manupada yang memuat tentang hukum kerajaan
dan hubungan antara raja-raja.

Selanjutnya periode yang kedua yaitu Periode bangsa Yahudi. Periode ini
telah mengenal hukum bangsa-bangsa yang merupakan pengembangan dari
kebudayaan Bangsa Yahudi yang telah mengatur ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian, perlakuan terhadap bangsa asing asing dan tata cara melakukan
perang. Mereka membuat aturan secara umum tentang perang dan juga
membuat pengecualian dari hukum perang itu sendiri.

Periode ketiga adalah permulaan masa Yunani. Pada masa ini proses
pembentukan kaidah-kaidah kebisaaan hukum internasional dari adat-istiadat
yang ditaati oleh negara-negara dalam hubungan mereka bernegara. Pada
zaman ini penduduk digolongkan menjadi dua yaitu: golongan Yunani dan
orang luar Yunani. Masyarakat Yunani sudah mengenal ketentuan-ketentuan
mengenai perwasitan (arbitration) dan diplomasi yang tinggi tingkat
perkembangannya. Yunani mengenalkan Konsep Hukum Alam yaitu hukum
yang berlaku secara mutlak dimanapun juga dan yang berasal dari ratio atau
akal manusia yang merupakan hasil pemikiran ahli filsafat yang hidup dalam
abad ke III sebelum masehi. Walaupun demikian yang memperkenalkan
Konsep Hukum Alam kepada dunia adalah Roma.

Berikutmya adalah periode Zaman Romawi. Hukum Internasional pada


Zaman Romawi kurang berkembang karena seluruh wilayah lingkungan
kebudayaan Romawi berada dalam satu Imperium. Namun Hukum Romawi
menjadi dasar pada sebagaian besar sistem-sistem hukum di Eropa khususnya
negara-negara Eropa Barat dan berpengaruh terhadap perkembangan hukum
internasional masa kini diantaranya seperti occupation, servitut, dan bona fides,
juga dikenal asas pacta sunt servanda. Selanjutnya istilah hukum ius gentium
yang merupakan hukum tentang hubungan antara orang Romawi dengan orang
yang bukan Romawi serta antara sesama orang bukan Romawi dan istilah ius
6
inter gentes yang mengatur hubungan antara publik dengan individu. Selain
dari pada itu di Zaman Romawi terdapat dua masyarakat besar yang berbeda
yaitu Kekaisaran Byzantium, yang memperkenalkan praktek diplomasi dan
memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional, dan dunia
Islam memberikan sumbangan perkembangan di bidang hukum perang.

Selanjutnya adalah periode yang kelima, yaitu Perjanjian Westphalia.


Latar belakang dari lahirnya perjanjian legendaris ini adalah karena selain dari
faktor persoalan-persoalan keagamaan, pertentangan antara agama Katolik dan
Protestan, namun juga tentang perkembangan kenegaraan dan hubungan antara
bangsa serta pengakuan internasional. Perjanjian ini mengakhiri perang yang
telah berlangsung selama 30 tahun yang berdampak pada terbentuknya negara-
negara hasil dari penggabungan beberapa kerajaan kecil atas kehendak rakyat
seperti Italia. Uni Eropa (European Union) dapat dipandang berasal dari
perjanjian ini.

Perjanjian Westphalia sebagai titik puncak dari suatu proses gerakan


reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, pemisahan antara kekuasaan
Gereja dan Negara. Aktornya adalah Hugo Grotius membuat dasar berlakunya
hukum internasional pada hukum alam. Karyanya yang berjudul “ De Jure Belli
ac Pacis” yang terbit pada waktu terjadinya Perang Tiga puluh Tahun
melahirkan sistem organisasi masyarakat negara-negara yang baru di Eropa.
Sebelumnya Francisco Vittoria, biarawan berkebangsaan Spanyol, dalam
bukunya yang berjudul Relectio de Indis yang memuat tentang hubungan
Spanyol dan Portugis dengan orang-orang Indian di Amerika yang mana
menurutnya negara-negara tidak dapat bertindak sekehendak hatinya, ius inter
gentes, yang berlaku untuk seluruh umat manusia.

Periode keenam, Abad Ke-18, mulai bermunculan ahli hukum


internasional setelah Hugo Grotius yang terbagi dalam aliran hukum alam dan
aliran positivisme. Pufendorf, seorang ahli hukum dari Belanda, menyatakan
bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang
berpangkal pada akal manusia yang hidup berorganisasi dalam negara atau
tidak. Selanjutnya ahli hukum Christian Wolf, filsafat berkebangsaan Jerman,
mengemukakan teori mengenai Civitas Maxima. Lain pula dengan Zouche,
7
guru besar hukum perdata di Oxford, pandangannya lebih mementingkan
praktik negara sebagai sumber hukum sebagaimana terwujud dalam
kebisaaan dan perjanjian-perjanjian. Berikutnya Emmerich Vattel, diplomat
berkebangsaan Swiss, memilih segi-segi baik dari aliran hukum alam maupun
aliran positivis. Selain di Amerika Serikat pandangan Emmerich Vattel banyak
berpengaruh terhadap perkembangan hukum Internasional diantaranya
kebisaaan dan perjanjian antarnegara yang berharga dijadikan sebagai sumber
atau (evidence) hukum. Pada abad ini para ahli hukum untuk lebih
mengemukakan kaidah-kaidah hukum internasional terutama dalam bentuk
kebisaaan dan traktat, dan mengurangi sedikit mungkin kedudukan hukum alam
ataupun nalar, sebagai sumber dari prinsip-prinsip tersebut.

Abad ke-20, periode mulai berdirinya Organisasi internasional,


dipengaruhi oleh perkembangan akhir abad sebelumnya yaitu Konferensi
Perdamaian Tahun 1856 dan Konferensi Jenewa Tahun 1864, yang
mempelopori Konferensi Perdamaian Den Haag Tahun 1899 yang membentuk
perjanjian yang berlaku secara umum. Kemudian disusul Konferensi
Perdamaian II pada Tahun 1907 perkembangan hukum internasional terutama
di bidang hukum perang. Kedua Konferensi ini juga membentuk Mahkamah
Arbistrase Permanen. Peristiwa penting lainnya pada masa ini adalah
pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Selanjutnya Briand Kellogg Pact
yang diadakan pada tanggal 27 Agustus 1928 di Paris berisi kesepakatan untuk
melarang perang sebagai suatu cara mencapai tujuan nasional.

Setelah kegagalan LBB mencegah PD II, pada tanggal 26 Juni 1945


berdirilah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berpengaruh besar dalam
masyarakat hukum internasional, banyak sekali perkembangan dan kemajuan
yang dicapai seperti lahirnya negara-negara baru, sebelumnya kelompok negara
atau bangsa penjajah atau terjajah yang berimbas pada penegakan Hak Asasi
Manusia baik yang terbentuk dalam deklarasi maupun konvensi. Karakteristik
evolusi paling akhir dari hukum internasional adalah bahwa ahli-ahli hukum
internasional modern lebih banyak menaruh perhatian kepada praktek dan
keputusan-keputusan pengadilan namun secara praktek cendrung ke masa lalu.

8
2. Teori Hukum / Dasar Berlakunya Hukum Internasional

Sebelum masuk pada teori hukum dan dasar berlakunya hukum


internasional perlu untuk diketahui perbedaan antara Hukum Nasional dan
Hukum Internasional. Pada hukum nasional tertib hukumnya bersifat
subordinatif. Sedangkan pada hukum internasional tertib hukumnya bersifat
koordinatif sehingga tidak terdapat; kekuasaan eksekutif, lembaga legislatif,
lembaga kehakiman (yudisial) dan tidak terdapat lembaga kepolisian yang
diperlukan guna memaksakan berlakunya suatu ketentuan hukum.

Banyak pihak menyangkal mengenai sifat mengikat hukum internasional,


salah satunya adalah John Austin, seorang pelopor legal positivist, yang
berpendapat bahwa setiap hukum atau peraturan ,diambil dari makna terbesar
yang bisa diberikan pada istilah secara tepat, adalah perintah. Pada sumber lain
ia mengemukakan bahwa setiap hukum positif, atau setiap hukum secara
sederhana disusun oleh individu atau badan/lembaga yang memiliki kewenangan
kepada orang atau masyarakat di dalam sebuah Negara yang berwenang atas
mereka (Diantha, 2017: 55). Kesimpulannya John Austin memandang hukum
internasional itu bukanlah hukum melainkan hanya moralitas internasional positif
yang dapat disamakan dengan kaidah-kaidah yang mengikat suatu kelompok atau
masyarakat.

Namun pendapat Austin dapat dibantah melalui dua hal; pertama, tidak
adanya badan pembuat bukanlah berarti tidak ada hukum, contohnya adalah
hukum adat. Kedua, harus dibedakan antara ada-tidaknya hukum dan efektif-
tidaknya hukum. Dengan tidak adanya lembaga eksekutif, legislatif, kehakiman,
kepolisian dan yang lainnya merupakan pertanda bahwa hukum internasional
belum efektif bukan berarti tidak ada.

Teori-teori Hukum / dasar berlakunya Hukum Internasional adalah:

2.1.Teori Hukum Alam.

Teori ini mempunyai pandangan bahwa bangsa-bangsa dan negara-negara


terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar mereka karena
hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum alam yang lebih
9
tinggi. Teori hukum alam memberikan pengaruh yang besar bagi hukum
internasional dengan menjadi dasar dari pembentukan hukum yang ideal
melalui konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan suatu
keharusan yang diperintahkan oleh rasionalitas manusia.

Kelemahan yang mendasar dari Teori Hukum Alam adalah defenisinya


yang tidak jelas yang mengakibatkan pengertiannya menjadi subjektif
sesuai penafsiran para ahli yang menganjurkannya. Tokoh-tokoh dari teori
ini, antara lain, Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel dan lain-
lain.

2.2.Teori Hukum Positif

Teori Hukum positif ini terbagi lagi dalam tiga kelompok yang mempunya
ciri masing-masing.

2.2.1.Teori Kehendak Negara atau teori Kedaulatan Negara.

Teori kedaulatan negara berpandangan negara adalah sumber dari


segala hukum sehingga untuk tunduk pada Hukum internasiona adalah
karena kemauan negara-negara itu sendiri dan juga menjadikan Hukum
Internasional sebagai bagian dari Hukum Nasional yang mengatur
hubungan luar suatu negara. Kelemahan ajaran ini adalah tidak mampu
menjelaskan negara-negara yang baru lahir sudah langsung terikat oleh
hukum internasional terlepas dari mereka setuju atau tidak dan juga
tidak mampu menjelaskan bagaimana jika negara-negara menyatakan
tidak mau lagi terikat pada hukum internasional. Para pemuka Teori ini,
antara lain, George Jellinek, Zorn, dan lain-lain.

2.2.2.Teori Kehendak Bersama Negara-negara

Teori Kehendak Bersama Negara-negara berusaha untuk menutup


kelemahan Teori Kehendak Negara dengan mengatakan bahwa
kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum
internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik
karena negara-negara itu telah menyatakan persetujuannya untuk terikat
secara implisit. Ini adalah ajaran Vereinbarungstheorie yang
dikemukakan oleh Triepel.
10
Teori Kehendak Bersama Negara-negara ini mengandung kelemahan,
yaitu: Pertama, Teori ini tidak mampu memberikan penjelasan
bagaimana jika negara-negara tersebut secara bersama-sama menarik
persetujuannya untuk tidak terikat pada hukum internasional. Kedua,
dengan mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu pada
kehendak negara, maka Teori ini hanya menganggap hukum
internasional itu hanya sebagai hukum perjanjian antar negara- negara,
padahal hukum internasional bukan semata-mata lahir dari perjanjian
internasional.

2.2.3.Teori Wina (Vienna School of Thought)

Kelemahan-kelemahan yang melekat pada teori-teori yang meletakkan


dasar kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara
(yang kerap juga disebut sebagai aliran voluntaris) melahirkan
pemikiran baru yang tidak lagi meletakkan dasar mengikat hukum
internasional itu pada kehendak negara melainkan pada adanya norma
atau kaidah hukum yang telah ada terlebih dahulu yang terlepas dari
kehendak atau tidak oleh negara-negara (aliran pemikiran ini kerap
disebut sebagai aliran objektivist). Tokoh terkenal dari aliran ini adalah
Hans Kelsen yang Teorinya dikenal dengan sebutan Teori Wina
(Vienna School of Thought).

2.3.Teori Perancis

Teori ini muncul di Perancis hingga akhirnya dikenal sebagai Teori


Perancis. Suatu teori yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya
hukum internasional pada faktor-faktor yang mereka namakan fakta-
fakta yang hidup dan ada dalam kemasyarakatan seperti: faktor-faktor
biologis, faktor sosial, dan faktor sejarah kehidupan manusia. Adapun
menurut teori ini hukum internasional itu mengikat karena sifat alami
manusia, sebagai mahluk sosial, yang senantiasa memiliki hasrat untuk
dapat hidup bergabung dan diterima oleh manusia lain serta kebutuhan
akan solidaritas. Manusia memiliki naluri sosial sama halnya dengan
negara, yang merupakan kumpulan dari manusia. Intinya dasar yang

11
mengikat hukum internasional itu, sebagaimana halnya dasar
mengikatnya setiap hukum, terdapat dalam kenyataan sosial yaitu pada
kebutuhan manusia untuk hidup bermasyarakat. Adapun pelopornya,
antara lain, Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle.

3. Sumber Hukum Internasional

Sebelum membahas tentang Sumber Hukum Internasional perlu diketahui


terlebih dahulu pengertian dari sumber hukum. Menurut Diantha (2017: 37)
sumber hukum secara umum merupakan sumber asli kewenangan yang
mempunyai kekuatan memaksa dari suatu produk hukum positif yang mana
sumber hukum, terdiri dari; a) sumber hukum formal yang mempunyai
kekuatan memaksa dan dasar keabsahan suatu produk hukum ; dan b) sumber
hukum material merupakan sumber materi dari suatu produk hukum.

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah


International (International Court of Justice-ICJ) menentukan bahwa
Mahkamah mempunyai fungsi utama untuk memutus setiap perkara yang
diajukan kepadanya, harus memutus perkara berdasarkan hukum internasional,
yang mencakup: 1) perjanjian internasional (international conventions), 2)
Kebisaaan internasional (international custom), 3) Prinsip atau azas-azas
hukum umum yang diakui oleh bangsa-benagsa beradab; 4) Putusan-putusan
pengadilan dan ajaran dari sarjana yang bereputasi tinggi dari berbagai bangsa.
Namun ketentuan tersebut tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 38 ayat
(2) yang menentukan bahwa keberadaan sumber-sumber hukum internasional
itu tidak dapat mengesampingkan kekuasaan Mahkamah untuk memutus
perkara berdasarkan azas ex aequo et bono, yang berarti dalam keadilan dan
keterbukaan, sesuai dengan keadilan dan kebaikan atau sesuai dengan kepatutan
dan rasa keadilan.

Dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah sumber hukum sebagaimana diatur di


dalam ketentuan tersebut dapat diklasifikasikan atas dua kategori, yaitu: sumber
hukum primer atau utama seperti1) perjanjian internasional, 2) Kebisaaan
internasional, dan 3) Prinsip atau azas-azas hukum umum yang diakui oleh

12
bangsa-bangsa beradab; dan sumber hukum tambahan seperti pada poin 4)
Putusan-putusan pengadilan dan ajaran dari sarjana yang bereputasi tinggi dari
berbagai bangsa. Berikut adalah sumber Hukum Internasional, yaitu:

3.1.Perjanjian Internasional

Perjanjian international tidak hanya perjanjian yang dibuat oleh negara


sebagai subjek hukum internasional, melainkan juga antara negara dengan
organisasi internasional. Perjanjian antara orang dengan orang atau antar badan
hukum lintas negara; tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional.

Perjanjian internasional diklasifikasikan atas perjanjian yang bersifat


mengikat (hard law), merupakan perjanjian yang memuat materi yang bersifat
memaksa, mengandung hak, kewajiban, dan sanksi. Sedangkan yang bersifat
tidak mengikat (soft law) memuat prinsip-prinsip hukum yang mengikatnya
didasarkan pada kerelaan (voluntary based) negara-negara yang
menggunakannya.

Profesor Mochtar Kusumaatmadja membuat klasifikasi perjanjian yang


melewati tiga tahap sebagai perjanjian internasional atau traktat (treaty),
sedangkan perjanjian yang malalui dua tahap sebagai persetujuan (agreement),
dan ia juga menyebut Treaty Contract sebagai perjanjian yang bersifat khusus
dan Law Making Treaty sebagai perjanjian yang bersifat umum. Perjanjian yang
bersifat khusus merupakan perjanjian bilateral, sedangkan perjanjian yang
bersifat umum merupakan perjanjian multilateral (Diantha, 2017:40-41)

Jika dilihat dari praktek pembentukannya, perjanjian internasional


diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu: (1) perjanjian internasional yang
tahapan pembentukannya melalui tiga tahap, yaitu perundingan, penandatangan,
dan peratifikasian; untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat penting, sehingga
memerlukan persetujuan dari badan-badan yang memiliki hak untuk
mengadakan perjanjian, dan (2) perjanjian internasional yang pembentukannya
melalui dua tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan, seperti perjanjian
perdagangan berjangka pendek.

Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah pihak-


pihak yang membuat perjanjian; 1) Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang
13
dibuat oleh negara, 2) perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh
lebih dari dua negara. Pengklasifikasian lainnya adalah pengklasifikasian
berdasarkan akibat hukum yang ditimbulkan oleh perjanjian yang dibuat: (1)
Treaty Contract adalah perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang
membuatnya. Perjanjian ini hanya menimbulkan hak dan kewajiban. Misalnya,
perjanjian tentang kewarganegaraan, perjanjian tentang batas-batas negara dan
lainnya; (2) Law Making Treaties adalah perjanjian yang meletakkan kaedah-
kaedah hukum bagi masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan.
Misalnya, Konvensi tentang Hukum Laut dan lain-lain.

4. Subjek dan Objek Hukum Internasional

Antara subjek hukum dan objek hukum terdapat keterkaitan. Untuk dapat
memahaminya maka harus dijelaskan satu persatu. Subjek hukum adalah segala
sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban sehingga akan
menimbulkan kewenangan dalam melakukan tindakan (Sarno Wuragil, 2017).
Dengan pengertian tersebut maka ada satu pemahaman agar dapat berbicara
lebih lanjut tentang Subjek Hukum Internasional.

4.1. Subjek Hukum Internasional

Pada Awal pertumbuhan Hukum Internasional hanya negara yang


dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun seiring dengan
perkembangan zaman maka terjadi pula perubahan pelaku subjek hukum
internsional itu sendiri. Menurut Martin Dixon (dalam Diantha, 2017: 73-74)
Subjek Hukum Internasional adalah sebuah badan/lembaga atau entitas yang
memiliki kemampuan untuk menguasai hak dan melaksanakan kewajiban di
dalam hukum internasional. Menurut pandangan hukum internasional yang
dapat dikategorikan sebagai subjek hukum internasional memiliki 3 (tiga) hak
dan kewajiban dasar yakni: 1) Kemampuan untuk mengajukan klaim jika terjadi
pelanggaran hukum internasional, 2) Kemampuan untuk membuat perjanjian
internasional, 3) Memiliki keistimewaan dan kekebalan dari yurisdiksi nasional
sebuah Negara.

. Berikut adalah subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh

14
masyarakat internasional.

4.1. Negara.

Kualifikasi negara untuk dapat disebut sebagai pribadi dalam


hukum internasional adalah penduduk yang tetap, mempunyai
wilayah tertentu, mempunyai pemerintahan yang sah dan
kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.

4.2. Tahta Suci Vatikan

Dijadikannya Vatikan Vatican sebagai salah satu subjek hukum


internasional tidak bisa terlepas dari sejarah yang
melatarbelakanginya. Di dalam Perjanjian Lateran, Italia mengakui
kedaulatan Tahta Suci dalam hubungan internasional sebagai hak
Tahta Suci yang dimilikinya berdasarkan sejarah Gereja Katolik
dengan berbagai tradisi kunonya serta eksistensinya sebagai subjek
hukum yang independen. Tahta Suci melakukan hubungan
internasional dengan Negara-negara lain terkait hal-hal yang bersifat
politik dan diplomatik.

4.3. Organisasi Internasional

Organisasi Internasional adalah sebuah organisasi pemerintah yang


beranggotakan Negara-negara, pendiriannya berdasarkan perjanjian
internasional dengan tujuan tertentu, personalitasnya terpisah
dengan Negara- negara anggotanya dan berfungsi sebagai lembaga
pembentuk norma atau pengimplementasian norma dari suatu
instrumen hukum internasional.

4.4. Palang merah Internasional

Cikal bakal Palang Merah Internasional merupakan organisasi


dalam ruang lingkup nasional. Organisasi ini didirikan oleh lima
orang warga negara Swiss yang dipimpin oleh Henry Dunant dan
bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan ini akhirnya mendapat
banyak simpati dari berbagai negara dengan mendirikan Palang
merah di negara mereka masing-masing. Hingga akhirnya palang

15
merah nasional tersebut bergabung dan menjadi Palang merah
Internasional (Internasional Comittee of the Red Cross/ICRC) dan
berkedudukan di Jenewa-Swiss.

4.5. Kelompok Pemberontak

Kaum pemberontak adalah sekelompok orang yang melakukan


pemberontakan terhadap pemerintah sah di dalam suatu Negara.
Kaum pemberontak ini bisaanya melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang nasional; mereka bertujuan ingin menggulingkan
Pemerintahan yang sah dan membuat Pemerintah tandingan atau
bahkan ingin membentuk suatu Negara baru. Pemberontakan NIAC
(Non-International Armed Conflict) diatur dalam Pasal 3 pada
keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang konflik
yang tidak bersifat internasional dan Protokol Tambahan II 1977
dari Konvensi Jenewa. Atau pada saat kaum pemberontak dapat
dikualifikasikan sebagai belligerents maka kelompok tersebut dapat
diakui sebagai subjek hukum internasional.

4.6. Individu

Kemunculan individu sebagai salah satu subjek hukum internasional


berdasarkan kebutuhan adalah benar adanya. Hal ini dapat ditelusuri
melalui sejarah kejahatan perang yang dilakukan oleh individu-
individu. Pembentukan Tokyo Tribunal dan Nurenberg Trial
dibutuhkan pada saat itu agar para penjahat perang tidak dapat
berlindung dengan nama Negara, memberi efek jera dan untuk
mencegah terjadinya kejahatan perang di kemudian hari.

Selain itu, seorang individu juga memiliki hak untuk mengajukan


klaim ke lembaga penyelesaian sengketa internasional. Melalui
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of
International Justice) dinyatakan bahwa ketika suatu perjanjian
internasional memberikan hak-hak tertentu kepada individu, hak
tersebut diakui dan berlaku di dalam hukum internasional maka
dengan kata lain hak-hak individu tersebut diakui oleh badan

16
peradilan internasional. Beberapa lembaga tersebut tidak hanya
memberikan legal standing kepada individu tetapi juga kepada
sekelompok individu dan organisasi non pemerintah (Non-
Governmental Organizations).

4.7. Perusahaan Transnasional (TNC)

Kemunculan perusahaan asing ini mulai meresahkan dunia


internasional sejak tahun 1970-an. Dilihat dari nama komisi yang
dibentuk oleh ECOSOC dan Sekretaris Jenderal PBB maka dalam
tulisan ini memilih menggunakan terminologi TNC (Transnational
Corporation); Perusahaan transnasional adalah entitas ekonomi atau
sekelompok entitas ekonomi yang beroperasi di beberapa Negara –
apapun bentuk mereka, apakah berada di negara asal atau di negara
tempat berdirinya perusahaan transnasional/tempat perusahaan
transnasional melakukan aktivitas, apakah dilakukan perorangan
atau berkelompok.

4.8. Organisasi Non Pemerintah (NGOs)

Peranan NGOs dapat dilihat pada Objectives Chapter 27 dari Agenda


21 yang menyebutkan bahwa PBB dan Pemerintah dalam proses
pembuatan kebijakan dan keputusan untuk mengadakan pembangunan
internasional berkelanjutan harus melibatkan NGOs. Para ahli hukum
internasional mempunyai pendapat yang berbeda mengenai keberadaan
NGOs, yakni: ada yang mengakui NGOs sebagai salah satu subjek
hukum internasional dan ada juga yang tidak mengakui NGOs sebagai
subjek baru dalam hukum internasional.

4.2. Objek Hukum Internasional

Objek hukum adalah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan
dapat menjadi pokok dari suatu hubungan hukum yang dapat dimiliki dan
dikuasai oleh subjek hukum (Sarno Wuragil, 2017). Negara dapat menjadi
subjek hukum sekaligus objek Hukum.

Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan atau dibahas dalam hukum


internasional disebut objek hukum internasional. Kawasan geografis suatu

17
Negara juga dapat dikatakan sebagai objek hukum internasional dikarenakan
sifat utama dari objek hukum internasional hanya dapat dikenai kewajiban
namun tidak bisa menuntuk haknya. Objek hukum merupakan hal yang berguna
bagi subjek hukum dan inilah awal dari pokok hubungan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum.

Objek hukum internasional bersifat tidak tetap karena dunia internasional


yang bersifat dinamis yang mengakibatkan tindak lanjut dari hukum
internasional itu sendiri akan berubah mengikuti arus perkembangan zaman
sehingga permasalahan baru yang akan selalu timbul dalam hubungan
internasional di masa depan. Contoh kasus yang pernah ada, salah satunya,
adalah perebutan pulau Malvinas atau Falkland antara Inggris dan Argentina
dapat dijadikan referensi sebagai hilangnya objek hukum internasional. Pulau
Malvinas pada awalnya adalah milik Argentina yang diakui oleh Inggris
sebagai wilayah mereka yang mana akhirmya pecah perang yang dimenangkan
oleh Inggris sehingga Argentina harus rela kehilangan pulau tersebut.

Selain berbentuk wilayah geografis berikut adalah beberapa contoh objek


hukum internasional; 1) Hukum Internasional Hak Asasi Manusia adalah semua
norma hukum internasional yang ditunjukkan untuk menjamin perlindungan
terhadap pribadi / individu, 2) Hukum Humaniter Internasional adalah semua
norma hukum internasional yang bertujuan memberi perlindungan pada saat
timbul konflik bersenjata bukan internasional, kepada anggota pasukan tempur
yang tidak bisa menjalankan tugasnya lagi, atau orang-orang yang tidak terlibat
dalam pertempuran, 3) Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Istilah ini
digunakan oleh pengadilan Nurenberg untuk atas perbuatan kejam Nazi Jerman
terhadap warga negaranya sendiri. Bentuk kejahatan perang lain seperti
genosida juga termasuk dalam hukum kejahatan terhadap kemanusiaan.

18
5. Penyelesaian Sengketa Hukum Internasional

Sebelum masuk lebih jauh tentang Penyelesaian sengketa Internasional


sebaiknya dipahami terlebih dahulu tentang pengertiannya. Sengketa
internasional terdiri dari dua kata yakni Sengketa dan Internasional.
J.G.Merrills mengartikan sengketa sebagai sebuah ketidaksepakatan secara
spesifik mengenai suatu fakta, hukum atau kebijakan dimana klaim atau
pernyataan suatu pihak dipenuhi dengan penolakan, klaim balik atau
penyangkalan oleh pihak lainnya. Sehingga secara ringkas dapat diketahui
bahwa setiap sengketa adalah konflik dan tidak semua konflik adalah sengketa.

Lebih lanjut, J.G. Merrills mengemukakan bahwa agar suatu sengketa dapat
disebut sebagai sengketa internasional, maka sengketa itu harus memiliki
elemen berikut: 1) Jika ketidaksepakatan melibatkan pemerintahan, institusi,
orang hukum atau perusahaan, atau individu; dan 2) terjadi di berbagai belahan
dunia yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sengketa


internasional adalah suatu ketidaksepakatan spesifik mengenai suatu fakta
hukum atau kebijakan yang melibatkan klaim atau pernyataan yang
bertentangan yang tidak hanya mencakup urusan dalam negri suatu negara
antara negara dengan negara yang membawa konsekuensi di lingkup
internasional yang bisa saja terjadi juga antara negara denga individu, negara
dengan lembaga atau badan yang menjadi subjek hukum (Diantha, 2017: 188-
189).

Sengketa internasional pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, dari


sisi penyelesainnya, yaitu: penyelesaian sengketa secara damai dan
penyelesaian sengketa dengan penggunaan kekerasan. Berikut akan dijelaskan
secara lebih rinci bentuk penyelesaian sengketa secara damai dalam bentuk
uraian:
5.1. Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa 1945 (Piagam PBB) diketahui bahwa pada dasarnya seluruh anggota

19
PBB harus menyelesaikan sengketa internasional mereka dengan cara-cara
damai dengan cara yang sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan
internasional dan keadilan tidak terancam. Meskipun kewajiban ini dialamatkan
utamanya kepada Negara- negara Anggota PBB, namun tidak ada keraguan
bahwa penyelesaian sengketa semestinya dilaksanakan secara damai adalah
salah satu kewajiban utama dalam hukum international yang mesti diperhatikan
oleh semua negara.

Berikut adalah beberapa prinsip-prinsip yang dikenal dalam Hukum


Internasional tentang penyelesaian sengketa secara damai, yaitu:
a. Prinsip itikad baik
b. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa
c. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa
d. Prinsip kebebasan memilih hukum yang diterapkan dalam pokok sengketa
e. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus)
f. Prinsip exhaustion of local remedies

Setelah mengetahui ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB dan beberapa
prinsip dalam penyelesian sengketa internasional, pertanyaan yang timbul
berikutnya adalah apa saja cara-cara damai dalam menyelesaikan sengketa
internasional yang dimaksud oleh Piagam PBB tersebut. Jika berpedoman pada
Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB yang dimaksud dengan cara damai adalah
melalui: Negosiasi, pencarian fakta, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian
melalui peradilan dibawa ke Badan atau pengurusan regional atau berdasarkan
pilihan damai lain pihak.

Secara garis besar, cara-cara penyelesaian sengketa secara damai dapat


digambarkan menjadi dua, yaitu:
5.1.1. Jalur politik,

Penyelesainan sengketa melalui japur politik terdiri dari beberapa bentuk,


meliputi: negosiasi, pencarian fakta, mediasi, konsiliasi.
a. Negosiasi
Negosiasi adalah cara paling sederhana dan banyak dipergunakan
dalam proses penyelesaian sengketa internasional. Negosiasi terdiri
dari sejumlah diskusi di antara para pihak yang berkepentingan untuk
20
mencari titik temu agar dapat saling memahami perbedaan pandangan
yang diutarakan. Pada proses negosiasi, tidak ada peran serta pihak
ketiga dalam proses penyelesaian sengketanya. Negosiasi bisa
dilakukan bilateral, multilateral, formal maupun informal sebab tidak
ada tata cara khusus untuk melakukannya.
b. Pencarian Fakta
Pencarian fakta pada dasarnya adalah cara penyelesaian
sengketa secara damai dengan membentuk komisi pencarian fakta
resmi, dapat berupa suatu komisi yang permanen, organisasi, maupun
individu terpilih, yang bertujuan untuk mengetahui dengan pasti
fakta-fakta yang menjadi sengketa. Pada dasarnya, cara ini dapat
dipilih untuk menyelesaiakan suatu sengketa internasional apabila
para pihak bersengketa sepakat untuk menggunakan cara ini.
Berdasarkan pengertian di atas diketahui bahwa dalam proses
pencarian fakta melibatkan peran pihak ketiga.

c. Mediasi
Mediasi merupakan suatu upaya menyelesaikan sengketa
internasional dengan menggunakan pihak ketiga yang disepakati oleh
pihak yang bersengketa, dapat berupa negara, organisasi internasional
atau individu, yang tidak memihak dan netral sehingga dapat
membantu pihak-pihak yang bersaing secara sukarela mencapai
penyelesaian yang dapat diterima bersama.
d. Konsiliasi
Konsiliasi memiliki pengertian sebagai suatu proses
penyelesaian perselisihan dengan cara para pihak bersengketa
menunjuk pihak ketiga, dapat berupa suatu komisi yang terlembaga
secara tetap atau sementara, yang tugasnya untuk menjelaskan fakta
berupa laporan yang berisi proposal untuk sebuah penyelesaian yang
tidak mengikat. Sebagaimana definisi konsiliasi di atas, usulan dari
pihak ketiga keputusannya diserahkan kepada para pihak bersengketa
apakah akan disetujui atau tidak.

21
5.1.2. Jalur hukum,

Penyelesaian Sengketa Internasional dapat juga di selesaikan dengan


menggunakan jalur politik seperti: arbitrase dan badan peradilan.
a. Arbitrasi
Arbitrase memiliki pengertian sebagai suatu penunjukkan
pihak ketiga untuk bertindak sebagai adjudicator (pihak yang
mengadili) dalam suatu sengketa dan untuk memutuskan
penyelesaiannya. Putusan yang dikeluarkan dalam arbitrase ini adalah
putusan yang final dan mengikat.

Jika penyelesaian sengketa diselesaikan melalui arbitrase sebelum


sengketa itu lahir maka penyerahan ini disebut dengan clause
compromissoire dan bila penyerahan dilakukan setelah sengketa lahir
maka disebut dengan compromis. Mengacu kepada pokok perkaranya,
maka arbitrase dapat dibagi menjadi dua bagian besar yakni:
1. Arbitrase non komersial yang dikenal dengan arbitrase
internasional publik.
2. Arbitrase komersial yang sering disebut dengan perdata. Istilah
komersial ini merujuk kepada perdagangan, lalu lintas uang,
perniagaan secara umum sehingga mencakup asuransi, sewa beli,
pinjam meminjam, dan sebagainya.
b. Badan Peradilan
Penyelesaian sengketa internasional melalui peradilan
biasanya dilaksanakan bilamana cara lainnya tidak berhasil.
Penyelesaian melalui peradilan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Pengadilan internasional permanen, contoh: Permanent Court of


International of Justice (PCIJ), International Court of Justice
(Mahkamah Internasional), International Tribunal for the Law of the
Sea, International Criminal Court (Mahkamah Pidana Internasional).

2. Pengadilan internasional ad hoc, contoh: International Court


Tribunal for Rwanda dan International Court Tribunal for
Yugoslavia.

22
5.2. Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan
Penyelesaian sengketa internasional dengan cara kekerasan
telah lama ditinggalkan. Cara penyelesaian sengketa internasional
dengan kekerasan sangat dikecam oleh masyarakat internasional
sebagaimana misalnya terlihat dalam the Covenant of the League of
Nations 1919 (Kovenan Liga Bangsa-Bangsa), Kellog-Briand Pact
1928, dan Piagam PBB.

Beikut dapat terdapat beberapa contoh cara penyelesaian


sengketa internasional melalui kekerasan akan diuraikan sebagaimana
berikut:
a.Retorsi
Retorsi merupakan suatu tindakan yang tidak bersahabat
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain atas tindakan tidak
bersahabat yang lebih dulu dilakukannya, baik itu berupa tindakan
tidak adil atau tidak sopan. Beberapa bentuk retorsi misalnya:
diberhentikannya bantuan ekonomi, ditariknya konsesi pajak atau
tarif, dicabutnya hak-hak diplomatik atau istimewa, diputusnya
hubungan diplomatik.
b. Reprisal
Reprisal merupakan suatu upaya permusuhan yang dibangun
oleh suatu negara pada negara lain sebagai bentuk usaha untuk
memaksa negara lain tersebut berhenti menjalankan tindakan
ilegalnya. Negara korban dapat menggunakan reprisal melawan
negara lain atas tindakan negara lain yang tidak bersahabat kepadanya
itu akan tetapi dengan upaya-upaya yang tidak melebihi dari yang
diterimanya. Bentuk reprisal yang cukup dikenal adalah embargo dan
boikot.
c. Blokade Damai
Blokade damai merupakan suatu blokade yang dilakukan saat
damai agar memaksa negara yang diblokade untuk memenuhi
permintaan ganti rugi yang dialami negara pemblokade. Contohnya
adalah blokade maritim damai dimana dua penggugat, tidak dalam
23
melakukan perang, namun negara korban memutuskan untuk secara
strategis memposisikan kapal perangnya di salah satu pelabuhannya
untuk menghalangi akses kapal milik negara yang bersalah tersebut.
d. Embargo
Istilah embargo merupakan tindakan sebuah negara untuk
melarang impor, ekspor, atau keberangkatan kapal komersial negara
lain, dari pelabuhan atau laut teritorialnya, selama Negara yang
bersalah tidak menghentikan tindakan ilegal yang tidak bersahabat
terhadapnya dan tidak mengganti kerusakan yang ditimbulkan.

e. Perang
Perang adalah tindakan pertempuran negara-negara, akibat
perselisihan dimana para pihak bersengketa saling berusaha memaksa
atau melakukan tindakan kekerasan yang dianggap melanggar
perdamaian hingga musuhnya menerima syarat yang dimaksud.

24
6. Hukum Internasional di Indonesia

Kehidupan masyarakat internasional adalah interaksi yang terjadi antara


subjek-subjek hukum internasional yang membutuhkan aturan untuk mengelola
interaksi tersebut. Seperti yang diketahui sebagian dari subjek hukum
internasional berada dalam wilayah hukum nasional. Dalam artian negara
sebagai salah satu subjek hukum internasional memiliki hukum nasional
tersendiri yang berlaku di masing-masing negara yang belum tentu sejalan
dengan hukum internasional.

Dengan persoalan tersebut akhirnya muncul pertanyaan, apakah hukum


internasional dan hukum nasional sebagai satu kesatuan hukum atau terpisah
satu sama lain. Terkait permasalahan tersebut dalam hukum internasional
dikenal dua aliran besar yang mendefinisikan kedudukan hukum internasional
dan hukum nasional, yaitu Monoisme dan Dualisme.

6.1 Aliran Monoisme

Terhadap Aliran monoisme ada dua primat yaitu primat hukum nasional
dan primat hukum internasional. Menurut aliran monoisme dengan primat
hukum nasional, menganggap bahwa hukum internasional itu bersumber
kepada hukum nasional. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu organisasi di
atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia, dan dasar hukum
internasional yang mengatur hubungan internasional justru terletak di dalam
wewenang negara-negara dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian
internasional.

Lain pula dengan aliran monoisme dengan primat hukum internasional.


Aliran ini menganggap bahwa kedaulatan negara tidak melebihi batas-batas
internasional, sehingga hukum nasional dianggap memiliki hierarki yang lebih
rendah dan tunduk terhadap hukum internasional. Pada primat ini menganut
pandangan bahwa hukum internasional lebih diutamakan bila terjadi
pertentangan hukum internasional dan hukum nasional.

25
6.2 Aliran Dualisme

Aliran hukum dualisme bersumber pada teori bahwa kemampuan hukum


internasional bersumberkan pada kemauan negara. Pada aliran ini hukum
internasional dan hukum nasional merupakan perangkat hukum yang terpisah.
Aliran ini berpandangan bahwa kaedah-kaedah dari perangkat hukum yang satu
tidak mungkin berdasarkan pada perangakat hukum yang lain. Sehingga
ketentuan hukum internasional membutuhkan penyesuaian sebelum menjadi
hukum nasional agar dapat berlaku di dalam lingkungan hukum nasional. Jika
terjadi benturan antara hukum internasional terhadap hukum nasional maka
negara yang menganut aliran dualisme cenderung mengabaikan hukum
internasional (Arum Puspita Sari, 2018).

Terkait dengan posisi Indonesia terhadapa kedua aliran tersebut dapat


dilihat pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Diawali dari pasal 9 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000
menyebutkan bahwa: (1) Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah
RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut;
(2) Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Selanjutnya dalam Pasal 10 dinyatakan: Pengesahan perjanjian


internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a)
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan
atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; d)
pembentukan kaidah hukum baru; e) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Selanjutnya jika ada aspek yang belum terkandung dalam pasal 10 maka pada
pasal 11 ayat (1) disebutkan bahwa Presiden, dengan Keputusan Presiden, akan
mengesahkan perjanjian internasional (Diantha, 2017:66-67).

Jika dilihat dari bentuk hubungan hukum internasional terhadap hukum


nasional Indonesia secara jelas menggunakan pendekatan dualisme karena
tampak perbedaan sistem hukum internasional dan hukum nasional, dimana
26
hukum nasional memiliki supremasi yang lebih tinggi daripada hukum
internasional (Wisnu Aryo Dewanto, 2012). Hukum Internasional bisa berlaku
pada sistem Hukum di Indonesia setelah melalui proses transformasi menjadi
Undang-undang.

Ini menunjukkan bahwa adanya proses transformasi bagi hukum


internasional, terkait perjanjian internasional, untuk dapat menjadi hukum
nasional. Namun walaupun demikian teori dan praktek terdapat perbedaan yang
signifikan. Karena dalam penerapannya harus bersifat fleksibel demi
kepentingan bangsa dan negara.

6.3 Kasus Hukum Internasional yang Pernah Terjadi di Indonesia

Penerapan hukum internasional berbeda dibandingkan dengan penerapan


hukum nasional, hukum internasional bersifat koordinatif sedangkan hukum
nasional bersifat subordinatif. Untuk lebih jelasnya berikut terdapat beberapa kasus
hukum internasional yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam hal ini akan
tergambar posisi Indonesia dalam memandang hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional

1. Kasus Tembakau Bremen


Sekitar tahun 1958 Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-
perusahaan Belanda untuk nasionalisasi. Akibat tindakan ini timbul gugatan
perusahaan tembakau Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau dari
perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen.

Pihak Indonesia dan Maskapai Tembakau Jerman-Indonesia digugat oleh


pihak Belanda di Pengadilan Bremen. Karena kalah selanjutnya pihak Belanda
mengajukan banding atas putusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Bremen dan
mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas
perusahaan Belanda tidak sah karena ganti rugi yang ditawarkan tidak
memenuhi apa yang oleh pihak Belanda dianggap sebagai dalil hukum
internasional yaitu bahwa ganti rugi itu harus prompt, effective dan adequate.

Pihak perusahaan tembakau Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia


membantah dengan mengatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah struktur ekonomi
27
Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi yang bersifat nasional secara
radikal. Dalil klasik prompt, effective dan adequate yang berlaku dalam hukum
internasional harus tunduk pada hukum nasional karena interpretasi prompt,
effective dan adequate masing-masing Negara berbeda disesuaikan dengan
kemampuannya. Dalam hal ini terlihat bahwa Hukum Internasional harus
tunduk pada Hukum Nasional.

2. Kasus Mobil Nasional


Indonesia merupakan anggota WTO setelah secara resmi meratifikasi
konvensi WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994. Kasus ini
diawali dengan dikeluarkannya instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1996
mengenai Program Mobil Nasional di sektor otomotif Indonesia dengan
memberikan hak istimewa dengan bebas pajak barang mewah dan bebas bea
masuk barang impor untuk perusahaan yang ditunjuk. Hal ini mendatangkan
reaksi dari beberapa negara, namun Jepanglah yang paling berusaha keras
karena telah menguasai hampir 90% pangsa mobil Indonesia. Karena dialog
antara Jepang dan pemerintah Indonesia menemui jalan buntu. Kemudian
Jepang melalui Wakil Menteri Perdagangan Internasional dan Industrinya
membawa masalah ini ke WTO.

Dalam penyelesaian kasus Mobil Nasional tersebut, WTO memutuskan


bahwa Indonesia telah melanggar spirit perdagangan bebas WTO, oleh karena
itu WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan subsidi
serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional
selaku produsen Mobil Timor. Keputusan ini menunjukkan bahwa hukum
nasional tunduk pada hukum internasional.

Melalui penjelasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam


memandang hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, tidak
terlepas dari perkembangan zaman. Hubungan antar negara semakin berkembang
pesat, hukum nasional tidak mungkin dapat berada di atas hukum internasional,
hukum nasional dapat berdiri sejajar dengan hukum internasional. Dan dalam hal
ini dapat dikatakan Indonesia menggunakan Teori Hybrid yaitu menggunakan teori
Monoisme dan Teori Dualisme sesuai dengan kepentingan Negara Indonesia.

28
7. Pandangan Internasional Terhadap Wabah Covid-19

Virus Corona pertama kali muncul di Kota Wuhan, Repulik Rakyat


Tiongkok (RRT) pada akhir tahun 2019. Seiring penyebarannya di Kota
Wuhan, jumlah korban yang terinfeksi semakin banyak. Puncaknya adalah
ketika korban jiwa mulai berjatuhan maka Virus Corona menjadi perhatian
dunia.

Belum banyak yang mengetahui apa sebenarnya Virus Corona dan akibat
yang ditimbulkannya. Sebagian besar virus corona hanya menyebabkan gejala
flu seperti Syndrome Pernapasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan
Timur Tengah (MERS) yang dapat menyebabkan pneumonia dan kematian
(Puti Yasmin, 2020). Virus Corona atau COVID-19 adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan manusia. Gejala yang ditimbulkannya mirip
dengan flu biasa namun efeknya sangatlah berbeda dari flu. Seperti halnya virus
kebanyakan Virus Corona mempunyai masa inkubasi sehingga penderitanya
tidak memperlihatkan gejala. Dari sinilah berawal penyebaran virus corona
hingga lintas negara tanpa bisa diketahui.

Karena sifat dan dimensi penyebaran wabahnya yang lintas batas negara,
maka meskipun beberapa negara melakukan lock down, penanganan Corona
tetap memerlukan kerjasama antar negara di seluruh dunia. Yakni, dengan
bersama-sama berusaha menemukan vaksin untuk mengatasi Covid-19 yang
dikoordinir oleh WHO sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh seluruh umat
manusia (Rahmi Fitriyanti, 2020).

Melihat akibat yang ditimbulkan oleh Virus Corona dan penyebarannya


yang global hingga menimbulkan masalah hampir diseluruh dunia dapat
dikatakan kalau Dunia Internasional ataupun Organisasi Internasional (WHO)
telah gagal meredam dan mengantisipasi penyebaran virus ini. Hampir setiap
negara merasakan dampak Pandemik Corona secara sosial dan ekonomi. Dan
banyak negara berupaya mengatasinya dengan memutus hubungan dengan
negara lain untuk sementara agar dapat fokus mengatasi masalah dalam negara.

Masalah sosial yang tampak akibat efek Pandemik Corona adalah


29
berubahnya bentuk hubungan sosial kemasyarakatan. Masyarakat sangat
berhati-hati dalam beraktifitas diluar rumah. Banyak terjadi gerakan secara
massal upaya untuk mendapatkan peralatan medis seperti masker dan hand
sanitizer untuk pencegahan yang mengakibatkan langkanya barang. Hal ini juga
berlaku terhadap bahan pokok yang mengakibatkan beberapa negara melakukan
upaya membantu menyediakan bahan pokok agar penduduknya tetap berada di
rumah sebagai upaya menekan penyebaran Pandemik Corona.

Jika dilihat dari segi ekonomi dampak dari Pandemik Corona ini membuat
perputaran ekonomi berjalan lambat. Beberapa negara yang mengandalkan
sektor pariwisata sebagai sumber devisa negara terpaksa menutup bandara dan
lokasi pariwisata untuk meredam penyebaran Virus. Hal ini terpaksa dilakukan
karena dampak yang lebih buruk akan menghancurkan stabilitas negara.

Jika dilihat dari aspek hukum Internasional, selaku negara yang menjadi
awal timbulnya Pandemik Corona, RRT harus mendapat sanksi dari Dunia
Internasional. Karena ketika ada upaya dari Amerika untuk meminta WHO
untuk membantu mengatasi Virus Corona saat menyebar di Taiwan, RRT
mencegahnya karena mereka menganggap Taiwan masih merupakan Willayah
dari RRT. Akibatnya penyebaran ini mengancam keamanan manusia.

Mengusai negara lain sudah tidak lagi dengan melakukan invasi militer.
Perang jauh lebih ekonomis jika dilakukan dengan menggunakan Proxy.
Senjata tidak lagi berupa benda mati, melainkan makhluk biologis. Menguasai
perekonomian negara lain berarti sudah mengusai kebijakan dalam negara
tersebut.

Dunia Internasional wajib melakukan tindakan Hukum terhadap RRT,


karena ada upaya dari RRT untuk mengambil keuntungan dari kejadian
Pandemik ini. Dapat kita lihat saat ini hampir seluruh kebutuhan dunia akan alat
perlindungan diri (APD) disediakan oleh RRT. Disaat dunia berhenti
melakukan aktifitas ekonomi, RRT malah melakukan transaksi besar-besaran
dengan negara-negara yang membutuhkan sehingga RRT merupakan negara
yang paling diuntungkan. Dan itu merupakan sebuah motif yang dipersiapkan
secara matang. Amat Victoria Curam; Victory Love Preparation.

30
8. Kesimpulan

Hukum Internasional tidak hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan


antar negara namun juga merupakan pola pengembangan hubungan
internasional yang lebih kompleks sehingga hukum internasional juga
berurusan dengan struktur dan perilaku organisasi internasional, perusahaan
multinasional dan individu. Hukum Internasional tidak bisa diimplementasikan
secara langsung oleh negara, namun negara cenderung akan melakukan
transformasi terhadap Hukum Nasionalnya agar sesuai dengan Hukum
Internasional.

Hukum Internasional dan Hukum Nasional mempunyai sumber hukum


yang berbeda sehingga posisinya saling melengkapi. Hukum nasional
dibutuhkan untuk mengatur hubungan dalam negara. Sementara negara
membutuhkan Hukum Internasional untuk dapat berhubungan dengan negara
lain. Dan negara-negara harus bersepakat untuk menggunakan Hukum
Internasional sebagai dasar dalam mengatur hubungan internasional.

Negara akan mengakui hukum internasional jika hukum tersebut


mendatangkan keuntungan bagi negara dari sisi ekonomi maupun politis.
Bahkan negara yang kuat, jika terjadi benturan akan Hukum Nasional terhadap
Hukum Nasional, akan mendahulukan Hukum Nasional. Karena dalam hidup
bernegara kepentingan Nasional lebih utama dengan aturan Hukumnya.

31
Daftar Pustaka

Dewanto, Wisnu Aryo. 2012. “Status Hukum Internasional dalam Sistem Hukum
di Indonesia”.
https://www.researchgate.net/publication/265027289_Status_Hukum_Intern
asional_dalam_Sistem_Hukum_di_Indonesia. diakses pada 08 April 2020
pukul 23.55.
Diantha, I Made Pasek dkk. 2017. “ Buku Ajar Hukum Internasional”.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/96cf501a1391c79b52
c219d79df67933.pdf, diakses pada 31 Maret 2020 Pukul 21.00.
Fitriyanti, Rahmi. 2020. “Pandemik Corona (Covid-19) dalam Perspektif
Hubungan Internasional. https://waspada.id/opini/pandemik-corona-covid-
19-dalam-perspektif-hubungan-internasional/. Diakses pada 09 April 2020
pukul 21.40.
Sari, Arum Puspita. 2018. “Pada Hukum Internasional dalam Hukum Nasional,
Indonesia: Monoisme atau Dualisme?”, https://bahasan.id/arum/pada-
hukum-internasional-dalam-hukum-nasional-indonesia-monoisme-atau-
dualisme/, diakses pada 08 April 2020 pukul 14.14.
Wuragil, Sarno. 2017. “Subjek Hukum dan Objek Hukum”,
https://www.sarno.id/2017/01/subjek-hukum-dan-objek-hukum/, diakses
pada 08 April 2020 pukul 14.54.
Yasmin, Puti. 2020. “ Apa Itu Virus Corona dan Covid-19? Ini Info yang Perlu
Diketahui”. https://news.detik.com/berita/d-4941084/apa-itu-virus-corona-
dan-covid-19-ini-info-yang-perlu-diketahui. diakses pada 09 April 2020
pukul 22.08.

32

Anda mungkin juga menyukai