Disusun oleh :
ANANDA SYAHPUTRA DARWIS
203014792
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
ABSTRAK
ABSTRACT
Penemuan energy nuklir merupakan suatu penemuan terbesar dalam sejarah umat
manusia. Namun penggunaan energy nuklir dalam bidang persenjataan merupakan
sebuah ciptaan paling mengerikan dalam sejarah umat manusia. Perkembangan dalam
bidang persenjataan mengakibatkan nuklir menjadi momok yang mengerikan karena
identic dengan penggunaan senjata pemusnah masal yang dahsyat dan berbahaya
dengan sebutan Senjata Nuklir.
Penggunaan senjata nuklir dapat menjadi suatu ancaman besar dan nyata bagi
dunia karena nuklir dapat menghancurkan dunia ini berulang kali. Contoh kasus
pemanfaatan energy nuklir sebagai persenjataan pertama kali dilakukan oleh negara
Amerika Serikat pada Perang Dunia II dengan cara melakukan serangan pemboman
terhadap dua kota dijepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki menggunakan Bom Atom
berdaya ledak nuklir.
Masalah senjata nuklir masih menjadi isu utama dalam pembahasan keamanan
Internasional dan seruan-seruan pemusanahan dan penghentian penggunaan senjata
nuklir semakin gencar dilakukan demi perdamaian dunia, maka dari itu Perserikatan
Bangsa-Bangsa membuat perjanjian Internasional tentang pembatasan dan
penghentian penggunaan senjata nuklir.
Diawali dengan adanya resolusi yang dihasilkan saat konvensi Jenewa pada
sekitar tahun 1993 yang menghasilkan negosiasi perjanjian pembatasan proliferasi
senjata nuklir pertama di dunia atau biasa disebut Comprehemsive Nuclear Test Ban
Treaty (CTBT). Merupakan perjanjian yang mengikat secara Hukum Internasional
terhadap negara-negara yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian tersebut
untuk mencegah dan melucuti penggunaan senjata nuklir serta memanfaatkan energy
nuklir untuk tujuan damai.
C. Metode Penelitian
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan Metode Penelitian yang berjenis
Metode Kualitatif. Landasan Metode Penelitian adalah filasafat postpositivisme.
Digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (lawan eksperimen),
dimana peneliti sebagai instrument kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan). Analisa data bersifat induktif/kualitatif. Hasil penelitian
kualitatif menekankan makna dari pada generalisasi. Peraturan yang digunakan
merujuk pada perjanjian internasional tentang perang dan pelanggaran yang
dilakukan oleh Rusia terhadap Serangannya ke Ukraina.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
1. Security Dilemma Theory
Security Dilemma Theory atau Teori Dilema Keamanan adalah situasi di mana
tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri
menyebabkan reaksi dari negara lain, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
daripada peningkatan keamanan negara asal.
Hal tersebut juga berlaku terhadap hokum humaniter yang merupakan salah satu
cabang dari Hukum Internasional. Berbagai konvensi dan perjanjian Internasional
yang mengatur tentang hokum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa. Aturan tersebut selain diciptakan untuk melindungi orang-
orang yang tidak ikut dalam permusuhan dengan cara adanya pembatasan terhadap
penggunaan senjata, juga untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia
pada saat terjadinya konflik bersenjata.
B. Dasar Hukum
Hal tersebut juga berlaku terhadap hokum humaniter yang merupakan salah satu
cabang dari Hukum Internasional. Berbagai konvensi dan perjanjian Internasional
yang mengatur tentang hokum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa. Aturan tersebut selain diciptakan untuk melindungi orang-
orang yang tidak ikut dalam permusuhan dengan cara adanya pembatasan terhadap
penggunaan senjata, juga untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia
pada saat terjadinya konflik bersenjata.
C. Analisis
1. Implementas pengaturan perjanjian Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty
(CTBT) dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Internasional.
Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir (Comprehensive Nuclear- Test-
Ban Treaty/ CTBT) adalah sebuah perjanjian multilateral dimana negara-negara
setuju untuk melarang semua kegiatan peledakan nuklir di semua lingkungan baik
untuk tujuan militer maupun sipil, Traktat ini mulai akan berlaku 180 hari setelah
tanggal pendepositan instrument ratifikasi oleh seluruh Negara yang tercantum dalam
Lampiran 2 (Annex II) Traktat ini, tetapi tidak melebihi dua tahun setelah Traktat
terbuka untuk ditandatangani.
Jika Traktat belum mulai berlaku setelah tiga tahun peringatan Traktat terbuka
untuk ditandatangani, maka Penyimpan Piagam Ratifikasi harus menyelenggarakan
suatu Konferensi Negara yang telah meratifikasi Traktat.
Konferensi ini lnilah yang harus menguji apakah persyaratan yang terdapat
dalam ayat 1 telah terpenuhi dan harus mempertimbangkan dan memutuskan secara
konsensus langkah langkah apa yang konsisten dengan hukum internasional yang
akan dilakukan untuk mempercepat proses ratifikasi dalam upaya untuk mempercepat
segera berlakunya Traktat ini. Delapan dari Negara yang tercantum dalam Annex 2
CTBT belum meratifikasi perjanjian. Republik Rakyat Cina, Mesir, Iran, Israel, dan
Amerika Serikat telah menandatangani perjanjian namun belum meratifikasinya.
Setiap Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian mempunyai
kewajibankewajiban tertentu. Kewajiban dari Negara Pihak dalam perjanjian ini yaitu
bahwa setiap Negara Pihak tidak melakukan segala uji coba ledakan senjata nuklir
atau ledakan nuklir lainnya, dan melarang serta mencegah semua ledakan nuklir
semacamnya yang berada di semua tempat di bawah yuridiksinya atau
pengawasannya.
Terbentuknya Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir(Comprehensive
Nuclear-Test-Ban Treaty/ CTBT) seperti yang ada pada saat sekarang adalah setelah
melalui proses yang panjang dimana adanya beberapa perjanjian-perjanjian yang
telah ada sebelumnya dan disempurnakan seperti yang ada sekarang ini.
Negosiasi yang dilakukan antara Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet
menghasilkan Traktat Pelarangan Ujicoba Nuklir di Atmosfer, di Angkasa Luar dan
di bawah Laut (Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer
Space and under Water) atau yang seringkali disebut sebagai Partial/ Limited Test
Ban Treaty (PTBT/LTBT) pada tahun 1963.
Negara-negara yang menjadi pihak dalam CTBT secara bersama mengakui
bahwa penghentian semua uji coba ledakan senjata nuklir dan semua ledakan nuklir
lain, dengan cara menghambat perkembangan dan perbaikan kualitatif senjata nuklir
dan menghentikan perkembangan senjata nuklir canggih tipe baru, merupakan
langkah efektif bagi perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi dalam segala
aspeknya. Selain itu, penghentian semua ledakan nuklir tersebut akan merupakan
langkah yang berarti bagi terwujudnya suatu proses yang sistematik untuk mencapai
perlucutan senjata nuklir.
Rampungnya CTBT merupakan tahap lanjutan dari aspirasi–aspirasi yang
telah dicetuskan sebelumnya oleh para pihak dalam Traktat Pelarangan Uji Coba
Senjata Nuklir di Atmosfir, Ruang Angkasa dan Bawah Air (Treaty Banning Nuclear
Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and under Water) tahun 1963 untuk
tidak dilakukannya semua uji ledakan senjata nuklir di bagian wilayah manapun di
bumi sepanjang masa demi perlindungan lingkungan hidup, serta peningkatan
perdamaian dan keamanan dunia.
Setiap Negara yang bergabung dalam CTBT harus bekerjasama dengan
CTBTO dalam melaksanakan fungsi-fungsinya sesuai dengan isi Traktat. Negara-
Negara Pihak harus mengadakan konsultasi yang dilakukan baik secara langsung atau
melalui CTBTO itu sendiri atau prosedur-prosedur internasional lain yang tepat,
termasuk prosedur dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sesuai dengan
Piagam PBB, mengenai berbagai masalah yang muncul berkaitan dengan maksud dan
tujuan, atau pelaksanaan ketentuan-ketentuan Traktat.
CTBTO sebagai badan independen harus berupaya memanfaatkan keahlian
dan fasilitas yang ada secara tepat dan berupaya memaksimalkan efisiensi biaya,
melalui persetujuan-persetujuan kerjasama dengan organisasi internasional lainnya
seperti Badan Energi Atom Internasional/ IAEA.
Negara Pihak harus menangani informasi dan data secara eksklusif dalam
kaitannya dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Traktat.
Kewajiban yang dimaksud adalah dengan membayarkan iuran setiap tahun guna
membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan CTBTO, Jika negara anggota
menunggak pembayarannya untuk iuran yang ditetapkan maka Negara tersebut tidak
akan mempunyai hak suara dalam sidang CTBTO apabila jumlah tunggakannya
melebihi iurannya dalam dua tahun penuh, tidak termasuk persetujuan komersial atau
kontak yang minor dan normal, harus diatur dalam perjanjianTraktat (Comprehensive
Nuclear- Test-Ban Treaty/ CTBT) memiliki aturanaturan yang mengikat setiap
Negara Pihak untuk melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian untuk
diterapkan dalam hukum negara masing-masing.
Walaupun kebanyakan pihak telah berkomitmen dengan kontribusinya dalam
CTBT tetapi pada nyatanya traktat ini belum berlaku secara penuh akibat adanya
kepentingan politik dari beberapa Negara yang dinilai mengambil keuntungan dari
perjanjian tersebut.
2. Relevansi dan status hukum Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT)
menurut Hukum Internasional.
Pelaksanaan CTBT yang kurang lancar pada akhirnya membuat Negara Negara
anggota untuk melakukan inisiatifnya masing masing, hal ini terbukti dengan
konvensi Rutin mengenai CTBT yang sampai sekarang tidak mendapatkan hasil,
dampak yang terlihat pada pelaksanaan CTBT sendiri masih terbilang dalam fungsi
mengawasi dan sangatlah sulit untuk melakukan tindakan langsung secara
Internasional mengingat lemahnya daya ikat CTBT.
Menyebabkan munculnya usaha usaha yang tujuannya sama dengan tujuan
awal CTBT yaitu Pelucutan senjata nuklir secara menyeluruh, seperti beberapa
perjanjian Regional atau Zona bebas senjata nuklir (NWFZ) diartikan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai perjanjian yang telah ditetapkan secara bebas
oleh sekelompok negara melalui perjanjian atau konvensi yang melarang
pengembangan, pembuatan, kontrol, kepemilikan, pengujian, penempatan atau
pengangkutan senjata nuklir di wilayah tertentu, yang memiliki mekanisme verifikasi
dan kontrol untuk menegakkan kewajibannya, dan itu diakui oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Definisi NWFZ tidak menghitung negara atau wilayah kecil yang telah
melarang senjata nuklir hanya dengan hukum mereka sendiri, seperti Austria dengan
Atomsperrgesetz pada tahun 1999. Demikian pula Perjanjian 2 + 4, yang
menyebabkan penyatuan kembali Jerman, melarang senjata nuklir di negara bagian
baru Jerman (Berlin dan bekas Jerman Timur), tetapi merupakan kesepakatan hanya
di antara enam negara penandatangan, tanpa mekanisme resmi NWFZ.
Zona Antartika, dasar laut, dan ruang angkasa mendahului semua kecuali satu
zona di wilayah nasional. Sebagian besar lautan Bumi di atas dasar laut tidak tercakup
oleh NWFZ karena kebebasan laut membatasi pembatasan di perairan internasional.
PBB juga telah mengakui satu negara tambahan, Mongolia, sebagai negara yang
memiliki status bebas senjata nuklir, NWFZ tidak mencakup perairan internasional
(di mana terdapat kebebasan laut) atau transit rudal nuklir melalui ruang angkasa
(sebagai lawan penyebaran senjata nuklir di luar angkasa).
Zona Antartika, Amerika Latin, dan Pasifik Selatan ditentukan oleh garis
lintang dan bujur, kecuali untuk batas barat laut zona Pasifik Selatan yang mengikuti
batas perairan teritorial Australia, dan ketiga zona ini membentuk wilayah yang
bersebelahan, melalui ketentuan perjanjian tidak berlaku untuk perairan internasional
di wilayah itu. Sebaliknya, zona Asia Tenggara didefinisikan sebagai wilayah para
anggotanya termasuk Zona Ekonomi Eksklusif mereka, dan zona Afrika juga
didefinisikan sebagai negara dan teritori yang dianggap sebagai bagian dari Afrika
oleh OAU (sekarang Uni Afrika) yang mencakup pulaupulau yang berdekatan. ke
Afrika dan Madagaskar.
Walaupun Pernjanjian regional seperti ini sudah lebih dulu ada sebelum CTBT
yaitu sajak tahun 1961 di daerah antartika dan seterusnya Kegagalan CTBT tetap
membawa pengaruh besar pada komunitas regional, menjadi salah satu motivasi
pembentukan zona anti nuklir seperti yang dilakukan asia tenggara (ASEAN) denagn
memberlakukan Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty atau Traktat
Bangkok pada tahun 1997 tepat setahun setelah Dibukanya penandatangan CTBT
yaitu tahun 1996.
Selanjutnya Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Afrika, juga dikenal
sebagai Perjanjian Pelindaba (dinamai menurut Pusat Penelitian Nuklir utama Afrika
Selatan, dijalankan oleh The South African Nuclear Energy Corporation dan
merupakan lokasi di mana bom atom Afrika Selatan tahun 1970-an dikembangkan,
dibangun dan kemudian disimpan), menetapkan Zona Bebas Senjata Nuklir di Afrika.
Perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 1996 dan mulai berlaku dengan
ratifikasi ke-28 pada tanggal 15 Juli 2009.
Terakhir adalah Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tengah
(CANWFZ) adalah komitmen yang mengikat secara hukum oleh Kazakhstan,
Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan untuk tidak membuat,
memperoleh, menguji, atau memiliki senjata nuklir. Perjanjian tersebut
ditandatangani pada tanggal 8 September 2006.
Selain dalam ruang lingkup regional ada pula kekhawatiran dunia
internasional atas maraknya Ujicoba nuklir karena tidak efektifnya CTBT membuat
munculnya kekhawatiran terkait Pengembangan senjata nuklir illegal dan
disalahgunakan oleh pihak tertentu yang diakhiri dengan diberlakukannya The
Nuclear Terrorism Convention yaitu perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
2005 yang dirancang untuk mengkriminalisasi tindakan terorisme nuklir dan untuk
mempromosikan kerjasama polisi dan peradilan untuk mencegah,menyelidiki dan
menghukum tindakan tersebut. Pada Februari 2021, konvensi tersebut memiliki 115
penandatangan dan 117 negara pihak, termasuk kekuatan nuklir China, Prancis, India,
Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Akhirnya usaha usaha tersebut masih terkesan belum mampu untuk
mewujudkan Tujuan utama adanya Perjanjian perjanjian tentang senjata nuklir
termasuk CTBT yaitu Pelucutan senjata Nuklir secara menyeluruh. Sidang Majelis
Umum (SMU) PBB Sesi ke 70 (tahun 2015) telah mengadopsi
Resolusi A/RES/70/33 dengan judul “Taking Forward Multilateral
Disarmament Obligation" yang memandatkan pembentukan Open Ended Working
Group (OEWG) on Taking Forward Multilateral Disarmament Negotiations untuk
membahas secara lebih konkrit mengenai langkah hukum, ketentuan dan norma-
norma hukum guna mencapai dunia yang bebas dari senjata nuklir. Resolusi
A/RES/70/33 didukung oleh banyak negara yang sebagian besar terdiri dari negara
non-pemilik senjata nuklir, sedangkan negara-negara pemilik senjata nuklir (Nuclear
Weapons States)
Akhir negosiasi tanggal 7 Juli 2017, Treaty on the Prohibition of Nuclear
Weapons (TPNW / Traktat Pelarangan Senjata Nuklir) berhasil diadopsi melalui
pemungutan suara dengan 122 negara mendukung, 1 negara menolak dan 1 negara
abstain. Sebagai catatan, tidak ada satupun negara pemilik senjata nuklir yang
menghadiri konferensi TPNW dan pertemuan-pertemuan terkait pre-konferensi.
Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW), atau Perjanjian Pelarangan Senjata
Nuklir, adalah perjanjian internasional pertama yang mengikat secara hukum secara
komprehensif melarang senjata nuklir dengan tujuan akhir adalah penghapusan
totalnya. Itu diadopsi pada 7 Juli 2017, dibuka untuk ditandatangani pada 20
September 2017, dan mulai berlaku pada 22 Januari 2021.
Perjanjian pelarangan senjata nuklir, menurut para pendukungnya, akan
merupakan "komitmen politik yang jelas" untuk mencapai dan mempertahankan
dunia bebas senjata nuklir. Namun, tidak seperti konvensi senjata nuklir yang
komprehensif, itu tidak dimaksudkan untuk memuat semua tindakan hukum dan
teknis yang diperlukan untuk mencapai titik eliminasi. Pendukung perjanjian larangan
percaya bahwa itu akan membantu "menstigmatisasi" senjata nuklir, dan berfungsi
sebagai "katalis" untuk eliminasi. Sekitar dua pertiga dari negara-negara di dunia
telah berjanji untuk bekerja sama "untuk mengisi kesenjangan hukum" dalam rezim
internasional yang ada yang mengatur senjata nuklir dan memandang perjanjian
pelarangan senjata nuklir sebagai salah satu pilihan untuk mencapai tujuan ini.
Pasal 1 berisi larangan pengembangan, pengujian, produksi, penimbunan,
penempatan, pemindahan, penggunaan dan ancaman penggunaan senjata nuklir, serta
terhadap bantuan dan dorongan untuk kegiatan yang dilarang. Terakhir, segala
"kendali langsung atau tidak langsung atas senjata nuklir atau alat peledak nuklir"
dilarang.
Pasal 2 mewajibkan setiap pihak untuk menyatakan apakah mereka memiliki
senjata nuklir sendiri atau ditempatkan di wilayahnya, termasuk penghapusan atau
konversi fasilitas terkait.
Pasal 3 mensyaratkan pihak yang tidak memiliki senjata nuklir untuk
mempertahankan pengamanan IAEA yang ada dan, jika mereka belum
melakukannya, untuk menerima pengamanan berdasarkan model negara non-senjata
nuklir di bawah NPT.
Pasal 4 menetapkan prosedur umum untuk negosiasi dengan setiap negara
bersenjata nuklir yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, termasuk batas waktu
dan tanggung jawab. Jika negara tersebut telah melenyapkan senjata nuklirnya
sebelum menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, "otoritas internasional yang
kompeten" yang tidak ditentukan akan memverifikasi penghapusan itu, dan negara
juga harus membuat perjanjian perlindungan dengan IAEA untuk memberikan
jaminan yang dapat dipercaya bahwa ia tidak mengalihkan nuklir material dan tidak
memiliki bahan nuklir atau acti yang tidak diumumkan.
Pasal 5 tentang penyelenggaraan nasional. Pasal 6 mewajibkan perbaikan
lingkungan dan bantuan bagi korban penggunaan dan pengujian senjata nuklir.
Menurut Pasal 7, negara harus membantu satu sama lain untuk tujuan ini, dengan
tanggung jawab khusus dari kekuatan nuklir. Secara lebih umum, semua negara pihak
harus bekerja sama untuk memfasilitasi implementasi perjanjian itu.
Pasal 8 mengatur pertemuan negara-negara pihak, yang biayanya ditanggung oleh
negara-negara bagian menurut skala penilaian PBB (Pasal 9).
Pasal 10-12 membahas tentang kemungkinan amandemen, penyelesaian
perselisihan dan "tujuan kepatuhan universal semua Negara pada Perjanjian".
Menurut Pasal 13–15, perjanjian itu terbuka untuk ditandatangani mulai 20
September 2017 di markas besar PBB di New York. "Perjanjian akan mulai berlaku
90 hari setelah instrumen kelima puluh ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau
aksesi".
Pasal 16 menyatakan bahwa Perjanjian "tidak akan tunduk pada reservasi".
Pasal 17-20 mengatur Penarikan, Hubungan dengan perjanjian lain, kesetaraan
perlakuan untuk setiap terjemahan resmi Perjanjian, dan semua formalitas lain yang
diperlukan Perjanjian.
Menurut International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), sebuah
koalisi organisasi non-pemerintah, pendukung utama perjanjian pelarangan senjata
nuklir termasuk Irlandia, Austria, Brazil, Indonesia, Meksiko , Nigeria, Afrika Selatan
dan Thailand. dan semua 33 negara di Amerika Latin dan Karibia.
Menyusul adopsi perjanjian, misi permanen Amerika Serikat, Inggris Raya dan
Prancis mengeluarkan pernyataan bersama yang menunjukkan bahwa mereka tidak
bermaksud "untuk menandatangani, meratifikasi atau pernah menjadi pihak di
dalamnya". Bertentangan dengan posisi pemerintah di sejumlah negara, beberapa
jajak pendapat baru-baru ini - termasuk Australia, dan Norwegia telah menunjukkan
dukungan publik yang kuat untuk merundingkan larangan internasional terhadap
senjata nuklir. Belanda memberikan suara menentang pengadopsian perjanjian
tersebut, sementara Jerman tidak berpartisipasi, meskipun jajak pendapat menentang
kehadiran senjata nuklir di kedua negara.
Perjanjian ini diharapkan menjadi angin baru dari usaha pelucutan senjata nuklir
selama 75 tahun yang menyakinkan karena tidak adanya pengaruh politik dari NWS
yang selama ini mencoba mengendalikan perkembangan dan kepemilikan senjata
nuklir Negara lain sedangkan mereka sendiri tidak memiliki niat untuk melucuti
senjata nuklirnya yang pada akhirnya perjanjian ini secara tidak langsung mengganti
peran CTBT untuk mencapai penghapusan sejata nuklir secara menyeluruh, walaupun
CTBT terbilang tidak efektif ditambah dengan kehadiran TPNW, akan tetapi CTBT
bukan sama sekali tidak berguna, Sistem Pengawasan CTBO tetap akan dilakukan
untuk melakukan pengawasan dan bagi Negara yang telah meratifikasinya akan
menjadi cerminan keseriusan Negara anggota dalam menghapus senjata nuklir.
Demikian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir diharapkan bisa membawa dunia ke
dunia bebasa nuklir, menghilangkan salah satu ancaman yang bukan tidak mungkin
dapat mengakibatkan punahnya umat manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Security Dilemma Theory atau Teori Dilema Keamanan adalah situasi di mana
tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri
menyebabkan reaksi dari negara lain, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
daripada peningkatan keamanan negara asal. Hukum Perang (laws of war) juga dikenal
dengan istila hokum humaniter (International Humanitirian Law Applicable in Armed
Conflict). Hukum humaniter merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana
disebut sebagai hokum humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman
perang.
Hukum Perang (laws of war) juga dikenal dengan istila hokum humaniter
(International Humanitirian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter
merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana disebut sebagai hokum humaniter
untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. NPT adalah perjanjian
internasional penting yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan
teknologi senjata, untuk mempromosikan kerja sama dalam penggunaan energi nuklir
untuk tujuan damai dan untuk mencapai tujuan perlucutan senjata nuklir dan perlucutan
senjata umum dan lengkap. Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) merupakan
perjanjian internasional yang bersumber pada statuta IAEA yang ketentuan-ketentuan di
dalamnya harus dilaksanakan oleh setiap negara anggota. Dalam perjanjian ini, CTBT
lebih mengacu dan ditekankan pada usaha-usaha mencegah ujicoba senjata nuklir
maupun mencegah kepemilikan senjata nuklir oleh negara- negara yang menjadi peserta
terutama anggota IAEA. Konferensi ini diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18
Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah
beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar
pada perang laut.
Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir (Comprehensive Nuclear-
Test-Ban Treaty/ CTBT) adalah sebuah perjanjian multilateral dimana negara-negara
setuju untuk melarang semua kegiatan peledakan nuklir di semua lingkungan baik
untuk tujuan militer maupun sipil, Traktat ini mulai akan berlaku 180 hari setelah
tanggal pendepositan instrument ratifikasi oleh seluruh Negara Walaupun kebanyakan
pihak telah berkomitmen dengan kontribusinya dalam CTBT tetapi pada nyatanya
traktat ini belum berlaku secara penuh akibat adanya kepentingan politik dari
beberapa Negara yang dinilai mengambil keuntungan dari perjanjian tersebut.
Pelaksanaan CTBT yang kurang lancar pada akhirnya membuat Negara Negara
anggota untuk melakukan inisiatifnya masing masing, hal ini terbukti dengan
konvensi Rutin mengenai CTBT yang sampai sekarang tidak mendapatkan hasil,
dampak yang terlihat pada pelaksanaan CTBT sendiri masih terbilang dalam fungsi
mengawasi dan sangatlah sulit untuk melakukan tindakan langsung secara
Internasional mengingat lemahnya daya ikat CTBT.
Demikian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir diharapkan bisa membawa dunia ke
dunia bebasa nuklir, menghilangkan salah satu ancaman yang bukan tidak mungkin
dapat mengakibatkan punahnya umat manusia.
B. Saran
1. Seluruh negara pemilik senjata nuklir harus menunjukkan secara sungguh-sungguh
komiteman mereka untuk perlucutan senjata nuklir dan memberikan jaminan keamanan
untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara yang tidak memiliki senjata
nuklir.
2. Ancaman Ujicoba nuklir harus ditanggapi secara sungguh sungguh dan efektif tanpa
diskriminasi dan tanpa menggunakan standar ganda, sudah seharusnya Negara Negara
mencoba untuk bekerja sama dan menghindari konflik politik terutama Negara Annex 2
yang belum melakukan ratifikasi supaya segera melakukan ratifikasi agar perjanjian bisa
dijalankan secrara menyeluruh
3. mengupayakan terbentuknya konvensi senjata nuklir yang universal dalam tenggat waktu
yang jelas guna menghapuskan senjata nuklir secara menyeluruh.hal ini telah di berhasil
dilakukan dengan diberlakukannya The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons
(TPNW) atau traktat pelarangan senjata nuklir pada tahun 2021 walaupun Negara Negara
pemilik nuklir kebanyakan tidak setuju namun perjanjian ini tetap bisa memberikan
tekanan bagi Negara pemilik senjata nuklir, maka ada baiknya traktat ini dipegang
sebagai pedoman utama demi tercapainya dunia bebas nuklir yang pada dasarnya
menginginkan Keamanan dan kedamaian Dunia
DAFTAR PUSTAKA
Forsberg, T., & Herd, G. (2015). Russia and NATO: From windows of opportunities to closed
doors. Journal of Contemporary European Studies, 23(1), 41-57.