Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

IMPLEMENTASI PERJANJIAN COMPREHEMSIVE TEST BAN


TREATY (CTBT) DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL

Disusun oleh :
ANANDA SYAHPUTRA DARWIS
203014792

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
ABSTRAK

Makalah ini berjudul “IMPLEMENTASI PERJANJIAN COMPREHEMSIVE TEST


BAN TREATY (CTBT) DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN
KEAMANAN INTERNASIONAL.” Makalah ini dibuat berdasarkan terjadinya
penggunaan dan pengembangan senjata Nuklir yang dilakukan oleh berbagai Negara.
Senjata nuklir merupakan perangkat yang dirancang untuk melepaskan energi secara
eksplosif sebagai akibat dari fisi nuklir, fusi nuklir, atau kombinasi dari kedua proses
tersebut. Negara-negara yang memiliki ataupun melakukan pengembangan uji coba
senjata Nuklir mempunyai tujuan menjadi negara Adidaya dengan militer yang kuat
untuk mempertahankan wilayah dan mengancam negara musuh yang akan menyerang
negara tersebut. Namun kandungan zat Radioaktif dan besarnya ledakan yang dihasilkan
pada senjata nuklir dapat membahayakan kelangsungan kehidupan makhluk hidup di
bumi. Sehingga dibuatlah perjanjian dalam Hukum Internasional untuk membatasi
penggunaan dan kepemilikan senjata Nuklir.
Kata Kunci: Negara, Senjata Nuklir, Hukum Internasional

ABSTRACT

The paper is entitled “IMPLEMENTATION OF THE COMPREHEMSIVE TEST BAN


TREATY (CTBT) AGREEMENT IN REALIZING INTERNATIONAL PEACE AND
SECURITY.” This paper is based on the occurrence of the use and development of
nuclear weapons by various countries. Nuclear weapons are devices designed to release
energy explosively as a result of nuclear fission, nuclear fusion, or a combination of the
two processes. Countries that have or develop nuclear weapons tests have the goal of
becoming a superpower with a strong military to defend their territory and threaten
enemy countries that will attack the country. However, the content of radioactive
substances and the magnitude of the explosion produced in nuclear weapons can
endanger the survival of living things on earth. So that rules are made in international
law to limit the use and possession of nuclear weapons.
Keywords: Countries, Nuclear Weapon, International Law
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penemuan energy nuklir merupakan suatu penemuan terbesar dalam sejarah umat
manusia. Namun penggunaan energy nuklir dalam bidang persenjataan merupakan
sebuah ciptaan paling mengerikan dalam sejarah umat manusia. Perkembangan dalam
bidang persenjataan mengakibatkan nuklir menjadi momok yang mengerikan karena
identic dengan penggunaan senjata pemusnah masal yang dahsyat dan berbahaya
dengan sebutan Senjata Nuklir.

Salah satu permasalahan keamanan Internasional yang menjadi perhatian negara


negara saat ini adalah penggunaan teknologi Nuklir dalam persenjataan pemusnah
massal. Tiap tahun isu permasalahan senjata Nuklir menjadi focus pembicaraan dan
perdebatan dalam pertemuan antar negara di forum Internasional1.

Penggunaan senjata nuklir bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip yang


termuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 1 butir 1 Piagam PBB
mengatur bahwa salah satu tujuan diciptakannya perserikatan bangsa-bangsa adalah
untuk memelihara perdamaian dan keamanan Internasional dan untuk tujuan itu
mengadakan tindakan tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan
melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap
perdamaian tersebut.

Senjata nuklir dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan di bumi dan


mengancam kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Hal ini disebabkan karena
1
Hizbut Tahrir, 2003, Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis (Edisi Indonesia), Pustaka
Jaya cet I, terjemahan M. Ramdhan Adhi dkk, Bogor, h. 18.
senjata nuklir mempunyai dampak kehancuran yang sangat besar saat senjata nuklir
itu meledak, selain itu dampak kehancuran tersebut dapat berefek panjang karena zat
radioaktif yang terkandung didalam senjata nuklir tersebut.2

Penggunaan senjata nuklir dapat menjadi suatu ancaman besar dan nyata bagi
dunia karena nuklir dapat menghancurkan dunia ini berulang kali. Contoh kasus
pemanfaatan energy nuklir sebagai persenjataan pertama kali dilakukan oleh negara
Amerika Serikat pada Perang Dunia II dengan cara melakukan serangan pemboman
terhadap dua kota dijepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki menggunakan Bom Atom
berdaya ledak nuklir.

Masalah senjata nuklir masih menjadi isu utama dalam pembahasan keamanan
Internasional dan seruan-seruan pemusanahan dan penghentian penggunaan senjata
nuklir semakin gencar dilakukan demi perdamaian dunia, maka dari itu Perserikatan
Bangsa-Bangsa membuat perjanjian Internasional tentang pembatasan dan
penghentian penggunaan senjata nuklir.

Diawali dengan adanya resolusi yang dihasilkan saat konvensi Jenewa pada
sekitar tahun 1993 yang menghasilkan negosiasi perjanjian pembatasan proliferasi
senjata nuklir pertama di dunia atau biasa disebut Comprehemsive Nuclear Test Ban
Treaty (CTBT). Merupakan perjanjian yang mengikat secara Hukum Internasional
terhadap negara-negara yang menandatangani atau meratifikasi perjanjian tersebut
untuk mencegah dan melucuti penggunaan senjata nuklir serta memanfaatkan energy
nuklir untuk tujuan damai.

Dengan adanya perjanjian pembatasan proliferasi senjata nuklir atau CTBT


diharapkan dapat mewujudkan perdamaian seutuhnya antar negara di dunia karena
perjanjian ini didasarkan kekhawatiran negara-negara non-nuclear weapon atas
banyaknya negara-negara yang memanfaatkan energy nuklir untuk mengembangkan
senjata pemusnah massal.
2
Perjanjian Internasional Ketenaganukliran Pada Penggunaan Nuklir Tujuan Damai, sainsindonesia. Sebagaimana
dimuat dalam wordpress.com, , (Diakses tanggal 11 november 2020).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas maka penulis merumuskan
permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi pengaturan yang terdapat pada perjanjian


Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) dalam mencegah
pengembangan dan penggunaan senjata nuklir ?
2. Bagaimana relevansi dan status hukum Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty
(CTBT) menurut Hukum Internasional ?

C. Metode Penelitian
Dalam pembuatan makalah ini penulis menggunakan Metode Penelitian yang berjenis
Metode Kualitatif. Landasan Metode Penelitian adalah filasafat postpositivisme.
Digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (lawan eksperimen),
dimana peneliti sebagai instrument kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan secara
triangulasi (gabungan). Analisa data bersifat induktif/kualitatif. Hasil penelitian
kualitatif menekankan makna dari pada generalisasi. Peraturan yang digunakan
merujuk pada perjanjian internasional tentang perang dan pelanggaran yang
dilakukan oleh Rusia terhadap Serangannya ke Ukraina.

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
1. Security Dilemma Theory
Security Dilemma Theory atau Teori Dilema Keamanan adalah situasi di mana
tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri
menyebabkan reaksi dari negara lain, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
daripada peningkatan keamanan negara asal.

Beberapa pakar hubungan internasional berpendapat bahwa dilema keamanan adalah


sumber paling penting dari konflik antar negara. Mereka berpendapat bahwa di ranah
internasional, tidak ada monopoli kekerasan yang sah —yaitu, tidak ada pemerintahan
dunia—dan, sebagai konsekuensinya, setiap negara harus menjaga keamanannya
sendiri. Untuk alasan ini, tujuan utama negara adalah untuk memaksimalkan
keamanan mereka sendiri. Namun, banyak tindakan yang diambil untuk mencapai
tujuan itu—seperti pengadaan senjata dan pengembangan teknologi militer baru—
akan menurunkan keamanan negara lain. Penurunan keamanan negara lain tidak
otomatis membuat dilema, tetapi negara lain akan cenderung mengikuti jika salah
satu negara mempersenjatai diri. Mereka tidak dapat mengetahui apakah negara
bersenjata akan menggunakan peningkatan kemampuan militernya untuk serangan di
masa depan. Untuk alasan ini, mereka akan memilih untuk meningkatkan kemampuan
militer mereka sendiri untuk membangun kembali keseimbangan kekuatan atau
mereka akan meluncurkan serangan.serangan preemptive untuk mencegah negara
mempersenjatai dari mengganggu keseimbangan di tempat pertama. Jika mereka
memilih opsi pertama, hasilnya mungkin spiral keamanan, di mana dua (atau lebih)
negara terikat dalam perlombaan senjata , dengan masing-masing negara menanggapi
peningkatan pengadaan senjata dan pengeluaran pertahanan oleh negara lain,
memimpin mereka berdua. untuk mempersenjatai diri lebih dan lebih berat. Situasi itu
dapat menyebabkan perang dalam jangka panjang.3

2. Hukum Perang Internasional (Hukum Humaniter)


Hukum Perang (laws of war) juga dikenal dengan istila hokum humaniter
(International Humanitirian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter
merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana disebut sebagai hokum
humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. Terlepas
dari istilah yang digunakan, pada dasarnya hokum humaniter atau hokum perang
3
Tang, S. (2010). The security dilemma: A conceptual analysis. In A Theory of Security Strategy for Our Time (pp.
33-71). Palgrave Macmillan, New York.
memiliki tujuan yang Vsama yaitu untuk mengatur tata cara berperang serta
perlindungan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Menurut
Pasal 338 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court
of Justice) sumber-sumber hokum international terdiri dari hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang


membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat
internasional
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima
sebagai hokum
3. Prinsip-prinsip hokum umum yang diakui oleh bangsa beradab
4. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hokum tambahan untuk
menentukan supremasi hokum.

Hal tersebut juga berlaku terhadap hokum humaniter yang merupakan salah satu
cabang dari Hukum Internasional. Berbagai konvensi dan perjanjian Internasional
yang mengatur tentang hokum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa. Aturan tersebut selain diciptakan untuk melindungi orang-
orang yang tidak ikut dalam permusuhan dengan cara adanya pembatasan terhadap
penggunaan senjata, juga untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia
pada saat terjadinya konflik bersenjata.

B. Dasar Hukum

1. Hukum Perang Internasional (Hukum Humaniter)


Hukum Perang (laws of war) juga dikenal dengan istila hokum humaniter
(International Humanitirian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter
merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana disebut sebagai hokum
humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. Terlepas
dari istilah yang digunakan, pada dasarnya hokum humaniter atau hokum perang
memiliki tujuan yang Vsama yaitu untuk mengatur tata cara berperang serta
perlindungan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Menurut
Pasal 338 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional (International Court
of Justice) sumber-sumber hokum international terdiri dari hal-hal sebagai berikut:

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang


membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat
internasional
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima
sebagai hokum
3. Prinsip-prinsip hokum umum yang diakui oleh bangsa beradab
4. Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat
kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hokum tambahan untuk
menentukan supremasi hokum.

Hal tersebut juga berlaku terhadap hokum humaniter yang merupakan salah satu
cabang dari Hukum Internasional. Berbagai konvensi dan perjanjian Internasional
yang mengatur tentang hokum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den
Haag dan Hukum Jenewa. Aturan tersebut selain diciptakan untuk melindungi orang-
orang yang tidak ikut dalam permusuhan dengan cara adanya pembatasan terhadap
penggunaan senjata, juga untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia
pada saat terjadinya konflik bersenjata.

2. Nuclear Non-Proferation Treaty (Treaty NPT)


NPT adalah perjanjian internasional penting yang bertujuan untuk
mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata, untuk
mempromosikan kerja sama dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai
dan untuk mencapai tujuan perlucutan senjata nuklir dan perlucutan senjata umum
dan lengkap. Perjanjian tersebut merupakan satu-satunya komitmen yang
mengikat dalam perjanjian multilateral untuk tujuan perlucutan senjata oleh
negara-negara pemilik senjata nuklir. Dibuka untuk ditandatangani pada tahun
1968, Perjanjian ini mulai berlaku pada tahun 1970. Pada tanggal 11 Mei 1995,
Perjanjian tersebut diperpanjang tanpa batas waktu. Sebanyak 191 negara telah
bergabung dalam Traktat, termasuk lima negara pemilik senjata nuklir. Lebih
banyak negara telah meratifikasi NPT daripada perjanjian pembatasan senjata dan
perlucutan senjata lainnya, sebuah bukti signifikansi Perjanjian.

3. Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT)


Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) merupakan perjanjian
internasional yang bersumber pada statuta IAEA yang ketentuan-ketentuan di
dalamnya harus dilaksanakan oleh setiap negara anggota. Dalam perjanjian ini,
CTBT lebih mengacu dan ditekankan pada usaha-usaha mencegah ujicoba senjata
nuklir maupun mencegah kepemilikan senjata nuklir oleh negara- negara yang
menjadi peserta terutama anggota IAEA. CTBT diharapkan membawa harapan
baru bagi terciptanya perdamaian dunia karena perjanjian ini sendiri dibentuk atas
dasar adanya kekhawatiran yang timbul akibat mulai banyaknya negara-negara
yang tertarik bahkan secara serius berinisiatif untuk mempelajari program
pengembangan nuklir

4. Konvensi Den Haag


Konferensi ini diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18 Oktober
1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah
beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang
lebih besar pada perang laut. Pihak Inggris mencoba memasukan ketentuan
mengenai pembatasan persenjataan, tetapi usaha ini digagalkan oleh sejumlah
negara lain, dengan dipimpin oleh Jerman, karena Jerman khawatir bahwa itu
merupakan usaha Inggris untuk menghentikan pertumbuhan armada Jerman.
Jerman juga menolak usulan tentang arbitrase wajib. Namun, konferensi tersebut
berhasil memperbesar mekanisme untuk arbitrase sukarela dan menetapkan
sejumlah konvensi yang mengatur penagihan utang, aturan perang, dan hak serta
kewajiban negara netral.
Perjanjian Akhir ditandatangani pada tanggal 18 Oktober 1907 dan mulai
berlaku pada tanggal 26 Januari 1910. Perjanjian ini terdiri dari tiga belas seksi,
yang dua belas di antaranya diratifikasi dan berlaku:
1. I — Penyelesaian Damai atas Sengketa Internasional.
2. II — Pembatasan Penggunaan Kekuatan untuk Penagihan Utang
Kontrak.
3. III — Pembukaan Permusuhan.
4. IV — Hukum dan Kebiasaan Perang Darat.
5. V — Hak dan Kewajiban Negara dan Orang Netral Bilamana Terjadi
Perang Darat.
6. VI — Status Kapal Dagang Musuh Ketika Pecah Permusuhan.
7. VII — Konversi Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang.
8. VIII — Penempatan Ranjau Kontak Bawah Laut Otomatis.
9. IX — Pemboman oleh Pasukan Angkatan Laut di Masa Perang.
10. X — Penyesuaian Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa terhadap Perang
Laut.
11. XI — Pembatasan Tertentu Menyangkut Pelaksanaan Hak Menangkap
dalam Perang Laut.
12. XII — Pendirian Pengadilan Hadiah Internasional. (Tidak diratifikasi).
13. XIII – Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang Laut.
Selain itu ditandatangani pula dua deklarasi:
1. Deklarasi I — yang isinya memperluas isi Deklarasi II dari Konferensi
1899 untuk mencakup jenis-jenis lain dari pesawat terbang.
2. Deklarasi II — mengenai arbitrase wajib.

C. Analisis
1. Implementas pengaturan perjanjian Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty
(CTBT) dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan Internasional.
Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir (Comprehensive Nuclear- Test-
Ban Treaty/ CTBT) adalah sebuah perjanjian multilateral dimana negara-negara
setuju untuk melarang semua kegiatan peledakan nuklir di semua lingkungan baik
untuk tujuan militer maupun sipil, Traktat ini mulai akan berlaku 180 hari setelah
tanggal pendepositan instrument ratifikasi oleh seluruh Negara yang tercantum dalam
Lampiran 2 (Annex II) Traktat ini, tetapi tidak melebihi dua tahun setelah Traktat
terbuka untuk ditandatangani.
Jika Traktat belum mulai berlaku setelah tiga tahun peringatan Traktat terbuka
untuk ditandatangani, maka Penyimpan Piagam Ratifikasi harus menyelenggarakan
suatu Konferensi Negara yang telah meratifikasi Traktat.
Konferensi ini lnilah yang harus menguji apakah persyaratan yang terdapat
dalam ayat 1 telah terpenuhi dan harus mempertimbangkan dan memutuskan secara
konsensus langkah langkah apa yang konsisten dengan hukum internasional yang
akan dilakukan untuk mempercepat proses ratifikasi dalam upaya untuk mempercepat
segera berlakunya Traktat ini. Delapan dari Negara yang tercantum dalam Annex 2
CTBT belum meratifikasi perjanjian. Republik Rakyat Cina, Mesir, Iran, Israel, dan
Amerika Serikat telah menandatangani perjanjian namun belum meratifikasinya.
Setiap Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian mempunyai
kewajibankewajiban tertentu. Kewajiban dari Negara Pihak dalam perjanjian ini yaitu
bahwa setiap Negara Pihak tidak melakukan segala uji coba ledakan senjata nuklir
atau ledakan nuklir lainnya, dan melarang serta mencegah semua ledakan nuklir
semacamnya yang berada di semua tempat di bawah yuridiksinya atau
pengawasannya.
Terbentuknya Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir(Comprehensive
Nuclear-Test-Ban Treaty/ CTBT) seperti yang ada pada saat sekarang adalah setelah
melalui proses yang panjang dimana adanya beberapa perjanjian-perjanjian yang
telah ada sebelumnya dan disempurnakan seperti yang ada sekarang ini.
Negosiasi yang dilakukan antara Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet
menghasilkan Traktat Pelarangan Ujicoba Nuklir di Atmosfer, di Angkasa Luar dan
di bawah Laut (Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer
Space and under Water) atau yang seringkali disebut sebagai Partial/ Limited Test
Ban Treaty (PTBT/LTBT) pada tahun 1963.
Negara-negara yang menjadi pihak dalam CTBT secara bersama mengakui
bahwa penghentian semua uji coba ledakan senjata nuklir dan semua ledakan nuklir
lain, dengan cara menghambat perkembangan dan perbaikan kualitatif senjata nuklir
dan menghentikan perkembangan senjata nuklir canggih tipe baru, merupakan
langkah efektif bagi perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi dalam segala
aspeknya. Selain itu, penghentian semua ledakan nuklir tersebut akan merupakan
langkah yang berarti bagi terwujudnya suatu proses yang sistematik untuk mencapai
perlucutan senjata nuklir.
Rampungnya CTBT merupakan tahap lanjutan dari aspirasi–aspirasi yang
telah dicetuskan sebelumnya oleh para pihak dalam Traktat Pelarangan Uji Coba
Senjata Nuklir di Atmosfir, Ruang Angkasa dan Bawah Air (Treaty Banning Nuclear
Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and under Water) tahun 1963 untuk
tidak dilakukannya semua uji ledakan senjata nuklir di bagian wilayah manapun di
bumi sepanjang masa demi perlindungan lingkungan hidup, serta peningkatan
perdamaian dan keamanan dunia.
Setiap Negara yang bergabung dalam CTBT harus bekerjasama dengan
CTBTO dalam melaksanakan fungsi-fungsinya sesuai dengan isi Traktat. Negara-
Negara Pihak harus mengadakan konsultasi yang dilakukan baik secara langsung atau
melalui CTBTO itu sendiri atau prosedur-prosedur internasional lain yang tepat,
termasuk prosedur dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sesuai dengan
Piagam PBB, mengenai berbagai masalah yang muncul berkaitan dengan maksud dan
tujuan, atau pelaksanaan ketentuan-ketentuan Traktat.
CTBTO sebagai badan independen harus berupaya memanfaatkan keahlian
dan fasilitas yang ada secara tepat dan berupaya memaksimalkan efisiensi biaya,
melalui persetujuan-persetujuan kerjasama dengan organisasi internasional lainnya
seperti Badan Energi Atom Internasional/ IAEA.
Negara Pihak harus menangani informasi dan data secara eksklusif dalam
kaitannya dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya berdasarkan Traktat.
Kewajiban yang dimaksud adalah dengan membayarkan iuran setiap tahun guna
membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukan CTBTO, Jika negara anggota
menunggak pembayarannya untuk iuran yang ditetapkan maka Negara tersebut tidak
akan mempunyai hak suara dalam sidang CTBTO apabila jumlah tunggakannya
melebihi iurannya dalam dua tahun penuh, tidak termasuk persetujuan komersial atau
kontak yang minor dan normal, harus diatur dalam perjanjianTraktat (Comprehensive
Nuclear- Test-Ban Treaty/ CTBT) memiliki aturanaturan yang mengikat setiap
Negara Pihak untuk melaksanakan kewajibannya sesuai isi perjanjian untuk
diterapkan dalam hukum negara masing-masing.
Walaupun kebanyakan pihak telah berkomitmen dengan kontribusinya dalam
CTBT tetapi pada nyatanya traktat ini belum berlaku secara penuh akibat adanya
kepentingan politik dari beberapa Negara yang dinilai mengambil keuntungan dari
perjanjian tersebut.

2. Relevansi dan status hukum Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT)
menurut Hukum Internasional.

Pelaksanaan CTBT yang kurang lancar pada akhirnya membuat Negara Negara
anggota untuk melakukan inisiatifnya masing masing, hal ini terbukti dengan
konvensi Rutin mengenai CTBT yang sampai sekarang tidak mendapatkan hasil,
dampak yang terlihat pada pelaksanaan CTBT sendiri masih terbilang dalam fungsi
mengawasi dan sangatlah sulit untuk melakukan tindakan langsung secara
Internasional mengingat lemahnya daya ikat CTBT.
Menyebabkan munculnya usaha usaha yang tujuannya sama dengan tujuan
awal CTBT yaitu Pelucutan senjata nuklir secara menyeluruh, seperti beberapa
perjanjian Regional atau Zona bebas senjata nuklir (NWFZ) diartikan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai perjanjian yang telah ditetapkan secara bebas
oleh sekelompok negara melalui perjanjian atau konvensi yang melarang
pengembangan, pembuatan, kontrol, kepemilikan, pengujian, penempatan atau
pengangkutan senjata nuklir di wilayah tertentu, yang memiliki mekanisme verifikasi
dan kontrol untuk menegakkan kewajibannya, dan itu diakui oleh Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Definisi NWFZ tidak menghitung negara atau wilayah kecil yang telah
melarang senjata nuklir hanya dengan hukum mereka sendiri, seperti Austria dengan
Atomsperrgesetz pada tahun 1999. Demikian pula Perjanjian 2 + 4, yang
menyebabkan penyatuan kembali Jerman, melarang senjata nuklir di negara bagian
baru Jerman (Berlin dan bekas Jerman Timur), tetapi merupakan kesepakatan hanya
di antara enam negara penandatangan, tanpa mekanisme resmi NWFZ.
Zona Antartika, dasar laut, dan ruang angkasa mendahului semua kecuali satu
zona di wilayah nasional. Sebagian besar lautan Bumi di atas dasar laut tidak tercakup
oleh NWFZ karena kebebasan laut membatasi pembatasan di perairan internasional.
PBB juga telah mengakui satu negara tambahan, Mongolia, sebagai negara yang
memiliki status bebas senjata nuklir, NWFZ tidak mencakup perairan internasional
(di mana terdapat kebebasan laut) atau transit rudal nuklir melalui ruang angkasa
(sebagai lawan penyebaran senjata nuklir di luar angkasa).
Zona Antartika, Amerika Latin, dan Pasifik Selatan ditentukan oleh garis
lintang dan bujur, kecuali untuk batas barat laut zona Pasifik Selatan yang mengikuti
batas perairan teritorial Australia, dan ketiga zona ini membentuk wilayah yang
bersebelahan, melalui ketentuan perjanjian tidak berlaku untuk perairan internasional
di wilayah itu. Sebaliknya, zona Asia Tenggara didefinisikan sebagai wilayah para
anggotanya termasuk Zona Ekonomi Eksklusif mereka, dan zona Afrika juga
didefinisikan sebagai negara dan teritori yang dianggap sebagai bagian dari Afrika
oleh OAU (sekarang Uni Afrika) yang mencakup pulaupulau yang berdekatan. ke
Afrika dan Madagaskar.
Walaupun Pernjanjian regional seperti ini sudah lebih dulu ada sebelum CTBT
yaitu sajak tahun 1961 di daerah antartika dan seterusnya Kegagalan CTBT tetap
membawa pengaruh besar pada komunitas regional, menjadi salah satu motivasi
pembentukan zona anti nuklir seperti yang dilakukan asia tenggara (ASEAN) denagn
memberlakukan Southeast Asian Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty atau Traktat
Bangkok pada tahun 1997 tepat setahun setelah Dibukanya penandatangan CTBT
yaitu tahun 1996.
Selanjutnya Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Afrika, juga dikenal
sebagai Perjanjian Pelindaba (dinamai menurut Pusat Penelitian Nuklir utama Afrika
Selatan, dijalankan oleh The South African Nuclear Energy Corporation dan
merupakan lokasi di mana bom atom Afrika Selatan tahun 1970-an dikembangkan,
dibangun dan kemudian disimpan), menetapkan Zona Bebas Senjata Nuklir di Afrika.
Perjanjian tersebut ditandatangani pada tahun 1996 dan mulai berlaku dengan
ratifikasi ke-28 pada tanggal 15 Juli 2009.
Terakhir adalah Perjanjian Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tengah
(CANWFZ) adalah komitmen yang mengikat secara hukum oleh Kazakhstan,
Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan untuk tidak membuat,
memperoleh, menguji, atau memiliki senjata nuklir. Perjanjian tersebut
ditandatangani pada tanggal 8 September 2006.
Selain dalam ruang lingkup regional ada pula kekhawatiran dunia
internasional atas maraknya Ujicoba nuklir karena tidak efektifnya CTBT membuat
munculnya kekhawatiran terkait Pengembangan senjata nuklir illegal dan
disalahgunakan oleh pihak tertentu yang diakhiri dengan diberlakukannya The
Nuclear Terrorism Convention yaitu perjanjian Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
2005 yang dirancang untuk mengkriminalisasi tindakan terorisme nuklir dan untuk
mempromosikan kerjasama polisi dan peradilan untuk mencegah,menyelidiki dan
menghukum tindakan tersebut. Pada Februari 2021, konvensi tersebut memiliki 115
penandatangan dan 117 negara pihak, termasuk kekuatan nuklir China, Prancis, India,
Rusia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.
Akhirnya usaha usaha tersebut masih terkesan belum mampu untuk
mewujudkan Tujuan utama adanya Perjanjian perjanjian tentang senjata nuklir
termasuk CTBT yaitu Pelucutan senjata Nuklir secara menyeluruh. Sidang Majelis
Umum (SMU) PBB Sesi ke 70 (tahun 2015) telah mengadopsi
Resolusi A/RES/70/33 dengan judul “Taking Forward Multilateral
Disarmament Obligation" yang memandatkan pembentukan Open Ended Working
Group (OEWG) on Taking Forward Multilateral Disarmament Negotiations untuk
membahas secara lebih konkrit mengenai langkah hukum, ketentuan dan norma-
norma hukum guna mencapai dunia yang bebas dari senjata nuklir. Resolusi
A/RES/70/33 didukung oleh banyak negara yang sebagian besar terdiri dari negara
non-pemilik senjata nuklir, sedangkan negara-negara pemilik senjata nuklir (Nuclear
Weapons States)
Akhir negosiasi tanggal 7 Juli 2017, Treaty on the Prohibition of Nuclear
Weapons (TPNW / Traktat Pelarangan Senjata Nuklir) berhasil diadopsi melalui
pemungutan suara dengan 122 negara mendukung, 1 negara menolak dan 1 negara
abstain. Sebagai catatan, tidak ada satupun negara pemilik senjata nuklir yang
menghadiri konferensi TPNW dan pertemuan-pertemuan terkait pre-konferensi.
Perjanjian Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW), atau Perjanjian Pelarangan Senjata
Nuklir, adalah perjanjian internasional pertama yang mengikat secara hukum secara
komprehensif melarang senjata nuklir dengan tujuan akhir adalah penghapusan
totalnya. Itu diadopsi pada 7 Juli 2017, dibuka untuk ditandatangani pada 20
September 2017, dan mulai berlaku pada 22 Januari 2021.
Perjanjian pelarangan senjata nuklir, menurut para pendukungnya, akan
merupakan "komitmen politik yang jelas" untuk mencapai dan mempertahankan
dunia bebas senjata nuklir. Namun, tidak seperti konvensi senjata nuklir yang
komprehensif, itu tidak dimaksudkan untuk memuat semua tindakan hukum dan
teknis yang diperlukan untuk mencapai titik eliminasi. Pendukung perjanjian larangan
percaya bahwa itu akan membantu "menstigmatisasi" senjata nuklir, dan berfungsi
sebagai "katalis" untuk eliminasi. Sekitar dua pertiga dari negara-negara di dunia
telah berjanji untuk bekerja sama "untuk mengisi kesenjangan hukum" dalam rezim
internasional yang ada yang mengatur senjata nuklir dan memandang perjanjian
pelarangan senjata nuklir sebagai salah satu pilihan untuk mencapai tujuan ini.
Pasal 1 berisi larangan pengembangan, pengujian, produksi, penimbunan,
penempatan, pemindahan, penggunaan dan ancaman penggunaan senjata nuklir, serta
terhadap bantuan dan dorongan untuk kegiatan yang dilarang. Terakhir, segala
"kendali langsung atau tidak langsung atas senjata nuklir atau alat peledak nuklir"
dilarang.
Pasal 2 mewajibkan setiap pihak untuk menyatakan apakah mereka memiliki
senjata nuklir sendiri atau ditempatkan di wilayahnya, termasuk penghapusan atau
konversi fasilitas terkait.
Pasal 3 mensyaratkan pihak yang tidak memiliki senjata nuklir untuk
mempertahankan pengamanan IAEA yang ada dan, jika mereka belum
melakukannya, untuk menerima pengamanan berdasarkan model negara non-senjata
nuklir di bawah NPT.
Pasal 4 menetapkan prosedur umum untuk negosiasi dengan setiap negara
bersenjata nuklir yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, termasuk batas waktu
dan tanggung jawab. Jika negara tersebut telah melenyapkan senjata nuklirnya
sebelum menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, "otoritas internasional yang
kompeten" yang tidak ditentukan akan memverifikasi penghapusan itu, dan negara
juga harus membuat perjanjian perlindungan dengan IAEA untuk memberikan
jaminan yang dapat dipercaya bahwa ia tidak mengalihkan nuklir material dan tidak
memiliki bahan nuklir atau acti yang tidak diumumkan.
Pasal 5 tentang penyelenggaraan nasional. Pasal 6 mewajibkan perbaikan
lingkungan dan bantuan bagi korban penggunaan dan pengujian senjata nuklir.
Menurut Pasal 7, negara harus membantu satu sama lain untuk tujuan ini, dengan
tanggung jawab khusus dari kekuatan nuklir. Secara lebih umum, semua negara pihak
harus bekerja sama untuk memfasilitasi implementasi perjanjian itu.
Pasal 8 mengatur pertemuan negara-negara pihak, yang biayanya ditanggung oleh
negara-negara bagian menurut skala penilaian PBB (Pasal 9).
Pasal 10-12 membahas tentang kemungkinan amandemen, penyelesaian
perselisihan dan "tujuan kepatuhan universal semua Negara pada Perjanjian".
Menurut Pasal 13–15, perjanjian itu terbuka untuk ditandatangani mulai 20
September 2017 di markas besar PBB di New York. "Perjanjian akan mulai berlaku
90 hari setelah instrumen kelima puluh ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau
aksesi".
Pasal 16 menyatakan bahwa Perjanjian "tidak akan tunduk pada reservasi".
Pasal 17-20 mengatur Penarikan, Hubungan dengan perjanjian lain, kesetaraan
perlakuan untuk setiap terjemahan resmi Perjanjian, dan semua formalitas lain yang
diperlukan Perjanjian.
Menurut International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), sebuah
koalisi organisasi non-pemerintah, pendukung utama perjanjian pelarangan senjata
nuklir termasuk Irlandia, Austria, Brazil, Indonesia, Meksiko , Nigeria, Afrika Selatan
dan Thailand. dan semua 33 negara di Amerika Latin dan Karibia.
Menyusul adopsi perjanjian, misi permanen Amerika Serikat, Inggris Raya dan
Prancis mengeluarkan pernyataan bersama yang menunjukkan bahwa mereka tidak
bermaksud "untuk menandatangani, meratifikasi atau pernah menjadi pihak di
dalamnya". Bertentangan dengan posisi pemerintah di sejumlah negara, beberapa
jajak pendapat baru-baru ini - termasuk Australia, dan Norwegia telah menunjukkan
dukungan publik yang kuat untuk merundingkan larangan internasional terhadap
senjata nuklir. Belanda memberikan suara menentang pengadopsian perjanjian
tersebut, sementara Jerman tidak berpartisipasi, meskipun jajak pendapat menentang
kehadiran senjata nuklir di kedua negara.
Perjanjian ini diharapkan menjadi angin baru dari usaha pelucutan senjata nuklir
selama 75 tahun yang menyakinkan karena tidak adanya pengaruh politik dari NWS
yang selama ini mencoba mengendalikan perkembangan dan kepemilikan senjata
nuklir Negara lain sedangkan mereka sendiri tidak memiliki niat untuk melucuti
senjata nuklirnya yang pada akhirnya perjanjian ini secara tidak langsung mengganti
peran CTBT untuk mencapai penghapusan sejata nuklir secara menyeluruh, walaupun
CTBT terbilang tidak efektif ditambah dengan kehadiran TPNW, akan tetapi CTBT
bukan sama sekali tidak berguna, Sistem Pengawasan CTBO tetap akan dilakukan
untuk melakukan pengawasan dan bagi Negara yang telah meratifikasinya akan
menjadi cerminan keseriusan Negara anggota dalam menghapus senjata nuklir.
Demikian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir diharapkan bisa membawa dunia ke
dunia bebasa nuklir, menghilangkan salah satu ancaman yang bukan tidak mungkin
dapat mengakibatkan punahnya umat manusia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Security Dilemma Theory atau Teori Dilema Keamanan adalah situasi di mana
tindakan yang diambil oleh suatu negara untuk meningkatkan keamanannya sendiri
menyebabkan reaksi dari negara lain, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan
daripada peningkatan keamanan negara asal. Hukum Perang (laws of war) juga dikenal
dengan istila hokum humaniter (International Humanitirian Law Applicable in Armed
Conflict). Hukum humaniter merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana
disebut sebagai hokum humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman
perang.

Hukum Perang (laws of war) juga dikenal dengan istila hokum humaniter
(International Humanitirian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter
merupakan istilah modern dari hokum perang, dimana disebut sebagai hokum humaniter
untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. NPT adalah perjanjian
internasional penting yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan
teknologi senjata, untuk mempromosikan kerja sama dalam penggunaan energi nuklir
untuk tujuan damai dan untuk mencapai tujuan perlucutan senjata nuklir dan perlucutan
senjata umum dan lengkap. Comprehemsive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT) merupakan
perjanjian internasional yang bersumber pada statuta IAEA yang ketentuan-ketentuan di
dalamnya harus dilaksanakan oleh setiap negara anggota. Dalam perjanjian ini, CTBT
lebih mengacu dan ditekankan pada usaha-usaha mencegah ujicoba senjata nuklir
maupun mencegah kepemilikan senjata nuklir oleh negara- negara yang menjadi peserta
terutama anggota IAEA. Konferensi ini diadakan dari tanggal 15 Juni sampai dengan 18
Oktober 1907 untuk memperluas isi Konvensi Den Haag yang semula, dengan mengubah
beberapa bagian dan menambahkan sejumlah bagian lain, dengan fokus yang lebih besar
pada perang laut.
Traktat Pelarangan Menyeluruh Ujicoba Nuklir (Comprehensive Nuclear-
Test-Ban Treaty/ CTBT) adalah sebuah perjanjian multilateral dimana negara-negara
setuju untuk melarang semua kegiatan peledakan nuklir di semua lingkungan baik
untuk tujuan militer maupun sipil, Traktat ini mulai akan berlaku 180 hari setelah
tanggal pendepositan instrument ratifikasi oleh seluruh Negara Walaupun kebanyakan
pihak telah berkomitmen dengan kontribusinya dalam CTBT tetapi pada nyatanya
traktat ini belum berlaku secara penuh akibat adanya kepentingan politik dari
beberapa Negara yang dinilai mengambil keuntungan dari perjanjian tersebut.

Pelaksanaan CTBT yang kurang lancar pada akhirnya membuat Negara Negara
anggota untuk melakukan inisiatifnya masing masing, hal ini terbukti dengan
konvensi Rutin mengenai CTBT yang sampai sekarang tidak mendapatkan hasil,
dampak yang terlihat pada pelaksanaan CTBT sendiri masih terbilang dalam fungsi
mengawasi dan sangatlah sulit untuk melakukan tindakan langsung secara
Internasional mengingat lemahnya daya ikat CTBT.
Demikian Traktat Pelarangan Senjata Nuklir diharapkan bisa membawa dunia ke
dunia bebasa nuklir, menghilangkan salah satu ancaman yang bukan tidak mungkin
dapat mengakibatkan punahnya umat manusia.

B. Saran
1. Seluruh negara pemilik senjata nuklir harus menunjukkan secara sungguh-sungguh
komiteman mereka untuk perlucutan senjata nuklir dan memberikan jaminan keamanan
untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara yang tidak memiliki senjata
nuklir.
2. Ancaman Ujicoba nuklir harus ditanggapi secara sungguh sungguh dan efektif tanpa
diskriminasi dan tanpa menggunakan standar ganda, sudah seharusnya Negara Negara
mencoba untuk bekerja sama dan menghindari konflik politik terutama Negara Annex 2
yang belum melakukan ratifikasi supaya segera melakukan ratifikasi agar perjanjian bisa
dijalankan secrara menyeluruh
3. mengupayakan terbentuknya konvensi senjata nuklir yang universal dalam tenggat waktu
yang jelas guna menghapuskan senjata nuklir secara menyeluruh.hal ini telah di berhasil
dilakukan dengan diberlakukannya The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons
(TPNW) atau traktat pelarangan senjata nuklir pada tahun 2021 walaupun Negara Negara
pemilik nuklir kebanyakan tidak setuju namun perjanjian ini tetap bisa memberikan
tekanan bagi Negara pemilik senjata nuklir, maka ada baiknya traktat ini dipegang
sebagai pedoman utama demi tercapainya dunia bebas nuklir yang pada dasarnya
menginginkan Keamanan dan kedamaian Dunia

DAFTAR PUSTAKA

Simon, J. (2001). Roadmap to NATO Accession Preparing for membership. NATIONAL


DEFENSE UNIV WASHINGTON DC INST FOR NATIONAL STRATEGIC STUDIES.
Re, E. D. (1955). NATO Status of Forces Agreement and International Law. Nw. UL Rev., 50,
349
Falk, R. A. (2003). What future for the UN Charter system of war prevention?. American
journal of international law, 97(3), 590-598
Permanasari, A., Wibowo, A., Agus, F., & Romsan, A. (1999). Pengantar hukum humaniter.
Yost, D. S. (2015). The Budapest Memorandum and Russia's intervention in Ukraine.
International Affairs, 91(3), 505-538
Sidjabat, D. J. H. (2016). Analisis terhadap perluasannya NATO & implikasinya terhadap
hubungan NATO-Rusia (1994-1999)= Analysis on NATO's expansion & its implications towards
NATO-Russian relations (1994-1999) (Doctoral dissertation, Universitas Pelita Harapan).
Pra Utami HS, E., Hasan, F., & Wicaksono, A. (2017). Analisis Bentuk-Bentuk Pelanggaran
Perjanjian Minsk Dalam Konflik Rusia-Ukraina.

Forsberg, T., & Herd, G. (2015). Russia and NATO: From windows of opportunities to closed
doors. Journal of Contemporary European Studies, 23(1), 41-57.

Anda mungkin juga menyukai