Diusulkan Oleh :
Gabriel Rhema Chrisnando (NIM 11000119130730)
Bilal Firmansyah (NIM 11000119130651)
Tania Tri Mawarni (NIM 11000119120094)
Isna Amalia Sakina (NIM 11000119130604)
Sherina Br Purba (NIM 11000119120095)
Dewi Cynthia Maharani W (NIM11000119120081)
Muhammad Rakha Farras (NIM 11000119130658)
Devi Sukmawati (NIM 11000119140598)
Nicko Adriawan (NIM 11000119140630)
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Pidana Internasional sebagai suatu konsentrasi hukum pidana yang baru telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Walaupun masih terhitung baru, benih-
benih hukum pidana internasional sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Seperti
yang dikatakan oleh C. Bassiouni1 bahwa sejak abad V sebelum Masehi, naskah-
naskah yang berkaitan dengan metode perang dan alat-alat perang telah ditemukan.
Setelahnya, hukum pidana internasional berkembang secara pesat dan memiliki
definisi yang bervariatif.
1
M. Cherif Bassiouni, Persectives on Internasional Criminal Law, Virginia Journal of Internasional
Law (2010), Vol. 50, Issue 2, hal. 284-287.
2
Antonio Cassese, International Criminal Law, dalam Malcom D Evan, International Law, New York:
Oxford University Press (2006), hal. 719.
Selain itu, pengertian hukum pidana internasional yang cukup singkat diberikan oleh
Ilias Bantekas dan Susan Nash 3 dengan mengatakan bahwa:
“International criminal law constitutes the fusion of two legal diciplines; international
law and domestic criminal law.”
Pandangan ini juga disetujui oleh Hiromi Sato dan C. Bassiouni yang secara singkat
berpendapat bahwa hukum pidana internasional merupakan gabungan antara hukum
pidana internasional dengan hukum pidana nasional.
Pengertian yang cukup luas mengenai hukum pidana internasional diberikan oleh
B.V.A. Rolling4 dengan memberikan pembagian antara 3 jenis hukum pidana, antara
lain:
Dari pengertian tersebut, terdapat pengertian yang belum memiliki batas yang jelas
pada definisi hukum pidana internasional dengan hukum pidana supranasional. I Made
3
Ilias Bantekas & Susan Nash, International Criminal Law, London: Cavendish Publishing Limitied
(2003), hal. 1.
4
B.V.A. Rolling dalam Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung, PT
Eresco (1995), hal. 25..
Pasek Diantha memberikan kritik terhadap kedua definisi tersebut 5. Dalam kritiknya,
definisi mengenai hukum pidana internasional dengan memberikan penekanan
terhadap hukum pidana nasional mana yang diterapkan terhadap kejahatan
internasional adalah kurang tepat. Menurutnya, dengan adanya pengadilan pidana
internasional khusus seperti ICTY (International Criminal Court for Yogoslavia) 1993,
ICTR (International Criminal Court for Rwanda) 1994, dan ICC (International
Criminal Court) sangat kecil kemungkinannya pengadilan-pengadilan tersebut hanya
menerapkan hukum pidana nasional dari suatu negara tertentu untuk memutus perkara
internasional.
Dari beberapa pengertian yang telah dijabarkan, dapat dikenali beberapa ruang lingkup
dari hukum pidana internasional. Secara singkat, terdapat dua pandangan mengenai
ruang lingkup pidana internasional, yakni mereka yang menganut pandangan sempit
dan mereka yang mengandung pandangan luas.
5
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana
Internasional), Jakarta: Prenadamedia Group (2019), hal. 3-4.
Ruang lingkup hukum pidana internasional dalam arti sempit terbatas pada tindak
pidana yang merupakan perhatian masyarakat internasional yang mencederai
kemuliaan dan rasa kehormatan manusia (dignity of man kind)6. Pandangan ini
dilandasi oleh adanya pandangan yang menganggap kejahatan pelanggaran HAM berat
merupakan musuh umat manusia atau “hostis humani generis”. Dalam pandangan yang
sempit ini, substansi hukum pidana internasional dibatasi oleh adanya larangan
kejahatan internasional tertentu atau secara langsung merumuskan kejahatan mana
yang merupakan kejahatan internasional.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup hukum pidana internasional dalam arti luas tidak
membatasi tindak pidana mana yang menjadi ranah internasional. Pada pandangan ini
terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan asas-asas, peradilan pidana, yurisdiksi
pidana, dan upaya penanggulangan kejahatan internasional dalam bentuk kerja sama
antarnegara7. Sehingga ruang lingkup hukum pidana internasional dalam pandangan
yang luas memberikan sudut pandang hukum pidana internasional sebagai suatu
mekanisme hukum pidana yang berlaku secara internasional.
Sebagai bahan studi yang menarik untuk dipecahkan, kasus kejahatan perang yang
dilakukan oleh Ahmad Al Faqi Al Mahdi di Timbuktu Mali cukup menarik perhatian
kami. Kasus Al Mahdi merupakan konflik bersenjata yang terjadi di Mali sejak tahun
2012. Konflik ini diawali adanya perselisihan antara pemerintah Mali dan sejumlah
kelompok bersenjata terorganisir. Akibat konflik tersebut ditemukan beberapa data
yang menjelaskan adanya penghancuran situs bersejarah yang dilindungi oleh
UNESCO.
6
Ibid, hal. 9.
7
Ilias Bantekas & Susan Nash dalam I Made Pasek Diantha, Ibid, hal.12-13.
Saat berkuasa, Al Mahdi beserta anggotanya merusak dan menghancurkan banyak
bangunan dan makam kuno, termasuk masjid yang dianggap tidak selaras dengan
kelompok militan. Selain itu, kelompok ekstremis di Mali tersebut juga membakar
puluhan ribu naskah kuno. Al Mahdi dapat dipertanggungjawabkan secara individu
(individual criminal responsibility) karena telah melakukan serangan secara sengaja
yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama dan/atau
monumen bersejarah yaitu:
Dapat diketahui bahwa semua bangunan dan monumen yang diserang berada di
wilayah perlindungan UNESCO yang sebagian besar juga merupakan benda budaya
yang terdaftar dalam daftar warisan dunia.
Dalam hal ini, Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga
pada 30 Mei 2012 Pemerintah Mali melalui kabinet Mali atau Dewan Pemerintahan
Mali sepakat untuk menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan memutus perkara kepada
ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan atas berbagai kejahatan yang
dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya, melalui status
situasi yang diajukan dalam surat resmi pemerintah Mali atau Refernal Letter Mali
No.0076/MJ-SG. Dengan adanya kasus tersebut maka penulis tertarik untuk membuat
makalah dengan judul “Studi Kasus Tentang Kejahatan Perang Ahmad Al Faqi Al
Mahdi Di Timbuktu Mali”.
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini:
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini dalam rangka menjawab rumusan
masalah yaitu:
ISI
Kasus Al Mahdi yang telah terjadi sejak tahun 2012 telah banyak menimbulkan
kekacauan. Dari konflik tersebut, setidaknya terdapat 10 situs bersejarah yang
mengalami kerusakan. Padahal, 10 situs tersebut merupakan salah satu situs
peninggalan dunia dan telah ditetapkan dilindungi oleh UNESCO.
Kerajaan Mali merupakan kerajaan yang lebih makmur dibanding kerajaan Madinah
atau Yerusalem. Terletak di kota kecil pesisir Afrika Barat dan menjadi pusat
perdagangan membuat kerajaan ini termasuk kerajaan yang kaya. Akan tetapi,
kekayaan kerajaan Mali tidak membuat kerajaan tersebut berdaya untuk memberikan
suatu hukuman atau memberikan peradilan terhadap kasus Al Mahdi.
Padahal, akibat serangan yang dilakukan Al Mahdi dan organisasinya telah membuat
kondisi Timbuktu rusak berat. Sudah seharusnya kerajaan Mali menegakkan hukum
atas kerugian yang ditimbulkan oleh Al Mahdi dan organisasinya. Namun, alih-alih
menegakkan hukum, kerajaan Mali malah memberikan yurisdiksi dan wewenang
mengadili tersebut kepada ICC dengan diberikannya surat resmi pemerintah Mali atau
Refernal Letter Mali No.0076/MJ-SG. Sehingga secara formil, kasus Al Mahdi telah
menjadi kasus pidana Internasional
Pada dakwaannya, Al Mahdi dituntut pidana sengaja merusak cagar budaya dengan
patut diduga melanggar Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Den Haag 1954, dan
Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol-protokol tambahannya. Konvensi Den Haag
1954 tentang Perlindungan Benda Budaya pada Konflik Bersenjata menetapkan bahwa
benda budaya yang harus dilindungi saat berkonflik dapat dibagi menjadi dua, yaitu
benda bergerak dan tidak bergerak. Pada pengertian benda budaya yang tidak bergerak,
terdapat kategori bangunan yang menjadi peninggalan sebuah kebudayaan berupa
rumah, tempat ibadah, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Konvensi Den Haag 1907, khususnya pada Pasal 27 mengatur
bahwa pihak yang terlibat konflik harus menghormati benda-benda budaya.
Pelaksanaan operasi militer dengan kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk
menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan
untuk tujuan keagamaan, seni ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap
monumen-monumen bersejarah, kecuali bangunan-bangunan tersebut merupakan
sasaran militer. Pasal 56 Konvensi Den Haag 1907 menekankan bahwa kerusakan
terhadap benda budaya baik yang disengaja maupun tidak disengaja adalah suatu
larangan dan apabila terjadi kerusakan maka akan ditindak secara hukum.
Perusakan terhadap benda budaya diartikan juga sebagai perusakan warisan budaya
umat manusia, karena setiap orang membuat kontribusi terhadap budaya dunia dan
segala tindakan merusak benda budaya dianggap sebagai suatu kejahatan perang 8. Dari
penjabaran di atas, kasus Al Mahdi dapat dikatakan telah memenuhi unsur materiil
suatu tindak pidana internasional. Hal ini juga telah sesuai dengan definisi keenam
yang diberikan oleh G. Schwarzenberger mengenai hukum pidana internasional dalam
arti kata materiil9. Dengan adanya anggapan bahwa merusak budaya merupakan suatu
8
Joko Setiyono, Fadil Hidayat, dan Nuswantoro Dwiwarno, “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Situs
Budaya dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus Perusakan Kota Kuno Palmyra
oleh ISIS)”, Diponegoro Law Journal (2017), Vol. 6 No. 1, hal. 6.
9
Lihat G. Schwarzenberger dalam Romli Atmasasmita (1995), Op.Cit, hal. 25-33.
kejahatan perang, maka perusakan budaya merupakan kejahatan “de iure gentium”
atau “hostis humani generis”.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa sejak Juni 2012 telah
terjadi penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali tepatnya di daerah
Timbuktu yang dilatarbelakangi dianggapnya benda budaya sebagai berhala oleh para
ekstremis atau kelompok Teroris yaitu Ansar Dine. Sebelumnya juga, sejak Perang
Mali pada Januari 2012 telah terjadi banyak kejahatan yang dilakukan oleh para
pemberontak yaitu MNLA (National Movement for the Liberation of Azawad), AQIM
(Al Qaeda-Maghreb Islam) dan Ansar Dine terutama di tiga wilayah Mali yaitu Kidal,
Gao dan Timbuktu. Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut
sehingga pada 30 Mei 2012 Pemerintah Mali melalui Kabinet Mali atau Dewan
Pemerintah Mali sepakat untuk menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan kepada ICC
untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk berbagai kejahatan yang
dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya. 10 Hal ini berarti
termasuk juga atas kejahatan yang dilakukan setelah kesepakatan Kabinet Mali, yaitu
kejahatan penghancuran benda budaya pada Juni hingga Juli 2012 di Timbuktu.
Konflik bersenjata yang terjadi di Mali juga sudah diperhatikan oleh ICC sejak konflik
bersenjata meletus pada Januari 2012.11 Atas hal tersebut, pada 1 Juli 2012, Kantor ICC
mengeluarkan pernyataan publik yang megatakan bahwa melakukan serangan secara
sengaja terhadap bangunan suci umat Islam di Kota Timbuktu merupakan kejahatan
perang yang dimungkinkan dapat menjadi yurisdiksi ICC berdasarkan Statuta Roma
1998. Dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi, kesepakaatan Kabinet Mali dan juga
10
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17, Page 7
11
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 15 Page 6
pernyataaan publik oleh ICC, maka Pemerintah Mali menyerahkan yurisdiksi atau
kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk
berbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai
sesudahnya dengan melalui status “Situasi” (Pasal 14 ayat 1 Statuta Roma 1998
menjelaskan bahwa Situasi atau dalam Bahasa Inggris disebut “Situation” adalah
keadaan dimana suatu negara pihak menyerahkan kepada ICC suatu peristiwa yang
dapat dijadikan status Situasi karena mengandung kejahatan dalam yurisdiksi ICC
sehingga dapat meminta ICC untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang
statusnya ingin dijadikan Situasi tersebut oleh ICC). Diajukan dalam Surat Resmi
Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG. 12 Dalam surat resmi
tersebut, Pemerintah Mali menyatakan bahwa Pengadilan Nasional Mali tidak mampu
melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan dalam konflik
bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012 maka dengan Surat Resmi
Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali
mengajukan status Situasi dan memberikan izin kepada ICC untuk melakukan
penyelidikan atau investigasi terhadap kejahatan-kejahatan dalam konflik bersenjata di
Mali yang terjadi sejak Januari 2012.
Berdasarkan status Situasi yang diajukan Pihak Pemerintah Mali, ICC lalu mengirim 2
misi pada agustus dan oktober 2012 ke Mali untuk menilai dan memverifikasi
permintaan status situasi yang diajukan Pemerintah Mali. 13 Hasilnya adalah
berdasarkan Laporan Hasil Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report,
Situasi yang diajukan Pihak Mali diterima oleh ICC. Hal-hal yang mendasari
diterimanya situasai yang diajukan Pemerintah Mali kepada ICC adalah 14 : yurisdiksi,
alasan penerimaan dan kepentingan keadilan. Sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
12
Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG
13
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 22, Page 8
14
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 1, Page 4.
1. Yurisdiksi15 :
A. Yurisdiksi ratione temporis:
Mali menandatangani Statuta Roma pada tanggal 17 Juli tahun 1998, dan
meratifikasinya pada tanggal 16 Agustus 2000. Dengan demikian, Pengadilan
ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang dan genosida yang dilakukan di wilayah Mali atau dengan warga
negaranya dari 1 Juli 2002 dan seterusnya. Pada tanggal 18 Juli 2012, pihak
berwenang Mali menyatakan “Situasi” di Mali ke ICC sehubungan dengan
dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata sejak Januari 2012 hingga
seterusnya.
B. Yurisdiksi ratione loci/yurisdiksi ratione personae:
Pengadilan ICC memiliki yurisdiksi wilayah berdasarkan Pasal 12 ayat (2)
huruf (a) Statuta Roma 1998. Dalam Surat Resmi Pemerintah Mali atau
Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali mengajukan status
“Situasi” kepada ICC. Karena itu, ICC dimungkinkan untuk dapat menyelidiki
kejahatan yang dilakukan di seluruh wilayah Mali jika diperlukan.
C. Yurisdiksi ratione materiae:
Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa ada dasar memadai untuk
percaya bahwa kejahatan perang telah dilakukan di Mali sejak Januari 2012,
yaitu: (1) pembunuhan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 ayat (2)
huruf (c) angka (i) Statuta Roma 1998; (2) lewat kalimat langsung dan juga
tertulis untuk eksekusi tanpa proses pengadilan merupakan kejahatan perang
menurut Pasal 8 ayat (2) huruf (c) angka (iv) Statuta Roma 1998; (3) mutilasi,
perlakuan kejam dan penyiksaan merupakan kejahatan perang menurut Pasal
8 ayat (2) huruf (c) angka (i) Statuta Roma 1998; (4) sengaja mengarahkan
serangan terhadap objek yang dilindungi merupakan kejahatan perang
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (iv) Statuta Roma 1998; (5)
15
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 5,6,7,8, Page 5
penjarahan harta benda dalam konflik bersenjata merupakan kejahatan perang
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (v) Statuta Roma 1998; dan (6)
pemerkosaan merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf
(e) angka (vi) Statuta Roma 1998.
2. Alasan penerimaan16:
A. Informasi yang tersedia memberikan indikasi kepada orang-orang dan
kelompok-kelompok yang terlibat untuk memikul tanggung jawab terhadap
kejahatan yang dituduhkan.
B. Pelengkap yaitu pada tahap ini tidak ada proses pengadilan nasional yang
mampu di Mali atau di Negara lainnya terhadap individu yang harus
menanggung tanggung jawab untuk kejahatan yang diperbuatnya dalam
konflik bersenjata di Mali. Atas dasar tersebut, sesuai dengan prinsip yang
dianut oleh ICC yaitu prinsip pelengkap maka ICC dapat mengaktifkan
yurisdiksi atau kewenangannya sehingga dapat mengirim jaksanya untuk
melakukan penyelidikan.
16
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 9,10,11,12, Page 6
17
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.13, Page 6
sejak Januari 2012.18 Dengan diterimanya Situasi Mali oleh ICC, maka
berdasarkan Situation in Mali Article 53 (1) Report, ICC membuka
penyelidikan atau investigasi pada Januari 2013 atas dugaan kejahatan dalam
konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012.
18
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.14, Page 6
Sebagai anggota dari Ansar Dine, Ahmad Al Faqi diangkat oleh Ansar Dine
sebagai “Hesbah” semacam kepala keamanan wilayah dan aktif
berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan keputusan dan juga aktif secara
langsung dalam menyerang benda budaya berupa bangunan suci dan
monumen bersejarah.
4) Menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi diduga "Bertanggung jawab secara
individu untuk melakukan baik secara individu dan atau bersama-sama
dengan orang lain dan untuk memfasilitasi atau memberikan kontribusi
dalam kejahatan perang di daerah Timbuktu sekitar 30 Juni 2012 sampai 10
Juli 2012, yaitu serangan secara sengaja yang diarahkan terhadap bangunan
yang didedikasikan untuk agama dan/atau monumen bersejarah, yaitu: 1)
makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2) makam Cheick
Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh Sidi
Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5) makam Cheick
Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El Micky,
7) makam Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9)
makam Bahaber Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia, Hal tersebut dapat
merupakan dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam
Statuta Roma 1998 pada Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (iv) tentang
kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan Pasal 25 ayat (3)
huruf (a), Pasal 25 ayat (3) huruf (c) dan Pasal 25 ayat (3) huruf (d) tentang
tanggung jawab individu.
5) Semua bangunan dan monumen yang diserang berada di bawah
perlindungan UNESCO, yang sebagian besar juga merupakan benda
budaya yang terdaftar dalam daftar Warisan Dunia. Secara khusus, daerah
Timbuktu adalah situs budaya yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia
yang terancam bahaya pada tanggal 28 Juni 2012. Karena serangan tersebut,
benda-benda budaya berupa bangunan-bangunan suci dan monumen
bersejarah, berdasarkan beberapa dokumen resmi dari lembaga-lembaga
internasional (termasuk UNESCO), media pers atau surat kabar setempat,
artikel dan laporan-laporan lainnya, mengalami kerusakan serius dan dalam
beberapa kasus telah benar-benar hancur.
Sidang lalu digelar dari 22 sampai 24 Agustus 2016. Tuan Al Mahdi membuat
pengakuan bersalah pada hari pertama sidang. Pada hari pertama sidang,
didampingi oleh Penasihat Hukumnya Mohamed Aouini, Tuan Ahmad Al Faqi
Al Mahdi menegaskan bahwa ia 19:
i. Mengetahui dan memahami bahwa sifat dari tuduhan terhadap dirinya,
dan konsekuensi dari pengakuan bersalah;
ii. Telah membuat pengakuan bersalah secara sukarela, setelah
berkonsultasi dengan penasihat hukumnya;
iii. Diberikan hak untuk:
a) mengaku tidak bersalah dan membutuhkan Penuntutan untuk
membuktikan tuduhan tanpa keraguan di pengadilan penuh;
b) tidak mengaku bersalah dan untuk tetap diam;
19
CC, Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad Al Faqi Al Mahdi,
Page 1, 27 September 2016
c) meningkatkan pertahanan dan alasan untuk tidak dikenakan
tanggung jawab pidana atau tanggung jawab individu, dan untuk
menyajikan bukti yang dapat diterima di pengadilan penuh;
d) memeriksa saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta
pemeriksaan nama saksi di pengadilan penuh; dan
e) banding keyakinan atau kalimat, asalkan kalimat tidak lebih dari
kisaran hukuman yang direkomendasikan;
iv. Menerima tanggung jawab pidana individual
20
CC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng,Updated:07October
2016
21
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng
Penuntut mengenai mengarahkan serangan secara sengaja terhadap bangunan-
banguna berikut:
Dapat terlihat bahwa Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September
2016 mengandung pengaturan tentang tanggung jawab individu yang terdapat
pada Pasal 25 ayat (3) huruf (a) Statuta Roma 1998, Pasal 25 ayat (3) huruf (b)
Statuta Roma 1998, Pasal 25 ayat (3) huruf (c) Statuta Roma 1998 dan Pasal 25
ayat (3) huruf (d) Statuta Roma 1998 dan juga mengandung pengaturan tentang
kejahatan perang berupa mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda
budaya dalam konflik bersenjata yang terdapat pada Pasal 8 ayat (2) huruf (e)
angka (iv) Statuta Roma 1998. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ahmad Al
22
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 1
23
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 2
Faqi Al Mahdi dibebankan tanggung jawab individu dalam penghancuran
benda budaya yang diperbuatnya saat terjadinya konflik bersenjata yang pada
akhirnya membuatnya dihukum 9 tahun penjara.
PENUTUP
Hukum pidana internasional memiliki definisi yang bervariatif, dengan kata lain
hukum pidana internasional memiliki konsep-konsep yang lebih fleksibel
dibandingkan dengan hukum pidana nasional. Ditilik dari macam definisinya, hukum
pidana internasional juga memiliki beberapa pandangan di mana masing-masing sudut
pandang memberikan tolak ukur yang saling bertentangan.
24
I Made Pasek Diantha, Op.Cit, hal. 19
Definisi yang lebih luas dapat ditemukan dalam penjabaran yang diberikan oleh G.
Schwarzenberger. Dalam definisi yang ia berikan, terdapat enam pengertian hukum
pidana internasional, antara lain:
Dalam definisi yang luas ini, hukum pidana internasional dirasa lebih mencakup
banyak faktor pidana dalam masyarakat global. Hal ini dikarenakan definisi hukum
pidana internasional di atas tidak ditekankan pada suatu definisi yang terbatas pada
konsep-konsep pertanggungjawaban.
Dengan definisi yang lebih luas pula, kasus Al-Mahdi dapat dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana internasional. Hal ini dapat dibuktikan secara formil dengan
diserahkannya yurisdiksi dan wewenang mengadili kepada ICC dan secara materiil
dengan memandang bahwa perusakan terhadap situs budaya merupakan salah satu
musuh umat manusia. Akibatnya, dalam putusan perkara Al Mahdi terbukti bersalah
dan dibebankan tanggung jawab individu oleh ICC dalam penghancuran situs budaya
yang dilakukannya saat terjadinya konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Bassiouni, M. Cherif, 2010, Persectives on Internasional Criminal Law, Virginia
Journal of Internasional Law, Vol. 50, Issue 2
Buku
Atmasasmita, Romli, 1995, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung, PT
Eresco
Bantekas, Ilias & Susan Nash, 2003, International Criminal Law, London: Cavendish
Publishing Limitied
Artikel
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17
CC, Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad
Al Faqi Al Mahdi, Page 1, 27 September 2016
CC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng,
Updated:07October 2016