Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STUDI KASUS TENTANG KEJAHATAN PERANG AHMAD AL FAQI


AL MAHDI DI TIMBUKTU MALI

Diusulkan Oleh :
Gabriel Rhema Chrisnando (NIM 11000119130730)
Bilal Firmansyah (NIM 11000119130651)
Tania Tri Mawarni (NIM 11000119120094)
Isna Amalia Sakina (NIM 11000119130604)
Sherina Br Purba (NIM 11000119120095)
Dewi Cynthia Maharani W (NIM11000119120081)
Muhammad Rakha Farras (NIM 11000119130658)
Devi Sukmawati (NIM 11000119140598)
Nicko Adriawan (NIM 11000119140630)

UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

Hukum Pidana Internasional sebagai suatu konsentrasi hukum pidana yang baru telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Walaupun masih terhitung baru, benih-
benih hukum pidana internasional sudah ada sejak zaman sebelum Masehi. Seperti
yang dikatakan oleh C. Bassiouni1 bahwa sejak abad V sebelum Masehi, naskah-
naskah yang berkaitan dengan metode perang dan alat-alat perang telah ditemukan.
Setelahnya, hukum pidana internasional berkembang secara pesat dan memiliki
definisi yang bervariatif.

Antonio Cassese memberikan pengertian sebagai berikut: 2

“International criminal law is a body of interational law designed both to proscribe


international crimes and to impose upon states the obligation to prosecute and punish
at least some of those crime. It also regulates international proceeding for prosecuting
and trying persons accused of such crimes.”

Secara singkat, Antonio memberikan pengertian bahwa hukum pidana internasional


merupakan sekumpulan aturan yang dibuat untuk melarang kejahatan internasional dan
membebankan kewajiban kepada negara-negara untuk menuntut dan menghukum
sekurang-kurangnya beberapa bagian dari kejahatan-kejahatan itu. Selain itu hukum
pidana internasional juga mengatur prosedur untuk menuntut dan mengadili orang yang
dituduh melakukan kejahatan tersebut.

1
M. Cherif Bassiouni, Persectives on Internasional Criminal Law, Virginia Journal of Internasional
Law (2010), Vol. 50, Issue 2, hal. 284-287.
2
Antonio Cassese, International Criminal Law, dalam Malcom D Evan, International Law, New York:
Oxford University Press (2006), hal. 719.
Selain itu, pengertian hukum pidana internasional yang cukup singkat diberikan oleh
Ilias Bantekas dan Susan Nash 3 dengan mengatakan bahwa:

“International criminal law constitutes the fusion of two legal diciplines; international
law and domestic criminal law.”

Pandangan ini juga disetujui oleh Hiromi Sato dan C. Bassiouni yang secara singkat
berpendapat bahwa hukum pidana internasional merupakan gabungan antara hukum
pidana internasional dengan hukum pidana nasional.

Pengertian yang cukup luas mengenai hukum pidana internasional diberikan oleh
B.V.A. Rolling4 dengan memberikan pembagian antara 3 jenis hukum pidana, antara
lain:

1. Hukum Pidana Nasional, merupakan hukum pidana yang berkembang di dalam


kerangka tertib hukum nasional dan dilandasi oleh sumber hukum nasional.
2. Hukum Pidana Internasional, merupakan hukum yang menentukan hukum
pidana nasional mana yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang
nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya.
3. Hukum Pidana Supranasional, merupakan hukum pidana dari masyarakat yang
lebih luas/besar yang terdiri dari negara dan rakyat, berarti standar-standar
hukum pidana telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut.

Dari pengertian tersebut, terdapat pengertian yang belum memiliki batas yang jelas
pada definisi hukum pidana internasional dengan hukum pidana supranasional. I Made

3
Ilias Bantekas & Susan Nash, International Criminal Law, London: Cavendish Publishing Limitied
(2003), hal. 1.
4
B.V.A. Rolling dalam Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung, PT
Eresco (1995), hal. 25..
Pasek Diantha memberikan kritik terhadap kedua definisi tersebut 5. Dalam kritiknya,
definisi mengenai hukum pidana internasional dengan memberikan penekanan
terhadap hukum pidana nasional mana yang diterapkan terhadap kejahatan
internasional adalah kurang tepat. Menurutnya, dengan adanya pengadilan pidana
internasional khusus seperti ICTY (International Criminal Court for Yogoslavia) 1993,
ICTR (International Criminal Court for Rwanda) 1994, dan ICC (International
Criminal Court) sangat kecil kemungkinannya pengadilan-pengadilan tersebut hanya
menerapkan hukum pidana nasional dari suatu negara tertentu untuk memutus perkara
internasional.

Kemudian pada definisi mengenai hukum pidana supranasional, apakah yang


dimaksud dengan masyarakat yang lebih luas (greater community) adalah masyarakat
internasional yang terdiri dari negara-negara secara keseluruhan. Kalau itu yang
dimaksud apakah sebaiknya istilah “hukum pidana supranasional” diganti dengan
“hukum pidana internasional” dan istilah “hukum pidana internasional” diganti dengan
“hukum pidana transnasional”. Dengan demikian, maka 3 jenis hukum pidana menurut
I Made Pasek Diantha adalah hukum pidana nasional, hukum pidana transnasional, dan
hukum pidana internasional.

Dari beberapa pengertian yang telah dijabarkan, dapat dikenali beberapa ruang lingkup
dari hukum pidana internasional. Secara singkat, terdapat dua pandangan mengenai
ruang lingkup pidana internasional, yakni mereka yang menganut pandangan sempit
dan mereka yang mengandung pandangan luas.

5
I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana
Internasional), Jakarta: Prenadamedia Group (2019), hal. 3-4.
Ruang lingkup hukum pidana internasional dalam arti sempit terbatas pada tindak
pidana yang merupakan perhatian masyarakat internasional yang mencederai
kemuliaan dan rasa kehormatan manusia (dignity of man kind)6. Pandangan ini
dilandasi oleh adanya pandangan yang menganggap kejahatan pelanggaran HAM berat
merupakan musuh umat manusia atau “hostis humani generis”. Dalam pandangan yang
sempit ini, substansi hukum pidana internasional dibatasi oleh adanya larangan
kejahatan internasional tertentu atau secara langsung merumuskan kejahatan mana
yang merupakan kejahatan internasional.

Selanjutnya mengenai ruang lingkup hukum pidana internasional dalam arti luas tidak
membatasi tindak pidana mana yang menjadi ranah internasional. Pada pandangan ini
terdapat juga hal-hal yang berkaitan dengan asas-asas, peradilan pidana, yurisdiksi
pidana, dan upaya penanggulangan kejahatan internasional dalam bentuk kerja sama
antarnegara7. Sehingga ruang lingkup hukum pidana internasional dalam pandangan
yang luas memberikan sudut pandang hukum pidana internasional sebagai suatu
mekanisme hukum pidana yang berlaku secara internasional.

Sebagai bahan studi yang menarik untuk dipecahkan, kasus kejahatan perang yang
dilakukan oleh Ahmad Al Faqi Al Mahdi di Timbuktu Mali cukup menarik perhatian
kami. Kasus Al Mahdi merupakan konflik bersenjata yang terjadi di Mali sejak tahun
2012. Konflik ini diawali adanya perselisihan antara pemerintah Mali dan sejumlah
kelompok bersenjata terorganisir. Akibat konflik tersebut ditemukan beberapa data
yang menjelaskan adanya penghancuran situs bersejarah yang dilindungi oleh
UNESCO.

6
Ibid, hal. 9.
7
Ilias Bantekas & Susan Nash dalam I Made Pasek Diantha, Ibid, hal.12-13.
Saat berkuasa, Al Mahdi beserta anggotanya merusak dan menghancurkan banyak
bangunan dan makam kuno, termasuk masjid yang dianggap tidak selaras dengan
kelompok militan. Selain itu, kelompok ekstremis di Mali tersebut juga membakar
puluhan ribu naskah kuno. Al Mahdi dapat dipertanggungjawabkan secara individu
(individual criminal responsibility) karena telah melakukan serangan secara sengaja
yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama dan/atau
monumen bersejarah yaitu:

1) makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit;


2) makam Cheick Mohamed Mahmoud Al Arawani;
3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh Sidi Muhammad Ben Cheikh Alkabir;
4) makam Alpha Moya;
5) makam Cheick Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi;
6) makam Cheick Mohamed El Micky;
7) makam Cheick Abdoul Kasim Attouaty;
8) makam Ahmed Fulane;
9) makam Bahaber Babadie, dan;
10) masjid Sidi Yahia.

Dapat diketahui bahwa semua bangunan dan monumen yang diserang berada di
wilayah perlindungan UNESCO yang sebagian besar juga merupakan benda budaya
yang terdaftar dalam daftar warisan dunia.

Dalam hal ini, Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga
pada 30 Mei 2012 Pemerintah Mali melalui kabinet Mali atau Dewan Pemerintahan
Mali sepakat untuk menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan memutus perkara kepada
ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan atas berbagai kejahatan yang
dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya, melalui status
situasi yang diajukan dalam surat resmi pemerintah Mali atau Refernal Letter Mali
No.0076/MJ-SG. Dengan adanya kasus tersebut maka penulis tertarik untuk membuat
makalah dengan judul “Studi Kasus Tentang Kejahatan Perang Ahmad Al Faqi Al
Mahdi Di Timbuktu Mali”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini:

1. Bagaimana kasus Al Mahdi dapat dikatakan tindak pidana internasional?


2. Bagaimana penyelesaian kasus Al Mahdi dalam hukum pidana internasional?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini dalam rangka menjawab rumusan
masalah yaitu:

1. Mengetahui dan menganalisis kasus Al Mahdi dapat dikatakan tindak pidana


internasional.
2. Mengetahui dan menganalisis penyelesaian kasus Al Mahdi dalam hukum
pidana internasional
BAB II

ISI

2.1 Kasus Al Mahdi Sebagai Tindak Pidana Internasional

Kasus Al Mahdi yang telah terjadi sejak tahun 2012 telah banyak menimbulkan
kekacauan. Dari konflik tersebut, setidaknya terdapat 10 situs bersejarah yang
mengalami kerusakan. Padahal, 10 situs tersebut merupakan salah satu situs
peninggalan dunia dan telah ditetapkan dilindungi oleh UNESCO.

Kerajaan Mali merupakan kerajaan yang lebih makmur dibanding kerajaan Madinah
atau Yerusalem. Terletak di kota kecil pesisir Afrika Barat dan menjadi pusat
perdagangan membuat kerajaan ini termasuk kerajaan yang kaya. Akan tetapi,
kekayaan kerajaan Mali tidak membuat kerajaan tersebut berdaya untuk memberikan
suatu hukuman atau memberikan peradilan terhadap kasus Al Mahdi.

Padahal, akibat serangan yang dilakukan Al Mahdi dan organisasinya telah membuat
kondisi Timbuktu rusak berat. Sudah seharusnya kerajaan Mali menegakkan hukum
atas kerugian yang ditimbulkan oleh Al Mahdi dan organisasinya. Namun, alih-alih
menegakkan hukum, kerajaan Mali malah memberikan yurisdiksi dan wewenang
mengadili tersebut kepada ICC dengan diberikannya surat resmi pemerintah Mali atau
Refernal Letter Mali No.0076/MJ-SG. Sehingga secara formil, kasus Al Mahdi telah
menjadi kasus pidana Internasional

Pada dakwaannya, Al Mahdi dituntut pidana sengaja merusak cagar budaya dengan
patut diduga melanggar Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Den Haag 1954, dan
Konvensi Jenewa 1949 beserta protokol-protokol tambahannya. Konvensi Den Haag
1954 tentang Perlindungan Benda Budaya pada Konflik Bersenjata menetapkan bahwa
benda budaya yang harus dilindungi saat berkonflik dapat dibagi menjadi dua, yaitu
benda bergerak dan tidak bergerak. Pada pengertian benda budaya yang tidak bergerak,
terdapat kategori bangunan yang menjadi peninggalan sebuah kebudayaan berupa
rumah, tempat ibadah, dan sebagainya.

Selanjutnya dalam Konvensi Den Haag 1907, khususnya pada Pasal 27 mengatur
bahwa pihak yang terlibat konflik harus menghormati benda-benda budaya.
Pelaksanaan operasi militer dengan kehati-hatian khusus harus dilakukan untuk
menghindari timbulnya kerusakan terhadap bangunan-bangunan yang didedikasikan
untuk tujuan keagamaan, seni ilmu pengetahuan, pendidikan, atau amal dan terhadap
monumen-monumen bersejarah, kecuali bangunan-bangunan tersebut merupakan
sasaran militer. Pasal 56 Konvensi Den Haag 1907 menekankan bahwa kerusakan
terhadap benda budaya baik yang disengaja maupun tidak disengaja adalah suatu
larangan dan apabila terjadi kerusakan maka akan ditindak secara hukum.

Perusakan terhadap benda budaya diartikan juga sebagai perusakan warisan budaya
umat manusia, karena setiap orang membuat kontribusi terhadap budaya dunia dan
segala tindakan merusak benda budaya dianggap sebagai suatu kejahatan perang 8. Dari
penjabaran di atas, kasus Al Mahdi dapat dikatakan telah memenuhi unsur materiil
suatu tindak pidana internasional. Hal ini juga telah sesuai dengan definisi keenam
yang diberikan oleh G. Schwarzenberger mengenai hukum pidana internasional dalam
arti kata materiil9. Dengan adanya anggapan bahwa merusak budaya merupakan suatu

8
Joko Setiyono, Fadil Hidayat, dan Nuswantoro Dwiwarno, “Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Situs
Budaya dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus Perusakan Kota Kuno Palmyra
oleh ISIS)”, Diponegoro Law Journal (2017), Vol. 6 No. 1, hal. 6.
9
Lihat G. Schwarzenberger dalam Romli Atmasasmita (1995), Op.Cit, hal. 25-33.
kejahatan perang, maka perusakan budaya merupakan kejahatan “de iure gentium”
atau “hostis humani generis”.

2.2 Penyelesaian Kasus Al Mahdi dalam Hukum Pidana Internasional

Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat diketahui bahwa sejak Juni 2012 telah
terjadi penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali tepatnya di daerah
Timbuktu yang dilatarbelakangi dianggapnya benda budaya sebagai berhala oleh para
ekstremis atau kelompok Teroris yaitu Ansar Dine. Sebelumnya juga, sejak Perang
Mali pada Januari 2012 telah terjadi banyak kejahatan yang dilakukan oleh para
pemberontak yaitu MNLA (National Movement for the Liberation of Azawad), AQIM
(Al Qaeda-Maghreb Islam) dan Ansar Dine terutama di tiga wilayah Mali yaitu Kidal,
Gao dan Timbuktu. Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut
sehingga pada 30 Mei 2012 Pemerintah Mali melalui Kabinet Mali atau Dewan
Pemerintah Mali sepakat untuk menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan kepada ICC
untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk berbagai kejahatan yang
dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya. 10 Hal ini berarti
termasuk juga atas kejahatan yang dilakukan setelah kesepakatan Kabinet Mali, yaitu
kejahatan penghancuran benda budaya pada Juni hingga Juli 2012 di Timbuktu.

Konflik bersenjata yang terjadi di Mali juga sudah diperhatikan oleh ICC sejak konflik
bersenjata meletus pada Januari 2012.11 Atas hal tersebut, pada 1 Juli 2012, Kantor ICC
mengeluarkan pernyataan publik yang megatakan bahwa melakukan serangan secara
sengaja terhadap bangunan suci umat Islam di Kota Timbuktu merupakan kejahatan
perang yang dimungkinkan dapat menjadi yurisdiksi ICC berdasarkan Statuta Roma
1998. Dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi, kesepakaatan Kabinet Mali dan juga

10
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17, Page 7
11
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 15 Page 6
pernyataaan publik oleh ICC, maka Pemerintah Mali menyerahkan yurisdiksi atau
kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk
berbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai
sesudahnya dengan melalui status “Situasi” (Pasal 14 ayat 1 Statuta Roma 1998
menjelaskan bahwa Situasi atau dalam Bahasa Inggris disebut “Situation” adalah
keadaan dimana suatu negara pihak menyerahkan kepada ICC suatu peristiwa yang
dapat dijadikan status Situasi karena mengandung kejahatan dalam yurisdiksi ICC
sehingga dapat meminta ICC untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang
statusnya ingin dijadikan Situasi tersebut oleh ICC). Diajukan dalam Surat Resmi
Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG. 12 Dalam surat resmi
tersebut, Pemerintah Mali menyatakan bahwa Pengadilan Nasional Mali tidak mampu
melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan dalam konflik
bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012 maka dengan Surat Resmi
Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali
mengajukan status Situasi dan memberikan izin kepada ICC untuk melakukan
penyelidikan atau investigasi terhadap kejahatan-kejahatan dalam konflik bersenjata di
Mali yang terjadi sejak Januari 2012.

Berdasarkan status Situasi yang diajukan Pihak Pemerintah Mali, ICC lalu mengirim 2
misi pada agustus dan oktober 2012 ke Mali untuk menilai dan memverifikasi
permintaan status situasi yang diajukan Pemerintah Mali. 13 Hasilnya adalah
berdasarkan Laporan Hasil Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report,
Situasi yang diajukan Pihak Mali diterima oleh ICC. Hal-hal yang mendasari
diterimanya situasai yang diajukan Pemerintah Mali kepada ICC adalah 14 : yurisdiksi,
alasan penerimaan dan kepentingan keadilan. Sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:

12
Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG
13
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 22, Page 8
14
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 1, Page 4.
1. Yurisdiksi15 :
A. Yurisdiksi ratione temporis:
Mali menandatangani Statuta Roma pada tanggal 17 Juli tahun 1998, dan
meratifikasinya pada tanggal 16 Agustus 2000. Dengan demikian, Pengadilan
ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan
perang dan genosida yang dilakukan di wilayah Mali atau dengan warga
negaranya dari 1 Juli 2002 dan seterusnya. Pada tanggal 18 Juli 2012, pihak
berwenang Mali menyatakan “Situasi” di Mali ke ICC sehubungan dengan
dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata sejak Januari 2012 hingga
seterusnya.
B. Yurisdiksi ratione loci/yurisdiksi ratione personae:
Pengadilan ICC memiliki yurisdiksi wilayah berdasarkan Pasal 12 ayat (2)
huruf (a) Statuta Roma 1998. Dalam Surat Resmi Pemerintah Mali atau
Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali mengajukan status
“Situasi” kepada ICC. Karena itu, ICC dimungkinkan untuk dapat menyelidiki
kejahatan yang dilakukan di seluruh wilayah Mali jika diperlukan.
C. Yurisdiksi ratione materiae:
Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa ada dasar memadai untuk
percaya bahwa kejahatan perang telah dilakukan di Mali sejak Januari 2012,
yaitu: (1) pembunuhan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 ayat (2)
huruf (c) angka (i) Statuta Roma 1998; (2) lewat kalimat langsung dan juga
tertulis untuk eksekusi tanpa proses pengadilan merupakan kejahatan perang
menurut Pasal 8 ayat (2) huruf (c) angka (iv) Statuta Roma 1998; (3) mutilasi,
perlakuan kejam dan penyiksaan merupakan kejahatan perang menurut Pasal
8 ayat (2) huruf (c) angka (i) Statuta Roma 1998; (4) sengaja mengarahkan
serangan terhadap objek yang dilindungi merupakan kejahatan perang
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (iv) Statuta Roma 1998; (5)

15
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 5,6,7,8, Page 5
penjarahan harta benda dalam konflik bersenjata merupakan kejahatan perang
berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (v) Statuta Roma 1998; dan (6)
pemerkosaan merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 ayat (2) huruf
(e) angka (vi) Statuta Roma 1998.

2. Alasan penerimaan16:
A. Informasi yang tersedia memberikan indikasi kepada orang-orang dan
kelompok-kelompok yang terlibat untuk memikul tanggung jawab terhadap
kejahatan yang dituduhkan.
B. Pelengkap yaitu pada tahap ini tidak ada proses pengadilan nasional yang
mampu di Mali atau di Negara lainnya terhadap individu yang harus
menanggung tanggung jawab untuk kejahatan yang diperbuatnya dalam
konflik bersenjata di Mali. Atas dasar tersebut, sesuai dengan prinsip yang
dianut oleh ICC yaitu prinsip pelengkap maka ICC dapat mengaktifkan
yurisdiksi atau kewenangannya sehingga dapat mengirim jaksanya untuk
melakukan penyelidikan.

3. Kepentingan Keadilan17: yaitu Berdasarkan informasi yang tersedia, tidak ada


alasan substansial untuk percaya bahwa pembukaan penyelidikan Situasi di
Mali tidak dalam kepentingan keadilan. Sehingga, pembukaan penyelidikan
oleh ICC perlu dilakukan untuk tercapainya keadilan.

Berdasarkan hal-hal tersebut ICC menyatakan menerima status Situasi yang


diajukan Mali sehingga Jaksa ICC setelah mengevaluasi informasi yang
tersedia, telah memutuskan untuk memulai penyelidikan terhadap Situasi di
Mali atas kejahatan-kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi

16
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 9,10,11,12, Page 6
17
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.13, Page 6
sejak Januari 2012.18 Dengan diterimanya Situasi Mali oleh ICC, maka
berdasarkan Situation in Mali Article 53 (1) Report, ICC membuka
penyelidikan atau investigasi pada Januari 2013 atas dugaan kejahatan dalam
konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012.

Setelah dilakukan penyelidikan oleh Fatou Bensouda dan James Stewart


sebagai Jaksa dari ICC menetapkan Ahmad Al Faqi sebagai tersangka yang
melakukan penghancuran benda budaya di Mali tepatnya di daerah Timbuktu
dengan surat perintah penangkapan No. ICC-01/12-01/15 yang dikeluarkan
pada 18 September 2015 dan dipublikasikan kepada publik pada 28 September
2015. Berdasarkan surat perintah penangkapan No. ICC-01/12-01/15, dapat
diketahui bahwa :
1) Bahwa telah terjadi konflik bersenjata yaitu konflik bersenjata non-
internasional yang dimulai sejak Januari 2012 di Mali, mengakibatkan
Timbuktu (wilayah Mali bagian utara) diduga telah terjadi kejahatan yang
dilakukan oleh ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Al Qaeda-Maghreb
Islam (AQIM) dan Ansar Dine pada sekitar 30 Juni 2012 hingga 10 Juli
2012.
2) Ahmad Al Faqi Al Mahdi (dengan pengucapan atau ejaan bervariasi:
Ahmad AL FAQI, Ag Ahmadou Al-Fiqi Ahmed AL iFAQ Ahmad EL
iFAQ atau Alphaqque) alias atau yang dijuluki Abu Tourab, jenis kelamin
laki-laki, lahir di Agoune, 100 kilometer barat dari Timbuktu, Mali, Suku
Tuareg, Anggota Kelompok Ansar Dine, dengan perkiraan usia sekitar tiga
puluh tahun.
3) Ahmad Al Faqi sebagai "orang yang dianggap ahli" dalam urusan agama,
adalah salah satu tokoh masyarakat dan aktif terlibat dalam pendudukan
kota Timbuktu yang dilakukan ekstremis atau kelompok teroris Ansar Dine.

18
Situation in Mali Article 53(1) Report, No.14, Page 6
Sebagai anggota dari Ansar Dine, Ahmad Al Faqi diangkat oleh Ansar Dine
sebagai “Hesbah” semacam kepala keamanan wilayah dan aktif
berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan keputusan dan juga aktif secara
langsung dalam menyerang benda budaya berupa bangunan suci dan
monumen bersejarah.
4) Menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi diduga "Bertanggung jawab secara
individu untuk melakukan baik secara individu dan atau bersama-sama
dengan orang lain dan untuk memfasilitasi atau memberikan kontribusi
dalam kejahatan perang di daerah Timbuktu sekitar 30 Juni 2012 sampai 10
Juli 2012, yaitu serangan secara sengaja yang diarahkan terhadap bangunan
yang didedikasikan untuk agama dan/atau monumen bersejarah, yaitu: 1)
makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2) makam Cheick
Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh Sidi
Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5) makam Cheick
Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El Micky,
7) makam Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9)
makam Bahaber Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia, Hal tersebut dapat
merupakan dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam
Statuta Roma 1998 pada Pasal 8 ayat (2) huruf (e) angka (iv) tentang
kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan Pasal 25 ayat (3)
huruf (a), Pasal 25 ayat (3) huruf (c) dan Pasal 25 ayat (3) huruf (d) tentang
tanggung jawab individu.
5) Semua bangunan dan monumen yang diserang berada di bawah
perlindungan UNESCO, yang sebagian besar juga merupakan benda
budaya yang terdaftar dalam daftar Warisan Dunia. Secara khusus, daerah
Timbuktu adalah situs budaya yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia
yang terancam bahaya pada tanggal 28 Juni 2012. Karena serangan tersebut,
benda-benda budaya berupa bangunan-bangunan suci dan monumen
bersejarah, berdasarkan beberapa dokumen resmi dari lembaga-lembaga
internasional (termasuk UNESCO), media pers atau surat kabar setempat,
artikel dan laporan-laporan lainnya, mengalami kerusakan serius dan dalam
beberapa kasus telah benar-benar hancur.

Perkembangan berikutnya setelah surat penangkapan dikeluarkan adalah


berdasarkan pernyataan ICC atau press release ICC tertanggal 26 September
2015, pada 26 September 2015 Ahmad Al Mahdi Al Faqi (alias Abu Tourab)
telah menyerahkan diri kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)
melalui otoritas Niger dan tiba di Pusat Mahkamah Pengadilan Internasional
(ICC) di Belanda.

Sidang lalu digelar dari 22 sampai 24 Agustus 2016. Tuan Al Mahdi membuat
pengakuan bersalah pada hari pertama sidang. Pada hari pertama sidang,
didampingi oleh Penasihat Hukumnya Mohamed Aouini, Tuan Ahmad Al Faqi
Al Mahdi menegaskan bahwa ia 19:
i. Mengetahui dan memahami bahwa sifat dari tuduhan terhadap dirinya,
dan konsekuensi dari pengakuan bersalah;
ii. Telah membuat pengakuan bersalah secara sukarela, setelah
berkonsultasi dengan penasihat hukumnya;
iii. Diberikan hak untuk:
a) mengaku tidak bersalah dan membutuhkan Penuntutan untuk
membuktikan tuduhan tanpa keraguan di pengadilan penuh;
b) tidak mengaku bersalah dan untuk tetap diam;

19
CC, Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad Al Faqi Al Mahdi,
Page 1, 27 September 2016
c) meningkatkan pertahanan dan alasan untuk tidak dikenakan
tanggung jawab pidana atau tanggung jawab individu, dan untuk
menyajikan bukti yang dapat diterima di pengadilan penuh;
d) memeriksa saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta
pemeriksaan nama saksi di pengadilan penuh; dan
e) banding keyakinan atau kalimat, asalkan kalimat tidak lebih dari
kisaran hukuman yang direkomendasikan;
iv. Menerima tanggung jawab pidana individual

ICC lalu melakukan pembacaan putusan terhadap Ahmad Al Faqi pada 27


September 2016 dalam Trial Chamber VIII yang terdiri dari Hakim Raul C.
Pangalangan sebagai Hakim Ketua, Hakim Antoine Kesia-Mbe Mindua
sebagai Hakim Anggota dan Hakim Bertram Schmitt sebagai Hakim Anggota
yang dalam putusannya menetapkan Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan
bertanggung jawab secara individu terhadap penghancuran benda budaya
dalam konflik bersenjata di Mali sehingga dihukum 9 tahun penjara. 20

Dalam Putusan ICC21 disebutkan bahwa Pengadilan ICC mengadili Al Mahdi


dengan mempertimbangkan tuduhan dari Jaksa ICC yaitu sesuai dengan Pasal
25 (3) (a) (perbuatan individu dan atau perbuatan bersama); Pasal 25 (3) (b)
(meminta, memerintahkan); Pasal 25 (3) (c) (membantu, bersekongkol atau
mempermudah) atau Pasal 25 (3) (d) (kontribusi dengan cara lain) bertanggung
jawab secara individu terhadap kejahatan perang yang dituduhkan oleh Jaksa

20
CC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng,Updated:07October
2016
21
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng
Penuntut mengenai mengarahkan serangan secara sengaja terhadap bangunan-
banguna berikut:

1) makam Sidi mahamoud Ben Omar Mohamed Aquit,


2) makam Sheikh Mohamed Mahmoud Al Arawani,
3) makam Sheikh Sidi Mokhtar Ben Sidi Muhammad Ben Sheikh Alkabir,
4) makam Alpha Moya,
5) makam Sheikh Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi,
6) makam Sheikh Muhammad El Mikki,
7) makam Sheikh Abdoul Kassim Attouaty,
8) makam Ahmed Fulane,
9) makam Bahaber Babadié,
10) Masjid Sidi Yahia (pintu).

Tuduhan tersebut menyangkut kejahatan yang diduga dilakukan di Timbuktu


antara sekitar tanggal 30 bulan Juni 2012 sampai 11 Juli 2012. Dalam putusan
ICC tersebut, Ahmad Al Faqi Al Mahdi disebutkan merupakan anggota dari
Ansar Dine dan diangkat oleh Ansar Dine sebagai “Hesbah”, semacam kepala
keamanan wilayah. Dengan kekuasaannya sebagai Hesbah, Ahmad Al Faqi Al
Mahdi disebutkan aktif berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan keputusan
dan juga aktif secara langsung dalam mengarahkan serangan terhadap benda-
benda budaya berupa bangunan suci dan monumen bersejarah. Benda budaya
berupa bangunan suci dan monumen bersejarah yang ditargetkan untuk
diserang tersebut adalah benda budaya yang dilindungi dan dianggap sebagai
bagian penting dari warisan budaya Timbuktu dan Mali serta bukan merupakan
sasaran militer. Sebagai konsekuensi dari serangan tersebut, benda-benda
budaya benar-benar mengalami kehancuran dan juga rusak parah. Kehancuran
tersebut dianggap sebagai hal yang serius dan sangat disesalkan oleh penduduk
setempat.22

Majelis Hakim dalam Trial Chamber VIII menerima pertimbangan-


pertimbangan tersebut dan secara bulat menetapkan Ahmad Al Faqi Al Mahdi
bersalah dan bertanggung jawab secara individu terhadap penghancuran benda
budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang dikategorikan sebagai kejahatan
perang berupa serangan secara sengaja yang diarahkan pada monumen
bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk agama, termasuk sembilan
makam dan satu Masjid di Timbuktu, Mali, pada bulan Juni dan Juli 2012. Atas
hal tersebut, maka pada tanggal 27 September 2016, Majelis Hakim dalam
putusannya memberikan hukuman sembilan tahun penjara kepada Ahmad Al
Faqi Al Mahdi.23

Dapat terlihat bahwa Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September
2016 mengandung pengaturan tentang tanggung jawab individu yang terdapat
pada Pasal 25 ayat (3) huruf (a) Statuta Roma 1998, Pasal 25 ayat (3) huruf (b)
Statuta Roma 1998, Pasal 25 ayat (3) huruf (c) Statuta Roma 1998 dan Pasal 25
ayat (3) huruf (d) Statuta Roma 1998 dan juga mengandung pengaturan tentang
kejahatan perang berupa mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda
budaya dalam konflik bersenjata yang terdapat pada Pasal 8 ayat (2) huruf (e)
angka (iv) Statuta Roma 1998. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ahmad Al

22
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 1
23
Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No.
ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 2
Faqi Al Mahdi dibebankan tanggung jawab individu dalam penghancuran
benda budaya yang diperbuatnya saat terjadinya konflik bersenjata yang pada
akhirnya membuatnya dihukum 9 tahun penjara.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan ICC


terhadap penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali
adalah dengan dibebankannya tanggung jawab individu dan dihukumnya
Ahmad Al Faqi Al Mahdi selama 9 tahun penjara atas perbuatannya
mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda-benda budaya yang
diakui berupa 9 makam suci dan 1 Masjid di Timbuktu yang berakibat pada
kehancuran dan kerusakan parah benda-benda budaya tersebut. Patut
diapresiasi kerja sama dan pengakuan bersalah dari Ahmad Al Faqi Al Mahdi
dalam persidangan sehingga proses pengadilan dapat berjalan dengan baik dan
lancar. Dihukumnya Ahmad Al Faqi Al Mahdi dapat dijadikan momentum bagi
ICC untuk mengadili dan mengenakan tanggung jawab individu terhadap
pelaku-pelaku lainnya yang melakukan penghancuran benda budaya dalam
konflik bersenjata. Hal ini karena kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan
kasus penghancuran benda budaya yang pertama kali disidangkan di hadapan
Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).
Selain itu, kasus tersebut juga memberikan perkembangan yang cukup besar
terhadap substansi Hukum Internasional.
BAB III

PENUTUP

Hukum pidana internasional memiliki definisi yang bervariatif, dengan kata lain
hukum pidana internasional memiliki konsep-konsep yang lebih fleksibel
dibandingkan dengan hukum pidana nasional. Ditilik dari macam definisinya, hukum
pidana internasional juga memiliki beberapa pandangan di mana masing-masing sudut
pandang memberikan tolak ukur yang saling bertentangan.

Pada definisi Antonio Cassese misalnya, hukum pidana internasional menurutnya


hanya sebuah perangkat hukum yang menekankan kepada suatu negara untuk menuntut
dan menghukum tindak pidana terkait. Jika demikian, maka definisi hukum pidana
internasional hanya bersifat sebuah anjuran yang mana tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat terhadap negara-negara yang diberikan kewajiban itu. Seperti dalam
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Penduduk Sipil, para negara peserta
konvensi berjanji akan membuat Undang-Undang nasional untuk pelanggaran larangan
yang tercantum konvensi tersebut. Namun, pada praktiknya negara-negara peserta
enggan untuk mengadili atau bahkan memutus perkara dengan tidak adil terhadap
perkara yang berkaitan dengan Konvensi Jenewa 194924. Terhadap negara peserta yang
mengingkari konvensi tersebut tidak terdapat suatu upaya penertiban atau hal lain yang
bersifat menegaskan, padahal terhadap kejahatan sebagai musuh umat tiap-tiap negara
seharusnya memiliki persepsi yang sama mengenai tindak pidana internasional.

24
I Made Pasek Diantha, Op.Cit, hal. 19
Definisi yang lebih luas dapat ditemukan dalam penjabaran yang diberikan oleh G.
Schwarzenberger. Dalam definisi yang ia berikan, terdapat enam pengertian hukum
pidana internasional, antara lain:

1. Hukum pidana internasional dalam arti lingkup teritorial pidana nasional;


2. Hukum pidana internasional dalam arti ada aspek internasional tertentu yang
ditetapkan sebagai ketentuan pidana nasional;
3. Hukum pidana internasional dalam arti kewenangan internasional yang diatur
dalam hukum pidana nasional;
4. Hukum pidana internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional diakui
sebagai hukum yang layak dari suatu masyarakat bangsa yang beradab;
5. Hukum pidana internasional dalam arti kerja sama internasional dalam
mekanisme administrasi peradilan pidana nasional atau internasional;
6. Hukum pidana internasional dalam arti kata materiil.

Dalam definisi yang luas ini, hukum pidana internasional dirasa lebih mencakup
banyak faktor pidana dalam masyarakat global. Hal ini dikarenakan definisi hukum
pidana internasional di atas tidak ditekankan pada suatu definisi yang terbatas pada
konsep-konsep pertanggungjawaban.

Dengan definisi yang lebih luas pula, kasus Al-Mahdi dapat dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana internasional. Hal ini dapat dibuktikan secara formil dengan
diserahkannya yurisdiksi dan wewenang mengadili kepada ICC dan secara materiil
dengan memandang bahwa perusakan terhadap situs budaya merupakan salah satu
musuh umat manusia. Akibatnya, dalam putusan perkara Al Mahdi terbukti bersalah
dan dibebankan tanggung jawab individu oleh ICC dalam penghancuran situs budaya
yang dilakukannya saat terjadinya konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal
Bassiouni, M. Cherif, 2010, Persectives on Internasional Criminal Law, Virginia
Journal of Internasional Law, Vol. 50, Issue 2

Setiyono, Joko, Fadil Hidayat, dan Nuswantoro Dwiwarno, 2017, “Aspek-Aspek


Hukum Perlindungan Situs Budaya dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional
(Studi Kasus Perusakan Kota Kuno Palmyra oleh ISIS)”, Diponegoro Law Journal,
Vol. 6 No. 1

Buku
Atmasasmita, Romli, 1995, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung, PT
Eresco

Bantekas, Ilias & Susan Nash, 2003, International Criminal Law, London: Cavendish
Publishing Limitied

Cassese, Antonio, 2006, International Criminal Law, dalam Malcom D Evan,


International Law, New York: Oxford University Press

Diantha, I Made Pasek, 2019, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika


Pengadilan Pidana Internasional), Jakarta: Prenadamedia Group

Artikel
Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17
CC, Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad
Al Faqi Al Mahdi, Page 1, 27 September 2016
CC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng,
Updated:07October 2016

Anda mungkin juga menyukai