Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum


Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental,
khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-
Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak
terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.

Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di


Indonesia hingga dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad
tatkala Indonesia ini masih disebut Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda)
“telah berlangsung proses introduksi dan proses perkembangan suatu sistem
hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum masyarakat
pribumi yang otohton. Sistem hukum asing yang dimaksud tidak lain adalah
sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi
hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat
berbagai revolusi, mulai dari ‘Papal Revolution’ hingga Revolusi kaum
borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19.

B. Rumusan Masalah

Untuk mengkaji dan mengulas tentang Sejarah Hukum Indonesia secara


menyeluruh maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah hukum di Indonesia dilihat dari Pra Kemerdekaan?

2. Bagaimana sejarah hukum di Indonesia dilihat dari Pasca


Kemerdekaan?

1
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Sistem


Hukum Indonesia dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan
masalah.Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan penulis dan pembaca tentang pengetahuannya mengenai Sejarah
hokum pra dan pasca kemerdekaan di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH HUKUM DI INDONESIA SEBELUM KEMERDEKAAN


1. Periode Kolonialisme

Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode


VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

· Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat


adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum yang nyata
dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara Indonesia terdiri
dari berbagai kerajaan. Contohnya Naskah hukum adat yang lahir pada
waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada masa raja
Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada
pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada
zaman Patih Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di
Bali. Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
yaitu zaman dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara dan
memberi perhatian terhadap hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan
kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling
menghormati. Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan


bertujuan untuk :

1. Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di


negeri Belanda;

2. Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan

3. Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para


pendatang Eropa.

3
2. Periode liberal Belanda

Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai


terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai
memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh
wilayah jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh
bumiputera. Jadi secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh
berlakunya hukum Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis
pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan
hukum barat. Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum termuat dalam
lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut
dengan “Staatsblad” beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang
pertama kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942.

Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1.


Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran
tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3. Peraturan-peraturan tidak tertulis
(hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa. Pada masa ini,
raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah
jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian
yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan
mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene
Verordening (Peraturan pusat). Ada 2 macam keputusan raja :

1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit. Seperti


ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal.

2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene


Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement


(selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan
(di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan
kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama

4
kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang
pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan
jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.

3. Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara


kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan
pembaharuan hukum adalah:

1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan


hukum;
2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi;
3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi;
4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas;
5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada
kepastian hukum.
Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia) kemudian
penguasa Jepang menduduki dan merebut Indonesia dari penjajahan
Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret
1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi menjadi
Indonesia Timur (dibawah kekuasaan AL Jepang berkedudukan di
Makassar) dan Indonesia Barat (dibawah kekuasaan AD Jepang yang
berkedudukan di Jakarta).

Peraturan-peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan


dibuat dengan dasar “Gun Seirei” melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu
Seirei No. 1/1942 menentukan bahwa “semua badan pemerintahan dan
kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang lalu
tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintah militer.Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada

5
zaman penjajahan Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan karena masa menjajah hanya 31/2 (tiga setengah)
tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi
pemberlakuan berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman
Hindia Belanda.

Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi


seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan
peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak
istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya

4. Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini


adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan
dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan
peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan
membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali
badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian
Mahkamah Islam Tinggi.

B. SEJARAH HUKUM INDONESIA PASKA KEMERDEKAAN


1. Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia.Namun pada masa
ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada
adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau
mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang
peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional.
Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan
menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui

6
UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

2. Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap


sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:

1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA


dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadila n? menjadi ?pohon
beringin? yang berarti pengayoman;
3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur
tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU
No.19/1964 dan UU No.13/1965;
4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku
kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan
putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.
3. Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah


Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik
dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru
membekukan pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama
membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing
berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal
Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga
melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif;
2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,
termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak
ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

7
4. Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)

Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang,


sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-
undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang
mengemuka adalah:

1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;

2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan

3) Pembaruan sistem ekonomi.

Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan


nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan
kian luas jangkauannya.Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun
dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu.
Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah
advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan
permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan
Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan
pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam.

Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya


dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin
gencar dan luas dilaksanakan.Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap
terasa lambat dan masih tak tentu arahnya. Hukum di Indonesia itu
sendiri di bagi menjadi beberapa hokum yaitu hukum perdata, hukum
publik, hukum pidana, hukum acara, hukum tata negara, hukum
internasional.

8
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Dalam sejarah sistem hukum di Indonesia pada masa kerajaan sebelum VOC
datang adalah menggunakan hukum adat sebagai hukum positip di tiap-tiap
daerah nusantara Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan sebagai suatu adat
kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai
tradisi bangsa indonesia.
2. Bahwa seiring dengan penjajahan Belanda, lambat laun Pemerintahan Hindia
Belanda menggeser hukum adat sedikit demi sedikit digantikan dengan
sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara efektif berlaku sejak tahun
1848. Sejak tahun 1848, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi
penduduk Belanda di Indonesia.
3. Bahwa Pada masa penjajahan Jepangpun hukum kolonial Belanda masih
digunakan karena Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan karena masa menjajah hanya 31/2 (tiga setengah) tahun
kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi pemberlakuan
berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.
4. Jadi pada era orde lama, Indonesia menggunakan hukum Tiban yaitu hukum
yang serta merta berlaku pada saat Indonesia merdeka. Oleh karena pada saat
itu Indonesia belum memiliki atau merumuskan hukum, sehingga dipastikan
bahwa produk hukumnya cenderung represif.Selanjutnya pada masa orde
baru, pemerintah memfokuskan perhatiannya pada aspek pembangunan
ekonomi.Pengurutan hukum juga menjadi agenda yang begitu penting dalam
hal ini UUD 1945, UU/Perpu, dan lain sebagainya.Sedangkan pada era
reformasi, wewenang presiden dikurangi serta ditelanjangi. Dimana setiap

9
kali mengangkat pejabat Negara dalam hal ini Panglima, Kapolri, Jaksa
Agung dan lain sebagainya mesti harus Fit and proper Test oleh lembaga
legislatif, dengan tujuan agar supaya gaya kepemimpinan otoriter pada masa
era orde baru tidak terulang kembali. Sehingga wewenang Presiden disatu sisi
tidak otonom.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.lombalomba.com/?s=penegakan+hukum+orde+lama
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
3. Bisri, Ilham , 2004, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-Prinsip &
Implementasi Hukum di Indonesia), Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada

11

Anda mungkin juga menyukai