Anda di halaman 1dari 19

Perkara pelanggaran hukum campuran yang pernah ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa

Keramas adalah kasus memitra (perzinahan) yang terjadi di Banjar Bia antara WL (48 tahun), seorang
PNS yang telah bersuami dari Banjar Desa Keramas, dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari
Desa Sukawati. Dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari Bendesa Keramas, Kelihan
Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa Keramas ini kemudian memutuskan
bahwa WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip) sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi).
Perkara ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran hukum campuran, karena disatu sisi merupakan
pelanggaran terhadap Hukum Adat dan Hukum Positif (Nasional), yang tertera dalam
KUHP. Berdasarkan kasus delik adat diatas, bandingkanlah pemidanaan menurut Kaidah-kaidah dalam
Hukum Pidana (KUHP) dengan pemidanaan dalam Hukum Adat.

Penyelesaian

 Dengan melihat hukum pidana KUHP tentang kasus tersebut kita dapat membandingkan
dengan hukum delik adat. Perbaningan antara hukum pidana dan hukum  Delik Adat disini
adalah jika ada gangguan dalam kehidupan masyarakat hukum adat karena sifatnya yang
komunal dan religius tersebut, maka gangguan terhadap keseimbangan hidup masyarakat dan
warga adat di desa atau suku tersebut, harus dipulihkan. Gangguan ini umumnya dikenal dengan
delik adat umum dikenal dengan delik adat atau pelanggaran adat.Delik yang paling berat
menurut hukum adat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara dunia
lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat, misalnya
perbuatan penghianatan, delik terhadap diri pribadi kepala adat. Karena dalam tiap-tiap
pelanggaran hukum, para petugas hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk
membetulkan kembali perimbangan
hukum.                                                                                                                            Jenis-jenis
delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made Widnyana mengklasifikasikan jenis-
jenisnya sebagai berikut:
a)    Delik  adat yang menyangkut kesususilaan, contohnya: lokika sangraha (persetubuhan atas
dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati
krama  (berzina), , gamia gamana (hubungan seksual antara orang-orang yang
berhubungan darah sangat dekat); dan salah krama (berhubungan kelamin dengan
binatang),
b)   Delik  adat yang menyangkut harta benda, contohnya: pencurian, pencurian benda suci,
merusak benda-benda suci, dan lain-lain,
c)    Delik adat yang melanggar kepentingan pribadi,
seperti mamisuh (mencaci), mapisuna (memfitnah), dan lain-lain
d)   Delik adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban, seperti: tidak melaksanakan
kewajiban sebagai kerama desa, yang berupaayahan (kewajiban melakukan pekerjaan
untuk desa)  ataupun papeson (urunan berupa barang ataupun barang).
 
                                                                       
Menurut Soepomo (1976 : 114), tindakan atau upaya pertahanan adat atau adat reaksi
yang diperlukan mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai
pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian. Namun menurut Pendechten van Het
Adatrecht bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik
(adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936 menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi
adat sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian (immateril) dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan.
2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai
pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.
4. Penutup malu, permintaan maaf.
5. Berbagai hukuman badan hingga hukuman mati.Pengasingan dari masyarakat serta
meletekkan orang diluar tata hukum.
Hal-hal diatas merupakan beberapa tinjauan atau penafsiran mengenai delik hukum adat.
Hal tersebut juga merupakan salah satu dari tujuan koreksi adat dari segala tindakan yang
menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Koreksi adat ini adalah suatu tindakan
untuk memulihkan perimbangan hukum dan perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan
antara lahir dan dunia gaib. Di masyarakat adat Bali hubungan antara manusia dengan hal gaib
bukan sesuatu yang tabu. Dimana masyarakat adat Bali sangat mempercayai adanya roh roh
leluhur atau roh roh nenek moyang. Jadi hukum delik adat bisa diambil dari adat atau kebiasaan
yang turun temurun dari nenek moyang.            Melihat dari kasus yang terjadi di atas, bahwa
kejadian yang melibatkan kedua pasangan yang terlibat perselingkuh tersebut di antara
pelakunya sudah berkeluarga yakni si pelaku wanita yang berprofesi sebagai PNS yang berinisial
WL, kasus ini merupakan perseligkuhan yang dapat di jatuhkan sanksi melalui 2 hukum, yaitu
hukum delik adat dan hukum positif (nasional) yang berupa hukuman dalam KUHP. Pelanggaran
yang di lakukan jika dilihat menggunakan hukum positif maka dapat di jatuhkan pasal 284
KUHP mengenai tindak kejahatan susila, yang dapat di jatuhi hukuman penjara atau kurugan
maksimal sembilan bulan. Namun, jika di lihat menggunakan delik hukum adat pada masyarakat
bali maka dapat di jatuhkan sanksi menggunakan awig-awig hukum adat di Bali dalam pasal 64
(Pawos 64) yang berisi mengenai hukum drati krama atau perzinaan maka dapat di kenakan
hukumannya membiayai prosesi upacara yaitu, upacara :                                                    
1.  Upacara Tawur Kesanga ( Tawur Bhuta Yadnya ) kamargiang ring Desa Adat miwah
ring soang paumahan Krama, nganutin sastra Agama majalaran Pasuara sakeng Parisada Hindu
Dharma Indonesia.                                                                                      
2.  Upacara Kamariang ring tileming Kasanga kalaning sandyakala, kalanturang ngrupuk
rawuh ka pakubon soang-soang.
 
 
 
 
Selain itu pelakunya di jatuhi juga konsekuensi tambahan di adat seperti, :
1.  Hubungan perzinahan mereka dihentikan;
2.  Kedua pihak wajib
melaksanakan prayascita  (pensucian) desa dan prayascita (pensucian)raga.
Perbandingan yang dapat di lihat dari berlakunya kedua hukum tersebut adalah melalui
perbedaan hukuman dan akibat yang ditimbulkan jika di berlakukannya hukuman tersebut
kepada pelaku tersebut. Dalam hukum positif (nasional) hukuman berupa kurungan dan denda
yang berakibat moril dan psikis yang di timbulkan terhadap para pelaku yang terjerat hukum dan
sanksi. Dimana hukuman kurungan dan denda tersebut di harapkan memberikan efek jera
terhadap para pelaku yang melakukan pelanggaran. Sementara itu, dalam delik hukum adat yang
menggunakan awig-awig sebagai pasal yang digunakan untuk menjatuhi hukuman kepada para
pelaku. Didalam hukum delik adat hukaman yang di timbulkan berakibat dikucilkannya atau
menjadi gunjingan para pelaku yang melakukan pelanggaran
tersebut.                                                                                                                                Dengan
sanksi adat berupa pembiayaan upacara dan melakukan upacara penyujian diri dan penyucian
desa agar para warga desa terhindar dari kesialan atau kutukan yang dipercaya datang dari roh
leluhur mereka. Karena masyarakat adat bali yang percaya terhadap  adanya roh nenek moyang
yang menjadi pembimbing dan pedoman hidup mereka. Selain adanya efek jera dan efek psikis
dalam hukuman yang dilakukan oleh para pelaku, juga terdapat nilai moril dan edukasi yang
terdapat dalam proses hukuman dan sanksi yang dikenakan terhadap para pelaku. Adanya Tri
Hita Karana dalam adat Bali mengenai hubungan antara Tuhan, alam, dan manusia menyebabkan
adanya hukuman moril dan edukatif dalam adat Bali serta hukuman tidak berbentuk fisik, seperti
adat Aceh yang menjatuhkan hukuman cambuk kepada pelaku zina di adat mereka. Dan sifat
menyadarkan adalah yang utama dalam hukuman yang di jatuhkan dalam masyrakat adat Bali
terutama dalam awig-awig sebagai pasal yangh terdapat di delik hukum adat Bali.
https://raninuraeni379.wordpress.com/s-i-h/hukum-adat/2-analisis-permasalahan-hukum-adat-dalam-
masyarakat-adat-di-sekitar-dengan-konsep-hukum-adat-dan-disinkronisasi-dengan-hukum-positif-di-
indonesia/
Perkara-Perkara Yang Ditangani 
Hakim Perdamaian Desa
 (Cuplikan Tesis I Ketut Sudantra, 2007, "Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam
Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali”, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
hlm. 121-144) 

DARI  hasil penelitian di Desa Keramas dapat diketahui bahwa perkara-perkara yang ditangani
ditingkat desa oleh kelembnagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa,
yaitu Kelihan Banjar, Bendesa, dan Perbekel (selanjutnya disebut: hakim perdamaian desa)
cukup beragam, mulai perkara-perkara yang ringan sampai perkara-perkara yang tergolong
berat. Secara umum, perkara-perkara atau wicara yang terjadi dalam masyarakat di desa dapat
dikwalifikasikan dalam dua  bentuk, yaitu: pertama, yang perkara berupa pelanggaran hukum;
dan kedua, perkara yang berupa sengketa. Dalam dua wilayah wicara tersebut masih dapat
dibedakan antara wicara yang berlatar belakang adat dan agama (adat murni), wicara non-adat,
dan wicara campuran. Penggolongan perkara (wicara) ini mengacu pada pendapat I Wayan Koti
Çantika yang membedakan perkara yang terjadi dalam wilayah desa pakraman itu atas tiga
golongan, yaitu a) perkara adat murni adalah perkara-perkara yang semata-mata melanggar
norma-norma adat dan agama; (b) perkara-perkara yang tidak bersangkut paut dengan adat
dan agama; (c) perkara campuran, yaitu disamping melanggar nora-norma adat dan agama
juga melanggar norma-norma hukum lain (hukum negara) [1].   Walaupun Soepomo
menyatakan bahwa dalam hukum adat tidak ada pemisahan antara pelanggaran-pelanggaran
di bidang hukum pidana dan dan pelanggaran-pelanggaran di bidang hukum perdata[2], tetapi
untuk kepentingan pembahasan selanjutnya akan dibedakan antara pelanggaran hukum
dengan sengketa mengingat di dalam awig-awig desa pakraman pada umumnya terdapat
pemilahan antara penyelesaian wicara yang disebabkan oleh pelanggaran hukum
dan wicara yang disebabkan oleh sengketa[3].

Pelanggaran hukum
Pelanggaran hukum yang terjadi dapat berupa pelanggaran terhadap hukum adat
(awig-awig, pararem, kebiasaan-kebiasaan, dresta) maupun pelanggaran-pelanggaran terhadap
hukum negara. Pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat secara teoritis dapat disebut
sebagai pelanggaran adat atau yang oleh sarjana-sarjana hukum adat seperti R. Soepomo,
Hilman Hadikusuma[4], Bushhar Muhamad[5], dan sarjana-sarjana lain disebut sebagai delik
adat. Mengenai delik adat ini,  B. Ter Haar menulis sebagai berikut:
di masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delict)
ialah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari
segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada
orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan itu
menimbulkan suatu reaksi –yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat –
ialah reaksi adat (adatreactie), karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan
kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang)
[6]

            Menurut R. Soepomo, dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula
ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum, jika hukum itu diperkosa [7]. Senada
dengan uraian Ter Haar dan Soepomo di atas,  Bushar Muhamad, seperti dikutip oleh I Made
Widnyana[8],  memberikan difinisi tentang delik adat sebagai perbuatan sepihak dari
seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu
keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau imaterial, terhadap orang
seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian
akan mengakibatkan suatu reaksi adat.
            Pengertian delik adat di atas menekankan kepada adanya perbuatan sepihak dari orang
perseorangan atau kelompok yang menimbulkan gangguan kesimbangan dan kehidupan
dalam masyarakat, baik material maupun imaterial. Agak berbeda dengan pengertian para
sarjana di atas, Hilman Hadikusuma  melihat “kejadian” dapat juga menimbulkan delik adat,
disamping perbuatan orang perorangan atau kelompok.  Dalam bukunya yang berjudul
Hukum Pidana Adat, Hilman Hadikusuma menyatakan bahwa yang dimaksud delik adat itu
adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kepatutan, kerukunan,
ketertiban, keamanan, rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan[9].
            Satu hal yang penting dicatat dari rumusan-rumusan di atas adalah adanya unsur
terganggunya keseimbangan dalam kehidupan masyarakat sebagai unsur delik. Dalam
masyarakat Bali keseimbangan yang senantiasa dipelihara adalah keseimbangan atau suasana
harmonis antara unsur-unsur Tri Hita Karana[10], yaitu: kesimbangan hubungan manusia
dengan sesamanya (pawongan), keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam
lingkungannya (palemahan), dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Sang
Maha Pencipta (parhyangan). Demikianlah pola hubungan yang dikehendaki mengenai
hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan menurut alam pikiran masyarakat Bali. Semua itu
ditujukan agar dapat dicapainya tujuan bersama, yaitu kesejahteraan lahir bathin (sukerta
sekala-niskala). Dengan demikian, dalam konsep hukum  adat Bali, pelanggaran  adat
menyangkut setiap gangguan keseimbangan hubungan antara unsur-unsur tri hita karama di
atas.
            Mengenai jenis-jenis delik adat yang masih hidup dalam hukum adat Bali, I Made
Widnyana mengklasifikasikan jenis-jenisnya sebagai berikut:
a.       Delik  adat yang menyangkut kesususilaan, contohnya: lokika sangraha (persetubuhan atas
dasar cinta antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama masih bujang), drati
krama  (berzina), , gamia gamana (hubungan seksual antara orang-orang yang berhubungan
darah sangat dekat); dan salah krama (berhubungan kelamin dengan binatang)
b.      Delik  adat yang menyangkut harta benda, contohnya: pencurian, pencurian benda suci,
merusak benda-benda suci, dan lain-lain;
c.       Delik adat yang melanggar kepentingan pribadi,
seperti mamisuh (mencaci), mapisuna (memfitnah), dan lain-lain
d.      Delik adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban, seperti: tidak melaksanakan
kewajiban sebagai kerama desa, yang berupa ayahan(kewajiban melakukan pekerjaan untuk
desa)  ataupun papeson (urunan berupa barang ataupun barang)[11]
 Di dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas, beberapa bentuk-pelanggaran  adat
ditemukan secara ekplisit maupun implisit sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan atau tidak
dibolehkan (tan kapatutang, tan wenang, tan kalugra) atau pun pelanggaran terhadap perintah
(kepatutang). Bentuk-bentuk pelanggaran  adat tersebut tersebar dalam pawos-pawos pada
setiap bab dalam awig-awig, yaitu bab (sarga) mengenai sukerta tata pakraman/pawongan,
palemahan,  dan parhyangan. Dalam Awig-awig Desa Pakraman Keramas yang terdiri atas 8 bab
88 pawos (pasal) beserta pararem-pararem (keputusan-keputusan sangkepan) yang
melengkapinya dapat diidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran  adat sebagai berikut:
1)        Krama nenten nyarengin mekarya (krama tidak mengikuti kewajiban melakukan pekerjaan);
2)        Krama nenten nyarengin sangkep/samua (krama tidak mengikuti rapat);
3)        Ngewetuang swara gora utawi byuta ring paruman  (menimbulkan suara ribut atau rusuh dalam
rapat)
4)        Nepak kulkul tan sangkaning pituduh prajuru (memukul kentongan milik desa tanpa perintah
prajuru) ;
5)        Linyok ring swadharman prajuru (prajuru tidak melaksanakan tugas);
6)        Ngangonan wewalungan ring palemahan sane kasusciang, margi palemahan desa, carik miwah tegal
sane medaging tetanduran, pekarangan krama tiosan sedereng kalugra antuk sang madruwe karang ,
setra (menggembalakan ternak pada tempat-tempat yang disucikan, jalan diwilayah desa,
sawah dan tegalan yang berisi tanaman dan halaman milik orang lain tanpa ijin, dan dikuburan
milik desa)
7)        Mamisuh atawi nguman-uman krama tiyos (mencaci orang lain);
8)        Memaling (mencuri), mapailon ring dusta (membela, menyembunyikan penjahat);
9)        Ngewangun nyayubin pisaga (membangun nyayubin tetangga)
10)    Ngelalah wates tanah karang, pelaba pura, margi, tegal miwah carik druwen krama tiyosan utawi
druwern desa (merubah batas-batas tanah perumahan, tanah milik pura, jalan, tanah milik
tetangga atau milik desa); ngelalah tegak kahyangan, setra miwah tiyosan (merubah batas tanah
bangunan pura, kuburan, dan lain-lain);
11)    Ngembahang toyo mawit kandang wewalungan, kakus, pasiraman, pewaregan, ka paumahan krama
tiyosanweiyadin ka margine, ka kahyangan, lan ka genahe siosan sane mapuara wawidangane
kaon (mengalirkan air dari kandang, WC/kamar mandi, dapur, ke halaman tetangga, ke jalan,
kea real pura, atau ketempat lain yang menyebabkan rusaknya lingkungan)
12)    Ngentungang wangken miwah bacin wewalungan, luhu, tur sakaluwire ka pakarangan krama tiyosan,
ka tukade, ka margine, kagenahe sane suciang, lan gena siosan mapuara wawidangane kaon (membuang
bangkai dan kotoran khewan, sampah, dan lain-lain ke halanman orang lain, ke sungai, ke
jalan, ke tempat yang disucikan, dan tempat lain yang menyebabkan rusaknya lingkungan)
13)    Ngemademang wewalungan,paksi miwah mina sane mapuara wawidangane kaon (membunuh
binatang, burung dan ikan yang menyebabkan rusaknya lingkungan);
14)    Ngeranjing ke pura rikala kacuntakan; makta sahanan barang sane ngeletehin (memasuki arela pura
dalam keadaan tidak suci, membawa barang yang menyebabkan kesucian terganggu);
15)    Melakukan perbuatan terlarang di areal pura seperti: masumpah tan sangkaning pituduh
prajuru (bersumpah tanpa perintah prajuru), masanggama(bersetubuh), munggah-tedun palinggih
tan sangkaning pituduh prajuru (naik turun bangunan pura tanpa perintah prajuru), mojar ala,
memisuh, majajal, mayuda, napi malih mapuwara ngawetuang rah utawi padem  (berkata-kata kasar,
mencaci, bertengkar, berkelahi, apalagi sampai menyebabkan keluar darah atau menyebabkan
mati), menehin busana, papusungan (memperbaiki pakaian, gelungan rambut);
16)    Mendem sawa ring karang paumahan, tegalan, carik sane nenten kasinanggeh setra (mengubur
jenazah di pekarangan, tegalan, sawah yang bukan kuburan);
17)    Salah krama atau salah timpal  (bersetubuh dengan binatang);
18)    Gamia gamana (mengadakan hubungan seksual dengan orang yang berhubungan darah sangat
dekat)
19)    Drati krama, mamitra, marikosa (berzinah, memperkosa);
20)    Tan tinut ring daging awig (melanggar atau tidak mengikuti isi  awig-awig)
Di luar pelanggaran-pelanggaran adat yang dimaksudkan di atas, dalam wailayah
Desa sangat mungkin saja terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum negara yang sama sekali
tidak berhubungan dengan aspek adat dan agama, yang dapat disebut pelanggaran hukum non
adat, seperti pelanggaran peraturan tentang judi, lalu-lintas,  pajak, pemilihan umum, Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, dan lain-lain. Tidak juga dapat dihindari terjadinya perkara-
perkara yang berupa pelanggaran hukum yang merupakan persentuhan antara pelanggaran
adat dan pelanggaran hukum negara, disatu sisi perkara tersebut merupakan pelanggaran
terhadap norma hukum negara dan disisi lain juga merupakan pelanggaran terhadap norma
hukum adat. Seperti misalnya perzinahan. Disatu sisi perbuatan tersebut dilarang oleh hukum
adat (memitra) disisi lain perbuatan tersebut juga dilarang oleh Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Contoh-contoh lain adalah pencurian benda-benda suci, penganiayaan di areal pura,
dan lain-lain. Masih banyak lagi contoh bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat
dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum campuran, yaitu campuran antara pelanggaran
norma-norma hukum adat dan norma non adat.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, ke tiga bentuk pelanggaran hukum tersebut
ditemukan di Desa Keramas dan ditangani oleh hakim perdamaian desa. Pelanggaran hukum
yang paling banyak ditemukan adalah pelanggaran hukum adat murni, khususnya yang
menyangkut kelalaian terhadap tetegenan (kewajiban) krama berupa tidak mengikuti
kegiatan ngayah mekarya atau pun tidak hadir dalam sangkep banjar/desa. Tetegenan krama yaitu
kewajiban-kewajiban yang mesti dilakukan oleh krama sesuai kedudukannya diatur dalam
Pawos 9 Awig-awig Desa Pakraman Keramas, yaitu kerama desa wajib dikenakan ayahan dan
mengeluarkan iuran (peturunan/papeson) disesuikan dengan kedudukannya dalam pakraman,
yaitu sebagai krama ngarep, krama padunungan, krama balu, dan sebaginya. Kasus yang terjadi
berkaitan dengan tetegenan krama ini umumnya berupa kerama tidak hadir tanpa alasan atau
tanpa pemberitahuan (tan pasadok) tatkala dilakukan patedunan krama untuk melakukan suatu
pekerjaan bersama (tan nyarengin mekarya) ataupun sangkep (rapat banjar/desa). Pelanggaran
terhadap tetegenan krama ini disebut nosa yang diancam pamidanda (sanksi) berupa dadosan, yang
dalam Pararem Awig-awig Keramas Pawos 11 kaping 3 e disebutkan sebagai berikut: ”Tan
nyarengin sangkep, samua, makarya, lan selantur ipun kakenenin dadosan mapangarga beras ½
kg.”  Kasus-kasus yang berkaitan dengan tetegenan krama ini ini paling banyak[12] terjadi di
Desa Keramas dan bahkan dapat dikatakan terjadi secara rutin, sehingga krama maupun
prajuru merasakan hal itu sebagai hal yang biasa dan bukan sebagai suatu perkara. Kasus-
kasus ini umumnya segera dapat diselesaikan oleh Kelian Banjar  pada saat sangkepankrama
banjar yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, bertepatan dengan hari Umanis
Galungan  (sehari setelah hari raya Galungan). Dalamparuman/sangkepan rutin
ini Kelihan mengumumkan krama-krama yang nosa dan besaran dedosan masing-masing yang
harus dibayar. Pada saat itulah pamidanda di jatuhkan, yaitu krama yang nosa diwajibkan
membayar sejumlah uang sebagai bentuk dedosan.  Dengan dibayarnya  dedosan  ini maka
masalah dianggap telah selesai (puput). Tetapi apabila dedosan tidak dibayar dalam tempo yang
sudah ditentukan, awig-awig Desa Pakraman Keramas menentukan pamidanda yang lebih berat
lagi secara berjenjang, yaitu katikelang (utangnya dilipatgandakan) dan kerampang (hartanya
disita untuk melunasi utangnya kepada desa). Dalam Hukum Adat Bali bentuk sanksi
demikian dikwalifikasikan sebagai artha danda[13].
               Bentuk pelanggaran hukum yang dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran non-adat
yang sempat ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa Keramas adalah perkara
penganiayaan dan pengancaman yang dilakukan oleh IBPN (32 tahun) terhadap IBNM (50
tahun) di Banjar M. Kasus ini terjadi pada awal Februari  2006. Karena kasus ini dianggap
sebagai masalah kriminal yang tidak bisa diselesaikan ditingkat banjar, Kelihan Banjar Maspait
membawa masalah ini kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Walaupun kasus
penganiayaan ini adalah murni  kriminal biasa yang diatur dalam Pasal 351 KUHP [14] tetapi
karena dilatar belakangi oleh  sengketa antara pelaku dengan korban yang menyangkut tanah
pekarangan desa, Perbekel mengikutsertakan Bendesa Keramas dalam proses penyelesaiannya
agar penyelesaian dapat lebih tuntas kepada akar permasalahannya. Di samping itu, karena
masalah ini adalah masalah kriminal, Perbekel juga mengikut sertakan petugas Bimas dari
Kepolisian untuk didengar pertimbangan-pertimbangannya terutama yang berkaitan dengan
masalah kriminalnya. Kasus ini akhirnya berhasil diselesaikan secara perdamaian yang
dituangkan dalam secarik surat pernyataan. Dalam surat pernyataan perdamaian yang
ditandatangani oleh para pihak, Perbekel dan Kelihan  Banjar M sebagai saksi, IBPN berjanji
tidak akan melakukan penganiayaan dan pengancaman kepada IBNM dan jika perbuatan itu
diulangi maka ia bersedia dituntut secara hukum.
               Contoh perkara pelanggaran hukum campuran yang pernah ditangani oleh hakim
perdamaian desa di Desa Keramas adalah kasus memitra(perzinahan) yang terjadi di Banjar Bia
antara  Ni WL (48 tahun), seorang PNS yang telah bersuami dari Banjar B Desa Keramas,
dengan seniman MJ (60 tahun) yang berasal dari Desa B Sukawati. Kasus ini terjadi sekitar pada
bulan Mei 2005 dan diselesaikan dalam Paruman Alit Prajuru Desa Pakraman, yang terdiri dari
Bendesa Keramas, Kelihan Banjar, dan Perbekel. Paruman Alit yang dipimpin oleh Bendesa
Keramas ini kemudian memutuskan bahwa Ni WL dan MJ dinyatakan terbukti bersalah (sisip)
sehingga katiwakan pamidanda (dijatuhi sanksi) berupa: (1) hubungan perzinahan mereka
dihentikan; (2) kedua pihak wajib melaksanakan prayascita desa dan prayascita raga[15].  Danda
prayascita desa kemudian dilaksanakan oleh Ni WL pada bulan Juli 2005 pada catus
pata (perempatan jalan) Desa Keramas. Perkara ini dapat dikwalifikasikan sebagai pelanggaran
hukum campuran, karena disatu sisi merupakan pelanggaran terhadap Awig-awig Desa
Pakraman Keramas (Pawos 64)[16] dan disisi lain juga melanggar hukum negara, yaitu Pasal
284 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang perzinahan[17]

Sengketa
               Disamping perkara-perkara yang berupa pelanggaran hukum, hakim perdamaian desa
di Desa Keramas juga menangani perkara yang berupa sengketa. Sengketa dapat terjadi karena
adanya konflik antara dua atau lebih pihak akibat perbedaan nilai-nilai, perbedaan pendapat
ataupun perbedaan kepentingan. Dua orang ahli antropolgi hukum yang terkenal, Nader dan
Todd, seperti dikutip oleh T.O. Ihromi[18], mengidentifikasi adanya tiga fase dalam proses
bersengketa (disputing process), yaitu tahap para-konflik, tahap konflik, dan tahap sengketa.
Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, mengacu lepada keadaan atau kondisi yang oleh
seseorang atau satu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau
dasar-dasar adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilannya itu dapat bersifat
nyata atau imajinasi saja, tergantung pada persepsi dari pihak yang merasakan ketidak adilan
yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang penting adalah pihak itu merasakan bahwa haknya
dilanggar atau merasa diperlakukan dengan salah. Situasi keluhan ini mengandung statu
potensi untuk meletus menjadi konflik atau justru mengendor. Perasaan diperlakukan tidak
adil dapat lebih memuncak dikarenakan oleh suatu konfrontasi, atau eskalasi justru terelakkan
karena secara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau karena pihak kedua tidak
memberikan reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Itu sebabnya tahapan ini disebut
mempunyai ciri yang monadik (satu pihak). Bila pihak yang merasa haknya dilanggar memilih
jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya, atau
memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya, maka keluhan tersebut telah
memasuki tahap konflik. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan
pendapat diantara mereka. Tahap ini mempunyai ciri diadik (dua orang berhadapan). Akhirnya
tahap sengketa dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung sebab adanya
konflik itu dikemukakan secara umum, orang yang semula mempunyai keluhan telah
meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari perdebatan diadik menjadi hal yang
masuk bidang publik. Ini dilakukan dengan sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada
sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkannya. Dengan begitu, sengketa paling tidak
melibatkan tiga pihak atau mempunyai ciri triadik, dan sesuatu pihak ketiga menjadi terlibat
atas inisiatif sendiri atau atas prakarsa salah satu atau kedua pihak. Diakui oleh Nader dan
Todd, ketiga tahap tadi tidak selalu rapi terjadi secara berurutan. Bisa saja seseorang yang
merasa terhina langsung mengajukan perkaranya kepada pihak ketiga (pengadilan) tanpa
mengkomunikasikan kepada pihak yang dianggap merugikannya (jadi tahap konflik tidak
terjadi) atau tiba-tiba saja salah satu pihak menundurkan diri, atau tahap-tahap itu bisa saja
terjadi melompat-lompat.
               Kalau dilihat dari obyek sengketa, tampak juga bahwa sengketa yang terjadi di Desa
Keramas cukup beragam. Keragaman obyek yang menjadi sumber sengketa yang terjadi di
Desa Keramas dapat dikwalifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu sengketa yang berlatar
belakang masalah adat dan sengketa yang berlatar belakang masalah non adat. Sengketa yang
berlatar belakang masalah adat inilah yang dapat dikwalifikasikan sebagai sengketa adat dan
agama yang dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 dikatakan menjadi kewenangan
desa pakraman (prajuru desa pakraman) untuk menyelesaikannya. Tidak ada penjelasan otentik
terhadap istilah ”sengketa adat” dalam Peraturan Daerah tersebut sehingga ketentuan tersebut
tampaknya masih merupakan norma kabur yang masih memerlukan penafsiran hukum lebih
lanjut. Apabila digunakan penafsiran gramatikal [19], maka istilah ”adat” dapat mempunyai
makna yang luas, karena meliputi aturan atau perbuatan yang lazim dituruti sejak dulu kala,
meliputi cara (kelakuan) yang sudah menjadi kebiasaan, ataupun meliputi wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai  budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan
lainnya berkaitan menjadi satu sistem[20]. Untuk mengatasi kegamangan yang terjadi
mengenai batasan pengertian sengketa adat itu, walaupun belum begitu memuaskan, untuk
sementara dapat dirujuk pandangan I Ketut Wirta Griadhi yang menyebutkan bahwa ciri
sengketa adat ini adalah adanya satu obyek sengketa yang menyangkut kepentingan adat,
terutama yang berhubungan dengan kehidupan kelompok, baik itu dalam bentuk banjar
maupun desa pakraman[21].
               Dilihat dari para pihak yang bersengketa, Valerine J.L. Kriekhoff menyatakan bahwa
sengketa dapat timbul diantara:
a.       Individu melawan individu dari kelompok sama atau dari kelompok yang berbeda;
b.      Kelompok melawan kelompok, yaitu sengketa antar sub-sub kelompok yang otonom dalam
satu kelompok (intra group) atau antar kelompok besar yang otonom dalam masyarakat[22].
Di Desa Keramas, sengketa yang paling banyak terjadi dan dapat diselesaikan di tingkat desa
oleh hakim perdamaian desa adalah sengketa antara individu melawan individu dari banjar
yang sama. Disamping sengketa antara individu dari banjar yang sama, ditemukan juga
sengketa antara individu dengan individu dari banjar yang berbeda tetapi masih berasal dari
desa yang sama, seperti misalnya sengketa yang terjadi bulan April 2006 antara I KC (60 tahun)
dari Banjar Lodpeken Desa Keramas melawan I NR (40 tahun) dari Banjar G Desa Keramas.
Bahkan tercatat pula adanya sengketa antara individu dari Desa Keramas melawan individu
dari desa lain yang  ditangani di Keramas pada bulan Juni 2006 yaitu sengketa antara I MP dari
Banjar P Desa Keramas, melawan Ni MW dari Banjar TP Desa Pering. Dalam dua tahun
terakhir (2005-2006) di Desa Keramas ditemukan satu sengketa individu melawan kelompok
dan satu sengketa kelompok melawan kelompok. Sengketa inividu melawan kelompok yang
terjadi adalah sengketa antara  tetapi individu melawan kelompok sekeha Pura Panti tetapi
individu tersebut bukan anggota kelompok sekeha tersebut, yaitu sengketa antara I GNT (67
tahun) dari Banjar M melawan Sekeha Pura Panti keluarga besar Wayan K di Banjar G.
Sengketa antara kelompok melawan kelompok yang sempat ditangani oleh kelembagaan desa
di Keramas adalah sengekata antara sub kelompok melawan sub kelompok dalam lingkungan
Desa Pakraman Keramas, yaitu antara kelompok Pemaksan Dalem Geria melawan kelompok
Pemaksan Dalem Agung. Sengketa berobyek pura yang sudah ditangani oleh Bendesa Keramas
sejak tahun 2002 ini hingga tahun 2006 –ketika penelitian ini dilakukan (September-Novenmber
2006)— belum dapat diselesaikan secara tuntas.
               Dilihat dari permasalahan yang menjadi obyek sengketa, sengketa yang paling banyak
ditangani oleh kelembagaan yang melaksanakan fungsi sebagai hakim perdamaian desa di
Keramas adalah sengketa yang menyangkut tanah pekarangan desa, seperti batas-batas
pekarangan, batas-batas bangunan keluarga dalam satu pekarangan, bangunan atau tanaman
yang nyayubin bangunan tetangga, pembuangan limbah rumah tangga yang merugikan pihak
lain, dan sebagainya. Banyaknya kasus-kasus sengketa yang berkaitan dengan pekarangan ini
disebabkan padatnya rata-rata hunian  dalam satu pekarangan desa yang mencapai antara 3-4
kepala keluarga, bahkan ada yang mencapai 10 kepala keluarga. Di luar sengketa pekarangan,
sengketa yang pernah terjadi dalam dua tahun terakhir ini (2005-2006) adalah perceraian,
pengangkatan anak, waris, tukar menukar tanah, utang piutang, sengketa pura, dan lain-lain.
               Sengketa yang terjadi di Desa Keramas umumnya diupayakan diselesaikan di tingkat
banjar oleh Kelihan Banjar. Hanya sengketa yang tidak bisa diselesaikan di tingkat banjar yang
dibawa ke tingkat desa. Dalam hal sengketa tersebut berlatar belakang masalah pribadi yang
sama sekali tidak bersangkut paut dengan masalah adat dan agama umumnya di bawa oleh
Kelihan Banjar kepada Perbekel untuk memperoleh penyelesaian. Itulah yang terjadi dalam
kasus utang piutang antara I MP (56 tahun), pedagang dari Banjar Palak Desa Keramas, dengan
Ni MW pedagang dari Banjar TP Desa Pering. Kasus yang dilihat dari subyeknya ini
merupakan sengketa individu melawan individu ini dilatar belakangi oleh bisnis beras yang
dilakukan oleh para pihak sejak tahun 2005.  Intinya, I MP berutang 4.000 kg beras dari Ni MW
yang kemudian memperkarakannya dihadapan Kelihan Banjar P pada awal Juni 2006. Dengan
alasan para pihak berlainan banjar, bahkan berlainan desa, Kelihan Banjar P tidak mau
menyelesaikan perkara ini sendirian, melainkan membawa masalah ini kepada Perbekel
Keramas. Akhirnya, perkara ini berhasil diselesaikan secara perdamaian dituangkan dalam
surat pernyataan perdamaian tertanggal 7 Juni 2006 yang ditandatangai oleh para pihak yang
bersengketa dan Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar P sebagai saksi.
               Di pihak lain, kasus-kasus sengketa yang jelas berlatar belakang adat dan agama
diusahakan diselesaikan melalui kelembagaan adat. Tetapi apabila kasus tersebut tidak bisa
diselesaikan pada tingkat prajuru adat, ternyata Perbekel juga diikut sertakan dalam proses
penyelesaian. Contoh sengketa adat yang cukup berat tetapi berhasil diselesaikan ditingkat
desa pakraman tanpa campur tangan Perbekel antara lain adalah kasus sengketa pembagian
warisan yang dilatar belakangi kasus pengangkatan anak yang belum sah. Kasus individu
melawan individu ini terjadi di Banjar Bia tahun 2005 antara I NS (35 tahun) disatu pihak
dengan WS (32 tahun) dan MS (30 tahun). Tiga laki-laki bersaudara kandung ini adalah anak
kandung dari pasangan KS (purusa) dan Ni R (pradana). I KS sendiri mempunyai seorang kakak
laki-laki bernama NT (68 tahun) yang beristrikan I T (almarhum). Sudah sejak lama (tidak jelas
angka tahunnya) I NS diajak oleh keluarga I NT, diasuh dan dididik seperti anak sendiri.
Keberadaan I NS dalam keluarga NT sudah dianggap sebagai anak angkat walaupun belum
pernah diadakan upacara pengangkatan anak secara sah menurut agama (meperas) melainkan
hanya diangkat berdasarkan kesepakatan belaka (idih munyi) antara I NT dan I KS. Karena
merasa sudah tua dan sakit-sakitan, tahun 2004 I NT menyampaikan keinginannya kepada I KS
untuk mengadakan upacara pengesahan pengangkatan anak (meperas) terhadap I NS, tetapi
pada waktu itu I KS tidak menanggapinya, bahkan I KS menunjukkan sikap tidak setuju
terhadap rencana tersebut karena menganggap tindakan NT pilih kasih terhadap anak-
anaknya. Karena tidak ada tanggapan dari I KS, upacara meperas itu akhirnya tak pernah
terjadi, sampai kasus ini menjadi sengketa pada awal tahun 2006 ketika tiga orang bersaudara
ini ingin membagi waris. Dalam proses pembagian warisan itu, I NS bersikeras untuk
memperoleh semua bagian warisan yang seharusnya diperoleh I NT karena ia merasa sebagai
anak angkatnya. Dua saudaranya yang lain berpendapat sebaliknya, menginginkan
keseluruhan harta warisan di bagi tiga secara merata karena menurut mereka I NS bukan anak
angkat NT sehingga sesungguhnya NT tidak mempunyai ahli waris. Kasus ini mula-mula
diperkarakan ditingkat banjar dengan fasilitasi Kelihan Banjar B sebagai mediator. Perkara ini
ternyata tidak berhasil diselesaikan oleh Kelian Banjar B sehingga kemudian dibawa kepada
Bendesa Adat untuk penyelesaiannya. Bertempat di rumah Jero Bendesa, sengketa waris tiga
bersaudara ini akhirnya dapat diselesaikan secara perdamaian yang dilakukan secara lisan.
               Sengketa berlatar belakang adat tidak semuanya berhasil diselesaikan oleh prajuru
adat secara otonom. Dalam beberapa kasus, Perbekel dilibatkan dalam penyelesaiannya bahkan
ada kasus sengketa yang berobyek tanah adat diselesaikan oleh Perbekel tanpa peran serta
Bendesa Adat. Contohnya adalah kasus pembagian tanah pekarangan desa[23] yang terjadi di
Banjar L. Kasus-kasus yang berkaitan dengan tanah pekarangan desamemang cukup banyak
terjadi di Desa Keramas karena tingkat kepadatan penduduk yang menempati tanah karang
desa cukup tinggi. Rata-rata secutak tanah pekarangan di Keramas ditempati oleh 3 - 4 kepala
keluarga, bahkan ada yang sampai 10 kepala keluarga. Akibatnya banyak kasus yang muncul
karena penduduk tinggal berhimpitan dalam satu tanah pekarangan yang sempit. Kasus yang
sering terjadi misalnya adalah masalah pembangunan rumah oleh salah seorang penghuni
yang ngalah-alah wates (melanggar batas), song sombah (aliran limbah rumah tangga) yang
merugikan penghuni lain, tanggung jawab pemeliharaan bangunan-bangunan yang ada
dilingkungan pekarangan seperti tembok penyengker, angkul-angkul, dan lain-lain. Umumnya
kasus-kasus tersebut berhasil didamaikan oleh Kelihan Banjar di tingkat banjar, tatapi kasus
pembagian pekarangan desa yang terjadi di Banjar Lebah ini akhirnya sampai kepada Perbekel
Keramas karena tidak bisa diselesaikan oleh Kelihan Banjar Lebah. Kasus ini adalah sengketa
pembagian ruang dalam lingkungan tanah pekarangan, antara tiga orang bersaudara yang
masing-masing sudah berumah tangga dan tinggal dalam satu pekarangan (tanah pekarangan
desa). Mereka adalah I KP (46 tahun), I KN (40 tahun), dan I WA. Sengketa ini sebenarnya sudah
lama di dengar oleh Kelihan Banjar L, tetapi karena tidak ada pesadok (laporan) dari para pihak
maka Kelihan Banjar L mendiamkannya saja, tanpa mengambil tindakan apa-apa. Sekitar bulan
Maret 2006, terjadi keributan antara mereka bertiga dan saling melapor kepada Kelihan Banjar.
Akhirnya dengan perantaraan Kelian Banjar mereka sepakat menyelesaikan sengketa mereka
secara baik-baik. Kesepakatan mengenai bagian dan tanggung jawab masing-masing
sebenarnya sudah berhasil dicapai ditingkat Kelihan Banjar, tetapi karena mereka
menginginkan dibuatkan surat perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum yang lebih pasti
sekaligus dengan gambar denah bagian masing-masing, akhirnya Kelihan Banjar Lebah
membawa kasus ini kepada Perbekel untuk dibuatkan surat perjanjian. Surat perjanjian
tersebut kemudian ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa dan ditandatangani oleh
Perbekel Keramas dan Kelihan Banjar Lebah sebagai saksi.
        Contoh kasus di atas menunjukkan keterlibatan Perbekel dalam penyelesaian kasus
sengketa di Keramas cukup menonjol, tanpa dibatasi pada kwalifikasi obyek sngketa. Perbekel
sering terlibat atau dilibatkan dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa non adat, sengketa
yang tidak jelas kwalifikasinya apakah sengketa adat atau non adat,  bahkan kasus sengketa
yang jelas latar belakangnya adalah masalah-masalah yang semestinya tunduk kepada hukum
adat, seperti perceraian dan waris. Contoh kasus sengketa yang tidak jelas kwalifikasinya
apakah termasuk kasus adat murni , campuran ataukah non adat yang ditangani oleh Perbekel
Keramas tanpa melibatkan Bendesa adalah kasus sengketa tukar menukar tanah sawah antara I
GNT (67 tahun), petani dari Banjar Maspait dengan Sekeha Pura Panti di Banjar Gelgel Desa
Keramas yang diwakili oleh Drs. I WK, seorang pegawai negeri sipil dari Banjar G. Sengketa
antara individu melawan kelompok sekeha pura ini dilatar belakangi oleh perjanjian tukar
menukar tanah yang sudah lama terjadi, yaitu sekitar tahun 1966 antara I GKS (almarhum),
orang tua I GNT dengan Seka Pura Panti di Banjar Gelgel. Duduk perkaranya adalah sebagai
berikut. Pura Panti milik keluarga besar WK  mempunyai dua cutak tanah sawah berupalaba
pura[24] yang terletak di Subak Amping dengan luas sekitar 60 are dan di Subak Abang sekitar
40 are.  Dilain pihak I GKS juga mempunyai dua cutak tanah sawah  di Subak Abang masing-
masing dengan luas 30 are dan 40 are. Letak ke dua cutak tanah sawah milik I GKS tersebut
mengapit tanah sawah milik Pura Panti keluarga WK.  Sekitar tahun 1966 –
setelah Gestok[25],  terjadi tukar garap antara I GKS dengan Mangku Pura Panti dan sekitar
tahun 1970-an tukar garapan tersebut disepakati menjadi tukar menukar tanah secara tetap.
Tukar menukar tanah antara Seka Panti dengan I GKS tersebut dilakukan secara lisan
berdasarkan kepercayaan sehingga tidak diperlukan bukti-bukti tertulis. Isi kesepakatan
adalah, tanah seluas 60 are di Subak Amping menjadi milik I GKS sedangkan dua cutak sawah
masing-masing dengan luas 40 are dan 30 are di Subak Abang menjadi milik Pura Panti. Selisih
luas sekitar 10 are tidak dipersoalkan oleh I GKS karena hasil sawah di subak Amping lebih
bagus dan penggarapannya lebih praktis karena hamparan sawah di Subak Amping dalam satu
areal, tidak terpisah seperti kondisi tanah sawah di Subak Abang. Sejak tahun 1985 terjadi
perubahan yang drastis terhadap nilai tanah sawah yang terletak di Subak Amping karena
sudah dibangun jalan, harga tanah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga tanah di
Subak Abang. Sejak itu, Seka Pura Panti menginginkan tukar menukar tanah yang sudah terjadi
supaya dibatalkan dan mulailah terjadi sengketa antara Seka Pura Panti dengan I GNT ahli
waris almarhun I GKS. Untuk menyelesaikan sengketa itu beberapa kali telah dilakukan
perundingan antara para pihak tetapi masing-masing pihak tetap bersikukuh dengan pendirian
masing-masing. Pada tahun 2005, Seka Pura Panti mendaftarkan tanah sawah di Subak Amping
ke Kantor Badan Pertanahan Gianyar dengan tujuan untuk memperoleh sertifikat atas nama
Pura Panti, tetapi ketika dilakukan pengukuran dihalangi oleh I GNT, yang selanjutnya
melaporkan kasus tersebut kepada Kelihan Banjar M. Karena kasus ini cukup berat yang
melibatkan individu krama banjar M dengan kelompok Seka Panti dari banjar lain, akhirnya
Kelihan Banjar Maspait membawa masalah ini kepada Perbekel Keramas agar diselesaikan di
tingkat Desa. Setelah beberapa kali diadakan ”sidang” di Kantor Perbekel yang melibatkan para
pihak, Kelihan masing-masing Banjar (Maspait dan Gelgel) akhirnya pada 8 Juni 2006 perkara
ini berhasil diselesaikan secara perdamaian. Kasus tukar menukar tanah di atas cukup sulit
dikwalifikasikan apakah termasuk sengketa perdata murni ataukah sengketa adat, karena
subyek sengketa menyangkut pribadi melawan kelompok sekeha, dan obyeknya menyangkut
tanah milik pribadi dan tanah milik adat (laba pura). Pengajuan sengketa ini kepada lembaga
dinas (Perbekel) dan penyelesaiannya tanpa melibatkan kelembagaan adat (Bendesa)
menunjukkan bahwa menurut penilaian Kelihan Banjar dan Perbekel, sengketa ini adalah
sengketa perdata biasa (non adat).  
               Keseluruhan uraian mengenai penyelesaian sengketa di atas sekaligus menunjukkan
beragamnya kasus-kasus sengketa yang ditangani oleh hakim perdamaian desa di Desa
Keramas, mulai dari perkara-perkara ringan yang dapat diselesaikan pada tingkat banjar
sampai sengketa-sengketa yang cukup berat yang memerlukan penyelesaian ditingkat desa.
Seperti yang terjadi pada penanganan perkara yang berupa pelanggaran hukum, peranan
Kelihan Banjar dalam penyelesaian sengketa sangat menonjol karena Kelihan Banjarlah instansi
pertama tempat para pihak yang bersengketa menyelesaikan masalahnya. Hanya perkara-
perkara yang tidak bisa diselesaikan di tingkat banjar yang diajukan ke tingkat desa. Kalau
dilihat dari aspek dualisme pemerintahan desa, peranan Perbekel tampak lebih menonjol
dibandingkan dengan peranan Bendesa karena peranan Bendesa dibatasi pada sengketa-
sengketa adat sedangkan Perbekel dapat menangani semua perkara yang terjadi di Desa
Keramas tanpa dibatasi pada obyek perkara tertentu saja.
http://sudantra.blogspot.co.id/2011/10/peradilan-desa-adat-di-bali-5.html
TANGGAPAN TERHADAP KASUS  “ KASEPEKANG “ WARGA KEDUNGU , I KETUT RITEG
ALIAS PAN SINI

DUDUK PERMASALAHAN

Kasus ini berawal dari tanggal 21 juli 2007, saat itu warga menemukan ada sebuah kursi plastik
tergantung di belakang Padmasana. Setelah diselidiki,hal ini dilakukan oleh Pan Sini. Kejadian ini
membuat warga Kedungu marah. Mereka rapat tanggal 5 Agustus dan memutuskan Rinteg dan
seluruh keluarganya kasepekang.atau arus keluar banjar.Pihak ke Polisian dan Pemda,kata
Swastika, melakukan mediasi dan pendekatan terkait kasus tersebut. Tetapi warga kembali
menggelar rapat pada tanggal 21 September, diputuskan Riteg dan keluarga bisa tinggal di banjar
itu dengan syarat denda Rp 200juta,selama dua tahun. Setelah dua tahun tersebut,ia dapat diterima
kembali mabanjar.Selain itu di tetapkan warga tidak boleh berkomunikasi dengan Riteg dan
keluarganya.jika ada ketahuan berkomunikasi akan di kenai denda Rp 500 ribu. Jika dua tahun
Riteg tidak mampu membayar,maka harus keluar dari banjar Kedungu.
            Namun sayangnya,kata kapolsek, Riteg yang di wakili anaknya mengaku tidak sanggup
membayar. Untuk sementara Riteg mengungsi kerumah anaknya di Canggu di Kuta utara. Pihak
kepolisian kata Swastika hanya menangani kasus hukum seperti laporan warga tersebut. Sementara
itu,kata Kapolsek,persoalan muncul di duga karena persoalan lama. Tanah tempat balai banjar itu
berdiri di klaim milik pan Riteg. Terkait penenmpatan kursi di dekat Padmasana, Riteg mengaku
tidak punya motif apapun.

MENCERMATI TANDA TANDA KRISIS ADAT.

            Hampir diseluruh penjuru tanah air sekarang telah dilanda berbagai krisis.mulai dari krisis
ekonomi,krisis kepercayaan, krisis moral,dan akhirnya muncul kepermukaan tanda-tanda krisis
tatanan adat. Heporia repormasi yang tanpa arah menjebak kita pada tatanan pola pikir dan prilaku
diluar kemauan dan pikiran kita semua itu dapat dimaklumi mengingat masyarakat seolah-olah
sedang menemukan kembali jati dirinya.
            Terpengaruh oleh suasana kebebasan masyarakat cendrung melakukan transendensi atau
mengambil jarak terhadap tatanan ”lama” sehingga banyak perbuatan tidak mengindahkan ajaran
Agama,aturan adat dan nilai nilai budaya.hal ini terjadi akibat kekuatan tarik menarik antara faktor-
faktor yang mengurung manusia dalam keniscayan kekuasaan disatu pihak dengan keterbukaan
yang dicapai oleh penilaian krisis dilain pihak akan selalu dialami oleh manusia.keadaan ini Van
Puersen menyebutkan sebagai ketegangan imanensi (serba terkurung ) dengan transendensi
(mengambil jarak). Hidup manusia berlangsung di tengah-tengah arus proses kehidupan, tetapi
slalujuga muncul arus untuk menilai sendiri dan mengubahnya (Van Peursen,1988). Membiarkan
masyarakat berlama-lama dalam suasana ketegangan berarti membiarkan masyarakat tanpa
pegangan, ini melahirkan masyarakat rentan terhadap hasutan,penunggangan dan perbuatan adu
domba. Begitu halnya apa yang menimpa Ketut Riteg alias Pan Sini walaupun menurut pengakuan
Ketut Riteg bahwa tanah tempat balai banjar itu berdiri di klaim milik Pan Sini, dan mungkin apa
yang seharusnya menjadi hak milik Pan Sini tidak mereka dapatkan tetapi ungkapan kekecewaan
dengan menggantung kursi di belakang Padmasana jelas tidak dibenarkan. Dan pada akhirnya
harus berhadapan dengan masa Desa adat yang besar dan pada kesimpulannya Pan Sini harus
keluar dari banjar (kasepekang). Dan yang kedua Pan Sini harus berhadapan dengan hukum karena
menodai tempat suci.

KEWENANGAN PRAJURU DESA ADAT SEBAGAI HAKIM DESA


            Berdasarkan hukum adat ternyata hakim Desa atau prajuru Desa adat tidak saja berwenang
menangani perkara-perkara yang bersifat keperdataan tetapi juga yang bersifat publik misalnya
memberhentikan sebagai anggota (krama) desa adat yang atau diistilahkan dengan
”Kanorayang”  demikian juga dapat mengenakan hukuman atau ” pamidanda ”

INDIK PAMIDANDA
1. Desa wenang niwakang pamidanda ring warga /krama desa sane sisip.
2. Peniwak inucap kelaksanayang olih Bendesa/Prajuru.
3. Bacakan pamidanda luire :
            - ayahan panukun kasisipan
            - danda arta(dosa saha panikel-panikelnya,miwah panikel-panikel urunan)
            - Rerampagan
            - kedaut karang ayahanya
            - kesepekang
            - penyangaskara
4. Pamidanda sane katiwakang patut mesor singgih manut kasisipane.
5.Jinah utawi raja brana ngeranjing dados druwe desa.
            Bertitik tolak terhadap kewenangan desa adat terhadap kasus Pan Sini
berupa Kasepekang  sebenarnya kesepekang dapat dilaksanakan apabila krama yang
bersangkutan tidak mau tahu(tan rungu) dalamkegiatan adat,maka banjar atau desanya ”
mendiamkan” (tan ngerunguang) warga tersebut. Dalam praktik,sanksi desa adat diterapkan dengan
mengikuti ketentuan : tidak mendapat pemberitahuan (tan polih arah-arahan) tidak mendapat
layanan kentongan (tan polih suaran kulkul) dan tidak mendapat bantuan banjar/Desa Adat (tan
polih penyanggran banjar lan desa ) jadi sanksi ini tetap mengutamakan kedamaian desa dan
sifanya pun mendidik masyarakat supaya dalam suasana paras paros salunglung
sebayantaka  (kebersamaan dan sepenanggungan). 
            Apabila kita melihat pelaksanaan kesepekang terhadap Pan Sini kiranya kurang pas
walaupun desa memiliki kebenaran untuk menjatuhkan sanksi nyepekang apalagi dalam keseharian
Pan Sini tidak pernah lalai dalam kegiatan adat kekeliruanya pada tindakan emosi sesaat dengan
cara menggantung kursi di belakang padmasana . Dan yang sangat berlebihan adalah sanksi yang
di jatuhkan kepada warga yang bertanya kena denda Rp 500 000 dan apabila Pan Sini kembali
membanjar harus membayar Rp 200.000.000. Semestinya cukup Pan Sini melakukan upacara
penyangaskara dan Desa adat memberikan sanksi sesuai dengan kesalahan yang di lakukan Pan
Sini.Dan untuk ukuman moral sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kesalahan yang di lakukan
melaporkan kepada pihak yang berwajib karena tindakan Pan Sini dianggap menodai kesucian
pura.

PERANAN PEMERINTAH DALAM KASUS PAN SINI


            Sekarang ini lembaga-lembaga adat tidak semata-mata milik masyarakat adat Bali,tetapi
kepunyaan seluruh Bangsa Indonesia sebagai produk budaya bangsa. Sehingga logis apabila
dikatakan bahwa lembaga-lembaga adat adalah aset yang harus di urus oleh pemerintah . sehingga
kasus-kasus yang terjadi seperti ini hendaknya bisa di tangani secara gotong royong antara
perangkat desa adat dengan perangkat kedinasan. Penanganan bareng kasus seperti ini bukanlah
tindakan yang keliru mengingat bahwa menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat adat
adalah tugas bersama. Dan dari mediasi yang dilakukan Pemrintah terhadap kasus Pan Sini
diharapkan dapat terselesaikan dengan baik sehingga Pan sini sebagai bagian dari angota
masyarakat tetap mendapat perlindungan hukum dan pada akhirnya Pan Sini bisa kembali di trima
di masyarakat.

KESIMPULAN

            Dari pembahasan tersebut diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Sanksi pamidanda memang sangat diperlukan dengan tujuan bersifat mendidik dan
introsepeksi diri agar kemudian hari tidak terhulang kasus serupa atau kasus-kasus yang lain.
2. Banyaknya kasus adat yang terjadi akhir-akhir ini sudah sewajarnya keberadaan adat di Bali
ditinjau secara menyeluruh oleh segenap komponen adat untuk mencari solusi terbaik mengingat
telah banyak terjadi pergeseran pola hidup,cara hidup. Apalagi masyarakat di Bali sudah terlanjur
mempublikasikan konsep trihita karana sebagai landasan hidup.
3. Kasus Pan Sini hendaknya dijadikan pelajaran dan contoh yang tidak perlu ditiru karena
berdampak iidak baik bagi citra masyarakat Bali yang terkenal sangat ramah dan sopan. Dan mari
kita implementasian ajaran tri hita karana dalam kehidupan sehari-hari.
http://wirasusana.blogspot.co.id/2010/01/contoh-kasus-adat.html
Peristiwa hamil diluar nikah yang dialami oleh seorang gadis (AS) asal Desa Temesi Gianyar dan gagal
meminta pertanggungjawaban dari seorang pria (GS) membawa konsekuensi kejadian ini berlanjut ke jalur
Hukum dan delik Adat. AS dan keluarga yang gagal menuntut pertanggungjawaban dari si pria, membawa
masalahnya ke ranah hukum pidana dalam persindangan. Dari sanksi adat tersebut  juga diterapkan oleh
masyarakat Desa Temesi, bagaimana supaya AS mengembalikan keseimbangan di desa yang dianggap
tercemar karena telah ada seorang wanita yang lahir diluar nikah.

Berdasarkan kasus delik adat diatas, bandingkanlah pemidanaan menurut Kaidah-kaidah dalam Hukum
Pidana (KUHP) dengan pemidanaan dalam Hukum Adat

ANALISA

Jika kita menilik dari kasus hukum yang terjadi kepada gadis yang berinisial AS tersebut atas perbuatan yang
dilakukannya bersama kekasihnya yang berinisial GS, maka untuk kasus hukum dalam KUHP kita adalah tidak
dapat dipidana. Hal ini dikarenakan bahwa orang dewasa yang melakukan perbuatan tersebut dengan
kesadaran penuh, maka tidak dapat melakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut.

Namun, akan berbeda kasusnya jika salah satu dari keduanya telah terikat dalam ikatan perkawinan. Jika
kasus tersebut dalam suatu ranah perkawinan maka perbautan tersebut dapat dipidana, karena hal yang
dilakukan adalah sebuah perselingkuhan yang dapat dijerat dengan delik pidana mukah (perzinahan), jika
terdapat pengaduan yang resmi dari salah satu atau kedua belah pihak. Delik mukah (zina) dapat dilihat di
pasal 284 KUHP.

Perbandingannya dengan Delik Adat disini adalah jika ada gangguan dalam kehidupan masyarakat hukum
adat karena sifatnya yang komunal dan religiomagis tersebut, maka gangguan terhadap keseimbangan hidup
mereka, harus dipulihkan. Gangguan ini umumnya dikenal dengan delik adat umum dikenal dengan delik adat
atau pelanggaran adat.

Delik yang paling berat menurut hukum adat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan
antara dunia lahir dan dunia gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan masyarakat, misalnya
perbuatan penghianatan, delik terhadap diri pribadi kepala adat. Karena dalam tiap-tiap pelanggaran hukum,
para petugas hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk membetulkan kembaliperimbangan
hukum. Tindakan atau upaya (pertahanan adat atau adat reaksi) yang diperlukan mungkin hanya berupa
hukuman untuk membayar sejumlah uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti kerugian.
(soepomo : 1976 : 114)

Pendechten van Het Adatrecht bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik
(adatstrafrecht) dan yang diterbitkan pada tahun 1936 menyebutkan beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai
berikut :

1. Pengganti kerugian (immateril) dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan.

2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.

3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib.

4. Penutup malu, permintaan maaf.


5. Berbagai hukuman badan hingga hukuman mati.Pengasingan dari masyarakat serta meletekkan orang diluar tata
hukum.

Hal tersebut diatas merupakan salah satu dari tujuan koreksi adat dari segala tindakan yang menetralisir
pelanggaran-pelanggaran hukum itu sendiri. Koreksi adat ini adalah suatu tindakan untuk memulihkan
perimbangan hukum dan perimbangan hukum ini meliputi pula perimbangan antara lahir dan dunia gaib.
http://kangrushend.blogspot.co.id/2013/07/Contoh-kasus-Delik-Hukum-Adat.html

Anda mungkin juga menyukai