Resume ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah
Hukum Tata Negara pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam
Prodi Hukum Tata Negara Kelompok 3 Semester 4
Dosen Pengajar:
Dr. Andi Sugirman, S.H.,M.H
OLEH :
TASYA RIFKA FATIHA
NIM. 742352019069
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
KONSTITUSI SEBAGAI OBJEK KAJIAN HUKUM TATA NEGARA
A. Sejarah Konstitusi
1. Terminologi Klasik: Constitutio, Politeia, dan Nomoi
Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani
Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan
kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan constitutio itulah awal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara
kedua istilah dalam sejarah. Dari kedua istilah itu, kata politeia dari kebudayaan
Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas
mencakup: "all the innumerable characteristics which determine that state's
peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as
matters governmental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive
term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word “constitution'
when we speak generally of a man's constitution or of the constitution of matter".
2. Warisan Yunani Kuno (Plato dan Aristoteles)
Dalam bukunya, Outlines of Historical Jurisprudence, Sir Paul
Vinogradoff berpendapat: "The Greeks recognized a close analogy between the
organization of the State and the organism of the individual human being. They
thought that the two elements of body and mind, the former guided and governed
by the latter, had a parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and
the ruled”.
Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme
manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat perhatian
(center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof Yunani
Kuno.Dalam bukunya The Laws (Nomoi), Plato menyebutkan bahwa “Our whole
state is an imitation of the best and noblest life”. Isocrates dalam bukunya
Panathenaicus ataupun dalam “Areopagiticus” menyebut bahwa “the politeia is
the ‘soul of the polis' with power over it like that of the mind over the body”.
Keduanya sama-sama menunjuk kepada pengertian konstitusi.
3. Warisan Cicero (Romawi Kuno)
Salah satu sumbangan penting filosof Romawi, terutama setelah Cicero
mengembangkan karyanya “De Re Publica” dan “De Legibus”, adalah pemikiran
tentang hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan
sebelumnya oleh para filosof Yunani. Bagi para filosof Romawi, terutama Ulpian,
Cicero menjelaskan sebagai berikut:
"a ruler's will actually is law, a command of the emperor in due form is a lex. Any
imperial constitution, like a senatus consultum, should have the place of a lex
(legis vicem optineat), because the Emperor himself receives his imperium by
virtue of a lex (per legem).
BAB III
SUMBER HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian Sumber Hukum
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law.
Perkataan "sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dari perkataan "dasar hukum”,
"landasan hukum”, ataupun “payung hukum”. Dasar hukum ataupun landasan
hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu norma hukum yang mendasari
suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau
dapat dibenarkan secara hukum. Sementara itu, perkataan “sumber hukum” lebih
menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal-muasal suatu nilai atau norma
tertentu berasal.
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan bahwa:'
(1) sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan
peraturan perundang-undangan; (2) sumber hukum terdiri atas sumber hukum
tertulis dan sumber hukum tidak tertulis; (3)sumber hukum dasar nasional adalah
(i) Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan
Indonesia dan Kerakyatanyan Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan /Perwakilan, serta dengan mewujudkan sauatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia., dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
2. Sumber Hukum Tata Negara
Seperti dikemukakan di atas, sumber hukum dapat dibedakan antara yang
bersifat formal (source of law in formal sense) dan sumber hukum dalam arti
material (source of law in material sense). Bagi kebanyakan sarjana hukum,
biasanya yang lebih diutamakan adalah sumber hukum formal, baru setelah itu
sumber hukum materiil apabila hal itu memang dipandang perlu. Sumber hukum
dalam arti formal itu adalah sumber hukum yang dikenali dari bentuk formalnya.
Dengan mengutamakan bentuk formalnya itu, sumber norma hukum itu haruslah
mempunyai bentuk hukum tertentu yang bersifat mengikat secara hukum.
Oleh karena itu, sumber hukum formal itu haruslah mempunyai salah satu bentuk
antara lain:
a. bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi tertentu (regels);
b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang mengikat antarpara pihak
(contract, treaty);
C. bentuk putusan hakim tertentu (vonnis); atau
d. bentuk-bentuk keputusan administratif (beschikking) tertentu dari pemegang
kewenangan administrasi negara. Khusus dalam bidang ilmu hukum tata negara
pada umumnya (verfassungsrechtslehre), yang biasa diakui sebagai sumber
hukum adalah:
1) undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan tertulis;
2) yurisprudensi peradilan;
3) konvensi ketatanegaraan atau constitutional conventions;
4) hukum internasional tertentu; dan 5) doktrin ilmu hukum tata negara tertentu.
3. Contoh Sumber Hukum Tata Negara Inggris
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan di sini pendapat A.W. Bradley
dan K.D. Ewing mengenai sumber hukum tata negara Inggris (the sources of
constitutional law in Britain) yang menurutnya sama saja dengan sumber hukum
pada umumnya. Perbandingan ini penting karena berbeda dengan negara-negara
lain, Inggris dikenal tidak memiliki naskah.
4. Sumber Hukum Primer, Sekunder, dan Tertier
Dalam penelitian hukum dikenal pula adanya istilah sumber primer,
sekunder, dan tertier. Pengertian sumber di sini lebih konkret sifatnya, yaitu
sumber fisik dari mana suatu norma hukum (norm) dikutip atau diambil untuk
diterapkan dalam menilai sesuatu fakta (feit). Pengertian sumber dalam arti
demikian pada umumnya dianggap penting, baik dalam dunia teori maupun
praktik, untuk menjamin bahwa pengutipan norma dilakukan dengan benar.
Kualifikasi sumber hukum itu menjadi penting untuk menentukan derajat
keterpercayaan atau tingkat kebenaran referensi atau perujukannya. Oleh sebab
itu, kategori sumbernya dibedakan antara sumber primer yang mempunyai nilai
keterpercayaan paling tinggi karena sifatnya yang langsung dengan sumber
sekunder melalui perantara. Demikian pula dengan sumber yang tingkat
keterpercayaannya paling rendah, yaitu sumber tertier dengan lebih banyak
perantara.
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia
1. Sumber Materiil dan Formil
Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum dalam perumusan sila-sila
Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945.
Sebagai pandangan hidup bangsa dan falsafah bernegara, Pancasila itu merupakan
sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus
dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia.
Oleh karena itu, hukum Indonesia haruslah berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa,
bersifat kerakyatan, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang berlaku,
apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, bahwa setiap peraturan hukum yang bertentangan dengan
pancasila tidak boleh berlaku.
2. Peraturan Dasar dan Norma Dasar
Seperti dikemukakan oleh O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia
Leopold dalam “The constitutional law of a state is the law relating to the
constitution of that state”, maka penting sekali untuk memahami hukum, negara,
dan konstitusi secara bersamaan. Hukum sendiri diakui tidak mudah untuk
didefinisikan. H.L.A. Hart sendiri menyatakan bahwa mengenai apa itu hukum
merupakan pertanyaan yang senantiasa diajukan di sepanjang sejarah umat
manusia. Menurutnya, “it is a persistent question" yang selalu diajukan dari waktu
ke waktu.
Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, kita memusatkan perhatian
hanya kepada hukum dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum negara (state law),
hukum kota (municipal law), hukum desa (village law), dan sebagainya.
3. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi
norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh
legislator maupun oleh regulator atau lembagalembaga pelaksana undang-undang
yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan
peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku seperti:
1) Undang –undang (UU)
2) Perpu ( Peraturan Pemerintah Pengganti UU)
3) Ketetapan MPR/S
4) Peraturan Pemerintah
5) Peraturan Presiden
6) Peraturan Derah (Perda)
7) Peraturan Pelaksanaan Lainnya
BAB IV
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA
A. Penafsiran dan Atanomi Metode Tafsir
Penafsiran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam hukum dan
ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang
terkandung dalam teks-teks hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-
kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret. Di
samping itu, dalam bidang hukum tata negara, penafsiran judicial interpretation
(penafsiran oleh hakim), dapat berfungsi sebagai metode perubahan konstitusi
dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki makna yang terdapat dalam
suatu teks undang-undang dasar. Seperti dikemukakan oleh K.C. Wheare, undang-
undang dasar dapat diubah melalui: (i) formal amendment; (ii) judicial
interpretation; dan (iii) constitutional usage and conventions.
Arief Sidharta telah menguraikan adanya sembilan teori penafsiran yang
berbeda penggambarannya. Kesembilan teori penafsiran tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Teori penafsiran letterlijk atau harfiah (what does the word mean?)
2) Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa (what does it
linguistically mean?)
3) Teori penafsiran historis (what is historical bakground of the
formulation of a text)
4) Teori penafsiran sosiologis
5) Teori penafsiran sosio-historis
Selain kesembilan teori penafsiran tersebut,dapat pula
dikemukakan adanya pendapat Utrecht mengenai metode
penafsiran Undang-undang yaitu:
1) Penafsiran menurut arti kata atau istilah
2) Penafsiran historis
3) Penafsiran sistematis
4) Penafsiran sosiologis
5) Penafsiran autentik atau resmi
Dari berbagai pendapat para sarjana yang digambarkan oleh
para sarjana yaitu sebagai berikut:
1) Metode penafsiran letterlijk atau literal
2) Metode penafsiran gramatikal ( bahasa )
3) Metode penafsiran restriktif
4) Metode penafsiran ekstwnsif
5) Metode penafsiran
BAB V
PRAKTIK HUKUM TATA NEGARA
A. Pergeseran Orientasi Politis ke Teknis
Selama lebih dari 50 tahun sejak Indonesia merdeka, atau tepatnya dari
1945 sampai 1998 ketika terjadinya reformasi nasional (53 sejak
kemerdekaan), bidang ilmu hukum tata negara atau constituonal law agak
kurang mendapat pasaran di kalangan mahasiswa di Indonesia.
Penyebabnya ialah bahwa selama kurun waktu tersebut, orientasi bidang
studi hukum tata negara ini sangat dekat dengan politik sehingga siapa saja
yang berminat menggelutinya sebagai bidang kajian yang rasional, kritis,
dan objektif, dihadapkan pada risiko politik dari pihak penguasa yang
cenderung sangat otoritarian. Selama masa pemerintahan Presiden
Soekarno dan Presiden Soeharto, siklus kekuasaan mengalami stagnasi
sehingga dinamika demokrasi tidak dapat tumbuh dengan sewajarnya yang
memungkinkan berkembangnya pandangan-pandangan kritis mengenai
persoalanpersoalan politik ketatanegaraan. Akibatnya, menjadi sarjana
hukum tata negara bukanlah cita-cita yang tepat bagi kebanyakan generasi
muda.
B. Praktik Peradilan Tata Negara
1. Peradilan Tata Negara
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dengan terbentuknya Mahkamah
Konstitusi, bidang kajian hukum tata negara mendapatkan lahan praktik
yang sangat efektif dan berarti. Jika hukum tata negara dilihat secara luas
mencakup bidang hukum administrasi negara, maka sebenarnya lahan
praktik peradilan tata negara itu mencakup peradilan tata negara di
Mahkamah Konstitusi dan peradilan tata usaha negara di Mahkamah
Agung serta badan-badan peradilan tata usaha negara yang ada di
bawahnya. Namun, apabila peradilan tata negara itu kita persempit
maknanya dengan tidak mencakup peradilan tata usaha negara yang
dilembagakan secara tersendiri di dalam lingkungan Mahkamah Agung,
maka peradilan tata negara dimaksud dapat kita kaitkan dengan fungsi
Mahkamah Konstitusi dan fungsi tertentu dari Mahkamah Agung.
2. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang
Pihak yang berhak mengajukan permohonan pengujian undangundang
adalah: (i) perorangan atau kelompok warga negara; (ii) kesatuan
masyarakat hukum adat yang masih hidup, sesuai dengan perkembangan
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang; (iii) badan hukum privat atau badan hukum publik; atau
(iv) lembaga negara." Syarat-syarat yang harus dipenuhi menurut UU No.
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah bahwa keempat
subjek hukum tersebut dapat membuktikan dirinya mempunyai hak atau
kewenangan konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang atau ketentuan undang-undang yang bersangkutan
3. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara
Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan-
kewenangan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang dasar
berkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam
UUD 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-
fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan tampak jelas bahwa
organ-organ yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional
dimaksud sangat beraneka ragam. State institutions atau staatsorgan dapat
dibedakan dari organisasi civil society atau badan-badan usaha dan badan
hukum lainnya yang bersifat perdata. Organ yang bergerak di lapangan
civil society biasa disebut organisasi nonpemerintah (Ornop), lembaga
swadaya masyarakat (LSM), atau organis…
4. Pembubaran Partai Politik
Partai politik (parpol) dan pemilihan umum (pemilu) merupakan pilar atau
tiang utama demokrasi. Rumah dan bangunan demokrasi akan runtuh
apabila partai politik dan pemilu tidak sehat dan kuat. Partai politik
(parpol) juga merupakan cermin kemerdekaan berserikat (freedom of
association) dan berkumpul (freedom of assembly) sebagai perwujudan
adanya kemerdekaan berpikir dan berpendapat (freedom of thought) serta
kebebasan berekspresi (freedom of expression). Oleh karena itu,
kemerdekaan berserikat dalam bentuk partai politik sangat dilindungi oleh
setiap undang-undang dasar negara demokrasi konstitusional
(constitutional democracy) atau negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat).
5. Perselisihan Hasil Pemilu
Hasil pemilihan umum merupakan hasil dari suatu kompetisi politik
antarpeserta pemilihan umum. Kualitas demokrasi sangat tergantung
kepada kualitas hasil pemilihan umum, dan kualitas hasilnya tergantung
pula pada kualitas proses penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri.
Oleh sebab itu, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Pemilihan
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
setiap lima tahun sekali". Jika sebelum asas pemilihan umum hanya
ditentukan harus langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber), maka
sekarang ditambah dengan dua asas lagi, yaitu jujur dan adil.
6. Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kewenangan lain yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalah peradilan
atas tuntutan pemberhentian atau pemakzulan Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Menurut ketentuan Pasal 7A "UD 1945 yaitu:
"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
7. Kebutuhan akan Sarjana Hukum Tata Negara
Dalam keseluruhan aspek peradilan di kelima bidang perkara tersebut di
atas, cukup banyak pihak yang terlibat dan harus
dilibatkan. Memang jumlah hakim konstitusi hanyalah sembilan orang.
Akan tetapi, di samping para hakim, juga dibutuhkan pula banyak tenaga
ahli yang bersifat pendukung. Lagi pula, karena periodisasi masa kerja
hakim konstitusi bersifat terbatas, yaitu lima tahunan, terbuka peluang
untuk terjadinya pergantian hakim pada setiap lima tahun sekali.20
Artinya, perlu dipersiapkan calon-calon hakim konstitusi yang mumpuni
dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan negara dan masalah-
masalah ketatanegaraan yang timbul dalam praktik.
BAB VI
ORGAN DAN FUNGSI KEKUASAAN NEGARA
A. Pembatasan Kekuasaan
1. Fungsi-fungsi Kekuasaan
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut legal
state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman
disebut rechtsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of
law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-
sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh
karena itu, konsep negara hukum juga disebut sebagai negara konstitusional atau
constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks
yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan
istilah constitutional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum.Menurut Montesquieu, dalam bukunya
“L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi
kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai
pembuat undang-undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang melaksanakan; dan (iii)
kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Montesquieu inilah
dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif
(the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan
yudisial (the judicial function).
Sebelumnya, John Locke juga membagi kekuasaan negara dalam tiga
fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan
negara itu meliputi:
1) fungsi legislatif;
2)fungsi eksekutif;
3) fungsi federatif.
Mirip dengan itu, sarjana Belanda, van Vollenhoven membagi fungsi
kekuasaan juga dalam empat fungsi, yang kemudian biasa disebut dengan "catur
praja”, yaitu:
1) Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif
menurut Montesquieu;
2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;
3) Rechtspraak (peradilan); dan
4) Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam
masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.
2. Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan
Seperti diuraikan di atas, persoalan pembatasan kekuasaan (limitation of power)
berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dan teori
pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power). Penggunaan
istilah, division of power, separation of power, distribution of power, dan
allocation of power, memiliki nuansa yang sebanding dengan pembagian
kekuasaan, pemisahan kekuasaan, pemilahan kekuasaan, dan distribusi kekuasaan.
Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) atau
pembagian kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengantrias politica-
nya. Namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para
ahli berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.
3. Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Di samping terkait dengan persoalan pemisahan kekuasaan (separation of
power) dan pembagian kekuasaan (division of power), pembatasan kekuasaan
juga dikaitkan dengan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan. Menurut
Hoogerwarf, desentralisasi merupakan pengakuan atau penyerahan wewenang
oleh badan-badan publik yang lebih tinggi kepada badan-badan publik yang lebih
rendah kedudukannya untuk secara mandiri dan berdasarkan kepentingan sendiri
mengambil keputusan di bidang pengaturan (regelendaad) dan di bidang
pemerintahan (bestuursdaad).
Namun, secara umum, pengertian desentralisasi itu sendiri biasanya
dibedakan dalam tiga pengertian, yaitu: 1)desentralisasi dalam arti dekonsentrasi;
2) desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan;
3) desentralisasi dalam arti devolusi atau penyerahan fungsi dan kewenangan.
Desentralisasi dalam pengertian dekonsentrasi merupakan pelimpahan
beban tugas atau beban kerja dari pemerintah pusat kepada wakil pemerintah
pusat di daerah tanpa diikuti oleh pelimpahan kewenangan untuk mengambil
keputusan. Sebaliknya, desentralisasi dalam arti pendelegasian kewenangan
(transfer of authority) berisi penyerahan kekuasaan untuk mengambil keputusan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau unit organisasi
pemerintahan daerah yang berada di luar jangkauan kendali pemerintah pusat.
Sementara itu, desentralisasi dalam arti devolusi merupakan penyerahan fungsi
pemerintahan dan kewenangan pusat kepada pemerintahan daerah.
B. Cabang Kekuasaan Legislatif
1. Fungsi Pengaturan (Legislasi)
Cabang kekuasaan legislatif adalah cabang kekuasaan yang pertama-tama
mencerminkan kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, pertama-tama adalah untuk
mengatur kehidupan bersama. Oleh sebab itu, kewenangan untuk menetapkan
peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat
atau parlemen atau lembaga legislatif . Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh
para wakil rakyat melalui parlemen, yaitu: (i) pengaturan yang dapat mengurangi
hak dan kebebasan warga negara; (ii) pengaturan yang dapat membebani harta
kekayaan warga negara; dan (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran
oleh penyelenggara negara. Pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat
dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantaraan
wakilwakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.Oleh karena
itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah
fungsi legislasi atau pengaturan.
2. Fungsi Pengawasan (Control)
Seperti dikemukakan di atas, pengaturan yang dapat mengurangi hak dan
kebebasan warga negara, pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan
warga negara, dan pengaturan-pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran
oleh penyelenggara negara, perlu dikontrol dengan sebaik-baiknya oleh rakyat
sendiri. Jika pengaturan mengenai ketiga hal itu tidak dikontrol sendiri oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya di parlemen, maka kekuasaan di tangan pemerintah dapat
terjerumus ke dalam kecenderungan alamiahnya sendiri untuk menjadi sewenang-
wenang. Oleh karena itu, lembaga perwakilan rakyat diberikan kewenangan untuk
melakukan kontrol dalam tiga hal itu, yaitu: (i) kontrol atas pemerintahan (control
of executive); (ii) kontrol atas pengeluaran (control of expenditure); dan (iii)
kontrol atas pemungutan pajak (control of taxation).
3. Fungsi Perwakilan (Representasi)
Fungsi parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat yang paling pokok
sebenarnya adalah fungsi representasi atau perwakilan itu sendiri. Lembaga
perwakilan tanpa representasi tentulah tidak bermakna sama sekali. Dalam
hubungan itu, penting dibedakanantara pengertian representation in presence dan
representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan
yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian keterwakilan
yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila
secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga
perwakilan rakyat. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri
baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat
rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian
dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang
bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar
diperjuangkan sehingga memengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh
parlemen.
4. Fungsi Deliberatif dan Resolusi Konflik
Dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, maupun perwakilan,
di dalam parlemen atau lembaga legislatif selalu terjadi perdebatan antaranggota
yang mewakili kelompok dan kepentingan yang masing-masing memiliki
pertimbangan yang berbeda-beda dalam memahami dan menyikapi suatu
permasalahan. Menurut Friedrich, fungsi parlemen yang pokok justru adalah
fungsi representatif dan deliberatif.
Dalam setiap pembuatan aturan (rule making), selalu dilakukan
pembahasan, baik antaranggota maupun dengan perwakilan pemerintah. Hal yang
sama juga terjadi dalam menjalankan fungsi pengawasan dan budgeting yang
biasa dimiliki oleh lembaga perwakilan.
BAB VII
HAK ASASI MANUSIA DAN MASALAH KEWARGANEGARAAN
A. Hak Asasi Manusia
1. Selintas Sejarah HAM
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara
universal sebagai a moral, political, and legal framework and as a guideline dalam
membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan
serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum,
jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus
ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan
selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum
dengan tegas dalam undang-undang dasar atau konstitusi tertulis negara
demokrasi konstitusional (constitutional democracy), dan dianggap sebagai materi
terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya,
seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara dan
mekanisme hubungan antarlembaga negara.Namun, sebelum sampai ke tahap
perkembangannya yang sekarang, baik yang dicantumkan dalam berbagai piagam
maupun dalam naskah undang-undang dasar berbagai negara, ide hak asasi
manusia itu sendiri telah memiliki riwayat yang panjang.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia
banyak dipengaruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para arjana, seperti John
Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke skenal sebagai peletak dasar bagi
teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J.
Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang
biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contrat social).
Perbedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa ka teori
Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut," teori John Locke menghasilkan
monarki konstitusional.
2. Gagasan HAM Dalam UUD 1945
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000,
hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi
manusia. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia
itu adalah:
1) Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
2) Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan";
3) Pasal 28 yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang";
Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya satu ketentuan
saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi
manusia, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan, 'Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'.
3. HAM Dalam UUD 1945 Pascareformasi
Sekarang, setelah Perubahan Kedua UUD 1945 pada 2000, ketentuan
mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang sangat mendasar.Materi yang semula hanya berisi
tujuh butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan
konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat
signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah
Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal
28), ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Oleh
karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik
Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai
salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang
memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Setelah Perubahan Kedua pada 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-
hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai
ketentuan yang terdapat dalam undangundang yang berkenaan dengan hak asasi
manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir
ketentuan. Di antara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapathak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun atau
nonderogable rights, yaitu:
1) hak untuk hidup;
2) hak untuk tidak disiksa;
3) hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4) hak beragama;
5) hak untuk tidak diperbudak;
6) hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
C. Warga Negara dan Kewarganegaraan 1. Warga Negara dan Penduduk
Seperti dikemukakan oleh para ahlisudah menjadi kenyataan vang berlaku
umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi sekurang-
kurangnya tiga syarat, yaitu adanya wilayah, adanya rakyat yang tetap, dan
pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan satu sama jain. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin
suatu negara dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk menyatakan
adanya negara tanpa rakyat yang tetap. Di samping itu, meskipun kedua syarat
wilayah (territory) dan rakyat telah dipenuhi, apabila pemerintahannya bukan
pemerintahan yang berdaulat yang bersifat nasional, belumlah dapat dinamakan
negara tersebut suatu negara yang merdeka. Hindia Belanda dahulu memenuhi
syarat yang pertama, yaitu wilayah dan rakyat, tetapi pemerintahannya adalah
pemerintahan jajahan yang tunduk kepada Pemerintah Kerajaan Belanda, maka
Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai satu negara yang merdeka.
2. Prinsip Dasar Kewarganegaraan
a. Asas Ius Soli dan Ius Sanguinis
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga
asas kewarganegaraan, yaitu asas ius soli, asas ius sanguinis, dan asas campuran.
Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama ialah asas ius soli dan
ius sanguinis.?? Asas ius soli ialah bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan
menurut tempat kelahirannya. Untuk mudahnya asas ius soli dapat juga disebut
asas daerah kelahiran. Seseorang dianggap berstatus sebagai warga negara dari
Negara A karena ia dilahirkan di Negara A tersebut. Sementara itu, asas ius
sanguinis dapat disebut sebagai asas keturunan atau asas darah.
b. Bipatride dan Apatride
Seperti diuraikan di atas, setiap negara berhak menentukan asas mana
yang hendak dipakai untuk menentukan siapa yang termasuk warga negara dan
siapa yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola
pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu
negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau
pertentangan hukum.
C. Sistem Campuran dan Masalah Dwi-Kewarganegaraan
Seperti sudah diuraikan di atas, asas yang dikenal dalam kewarganegaraan
adalah ius soli dan ius sanguinis. Pada umumnya, satu negara hanya menganut
salah satu dari kedua asas ini. Akan tetapi, karena tidak semua negara menganut
asas yang sama, dapat timbul perbedaan yang mengakibatkan terjadinya keadaan
apatride atau bipatride. Keadaan tanpa kewarganegaraan atau apatride jelas harus
dihindari dan diatasi. Akan tetapi, kadang-kadang ada negara yang justru
membiarkan atau bahkan memberi kesempatan kepada warganya untuk berstatus
dwi-kewarganegaraan. Kadang-kadang hal ini terjadi, antara lain, karena asas
kewarganegaraan yang dianut bersifat campuran.Misalnya, India dapat dikatakan
mengatur asas ius soli, tetapi pada saat yang sama juga mengakui asas ius
sanguinis. Oleh karena itu, India menerapkan ketentuan perolehan status
kewarganegaraan berdasarkan tanah kelahiran (citizenship by birth) dan sekaligus
menurut garis keturunan (citizenship by descent)
BAB VIII
PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM
A. Partai Politik
1. Partai dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat
penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung
yang sangat strategis antara prosesproses pemerintahan dengan warga negara.
Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya
menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), "Political
parties created democracy". Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang
sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of
institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh
Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms
of the parties."Dalam hal ini, yang perlu dilihat adalah seberapa jauh organisasi
kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil
mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan
konstituennya
2. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuwan politik biasa menggambarkan adanya 4
empat fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam
Budiardjo, meliputi sarana: (i) komunikasi politik; (ii) sosialisasi politik (political
socialization); (iii) rekruitmen politik (political recruitment); dan (iv) pengatur
konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp,
fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi; (ii) sarana
pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns); (iii) sarana
rekrutmen politik; dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
3. Kelemahan Partai Politik
Adanya organisasi itu, tentu dapat dikatakan juga mengandung beberapa
kelemahan. Di antaranya ialah bahwa organisasi cenderungbersifat oligarkis.
Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik, kadang-kadang bertindak
dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam
kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Robert Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku
dalam organisasi bahwa: “Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas
para pemilihnya, antara si mandataris dengan si pemberi mandat dan antara si
penerima kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja yang berbicara tentang
organisasi, maka sebenarnya ia berbicara tentang oligarki".
B. Pemilu dan Kedaulatan Rakyat
1. Pemilu Berkala
Seperti dikemukakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam
paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik
dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatunegara.Rakyatlah yang
menentukan corak dan cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang
menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.
Dalam praktik, sering dijumpai bahwa di negara yang jumlah penduduknya
sedikit dan ukuran wilayahnya tidak begitu luas saja pun, kedaulatan rakyat itu
tidak dapat berjalan secara penuh. Apalagi di negara-negara yang jumlah
penduduknya banyak dan dengan wilayah yang sangat luas, dapat dikatakan tidak
mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang demi seorang dalam
menentukan jalannya suatu pemerintahan.
2. Tujuan Pemilihan Umum
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan penyelenggaraan
pemilihan umum itu ada 4 empat, yaitu:
a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara
tertib dan damai;
b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan
d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
C. Sistem Pemilihan Umum
1. Sistem Pemilu Mekanis dan Organis
Karena pemilihan umum merupakan salah satu cara untuk menentukan
wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, dengan
sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum
berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut
kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk
menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil
rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama
sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya di lembaga
perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil
rakyat.
2. Sistem Distrik dan Proporsional
Sistem yang lebih umum, dan karena itu perlu diuraikan lebih rinci, adalah
sistem pemilihan yang bersifat mekanis. Sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua
cara, yaitu:
1) perwakilan distrik/mayoritas (single member constituencies); dan
2)perwakilan berimbang (proportional representation).
Judul Buku 2 : Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks
Penerbit : DEEPUBLISH
1
Otong Rosadi, Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), hal. 2-5.
Hukum Tata Negara (staatrecht) saja. Karena Hukum Administrasi
Negara atau Hukum Tata Usaha Negara merupakan bidang kajian ilmu
hukum yang tersendiri.
Sementara itu, Kusumadi Pudjosewojo mempunyai pendapat
yang berbeda dalam hal memberikan pembagian atau penggolongan
hukum. Ia membedakan lapangan hukum di Indonesia itu terdiri dari
Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha, Hukum Perdata, Hukum
Dagang, Hukum Pidana dan Hukum Acara.2
C. Unsur-Unsur dan Ruang Lingkup Hukum Tata Negara (Fokus)
Menurut Logemann, ilmu Hukum Tata Negara dalam arti sempit
menyelidiki hal-hal sebagai berikut:
1. Jabatan-Jabatan apa yang terdapat di dalam susunan kenegaraan
tertentu;
2. Siapa yang mengadakannya;
3. Bagaimana cara memperlengkapi mereka dengan pejabat-pejabat;
4. Apa yang menjadi tugasnya (lingkungan pekerjaannya);
5. Apa yang menjadi wewenangnya;
6. Perhubungan kekuasaannya satu sama lain;
7. Dalam batasan-batasan apa organisasi negara (dan bagian-
bagiannya) menjalankan tugasnya.
Ruang lingkup ilmu Hukum Tata Negara yang penulis rumuskan,
maka yang dimaksud dengan unsur-unsur Hukum Tata Negara adalah
sebagai berikut:
a) Organisasi negara adalah susunan organisasi Negara; bentuk
negara, sistem pemerintahan, pembagian wilayah/daerah, macam-
macam lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun dalam
bagian wilayah/daerahnya;
b) Hubungan antarorganisasi negara adalah mengenai tugas dan
wewenang lembaga negara baik di tingkat pusat melalui
2
Otong Rosadi, Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), hal. 5-7.
pembagian kekuasaan horisontal (Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif, serta lembaga kenegaraan lainnya) maupun di tingkat
wilayah/daerah (pembagian vertical) serta hubungan antar lembaga
negara yang satu dengan yang lain. Termasuk dalam kategori ini
bahasan tentang Pemerintahan Daerah;
c) Hubungan antar negara dengan penduduk dan warga
negaranya adalah hubungan antar negara/pemerintah dengan
warga dan penduduknya. Misalnya pengaturan tentang hak dan
kewajiban warga negara, dan hak penduduknya. Termasuk dalam
pembahasan ini adalah syarat-syarat warga negara, civic hukum
(kewarganegaraan), sistem kepartaian (partai politik), dan sistem
pemilihan umum.3
D. Sumber-Sumber Hukum Tata Negara
1. Sumber Hukum pada Umumnya
Menurut Bagir Manan, salah aspek penting dalam pengajaran
ilmu hukum adalah mengenai sumber-sumber hukum. Penyelidikan
tentang sumber-sumber hukum akan memberi petunjuk tentang
bagaimana dan dimana hukum itu berada.
Menurut tinjauan sejarah, sumber hukum adalah; (a) stelsel hukum
apakah yang memainkan peranan pada waktu hukum yang sedang
berlaku sekarang (hukum positif) diterapkan? (b) kitab-kitab manakah,
dokumen-dokumen manakah, surat-surat manakah dan sebagainy,
yang telah diperhatikan oleh pembuat undang-undang pada waktu
menetapkan hukum yang berlaku sekarang.
Sementara itu, dilihat dari sudut filsafat, sumber hukum
mempunyai pengertian: (a) sumber untuk atau yang menentukan isi
hukum. Sumber hukum adalah ukuran yang dipergunakan untuk
menentukan bahwa isi hukum itu sudah tepat atau baik, benar-benar
3
Otong Rosadi, Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), hal. 10-12.
adil atau sebaliknya; (b) sumber untuk menentukan kekuatan mengikat
suatu kaidah hukum. Mengapa hukum itu ditaati.
Kemudian dari sudut atau tinjauan agama, sumber hukum adalah
ketentuan-ketentuan Allah yang diwahyukan kepada umat manusia
melalui Rasul-Nya. Menurut Islam misalnya sumber hukum yang
paling utama adalah Al-quran berupa wahyu Allah kepada umat
manusia yang disampaikan Rasul Muhammad saw melalui
perantaraan Malaikat Jibril. Sumber Hukum lainnya Sunnah Nabi
Muhammad saw., yaitu setiap ucapan para sahabat Nabi
Muhammad saw. Yang dibenarkan atau diberikan karena benar.
Dalam pandangan Islam Sunnah Nabi Muhammad saw. Pada
dasarnya juga dibimbing oleh Allah Swt. Sumber berikutnya adalah
“Ijma dan Qiyas”.
Sementara itu dalam pandangan ilmu hukum, sumber hukum
dibedakan dalam dua macam, yaitu:
1. Sumber hukum dalam arti materiil dan
2. Sumber hukum dalam arti formal.
Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber yang
menentukan isi atau substansi hukum. Sumber hukum materiil
merupakan faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi
pembentukan hukum.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang
dikenal dari bentuknya, karena bentuknya itu menyebabkan hukum
berlaku umum, diketahui dan ditaati. Yang tergolong kedalam sumber
hukum dalam arti formal adalah hukum perundang-undangan, hukum
adat, hukum kebiasaan, perjanjian internasional, keputusan hakim
(yuridsprudensi), dan doktrin (pandangan pakar hukum).
2. Sumber Hukum Tata Negara
Menurut Usep Ranawijaya, yang penting bagi Hukum Tata
Negara adalah sumber hukum dalam artinya yang kedua, yaitu sumber
hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah Hukum Tata
Negara yang terdapat dalam masyarakat. Dalam bahasa Belanda
sumber hukum ini disebut dengan istilah ‘kenbron’.
Berhubungan dengan hal tersebut, menurut Usep Ranawijaya,
sumber hukum formal atau kenbron tata negara di Indonesia meliputi:
1) Hukum tertulis, yaitu hukum hasil pekerjaan perundang-undangan
dari berbagai badan yang berwenang, dapat berupa Undang-
Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU), Peraturan Pengganti
Undang-Undang (PERPU), Peraturan Pemerintah (PP), perjanjian
politik, traktat, dan lain-lain.
2) Hukum Adat, yaitu hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan sehari-hari yang diakui berlakunya oleh penguasa, baik
yang berasal dari zaman dahulu maupun yang berkembang dewasa
ini. Misalnya peradilan adat, peradilan agama, desa, negeri,
otonomi/desentralisasi, hak ulayat dan lain-lain. Selain itu dikenal
pula ada konvensi ketatanegaraan yaitu praktik ketatanegaraan
yang diakui. Hal ini menurut Usep Ranawijaya berbeda dengan
hukum ketatanegaraan.
3) Yurisprudensi, yaitu kumpulan putusuan pengadilan mengenai
persoalan ketatanegaraan yang setelah disusun secara teratur rapih
memberikan kesimpulan adanya ketentuan hukum tertentu yang
ditemukan dan dikembangkan oleh badan-badan pengadilan.
4) Ajaran-ajaran tentang Hukum Tata Negara yang ditemukan dan
dikembangkan dalam dunia ilmu, sebagai hasil penyelidikan dan
pemikiran seksama.
Sementara itu menurut Bagir Manan, sumber hukum materiil
Hukum Tata Negara adalah sumber hukum yang menentukan isi
kaidah Hukum Tata Negara. Termasuk ke dalam sumber hukum dalam
arti materiil itu misalnya:
1) Dasar dan pandangan hidup bernegara;
2) Kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat
merumuskan kaidah-kaidah Hukum Tata Negara.
Sedangkan yang menjadi sumber hukum dalam arti formal menurut
Bagir Manan terdiri dari:
1) Hukum perundang-undangan ketatanegaraan
2) Hukum adat ketatanegaraan
3) Hukum kebiasaan ketatanegaraan (Konvensi Ketatanegaraan)
4) Yurisprudensi ketatanegaraan
5) Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan
6) Doktrin ketatanegaraan4
E. Teori dan Hukum Konstitusi
1. Istilah Konstitusi
Istilah Konstitusi berasal dari istilah asing Constitution (Inggris),
Constitutie (Belanda), L’Constitution (Prancis) sering kali digunakan
secara bergantian dengan istilah Undang-Undang Dasar yang berasal
dari istilah Grondwet dalam bahasa Belanda dan Grundgrezets dalam
bahasa Jerman.
Kedua istilah tersebut berbeda baik dari istilah aslinya maupun
pada perkembangan awalnya. Konstitusi berasal dari kata Constituer
(Prancis) yang berarti “membentuk” dan “pembentukan”. Yang
dibentuk dalam hal ini adalah negara, maka konstitusi mengandung
permulaan dari segala peraturan mengenai negara.
Mengenai sejak kapan istilah konstitusi ini muncul, tidak ada data
yang pasti, yang jelas pada zaman yunani purba ternyata istilah
konstitusi (secara materiil) sudah dikenal. Sebagai bukti Aristoteles,
membedakan istilah “politiea” dan “Nomoi”. Aristoteles mengartikan
istilah politea sebagai kontitusi dalam pengertian yang kita pahami
sekarang. Sedangkan Nomoi adalah semacam undang-undang seperti
yang kita maksud sekarang.
Sri Soemantri M., pakar Hukum Tata Negara di Indonesia, tidak
membedakan isitilah konstitusi dengan undang-undang dasar. Beliau
4
Otong Rosadi, Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), hal. 20-25.
dalam disertainya secara tegas menyebutkan bahwa “Penulis
menggunakan istilah konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar
(Grondwet).
Kemudian Joeniarto meyebutkan bahwa di Indonesia, terdapat
tiga pengertian dalam penggunaan istilah konstitusi, yaitu sebagai
berikut:
1. Konstitusi dalam arti luas, yang dalam Khazanah kepustakaan
hukum di Indonesia lazim dikenal dengan sebutan “Hukum Tata
Negara”
2. Konstitusi dalam arti sempit lazim disebut “Undang-Undang
Dasar”
3. Pengertian yang ketiga yang pernah disinggung dalam penjelasan
UUD 1945, yaitu “Hukum Dasar”.
2. Fungsi dan Nilai Konstitusi
Miriam Budiardjo mengemukakan beberapa fungsi dari
konstitusi, yaitu sebagai berikut:
1) Bagi yang memandang negara dari sudut kekuasaan (organisasi
kekuasaan), maka konstitusi merupakan kumpulan asas yang
menetapkan bagaimana kekuasaan dalam negara dibagi. Herman
Finner menamakan Undang-Undang Dasar sebagai “riwayat hidup
suatu hubungan kekuasaan” (The Autobiography of a Power
Relationship).
2) Negara yang mendasarkan diri pada demokrasi konstitutional,
undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu
membatasi kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan
negara (kekuasaan) tidak berbuat sewenang-wenang. Dengan
demikian diharapkan hak-hak warga negara lebih terlindung.
Gagasan atau faham pembatasan kekuasaan melalui undang-
undang dasar ini dinamakan “konstitusionalisme”. Menurut Carl J.
Friederich, konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa
pemerintahan merupakan kumpulan kegiatan yang diselenggarakan
oleh dan atas nama rakyat, tetapi dikenakan beberapa pembatasan
yang diharapkan menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan
untuk pemerintahan ini tidak disalah gunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah. Cara pembatasan yang
dianggap paling efektif adalah membagi kekuasaan.
3) Pada negara-negara komunis dulu gagasan konstitusionalisme tidak
dikenal. Undang-undang dasar di negara komunis mempunyai
fungsi ganda, yaitu disatu pihak mencerminkan kemenangan-
kemenangan yang telah dicapai dalam menuju masyarakat komunis
dan pihak lain undang-undang dasarnya memberikan rangka dan
dasar hukum untuk perubahan masyarakat yang dicita-citakan
dalam perkembangan tahap berikutnya.
4) Pada negara-negara baru yang timbul dikawasan Asia dan Afrika
misalnya India, Filipina dan Indonesia, maka keberadaan dari
undang-undang dasar merupakan salah satu atribut kenegaraan
yang melambangkan kemerdekaan yang baru diperoleh. Negara-
negara tersebut, menganggap undang-undang dasar sebagai
dokumen yang mempunyai arti yang khas (konstitusionalisme).
Kemudian dari sudut waktu (fase) dikenal dua fungsi konstitusi,
yaitu sebagai berikut:
1) Fungsi A-Priori (fungsi sebelum negara terbentuk). Pada fungsi ini
konstitusi dipandang sebagai perjanjian masyarakat untuk
membentuk negara;
2) Fungsi A-Posteriori, (fungsi setelah negara terbentuk). Pada fungsi
ini konstitusi dianggap sebagai akte pendirian sebuah negara.5
5
Otong Rosadi, Hukum Tata Negara Indonesia Teks dan Konteks, (Yogyakarta:
Deepublish, 2015), hal. 41-51.