Disusun oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Tugas Hukum Kelembagaan Negara dengan judul HUKUM
KEBENDAAN DAN HUKUM KEWARISAN. Penulisan ini disusun dengan tujuan untuk
melengkapi syarat dalam menyelesaikan Tugas HUKUM KEBENDAAN DAN HUKUM
KEWARISAN Program Studi Strata I Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mpu
Tantular.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka penulis sangat
menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca serta penulis berharap semoga
penulisan ini dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
Hukum Kebendaan dan Hukum Kewarisan.
2
DAFTAR ISI
Contents
JUDUL MAKALAH ........................................................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... 3
BAB I ................................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
A. PENGERTIAN HUKUM KEBENDAAN ...................................................................... 4
1. PENGERTIAN BENDA ................................................................................................... 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
Djaja S. Meliala, 2015, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung :
Nuansa Mulia, hlm. 5.
4
Sofwan juga memberikan pengertian bahwa benda adalah barang yang berwujud
yang dapat ditangkap dengan panca indra, tapi barang yang tak berwujud termasuk
benda juga. Prof. Subekti memberikan pengertian pada perkataan benda (zaak) dalam
arti luas ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, dan perkataan benda
(zaak) dalam arti sempit ialah sebagai barang yang dapat terlihat saja. Prof. L.J.van
Apeldoorn, benda dalam arti yuridis ialah sesuatu yang merupakan obyek hukum.
Hakikat benda (zaak) adalah sesuatu hakikat yang diberikan oleh hukum obyektif.2
2
P.N.H.Simanjuntak, 2015, Hukum Perdata Indonesia : Edisi Pertama, Jakarta : Prenadamedia Group,
hlm.176.
3
Ibid, hlm. 177.
5
kebebasan berkontrak. Namun demikian, berlakunya asas kebebasan berkontrak ini
dibatasi oleh undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.4
4. MACAM-MACAM BENDA
Undang–undang membagi benda dalam beberapa macam, yaitu :5
a. Benda yang dapat diganti, seperti uang dan yang tak dapat diganti, seperti
seekor kuda;
b. Benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang dapat
diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau diluar
perdagangan, seperti jalan–jalan dan lapangan umum
c. Benda yang dapat dibagi, seperti beras dan yang tidak dapat dibagi, seperti
seekor kuda;
d. Benda yang bergerak, seperti perabot rumah dan yang tak bergerak, seperti
tanah;
Pasal 540 KUHPerdata, tiap-tiap kebendaan adalah benda bergerak atau benda
tak bergerak.
a. Benda bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya atau karena
penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya
kendaraan, suratsurat berharga, dan sebagainya. Dengan demikian
kebendaan bergerak ini sifatnya adalah kebendaan yang dapat dipindah atau
dipndahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Menurut Pasal 505 KUHPerdata,
benda bergerak ini dapat dibagi atas benda yang dapat dihabiskan dan benda
yang tidak dapat dihabiskan;
b. Benda tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya, tujuan
pemakaiannya atau karena penetapan undang-undang dinyatakan sebagai
benda tak bergerak, misalnya tanah, bangunan, dan sebagainya;
4
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata Hak Jaminan Atas Tanah : Cet.Pertama, Yogyakarta
: Liberty, hlm. 2.
5
Subekti, 1979, Pokok – Pokok Hukum Perdata : Cet ke. 14, Jakarta : PT. Intermasa, hlm. 50-51.
6
Op.Cit. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hlm. 20.
6
a. Barang–barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang – barang tidak
berwujud (onlichamelijk)
b. Barang–barang yang bergerak dan barang – barang yang tidak bergerak
c. Barang–barang yang dapat dipakai habis (verbruikbaar) dan barang – barang
yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar)
d. Barang–barang yang sudah ada (tegenwoordige zaken) dan barang – barang
yang masih akan ada (toekomstige zaken). Barang yang akan ada dibedakan:
1) Barang–barang yang pada suatu saat sama sekali belum ada,
misalnya panen yang akan datang;
2) Barang–barang yang akan ada relatif, yaitu barang-barang yang pada
saat itu sudah ada, tetapi bagi orang-orang yang tertentu belum ada,
misalnya barangbarang yang sudah dibeli, tetapi belum diserahkan
e. Barang-barang yang dalam perdagangan (zaken in de handel) dan barang-
barang yang diluar perdagangan (zaken buiten de handel).
f. Barang-barang yang dapat dibagi dan barang-barang yang tidak dapat dibagi.
7
Op.Cit, Djaja S. Meliala, hlm. 4-5.
7
g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-Undang Hak Tanggungan,
Fidusia)
h. Benda atas nama dan tidak atas nama (Pasal 613 KUHPerdata jis UUPA dan
PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
8
Op.Cit. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hlm. 36-40.
8
pertama menjadi lenyap. Tetapi, terhadap konsekuensi ini terdapat perlunakan,
yaitu :
1) Adanya milik bersama atas barang yang baru (Pasal 607 KUHPerdata);
2) Lenyapnya benda itu oleh karena usaha pemilk benda itu sendiri, yaitu
terleburnya benda itu dalam benda lain (lihat Pasal 602, 606, 608
KUHPerdata);
3) Pada waktu terleburnya benda, sudah ada perhubungan hukum antara kedua
pemilik yang bersangkutan (lihat Pasal 714, 725, 1567 KUHPerdata);
e. Asas tidak dapat dipisahkan (onsplitsbaarheid) Menurut asas ini, pemilik tidak
dapat memindah-tangankan sebagian daripada wewenang yang termasuk suatu
hak kebendaan yang ada padanya, misalnya pemilik. Jadi, pemisahan daripada
hak kebendaan itu tidak diperkenankan. Namun pemilik dapat membebani hak
miliknya dengan iura in realiena, yaitu pembebasan hak atas benda orang lain.
Ini kelihatannya seperti melepaskan sebagian dari wewenangnya, tetapi hak
miliknya tetap utuh.
f. Asas prioriteit. Menurut asas ini, semua hak kebendaan memberikan wewenang
yang sejenis dengan wewenang-wewenang dari eigendom, sekalipun luasnya
berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diatur urutannya, iura in realiena melekat
sebagai beban atas eigendom. Sifat ini membawa serta bahwa iura in realiena
didahulukan (lihat Pasal 674, 711, 720, 756, 1150 KUHPerdata). Sekarang timbul
pertanyaan, antara iura in realiena yang satu dengan yang lain, mana yang harus
didahulukan? Dalam hal ini, urutannya menurut mana yang lebih dahulu
diadakan. Misalnya, atas sebuah rumah dibebani hipotek dan kemudian dibebani
dengan hak sewa; maka orang yang mempunyai hak sewa atas rumah itu harus
mengalah dengan pemegang hipotek, karena hipotek lebih dahulu diadakan baru
timbul hak sewa. Asas prioriteit ini tidak dikatakan dengan tegas, tetapi akibat
dari asas nemoplus, yaitu bahwa seseorang itu hanya dapat memberikan hak yang
tidak melebihi apa yang dipunyai. Ada kalanya asas ini diterobos. Akibatnya,
urutan hak kebendaan terganggu.
g. Asas percampuran (vermenging) Menurut asas ini, hak kebendaan terbatas
wewenangnya. Jadi, hanya mungkin atas benda orang lain, dan tidak mungkin
atas hak miliknya sendiri. Tidak dapat orang itu untuk kepentingannya sendiri
memperoleh hak gadai, hak memungut hasil atas barangnya sendiri. Jika hak
9
yang membebani dan yang dibebani itu terkumpul dalan satu tangan, maka hak
yang membebani itu menjadi lenyap (lihat Pasal 706, 718, 736, 724, 807
KUHPerdata).
h. Asas perlakuan yang berlainan terhadap benda bergerak dan benda tak bergerak
Asas ini berhubungan dengan penyerahan, pembebanan, bezit dan verjaring
(kadaluwarsa) mengenai benda-benda bergerak (roerend) dan tak bergerak
(onroerend) berlainan. Demikian juga mengenai iura in realiena yang dapat
diadakan. Untuk benda bergerak hak kebendaan yang dapat diadakan adalah hak
gadai (pand) dan hak memungut hasil (vruchtgebruik). Sedang untuk benda tak
bergerak adalah erfpacht, postal, vruchtgebruik, hipotek, dan servituut.
i. Asas publiciteit. Menurut asas ini, benda-benda yang tidak bergerak mengenai
penyerahan dan pembebanannya berlaku kewajiban untuk didaftarkan dalam
daftar (register) umum. Adapun menganai benda yang bergerak, cukup dengan
penyerahan nyata, tanpa pendaftaran dalam register umum
j. Sifat perjanjian. Orang mengadakan hak kebendaan misalnya mengadakan hak
memungut hasil, gadai, hipotek dan lain-lain, itu sebetulnya mengadakan
perjanjian, sifat perjanjiannya disini merupakan perjanjian yang zakelijk, yaitu
perjanjian untuk mengadakan hak kebendaan. Perjanjian yang zakelijk
mengandung pengertian, bahwa dengan selesainya perjanjian, maka tujuan pokok
dari perjanjian itu sudah tercapai, yaitu adanya hak kebendaan. Perjanjian yang
zakelijk berbeda dengan perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata,
yaitu bersifat kausal dan merupakan perjanjian obligatoir. Pada perjanjian
obligatoir, dengan selesainya perjanjian, maka tujuan pokok dari perjanjian itu
belum tercapai dan hak baru beralih jika ada penyerahan lebih dahulu;
9
Op.Cit, Djaja S. Meliala, hlm. 8.
10
Op.Cit, Subekti, hlm. 52.
10
hak-hak kebendaan adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan
langsung atas ssuatu benda, kekuasaan langsung berarti ada terdapat sesuatu
hubungan yang langsung antara orang-orang yang berhak dan benda tersebut.11 Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan menyatakan bahwa hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah
hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas
suatu benda dan dapat dipetahankan terhadap siapa pun juga.12
11
L.J. Van Apeldorn, 1980, Pengantar ilmu Hukum : Edisi terjemhan Mr. Oetarid Sadino : Cet. XVI, Jakarta :
Pradnya Paramita, 214-215.
12
Op.Cit. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hlm. 24.
13
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung : Alumni, hlm. 20.
11
dipergunakan sendiri, sedangkan hak perorangan memberikan wewenang
yang terbatas. Pemilik hak perorangan hanya daopat menikmati apa yang
menjadi haknya. Hak ini hanya dapat dialihkan dengan persetujuan pemilik.
Buku II KUHPerdata juga mengatur hak-hak lain yang bukan merupakan hak
kebendaan, tetapi mempunyai persamaan dengan hak kebendaan karena memberikan
jaminan, seperti Privilage, (hak istimewa), hak retensi, dan hak reklame.
12
c. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka
waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA)
d. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang member
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini (Pasal 41 ayat 1 UUPA)
e. Hak sewa untuk bengunan adalah hak seseorang atau suatu badan hukum
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat 1
UUPA)
f. Hak membukahutan dan memungut hasil hutan adalah hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan yang hanya dapat dipunyai oleh warga Negara
Indonesia. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah,
tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu (Pasal 46 UUPA)
g. Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah hak memperoleh air
untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain
(Pasal 47 ayat 1 UUPA)
h. Hak guna ruang angkasa adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan unsure-
unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air, serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu
(Pasal 48 ayat 1 UUPA)
i. Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial adalah hak milik tanah badan-
badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut
dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan social (Pasal 49 ayat 1 UUPA)
13
8. CARA MEMPEROLEH DAN MEMPERALIHKAN HAK KEBENDAAN
A. BEZIT
Subekti mendefinisikan bezit sebagai suatu keadaan lahir, dimana seseorang
menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum
diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya
ada pada siapa.14 KUHPerdata mendefinisikan bezit dengan kedudukan berkuasa,
yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri
sendiri mupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau
menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (Pasal
529KUHPerdata).
Dari definisi tersebut bahwa, bezit adalah hak seseorang yang menguasai suatu
benda, baik langsung maupun dengan perantaraan orang lain untuk bertindak
seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri. Untuk adanya suatu bezit, haruslah
dipenuhi syarat-syarat, yaitu :
1. Adanya corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan
dengan bendanya
2. Adanya animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda itu harus
dikehendaki oleh orang tersebut Dengan drmikian, untuk adanya bezit harus
ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk
memilikinya benda tersebut. Dalam hal ini, bezit harus dibedakan dengan
“detentie”, dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan hubungan
hukum tertentu dengan orang lain (pemilik dari benda itu). Jadi, seorang
“detentor” tidak mempunyai kemauan untuk memiliki benda itu bagi dirinya
sendiri.
Fungsi bezit
1. Fungsi polisionil, artinya bezit itu mendapat perlindungan hukum, tanpa
mempersoalkan hak milik atas bneda itusebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa
yang mem-bezit seseatu benda, makaia mendapat perlindungan dari hukum
sampai terbukti bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Dengan demikian, bagi
14
Op.Cit, Subekti, hlm. 52.
14
yang merasa haknya dilanggar, maka ia harus meminta penyelesaiannya
melalui polisi atau pengadilan.
2. Fungsi zakenrechtelijk, artinya bezitter yang telah mem-bezit suatu benda dan
telah berjalan untuk beberapa waktu tertentu tanpa adanya protes dari pemilik
sebelumnya, maka bezit itu berubah menjadi hak milik melalui lembaga
verjaring (lewat waktu/daluwarsa).
Menurut Pasal 541 KUHPerdata bahwa segala sesuatu bezit yang merupakan
bezit dari seorang yang telah meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya
dengan segala sifat dan cacat-cacatnya.
Menurut Pasal 593 KUHPerdata orang yang sakit ingatan tidak dapat
memperoleh bezit, tetapi anak yang belum dewasa dan perempuan yang telah
menikah dapat memperoleh bezit.
Hapusnya bezit
Orang bisa kehilangan bezit apabila :15
15
Op.Cit, PNH Simanjuntak, hlm. 187.
15
1. Kekuasaan atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan
maupun karena dimbil oleh orang lain;
2. Benda yang dikuasainya nyata telah ditinggalkan;
Berdasarkan Pasal 542 sampai dengan Pasal 547 KUHperdata, bahwa hapusnya
bezit, karena :
1. Benda tersebut telah beralih ke tangan orang lain
2. Benda tersebut telah ditinggalkan
3. Musnahnya benda, dan
4. Hilangnya benda, karena telah diambil orang lain atau dicuri.
B. Hak Milik
Pasal 570 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak milik adalah hak untuk
menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu
dengan sebebas-bebasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang
untuk itu dan asal tidak mengganggu hak orang lain, kesemuanya dengan tidak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu untuk kepentingan umum,
dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan
undang-undang Dengan demikian dapat diketahui bahwa hak milik memberikan
dua hak dasar kepada pemegangnya, yaitu
1. Hak untuk menikmati kegunaan dari suatu kebendaan, dan
2. Hak untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, yang berarti pemegang hak milik bebas untuk menjual,
menghibahkan, menyerahkan benda yang dimilikinya kepda siapa pun juga,
selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan yang memaksa
dan/atau melanggar kepentingan umum, atau hak-hak orang lain. Termasuk
pula di dalamnya untuk membebankan, meletakkan hak kebendaan lainnya,
menjaminkan, atau menggunakan benda tersebut sebagai jaminan utang.
Di luar kedua hak tersebut, di dalam Pasal 571 dan 574 KUHPerdata memberikan
lagi dua hak kepada pemilik suatu benda, yaitu :
16
1. Untuk benda berupa tanah, hak untuk memanfaatkan tanah tersebut secara
vertical, yaitu untuk memperoleh hak atas tanaman atau bangunan di atasnya,
serta untuk memperoleh harta karun yang terletak di bawah tanah tersebut
2. Hak untuk dipertahankan dalam kedudukannya sebagai pemilik dalan hal
benda tersebut lepas dari penguasaannya (hak revindicatie)
Cara penyerahan :
1. Untuk benda bergerak berwujud (Pasal 612 KUHPerdata)
17
2. Untuk benda bergerak tak berwujud (Pasal 613 KUHPerdata)
3. Untuk benda tidak bergerak (Pasal 616 KUHPerdata)
18
B. PENGERTIAN HUKUM KEWARISAN
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum
kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia
tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Hukum waris di Indonesia
hingga kini masih sangat pluralistik (beragam). Di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni
hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum
dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin terlihat
karena hukum waris adat yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal,
tetapi juga bermacam-macam mengikuti bentuk masyarakat dan sistem
kekeluargaan masyarakat Indonesia.16
Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum kewarisan Islam (hukum faraidh),
pengertian hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir (qadar/ketentuan, dan
pada syara’ adalah bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris. Dengan
demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan
besar kecilnya oleh syara’.17 Menurut Soepomo ditinjau dari hukum adat,
pengertian hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda
“Immateriele Goederen” dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada
keturunannya.18
16
M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan Antara Ajaran Sjafi’I dan Wasiat Wajib di Mesir, tentang Pembagian
Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982,
Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1982, hlm. 154.
17
Abdullah Syah, “Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja Simposium Hukum Waris
Indonesia Dewasa Ini”, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Medan, 1994.
18
Soepomo, 1996, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta : Penerbitan Universitas, hlm. 72.
19
2. Pluralitas Hukum Waris di Indonesia
Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum
waris yang dianut di Indonesia meliputi: Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat,
dan Hukum Waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Berikut
ini paparan mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut :
a. Hukum Waris Adat :19
Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh
persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya
pertama persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan
territorial (berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum teritorial).
Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri terikat
satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama,
sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan
hukum teritorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena
mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.
Persekutuan genelogis disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah
melayu Sumatera. Sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial
dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut
Uma, di Nias disebut Euri di Minangkabau disebut dengana Nagari dan di
Batak disebut Kuria atau Huta. Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula
menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal
(keibuan) dan parental (bapak-ibu).
Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang
merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan
anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang
menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan
suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini
terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan
Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan
anak laki-laki daripada anak perempuan. Sementara matrilineal adalah
19
Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 6.
20
keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah
pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu
persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam
gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam
keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci,
Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan
persekutuannya, matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan
daripada ahli waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada anak perempuan,
anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah. Sedangkan yang terakhir, pertalian
darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua
keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini (bilateral). Golongan
masyarakat inilah yang meletakkan dasar-dasar persamaan kedudukan antar
suami dan isteri di dalam keluarga masing-masing.
Di dalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip yaitu:20
1. Prinsip azas umum yang menyatakan “Jika pewarisan tidak dapat
dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas
atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak
laki atau perempuan dan keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau
keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan
seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada, yang mewarisi adalah saudara-
saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah
menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat
mengecualikan keluarga yang jauh;”
2. Prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling) yang menyatakan bahwa
jika seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut
meninggal dunia maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari
yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan warisan dari
cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian
warisan yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak
(adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri
(kandung).
20
Datuk Usman, 1997, Hukum Adat Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 192.
21
Pembagian harta warisan menurut hukum adat umumnya tidak menentukan
kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan
pembagian, begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya.
Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat
dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari,
empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab
pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan
hukum waris adat, terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta
peninggalan yang diwariskan, hukum waris adat mengenal tiga sistem
kewarisan, yaitu:
1. Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa,
Batak, Sulawesi, dll.
2. Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli
waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab
harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada
masing-masing ahli waris, contohnya “harta pusaka” di Minangkabau dan
“tanah dati” di Semenanjung Hitu Ambon.
3. Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem
mayorat ini ada dua macam, yaitu:
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau
keturunan laki-laki yang merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris,
misalnya di Lampung.
b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan
ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah
Semendo di Sumatera Selatan.
21
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut Undang-Undang”,
Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 13.
22
1. Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang). Pada prinsipnya
seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-
luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang
dimilikinya termasuk harta kekayaannya menurut kehendaknya.
2. Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama). Perbuatan yang
dilakukan pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur
individual dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris sehingga
Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan
pewaris demi kepentingan ahli waris.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sistem hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
23
A) Golongan I: keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
dan keturunan mereka beserta suami atau isteri yang hidup paling lama.
B) Golongan II: keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan serta keturunan mereka.
C) Golongan III: kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris.
D) Golongan IV: anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak
keluarga lainnya sampai derajat keenam. Undang-undang tidak
membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak
membedakan urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris
golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota
keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping.
Demikian pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang
lebih rendah derajatnya.
22
Op.Cit, Subekti, hlm. 78.
24
b. seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena
dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris
difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana empat tahun atau
lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau
mencagah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan
memalsukan surat wasiat.
Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka para ahli waris diberi
kelonggaran oleh undang-undang untuk menentukan sikap terhadap suatu
harta warisan selama empat bulan. Seorang ahli waris dapat memilih antara
tiga kemungkinan, yaitu:
a. Menerima warisan dengan penuh;
b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan
diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya
dalam warisan itu (menerima warisan secara beneficiaire);
c. Menolak warisan.
Apabila harta warisan telah dibuka namun tidak seorang pun ahli waris
yang tampil ke muka sebagai ahli waris, maka warisan tersebut dianggap
sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam keadaan seperti ini, tanpa
menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib mengurus harta
peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan tersebut harus dilaporkan
kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah
suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus
25
oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung sejak
terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai
Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan
itu kepada negara. Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan
menjadi milik negara.
Di antara ahli waris, ada yang tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian
waris dari pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu:
23
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Vorkink van Hoeve’s-Gravenhage), hlm. 8
26
a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan
dari keluarga yang dibunuhnya;
b. Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya
yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya;
c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang
beragama Islam.
27
terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya.24
Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini
mungkin disebabkan oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama di daerah pedesaan.
Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya
pada sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul sagendong.25
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdataadalah
anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga
yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang
ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut
undang-undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah
terdapat empat golongan, yaitu:
1. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau
yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan/hidup paling lama
ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya
suami/isteri tidak saling mewarisi;
2. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi
orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak
akan kurang dari 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun
mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
3. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris;
4. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan
sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat
Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber
pada BW. Pada masa penjajahan Belanda, dengan asas konkordansi BW
dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini
24
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A. Soehardi, (Vorkink van Hoeve Bandung),
hlm. 78.
25
MB. Hoeker, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University Press, hlm. 97.
28
juga dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.
Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya
bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya,
yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri
dari negeri asalnya.26
Upaya ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku secara
nasional seharusnya segera dimulai, di samping untuk menghindari konflik
keluarga, memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan
pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem hukum
waris yang ada.
26
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, hlm. 10-14.
29
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan BW “Pewarisan Menurut
Undang-Undang”, Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Djaja S. Meliala, 2015, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Bandung : Nuansa Mulia.
L.J. Van Apeldorn, 1980, Pengantar ilmu Hukum : Edisi terjemhan Mr. Oetarid Sadino :
Cet. XVI, Jakarta : Pradnya Paramita.
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung :
Alumni.
MB. Hoeker, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Kuala Lumpur: Oxford University Press.
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan oleh A. Soehardi, (Vorkink van
Hoeve Bandung).
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata Hak Jaminan Atas Tanah :
Cet.Pertama, Yogyakarta : Liberty.
Subekti, 1979, Pokok – Pokok Hukum Perdata : Cet ke. 14, Jakarta : PT. Intermasa.
Sudarsono, 1991, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta : Rineka Cipta.
JURNAL
Abdullah Syah, “Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas Kerja
Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini”, Program Pendidikan Spesialis
Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1994.
30
M.Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan Antara Ajaran Sjafi’I dan Wasiat Wajib di Mesir,
tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan
Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1982.
31