Anda di halaman 1dari 152

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:

Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah).

Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Buku Ajar

Viktimologi

Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, S.H., M.H.

Zulkifli Ismail, S.H., M.H.

Melanie Pita Lestari, S.S., M.H.


Buku Ajar

Viktimologi
Edisi Pertama
Copyright @ 2022

ISBN 978-623-377-410-9

14,8 x 21 cm
152 h.
cetakan ke-1, 2022

Penulis
Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, SH, MH.
Zulkifli Ismail, S. H., M. H.
Melanie Pita Lestari, S. S., M. H.

Penerbit
Madza Media
Anggota IKAPI: No.273/JTI/2021
Kantor 1: Jl. Pahlawan, Simbatan, Kanor, Bojonegoro
Kantor 2: Jl. Bantaran Indah Blok H Dalam 4a Kota Malang
redaksi@madzamedia.co.id
www.madzamedia.co.id

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi dengan cara apapun,


termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah
dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Assalamualaikum wa rahmatulaahi wabarakaatuh.
Alhamdulilahi rabbil ‘alamin, was sholatu wassalamu ‘ala, asyrofil
ambiya’i wal mursalin, sayyidina wa maulana Muhammadin, wa ‘alaa
‘alihi wa shohbihi ajmain. Ama ba’du.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan segala puji syukur ke
hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ ala, karena hanya dengan rahmat
dan karunia-Nya-lah, di tengah-tengah pandemi Covid-19, kami
tim penulis buku dapat merampungkan buku ajar (text book)
matakuliah Viktimologi untuk tingkat S-1 yang khususnya akan
digunakan di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya.
Buku ini merupakan kumpulan materi yang para penulis
ajarkan dalam perkuliahan Asas-asas Viktimologi. Dalam buku ini
dibahas mengenai Pengertian, Perkembangan dan Ruang Lingkup
Viktimologi, Korban dan Kejahatan, Kedudukan Korban dalam
Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Perlindungan Saksi
dan Korban, Kompensasi dan Restitusi.
Buku ajar ini disusun berdasarkan pola belajar yang fleksibel,
sistematis dan terstruktur berbasis kebutuhan mahasiswa dan
kompetensi akhir yang ingin dicapai. Buku ajar ini mengacu
kepada Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester yang
berlaku pada Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta
Raya.
Tidak lupa kami mengaturkan terima kasih kepada keluarga
kami yang telah mendukung tugas kami sebagai dosen.

i
Akhirul kalam, bak kata pepatah: tak ada gading yang tak
retak, maka tegur sapa akan kami terima dengan lapang dada
untuk perbaikan buku kami. Lebih kurangnya mohon maaf,
wallahul muwafiq ila aqwamith thoriq.
Wassalamu ‘alaykum wa rahmatulaahi wabarakaatuh.

Jakarta, 19 April 2022.


Tim Penyusun

Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, SH, MH


Zulkifli Ismail, SH, MH
Melanie Pita Lestari, SS, MH

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................. iii
Bab I Pengertian, Perkembangan dan Ruang Lingkup
Viktimologi .......................................................................................... 1
A. Pengertian Viktimologi ............................................................. 1
B. Perkembangan Viktimologi ..................................................... 4
C. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi........................... 9
D. Ruang Lingkup Viktimologi .................................................. 28
Bab II Korban dan Kejahatan ........................................................ 30
A. Korban ....................................................................................... 30
B. Tipologi Korban ....................................................................... 33
C. Hak-hak Korban ...................................................................... 36
D. Kewajiban Korban ................................................................... 38
E. Kejahatan .................................................................................. 39
F. Hubungan Korban Kejahatan dan Pelaku Kejahatan ........ 44
G. Manfaat Viktimologi ............................................................... 46
H. Viktimologi dan Kriminologi................................................. 50
I. Viktimologi dan Ilmu Hukum ............................................... 58
Bab III Kedudukan Korban dalam Peraturan
Perundangan Indonesia ................................................................... 60
A. Kedudukan Korban dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana ............................................................. 60
B. Kedudukan Korban dalam Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban ............................................ 68

iii
C. Kedudukan Korban dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga ............................................................. 71
D. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse
of Power .................................................................................... 76
E. Pengaturan Kepentingan Korban dalam Hukum
Positif ......................................................................................... 80
Bab IV Perlindungan Saksi dan Korban .................................... 102
A. Pendahuluan .......................................................................... 102
B. Asas Perlindungan Korban .................................................. 103
C. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ............. 108
Bab V Kompensasi dan Restitusi ................................................ 127
A. Pendahuluan .......................................................................... 127
B. Perumusan Kompensasi dan Restitusi ............................... 128
C. Kompensasi dan Restitusi Sebagai Hak Korban
dalam Perspektif Viktimologi .............................................. 134
D. Kedudukan Kompensasi dan Restitusi dalam
Hukum Pidana ....................................................................... 137
E. Kompensasi dan Restitusi dalam Kerangka
Restorative Justice.................................................................. 138
Daftar Pustaka .................................................................................. 140
Profil Penulis .................................................................................... 143

iv
BAB I

Bab I
PENGERTIAN, PERKEMBANGAN
DAN RUANG LINGKUP
VIKTIMOLOGI

A. Pengertian Viktimologi
Masalah korban kejahatan merupakan elemen yang
penting. Dalam keadaan-keadaan tertentu dapat memicu
munculnya kejahatan. Di samping penanggulangan kejahatan
yang selama ini hanya terfokus pada berbagai hal yang
berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode
yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan.
Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, cara
pandang kita tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui
viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan
dengan korban, seperti: faktor penyebab munculnya kejahatan;
bagaimana seseorang dapat menjadi korban; upaya
mengurangi terjadinya korban kejahatan; hak dan kewajiban
korban kejahatan.
Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang
relatif baru jika dibandingkan dengan cabang ilmu lain seperti
sosiologi dan kriminologi. Sekalipun usianya relatif muda,
namun peran viktimologi tidak lebih rendah dibandingkan
dengan cabang-cabang ilmu yang lain, dalam kaitannya
dengan pembahasan mengenai fenomena sosial.
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi,
viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari mengenai

1
korban; penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat
penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai
suatu kenyataan sosial. Korban dalam lingkup viktimologi
memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada
individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga
kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan
yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah
sikap atau tindakan terhadap korban dan/atau pihak pelaku
serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam
terjadinya suatu kejahatan.
Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam
membahas kejahatan disebabkan korban sering kali memiliki
peran yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan.
Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam mengenai
korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam
menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada
akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan
kualitas kejahatan.
Sejalan dengan semakin berkembangnya viktimologi
sebagai cabang ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan
mengenai viktimologi. Kondisi ini hendaknya tidak dipandang
sebagai pertanda tidak adanya pemahaman yang seragam
mengenai ruang lingkup viktimologi, namun harus dipandang
sebagai bukti bahwa viktimologi akan selalu berkembang
sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi
yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu
permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan
sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu
pemahaman, yaitu:
1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi
yang sebenarnya dimensional;

2
2. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interelasi
antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
3. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi
oleh unsur struktur sosial tertentu dalam suatu masyarakat
tertentu.1
Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan
mengenai korban kejahatan (viktimologi), tidak dapat
dipisahkan dari lahirnya pemikiran-pemikiran cemerlang dari
Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun 1941
serta Mendelsohn pada tahun 1947. Pemikiran kedua ahli ini
sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi.
Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti
sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun
telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibadi
dalam tiga fase.
Pada fase pertama, viktimologi hanya mempelajari korban
kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special
victimology”. Sementara itu, pada fase kedua, viktimologi tidak
hanya mengkaji masalah korban kejahatan, namun juga
meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai
“general victimology”. Fase ketiga, viktimologi sudah
berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan
korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi
manusia. Fase ini dikatakan sebagai “new victimology”.2
Dari pengertian di atas, tampak jelas bahwa yang menjadi
obyek pengkajian dari viktimologi, di antaranya: pihak-pihak
mana saja yang terlibat/mempengaruhi terjadinya suatu
viktimisasi (kriminal); bagaimanakah respons terhadap suatu
viktimisasi kriminal; faktor penyebab terjadinya viktimisasi

1 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, hlm.
40
2 Made Darma Weda, Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam

Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco, 1995, hlm. 200

3
kriminal; bagaimanakah upaya penanggulangannya; dan
sebagainya.

B. Perkembangan Viktimologi
Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subyek
yang paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dari
suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah
oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit sekali
hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang dapat
kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan
terhadapnya.
Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak
mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi
korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku
mendapatkan balasan yang setimpal. Hal yang juga disebutkan
oleh Reif “The problem of crime, always get reduced to what can be
done about criminal. Nobody asks what can be done about victim?
Everyone assumes the best way to help the victim is to catch criminal
as thought the offender is the onlu source of the victim trouble.”
Apabila hendak mengamati masalah kejahatan secara
komprehensif, maka tidak boleh mengabaikan peranan korban
dalam terjadinya kejahatan, bahkan apabila memerhatikan
pada aspek pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang
akan dicapai dalam pemeriksaan suatu kejahatan, peranan
korban pun sangat strategis. Dengan demikian, sedikit banyak
menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh
hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang
dilakukannya. Tidak berlebihan apabila selama ini
berkembang pendapat yang menyebutkan bahwa korban
merupakan aset yang penting dalam upaya menghukum
pelaku kejahatan.

4
Pada sebagian besar kasus-kasus kejahatan, korban
sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk
menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya, dalam kerangka
pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi
bagi pengungkapan suatu kejahatan. Korban hanya
diposisikan sebagai instrumen dalam rangka membantu aparat
penegak hukum untuk menghukum si pelaku, dan tidak
pernah berlanjut pada apa yang dapat Negara serta aparat
penegak hukum lakukan untuk si korban, sehingga
penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan
seperti keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa
dirinya. Permasalahan korban tersebut terlupakan dikarenakan
oleh faktor-faktor antara lain:3
1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proses
yang sebenarnya secara multidimensional;
2. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang
tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi
kriminal;
3. Kurangnya pemahaman bahwa masalah kejahatan
merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah
korban.
Perhatian kalangan ilmuwan terhadap personal korban
dimulai pada saat Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis
sebuah makalah yang berjudul “Remark on The Interaction Of
Perpetrator and Victim”. Tujuh tahun kemudian beliau
menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and His Victim
yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menentukan dalam timbulnya kejahatan.4 Mempelajari

3 Suryono Ekotama, ST., Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus Provocatus

Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta:
Universitas Atmajaya, 2000, hlm. 173
4 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Edisi Pertama- Cetakan Kedua, Jakarta:

Akademika Pressindo, 1989, hlm. 78

5
hubungan antara pelaku dan korban (victim-offender
relationship) dari aspek penderitaan korban dan aspek korban
sebagai pemicu dan mengakibatkan kejahatan.5
Dalam bukunya yang berjudul The Criminal and His Victim,
von Hentig membagi enam kategori korban dilihat dari
keadaan psikologis masing-masing, yaitu:
1. The depressed, who are weak and submissive;
2. The acquisitive, who succumb to confidence games and racketeers;
3. The wanton, who seek escapimin forbidden vices;
4. The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and
fraud;
5. The tormentors, who provoke violence; and
6. The blocked and fightings, who are unable to take normal defensive
measures.6
Pada tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig
terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul New
Bio-Psycho-Sosial Horizons: Victiomology. Pada saat inilah
Benjamin Mendelsohn – seorang pengacara di Jerussalem –
dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan istilah
victimology dalam bukunya yang berjudul Reveu Internationale
de Criminologie et de Police Technique.
Pembahasan mengenai korban oleh Von Hentig dan
Mendelsohn kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain di
antaranya seperti Ellenberger (1945), yang melakukan sebuah
studi mengenai hubungan psikologis antara penjahat dengan
korban bersama dengan H. Mainheim (1965), Schafer (1968)
dan Fiseler (1978). Kemudian pada tahun 1949, W. H. Nagel
juga melakukan berbagai pengamatan mengenai subyek ini

5 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan

Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghalia Press, 2004, hlm. 21
6 Frank R. Prassel, Criminal Law, Justice and Society, Santa Monica California:

Goodyear Publishing Company Inc., 1979, hlm. 66

6
dalam tulisannya berjudul De Criminaliteit van Oss, Groningen,
dan sepuluh tahun kemudian dapat dikatakan bahwa
viktimologi menjadi isu yang menarik dalam perkembangan
ilmu pengetahuan. Pada tahun 1959, P. Cornil dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut
mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan
viktimologi harus diperhatikan dalam membuat kebijakan
kriminal dan juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan.
Baik Cornil maupun Nagel memperluas wilayah bahasan
kriminologi sampai masalah korban.
Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya
diwujudkan dalam suatu simposium internasional di
Jerussalem pada tanggal 5-6 September 1973. Dalam
simposium di Jerussalem ini berhasil dirumuskan beberapa
kesimpulan, yaitu: viktimologi dapat dirumuskan sebagai studi
ilmiah mengenai para korban, dan kriminologi telah diperkaya
dengan suatu orientasi viktimologi.
Simposium kedua diadakan di Boston, pada tanggal 5-9
September 1976. Viktimologi dianggap penting karena dapat
membantu menambah kecerahan dalam menghadapi penjahat
dan korbannya. Studi lebih lanjut tentang viktimologi juga
telah dilakukan dalam bentuk Postgraduate Course on the Victim
of Crime in The Criminal Justice System dan telah dua kali
diadakan di Dubrovnick, Yugoslavia. Setelah mengalami
berbagai kesulitan pada saat diselenggarakannya simposium
yang kedua di Boston, maka pada tahun 1977 didirikanlah
World Society of Victimology.
World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Scheider
dan Drapkin. Perjalanan panjang untuk menghasilkan suatu
prinsip dasar mengenai perlindungan korban memang sangat
terasa. Sekalipun demikian, cita-cita tersebut akhirnya dapat
terwujud pada saat diadakan Kongres di Milan, Italia pada

7
tanggal 26 Agustus – September 1985 dengan nama Congress on
the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang
menghasilkan beberapa prinsip dasar mengenai korban
kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya
diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11
Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan
Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and
Abuse of Power.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa
viktimologi pada mulanya berwawasan sempit sebagaimana
diungkapkan oleh von Hentig dan Mendelsohn, kemudian
dikembangkan oleh Mendelsohn. Selanjutnya viktimologi yang
berinklusif wawasan hak asasi manusia (juga disebut the new
victimology) dikembangkan oleh Elias, yang diperluas lagi
sehingga mencakup penderitaan manusia (kemanusiaan) oleh
Separovic.7 New Victimology ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab
terjadinya viktimisasi; dan
3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi
penderitaan manusia.8
Sejak dimulainya studi tentang kepribadian korban yang
dilakukan oleh Benjamin Mendelsohn pada tahun 1937,
viktimologi sebagai applied science bagi hukum pidana dan
kriminologi terus berkembang, bahkan sampai saat ini telah
dilakukan lima kali simposium internasional tentang
viktimologi dan terakhir di Zagreb, Yugoslavia pada tahun

7 J. E. Sahetapy, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Bandung: Eresco,

1995, hlm. V
8 Muladi, disampaikan pada seminar Viktimologi di Universitas Airlangga
Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi S. H., dalam Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 76

8
1985, di samping pertemuan-pertemuan ilmiah lain yang
diselenggarakan di pelbagai negara.9
Memang harus diakui bahwa kajian mengenai viktimologi
relatif kurang diminati di kalangan praktisi hukum sehingga
dari waktu ke waktu perkembangannya jauh tertinggal
dibandingkan dengan kajian lainnya seperti kriminologi,
penintensier, dan sebagainya. terbukti bidang viktimologi
miskin dengan literatur serta kajian-kajian ilmiah lainnya. Hal
ini terjadi karena dalam penanganan perkara pidana perhatian
yang diberikan kepada pelaku lebih banyak daripada korban
sebagaimana Prassell berpendapat:
“Victim was a forgotten figure in the study of crime. Victims of
assaults, robbery, theft and other offenceses were ignored while
police, courts and academicians on known violators.”
Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa viktimologi
merupakan bidang yang tidak memerlukan perhatian yang
serius dibandingkan dengan bidang kajian lainnya karena
melalui viktimologi akan dapat diperoleh masukan dalam
menghadapi dan menanggulangi masalah kejahatan yang
semakin hari semakin meningkat.

C. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi


Kebanyakan orang melihat keberadaan sistem peradilan
pidana sebagaimana adanya dalam proses pemidanaan.
Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa metode
penanganan pelaku kejahatan bukanlah merupakan norma
yang secara intrinsik terjadi dalam perkembangan sejarah.
Praktik sistem peradilan pidana dalam proses pemidanaan
masih berpegang pada pokok bahasan yang terarah pada
pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terfokus pada

9 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 2002, hlm. 65

9
korban dan keluarga korban. Di sana tidak dijumpai adanya
“otoritas” untuk mengubah citra untuk mengupayakan dan
bagaimanakah menolong korban dalam proses penegakan
hukum pidana, korban diharapkan membentengi dirinya
sendiri dan masyarakat ikut serta dalam persepakatan itu.
Pernyataan mengenai perlunya korban membentengi
dirinya sendiri tersebut tidak didesain dan diformulasikan
dalam setiap perangkat hukum pidana atau kitab hukum
pidana. Masyarakat hanya mengenai kejahatan berat dan
pelakunya sebagai “mala in se” (pelaku yang secara
menyeluruh tidak dikehendaki terjadi di masyarakat karena
sifat jahatnya). Fokus terarah pada upaya bagaimana tindakan
harus dilakukan terhadap pelaku, hanya sayangnya korban
yang sebetulnya harus diberikan peran dalam menentukan
tindakan apa yang ditimpakan pada pelaku belum
memperoleh tempat yang memadai dalam sistem peradilan
yang terkerangkakan dan terformulasikan dalam perangkat
hukum pidana ataupun kitab hukum pidana. Korban harus
membentengi dan mengatasi masalahnya sendiri menurut
caranya sendiri.
Masyarakat mengenal sistem retribution dan restitution
sebagai tujuan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan.
Restribution adalah pelaku kejahatan akan mengalami
penderitaan sebanding dengan tingkat kerugian yang
diakibatkan oleh perbuatannya. Sering terjadi retribution ini
menjadikan dirinya sebagai restitution. Restitution adalah
pembayaran sejumlah uang dalam rangka untuk memberikan
bantuan kepada korban oleh si pelaku, dan apabila pelaku
tidak dapat membayarnya, maka keluarganya dipaksa untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan pelaku tersebut pada
pihak korban.

10
Sistem pertanggungjawaban tersebut berlandaskan pada
prinsip yang disebut lex talionis – an eye for an eye, a tooth for a
tooth. Pidana disesuaikan dengan penderitaan korban. Di sini
tampak bahwa seolah-olah korban menjadi pertimbangan
utama penderitaan apa yang seharusnya ditimpakan pada
pelaku kejahatan. Model ini sebetulnya telah menggambarkan
suatu “sistem” yang disebut “sistem peradilan korban” atau
victim justice system. Sistem penanganan perilaku kejahatan
semacam ini terdapat dalam hukum kuno yang
terkodifikasikan – hukum Musa, Kitab Hamurabbi (2200SM)
dan Hukum Romawi. Kesemuanya menekankan unsur
pertanggungjawaban individual atas perilaku-perilaku yang
menderitakan orang lain. Restitusi dan retribusi merupakan
ketentuan khusus yang bersumber dari kitab-kitab hukum
kuno itu. Bagian terbesar dari maksud ketentuan tersebut
adalah pencegahan terjadinya kejahatan di masa datang –
deterrent effects.
Tujuan utama dari detterence ini adalah pencegahan terjadi
kejahatan di masa mendatang. Apa yang terkandung dalam
pemikiran itu ialah bahwa besarnya risiko dari setiap niat
untuk melakukan kejahatan akan menjadi orang untuk tidak
tertarik melakukan kejahatan. Retribusi dan restitusi mencoba
untuk menegakkan kembali status quo yang telah sebelum
perilaku kejahatan terjadi. Pemindahan ke bentuk finansial
akan memunculkan pertimbangan bahwa melakukan
kejahatan tidak ada untungnya sama sekali.
Sistem dasar penanganan perilaku kejahatan di atas masih
dapat ditemukan hingga abad pertengahan. Walaupun sering
ketentuan secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan dalam
perkembangannya. Dua faktor yang menandai berakhirnya
sistem peradilan korban ini:

11
Pertama, timbulnya gerakan kaum bangsawan feodal
(barons) untuk memindahkan tuntutan setiap pembayaran
ganti rugi pelaku kejahatan kepada korban. Penguasa-
penguasa itu (kaum bangsawan – Barons) melihat uang ganti
rugi itu merupakan cara lukratif untuk meningkatkan
kekayaan mereka sendiri. Kaum Barons ini mengarahkan
tujuan pembayaran dari individu melalui pendefinisian
kembali perilaku kejahatan sebagai bentuk pelanggaran pada
negara (bukan pada korban – pengertian korban dipindahkan
ke individu atau kelompok menjadi negara). Strategi itu
menempatkan negara (yang tidak lain adalah para Barons itu
sendiri sebagai penguasa negara) sebagai pihak yang
menderita akibat terjadinya kejahatan. Korban disingkirkan
dalam ketentuan perangkat hukumnya dan dirumuskan
bahwa kedudukan korban adalah sebagai saksi bagi negara –
saksi untuk membuktikan terjadinya kejahatan pada negara
dan pertanggungjawaban pelaku pada negara (bukan pada
korban). Dengan perangkat peraturan hukum yang demikian,
maka negara (dalam hal ini adalah Kaum Barons) dapat akses
dalam kasus-kasus kejahatan dan meraup keuntungan dari
prinsip restitusi model baru ini.
Kedua, terjadinya perubahan sosial yang cepat.
Kehidupan masyarakat diwarnai suasana pedesaan yang
agraris, orang hidup dalam suasana yang kecil dan sederhana,
menjalani kehidupan di bidang pertanian, disibukkan dengan
upaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Orang
sebagian besar ada yang berusaha memenuhi hidupnya
sendiri, ada sebagian yang lain hidup menggantungkan
bantuan dari sanak keluarganya. Kejahatan yang terjadi bukan
saja menimpa korban individual tetapi juga menimpa keluarga
korban secara keseluruhan. Masyarakat selanjutnya mengalami
perkembangan, terutama dengan terjadinya revolusi industri.
Kehidupan masyarakat industrial memunculkan pola

12
kehidupan masyarakat perkotaan, luas dan meninggalkan
kehidupan pedesaan dan pindah ke kota-kota besar. Mereka
tinggal di lingkungan yang lebih ramai, dilingkup orang-orang
“asing”. Para tetangganya tidak lagi mengetahui kehidupan
orang-orang di sekitar. Begitu kompleksnya kehidupan,
hubungan antar mereka pun lalu mengarah pada sifat yang
depersonalized. Ikatan internasional yang mengikat dalam
kehidupan kekerabatan pun menjadi sirna.
Dengan model masyarakat yang disebutkan di atas,
praktik-praktik sistem peradilan korban (victim justice system)
pun lalu makin tidak populer lagi. Kejahatan pun mulai
mengancam masyarakat “kepabrik-pabrikan” yang kini
menghubungkan orang yang satu dengan yang lain. Pada
waktu yang bersamaan terjadi pula pergeseran posisi korban
secara keseluruhan menuju pemusatan perhatian pada pelaku
kejahatan semata-mata. Secara perlahan namun pasti sistem
peradilan korban pun meredup hilang dan digantikan dengan
sistem peradilan pidana.
Kini, korban kejahatan menempati posisi sekedar sebagai
saksi dalam penanganan kejahatan oleh negara. Korban tidak
lagi menangani masalahnya dengan caranya sendiri dalam
memberikan “retributif” dan “restitutif” dari pelaku kejahatan.
Korban harus minta masyarakat untuk membuat
perkembangan penegakan hukum formal. Sistem peradilan
pidana dan penjara di masa abad-abad yang lalu telah
mencerminkan adanya kepentingan untuk melindungi negara.
Pada sebagian besar sistem peradilan pidana telah melupakan
korban dan kepentingan terbaik korban.
Reemergensi Korban Kejahatan
Sistem peradilan pidana menghabiskan sebagian besar
waktu dan energinya untuk mengontrol terjadinya kejahatan.
Antisipasi terhadap kejahatan dilakukan dengan cara-cara

13
memahami perilaku kejahatan dan identifikasi sebab-sebab
terjadinya kejahatan dan kemudian “terungkap” kedudukan
korban sebagai salah satu penyebab terjadinya kejahatan. Ini
terjadi sekitar tahun 1940-an. Korban dilihat bukan sebagai
hakikat individu yang memerlukan simpati dan perhatian,
melainkan sebagai pihak penyumbang bagi kematiannya
sendiri. Para pemerhati masalah perilaku kejahatan mulai
memperhatikan keterkaitan hubungan antara korban dan
pelaku kejahatan dengan harapan adanya pemahaman yang
lebih baik agar permasalahan terjadinya kejahatan.
Ketika kepentingan terhadap perlindungan , korban mulai
merebak dan menarik perhatian para ahli, para penulis mulai
menanggapi melalui persoalan-persoalan yang mendasar
mengenai viktimologi. Apakah viktimologi itu? Beberapa
pakar yakin bahwa viktimologi merupakan bidang khusus
yang berada dalam ranah kriminologi. Setelah itu, setiap
kejahatan secara definitif di dalamnya tercermin adanya pelaku
dan korban. Sementara pihak lain lebih melihat bahwa
viktimologi merupakan pokok bahasan yang lebih luas dan
menyeluruh sehingga perlu kajian tersendiri, terpisah dari
kriminologi. Diramalkan pada waktunya nanti katalog
keilmuan akan merumuskan daftar kajian viktimologi sebagai
pokok bahasan tersendiri, yang akan mempelajari korban dari
aspek atau ilmu biologi, psikologi, matematik, politik dan
subyek lain.
Para pemikir awal yang bekerja dalam bidang viktimologi
cenderung memfokuskan perhatiannya pada upaya
perumusan tipologi korban. Tipologi korban adalah satu
kegiatan yang berupaya untuk mengategorikan pengamatan-
pengamatan ke dalam satu pengelompokan yang logis untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam ranah dunia
kemasyarakatan.

14
Hans von Hentig: Penjahat dan Korbannya
Pemikir pertama di bidang viktimologi adalah seseorang
yang berkewarganegaraan Jerman bernama Hans von Hentig.
Pemikir kriminologi ini menghabiskan waktunya untuk
mengungkap apa yang menjadikan seseorang sebagai penjahat.
Begitu ia mulai memfokuskan perhatiannya pada korban
kejahatan, Hentig mulai merasa heran akan apa yang
menjadikan seseorang korban kejahatan. Menurut von Hentig,
kunci utamanya adalah hubungan timbal balik antara penjahat
dan korban.
Dalam publikasinya yang pertama, Hentig (1941)
mengklaim bahwa korban sering menyumbang terjadinya
kejahatan. Pesan Hentig sangat jelas. Berdasarkan pengajuan
sederhana hasil dari suatu kejahatan, terkadang muncul image
yang terdistorsikan akan siapa korban yang sesungguhnya dan
siapa pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Pengamatan lebih
dekat atas dinamika situasi yang melatarbelakangi,
menunjukkan bahwa korban sering kali menyumbang dalam
terjadinya proses viktimisasi atas dirinya.
Hentig memperluas pengertian tentang korban,
dinyatakannya bahwa korban adalah agen provokator
terjadinya kejahatan. Konstatasi ini dapat ditemukan dalam
bukunya yang berjudul “Penjahat dan Korbannya”. Ia
menjelaskan bahwa “perhatian harus ditingkatkan pada fungsi
provokator dari korban, yang meliputi pengetahuan yang
menyeluruh dan interelasi antara penjahat dan yang dijahati,
melalui cara ini akan diperoleh pemahaman dan pendekatan
baru terhadap fenomena tersebut.
Hentig tidak menutup mata untuk meyakini bahwa dalam
hal tertentu sumbangan korban dalam terjadinya kejahatan
selalu bersifat aktif. Banyak terjadinya sumbangan korban
memunculkan cirinya atau kedudukan sosial di luar kontrol

15
individu bersangkutan. Hasilnya, Hentig mengklasifikasikan
adanya 13 kategori korban berdasarkan atas kecenderungan-
kecenderungan/propensitas viktimisasinya.
Tipologi Hentig tentang korban mencerminkan kondisi
ketidakberdayaan seseorang/kelompok tertentu untuk
menghadapi pelaku kejahatan karena ketidakberuntungan
kondisi fisik, sosial kejiwaan seseorang.
Tipologi Hentig mengarah bukan pada konstatasi bahwa
korban selalu akan menyumbang terjadinya kejahatan, tetapi
terarah pada karakteristik korban yang secara potensial dapat
menyumbang terjadinya viktimisasi. Menurut Hentig (1948)
kita harus menyadaro bahwa “korban merupakan salah satu
determinan dan di situ saling keterkaitan kekejaman sering
terkandung antara kejahatan dan yang dijahati.”
Tabel 1
Tipologi Korban Menurut Hentig
TIPE BENTUK KONKRIT
Generasi Muda Anak Dan Bayi
Kelompok Wanita Semua Perempuan
Kelompok Lansia Orang Lanjut Usia
Kelompok Lemah Mental Penderita Sakit Jiwa,
Pencandu Obat Bius,
Alkoholis
Kaum Imigran Orang Asing Yang Hidup
Dalam Budaya Setempat
Minoritas Orang Yang Menderita
Karena Rasnya
Orang Terbelakang Pikiran Orang Feeble Minded
Kelompok Orang Tertekan Orang Sakit Kejiwaan

16
Kelompok Orang Serakah Orang Licik Yang Ingin
Memperoleh Keuntungan
Dengan Cepat
Kelompok Ceroboh (Grusa- Orang Dengan Siapa Saja
grusu) Mau
Kelompok Kesepian Dan Janda, Duda Berkabung
Patah Hati
Penyiksa (Tormentor) Orang tua Yang Kejam
Kelompok Korban Pemerasan,
Terblokir/Marginal Pengasingan Speculator

Benjamin Mendelsohn : Refleksi Lanjutan


Beberapa pengamatan menyatakan bahwa Benjamin
Mendelsohn, seorang pengacara praktik, dipandang sebagai
“bapak” viktimologi. Mendelsohn, seperti halnya Hentig,
tertarik pada dinamika yang terjadi antara korban dan pelaku
kejahatan. Sebelum mempersiapkan kasus perkaranya, ia
bertanya pada korban, saksi dan yang mewakili dalam suatu
situasi untuk mengisi daftar pertanyaan yang rinci dan
mendalam.
Table 2
Daftar Isilah Viktimologi Menurut Mendelsohn
ISTILAH MAKNA
victimhood Keadaan sebagai korban
victimizable Memungkinkan untuk menjadi
korban
victimization Mendudukan seseorang
sebagai korban/fakta dijadikan
korban
victimize Dijadikan korban

17
victimizer Menjadikan korban menderita
victimless Terabaikan/termaginalisasikan

Seseorang yang mengorbankan


pihak lain. Ketiadaan identitas
korban secara jelas daripada
pelakunya, misalnya situasi
sebagai pelacur, durg abuser.

Stephen Schaffer : Korban dan Pejahatnya


Ketertarikan para ahli pada korban dan peranan yang
mereka mainkan yang berkembang di sekitar tahun 1950-1960
an, Stephen Schaffer memutarbalikkan karya Hentig,
merevisinya ke arah peran korban dalam terjadinya kejahatan
dan dimuat dalam bukunya yang berjudul “The Victim and His
Criminal”. Konsep kunci pemikiran Schaffer seperti
diistilahkan olehnya – “pertanggungjawaban fungsional”.
Sekali lagi muncul kecenderungan studi yang menyangkut
hubungan korban dan pelaku kejahatan.
Schaffer melengkapi tipologi korbannya yang dibangun
atas dasar pertanggungjawaban korban atas terjadinya
kejahatan. Dalam hal ini, pengelompokan Schaffer merupakan
variasi dari kategorisasi Hentig (1948). Perbedaannya terutama
terletak pada culpabilitas korban. Hentig
mengidentifikasikannya berdasarkan atas berbagai faktor
risiko. Schaffer secara eksplisit menyusunnya atas dasar
pertanggungjawaban dari berbagai korban.

18
Tabel 3
Tipologi Precipitasi Korban Menurut Schaffer
TIPE KORBAN KETERANGAN
Unrelated victim Korban sebagai sasaran pelaku
kejahatan
Provocative victim Pelaku bereaksi terhadap
gerakan atau perilaku korban
Precipitate victim Korban yang menempatkan
dirinya untuk terjadinya
viktimisasi dirinya dalam situasi
berbahaya
Biologically weak victim Kelompok umum tertentu, anak
muda yang kondisi fisiknya
memungkinkan dirinya menjadi
sasaran pelaku kejahatan
Sosially weak victim Imigran, minoritas, yang tidak
terintegrasikan ke dalam
masyarakat, berposisi sebagai
sasaran empuk pelaku kejahatan.
Self-Victimizing Seseorang yang terlibat dalam
kejahatan tertentu seperti drug
abuser, pelacuran, penjudi, di
mana hubungan korban dan
pelaku kejahatan tidak jelas.
Political victim Seseorang yang dikorbankan
karena dirinya bersebarangan
dengan kelompok berkuasa.

Studi Empiris Korban Presipitatif


Victim precipitation, mempersoalkan tingkatan pada mana
korban bertanggungjawab atas viktimisasi dirinya.

19
Keterlibatan bisa bersifat pasif (seperti tipologi Hentig) atau
aktif (klasifikasi Mendelsohn). Setiap tipologi dikemukakan
dalam bagian ini mengimplikasikan kontribusi korban sebagai
faktor penyebab terjadinya kejahatan. Upaya yang pantas
memperoleh perhatian dalam kaitan dengan studi empiris ini
adalah karya Marvin E. Wolfgang. Wolfgang mengkaji data-
data catatan polisi atas kasus-kasus pembunuhan. Beberapa
tahun kemudian salah satu mahasiswa Wolfgang bernama
Menachem Amir, mengaplikasikan kerangka kerja gurunya
untuk menganalisis kasus-kasus perkosaan dengan kekerasan.
Martin E. Wolfgang : Pola Pelaku Pembunuhan
Dengan menggunakan data pembunuhan di kota
Philadephia, Wolfgang melaporkan bahwa 26% dari kasus
pembunuhan yang terjadi dari tahun 1948-1952 merupakan
akibat dari precipitasi korban. Wolfgang merumuskan korban
presipatatif kasus-kasus pembunuhan adalah mereka pada
mana korban adalah pihak yang pertama, dalam drama
pembunuhan yang menggunakan kekuatan fisik menyerang
pembunuh korban. Kasus-kasus presipitatif korban adalah
mereka-mereka di mana korban adalah yang pertama
memperlihatkan dan menggunakan senjata yang mematikan,
mengarahkan pukulan dalam satu pergulatan, singkatnya
korbanlah yang pertama memulai interplay yang berbuntut
kekerasan fisik itu.
Wolfgang, mengidentifikasikan beberapa faktor tipikal
presipitatif korban dalam kasus pembunuhan. Pertama,
korban dan pelaku biasanya telah menjalin hubungan
interpersonal sebelumnya. Tipe hubungan di sini, dapat berupa
pasangan anak laki-laki dengan pacarnya; Anggota keluarga
dan teman-teman dekat atau persahabatan. Dengan kata lain,
korban hamper tewas/berada di tangan seseorang yang

20
mereka telah kenal sebelumnya daripada mereka yang asing
terhadap korbannya.
Kedua, pembunuhan sering merupakan hasil dari
ketidaksepakatan kecil yang meningkat hingga pada situasi
lepas kontrol dari masing-masing pihak. Perubahan dalam
tingkatan tersebut bisa terjadi dalam waktu singkat atau
merupakan hasil dari konfrontasi yang sudah berlangsung
lama, misalnya: seorang suami telah memukul istrinya dalam
berbagai peristiwa. Pada situasi berikut, si istri mengira bahwa
suaminya akan membawanya ke rumah sakit. Suami menolak
dan perdebatan pun terjadi, selama berlangsungnya tamparan-
tamparan suami atas istrinya, si istri lalu menghunjamkan
pisau dapur ke tubuh suaminya.
Ketiga, pecandu alkohol oleh korban, lazimnya
bersumber dari precipitatie korban pembunuhan. Berbagai
kemungkinan dapat terjadi di dalam hal ini. Mungkin terjadi
pada seseorang yang termabukkan dan kehilangan daya
tahannya, mereka mengubar suara tentang apa yang ia rasakan.
Sering pihak-pihak yang terlibat tidak tahan dengan suara-
suara itu dan pada akhirnya berbuntut pada persengketaan
yang membawa kematian. Wolfgang menegaskan bahwa
“konotasi korban sebagai pihak yang lemah dan pasif, yang
mencoba lari dari situasi penyerangan dan pelaku adalah
seseorang yang brutal, kuat serta sangat agresif yang mencari
korbannya, ternyata hal itu tidak selalu benar.”
Menachim Amir : Pola Perkosaan dengan Kekerasan
Beberapa tahun kemudian, Menachem Amir mengkaji apa
yang kemudian menjadi analisis empiris kasus-kasus
perkosaan yang sangat kontroversial. Amir memperoleh data
dari laporan-laporan polisi atas kasus-kasus perkosaan yang
terjadi di Philadephia antara tahun 1958-1960an. Berdasarkan
atas rincian data yang terapat dalam laporan polisi itu, ia

21
menunjukkan bahwa 19% perkosaan dengan kekerasan terjadi
karena precipitasi korban.
Menurut Amir, precipitasi korban dalam kasus-kasus
perkosaan menunjukkan situasi di mana:
“Korban sesungguhnya atau dianggap menyetujui hubungan
seksual tetapi menarik diri sebelum kejadian senyatanya terjadi
atau bereaksi, namun tidak begitu kuat ketika godaan datang dari
si pelaku, istilah menerapkan juga pada kasus-kasus dalam situasi
perkawinan yang riskan dalam kaitan dengan seksualitas,
khususnya ketika ia menggunakan sesuatu yang dapat ditafsirkan
sebagai ketidaksenonohan dalam percakapan atau bahasa tubuh,
atau dipahami sebagai ajakan untuk melakukan hubungan
seksual.”
Amir menyusun daftar berbagai faktor yang dapat
membantu precipitasi perilaku kejahatan. Seperti juga halnya
temuan Wolfgang dalam kasus pembunuhan, penggunaan
alkohol khususnya oleh korban – merupakan faktor utama
dalam precipitate rape. Risiko viktimisasi seksual meningkat
ketika dia pihak sama-sama kebanyakan minum.
Faktor penting lain, termasuk perbuatan menggoda oleh
korban, mengenakan pakaian menantang, bercakap-cakap
dengan bahasa merangsang, memiliki reputasi jelek, dan
berada dalam tempat dan waktu yang tidak tepat. Menurut
Amir, perilaku-perilaku tersebut dapat menggiurkan pelaku
kejahatan hingga pada tingkatan tertentu ia secara
sembarangan menafsirkan “jelek” gerakan korban, memiliki
kebutuhan samar-samar pengontrolan seksualitas hingga
terjadi perkosaan atas dirinya.
Dalam penegasan kesimpulannya erat dengan masalah
“precipitation” ini Amir memberikan komentar berikut:
“Akibat-akibat dari fakta bahwa pelaku tidak harus dilihat sebagai
penyebab tunggal, dan alasan atas perilaku kejahatan dan bahwa

22
korban “virtuous” tidak selalu pihak yang tidak bersalah atau
pasif. Dengan demikian, peran yang dimainkan oleh korban dan
sumbangannya pada perilaku si pembuat menjadi satu
kepentingan utama yang harus menjadi bahan kajian disiplin
viktimologi.”
Kesimpulan analisis Amir ini ternyata mengandung
kritikan tajam dari berbagai pihak, misalnya dari Weis, Borges,
dan Franklin – yang disebutkan terakhir tampaknya
menunjukkan berbagai kelemahan substansi yang terkandung
dalam kesimpulan analisis Amir.
Pendekatan Baru : Viktimologi Umum
Ketertarikan pada masalah precipitatie korban dengan
segala perpecahannya dan fragmentasinya, mengancam
terhentinya perluasan wilayah perhatian terhadap masalah
korban. Tidak hanya kemajuan teoritikal menimbulkan
kekhawatiran apakah viktimologi harus turun takhta dari
kedudukannya sebagai kajian akademik. Meskipun demikian,
antidote muncul dari diskusi-diskusi yang berlangsung ketika
diselenggarakannya Seminar Internasional di Bellagio pada
Musim Panas tahun 1975. Di sana lahirlah istilah “Viktimologi
Umum” atau “General Victimology”.
Tabel 4
Tingkatan Precipitasi dalam Pemberian Kerangka
Pertanggungjawaban Relatif Korban dan Pelaku
Tingkatan Tingkatan Keterlibatan Korban
Niat Pelaku Provokasi Terlibat
Banyak Sedikit
Pertimbangan Sama besar Pelaku lebih Tanggung
mendalam banyak jawab pada
terlibat pelaku

23
Niat besar Lebih besar Sama besar Lebih besar
pada pada pelaku
korban
Niat Murni Lebih besar Sama besar
kecil/tidak precipitasi pada korban
ada niat korban

Pembenahan yang diusulkan oleh Benjamin Mendelsohn


adalah dengan mengeluarkan viktimologi dari kriminologi dan
menjadikannya sebagai disiplin tersendiri. Seperti telah
dikemukakan di atas, banyak terjadi perdebatan di kalangan
para ahli – apakah viktimologi harus berdiri sendiri atau tetap
berada di bawah bayang-bayang kriminologi. Mendelsohn
berusaha meyakinkan bahwa viktimologi dapat lepas dari
kriminologi dengan sebutan “General Victimology”.
Menurut Mendelsohn, para ahli viktimologi harus
melakukan penyidikan sebab-sebab terjadinya viktimisasi
untuk menemukan cara mengatasi yang efektif. Sejauh
manusia dideritakan oleh berbagai faktor penyebab,
pemfokusan viktimasasi penjahat akan menjadi perspektif
kajian yang sangat sempit. Istilah yang lebih umum, seperti
halnya viktimologi sangat dibutuhkan untuk mengungkap
kebenaran makna bidang viktimologi.
Menurut Mendelsohn, General Victimology merumuskan
lima tipe korban, yaitu:
a. Korban dari penjahat;
b. Korban dari diri sendiri;
c. Korban dari lingkungan sosial;
d. Korban dari teknologi;
e. Korban dari lingkungan alam.
Istilah pertama korban dari penjahat, telah menerangkan
dalam istilahnya sendiri, kategori ini telah menjadi

24
perbincangan para ahli viktimologi dalam studinya. Istilah
kedua korban dari diri sendiri “Self-Victimization” termasuk di
dalam pengertian ini bunuh diri, dan penderitaan-penderitaan
lain yang dialami korban karena dirinya sendiri.
Istilah ketiga korban dari lingkungan sosial, mengarah
pada penderitaan seseorang atau kelompok tertentu di
masyarakat. Beberapa contoh di sini adalah diskriminasi rasial,
kasta, genocide dan korban perang.
Istilah keempat korban dari teknologi adalah mereka
yang jatuh dari kehidupan masyarakat karena banyaknya
temuan-temuan baru. Kecelakaan nuklir misalnya, pengujian
acak terhadap obat-obatan, pencemaran industrial dan
sebagainya.
Terakhir, korban dari lingkungan alam, adalah mereka
yang terderitakan karena bencana banjir, gempa bumi, letusan
gunung api dan sebagainya.
Senada dengan rumusan Mendelsohn adalah rumusan
dari Smith dan Weis yang mengusulkan cara pandang luas dari
wilayah kajian “General Victimology”. Apabila diamati,
pandangan-pandangan dalam konteks “general victimology”
tampak dalam kajiannya menjadi luas dan implikasinya pun
sangat menyebar tak fokus. Sebagaimana dikatakan oleh
Mendelsohn berikut ini:
“Seperti juga halnya obat mengobati, semua pasien dan semua
perawat demikian juga halnya dengan kriminologi yang tertarik
pada semua pelaku kejahatan dan semua bentuk kejahatan, maka
viktimologi pun harus mengarahkan perhatiannya pada semua
korban dan semua aspek viktimitas di mana masyarakat menaruh
perhatian padanya.”
Viktimologi Kritis
Satu kecenderungan terakhir dalam viktimologi adalah
pergeseran fokus perhatian viktimologi dari hal-hal yang

25
bersifat umum menuju ke arah apa yang disebut sebagai
Viktimologi Kritis (Critical Victimology). Alasan yang mendorong
pemikiran ini menegaskan bahwa karena kegagalan
viktimologi untuk mengajukan pertanyaan dasar yang
menyangkut tentang apa yang dimaksudkan sebagai
kejahatan, melupakan pertanyaan dasar mengapa perilaku
tertentu dijatuhi sanksi dan akibatnya, itu semua pada
akhirnya telah mengarahkan perkembangan viktimologi ke
arah yang salah. Mawby dan Walkiate merumuskan
viktimologi kritis sebagai:
Viktimologi yang mencoba mengukur konteks sosial yang lebih
luas di mana berbagai versi viktimologi telah menjadi begitu
dominan dari pada bidang lain dan juga untuk memahami
bagaimana versi-versi viktimologi tersebut terjalin dengan
pertanyaan yang menyangkut tanggapan yang bersifat kebijakan
dan pelayanan yang diberikan kepada korban kejahatan.
Titik sentral perhatian viktimologi, kemudian daripada
itu, ialah permasalahan tentang bagaimana dan mengapa
perilaku tertentu didefinisikan sebagai penjahat dan akibatnya,
bagaimana keseluruhan bidang viktimologi menjadi
terfokuskan pada satu set aksi nyata. Pemikiran ini tidaklah
jauh berbeda dari kategorisasi Mendelsohn yaitu “korban dan
lingkungan sosial”. Mawby dan Walkiate menandaskan bahwa
kebanyakan kejahatan diperbuat oleh kekuatan dominan
dalam masyarakat yang lazimnya tidak terlingkup oleh hukum
pidana. Akibatnya korban dan kejahatan mereka itu pun tidak
termasuk ke dalam diskusi-diskusi viktimologi.
Melalui viktimologi kritis, kebanyakan dari orientasi
korban cenderung mengarah pada keberadaan definisi
kejahatan yang cenderung melupakan pertanyaan dasar
menyangkut faktor sosial yang menjadi sebab meningkatnya
aksi-aksi dan tanggapan-tanggapan. Alasan kegagalan itu

26
bersifat multificent. Faktor penyumbang salah satunya adalah
ketergantungan pada definisi resmi dan data dari berbagai
analisis permasalahan korban. Kecenderungan-kecenderungan
itu menjadikan terlupakannya pertanyaan dasar yang
menyangkut social setting daripada timbulnya korban
kejahatan.
Faktor lain adalah kemampuan agensi-agensi yang ada
untuk berkoordinasi dan mendukung terhadap gerakan-
gerakan baru di masyarakat (seperti hak-hak anak, hak
perempuan, dan sebagainya) ke dalam sistem kontrol sosial
yang sudah ada. Argumentasi radikal adalah bahwa
pengawasan dari peradilan pidana dan viktimologi berada di
tangan kekuatan dominan dalam masyarakat yang melihat
pendekatan-pendekatan kritis sebagai ancaman atas posisi
status quo kelompok dominan tersebut.
Sementara itu, viktimologi kritis menawarkan berbagai
pokok-pokok bahasan yang menarik dan mengangkat secara
potensial viktimologi, perdebatan-perdebatan yang
mengusulkan pokok-pokok bahasan di luar itu pun masih tetap
terjadi. Berbagai pokok bahasan pada keseluruhan teks ini akan
meningkatkan isu permasalahan yang sangat relevan pada
pendekatan kritis itu. Sebagai contoh, diskusi-diskusi sosio-
kultural tentang mengapa kekerasan terjadi dan penyidikan
terhadap tantangan program-program terhadap korban.
Gerakan-gerakan yang menyangkut korban dan
perlindungannya tampak antara lain dari “The Women’s
Movement” sekitar pertengahan tahun 1960an yang
memfokuskan kegiatannya pada perlindungan wanita korban
perkosaan dan pelecehan seksual (Childern’s Right), tahun yang
sama memfokuskan diri pada anak-anak korban
penyalahgunaan anak oleh orang dewasa, Victim Compensation
yang terarah pada penyusunan metode pemberian ganti rugi

27
pada kerugian yang diderita oleh korban, dan Legal Reform
berupa perlindungan untuk menempatkan posisi korban baik
melalui pemberian peran korban, pemberian ganti rugi pada
korban, pemberian pertolongan pada korban kejahatan dan
sebagainya.

D. Ruang Lingkup Viktimologi


Viktimologi meneliti topik-topik mengenai korban,
seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana;
hubungan antara pelaku dengan korban; rentannya posisi
korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.
Selain itu, menurut Muladi, viktimologi merupakan sebuah
studi yang bertujuan untuk:
1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab
terjadinya viktimasi;
3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi
penderitaan manusia.
Menurut J. E. Sahetapy, ruang lingkup viktimologi
meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang
ditentukan oleh suatu victim yang tidak selalu berhubungan
dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan,
dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan, namun dalam perkembangannya
di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran agar
viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban
karena musibah atau bencana alam karena korban bencana
alam di luar kemauan manusia (out of man’s will).
Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai obyek
kajian viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di
Geneva tahun 1975, Kongres Keenam tahun 1980 di Caracas

28
yang meminta perhatian bahwa korban kejahatan
konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan,
dan lainnya, tetapi juga kejahatan inkonvensional seperti
terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih.
Dalam Kongres PBB kelima tahun 1975 dihasilkan
kesepakatan untuk memperhatikan kejahatan yang disebut
sebagai crime as business, yaitu kejahatan yang bertujuan
mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam
bisnis atau industry yang pada umumnya dilakukan secara
terorganisir dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai
kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran
lingkungan, perlindungan konsumen, perbankan dan
kejahatan-kejahatan lain yang biasa dikenal sebagai organized
cime, white collar crime, dan korupsi.
Dalam Kongres PBB Ke-enam tahun 1980 di Caracas,
dinyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat
membahayakan dan merugikan bukan hanya kejahatan-
kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta benda tetapi juga
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), sedangkan dalam
Kongres PBB ketujuh tahun 1985, menghasilkan kesepakatan
untuk memerhatikan kejahatan-kejahatan tertentu yang
dianggap atau dipandang membahayakan seperti economic
crime, environmental offences, illegal trafficking in drugs, terrorism,
apartheid, and industrial crime.

29
BAB II

BAB II

KORBAN
DAN KEJAHATAN

A. Korban
Dalam proses pemidanaan melalui sistem peradilan
pidana, korban sering kali dibagikan, tak diberikan peran yang
memadai. Padahal seperti telah sering terdengar dalam
perkembangan perbincangan mengenai kejahatan, korban
merupakan bagian yang tidak terpisahkan, korban adalah
bagian integral dalam kaitan dengan kejadiannya perilaku
kejahatan, pelaku dan korban.
Baru pada tahun-tahun belakangan ini terjadi peningkatan
ketertarikan di kalangan para ahli untuk lebih memahami
peranan korban kejahatan - bukan saja sebagai bagian dari
upaya untuk menunjukkan kesalahan pelaku kejahatan,
melainkan ditempatkan secara proporsional dan bahkan
diintegrasikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa
individu atau orang perorangan, namun bisa juga berupa
kelompok orang, masyarakat atau bahkan juga badan hukum.
Pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari
bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan, ataupun
ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam
kejahatan terhadap lingkungan, namun dalam bahasan ini kita
tidak akan membicarakan kategori korban sebagaimana yang
dimaksud terakhir.

30
Pengertian korban banyak dikemukakan oleh para ahli
maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang
membahas mengenai korban kejahatan. Berikut pengertian
korban di antaranya:
1. Arief Gosita berpendapat bahwa korban adalah mereka
yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan
diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.10
2. Ralp de Sola mengemukakan bahwa korban adalah “…
person who has injured mental or physical suffering, loss of
property or death resulting from an actual or attempted criminal
offense committed by another …” 11
3. Cohen mengatakan bahwa korban adalah “ … whose pain and
suffering have been neglected by the state while it spends immense
resources to hunt down and punish the offender who responsible
for that pain and suffering.”12
4. Z. P. Separovic berpendapat bahwa korban adalah “… the
person who are threatened injured or destroyed by and actor or
omission of another (mean, structure, organization, or institution)
and consequently; a victim would be anyone who has suffered from
or been threatened by a punishable acts (not only criminal act but
also other punishable act as misemeanors, economic offences, non
fulfillment of work duties) or and accidents. Suffering may be
caused by another man or another structure, where people are also
involved.”
5. Muladi mengemukakan bahwa Korban adalah orang-orang
yang baik secara individual maupun kolektif telah

10 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993,


hlm. 63
11 Ralp de Sola, Crime Dictionary, New York: Facts on File Publication, 1998, hlm.
188
12 Cohen dan Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, Jakarta:

BPHN, hlm. 9

31
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap
hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau
komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing
negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
menjelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga;
7. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi menjabarkan korban adalah
orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
warisnya.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata
Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat menjelaskan
bahwa korban adalah orang perorangan atau kelompok
orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan pihak mana pun.
9. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principle of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power tahun 1985
menyebutkan bahwa korban adalah person who individually
or collectively, have suffered harm, including physchical or mental
injury, emotional suffering, economic loss or substantial
impairment of their fundamental rights, through acts or omission
of criminal laws operative within Member State, including those

32
laws proscribing criminal abuse of power … through act or
omissions that do not yet constitute violantions of national
criminal laws but internationally recognized norms relating to
human rights.
Mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas,
dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang
perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita
akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan
kerugian/penderitaan bagi diri/kelompok, bahkan lebih luas
lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan
langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami
kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya
atau untuk mencegah viktimisasi.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa
kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu
berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi
kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang
ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan.
Walaupun yang disebutkan terakhir lebih banyak merupakan
persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk
dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik
secara materiil maupun secara mental.

B. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak
masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga
untuk memilah jenis korban sehingga kemudian munculkan
berbagai jenis korban, yaitu:
1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli
terhadap upaya penanggulangan kejahatan;
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban;

33
3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan
rangsangan terjadinya kejahatan;
4. Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya
memudahkan dirinya menjadi korban;
5. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas,
memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi
menurut keadaan status korban, yaitu:
1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada
kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus seperti ini,
tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku;
2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif
mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus
selingkuh, di mana korban juga menjadi pelaku;
3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat
akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya
menjadi korban;
4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik
memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban;
5. Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki
kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia
menjadi korban;
6. Political victims, yaitu korban karena lawan politiknya.
Secara sosiologis, korban ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan
konstelasi politik.

34
7. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban
karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya
korban penyalahgunaan narkotika, aborsi, prostitusi.13
Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang
adalah sebagai berikut:
1. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
perorangan (bukan kelompok);
2. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya
badan hukum;
3. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui,
misalnya komsumen yang tertipu dalam menggunakan
suatu produk.14
Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak
pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat
empat tipe korban, yaitu sebagai berikut:
1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa pun, tetapi
tetap menjadi korban;
2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan
sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan
kejahatan. Dalam tipe ini korban dinyatakan turut
mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga
kesalahan terletak pada pelaku dan korban;
3. Mereka yang secara biologis dan sosial berpotensial
menjadi korban, seperti anak-anak, orang tua, orang yang
cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas
dan sebagainya – merupakan orang-orang yang mudah
menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat

13 Schafer dan Separovic sebagaimana dikutip dari Chaerudin dan Syarif Fadillah,

Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam. Cetakan Pertama.
Jakarta: Ghalia Press. 2004, hlm. 42
14 Suryono Ekotama, Harum Pudjianto dan G. Wiratama, hlm. 176-177

35
disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus
bertanggungjawab;
4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang
dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran,
perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang
tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah
adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.

C. Hak-hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi
mengenai berbagai peristiwa kejahatan melalui media massa.
Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit
menimbulkan berbagai penderitaan atau kerugian bagi korban
dan juga keluarganya.
Untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi
masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan
ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya
pre-emtif, preventif maupun represif dan semuanya harus
ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang
berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu
lembaga yang khusus menangani korban, namun pertama-
tama perlu diketahui terlebih dahulu mengenai hak-hak apa
saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila di
kemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai
akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional),
artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung
kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya
internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami
penderitaan (fisik, mental atau materiil) akibat suatu tindak

36
pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak
yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya
perasaan takut di kemudian hari bahwa masyarakat akan tahu
apa yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib
bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga korban merasa
lebih baik menyembunyikannya atau korban menolak untuk
mengajukan ganti kerugian dikarenakan khawatir prosesnya
akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat
berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau
keluarganya yang mempergunakan hak-hak yang telah
disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi
korban atau keluarga korban kejahatan yang meliputi;
1. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan
yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat
diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya seperti Negara
atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani
masalah ganti kerugian korban kejahatan;
2. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan
dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron
dari tahanan;
8. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi
berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban;
9. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti
merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.

37
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
korban memiliki hak untuk mendapatkan:
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, pengacara (advokat), lembaga sosial, atau
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
5. Pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor
40/A/Res/34 Tahun 1985, juga telah menetapkan beberapa
hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses
keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu:
1. Compassion, respect and recognition;
2. Receive information and explanation about the progress of the case;
3. Provide information;
4. Providing proper assistance;
5. Protection of privacy and physical safety;
6. Restitution and compensation;
7. To access to the mechanism of justice system.

D. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara
memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial)
hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak
berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan
eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya

38
diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara
signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban
kejahatan, antara lain:
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan
pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari
kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai
mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang
berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu
berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang
menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi
korban dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang
berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri
untuk tidak menjadi korban lagi.

E. Kejahatan
Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada
definisi baku yang di dalamnya mencakup semua aspek
kejahatan secara komprehensif. Ada yang memberikan
pengertian kejahatan dilihat dari aspek yuridis, sosiologis
maupun kriminologis.
Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan
dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan
sangat beragam, di samping tentunya perumusan kejahatan
akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan

39
dirumuskan. Sebagai contoh: pengertian kejahatan korporasi
(corporate crime), jenis kejahatan ini acapkali digunakan dalam
pelbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan jika
di Amerika Serikat, di mana setiap Negara bagian menyusun
perundang-undangannya, terdapat kurang lebih 20 perumusan
yang bertalian dengan kejahatan korporasi.
Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku
yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan
merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat
ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai.
Black menyatakan bahwa crime is a sosial harm that the law
makers punishable; the breach of a legal duty treated as the subject
matter of a criminal proceeding, sedangkan Hufe D. Barlow
sebagaimana dikutip oleh Topo Santosa dan Eva A. Zulfa,
menyebutkan bahwa kejahatan adalah a human act that violate
the criminal law.
Van Bemmelen merumuskan kejahatan adalah tiap
kelakuan yang tidak bersifat susial dan merugikan, yang
menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu
masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untuk
mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu
dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena
kelakuan tersebut.
Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan
kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sekalipun perumusan kejahatan sangat beragam, namun
pada intinya memiliki kesamaan unsur, dengan mengacu pada
pendapat Kimball, unsur-unsur (elemen) kejahatan itu adalah:

40
1. An actor;
2. With a guilty mind (mens rea);
3. Who causes;
4. Harm;
5. In particular way or setting; and
6. A lawmaker who has decreed that these circumstances expose the
actor to imposition of fine, imprisonment, or death as a penalty.15
Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang
diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang
dianggap tidak layak atau bertentangan dengan norma-norma
atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan
demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan
merupakan kejahatan atau bukan adalah “apakah masyarakat
secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta
perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga di
masyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai perasaan.”
Dikarenakan ukuran pertama dalam menentukan apakah
suatu perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah
norma-norma yang hidup dan dianut oleh masyarakat
setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan jenis-jenis
perbuatan yang dapat disebut dengan kejahatan. Kesukaran ini
muncul sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan
budaya. Bagi suatu daerah, suatu perbuatan mungkin
merupakan sebuah kejahatan tetapi di daerah lain perbuatan
tersebut bisa saja tidak dianggap sebagai kejahatan, contoh:
dalam budaya Madura, membunuh orang sebagai bentuk balas
dendam yang lazim dikenal dengan sebutan carok, tentunya
lebih merupakan sebuah upaya membela harkat dan martabat
keluarga daripada disebut sebagai upaya pembunuhan

15 Edward L. Kimball, Crime: Definition of Crime, dalam Stanford H Kadish (ed.).

Encyclopedia of Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan
Inc. 1983, Volume I, hlm. 302

41
sehingga ketika carok dilakukan oleh seseorang, pihak keluarga
pelaku menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah sikap
“pahlawan”, namun kita tidak boleh digiring kea rah
pendikotomian antara budaya dan kejahatan. Kejahatan
tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan
mengatasnamakan adat dan budaya karena kejahatan tetap saja
merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan
kerugian bagi masyarakat.
Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh aksi kejahatan
yang selalu menimbulkan korban, baik secara finansial
maupun materiil, secara fisik maupun psikis, tampak jelas
digambarkan oleh Von Hentig dalam bukunya Crime, Causes,
and Condition (1947), yang mana dikatakan bahwa pada tahun
1941 saja, kerugian secara materiil diderita oleh 28.500.000
penduduk dari 231 kota di Amerika Serikat bisa mencapai $US
13.000.000. kerugian ini pun hanya merupakan angka dari tiga
jenis kejahatan saja, yaitu perampokan, pencurian dengan
kekerasan, serta pencurian biasa. Angka ini belum lagi
ditambah dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
membiayai tugas kepolisian, kejaksaan, serta kehakiman
beserta aparatur lainnya yang berhubungan.16
Sebagai perbandingan, di Indonesia akibat dari terjadinya
kasus peledakan bom di Legian Bali pada 12 Oktober 2002 (Bom
Bali I), kerugian yang diderita korban jiwa kurang lebih 192
orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161 orang,
menghancurkan bangunan Sari Club dan Paddy’s Pub, dan
merusakkan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422
unit, serta merusak fasilitas publik berupa kerusakan jaringan
telepon, listrik, dan saluran air PDAM.17 Kerugian ini belum

16 W. A. Bonger dan G. H. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R. A. Koesnoen,

Pengantar Tentang Kriminologi, Cetakan ketujuah, Jakarta: Pembangunan, 1995, hlm. 23


17 Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Kasus Peledakan Bom di Legian Bali

dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan.

42
termasuk pembatalan paket-paket wisata asing dan domestik
yang akan berkunjung ke Bali dan ke daerah-daerah Indonesia
lainnya serta perekonomian nasional yang mengalami
penurunan drastis.
Di samping pengertian kejahatan sebagaimana diuraikan
di atas, dalam kriminologi dikenal pula apa yang disebut
dengan kejahatan tanpa korban (victimless crime). Menurut
Black, victimless crime adalah “A crime is considered to have no
direct victim, because only consenting adults are involved. Examples
are possession of drugs, deviant sexual intercourse between
consenting adults, and prostitution.
Victimless crime tidak menimbulkan keluhan di
masyarakat kecuali pihak penegak hukum seperti polisi
sebagaimana dikatakan oleh Frase:
“The pratical arguments against victimless crime apprear to derive
from there attributes of the offenses:
1. Most involve no complaining parties other than police officers;
2. Many involve the exchange of prohibited goods or services that are
strongly desired by the participants;
3. All seem to prevent individual or sosial harms that are widely
believed to be less serious that the harms involved in crimes with
victims.18
Kejahatan tanpa korban (victimless crime) biasanya terjadi
pada tindak pidana narkotika, perjudian, prostitusi,
pornografi, di mana hubungan antara pelaku dan korban tidak
kelihatan akibatnya. Tidak ada korban sebab semua pihak
adalah terlibat dalam kejahatan tersebut, namun demikian jika
dikaji secara mendalam, istilah kejahatan tanpa korban
(victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua

18 Richard Frase, Victimless Crime, dalam Stanford H. Kadish(ed.), Encyclopedia of

Crime and Justice, New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc. 1983, Volume
4, hlm. 1608

43
perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti
mempunyai korban atau dampak baik secara langsung
maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya
perbuatan-perbuatan yang dilakukan ini lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya.19

F. Hubungan Korban Kejahatan dan Pelaku Kejahatan


Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam
terjadinya suatu kejahatan. Perbuatan pelaku dapat
mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana
dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan antara
korban dan pelaku adalah hubungan sebab akibat. Akibat
perbuatan pelaku, yaitu suatu kejahatan dan korban menjadi
obyek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus
menderita karena kejahatan.20
Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu
kejahatan tidak selalu berupa kerugian materiil, atau
penderitaan fisik saja, tetapi yang paling besar pengaruhnya
adalah kerugian atau dampak psikologis. Korban kejahatan
bisa terus merasa dibayang-bayangi oleh kejahatan yang telah
menimpanya yang dapat menghalanginya untuk beraktivitas
dalam kehidupan sehari-hari.
Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat, semua warga negara berpartisipasi
penuh atas terjadinya kejahatan sebab masyarakat dipandang
sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga (system of
insititutionalizes trust). Tanpa kepercayaan ini, kehidupan sosial
tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan
yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan terpadu

19 Tutty Alawiyah, A. S. Kata Sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari

Moh Taufik Makarao, et. al., Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm vii
20 Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, Monterey-

California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985, hlm. 145

44
melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur
organisasional.
Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan yang
menimpa dirinya tentu akan menghancurkan sistem
kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, dapat merupakan
suatu bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap
masyarakat dan ketertiban umum, yang berwujud munculnya
gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sinisme, depresi,
kesepian, dan berbagai perilaku penghindaran yang lain,
contoh: wanita korban kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya yang mengalami kekerasan dalam hubungan intim.
Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban.
Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai
segala tindak-tanduknya, bahkan ketakutan dapat
mengganggu pola tidurnya, memunculkan insomnia dan
mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan
ketergantungan kepada obat-obat tidur dan obat penenang.
Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya, bahkan
akan mengancam jiwanya, jika sampai ia membuka mulut atau
bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu.
Terkadang, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan
sering kali bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam
berbagai jenis kejahatan yang melibatkan keluarga atau yang
terjadi dalam rumah tangga. Pada jenis kejahatan semacam ini,
seringnya terjadi kontak dengan pelaku akan semakin
menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil
tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara
melaporkan kepada pihak lain, tentunya akan mengunduh
kemarahan tidak hanya kemarahan si pelaku, tetapi juga dari
pihak lainnya (keluarga).
Oleh karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat
diperlukan, tidak hanya dari si pelaku itu sendiri, melainkan

45
juga dari pihak-pihak yang cenderung tidak menyukai korban
maupun perbuatan si korban dengan melaporkan si pelaku.
Menurut E. Kristi Poerwandari, dalam kekerasan terhadap
perempuan hubungan antara pelaku dengan korban sangat
beragam. Pelaku dapat berupa:
1. Orang asing/tidak saling kenal; suami; pasangan hubungan
intim lain (pacar, tunangan, bekas suami, dan lain-lain);
kenalan/teman; anggota keluarga inti dan/atau luas; teman
kerja;
2. Orang dengan posisi otoritas; atasan kerja/majikan;
guru/dosen/pengajar; pemberi jasa tertentu (konselor,
dokter, pekerja sosial, dan lain-lain);
3. Negara dan/atau wakilnya (polisi/anggota militer), dan
pejabat (individu dalam kedudukan sebagai pejabat).
Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah
tangga, hubungan pelaku dengan korban sangat beragam
tetapi pada umumnya antara pelaku dan korban tidak memiliki
relasi secara langsung atau tidak saling mengenal.

G. Manfaat Viktimologi
Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu
pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam
kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian,
apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya
tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun
teoritis, sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan
dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat
mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi,
diharapkan akan banyak manfaat yang diperoleh.
Arief Gosita menguraikan beberapa manfaat yang
diperoleh dengan mempelajari Viktimologi, yaitu:

46
1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan apa
yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan
proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses
viktimisasi. Akibat pemahaman itu, akan diciptakan
pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-
konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif
dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi
permasalah viktimisasi kriminal di berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan;
2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih
baik tentang korban akibat tindakan manusia yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.
Tujuannya tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban,
tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan
mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya
dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat
penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam
viktimisasi demi menegakkan keadilan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka yang terlibat langsung atau tidak
langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi;
3. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui
mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan
kehidupan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban
struktural atau non struktural. Tujuannya adalah bukan
untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan
pengertian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan
keamanan atau hidup aman seseorang meliputi
pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana
menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya;
4. Viktimologi juga memerhatikan permasalahan viktimisasi
yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk
“dunia ketiga” akibat penyapaan oleh suatu korporasi

47
internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat
polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan
sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan
dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan
demikian, dimungkinkan untuk menentukan asal mula
viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus,
mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi),
mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah
pelanggaran kejahatan lebih lanjut (diagnosis viktimologis);
5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah
penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat
viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan
peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku
kriminal. Mempelajari korban dalam proses peradilan
kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan
kewajiban asasi manusia.
Manfaat viktimologi ini pada dasarnya berkenaan dengan
tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban, yaitu:
1. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak
korban dan perlindungan hukum;
2. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban
dalam suatu tindak pidana;
3. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan
terjadinya korban.21
Manfaat viktimologi ini dapat memahami kedudukan
korban sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari
kebenaran. Dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha
mengerti akan permasalahan kejahatan, delinkuensi dan
deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara
dimensional.

21 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,

Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 39

48
Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-
hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat dan
sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban
asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum
dan pemerintahan.
Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. Bagi
kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya
penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah
diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan,
seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan,
bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh
pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainnya
yang terkait.
Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan
perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat
ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa,
mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan
turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ
pengadilan yang dianggap memahami hukum yang
menjalankan tugas luhurnya, yaitu menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarakannya
Negara Hukum Republik Indonesia, dengan adanya
viktimologi, hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai
saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga
turut memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat
dari sebuah kejahatan atau tindakan pidana sehingga apa yang
menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak
dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat
mempertimbangkan berat ringan hukuman yang akan

49
dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada seberapa besar
penderitaan yang dialami oleh korban pada terjadinya
kejahatan, misalnya: korban menderita cacat seumur hidup,
korban kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang
selama ini menjadi tumpuan ekonomi keluarganya.
Seperti dikemukakan oleh Soerjono Koesoemo bahwa
hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan
pancaran hati nuraninya yang dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum dan ilmu hukum, serta dapat dipahami dan
diterima para pencari keadilan pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya.22
Akhirnya, viktimologi dapat dipergunakan sebagai
pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai
kebijakan/perundang-undangan yang selama ini terkesan
kurang memerhatikan aspek perlindungan korban.

H. Viktimologi dan Kriminologi


Secara etimologis, kriminologi berasal dari kata crimen
yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau
ilmu pengetahuan. Kriminologi diartikan sebagai ilmu yang
membahas mengenai kejahatan.
Jika diperhatikan secara lebih luas, dapat kita ambil contoh
pengertian kriminologi yang dikemukakan oleh Sutherland
dan Cressey yang menyebutkan bahwa kriminologi adalah “the
body of knowledge regarding crime as a social phenomenon.”
Termasuk dalam pengertian kriminologi tersebut adalah
proses pembuatan undang-undang, pelanggaran hukum, dan
reaksi terhadap pelanggaran hukum tersebut.

22 Soerjono Koesoemo, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum Indonesia.

Menunggu Kelahiran (kembali) “Hakim yang Besar”, Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,
1991

50
Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari
kejahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat
diperoleh pemahaman tentang fenomena kejahatan yang lebih
baik.
Menurut ahli antropologi Prancis P. Topinard (1839-1911),
kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi
teoritis/murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan
yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan
lainnya yang sejenis, memerhatikan gejala-gejala dan mencoba
menyelidiki sebab-sebab dari gejala-gejala tersebut (aetiologi)
dengan cara-cara yang ada padanya.
Jadi pada pokoknya, kriminologi merupakan ilmu yang
menyelidiki kejahatan, serta aspek-aspek yang menyertai
kejahatan tersebut, yakni selain mengenai pokok-pokok
kejahatan yang dilakukan, juga orang-orang yang melakukan
kejahatan tersebut. Akan tetapi, kriminologi tidak menyelidiki
kejahatan dari segi yuridisnya ataupun perumusan jenis-jenis
kejahatan tersebut. Bahasan yang terakhir disebutkan
merupakan bahasan dari bidang hukum pidana.
Kriminologi merupakan salah satu ilmu pengetahuan
yang usianya relatif muda. Kriminologi baru muncul pada
abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya sosiologi. Hal ini
disebabkan karena perhatian khusus mengenai kejahatan
hanyalah disinggung sepintas lalu dalam buku-buku karangan
terdahulu seperti pada buku karangan Van kan “Les Causes
Economiques de la Criminalite” (1903), yang mengemukakan
pendapatnya mengenai sebab musabab kejahatan ekonomi.
Kemudian Havelock Ellis dalam bukunya The Criminal (1889),
Mari dalam bukunya I Caratteri dei Deliquenti (1887), dan G.
Antonini dalam bukunya I Precuri di Lambroso (1909) yang
mencari pendapat mengenai kejahatan menurut antropologi,

51
tetapi hasilnya sangat kecil. Begitu pula halnya dengan hasil
karya Plato dan Aristoteles yang membahas mengenai
kejahatan dalam hubungannya dengan kehidupan suatu
negara.
Lahirnya kriminologi ditandai dengan munculnya
gerakan-gerakan menentang pemerintahan yang dianggap
sewenang-wenang dalam menerapkan hukum pidana serta
hukum acara pidananya, di mana pada waktu itu hukum
pidana diterapkan dengan tujuan untuk menakut-nakuti
masyarakatnya dengan menerapkan hukuman penganiayaan
yang mengerikan.
Proses pemeriksaan orang yang disangka melakukan
kejahatan pun sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Pemeriksaan tersebut hanya bersifat formalitas saja. Tata cara
pemeriksaannya pun tergantung bagaimana keinginan si
pemeriksa serta dilakukan secara rahasia. Ketika itu,
pengakuan dari si tertuduh dipandang sebagai syarat
pembuktian yang utama.
Gerakan penentangan semacam ini muncul menjelang
revolusi Perancis yang pada saat itu kekuasaan raja sangat
absolut. Pada masa itu, orang-orang yang ditengarai
melakukan penentangan terhadap kekuasaan raja langsung
dijebloskan ke dalam penjara Bastille. Penentangan-
penentangan semacam ini dikeluarkan oleh tokoh-tokoh
Prancis seperti Montesquieu, Rosseau dan Voltaire. Ketiganya
menyatakan penentangan kepada tindakan sewenang-wenang,
hukuman yang kejam serta banyaknya hukuman yang
dijatuhkan.
Selain ketiga tokoh tersebut, mulai bermunculan pula
pemikiran-pemikiran tokoh yang menyuarakan penentangan
terhadap hukuman yang berlaku pada saat itu, yang berlaku
kejam terhadap penjahat. Pada tahun 1777 oleh Oeconomische

52
Gisellschaft di Bern diadakan sayembara untuk merencanakan
suatu hukum pidana yang baik. Pesertanya di antaranya adalah
J. P. Marat (1774-1793) dengan karangannya Plan de Legislation
des lois Crimineles (1780); J. P. Brissot de Warville (1745-1793)
Theories des lois Crimineles (1781); dan juga C. Beccaria (1738-
1794) dengan karangannya Del Delitti e Delle Pene (1764).
Hasil perjuangan para tokoh tersebut kemudian
melahirkan hasil yang baik. Pada tahun 1780 di Prancis
penganiayaan dihapuskan, setelah sebelumnya pada tahun
1740, Frederik Agung sudah menghapuskannya lebih dahulu,
namun jasa yang sangat besar dari John Howard (1726-1790)
dalam bukunya The State of The Prisons (1777), terutama
mengenai rumah penjara di Inggris dan dalam cetakan yang
belakangan mengenai kepenjaraan di negara lain menunjukkan
keadaan yang menyedihkan baik dari segi kesehatan maupun
kesusilaan.
Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan
Quaker, didirikan perkumpulan-perkumpulan yang
memerhatikan masalah kepenjaraan dengan tujuan
memberantas akibat-akibat yang sangat mendesak yang timbul
dari adanya penutupan bersama dalam rumah penjara.
Penutupan tersendiri akan memberikan kesempatan pada
penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan karenanya
menyesal), akan menggantikan penutupan bersama. Pada
tahun 1786 hukuman mati di Pennsylvania dihapuskan.
Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum
pidana dan juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap
kejahatan serta pelakunya dapat terealisasi. Mulailah para ahli
meneliti mengenai kejahatan serta pelaku-pelakunya hingga
lahirnya banyak pemikiran mengenai kejahatan.
Dalam ilmu kriminologi modern dikenal tiga aliran
pemikiran untuk menjelaskan gejala kejahatan yaitu:

53
1. Kriminologi Klasik
Dalam hal ini, gambaran mengenai kejahatan dan
penjahat pada umumnya dipandang dari sudut hukum,
kejahatan diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang pidana dan penjahat adalah orang yang
melakukan kejahatan. Orang melakukan kejahatan sebagai
pilihan bebas masing-masing individu dengan menilai
untung ruginya. Untuk mencegah agar orang tidak
melakukan kejahatan, kerugian atau risiko yang harus
ditanggung oleh pelaku harus ditingkatkan (misalnya
dengan ancaman sanksi yang berat atau tinggi). Dengan
demikian, perimbangan antara kerugian atau risiko dengan
keuntungan atau kenikmatan yang akan diperoleh dari
kejahatan akan lebih besar pada risikonya. Dalam kaitan ini,
tugas kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem
hukumnya akan meminimalkan kejahatan;
2. Kriminologi Positivis
Aliran pemikiran ini bertolak dari pandangan bahwa
perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar
kontrolnya, baik berupa faktor biologis maupun kultural.
Dengan demikian, manusia tidak bebas untuk menentukan
perbuatannya karena dibatasi dan ditentukan oleh situasi
biologis dan kulturalnya. Aliran positivis ini mengarahkan
fokusnya pada usaha untuk menganalisis sebab-sebab
terjadinya kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri
pelaku dari aspek fisik, sosial dan kultural.
3. Kriminologi Kritis
Aliran pemikiran ini mulai berkembang setelah tahun
1960an sebagai pengaruh dari semakin populernya
perspektif labeling. Aliran ini tidak mempersoalkan apakah
perilaku manusia itu bebas atau dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain, tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses
yang terjadi. Dengan demikian, aliran ini mempelajari

54
proses-proses dan kondisi yang memengaruhi pemberian
batasan atau pendefinisian kejahatan pada perbuatan-
perbuatan tertentu, orang-orang tertentu, pada waktu dan
tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini
dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan
pendekatan konflik.
Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila
dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang
dari kriminologi atau dengan kalimat lain viktimologi takan
membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian
kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena
munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara
tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk ilmu
viktimologi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang
beberapa pendapat, yaitu:
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak
terpisahkan dari kriminologi, di antaranya adalah Von
Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan
bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang
menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya
termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya,
kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan
korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang
melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari
kriminologi di antaranya adalah Mendelsohn. Ia
mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang
ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi
dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak
dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.

55
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan
hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan
pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena
orang akan mengerti dengan baik mengenai penggunaan
hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai
timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya
sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan
bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan
pelaku kejahatannya.23 Hukum pidana hanya mempelajari
delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk
mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia
sebagai suatu gejala sosial adalah kriminologi.24
Menurut pendekatan kriminologi, ada beberapa alasan
perlunya korban kejahatan mendapatkan perhatian, yaitu:25
1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak
memberikan perhatian kepada permasalahan dan peranan
pelaku kejahatan (offender-centered) , bukti konkret
pandangan ini adalah hanya beberapa pasal di dalam
KUHAP yang mencerminkan perlindungan terhadap
korban. Pasal-pasal tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pasal 80 KUHAP
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan
oleh penyidik atau Jaksa Penuntut Umum, atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan alasannya
b. Pasal 108 ayat (1)
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan
dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan

23 Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 15


24 E. Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958, 136
25 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

Abilisionisme, Bandung: Putra A. Bardin, 1996, hlm. 17

56
tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau
pengaduan kepada penyidik baik secara lisan maupun
tulisan
c. Pasal 133 ayat (1)
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani korban baik luka, keracunan, ataupun mati
yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya.
d. Pasal 134 ayat (1)
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik
wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga
korban.
e. Pasal 160 ayat (1b)
Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah
korban yang menjadi saksi
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk
memperjelas dan melengkapi penafsiran atas statistik
kriminal (terutama statistik yang terdapat pada kepolisian
yang dilakukan melalui survei tentang korban kejahatan).
3. Masyarakat yang berkembang akan semakin menyadari
bahwa di samping korban kejahatan konvensional
(kejahatan jalanan/street crime) tidak kurang pentingnya
untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan
nonkonvensional maupun korban dari penyalahgunaan
kekuasaan.
Dewasa ini, terdapat kecenderungan bahwa masalah
korban dibahas secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu
viktimologi dan bukan merupakan cabang ilmu kriminologi,
padahal antara viktimologi dan kriminologi akan selalu

57
terdapat hubungan yang berkesinambungan dan saling
memengaruhi.
Menurut Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil,
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis
tentang kejahatan dengan segala aspeknya termasuk korban.
Selain itu, viktimologi tidak hanya terfokus pada korban itu
sendiri tetapi juga melihat kedudukan kejahatan sebagai
penyebab timbulnya korban, dan kejahatan hanya ada dalam
kajian kriminologi. Dengan demikian, antara viktimologi dan
kriminologi terdapat hubungan erat sebagaimana dihasilkan
dalam Simposium Internasional tahun 1973 di Jerusalem yang
merumuskan kesimpulan mengenai hubungan antara
viktimologi dan kriminologi adalah:
1. Kriminologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah
mengenai para korban;
2. Kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi
viktimologi.26
Dengan menolak adanya viktimologi dan hanya
memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan dengan
kejahatannya merupakan penolakan terhadap viktimologi,
sebab antara pelaku dan korban adalah suatu kesatuan akan
terjadinya sebuah kejahatan.

I. Viktimologi dan Ilmu Hukum


Secara terminologi, menurut Hugo Reading, viktimologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang
merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di
suatu negara atau masyarakat tertentu dan hukum dalam hal

26 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993,


hlm. 80

58
ini adalah hukum positif (ius contitutum).27 Hukum yang
menjadi kajian dari ilmu hukum adalah hukum yang bertalian
dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Kehidupan
masyarakat dalam hal ini adalah proses sosial, tempat
terjadinya pengaruh timbal balik antara berbagai segi
kehidupan (politik, ekonomi, agama dan sebagainya) sebagai
sebuah interaksi yang dapat berlangsung dalam bentuk
komunikasi, konflik, kompetisi, akomodasi, asimilasi dan
kooperasi.28 Aspek kehidupan yang digunakan dalam hal
hubungan antara ilmu hukum dan viktimologi adalah
“konflik” di mana terdapat konflik, terjadi pertentangan dan
dalam pertentangan pasti terdapat sebuah viktimisasi kriminal
yang berlaku menyeimbangkan dan mempertahankan
perdamaian.29 Sementara itu, bagi viktimologi, dalam
masyarakat terdapat hal yang dapat menyebabkan timbulnya
korban serta akibat-akibat korban yang merupakan kenyataan
sosial.

27 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu

Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Edisi Pertama : Buku I,
Bandung: Alumni, hlm. 1
28 M. Z. Zen Zanibar, Wilayah Kajian Ilmu Hukum, dalam: Lex Jurnalica,

Transformasi Ide dan Obyektifitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Universitas Indonesia Esa Unggul No. 1/2004, hlm. 44
29 L. J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keduapuluhenam,

Terjemahan Mr. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996, hlm. 11

59
BAB III

BAB III

KEDUDUKAN KORBAN
DALAM PERATURAN
PERUNDANGAN INDONESIA

A. Kedudukan Korban dalam Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana
Dalam penegakan hukum kelemahan mendasar adalah
terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan
perkara pidana maupun akibat yang harus ditanggung oleh
korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap
korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai.30
Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP, sedikit sekali pasal-
pasal yang membahas mengenai korban, pembahasannya pun
tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak pidana
melainkan hanya sebagai warga negara biasa yang mempunyai
hak yang sama dengan warga negara lain. Terlihat dengan
bermacam istilah yang digunakan dalam menunjuk seorang
korban, contoh: dalam Pasal 160 ayat (1)b Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “yang pertama
didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.” Dengan
demikian, posisi korban tindak pidana di sini hanyalah sebagai
saksi dari suatu perkara pidana yang semata-mata untuk
membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa.

30 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, hlm.
2

60
Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak
yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak
memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh
undang-undang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada
saat pelaku kejahatan telah dijatuhkan sanksi pidana oleh
pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan
sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak
asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan
tetapi juga korban kejahatan.31
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum
terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa. Banyak
ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh
perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang
sifatnya imaterial maupun materiil. Korban kejahatan
ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu
hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk
memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya
adalah kecil.
Asas-asas hukum Acara Pidana yang dianut KUHAP pun
hampir semua mengedepankan hak-hak tersangka. Paling
tidak terdapat sepuluh asas yang dianut oleh KUHAP dengan
maksud untuk melindungi hak warga negara dalam proses
hukum yang adil, yaitu:
1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi;
2. Praduga tidak bersalah;
3. Pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (yaitu
dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan harus didasarkan pada undang-undang dan
dilakukan dengan surat perintah);

31 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hlm. 24

61
4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan
dan pendakwaan terhadapnya;
5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan
penasihat hukum;
6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan;
7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat
dan sederhana;
8. Peradilan harus terbuka untuk umum;
9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh
kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; serta
10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan
pelaksanaan putusan-putusannya.32
Secara normatif KUHAP hanya memperhatikan hak-hak
pelaku kejahatan tanpa memberi ruang kepada korban untuk
memperjuangkan hak-haknya berdasarkan pada sepuluh asas
yang telah disebutkan sebelumnya. Pengaturan mengenai
korban hanya terdapat dalam beberapa pasal saja, yaitu Pasal
98-101, yang berbunyi:
Pasal 98
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua
sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada
perkara pidana itu.
Pasal 99
(1) apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang

32 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan

Abilisionisme), Bandung: Binacipta, 1996, hlm. 86

62
tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut,
tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukum
penggantian biaya yang dirugikan tersebut.
(2) kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak yang dirugikan.
(3) putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya
mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidananya juga
mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 100
(1) apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan
perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya
berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan
permintaan banding, maka permintaan banding mengenai
putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 101
ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi ganti
kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.
Pasal 98-101 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas
adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak korban dalam
menuntut ganti kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara
pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan
acara yang khas dan karakteristik yang ada di dalam isi
ketentuan dari KUHAP.
Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara
pidana dapat disebutkan sebagai berikut:

63
1. merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan
KUHAP sendiri bagi proses beracara (pidana dengan
perdata) untuk peradilan di Indonesia. KUHAP memberi
prosedur hukum bagi seorang korban (atau beberapa
korban) tindak pidana untuk menggugat ganti rugi yang
bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan
pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung;
2. penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti
kerugian pada perkara pidana sekaligus adalah sesuai
dengan asas keseimbangan yang dimaksud KUHAP.33
Maksud dari penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian adalah: pertama, supaya perkara gugatan tersebut
pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus
dengan perkara pidana yang bersangkutan. Kedua, hal
penggabungan sesuai dengan asas beracara dengan cepat,
sederhana dan biaya ringan. Ketiga, orang lain termasuk
korban, dapat sesegera mungkin memperoleh ganti ruginya
tanpa harus melalui proses perkara perdata biasa yang dapat
memakan waktu yang lama.34
Adapun tujuan dari penggabungan perkara gugatan pada
perkara pidana adalah bahwa tujuan yang sebenarnya
terkandung dalam lembaga penggabungan yaitu agar orang
lain atau saksi korban dalam tindak pidana sesegera mungkin
mendapatkan ganti kerugian, serta tidak lagi dibebani melalui
prosedur dan proses perdata yang terpisah dan memakan
waktu lama,35 namun demikian untuk dapat mengajukan
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:

33 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian

dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 86


34 Ibid
35 Ibid., hlm. 87

64
1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami
oleh orang lain termasuk korban (saksi korban) sebagai
akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan
terdakwa;
2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya
terbatas sebesar jumlah kerugian materiil yang diderita
orang lain, termasuk korban tersebut;
3. Sasaran subyek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa;
4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara
pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambat-
lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana (requisitor);
5. Dalam hal penuntutan umum tidak hadir, tuntutan diajukan
selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan;
6. Perakra pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian
pada korban;
7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada
perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui
panitera pengadilan negeri melainkan dapat langsung
diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis
hakim/hakim;
8. Gugatan ganti kerugian pasal 98 ayat (1) kuhap adalah harus
sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan
terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.36
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa yang
dapat diajukan dalam penggabungan perkara gugatan ganti
kerugian hanya terbatas pada tuntutan ganti kerugian yang
secara nyata-nyata (riil) dikeluarkan atau dengan kata lain

36 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya

Bakti, 2007, hlm. 115

65
ganti kerugian materiil.37 Pembatasan yang dimaksudkan ini
berdasarkan pada:
1. Proses penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
tersebut harus berjalan cepat, tidak memakan waktu yang
lama dan seketika dan sesegera mungkin dapat
direalisasikan serta adanya prinsip pemeriksaan peradilan
yang cepat dan sederhana, misalnya: hanya membuktikan
bukti-bukti surat dan kuitansi, biaya pengobatan, biaya
perawatan, biaya memperbaiki kendaraan, dan lain-lain;
2. Kerugian materiil yang berupa kerugian yang secara nyata
(riil) tersebut mudah pembuktiannya;
3. Hanya kerugian imaterial yang tidak dapat diterima untuk
digabungkan dengan perkara gugatan ganti kerugian;
4. Karena itulah, imbalan ganti kerugian imaterial harus
dipisahkan dengan maksud agar diajukan tersendiri pada
gugatan perkara biasa karena dipandang tidak sederhana
dan tidak mudah;
5. Dikarenakan pemeriksaan dan pembuktiannya sulit serta
memakan waktu dan pula menghambat pemeriksaan
pidananya, sehingga bertentangan dengan asas peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.38
Berdasarkan pembatasan di atas, muncul kelemahan-
kelemahan dari praktik penggabungan gugatan ganti kerugian
yang ada dalam KUHAP, di antaranya:
1. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati
hakikat tujuan ganti kerugian itu sendiri;
2. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita
langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh
jumlah besarnya ganti kerugian dibatasi hanya pada

37 Ibid.
38 Ibid., hlm. 88-89

66
kerugian materiil yang nyata-nyata dikeluarkan oleh orang
yang dirugikan langsung tersebut. Jadi, KUHAP dalam
ketentuan-ketentuannya membatasi hak;
3. Untuk kerugian non materiil, yaitu kerugian imaterial
terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perdata
biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu
lama;
4. Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula
dari penggabungan itu sendiri yang bertujuan untuk
menyederhanakan proses;
5. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran
ganti kerugian tersebut;
6. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang
bersifat imaterial juga, hasilnya akan nihil, karena putusan
selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian imaterial tersebut
dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan hukum;
7. Majelis hakim/hakim harus cermat, sebab selalu harus
memisahkan antara kerugian materiil dengan kerugian
imateriel sehingga tidak efisien;
8. Gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat
assesor;
9. Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat
dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
tersebut selalu menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa
penuntut umum jika mau banding, sehingga melenyapkan
hak bandingnya sebagai upaya hukum.39
Kelemahan-kelemahan di atas, semakin mempersempit
ruang korban tindak pidana untuk mengajukan hak-haknya,
penggabungan gugatan ganti kerugian hanya memberikan

39 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Bandung:

Mandar Maju, 2003, hlm. 81

67
peluang untuk kerugian materiil saja, sedangkan untuk
pemulihan kerugian imaterial masih harus diajukan secara
terpisah melalui gugatan perdata yang pada praktiknya tidak
sederhana.

B. Kedudukan Korban dalam Undang-undang Perlindungan


Saksi dan Korban
Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai
perlindungan saksi dan korban secara sah mulai berlaku pada
tanggal 11 Agustus 2006 dengan nama Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Meskipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih
harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, namun
dengan berlakunya undang-undang ini cukup memberikan
angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan.
Dasar pertimbangan perlu diaturnya undang-undang
mengenai perlindungan korban (dan saksi) kejahatan dapat
dilihat dalam bagian pertimbangan undang-undang ini yang
antara lain menyebutkan bahwa dalam proses peradilan pidana
sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan
kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini
terjadi karena tidak hadirnya saksi di persidangan yang disebabkan
adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Padahal diketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu proses
peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku. Korban dan/saksi diakui keberadaannya dalam proses
peradilan pidana.40
Dalam suatu proses peradilan pidana, saksi (korban)
memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu
kebenaran materiil, maka tidak berlebihan apabila dalam Pasal

40 Dikdik M. Arief dan Elisantris Gultom, Op. Cit., hlm. 152

68
184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan saksi
ditempatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain yaitu
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan,
tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan
terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah
memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan
guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan
benar-benar murni bukan hasil rekayasa atau hasil dari tekanan
pihak-pihak tertentu.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut
pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang
mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental
atau ekonomi tetapi bisa juga kominasi di antara ketiganya. Hal
ini terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi
yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tercantum mengenai hak yang diberikan kepada saksi dan
korban yang meliputi:
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah
diberikannya;
2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
3. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4. Mendapat penerjemah;
5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

69
9. Mendapatkan identitas baru;
10. Mendapatkan tempat kediaman baru;
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
12. Mendapatkan nasihat hukum;
13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu
perlindungan berakhir.
Secara umum, hak-hak di atas cenderung memberikan
porsi lebih besar terhadap kedudukan saksi daripada
kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana. Korban
tidak mendapat porsi jaminan yang sama dengan saksi.
Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta
dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi
mengenai putusan pengadilan ataupun korban dapat
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan, namun sebagai
pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh
ganti rugi dari apa-apa yang diderita.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 7 menyebutkan
bahwa korban dapat mengajukan hak atas kompensasi (dalam kasus
pelanggaran HAM berat) dan hak atas restitusi atau ganti kerugian
yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana, namun
pengajuan hak atas kompensasi, restitusi ataupun ganti
kerugian di atas harus diajukan ke pengadilan melalui
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada
praktiknya, mekanisme seperti ini tentu tidaklah sederhana.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa korban yang telah
menjadi obyek kekerasan dan penindasan oleh para pelaku dari dulu
hingga kini menjadi pihak yang dilalaikan.

70
C. Kedudukan Korban dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia,
aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang
dalam berumah tangga. Untuk dapat mewujudkan keutuhan
dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang
dalam lingkup rumah tangga terutama kadar perilaku dan
pengendalian diri setiap orang.
Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga dapat
terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat
dikontrol, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga sehingga menimbulkan
ketidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang
berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Setiap orang berhak untuk memiliki rasa aman, berhak
atas perlakuan hukum yang adil tanpa diskriminasi. Kekerasan
dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
diskriminasi.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin hari
semakin meningkat. Untuk mencegah dan menanggulangi
kekerasan dalam rumah tangga tersebut diperlukan suatu
perangkat hukum yang dapat lebih mengakomodir. Hal ini
ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal
14 September 2004.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diharapkan dapat menjadi solusi yang dapat mencegah dan
menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam
upaya penegakan hukum. sesuai dengan asas yang diatur

71
dalam Pasal 3 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, yaitu:
1. Penghormatan hak asasi manusia;
2. Keadilan dan kesetaraan gender;
3. Nondiskriminasi;
4. Perlindungan korban
Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat berasal dari
berbagai latar belakang, usia, pendidikan , tingkat sosial
ekonomi, agama dan suku bangsa. Definisi korban menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Arief Gosita memberikan pengertian mengenai korban,
yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri
sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan
hak asasi yang menderita.41
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga ini diatur mengenai hak-hak korban,
yaitu korban berhak mendapatkan:
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan;
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban;
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum
pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

41 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Pressindo, 1993,


hlm. 63

72
5. Pelayanan bimbingan rohani.
Dengan adanya pasal yang memuat tentang hak-hak
korban ini, maka diharapkan korban kekerasan dalam rumah
tangga akan mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau
masyarakat sehingga tidak mengakibatkan dampak traumatis
yang berkepanjangan. Sesuai dengan konsideran Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan
perempuan harus mendapat perlindungan dari negara
dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.42
Selain mengatur mengenai hak-hak korban, undang-
undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga ini pun
dalam Pasal 17 mengatur mengenai pelayanan yang diberikan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pelayanan
tersebut diberikan oleh kepolisian dengan menyediakan ruang
pelayanan khusus (RPK) bekerja sama dengan tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani untuk mendampingi korban.
Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat melaporkan
secara langsung kekerasan rumah tangga kepada kepolisian
baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian
perkara atau dapat juga memberikan kuasa kepada keluarga
atau orang lain untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Sebuah kemajuan lain dalam undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga adalah korban dapat mengajukan
permohonan surat perintah penetapan perlindungan kepada
pengadilan. Dengan demikian, selama dalam proses korban
berada dalam kondisi yang aman dan dilindungi.

42 Rena Yulian, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah

Tangga dalam Penegakan Hukum, Mimbar, LPPM-UNISBA, Bandung, hlm. 322

73
Permohonan untuk memperoleh surat perintah penetapan
perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga
korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau
pembimbing rohani. Permohonan perlindungan tersebut dapat
diajukan baik secara lisan maupun tulisan seperti yang
tercantum dalam Pasal 30. Ketua pengadilan dalam tenggang
waktu 7 hari mengeluarkan penetapan yang berisi perintah
perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada
alasan yang patut. Perintah perlindungan yang dikeluarkan oleh
ketua Pengadilan Negeri dapat diberikan dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan
pengadilan. Dengan demikian, menyangkut perlindungan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga secara
normatif sudah memenuhi tetapi perlu pelaksanaan lebih
lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa kebijakan maupun
tindakan.
Hal ini berkenaan dengan pengaturan bentuk-bentuk
kekerasan yang termasuk ke dalam delik aduan dan delik biasa.
Perbuatan yang termasuk dalam delik aduan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 51-53 merupakan perbuatan kekerasan
yang terjadi antara suami dan istri yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Ini dimaksudkan agar
wilayah privasi suami dan istri dalam rumah tangga tetap
terjaga, untuk itu diperlukan kerja sama dari korban kekerasan
berupa pengaduan sehingga lebih mudah dalam
penanggulangannya.
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga ini mengatur pula mengenai sanksi pidana bagi pelaku
kekerasan dalam rumah tangga, berbeda dengan KUHAP yang
hanya mengatur mengenai saksi berupa pidana, yaitu:

74
1. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu
tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
Akan tetapi, dalam undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sistem sanksi
secara alternatif yang mana pelaku kekerasan dalam rumah tangga
dapat dikenakan pidana penjara atau pidana denda. Dengan
demikian, dalam pelaksanaannya akan memberikan
ketidakadilan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) itu sendiri karena dengan adanya sanksi alternatif
pelaku KDRT dapat memilih untuk membayar denda daripada
melaksanakan pidana penjara.
Selanjutnya dalam hal pembuktian di pengadilan, Pasal
183 KUHAP mensyaratkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti
yang sah sehingga ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya, kemudian hakim menjatuhkan hukuman.
Dalam Pasal 55 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga mengatur mengenai pembuktian
perkara di pengadilan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang
sah keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk
membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan alat
bukti yang sah lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa
keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya sudah
cukup membuktikan terdakwa bersalah. Ini bisa saja mengandung
arti bahwa keterangan saksi korban dianggap sebagai salah satu alat
bukti dan jika ditambah satu alat bukti lainnya maka sudah cukup
bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku.
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga merupakan suatu aturan yang memberi solusi untuk
mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam

75
rumah tangga sebagai upaya penegakan hukum, namun tetap
diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan
masyarakat serta korban kekerasan itu sendiri.

D. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles of


Justice for Victims of Crime and Abuse of Power
Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power meliputi dua hal, yaitu
korban kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan.
Pengertian korban kejahatan dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power adalah:
Victims means persons who, individually or collectively, ave
suffered harm, incuding physical or mental injury, emotional
suffering, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of
criminal laws operative within Member States, including those laws
proscribing criminal abuse of power.
Istilah korban juga termasuk, keluarga atau orang yang
bergantung kepada orang lain yang menjadi korban. Dengan
demikian, korban yang dimaksud bukan hanya korban yang
mengalami penderitaan secara langsung, melainkan keluarga
atau orang-orang yang mengalami penderitaan akibat dari
menderitanya si korban tadi.
Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of
Crime and Abuse of Power terdapat beberapa hak yang
fundamental bagi korban, yaitu:
1. Acces to justice and fair treatment
Menyangkut akses terhadap keadilan dan perlakuan adil
dalam deklarasi ini disebutkan bahwa:
- Korban harus diperlakukan dengan kasih sayang dan
dihormati martabatnya. Korban berhak atas keadilan dan
permintaan ganti rugi, sebagaimana diatur oleh undang-
undang atas kerugian yang dideritanya;

76
- Mekanisme yudisial dan administratif harus dibentuk
dan diperkuat yang diperlukan untuk memungkinkan
korban mendapatkan ganti rugi melalui prosedur formal
maupun informal secara cepat, adil, murah dan mudah
diakses. Para korban harus diberitahukan mengenai hak-
haknya dalam mendapatkan ganti rugi sesuai prosedur;
- Dalam proses peradilan dan administratif kebutuhan
korban harus difasilitasi dengan cara:
a. Menginformasikan mengenai peran dan batasannya,
perkembangan waktu dan perkembangan kemajuan
serta disposisi kasusnya;
b. Memperbolehkan pandangan dan kekhawatiran
korban untuk dikemukakan dan dipertimbangkan
pada tahap yang sesuai dari proses tersebut, tanpa
prasangka pada terdakwa dan konsisten dengan
sistem peradilan pidana nasional yang relevan;
c. Memberikan bantuan yang sesuai kepada korban
selama proses hukum berlangsung;
d. Mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan
kesulitan korban, melindungi privasinya jika
diperlukan, dan menjamin keamananya serta
keamanan keluarga dan para saksi yang
membantunya dari segala bentuk intimidasi dan
pembalasan dendam;
e. Menghindarkan penderitaan yang tidak perlu, selama
penanganan kasus, perintah-perintah eksekusi atau
keputusan pemberian penghargaan kepada keluarga
korban.
- Mekanisme informal untuk penyelesaian sengketa
termasuk mediasi, arbitrase atau pengadilan adat harus
digunakan yang mana dapat digunakan untuk
memfasilitasi konsiliasi dan ganti rugi bagi korban.
-

77
2. Restitution
Menyangkut tentang restitusi dalam deklarasi ini
disebutkan bahwa:
- Pelaku tindak pidana atau pihak ketiga harus
bertanggung jawab atas perilakunya dengan
memberikan restitusi yang adil bagi korban, keluarga
dan tanggungannya. Restitusi tersebut harus mencakup:
a. Pengembalian harta;
b. Pembayaran atas kerusakan atau kerugian yang
diderita;
c. Penggantian biaya yang dikeluarkan akibat dari
penderitaan korban;
d. Penyediaan layanan dan pemulihan hak.
- Pemerintah harus meninjau pelaksanaannya, hukum dan
peraturan untuk mempertimbangkan resitasi sebagai
pilihan hukum yang tersedia dalam kasus pidana, di
samping sanksi pidana lainnya;
- Dalam kasus kerugian besar, menyangkut lingkungan,
restitusi jika diperintahkan, harus mencakup pemulihan
lingkungan, rekonstruksi infrastruktur, penggantian
fasilitas masyarakat serta penggantian biaya relokasi
apabila terjadi kerusakan yang berakibat terjadinya
dislokasi dalam masyarakat;
- Dalam hal pejabat-pejabat publik, atau pihak-pihak
lainnya yang bertindak dalam kapasitas resmi atau
setengah resmi telah melanggar hukum pidana nasional,
para korban harus mendapat ganti rugi dari negara
melalui pejabat atau pihak-pihak yang berwenang atas
kerugian yang diderita. Dalam kasus di mana
pemerintah melalui pejabat yang berwenang dalam hal
penanganan terhadap para korban sudah tidak ada,
negara atau pemerintah harus bertanggungjawab
memberikan ganti rugi kepada para korban

78
3. Compensation
Mengenai kompensasi dalam deklarasi ini disebutkan
bahwa:
- Bila kompensasi tidak sepenuhnya tersedia dari pelaku
tindak pidana atau sumber-sumber lainnya, maka negara
harus mengusahakan memberikan kompensasi finansial
kepada:
a. Korban yang mengalami cedera fisik atau kerusakan
yang signifikan dari kesehatan fisik dan mental
sebagai akibat dari tindak pidana berat;
b. Keluarga, tanggungan orang tertentu yang telah
meninggal atau mengalami ketidakmampuan fisik
atau mental sebagai akibat dari tindak pidana
tersebut.
- Penetapan dalam memperkuat dan memerlukan dana
nasional untuk pemberian ganti kerugian pada korban
harus didukung, dan jika memungkinkan dana lain juga
dapat ditetapkan untuk tujuan ini termasuk pada kasus
di mana negara tidak dapat memberikan ganti rugi
kepada korban atas penderitaannya.
4. Assistance / Bantuan
Menyangkut pemberian bantuan bagi korban tindak
pidana dalam deklarasi ini disebutkan:
- Korban harus menerima kelengkapan, bantuan medis,
bantuan sosial dan psikologis yang diperlukan melalui
bantuan pemerintah maupun sumbangan yang berasal
dari masyarakat;
- Korban harus diberitahukan mengenai ketersediaan
kesehatan dan layanan sosial maupun bantuan yang
relevan lainnya dan menyediakan akses untuk hal
tersebut;
- Kepolisian, peradilan, layanan kesehatan dan layanan
sosial serta para aparat yang terkait harus mendapatkan

79
pelatihan untuk membuat institusi tersebut peka akan
kebutuhan korban, dan petunjuk-petunjuk untuk
memastikan pemberian bantuan yang sesuai dan layak;
- Dalam menyediakan jasa dan bantuan kepada korban,
perhatian harus diberikan kepada orang-orang yang
mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh
penderitaan yang dialaminya.

E. Pengaturan Kepentingan Korban dalam Hukum Positif


Dalam upaya mengakomodir kepentingan korban, maka
dalam beberapa hukum positif telah disebutkan mengenai
kepentingan korban. Adapun Peraturan Hukum Positif yang
telah mengatur mengenai kepentingan korban adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Dalam Undang-Undang tersebut dalam Bab V Pasal 35
disebutkan bahwa:
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana
pun;
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan
secara cuma-cuma;
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban
dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang
Pengaturan mengenai kepentingan korban diatur
dalam Pasal 36 yang berbunyi:

80
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana
terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi;
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan
oleh pemerintah;
(3) Resitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada
korban atau ahli warisnya;
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan
dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pengaturan mengenai kepentingan korban dalam
undang-undang ini diatur dalam Bab IX
Pasal 83 yang berbunyi:
(1) Pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum atau
hakim wajib merahasiakan pihak pelapor;
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memberikan hak kepada pelapor atau ahli warisnya
untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan
Pasal 84 yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak
pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh
negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri,
jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya;
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 85 yang berbunyi:
(1) Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim dan orang
lain yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang
sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau

81
alamat pelapor atau hal lain yang memungkinkan dapat
terungkapnya identitas pelapor;
(2) Dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan
dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum,
dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara
tersebut mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
Pasal 86 yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan
khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang
membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk
keluarganya;
(2) Ketentuan mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 87 yang berbunyi:
(1) Pelapor dan/saksi tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana atas laporan dan/atau kesaksian yang
diberikan oleh yang bersangkutan;
(2) Saksi yang memberikan keterangan palsu di atas sumpah
dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pengaturan mengenai kepentingan korban terdapat
dalam Bab IV Pasal 10 yang berisi antara lain:
Korban berhak mendapatkan:
(1) Pelindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, Lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perlindungan dari
pengadilan;

82
(2) Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
(3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan rahasia korban;
(4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada
setiap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
(5) Pelayanan bimbingan rohani.
Pasal 11 yang berisi :
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga
Pasal 12 yang berisi :
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 11, maka pemerintah:
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi
tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang
kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif
gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta
menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif
gender
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Menteri;
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait
dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 13 yang berisi:
Dalam hal untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban,
pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas
masing-masing dapat melakukan upaya:
(1) Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;

83
(2) Penyediaan aparat, tenaga Kesehatan, pekerja sosial, dan
pembimbing rohani;
(3) Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah
diakses oleh korban; dan
(4) Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga
dan teman korban
Pasal 14, yang berisi:
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 di atas, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan Kerja
sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.
Pasal 15, yang berisi:
Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan
upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuan untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan terhadap korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan.
Bab VI
Pasal 16 yang berisi:
(1) Dalam waktu 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam)
terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan
dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan
perlindungan sementara pada korban;
(2) Perlindungan sementara sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban
diterima atau ditangani;
(3) Dalam waktu 1x24 jam (satu kali dua puluh empat jam)
terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana

84
dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
Pasal 17, yang berisi
Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian
dapat bekerja sama dengan tenaga Kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban.
Pasal 18, yang berisi
Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban
tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan
pendampingan
Pasal 19, yang berisi
Kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah
mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga.
Pasal 20, yang berisi
Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang:
(1) Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;
(2) Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan; dan
(3) Kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.
Pasal 21, yang berisi
(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar
profesinya;
b. Melaporkan laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap
korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

85
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah atau masyarakat.
Pasal 22, yang berisi
(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan
rasa aman bagi korban;
b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal
alternatif; dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan
layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas
sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
(2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah
atau masyarakat.
Pasal 23, yang berisi
Dalam memberikan pelayanan, relawan pendamping dapat:
(1) Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk
mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
(2) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau
tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban
untuk secara obyektif dan lengkap memaparkan kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya;
(3) Mendengarkan secara empati segala penuturan korban
sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping,
dan
(4) Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik
kepada korban.

86
Pasal 24, yang berisi
Dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan
penguatan iman dan takwa kepada korban.
Pasal 25, yang berisi
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan,
advokat wajib:
(1) Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi
mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
(2) Mendampingi korban di tingkat penyelidikan, penuntutan dan
pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban
untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya; atau
(3) Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan
sebagaimana mestinya.
Pasal 26, yang berisi
(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam
rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada
maupun di tempat kejadian perkara;
(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang
lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada
pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di
tempat kejadian perkara.
Pasal 27, yang berisi
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang
bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

87
Pasal 28, yang berisi
Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 hari sejak
diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan
yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut
Pasal 29, yang berisi
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan
dapat diajukan oleh:
(1) Korban atau keluarga korban;
(2) Teman korban;
(3) Kepolisian;
(4) Relawan pendamping; atau
(5) Pembimbing rohani
Pasal 30, yang berisi
(1) Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam
bentuk lisan atau tulisan;
(2) Dalam hal permohonan diajukan secara lisan, panitera
pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan
tersebut;
(3) Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh
keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping atau
pembimbing rohani, maka korban harus memberikan
persetujuan;
(4) Dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa
persetujuan korban.
Pasal 31, yang berisi
(1) Atas permohonan korban atau kuasanya, pengadilan dapat
mempertimbangkan untuk:
a. Menetapkan suatu kondisi khusus;
b. Mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari
perintah perlindungan;

88
c. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan Bersama-sama dengan proses pengajuan perkara
kekerasan dalam rumah tangga.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diajukan Bersama-sama dengan proses pengajuan perkara
kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 32, yang berisi
(1) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun;
(2) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan
pengadilan;
(3) Permohonan perpanjangan perintah perlindungan diajukan 7
(tujuh) hari sebelum berakhir.
Pasal 33, yang berisi
(1) Pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
perintah perlindungan;
(2) Dalam pemberian tambahan perintah perlindungan,
pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 34, yang berisi
(1) Berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin timbul,
pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
kondisi dalam perintah perlindungan;
(2) Dalam pemberian tambahan kondisi dalam perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan
keterangan dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani.
Pasal 36, yang berisi
(1) Untuk memberikan perlindungan terhadap korban, kepolisian
dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup
karena telah melanggar perintah perlindungan;

89
(2) Penangkapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat
dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah
penahanan dalam waktu 1x24 jam.
Pasal 37, yang berisi
(1) Korban, kepolisian atau relawan pendamping dapat
mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap perintah perlindungan;
(2) Dalam hal pengadilan mendapatkan laporan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan
menghadap dalam waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam
guna dilakukan pemeriksaan;
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal bersama
korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
Pasal 38, yang berisi
(1) Apabila pengadilan tahu pelaku melanggar perintah
perlindungan, dan diduga melakukan pelanggaran lebih lanjut,
maka pengadilan mewajibkan pelaku membuat pernyataan
tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan;
(2) Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan
tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari;
(3) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai
dengan surat perintah penahanan.
Bab VII
Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh
pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau

90
d. Pembimbing rohani
Pasal 40, yang berisi
(1) Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan
standar profesinya;
(2) Dalam hal korban perlu perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan kesehatannya
Pasal 41, yang berisi
Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani wajib untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman
bagi korban
Pasal 42, yang berisi
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga Kesehatan,
pekerja sosial relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani
dapat melakukan kerja sama
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengaturan mengenai perlindungan korban dalam
undang-undang ini terdapat dalam Bab V.
Pasal 43 yang berbunyi
Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.
Pasal 44, yang berbunyi
(1) Saksi dan/atau korban TPPO berhak memperoleh kerahasiaan
identitas;
(2) Hak sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan juga pada
keluarga saksi dan/atau korban sampai derajat kedua, bila
keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik

91
maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan
keterangan saksi dan/atau korban.
Pasal 45, yang berbunyi
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi
dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus
pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan
di tingkat penyelidikan bagi saksi dan/atau korban TPPO;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang
pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau
korban diatur dengan PERKAP POLRI.
Pasal 46, yang berbunyi
(1) Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap
kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi
saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme
pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47, yang berbunyi
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya
mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau
hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib
memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah
proses pemeriksaan perkara.
Pasal 48, yang berbunyi
(1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli
warisnya berhak memperoleh restitusi;
(2) Restitusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berupa
ganti kerugian atas:
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Penderitaan;
c. Biaya untuk Tindakan perawatan medis, dan/atau
psikologis; dan/atau

92
d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat
perdagangan orang.
(3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana
perdagangan orang;
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat
pertama;
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan
terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus;
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari
terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat
banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam
putusannya agar uang restitusi yang ditetapkan dikembalikan
kepada yang bersangkutan
6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam undang-undang ini ketentuan mengenai
perlindungan terhadap korban terdapat dalam
Pasal 5 ayat (1), yang berisi
Seorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

93
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
n. Mendapat nasihat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir;
p. Mendapat pendampingan.
Pasal 6 ayat (1), yang berisi
Korban pelanggaran HAM yang berat, korban tindak pidana
terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak
pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan
korban penganiayaan berat, selain berhak atas hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis;
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Pasal 7, yang berisi
(1) Setiap korban pelanggaran HAM yang berat dan korban tindak
pidana terorisme, selain mendapatkan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan 6 juga berhak atas kompensasi;
(2) Kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat
diajukan oleh korban, keluarga atau kuasa hukumnya kepada
pengadilan HAM melalui LPSK;
(3) Pelaksanaan pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan oleh LPSK berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

94
(4) Pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU yang mengatur
mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme.
Pasal 7 A, yang berisi
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh resitusi berupa:
a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang
berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan keputusan LPSK;
(3) Pengajuan permohonan resitusi dapat dilakukan
sebelum/setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap melalui LPSK;
(4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan
pengadilan yang mempunyai keputusan hukum tetap, LPSK
dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk
dimuat dalam tuntutannya;
(5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK
dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk
mendapat penetapan;
(6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi
diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris
korban.
Pasal 9, yang berisi
(1) Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam
ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan
tempat perkara tersebut sedang diperiksa;
(2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang

95
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat kesaksiannya tersebut;
(3) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui
sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang
berwenang.
Pasal 10, yang berisi
(1) Saksi, korban, saksi pelaku dan pelapor tidak dapat dituntut
secara hukum baik pidana maupun perdata atas kesaksian
dan/laporan, yang akan, sedang, atau telah diberikannya,
kecuali kesaksian/laporan tersebut diberikan dengan etiket
tidak baik;
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban,
saksi pelaku, dan/pelapor atas kesaksian dan/laporan, yang
akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut
wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan/berikan kesaksian
telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Hak-hak korban kejahatan sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban,
selanjutnya diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM yang Berat
Hak-hak korban dalam undang-undang ini diatur dalam
pasal sebagai berikut:
Pasal 2, yang berbunyi:
(1) Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat berhak memperoleh perlindungan dari
aparat penegak hukum dan aparat keamanan;

96
(2) Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan
sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau
pemeriksaan sidang.
Pasal 3, yang berbunyi:
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan
Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM Berat
Dalam Peraturan Pemerintah ini, hak korban diatur
dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 2, yang berisi:
(1) Kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi diberikan
kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli
warisnya;
(2) Pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi sebagaimana
dalam ayat (1) dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak.
Pasal 3, yang berisi:
(1) Instansi pemerintah terkait bertugas melaksanakan
pemberian kompensasi dan rehabilitasi berdasarkan
putusan pengadilan HAM yang telah inkracht van
gewijsde;
(2) Dalam hal kompensasi dan/atau rehabilitasi menyangkut
pembiayaan dan perhitungan keuangan negara,
pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 4, yang berisi
Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak
ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar
putusan pengadilan HAM
Pasal 5, yang berisi

97
Pelaksanaan putusan pengadilan HAM oleh Instansi
Pemerintah terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) wajib dilaporkan kepada pengadilan HAM yang mengadili
perkara yang bersangkutan dan Jaksa Agung paling lambat 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan
dilaksanakan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme
Hak-hak korban terkait tindak pidana terorisme
dalam peraturan perundangan ini diatur dalam pasal:
Pasal 2, yang berisi
Setiap saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana
terorisme wajib diberikan perlindungan oleh negara dari
kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, sesudah proses
pemeriksaan perkara.
Pasal 3, yang berisi
Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
dilakukan oleh aparat hukum dan aparat keamanan berupa:
a. Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik
dan mental;
b. Kerahasiaan identitas saksi;
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerja sama
Pemulihan Korban KDRT
Terkait hak korban KDRT, diatur dalam pasal-pasal
sebagai berikut:

98
Pasal 2, yang berbunyi
(1) Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan
oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta
lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-
masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan
untuk pemulihan korban;
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Ruang pelayangan khusus di jajaran Kepolisian;
b. Tenaga yang ahli dan profesional.
(3) Pusat pelayanan dan rumah aman, dan sarana dan
prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban,
Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi
terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
Pasal 4, yang berbunyi
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi:
a. Pelayanan kesehatan;
b. Pendampingan korban;
c. Konseling;
d. Bimbingan rohani; dan
e. Resosialisasi
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2008 tentang Tata Cara Mekanisme Pelayanan
Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Dalam peraturan pemerintah tersebut, hak korban diatur
dalam pasal-pasal:
Pasal 2, yang berisi
Pusat Pelayangan Terpadu wajib:
a. Memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin
kepada saksi dan/atau korban;
b. Memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan, dan
bebas biaya bagi saksi dan/atau korban;

99
c. Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban; dan
d. Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi
dan/atau korban.
Pasal 3, yang berisi
Penyelenggaraan pelayanan terpadu bertujuan
melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi
dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang
diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi
dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Hak-hak korban dalam peraturan perundangan ini
diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 2, yang berisi
(1) Korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat berhak
memperoleh kompensasi;
(2) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga atau
kuasanya dengan surat kuasa khusus;
(3) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada
pengadilan melalui LPSK
Pasal 20, yang berisi
(1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi;
(2) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga atau
kuasanya dengan surat kuasa khusus;
(3) Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam

100
Bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada
pengadilan melalui LPSK
Pasal 34, yang berisi
(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak
memperoleh bantuan;
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
berupa:
a. Bantuan medis;
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
(3) Permohonan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat
kuasa khusus;
(4) Permohonan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia di atas
kertas bermaterai cukup kepada LPSK.

101
BAB IV

BAB IV

PERLINDUNGAN SAKSI
DAN KORBAN

A. Pendahuluan
Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan
yang wajib diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa
aman kepada setiap warga masyarakat. Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara
bertanggung jawab atas perlindungan Hak Asasi Manusia yang
merupakan sesuatu hal yang sangat penting sebagaimana
diuraikan dalam Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi: Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap
masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban yang diundangkan pada
tanggal 11 Agustus 2006. Dalam undang-undang ini diatur
pula mengenai sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk
menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi
dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK). Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kepada saksi dan korban. Lingkup perlindungan oleh
LPSK adalah pada semua tahap proses peradilan pidana agar
saksi dan/atau korban merasa aman ketika memberikan
keterangan.

102
Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa:
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa
untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan
pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya
perlindungan saksi dan korban diatur dengan undang-undang
sendiri.
Lembaga ini dipandang penting karena masyarakat luas
memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan
perlindungan dalam sistem peradilan. Peranan saksi dan
korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat
penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi
dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.
Sebagai lembaga yang lahir dengan tugas utama
memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban, LPSK
telah menunjukkan rekam jejak yang walau masih sedikit,
namun telah diacungi jempol oleh banyak pihak. Beberapa
perlindungan dilakukan terhadap saksi dan korban dalam
kasus-kasus serius, di mana dari perlindungan tersebut
kemudian turut andil dalam menegakkan hukum demi
mencapai keadilan.

B. Asas Perlindungan Korban


Salah satu ciri negara hukum adalah asas persamaan di
depan hukum (equality before the law). Demikian pula terhadap
korban yang harus mendapat pelayanan hukum berupa
perlindungan hukum, bukan hanya tersangka atau terdakwa
saja yang dilindungi hak-haknya akan tetapi korban dan saksi
pun wajib dilindungi.

103
Oleh karena itu wajar jika ada keseimbangan (balance)
perlindungan tersangka/terdakwa dengan perlindungan
korban dan/atau saksi. Dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal-pasal yang terdapat di
antara Pasal 28 A hingga 28 J dapat dijadikan acuan mengenai
hak-hak asasi manusia. Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
Pasal 28 D ayat (1), menyatakan : Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
Pasal 28 G ayat (1), menyatakan : Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28 I ayat (2), menyatakan : Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perbuatan yang
bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28 J ayat (1), menyatakan : Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Penjabaran mengenai hak asasi manusia yang berkaitan
dengan perlindungan korban dan saksi telah tertuang dalam
beberapa undang-undang. Dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
disebutkan bahwa perlindungan saksi dan korban berdasarkan
pada:
1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
2. Rasa aman;
3. Keadilan;
4. Tidak diskriminatif; dan
5. Kepastian hukum.

104
Sebagaimana kita ketahui, KUHAP lebih mengutamakan
hak-hak tersangka/terdakwa, namun demikian, terdapat
beberapa asas KUHAP yang dapat dijadikan landasan
perlindungan korban, misalnya:
1. Perlakuan yang sama di depan hukum;
2. Asas cepat, sederhana dan biaya ringan;
3. Peradilan yang bebas;
4. Peradilan terbuka untuk umum;
5. Ganti kerugian;
6. Keadilan dan kepastian hukum.
Mengenai KUHAP yang lebih mengutamakan hak-hak
tersangka atau terdakwa sebagaimana disebutkan oleh Romli
Atmasasmita bahwa fungsi Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana terutama menitikberatkan perlindungan harkat dan martabat
tersangka atau terdakwa.43 Hal ini terlihat dari kesepuluh asas
yang tercantum dalam penjelasan resmi KUHAP, yaitu sebagai
berikut:
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum
dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat
yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya
dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-
undang;
3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut
dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap;

43 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Prenada

Media Group, 2010, hlm. 72

105
4. Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang ditetapkan, wajib diberi ganti kerugian
dan rehabilitasi sejak pada tingkat penyidikan, dan para
pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar,
dituntut, dipidana, dan/atau dikenakan hukuman
administrasi;
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana
dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak
harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat
peradilan;
6. Setiap orang yang tersangkut perkara, wajib diberikan
kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum yang
semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan
pembelaan atas dirinya;
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat diakukan
penangkapan dan/atau penahanan selain wajib
diberitahukan dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya
itu termasuk hak untuk menghubungi minta bantuan
penasihat hukum;
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya
terdakwa;
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum kecuali dalam hal diatur dalam undang-undang;
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara pidana dilakukan oleh Ketua Pengadilan
bersangkutan.
Satu paket dengan asas dan dasar perlindungan adalah
tujuan perlindungan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
menegaskan tujuan perlindungan terhadap saksi dan korban

106
adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana
(vide Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006). Rasa aman
di sini dapat diartikan bebas dari ancaman sehingga tidak
merasa terancam atau terintimidasi haknya, jiwa, raga, harta
serta keluarganya.
Ancaman yang dimaksud adalah segala bentuk perbuatan
yang menimbulkan akibat baik langsung maupun tidak langsung
yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau
dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang
berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses
peradilan pidana (vide Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006). Bentuk ancaman tidak hanya fisik, tetapi juga
psikis atau bentuk lain misalnya ekonomi, politis dan
sebagainya.
Rasa aman agar proses peradilan pidana dapat berjalan
sesuai cita-cita peradilan dan memenuhi rasa keadilan dan
kebenaran serta kepastian hukum. Pada hakikatnya,
pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan, sehingga tujuan
peradilan yaitu harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan
biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus
diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
Jika asas dan tujuan perlindungan dilaksanakan secara
baik, bukan saja korban dan saksi yang mendapat
perlindungan, tetapi lebih luas lagi tentu saja masyarakat,
bangsa dan negara terlindungi dan negara dianggap telah
melaksanakan kewajibannya melindungi warganya dengan
baik. Hal ini merupakan salah satu tujuan negara yang
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun
1945, yaitu … Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

107
Akan tetapi bukan itu saja, perlindungan di atas merupakan
bagian politik hukum pidana yang selama ini terlihat lebih
banyak memihak kepada tersangka/terdakwa. Diharapkan
pula korban dapat berperan dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana/kejahatan. Pada gilirannya akan
tercapai tujuan yang lebih mendasar, bukan saja keadilan,
kepastian hukum dan ketertiban, namun lebih dari itu, yaitu
suatu welfare state.

C. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban


1. Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban adalah lembaga yang mandiri, maksudnya adalah
sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai
komisi independen), yakni organ negara (state organs) yang
diidealkan independen dan karenanya berada di luar
cabang kekuasaan Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif,
namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang
kekuasaan tersebut.
Dikarenakan LPSK merupakan lembaga yang mandiri,
maka Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
tidak meletakkan struktur LPSK berada di bawah instansi
mana pun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun
lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial
lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara
sebagaimana pilihan undang-undang terhadap model
lembaga seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain
sebagainya.
Dari dokumen-dokumen yang ada, pertimbangan para
perumus undang-undang untuk menetapkan model
lembaga seperti ini terkait dengan beberapa argumentasi.

108
Pertama, keinginan untuk membuat lembaga yang secara
khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban
yang tidak berada di bawah institusi yang sudah ada, yakni
kepolisian atau kejaksaan, Komnas HAM atau Departemen
Hukum dan HAM. Kedua, karena institusi lainnya sudah
memiliki beban tanggung jawab yang besar, oleh karena itu
jangan sampai program perlindungan membebani lagi
lembaga-lembaga tersebut.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibu kota
Negara Republik Indonesia. Hal ini merupakan kebiasaan
yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah lembaga
negara, namun di samping kedudukan di ibukota negara,
undang-undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK
untuk membentuk perwakilan lainnya di daerah lainnya
jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK.
Pilihan undang-undang memberikan akses bagi LPSK
untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang
tepat karena dari segi geografis wilayah Republik Indonesia
yang lumayan luas dan akses informasi maupun
komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar
ibukota dengan wilayah lainnya.
Kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi
selama ini justru bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa
berada di tingkat region tertentu (Indonesia Timur,
Indonesia Barat, dan sebagainya). Perwakilan LPSK juga
bisa didirikan di tiap provinsi atau bahkan di tingkat
kabupaten-kabupaten tertentu, atau dalam kondisi khusus
(penting dan mendesak) Perwakilan LPSK bisa juga
didirikan di wilayah terpilih, misalnya: karena tingginya
kasus intimidasi dan ancaman saksi atau korban di daerah
tertentu, maka LPSK mendirikan kantor perwakilannya. Di

109
samping itu, perwakilan untuk LPSK ini bisa juga didirikan
secara permanen atau secara ad hoc tergantung situasi yang
mendukungnya. Walaupun idealnya LPSK ini ada di tiap
wilayah provinsi, namun kebutuhan untuk mendirikan
perwakilan tersebut juga akan memberikan implikasi atas
sumber daya yang besar pula, baik dari segi pembiayaan,
maupun penyiapan infrastruktur dan sumber daya
manusia.
Dalam hal pendirian perwakilan, dibutuhkan rencana
jangka panjang yang strategis dalam hal kontinuitas
lembaga, jangan sampai LPSK pusat hanya mampu
membangun atau mendirikan perwakilan namun tidak
begitu peduli atas sumber daya yang harus disiapkan untuk
berjalannya lembaga perwakilan tersebut. Masalah
koordinasi antar perwakilan juga perlu diperhatikan
dengan serius terutama berkaitan dengan yurisdiksi atau
perwakilan. Demikian pula dukungan dari instansi terkait
di wilayah perwakilan.
2. Tugas, Kewenangan dan Tanggung Jawab Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dalam
ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas
dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam undang-
undang, namun Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK
tersebut lebih lanjut. Perumus undang-undang kelihatannya
tidak menjabarkan tugas dan kewenangan LPSK dalam
suatu bagian atau bab tersendiri dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan
menyebarkan di seluruh isi undang-undang. Tugas dan

110
kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:
a. Menerima permohonan saksi dan/atau korban untuk
perlindungan (Pasal 29);
b. Memberikan putusan pemberian perlindungan saksi
dan/atau korban (Pasal 29);
c. Memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau
korban (Pasal 29);
d. Menghentikan program perlindungan saksi dan/atau
korban (Pasal 32);
e. Mengajukan ke Pengadilan (berdasarkan keinginan
korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan hak atas
restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7);
f. Menerima permintaan tertulis dari korban atau orang
yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34);
g. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya
yang diperlukan dalam diberikannya bantuan kepada
saksi dan/atau korban (Pasal 34);
h. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang
dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan
bantuan (Pasal 39).
Jika diliat dari tugas maupun kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepada LPSK, secara umum
terkesan sudah mencukupi, namun ada beberapa hal
penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK yang
seharusnya masuk di dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 yakni diberikan bagi saksi untuk dapat memberikan
bukti dalam persiapan apa pun. LPSK sebaiknya diperbolehkan
membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan:

111
• Bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;
• Penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;
• Konsultasi bagi para saksi; dan
• Hal-hal lain oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur
untuk menyediakan pelayanan bagi saksi di pengadilan;
• Melaksanakan tugas-tugas administrasi menyangkut
perlindungan sementara layanan-layanan lainnya;
• Membuat perjanjian-perjanjian mengenai bantuan yang
akan dilakukan orang-orang institusi atau organisasi,
misal: membuat kesepakatan dengan Departemen
lainnya di lingkungan pemerintahan, atau membuat
perjanjian dengan orang, institusi atau organisasi untuk
kepentingan LPSK yang lebih luas, yakni:
o Diberikan wewenang untuk:
(1) Menggunakan fasilitas atau perlengkapan-
perlengkapan milik atau yang ada di bawah
penguasaan Departemen, orang institusi atau
organisasi tersebut;
(2) Mendapatkan dokumen-dokumen atau informasi-
informasi lainnya yang dibutuhkan dalam rangka
perlindungan seseorang yang dilindungi; atau
menyangkut berbagai hal yang akan membuat
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban ini dapat berjalan.
o Menetapkan langkah-langkah dan cara-cara
bagaimana ketentuan-ketentuan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban mesti dijalankan oleh
kantor-kantor cabangnya jika ada dan menunjuk
tempat-tempat yang akan difungsikan sebagai
tempat-tempat aman. LPSK harus juga mengawasi
para staf di lembaga perlindungan saksi; dan boleh

112
menjalankan kewenangan dan harus melaksanakan
fungsi atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan,
ditugaskan atau dibebankan kepadanya oleh atau
berdasarkan undang-undang;
o Secara tertulis mendelegasikan kewenangan, fungsi
dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau
dibebankan kepadanya/kepada anggota lain di LPSK.
Anggota LPSK yang didelegasikan kewenangan,
fungsi dan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam
bagian di atas, harus menjalankan kewenangan,
melaksanakan fungsi dan tugas-tugas di bawah
pengawasan dan petunjuk dari ketua LPSK;
o Ketua LPSK dapat sewaktu-waktu mencabut
pendelegasian kewenangan, fungsi dan tugas-tugas
tidak menghalangi ketua menjalankan, melaksanakan
atau mengerjakan kewenangan, fungsi dan tugas-
tugas itu sendiri;
o Semua departemen di lingkungan pemerintahan
harus memberikan bantuan yang sekiranya
diperlukan dalam rangka menjalankan,
melaksanakan atau mengerjakan kewenangan, fungi
dan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau
dibebankan kepada ketua oleh/atau menurut
Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban;
o Kewenangan lainnya yang dibutuhkan oleh lembaga
ini dalam kaitannya dengan lembaga penegak hukum
lainnya adalah hak memberikan rekomendasi tentang
kondisi saksi maupun korban termasuk ketika saksi
akan memberikan keterangan dalam persidangan-
persidangan pidana;
o Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi
mengenai data-data tertentu dari saksi (rahasia) yang

113
masuk dalam program perlindungan saksi. Problem
atas minimalnya kewenangan dari LPSK dalam
praktiknya akan menyulitkan peranan-peranan dari
LPSK, karena tidak bisa dipungkiri bahwa pada
umumnya problem eksistensi antar lembaga negara
maupun antar instansi pemerintah bisa dikatakan
tidak akan pernah hilang.
Perlu diperhatikan pula jangan sampai kewenangan
dari LPSK berbenturan dengan kewenangan lembaga
lainnya, namun karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 telah menentukan secara terbatas kewenangan dari
LPSK, maka untuk membantu dan mendukung kerja-kerja
LPSK nantinya, sebaiknya LPSK:
• Membuat pemetaan dari daftar kewenangan dan
turunan kewenangan yang telah dimandatkan dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
• Menyisir beberapa kelemahan dari kewenangan dan
menutupinya dengan menetapkan sebuah keputusan
internal LPSK
• Walaupun keputusan LPSK nantinya terbatas sekali
dapat diterapkan di luar LPSK, namun dengan
melakukan pemetaan kebutuhan (tentunya untuk
memperbesar kewenangan), LPSK juga bisa
menggunakan perjanjian-perjanjian atau membuat Surat
Keterangan Bersama (SKB) dengan berbagai instansi
lainnya, tentunya dengan difasilitasi oleh pemerintah.
Dengan menggunakan model SKB atau perjanjian
kerjasama ini diharapkan masalah kewenangan antar
lembaga ini dapat diminimalisir.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan
bahwa LPSK bertanggung jawab kepada Presiden. Implikasi
atas hal ini maka Presiden sebagai pejabat negara tertinggi

114
yang bertanggung jawab atas kerja dari LPSK dan oleh
karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga
ini sesuai dengan mandat dan tugasnya. Jangan sampai
lembaga ini dibiarkan menjadi lembaga yang dikucilkan
dan tak terdukung oleh Presiden.
Di samping itu, Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban menugaskan LPSK untuk membuat laporan
secara berkala tentang pelaksaan tugas LPSK kepada Dewan
Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 tahun.
Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol DPR sebagai
perwakilan rakyat, namun perlu diperhatikan isi dan format
seperti apa yang harus dilaporkan kepada DPR maupun
Presiden, karena laporan-laporan tersebut tetap harus
menjaga kerahasiaan informasi sebagaimana telah
ditetapkan oleh LPSK dan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006.
3. kerja sama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dengan Lembaga Lainnya dalam Melaksanakan Fungsi
dan Kewenangannya
Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan
bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait
yang berwenang. Dalam melaksanakan perlindungan dan
bantuan, maka instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini sudah
menjadi platform umum bahwa masalah yang terkait dengan
perlindungan saksi dan korban hanya bisa ditangani secara
efektif melalui pendekatan multilembaga. Dengan memakai
platform ini, maka lembaga perlindungan saksi dan korban
dalam melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban
menyadari bahwa kerja sama antar lembaga akan

115
melibatkan banyak dukungan dari instansi lain, apalagi jika
dilihat dari segi geografis, di mana luasnya wilayah negara
Indonesia tidak memungkinkan LPSK dapat bekerja efektif
bisa tidak bekerja sama dengan instansi lainnya.
Sebagai contoh, berkaitan dengan intimidasi dan
ancaman yang serius yang melibatkan relokasi saksi baik
relokasi sementara maupun permanen, kerja sama antar
lembaga dengan program perlindungan saksi dan korban
sangatlah penting, terutama dalam mengamankan
perpindahan saksi/korban dari rumah mereka dengan
komunitas baru , namun jika seseorang yang merupakan
saksi/korban terkena intimidasi yang serius yang mungkin
juga akan mengancam jiwa maupun keluarganya dan
memiliki kemungkinan akan ada usaha dari pihak lain
untuk melacak keberadaannya, maka sangatlah penting bila
hubungan dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan
secara cepat dan aman.
Oleh karena itu, penting sekali dilakukan pemetaan
yang komprehensif oleh LPSK berkenaan dengan dukungan
dari lembaga atau instansi terkait, melakukan pendalaman
peran mungkin dilakukan oleh masing-masing lembaga dan
instansi terkait serta mengidentifikasi beberapa isu yang
perlu diperhatikan terkait kerja sama antar lembaga ini.
Hal-hal yang harus diperhatikan terkait dengan kerja
sama antar lembaga/instansi adalah sebagai berikut:
• Pertama, para ahli atau pejabat dari lembaga terkait dan
LPSK haruslah memberikan tanggapan yang efektif dan
konsisten;
• Kedua, walaupun kerja sama telah dilakukan namun
dengan membatasi hubungan dengan beberapa orang di
tiap lembaga, maka risiko yang membahayakan dapat
diperkecil;

116
• Ketiga, hubungan yang kuat antar lembaga dibangun di
antara para staf baik oleh pejabat lembaga perlindungan
saksi maupun pejabat lembaga lain. Hubungan ini
sangatlah penting dalam menangani masalah-masalah
yang mungkin timbul saat membantu para saksi dan
korban.
4. Bentuk Perlindungan yang Diberikan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban
Pada awalnya, keberadaan saksi dan korban kurang
mendapatkan perhatian. Keselamatan baik untuk dirinya
maupun keluarga pada kasus-kasus tertentu menjadi
taruhan atas kesaksian yang mereka berikan. KUHAP lebih
cenderung memberikan perhatian kepada warga negara
yang berstatus tersangka, terdakwa dan terpidana.
Bentuk perlindungan yang dapat diberikan
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada
saksi dan korban tindak pidana sesuai ketentuan Pasal 5,
hingga Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Seorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau
telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

117
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapatkan tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas
waktu perlindungan berakhir;
(2) Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada
saksi dan korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu
sesuai dengan keputusan LPSK.
Pasal 6
Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga
berhak untuk mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial
Pasal 7
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat;
b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah

118
Pasal 8
Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap
penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 9
(1) Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam
ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan
tempat perkara tersebut sedang diperiksa;
(2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut;
(3) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui
sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang
berwenang.
Pasal 10
(1) Saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum
baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,
sedang, atau telah diberikannya;
(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama
tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap saksi, korban dan pelapor yang memberikan
keterangan tidak dengan itikad baik.

119
Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan LPSK
kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai
berikut:
1. Perlindungan fisik dan psikis
Perlindungan fisik dan psikis dapat berupa: pengamanan
dan pengawalan, penempatan di rumah aman, mendapat
identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian
tanpa hadir langsung di pengadilan, serta diberikan
rehabilitasi psiko-sosial
2. Perlindungan hukum
Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban serta
pelapor terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006, yang mana dalam ayat (1) pasal
tersebut disebutkan bahwa saksi, korban dan pelapor tidak
dapat dituntut secara hukum.
3. Pemenuhan hak prosedural saksi
Pemenuhan hak prosedural saksi dapat berupa:
pendampingan, mendapat penerjemah, mendapatkan
informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian
biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan
biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan dan lain sebagainya sesuai ketentuan Pasal
5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Selain perlindungan, korban kejahatan juga berhak
mengajukan restitusi dan kompensasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 33 hingga Pasal 36, yang berbunyi:
Pasal 33
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada
seorang saksi dan/atau korban atas permintaan tertulis dari yang
bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.

120
Pasal 34
(1) LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada
saksi dan/atau korban;
(2) Dalam hal saksi dan/atau korban diberi bantuan, LPSK
menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 35
Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada saksi
dan/atau korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang
bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya permintaan tersebut.
Pasal 36
(1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan,
LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang
berwenang;
(2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan
kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Untuk mengajukan kompensasi ke Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban, permohonan kompensasi tersebut
haruslah memuat:
- Identitas Pemohon;
- Lampiran peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dialami;
- Pelaku yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
- Kerugian apa saja yang diderita korban;

121
- Bentuk kompensasi yang diminta.
Permohonan ini diajukan kepada LPSK dan dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan tersebut
diterima dari korban, keluarga korban ataupun kuasanya
LPSK akan memberikan keputusannya.
Sama halnya dengan kompensasi, permohonan untuk
mengajukan restitusi dapat juga dilakukan oleh korban,
keluarga atau kuasanya ke LPSK dengan proses yang sama
dengan pemberian bantuan kompensasi.
5. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan terhadap saksi dan korban diberikan
berdasarkan beberapa asas seperti yang tercantum dalam
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yaitu
penghargaan atas harkat dan martabat, rasa aman, keadilan, tidak
diskriminatif dan kepastian hukum.
Sebelum saksi dan korban bisa mendapatkan
perlindungan hukum dari LPSK, mereka harus melewati
beberapa prosedur yang telah ditetapkan oleh LPSK di
samping mereka juga harus memenuhi persyaratan untuk
mendapat perlindungan dari LPSK ini seperti yang
dijelaskan dalam Pasal 28 – Pasal 30 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006
Pasal 28
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap saksi dan/atau
korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban;
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau
korban;

122
d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi
dan/atau korban.
Pasal 28 ii memberikan penjelasan bahwa setiap saksi
dan/atau korban bisa menerima perlindungan hukum dari LPSK
jika memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, yaitu setiap
keterangan yang diberikan oleh saksi dan/atau korban dalam suatu
sidang di pengadilan haruslah bersifat penting. Selain itu juga
adanya ancaman dari luar yang mungkin membahayakan nyawa
para saksi dan atau korban serta membahayakan keluarganya.
Tata cara pemberian Perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban dipaparkan dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang berbunyi:
Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan baik atas inisiatif
sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7
(tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
Dari ketentuan Pasal 29 ini ada pengaturan mengenai
apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan itu
perlindungan seharusnya bukan hanya dari pihak saksi/korban
dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan
korban yang bersangkutan dan pendamping saksi dan korban.
Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau
walinya terhadap korban atau saksi yang masih di bawah umur
atau anak-anak.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban membuat
Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 yang secara khusus

123
mengatur mengenai tata cara mengajukan permohonan
perlindungan. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa:
(1) Pemohon perlindungan yang ditujukan kepada ketua LPSK
melalui surat atau permintaan pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf b, Ketua
LPSK meneruskan permohonan kepada UP2 LPSK untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kelengkapan
persyaratan sesuai dalam ketentuan peraturan ini;
(2) Dalam hal untuk memperoleh pemenuhan kelengkapan berkas
permohonan perlindungan, UP2 LPSK dapat berkoordinasi
kepada pejabat yang berwenang atau yang mengajukan
permohonan;
(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan
Pasal 7, UP2 LPSK dapat meminta data atau informasi
tambahan yang berkaitan perkaranya antara lain:
a. Hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP);
b. Sifat pentingnya kesaksian dalam perkara;
c. Surat panggilan kepolisian atau kejaksaan atau pengadilan;
d. Surat laporan atau informasi kepada pejabat terkait:
kepolisian, Komisi Negara, pemerintah, Pemerintah
Daerah, yang berkaitan atas kesaksiannya sebagai pelapor;
e. Surat dari instansi terkait mengenai kasusnya.
Permohonan yang telah diterima akan dilanjutkan
kepada UP2 oleh Ketua LPSK. UP2 (Unit Penerimaan
Permohonan) adalah unit yang bertugas untuk memberikan
pelayanan penerimaan permohonan perlindungan bagi
saksi dan korban yang terkait pelaksanaan fungsi dan tugas
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sedangkan
mengenai keputusan LPSK perihal diterima atau ditolaknya
suatu permohonan perlindungan yang berdasarkan
pemeriksaan yang telah dilakukan disampaikan paling

124
lambat 7 hari sejak permohonan perlindungan tersebut
diajukan.
Selanjutnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 disebutkan bahwa:
(1) Dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan/atau korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban
menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan saksi dan korban.
(2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan saksi dan korban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) memuat:
a. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan
kesaksian dalam proses peradilan;
b. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk menaati aturan
yang berkenaan dengan keselamatannya;
c. Kesediaan saksi dan/atau korban untuk tidak berhubungan
dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas
persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan
LPSK;
d. Kewajiban saksi dan/atau korban untuk tidak
memberitahukan kepada siapa pun mengenai
keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Proses pengajuan permohonan hingga disetujuinya
permohonan tersebut sering kali membingungkan para
saksi dan korban, karena mereka harus melewati proses
yang tidak pendek untuk mendapat perlindungan dari
LPSK ini. Hal inilah yang sering menjadi penyebab saksi
dan/atau korban merasa enggan untuk meminta
perlindungan dari LPSK dan memilih untuk diam.

125
Para saksi dan/atau korban merasa kurang mengerti
akan prosedur yang ditetapkan oleh LPSK. Apalagi bagi
para saksi dan korban yang tidak begitu mengerti akan
hukum. Oleh karena itulah, pendampingan dari seorang
advokat akan sangat membantu para saksi dan korban ini.

126
BAB V

BAB V

KOMPENSASI
DAN RESTITUSI

A. Pendahuluan
Suatu ilmu pengetahuan tentang korban timbul antara
tahun 1948 dan 1958, dimulai dengan Hans von Hentig dalam
karyanya yang berjudul The Criminal and His Victim pada tahun
1949. Von Hentig membuka cakrawala pemikiran baru yang
lebih luas bahwa dalam suatu peristiwa, dalam hal ini suatu
perbuatan pidana, seyogianya dipandang ada interaksi atau
dinamika yang bukan saja disebabkan oleh pelaku, tetapi ada
“inter-relationship” atau “dual-relationship” antara pelaku dan
korban. Sesungguhnya, sebelum Hans von Hentig menulis,
Benjamin Mendelsohn dan Marvin E. Wolfgang pada tahun
1947 telah mengkaji hal yang sama, bahkan Mendelsohn
memperkenalkan “the science of the victim” dengan nama
Viktimologi. Pengkajian korban di sini lebih diutamakan pada
korban kejahatan. Hubungan antara pelaku dan korban
kejahatan (victim-offender relationship) dipelajari tidak saja dari
aspek penderitaan korban, tetapi juga bagaimana peranan
korban yang mengakibatkan terjadinya suatu kejahatan. Awal
mula inilah yang kemudian mendorong perkembangan suatu
gagasan mengenai Kompensasi atau Ganti Rugi bagi korban.
Salah satu alasan sehubungan dengan perhatian para
ilmuwan terhadap viktimologi menurut Mardjono
Reksodiputro, yakni adanya pemikiran bahwa negara turut
bersalah dalam terjadinya korban, karena itu sewajarnyalah

127
negara memberikan kompensasi kepada korban.44 Berbagai
fakta yang ada menunjukkan bahwa terjadinya suatu tindak
pidana juga karena Negara yang diwakili oleh Pemerintah
tidak dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat terkait
keamanan pada fasilitas umum, kendaraan umum dan
berbagai tempat umum lainnya sehingga memberikan risiko
besar untuk terjadinya kejahatan yang melahirkan korban.

B. Perumusan Kompensasi dan Restitusi


1. Pengertian Kompensasi dan Restitusi
Dalam rangka pengaturan terhadap perlindungan
korban kejahatan, hal pertama yang harus diperhatikan
adalah esensi kerugian yang diderita korban. Untuk
diketahui, bahwa yang dimaksud dengan “restitusi” adalah
bagian dari reparation atau pemulihan kepada korban
berupa ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku
tindak pidana, sedangkan “Kompensasi” memiliki
pemahaman yang hampir sama dengan restitusi, hanya
pemberiannya dilakukan oleh negara dan bukan pelaku
tindak pidana.
Pengertian kompensasi diatur secara khusus di dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada
Saksi dan Korban. Pasal 1 angka 4 menentukan bahwa
Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara
karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Adapun pengertian restitusi diatur secara tersendiri di
dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa Restitusi

44 Mardjono Reksodiputro, Berbagai Catatan Umum tentang Masalah Korban, dalam

J. E. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm.
97

128
adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa
penderitaan, atau penggantian biaya kerugian untuk kehilangan
atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan
tertentu. Untuk korban yang bersifat khusus, diatur di dalam
Pasal 2 ayat (1) yang menentukan bahwa Korban pelanggaran
hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh kompensasi.
Pihak yang dapat mengajukan restitusi diatur di dalam
Pasal 20 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan:
Ayat (1) : Korban tindak pidana berhak memperoleh
restitusi.
Ayat (2) : Permohonan untuk memperoleh restitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan
surat kuasa khusus.
Pengaturan mengenai hak-hak korban di dalam hukum
positif secara terperinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 5
Pengaturan Hak-hak Korban
Undang- Kompensasi Restitusi Rehabilitasi
Undang
Undang-Undang Pasal 40 ayat
Nomor 23 Tahun (2)
2004 tentang
Penghapusan
Kekerasan
dalam Rumah
Tangga
Undang-Undang Pasal 7 butir Pasal 7 Pasal 6
Nomor 13 Tahun a butir b
2006 tentang

129
Perlindungan
Saksi dan
Korban
Undang-Undang Pasal 1 Pasal 1
Nomor 21 Tahun angka 13; angka 14
2007 tentang Pasal 48
Pemberantasan Pasal 50
Tindak Pidana
Pasal 51
Perdagangan
Orang
Undang-Undang Pasal 16
Nomor 44 Tahun
2008 tentang
Pornografi
Undang-Undang Pasal 68
Nomor 35 Tahun huruf b
2014 tentang
Perubahan
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun
2002 tentang
Perlindungan
Anak
Rancangan Pasal 64
KUHP

Pengaturan yang sudah ada tersebut jika dikaitkan


dengan pemenuhan hak korban masih meninggalkan
beberapa catatan khusus yang perlu diperhatikan, antara
lain:

130
a. Di dalam hukum positif yang mengatur pemenuhan hak
korban, tidak membedakan antara korban dewasa dan
korban anak;
b. Tidak adanya keseragaman baik dalam terminologi
perumusan maupun pengaturannya;
c. Tidak selalu diikuti dengan Peraturan Pemerintah
sebagai peraturan pelaksana;
d. Tidak ada ketentuan yang mengatur jika terdakwa tidak
dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar
restitusi, maka akan ada pidana pengganti seperti pidana
kurungan pengganti denda.
Sejalan dengan asas kesamaan hukum yang menjadi
salah satu ciri negara hukum, maka korban dalam proses
peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan
hukum. untuk itulah maka Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
menentukan bahwa berdasarkan:
a. Pasal 7 ayat (3) mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah;
b. Pasal 34 ayat (3) mengenai kelayakan diberikannya
bantuan kepada korban dan/atau saksi serta jangka
waktu dan besaran biaya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pengaturan
pelaksanaan kedua pasal tersebut diatur dalam satu
Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi
dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
2. Pengaturan Kompensasi dan Restitusi dalam Instrumen
Internasional
Ada suatu pernyataan penting dalam Deklarasi
tersebut yang terkait dengan pemberian restitusi, yang

131
menyatakan bahwa Government should review their practices,
regulations and law to consider restitution as an avaliable
sentencing option in criminal cases, in addition to other criminal
sanctions. Pencantuman restitusi sebagai salah satu pidana
tambahan dapat memudahkan hakim untuk lebih
memperhatikan nasib korban.
Pada tanggal 15 Desember 1985, Sidang Umum PBB
telah menerima Resolusi Nomor 40/34 tentang Declaration of
Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power, di mana dalam Pasal 6b menyatakan:
The responsiveness of judicial and administrative process to
the needs of victims should be facilitated by:
b. Allowing the views and concern of victims to be presented and
considered at appropriate stages of the proceedings where their
personal interest are affected, without prejudice to the accused
and consistent with the relevant national justice system.
terjemahan bebas:
responsivitas proses peradilan dan administratif terhadap
kebutuhan korban harus difasilitasi oleh:
b. pada setiap proses peradilan untuk dapat memberikan
apa yang dibutuhkan oleh para korban dalam porsi yang
sesuai di mana kepentingannya telah dirugikan akibat
adanya suatu perbuatan pidana tanpa melanggar
ketentuan yang ada dalam sistem hukum pidana.
Deklarasi ini juga mengatur tentang restitusi,
kompensasi dan asistensi terhadap korban. Khusus
mengenai restitusi dan kompensasi, disebutkan dalam
deklarasi ini terutama dalam Pasal 8, 9 dan 12.
Article 8 States:
Offenders or third parties responsible for their behavior should,
where appropriate make fair restitution to victims, their families or
dependant. Such restitution should include the return of property

132
of payment for the harm or loss suffered, reimbursement of
expenses incurred as a result of te victimization, the provition of
services and the restoration of rights.
(terjemahan bebas : pelaku atau para pihak yang
bertanggung jawab atas perbuatan tersebut, menyediakan
restitusi bagi korban atau keluarganya. Restitusi tersebut
termasuk pembayaran untuk kerugian harta benda yang
hilang, pengembalian dari kerugian yang telah diderita,
pelayanan serta pemenuhan hak-haknya)
Selain article 8, pengaturan tentang peran Pemerintah terkait
dengan perlindungan terhadap korban diatur secara khusus
dalam Pasal 9
Article 9 States:
Government should review their practice, regulation and laws to
consider resitution as an avaliable sentencing option in criminal
cases, in addition to other criminal sanction.
(terjemahan bebas : Pemerintah dalam hal ini seharusnya
mengevaluasi semua ketentuan, peraturan serta hukum
yang ada berkaitan dengan pemberian restitusi sebagai
sanksi tambahan dari sanksi pidana pada kasus-kasus
pidana).
Mengenai tanggung jawab negara diatur dalam Pasal 12
yang berbunyi:
Article 12 State:
When compensation is not fully avaliable from the offender or other
sources, State should endeavor to provide financial compensation.
(terjemahan bebas : Jika kompensasi tidak dapat
sepenuhnya dipenuhi oleh pelaku atau pihak lain, maka
negara seharusnya mengambil alih tanggung jawab
tersebut).

133
C. Kompensasi dan Restitusi Sebagai Hak Korban dalam
Perspektif Viktimologi
Pemahaman bahwa korban telah menderita suatu bentuk
kerugian akibat terjadinya suatu tindak pidana yang menimpa
dirinya dipahami sebagai suatu asas universal di hampir
seluruh bagian dunia. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan perlindungan terhadap hak korban merupakan
dua sisi dari satu mata uang yang sama. Keduanya tidak dapat
dipisah-lepaskan, seperti yang dikemukakan oleh Zvonimir-
Paul Separovic sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief,
yakni: “The rights of the victims are a component part of the concept
of human rights.” Dengan kata lain bahwa memberikan
perlindungan terhadap hak-hak korban merupakan bagian
dari perwujudan terhadap perlindungan hak asasi manusia.45
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially women and Children, Supplementing the United
Nations Convention Against Transnational Organized Crime adalah
sebuah Protokol untuk mencegah dan menghukum pelaku
perdagangan manusia terutama karena korbannya adalah
perempuan dan anak. Protokol tersebut dikeluarkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian lebih dikenal
dengan “Konvensi Palermo 2000”. Pada bab II Konvensi
Palermo ini mengatur secara khusus ketentuan mengenai
“Protection of victims of Trafficking in Persons”, di mana pada
article 6 secara implisit diatur mengenai ketentuan tentang
Assistance to and protection of victims of trafficking in persons, yang
mencantumkan Each State Party shall ensure that its domestic legal
system contains measures that offer victims of trafficking in persons
the possibility of obtaining compensation for damage suffered persons
the possibility of obtaining compensation for damage suffered.

45 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 8

134
(terjemahan bebas: setiap negara peserta seharusnya
mengatur ketentuan tentang suatu tindakan di mana
memberikan kesempatan kepada korban perdagangan
manusia kemungkinan untuk mendapatkan ganti kerugian
untuk penderitaannya).
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, ketentuan mengenai perlindungan
terhadap hak-hak korban perdagangan korban diatur secara
khusus dalam Bab V Pasal 43 sampai Pasal 55. Secara
keseluruhan terdapat 12 (dua belas) pasal yang mengatur hak-
hak korban perdagangan orang namun ada beberapa pasal
yang secara khusus mencantumkan bahwa:
1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang berhak
memperoleh restitusi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 13
di mana kepada pelaku dibebankan untuk membayar ganti
kerugian;
2. Restitusi dicantumkan di dalam amar putusan perkara
Tindak Pidana Perdagangan Orang, hal ini diatur secara
khusus di dalam Pasal 48 ayat (3);
3. Jika pelaku tidak mampu membayar maka berlakulah
ketentuan yang diatur dalam Pasal 50 ayat (4), akan
disediakan kurungan penganti maksimal 1 tahun;
4. Adanya hak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah.
Perumusan pasal-pasal tersebut di atas tidaklah bersifat
“mengikat dan memaksa” bagi aparat penegak hukum. hal
yang dikhawatirkan adalah di dalam rangka mewujudkan
komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun
2000 di mana Indonesia sudah meratifikasi dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, namun
dalam implementasinya ternyata ada pasal-pasal yang kurang
jelas sehingga menghambat pelaksanaan dalam rangka

135
memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban
khususnya perdagangan orang.
Pencantuman restitusi secara eksplisit juga diatur dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang tetapi tidak diatur sebagai suatu jenis di dalam pidana
tambahan dan tidak tertulis secara lebih spesifik jumlah
nominal dalam batasan minimum dan maksimum seperti yang
ada pada pidana denda. Tidak dipungkiri bahwa jumlah
nominal denda yang dijatuhkan cukup besar jumlahnya,
namun pidana denda tersebut tidak ditujukan atau
diperuntukan bagi pemulihan korban namun akan diserahkan
pada kas negara.
Belanda adalah contoh dari salah satu negara yang
mengambil alih tanggung jawab dalam pembayaran
kompensasi. Hal ini terjadi pada tahun 1977 di mana telah
diatur mengenai kompensasi yang dibayarkan oleh negara bagi
korban-korban tindak pidana kekerasan. Demikian pula yang
terjadi di Inggris pada tahun 1964, dengan dikeluarkannya
Criminal Injures Compensation Board (CICB), di mana negara
yang memberikan kompensasi kepada korban tindak pidana
kekerasan dan sampai tahun 1992 telah dibayarkan kurang
lebih 35 millons pounds kepada 19.771 korban.
Pemberian kompensasi di Singapura diatur dalam The
Criminal Procedure Code, sesuai dengan yang tercantum dalam
Section 40 (1) (b) of the criminal Procedure Code (Cap 68) yang
menyebutkan:
The general statutory provision which empowers the court to
make a compensation order. There is no express stipulation in S 401
that an application must be made to the court before it may make an
order for payment of compensation. The court can therefore make a
compensation order on its motion. A compensation order may be made
only by the court which convisted the accused of the offence.

136
Ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa undang-
undang memberikan kekuasaan pada pengadilan untuk
memberikan suatu ganti rugi. Pengadilan diberikan wewenang
untuk menentukan tata cara pemberian ganti rugi tersebut. Hal
ini tentunya memberikan suatu kepastian hukum bagi korban
untuk mendapatkan hak-haknya.

D. Kedudukan Kompensasi dan Restitusi dalam Hukum Pidana


Permasalahan tentang kompensasi dan restitusi ini
tentunya dapat pula mempengaruhi kebijakan pemerintah
dalam rangka menetapkan serta mengimplementasikan
perlindungan hukum terhadap korban, yang diharapkan tidak
hanya bersifat penetapan prosedur-prosedur hukum belaka,
tetapi lebih bersifat substansial dan operasional dengan
membangun suatu sistem hukum pidana nasional melalui
kebijakan hukum pidana yang mencerminkan keadilan dan
kepastian hukum.
Konsep ganti rugi yang tercantum sebagai salah satu
pidana tambahan di dalam Rancangan KUHP merupakan
suatu kemajuan besar yang dicapai dalam mewujudkan konsep
restorative justice. Hal ini juga sesuai dengan tuntutan dari
masyarakat internasional untuk meningkatkan pengaturan
hukum pidana terhadap korban kejahatan. Kecenderungan ini
diperkuat dengan adanya “United Nation Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power,” yang
pada hakekatnya berisi himbauan pada para anggota PBB
untuk lebih memperhatikan masalah korban kejahatan,
khususnya dalam hal:
1. Access to justice and fair treatment;
2. Restitution;
3. Compensation; and
4. Assistance

137
E. Kompensasi dan Restitusi dalam Kerangka Restorative
Justice
Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk
merumuskan ukuran atau dasar keadilan apabila terjadi
pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum
pidana yang memiliki pengaruh yang kuat ada dua, yaitu:
- Keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan atau
Retributif Justice; dan
- Keadilan yang berbasis pada filasat restoratif atau
pemulihan yang dikenal dengan nama “Restorative Jusctie.
Berdasarkan hasil laporan dari Simposium Pembaharuan
Hukum Pidana Nasional Tahun 2010 menyatakan bahwa:
sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus
diarahkan kepada perlindungan masyarakat dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku. Oleh sebab itu,
menurut Mudzakkir, pemidanaan harus mengandung unsur-
unsur yang bersifat:
1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut
menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;
2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu
membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang
dilakukan dan menyebabkan ia mempunya sikap jiwa yang
positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan
kejahatan;
3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan
adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban dan juga
masyarakat).46
Pernyataan dari Mudzakkir ini kemudian diulas kembali
oleh Made Dharma Weda, yang kembali menegaskan bahwa

46 Mudzakir, Bentuk-Bentuk Pemidanaan dalam RUU KUHP, Makalah, Seminar

yang diselenggaran oleh Komnas HAM, Bandung, 2005, hlm. 6

138
perhatian terhadap korban merupakan inti dari keadilan
restoratif yang memandang bahwa kejahatan tidak hanya
sebagai suatu pelanggaran terhadap hukum pidana, tetapi juga
merupakan konflik antar individu yang mengakibatkan
kerugian di pihak korban, masyarakat dan pelanggar itu
sendiri.47
Berkaitan dengan hal tersebut, Braithwaite
mengemukakan pula bahwa pelanggar, korban dan masyarakat
secara bersama-sama mengidentifikasi permasalahan serta proses
hukum yang diinginkan korban, sehingga korban dapat memahami
bagaimana proses itu dapat berlangsung dan apa yang dihasilkan
dalam proses tersebut.48 Selanjutnya Braithwaite juga
mengemukakan bahwa equality justice means equal treatment of
victims. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap korban,
melalui kesempatan yang diberikan terhadap korban untuk
mengetahui bentuk perbaikan yang dilakukan oleh pelaku
menunjukkan kualitas keadilan itu sendiri, sedangkan Allison
Morris dan Warren Young, inti dari keadilan restoratif adalah
pemberian maaf oleh korban kepada pelaku serta memperbaiki
akibat yang ditimbulkan karena perbuatan pelaku serta
memperbaiki akibat yang ditimbulkan karena perbuatan
pelaku, baik secara materiil maupun secara fisik.49

47 Made Dharma Weda, Pemberlakuan Hukum Pidana Secara Retroaktif di Indonesia.

Ringkasan Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas


Indonesia, 2006, hlm. 14
48 John Braithwaite, Restorative Justice and Reponsive Regulation, Oxford University

Press, 2002, p. 46
49 Allison Morris and Warren Young, Reforming Criminal Justice: The Potential of

Restorative Justice.

139
DAFTAR PUSTAKA

Alawiyah, Tutty. Kata Sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika.


Dari Moh. Taufik Makarao et.al. Jakarta: Ghalia Indonesia.
2003
Appeldoorn, L. J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan 26.
Terjemahan Mr. Oetarid Sadino. Jakarta: Pradnya Paramita.
1996
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti
Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Putra A. Bardin.
1996
Bonger, W. A. dan G. h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R. A.
Koesnoen. Pengantar Tentang Kriminologi. Cetakan Ketujuh.
Jakarta: Pembangunan. 1995
Braithwaite, John. 2002. Restorative Justice and Responsive
Regulation. Oxford University Press
Chaerudin dan Syarif Fadilah. Korban Kejahatan dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana Islam. Cetakan Pertama.
Jakarta: Ghalia Press. 2004
Cohen dan Romli Atmasasmita. Masalah Santunan Korban
Kejahatan. Jakarta: BPHN, TT (tanpa tahun)
Ekotama, Suryono, Harum Pudjianto, dan G. Widiartama.Abortus
Provocatus bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi,
Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas
Atmajaya. 2000

140
Frase, Richard. Victimless Crime, dalam Stanford H. Kadish (ed.)
Encyclopedia of Crime and Justice. Volume. 1. New York: The
Free Press: A Division of Macmillan Inc. 1983
Gosita, Arief. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika
Pressindo. 1993
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP. Bandung: Mandar Maju. 2003
Kimball, Edward L. Crime: Definition of Crime. Dalam Stanford H.
Kadish (ed.) Encyclopedia of Crime and Justice. Volume. 1.
New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc. 1983
Koesoemo, Soerjono. Beberapa Pemikiran tentang Filsafat Hukum:
Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) “Hakim yang Besar”.
Semarang: Fakultas Hukum UNDIP. 1991
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Shidarta. Pengantar Ilmu
Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya
Ilmu Hukum. Edisi Pertama: Buku I. Bandung: Alumni. 2000
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita.
Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2007
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 1993
Morris, Allison and Young Warren. Reforming Criminal Justice: The
Potential Of Restorative Justice
Mudzakkir. 2005. Bentuk-Bentuk Pemidanaan Dalam RUU KUHP.
Makalah Seminar. Bandung: Komnas HAM
Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontemporer. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2007
Muladi, disampaikan pada seminar Viktimologi di Universitas
Airlangga Surabaya tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Muladi
dan Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung: Alumni. 1992
_________. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.

141
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2002
Prassel, Frank R. Criminal Law, Justice and Society. Santa
Monica California: Goodyear Publishing Company Inc.
Sahetapy, J. E. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Sidik Sunaryo. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang:
UMM Press. 2005
Sola, Ralp de. Crime Dictionary. New York: Facts on File
Publication. 1998
Soeparmono, R. Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan
Ganti Kerugian dalam KUHAP. Bandung: Mandar Maju. 2003
Utrecht, E. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. 1958
Yulia, Rena. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kejahatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010
Weda, Made Darma. Beberapa Catatan Tentang Korban
Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi. Bandung:
Eresco. 1995
______________________. Pemberlakukan Hukum
Pidana Secara Retroaktif di Indonesia. Ringkasan Disertasi. Jakarta:
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2006
Walker, Samuel. Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide.
Monterey California: Brooks/Cole Publishing Company.
1985
Zanibar, M. Z. Zen. Wilayah Kajian Ilmu Hukum. Dalam Lex
Jurnalica. Transformasi Ide dan Obyektifitas. Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas
Indonesia. Jakarta: Esa Unggul. 2004

142
PROFIL PENULIS

Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, SH, MH.


Scopus ID: 57201667531

Penulis lahir di Jakarta, 19 April 1964. Memperoleh gelar


Sarjana Hukum dari Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (UTA’45
Jakarta), Magister Ilmu Hukum dan Doktor Ilmu Hukum dari
Universitas Pelita Harapan. Gelar kesarjanaan lainnya adalah
Sarjana Teknik dan Manajemen Industri dari Universitas Islam
Jakarta, Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka, Magister
Manajemen dari STIE Indonesia Sains dan Manajemen, Magister
Manajemen Investasi dari STIE Institut Pengembangan
Manajemen Indonesia, dan Doktor Ilmu Ekonomi Universitas
Gunadarma. Adapun gelar profesional yang diperolehnya
meliputi RFAÒ (Registered Financial Associate) dari International
Association of Registered Financial Consultants (IARFC),
Middletown, Ohio, USA; Akta Mengajar IV dari Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Terbuka; Applied
Approach Kopertis Wilayah III Jakarta, serta Sertifikasi Pendidik
dari Universitas Pasundan. Saat ini menjabat sebagai Ketua Tim
Penilai Angka Kredit pada Fakultas Hukum, Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya). Beliau menikah dengan
dr. Hj. Ika Budiyanti, mereka dikaruniai 2 (dua) anak kembar laki-
laki dan perempuan yaitu R. Bregasz Lintang Muhammad Akbar
(Alumni Sekolah Musik “Yayasan Pendidikan Musik”, Jakarta)
berserta Rr. Ayu Wulan Windie Annisa, S.T.P. (Alumni Program
Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya).

143
Zulkifli Ismail, S. H., M. H.
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 24 Maret 1972. Penulis
menyelesaikan pendidikan Diploma 3 pada Fakultas Sastra
Jurusan Sastra Belanda Universitas Indonesia pada tahun 1993,
lalu menyelesaikan pendidikan Strata 1 di Fakultas Hukum
Universitas Pancasila pada tahun 1998. Pada Tahun 2016
menyelesaikan Pendidikan Strata 2 pada Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Penulis pernah mengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
pada tahun 1995-2011; dan di Fakultas Hukum Mpu Tantular pada
tahun 2011-2013. Penulis adalah pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya sejak tahun 1997 hingga
sekarang dan di tahun 2017 ditetapkan sebagai dosen tetap di
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Melanie Pita Lestari, S. S., M. H.


Penulis lahir di Bogor pada tanggal 24 Mei 1979. Penulis
menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Fakultas Sastra Jurusan
Germania Program Studi Sastra Belanda pada tahun 2001, lalu
mengikuti pendidikan untuk Pengajar Bahasa Belanda sebagai
Penutur Asing di Erasmus Taalcentrum pada tahun 2003-2005.
Pada tahun 2016, penulis menyelesaikan pendidikan Strata 2
dalam bidang Magister Ilmu Hukum dari Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya. Penulis pernah bekerja di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2001-2004; menjadi
dosen tidak tetap di Universitas Bhayangkara sejak 2006 dan pada
2016 diangkat menjadi dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya.

144

Anda mungkin juga menyukai