Anda di halaman 1dari 10

Nama : Syahdan Sabillah

Nim : 010001900577

Mata Kuliah : Logika Hukum

Dosen : Dr. Drs. Trubus Rahardiansah, SH,.MS.

Rabu, 17 Juni 2020

1. A. Menurut saya ustad abu janda dalam hal ini melakukan pencemaran nama baik
serta melakukan ujaran kebencian kepada Ustad Maheer dan abu janda pun
melakukan penistaan agama ia mengeluarkan pernyataan “teroris itu mempunyai
agama, dan agamanya Islam” . Tentu ini tidaklah benar karena diajaran agama mana
pun tidak ada yang mengajarkan tindakan tindakan terorisme. Jadi dalam hal ini abu
jandan dapat di jatuhkan pasa 156 KUHP huruf (a) dan pasal 28 ayat 2 UU ITE
tentang (SARA)

B. Validitas Argumen :
Abu Janda menyatakan, “ Jangan bilang islam radikal itu tidak ada, terorisme itu tidak
punya agama jangan bilang kaya gitu. Jangan bilang lagi terorisme tidak punya
agama, terorisme punya agama dan agama nya islam dan gurunya si Maher ini “

C. Bagan Wigmore :
1) Ultimate Probanda : Ustad Abu Janda mengujar kebencian dengan melalui
perkataan dan harus dihukum berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE: Setiap Orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
2) Penultimate Probanda :
a) Mengujar Kebencian dengan perkataan
b) Dengan maksud untuk melindungi diri dari hukum
3) Keylist : Yaitu “Terorisme lahir dari jamaah yang mendengar ustad-ustad seperti
ini. Jadi jangan ngomong lagi, terorisme itu tidak punya agama, terorisme punya
agama dan agamanya islam dan gurunya itu Maheer itu.
4) Intern Probanda : Seharusnya Ustad Abu Janda tidak harus berbicara seperti itu
karna perkataan seperti itu bisa menjadi ujaran kebencian

D. Pasal-pasal yang dilanggar oleh tersangka :


- Pasal 28 ayat (2) UU ITE: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA).
- Pasal 156a KUHP adalah, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

2. A. Kerangka analitis tentang legal reasoning. Reasoning melalui contoh. Pola dasar
legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam pelaksanaanya
terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara para ahli hukum
terutama di negara yang menganut common law.
Reasoning Kasus per kasus. Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak
keluar dari contoh legal reasoning yang diperoleh dari pengadilan terdahulu.
B. Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning
ini terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan kasus
yang lainnya dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep hukum
(legal concepts). Memang benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan kasus
lain adalah terlihat dalam susunan kata-kata, dan ketidakmampuan untuk
mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan menghambat perubahan hukum.
Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu mempunyai
ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu.
Sebagaimana diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora,
bahwa: “suatu perkataan dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan berakhir
dengan memperbudaknya”. Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang
hukum harus menjadi perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk
memperhatikan pentingnya kesamaan atau perbedaan, maka perbandingan akan
timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya diterima, maka ia akan
menjadi konsep hukum. Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal
reasoning ini terjadi lingkaran konsepsi hukum sebagai berikut:
Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana
diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang
lain, kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit
banyaknya menjadi suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh terus
berlangsung untuk mengklasifikasikan hal-hal yang ada di luar dan di dalam konsep
tersebut. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi keruntuhan konsep tersebut,
apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan membuktikan
bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi diperlukan, dan dimulai lagi
penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian mengalami reasoning kembali,
demikian seterusnya yang terjadi sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.

C. Interpretasi mempunyai peranan penting pada dua hal dalam legal reasoning,
yaoti :
 Dalam reasoning untuk menyusun substantsi hukum yang ada pada
masalah/kasus yang terjadi
 Dalam menyusun reasoning dari substansi hukum yang ada untuk
mendapatkan keputusan dalam masalah/kasus yang sedang dihadapi.
3. A. Beberapa ahli berpendapat (Kress, 1984; Marmor, 1992; Raz, 1994) bahwa teori
koherensi yang mempunyai hubungan sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini
mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori koherensi dalam hukum juga
mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang kebenaran, kepercayaan
yang sah, etika dan keadilan.
Teori Dworkin tentang hukum sebagai integritas sebagai pendukung teori koherensi
tempaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap: koherensi, dalam penafsiran
hukum sebagaimana berbicara dengan satu suara dengan integritas mengharuskan
adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan kenyataan
hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk
mencapai suatu keputusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa ketentuan-
ketentuan hukum seperti doktrin preseden, argumen dari analogi, dan keharusan
memperlakukan suatu kasus sama seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat
melalui beberapa penjelasan tentang koherensi. Mac Cormick (1984) memandang
koherensi dalam bentuk kesatuan azas-azas pada sistem hukum, dan menyatakan
bahwa koherensi dari satu kesatuan norma hukum terdiri dari keterhubungan mereka
baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau dalam bentuk
pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama. Raz (1994) juga
memandang koherensi dalam hukum dalam bentuk kesatuan prinsip. Semakin
menyatu prinsipprinsip yang mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam
menyusun undang-undang, semakin koheren hukum yang dicapai. Menurut Raz
(1994) teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya
“dasar”atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam karakternya
secara krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat
lainnya. Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus
yang secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang
berlaku, hakim harus menanamkan di dalam pikirannya bahwa jika mereka memilih
suatu jalan/ cara terdahulu, dan muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka
pada perselisihan hukum yang mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi
terhadap hukum dan karena itu menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin
hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti bahwa legislator harus menyusun
hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di masa lalu, karena
legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam
memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh area
hukum terkait. Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah
yang timbul dalam suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak
berwenang untuk melakukan reformasi hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan
bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih bagi koherensi dengan hukum yang
berlaku dalam memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya. Namun, Dworkin
mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik hakim maupun hali
hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu
kesimpulan yang menciptakan hukum.
Dworkin menyatakan bahwa hukum adalah suara yang tersusun dan koheren
sebagaimana suatu kumpulan prinsip-prinsip yang berhubungan dimana setiap
anggotanya menerima kenyataan bahwa mereka terhubung dengan kenyataan bahwa
hakhak dan tanggungjawab mereka diatur dengan prinsip yang umum. Dworkin
mendukung pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keputusan pengadilan
yang tepat adalah yang didasarkan kepada koherensi yang baik dengan hukum secara
keseluruhan. Sedangkan Lavenbook (1984) mendukung pendapat tentang koherensi
global, ia mengkritik pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keunggulan
koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah secara
hukum didukung oleh, dalam hubungannya yang koheren dengan prinsip-prinsip yang
merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, akan tetapi prinsip tersebut berbeda
secara substansial dengan, dan oleh karena itu tidak koheren dengan prinsip dari
bidang hukum lain. Dalam pandangan ini, suatu putusan pengadilan yang sangat
koheren dengan prinsip hukum di bidang tertentu dapat saja tidak menghasilkan
koherensi dengan keseluruhan sistem hukum.
B. Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning,
legal reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan
orang dalam kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang baik dalam hal
ini, dalam kehidupan sehari-hari, orang pada umumnya tidak mempertimbangkan
kenyataan bahwa ia telah memutuskan sesuatu pada masa lalu dalam mengambil
keputusan terhadap masalah yang dihadapinya dan yang akan diputuskannya di masa
depan.
Berbeda dengan preseden di bidang hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang
di mana orang akan mempertimbangkan keputusan terdahulu dalama mengambil
putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek lembaga juga memberi
bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu dalam
mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambil keputusan
akan selalu mengacu kepada apa yang diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan
mengenai apa yang harus mereka lakukan saat ini, tanpa memandang apakah
keputusan yang diambil di masa lalu sudah benar atau tidak. Demikian pula
pengambil keputusan di suatu lembaga selalu mempertimbangkan keputusan sebagai
suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda dari
masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi. Mereka beralasan bahwa
karena keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten
apabila sekarang diambil keputusan yang berbeda. Dengan Legal reasoning kita dapat
memberi pertimbangan terhadap apa yang telah diputuskan di masa lalu tanpa
memandang kehadiran para pembuat keputusan secara personal waktu itu. Dengan
legal reasoning kita dapat mempertimbangkan apakah putusan masa lalu telah diambil
secara tepat, akan tetapi fokus utama adalah bahwa keputusan yang diambil saat ini
haruslah tepat dan tidak dihambat oleh pandangan tentang masalah terdahulu. Analogi
sebagai argumen dalam legal reasoning adalah bahwa suatu kasus harus diperlakukan
dengan suatu cara tertentu karena dengan cara itu pula kasus yang serupa telah
diperlakukan.
Argumen dengan analogi ini menjadi tambahan bagi doktrin preseden dalam dua hal
yaitu: (i) analogi digunakan apabila fakta-fakta dalam suatu kasus tidak masuk dalam
ratio suatu preseden, untuk dapat digabungkan hasilnya dalam kasus yang sama, (ii)
analogi digunakan apabila faktafakta dalam suatu kasus masuk ke dalam ratio suatu
preseden, sebagai dasar untuk membedakan kasus yang sedang ditangani dari
preseden yang ada. Analogi sebagaimana preseden muncul dalam konteks doktinal.
Kasus yang sedang ditangani memunculkan masalah hukum, misalnya mengenai
apakah persetujuan pihak korban meniadakan tuntutan hukum mengenai perkosaan,
atau apakah pembakaran bendera merupakan bentuk penghinaan terhadap negara?
Suatu analogi dapat mengenai suatu kasus atau pula mengenai suatu doktrin hukum
dan analogi tergantung kepada karakter yang sama pada dua kasus yang terjadi atau
dua doktrin hukum yang ada yang releven terhadap masalah yang terjadi.

C. Teori kebenaran
1) Teori Kebenaran Saling Berhubungan (Coherence Theory of Truth)
Teori ini menganggap bahwa sesuatu dianggap benar apabila pernyataan itu
koheren atau konsistent dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Proporsi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lainnya yang benar, atau makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Biasanya, kita mengatakan orang berbohong dalam banyak hal dan kita
mengetahuinya dengan cara menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya tidak
cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau dikerjakanya.
2) Teori Kebenaran Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth)
Bagi penganut teori kebenaran ini, suatu pernyataan dianggap benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan)
dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sebuah pernyataan itu benar
jika apa yang diungkapkannya merupakan fakta. Jika penulis mengatakan, “Di
luar hawanya dingin” maka, memang begitulah kenyataanya berdasarkan
keadaannya yang nyata. Jika ada yang mengtakan, “Ibukota Jawa Timur adalah
Surabaya” Maka, pernyataan itu dianggap benar sebab hal itu cocok dengan objek
materialnya, bersifat faktual (berdasarkan fakta).
Salah satu tokoh teori ini adalah Bertrand russel (1872-1870) dan para penganut
aliran realis yang berpandangan bahwa fakta material itu sifatnya mandiri dan tak
terpengaruh oleh ide. Ada atau tidaknya ide, fakta tetap ada. Kalau ide mau benar,
ia harus sesuai dengan kenyataan yang ada.
3) Teori Kebenaran Inherensi/Pragmatis (Inherent Theory of Truth)
Teori ini berpandangan bahwa sesuatu dianggap benar apabila berguna. Artinya,
kebenaran suatu  pernyataan bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Ajaran
pragmatisme memang memiliki banyak corak (variasi). Tetapi, yang menyamakan
di antara mereka adalah bahwa ukuran kebenaran diletakkan dalam salah satu
konsenkuensi. William James, misalnya, mengatakan, “Tuhan ada.” Benar bagi
seorang yang hidupnya mengalami perubahan karena percaya adanya Tuhan.
Artinya, proposisi-proposisi yang membantu kita mengadakan penyesuaian-
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman-pengalaman kita adalah
benar.
Teori pragmatisme dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas
Clear”. Teori ini lalu dikembangkan oleh beberapa filafaat yang kebanyakan
adalah orang Amerika, karena itulah filsafaat Amerika identik dengan aliran
pragmatisme ini.
4) Teori Kebenaran Berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Yaitu proposisi itu ditinjau dari segi arti atau maknanya. Apakah proposisi yang
merupakan pangkal tumpunya mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori
ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam
referensinya.
Teori kebenaran semantick dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang
dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat
analitika Bahasa.
D. Penalaran hukum : proses menalar dalam kerangka dan berdasarkan tata hukum
positif mengidentifikasi hak-hak dan kewajiban- kewajiban yuridik dari subyek-
subyek hukum tertentu. Penalaran hukum adalah proses penggunaan alasan-alasan
hukum (legal reasons) dalam menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam
putusan hukum. Kesimpulan adalah suatu pendirian yang dibangun atas dasar
premispremis yang diajukan dalam penalaran itu. Tiap premis dan kesimpulan
mewujudkan diri sebagai sebuah pernyataan yang dalam logika disebut proposisi.
Dalam Logika produk dari kegiatan itu disebut argumentasi. Sebuah argumentasi
tersusun atas sekelompok pernyataan yang didalamnya salah satu pernyataan
pernyataan lainnya dari kelompok pernyataan tersebut yang masing-masing disebut
premis atau argumen. n Produk dari penalaran hukum ( legal reasoning) disebut
argumentasi yuridik. kesimpulannya disebut pendirian hukum atau pendapat hukum,
yakni substansi putusan hukum. Premis-premisnya terdiri atas kaidah-kaidah hukum
positif dan fakta-fakta.

4. A. Kesalahan logika, atau yang sering disebut juga logical fallacy, merupakan cacat atau
sesat penalaran, yang tidak hanya sering (secara tak sengaja) digunakan oleh orang-orang
yang kemampuan penalarannya terbatas, tetapi juga sering (secara sengaja) digunakan oleh
orang-orang tertentu, termasuk media, untuk mempengaruhi orang lain. Logical fallacy
didefinisikan sebagai kesalahan dalam penalaran yang menyebabkan suatu argumen menjadi
tidak valid. Kesalahan ini dapat dibagi dua menjadi formal fallacy dan informal fallacy. 
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada ada atau tidaknya kaitan dengan konteks
dan konten suatu argumen. Formal fallacy merupakan kesalahan logika yang tidak berkaitan
dengan tata bahasa dan konteks argumen. 
Untuk mengetahui apakah suatu argumen terbebas dari formal fallacy, seseorang hanya perlu
memperhatikan struktur argumen tersebut tanpa mengevaluasi konteks. Sementara itu,
informal fallacy merupakan kesalahan logika akibat konten dan konteksnya ketimbang
bentuknya.

B. 1. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (forma)


penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen
(hukum-hukum silogisme).

2. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi)


penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang
menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena
memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya
(kesesatan relevansi).

C. Dua Bentuk Dasar Penalaran: Induksi dan Deduksi


Para logikawan umumnya membagi penalaran kedalam dua kategori utama yakni
penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran induktif didasarkan pada
generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita miliki. Berdasarkan
pengetahuan atau pengalaman yang kita miliki tersebut, dirumuskan atau disimpulkan
suatu pengetahuan atau pengalaman baru. Atau dengan rumusan lain, induksi adalah
proses penarikan kesimpulan universal beradasarkan pengalaman, data, fakta, atau
pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki. Contoh:
Premis : Doni, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Jodi,
melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Johan, melanggar lalu
lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Budi, melanggar lalu lintas, bukanlah
orang yang menaati hukum,
Kesimpulan: Semua orang yang melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati
hukum. Contoh di atas merupakan induksi dalam pengertian generalisasi induksi.
Generalisasi induksi umumnya disingkat dengan induksi saja. Generalisasi induktif
merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan umum (universal) dari data, fakta,
kenyataan tertentu atau beradasarkan proposisi singular.
Proses penalaran generalisasi induktif bersumber dari prosedur kerja ilmu (science).
Para ilmuwan melakukan observasi atas berbagai data atau fakta tertentu kemudian
merumuskan hipotesis tentang hasil observasi atas fakta tersebut. Perumusan hipotesis
tersebut merupakan sebuah bentuk penaralan induktif. Hipotesis tersebut
kemudiandiuji secara terus-menerus (abduksi) untuk menguji kebenarannya. Jika para
ilmuwan menemukan sesuatu yang selalu benar dalam setiap situasi dalam pengujian
tersebut, maka ia bisa menyimpulkan bahwa hal tersebut benar dalam hal atau situasi
lain juga.
Tetapi penalaran induktif memiliki bentuk penalaran lain yang dikenal dengan analogi
induktif. Bentuk dasar penalaran analogi induktif adalah bahwa karena dua hal sama
atau serupa (similar) dalam banyak hal, maka mereka juga serupa atau sama dalam hal
khusus lain. Penalaran analogi memperhatikan unsur kesamaan (similarity) antar hal
atau kasus yang dibandingkan.Dalam hukum, penerapan hukum dalam kasus yang
sama dengan kasus lain, maka kasus lain pun akan diberlakukan penerapan hukum
yang sama. Alasannya karena kedua kasus memiliki banyak kesamaan. Begitu juga
halnya dengan bidang penalaran hukum lain.
Contoh:
Premis 1 : Dalam kasus A, unsur X, Y, dan Z terungkap, dan penggugat menang,
Premis 2 : Dalam kasus B, unsur X, Y, dan Z terungkap, dan penggugat menang,
Premis 3 : Dalam kasus C, unsur X, Y, dan Z terungkap dan penggugat menang,
Konklusi : Dalam semua kasus, ketika unsur X, Y, dan Z terungkap, penggungat
seharusnya menang.Kaidahnya demikian:
(1). Faktor jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif. Kaidahnya: “makin
besar jumlah fakta yang dijadikan sebagai dasar penalaran induktif, makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya”;
(2). Faktor analogi: Faktor analogi adalah faktor yang sama yang terdapat dalam
setiap premis. Kaidahnya: “makin besar jumlah faktor analogi di dalam premis, makin
rendah probabilitas konklusinya dan sebaliknya”;
(3). Faktor disanalogi:Faktor disanalogi adalah faktor yang tidak sama atau beragam
yang ada di dalam premis. Kaidahnya adalah: “makin besar jumlah faktor
disanaloginya di dalam premis, makin tinggi probabilitas konklusinya dan
sebaliknya”; (4). Faktor luas konklusi: Kaidahnya, “semakin luas konklusinya
semakin rendah probabilitasnya dan sebaliknya”. Bentuk penalaran lain selain induksi
adalah penalaran deduksi.R.G. Soekadijo dalam buku Logika Dasar: Tradisional,
Simbolik, dan Induktifmerumuskan silogisme sebagai proses penarikan kesimpulan
yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis. Secara logis, kita bisa
merumuskan deduksi atau silogisme sebagai proses penarikan kesimpulan yang
bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada konklusi atau
kesimpulan berupa proposisi universal, partikular, atau singular.
Contoh:
Premis : Semua pencuri harus dihukum menurut hukum, Johan seorang pencuri,
Konklusi : Johan harus dihukum menurut hukum.
Proposisi pertama dalam premis (Semua pencuri harus dihukum menurut hukum)
disebut premis maior, sementara proposisi sisi kedua dalam premis disebut premis
minor. Konklusi merupakan penyimpulan yang ditarik berdasarkan term yang ada
dalam premis. Silogisme terdiri dari tiga term: subjek (S), predikat (P), dan term
tengah (M). Term tengah berfungsi untuk menghubungkan premis maior dengan
premis minor guna menarik konklusi. Kebenaran konklusi deduksi sudah terkandung
dalam premis; konklusi tidak melampaui apa yang sudah ditegaskan di dalam premis.
Kebenaran konklusi deduksi didasarkan pada apakah premisnya benar atau tidak dan
apakah bentuk argumennya valid atau tidak. Sebuah argumen valid ketika argumen
tersebut memiliki struktur formal di mana premisnya mendukung kebenaran konklusi.
Jika dirumuskan dalam bentuk formalnya, maka contoh silogisme di atas dapat
dirumuskan sebagai:
Premis :M–P, S - M, Konklusi : S – P. Bentuk dasar silogisme hanya mengenal tiga
proposisi. Dua proposisi sebagai premis dan satu proposisi sebagai konklusi.
Silogisme juga hanya mengenal tiga term (S-M-P). Tidak lebih dan tidak kurang.
Karena jika lebih atau kurang dari tiga term perbandingan tidak dapat dilakukan dan
kesimpulan tidak bisa ditarik. Tetapi dalam hukum, silogisme dapat diperluas menjadi
polisilogisme atau sorites. Dari Metode penalaran hukum deduktif ini dapat diperluas
mencakup premis- premis lain juga.
Misalnya:
Premis 1, Pembunuhan adalah perbuatan membunuh manusia dengan dendam
terencana yang bertentang dengan hukum.
Premis 2, Joseph menembak dan membubuh Henry.
Premis 3, Joseph tidak memiliki pembenaran hukumapa pun membunuh Henry.
Premis 4, Henry adalah seorang manusia,
Premis 5, Joseph membunuh Henry dengan dendam terencana. Konklusi: Joseph
bersalah melakukan pembunuhan.
Kaidah penalaran deduktif (silogisme) terdiri dari kaidah yang berkaitan dengan term
dan kaidah yang berkaitan dengan proposisi. Kedua kaidah ini harus ditaati sehingga
konklusi yang dihasilkan valid. Kaidah atau hukum mengenai term adalah: (1) Jumlah
term dalam silogisme tidak boleh lebih dari tiga yakni: S-M-P, (2) Term tengah, M,
tidak boleh terdapat dalam konklusi, (3) Term tengah, M, setidak- tidaknya satu kali
harus berdistribusi, dan (4) Term S dan P dalam konklusi tidak boleh lebih luas
daripada dalam premis. Sementara hukum silogisme mengenai proposisi,
ketentuannya adalah demikian: (1) Apabila proposisi-proposisi di dalam premis
afirmatif, maka konklusinya harus afirmatif, (2) Proposisi di dalam premis tidak boleh
kedua-duanya negatif, (3) Konklusi mengikuti proposisi yang paling lemah dalam
premis, (4) Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya partikulir, setidak-
tidaknya salah satu harus universal.

5.

a) Validitas Argumen
 Kita kan mempunyai undang undang nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan
kesehatan kenapa itu tidak dipakai, yang diterapkan malah kebijakan darurat sipil
yang dimana tidak ada perang, kerusuhan dan pemberontakan

b) Bagan Wigmore :
1. Ultimate Probanda :
 Ali Baharsyah menghina pemimpin dan harus dihukum berdasarkan Pasal 207 KUHP
tentang penghinaan terhadap penguasa.
2. Penultimate Probanda :
 Menghina pemimpin Negara dengan kata yang tidak pantas diucapkan
 Mengujar kebencian terhadap pemimpin Negara
3. Keylist :
 Yaitu dengan menghina Pemimpin Negara dengan kata kata yang tidak pantas dan
menghina kebijakan darurat sipil yang diterapkan oleh Negara.
4. Intern Probanda :
 Seharusnya Ali Baharsyah menyampaikan pendapatnya itu dengan perkataan yang
baik dan pantas sehingga bisa didengar apirasi dan keresahan nya tersebut oleh
pemimpin Negara dan masyarakat yang melihat menjadi terbuka pikirannya tentang
karantinaan kesehatan
c) Pasal-pasal yang dilanggar Ali Baharsyah :
 Pasal 207 KUHP berbunyi: barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan
atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Anda mungkin juga menyukai