Anda di halaman 1dari 6

Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

Perkembangan Kriminologi dan Urgensinya dalam Pertanggungjawaban


Pidana di Indonesia
Mariyatul Qibtiyah, 8111415037
Universitas Negeri Semarang

Pendahuluan

Tinjauan teoritis kriminologi

Secara etimologis, kriminologi (criminology) berasal dari kata crimen dan logos artinya
sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Kriminologi sebagai bidang pengetahuan ilmiah
telah mencapai usia lebih dari 1 (satu) abad, dan selama itu pula mengalami perkembangan
perspektif, paradigma, aliran atau madzab yang sebagai keseluruhan membawa warna
tersendiri bagi pembentukan konsep, teori serta metode dalam kriminologi.19 Istilah
kriminologi pertama kali digunakan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang antropolog Prancis
pada tahun 1879. Berdasarkan ensiklopedia, kriminologi digambarkan sebagai ilmu yang
sesuai dengan namanya, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan.1

Menurut Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki


gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis atau murni). Berdasarkan kesimpulan-
kesimpulan dari padanya di samping itu disusun kriminologi praktis. Kriminologi teoritis
adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang seperti ilmu pengetahuan lainnya
yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala dan berusaha menyelidiki sebab-sebab dari gejala
tersebut (etiologi) dengan cara-cara yang ada padanya. Contoh patologi sosial (penyakit
masyarakat); kemiskinan, anak jadah, pelacuran, gelandangan, perjudian, alkoholisme,
narkotika dan bunuh diri

Pembahasan

Sejarah Kriminologi

Kriminologi sebagaimana ilmu yang lain baru lahir pada abad XIX dimulai pada tahun
1830 –adalah Adolphe dari kota Quetelet Perancis sebagai pelopornya- jadi bersamaan dengan
dimulainya sosiologi, namun apabila dirunut ke belakang –sebagaimana pada umumnya

1
Abintoro Prakoso, Kriminologi. Hlm. 11
Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

pengetahuan dan ilmu yang lain- sudah dimulai pada Jaman Kuno meski kajiannya tidak dapat
atau hampir tidak dapat dikatakan tentang kriminologi.

Plato (427 – 347 SM) filsuf jaman Yunani dalam bukunya Republiek mengatakan
bahwa emas, merupakan sumber dari banyak kejahatan. Makin tinggi kekayaan –dalam
pandangan manusia- makin merosot penghargaan terhadap kesusilaan. Dalan setiap negara
dimana banyak orang miskin, dengan diam-diam banyak bajingan, pencopet, pemerkosa agama
dan penjahat dari berbagai macam. Plato sebagai utopis –kaum yang mengkhayalkan sesuatu
yang serba baik- untuk masyarakat khayal yang dilukiskan akan berbuat sama. Dalam bukunya
De Wetten kemudian menguraikan: Jika dalam suatu masyarakat tidak ada yang miskin dan
tidak ada yang kaya, tentunya akan terdapat kesusilaan yang tinggi di sana; karena di situ tidak
akan terdapat ketakaburan, tidak ada kelaliman, juga tidak ada rasa iri hati dan benci.

Aristoteles (384–322 SM) murid Plato dalam bukunya Politiek mengemukakan


pendapatnya tentang hubungan antara kejahatan dan masyarakat, bahwa kemiskinan
menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk
memperoleh apa yang perlu untuk hidup, namun untuk memperoleh kemewahan. Pendapat
Plato dan Aristoteles – terutama adagium Plato: hukuman dijatuhkan bukan karena telah
berbuat jahat, namun agar tidak ada perbuatan jahat- sangat besar pengaruhnya terhadap hukum
pidana terutama dalam hal pemidanaan.

Abad Pertengahan adalah Thomas van Aquino (1226–1274) dalam bukunya Summa
Theologica yang diuraikan oleh van Kan dalam bukunya The Criminologie (1889)
menerangkan dengan keahliannya tentang penyelidikan keadaan abad Pertengahan,
memberikan beberapa pendapat tentang pengaruhnya kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya
–demikian dinyatakan- yang hanya hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan
kekayaannya, jika pada suatu ketika menjadi miskin, mudah menjadi mencuri. Kemiskinan
biasanya memberi dorongan untuk mencuri, secara panjang lebar Thomas van Aquino
mengadakan pembelaan atas pendapatnya bahwa dalam keadaan sangat memaksa, orang boleh
memncuri.

Abad XVI Permulaan Sejarah Baru adalah Thomas More (1478–1535) seorang ahli
hukum humanistis dan kanselir Inggris bukunya Utopia sangat dipengaruhi oleh Plato dalam
khayalan sosialistisnya menggambarkan bahwa suatu negara yang alat produksinya dikuasai
oleh umum, penduduknya dalam hal kemanusiaan, kesusilaan dan kebajikan melebihi seluruh
bangsa di dunia. Penyebabnya adalah banyak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat yang
Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

sangat berlainan. Lebih lanjut Thomas More melukiskan bahwa keadaan di Inggris pada waktu
itu kejahatan yang tak terhingga jumlahnya disertai dengan kekerasan di bidang pengadilan.
Inggris dengan penduduknya 3 sampai 4 juta selama, 24 (dua puluh empat) tahun ada 72.000
(tujuh puluh dua ribu) pencuri yang di gantung. Thomas More mengecam susunan pemidanaan
saat itu, karena pidana yang dijatuhkan pada pencuri terlalu berat. Apabila kejahatan yang
relatif ringan dipidana amat berat maka justru akan menambah bahaya akan dilakukannya
kejahatan yang lebih berat lagi, karena risiko bagi penjahat ringan maupun penjahat berat
hukumannya sama. Thomas More berpendapat bahwa kejahatan apabila diberantas dengan
kekerasan dan hukuman berat tidak akan berhasil, namun harus dicari sebab musababnya
terlebih dulu untuk menanggulangi kejahatan itu, dan berpendapat bahwa dengan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, akan berhentilah tindak kejahatan. Penjahat harus
menebus kerugian yang ditimbulkan dengan cara bekerja. Oleh karenana Thomas More
dikatakan sebagai pelopor tindakan.

G. Gratarolli dan G.B. Della Porta menurut Antonini adalah pelopor yang mempelajari
antropologi kriminal karena berusaha mencari hubungan antara perilaku dengan bahan
antropologis.

Abad XVIII hingga Revolusi Perancis timbul gerakan penentangan terhadap hukum
pidana waktu itu. Hukum pidana pada akhir abad Pertengahan hingga abad XVIII semata-mata
ditujukan untuk menakuti masyarakat dengan cara pemidanaan yang sangat berat. Pidana mati
dilaksanakan dengan berbagai cara bahkan sebelum eksekusi diawali dengan penganiayaan.
Hukuman badan merupakan hukuman sehari-hari dilakukan dan yang dipentingkan adalah
pencegahan umum. Kepribadian penjahat tidak diperhatikan, yang dipandang penting adalah
tindakan jahatnya, penjahat hanyalah sebagai contoh atau alat untuk menakuti masyarakat.
Hukum pidana tidak jelas perumusannya sehingga menimbulkan berbagai penafsiran. Cara
pembuktian amat bergantung pada kemauan pemeriksa dan pengakuan dipandang sebagai
syarat utama pembuktian. Acara Pidana bersifat inquisitor, terdakwa hanya dipandang sebagai
benda pemeriksaan yang dilakukan secara rahasia yang hanya berdasarkan pada laporan
tertulis.

Gerakan penentang ancien regime pada umumnya berasal dari golongan menengah
yang berpengaruh terhadap perubahan hukum pidana dan hukum acara pidana. Aufklarung
juga menyoroti keadan gerakan penentang ini, hak asasi manusia juga berlaku bagi penjahat.
Montesquieu –nama lengkapnya Charles de Schondat Baron de la Brede et de Montesquieu-
Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

(1689 – 1755) dalam bukunya Esprit des Lois (1748) menentang tindakan sewenang-wenang,
banyaknya pemidanaan dan pelaksanaannya secara kejam. Rousseau (1712 – 1778)
menyuarakan perlakuan kejam terhadap penjahat. Voltaire (1749 – 1778) menjadi penentang
yang paling keras terhadap peradilan pidana yang sewenang-wenang, dengan melakukan
pembelaannya untuk Jean Calas yang dieksekusi mati tanpa dosa. C. Beccaria (1738 – 1794)
dalam karanganya Dei delitti e delle pene’ (1764) sebagai tokoh utama dalam gerakan
menentang hukum pidana yang sewenang-wenang, menguraikan dengan cara yang menarik
segala keberatan terhadap hukum pidana dan pemidanaan yang berlaku.

J. Bentam (1748 – 1832) ahli hukum dan filsuf pencetus aliran utilitarisme, the greatest
happinnes for the greatest number, sebagai penganjur pidana tujuan tahun 1791 merancang
penjara model baru dengan nama: Panopticon or the inspection house. Penjara waktu itu dapat
dikatakan tidak ada, sebab tempat tempat untuk penjahat hanya digunakan untuk penahanan
sementara yang keadaannya sangat menyedihkan baik dipandang dari segi kesehatan maupun
moral. Pada waktu itu hukuman mati dan penyiksaan yang umum dijatuhkan terhadap penjahat.
2

Kriminologi di era globalisasi

Era global yang dimulai sekitar tahun 1970 sering dinamakan globalisasi mengandung
makna yang dalam dan terjadi pada segala aspek kehidupan, misalnya ekonomi, sosial budaya,
politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya, sebagai dampak kemajuan teknologi
transpotasi, komunikasi dan informatika moderen yang luas biasa. Globalisasi yang ditandai
oleh informasi menuntut nilai-nilai dan norma baru dalam kehidupan nasional dan antar bangsa

Analisis kriminologi tentang organized crime dimulai dengan penelitian Sutherland


(1960) tentang white collar crime yang terjadi di Amerika Serikat. Sebagian besar pelaku
kejahatan ini adalah mereka yang tergolong kaya, terhormat dan memiliki reputasi sosial yang
baik serta usahawan sehingga kemudian muncul penggolongan kejahatan atas upper class dan
lower class dalam masyarakat. Perkembangan kejahatan dari golongan upper class society
tersebut semakin meningkat pesat terutama sejak era globalisasi. Perkembangan tersebut
diperkuat oleh merebaknya aliran neo-liberalism yang dipandang sebagai ideologi oleh –
terutama- transnational corporations (perusahaan besar transnasional).

2
Abintoro Prakoso, Kriminologi. Hlm. 32-34
Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

Robert F. Meier berpendapat bahwa kewajiban kriminologi di era global adalah sebagai
berikut; 1. Mengungkapkan tabir hukum pidana, baik sumber-sumber maupun penggunaannya,
untuk menelanjangi kepentingan-kepentingan penguasa; 2. Melakukan studi atas alat-alat
social control, birokrasi dan mass media untuk mengekspose ketersangkutan mereka dalam
suatu ideologi elitis; 3. Mengajukan rumusan-rumusan kejahatan baru, dengan mengoreksi
ketidakseimbangan hasil pengaruh elite terhadap pembuatan undangundang, juga memasukkan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia sebagai kejahatan; 4. Mempraktekkan teori-teori
kriminologi baru (dalam rangka praksis) dengan mencoba mengubah sarana politik dan
ekonomi kapitalisme yang ada, yang dianggap sebagai biang keladi keadaan sekarang. 3

Urgensi kriminologi dalam pertanggungjawaban pidana

Kriminologi erat kaitannya dengan hukum pidana, khususnya adalah hukum pidana
formil. Pada hukum pidana formil, tindak pidana harus dibuktikan melalui serangkaian hukum
acara. Hukum acara pidana memiliki rangkaian panjang mulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, persidangan dan eksekusi putusan. Pada tahap penyidikan, penyidik diwajibkan
menemukan pelaku tindak pidana dengan mekanisme yang sudah diatur di dalam undang –
undang. Penyidikan menjadi titik pokok siapa yang diduga menjadi pelaku suatu tindak pidana
yang pada penanganannya dibutuhkan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Ilmu – ilmu yang
dibutuhkan seperti kriminologi, hukum pidana, psikologi, kedokteran dan ilmu – ilmu lainnya
yang sekiranya bisa membantu lancarnya penyidikan. 4

Selain penyidik, hakim dalam membuat putusan juga didasari berbagai macam latar
belakang terdakwa. Apalagi dalam pertanggungjawaban pidana yang akan diatur dalam
rancangan KUHP Indonesia sudah memasukkan unsur sikap bathin dan motif sebagai alasan
yang memperingan pidana. Oleh karena itu penting kriminologi terlibat dalam proses
pengambilan putusan yang mengkaji tanda – tanda seseorang dapat berbuat penjahat dan teori
– teori lainnnya tentang kriminologi.

3
Abintoro Prakoso, Kriminologi. Hlm. 41
4
M Abdul Kholiq, Urgensi Pemikiran Kritis dalam Pengembangan Kriminologi Indonesia di Masa Mendatang..
Hlm. 163
Paper Tugas Mata Kuliah Kriminologi dan Viktimologi

Simpulan

Perkembangan kriminologi dari masa ke masa perlu diketahui demi terciptanya penegakan
hukum yang adil untuk semua masyarakat. Pada saat ini Kriminologi di era globalisasi menjadi
ilmu yang penting dimiliki oleh para aparat penegak hukum, akademisi maupun mahasiswa.
Kriminologi memiliki kaitan khusus dengan hukum pidana dalam rangka pertanggungjawaban
pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Prakoso, Abintoro, 2010, Kriminologi. Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI

Jember.

Kholiq, M.Abdul, 2000. Urgensi Pemikiran Kritis dalam Pengembangan Kriminologi

Indonesia di Masa Mendatang. Jurnal Hukum No.15 Vol.7

Anda mungkin juga menyukai