Anda di halaman 1dari 8

LEGAL RESEARCH PAPER

“PENERAPAN PLEA BARGAINING DALAM ACARA PIDANA DI INDONESIA”

Dari data hasil penelitian LBH Jakarta pada rentang 2007-2008 dengan responden 367
orang di wilayah Jabodetabek, menemukan 83,65% responden mengalami penyiksaan ketika
diperiksa oleh polisi.1 Penyiksaan-penyiksaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan pengakuan
dari diri para tersangka kasus tindak pidana. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan yang
erat dalam suatu penyelesaian suatu perkara dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat untuk
memperoleh pengakuan. Pengakuan dan penyiksaan seolah tidak bisa dilepaskan dari sistem
peradilan pidana di Indonesia, sedangkan pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk bebas
dari penyiksaan.2 Oleh karena itu, hal tersebut dapat berujung kepada kriminalisasi orang yang
tidak bersalah dan kasus yang paling menyita perhatian adalah kasus Sengkon dan Karta.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menawarkan konsep
baru berkaitan dengan pengakuan bersalah oleh Terdakwa. Konsep tersebut dituangkan dalam
Pasal 199 yang disebut “Jalur Khusus” atau yang dalam negara common law sering disebut sebagai
Plea Bargaining System. Dengan penelitian ini, kami ingin mengkaji penerapan Jalur Khusus yang
dianut dalam RKUHAP baik dari segi manfaat maupun mudarat, jika nantinya RKUHAP ini
diundangkan.

A. Latar Belakang

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai sumber hukum materil
dan formil. Kedua Kitab Undang-Undang tersebut merupakan peninggalan dari pemerintahan
kolonial Belanda dan diundangkan di Indonesia pada tahun 1918 dan 1961. Usianya yang sudah
tua ini dirasa sudah tidak lagi sesuai dengan masyarakat yang sifatnya dinamis, sehingga
dibutuhkan pembaharuan agar terdapat kesesuaian dengan keadaan dalam masyarakat.
Kedua kitab undang-undang tersebut saat ini telah mulai diperbaharui oleh pemerintah
indonesia dan saat ini masih dalam proses penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (RKUHP) serta Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Terdapat
pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang sebelumnya belum lengkap diatur dalam kedua kitab

1 Gatot (ed) Mengungkap Kejahatan Dengan Kejahatan;Survey Penyiksaan di Tingkat Kepolisian Wilayah
Jakarta Tahun 2008, LBH Jakarta, Jakarta, hal vi
2 Pasal xx UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
undang-undang ini. Salah satu pasal yang menarik adalah adanya mekanisme yang diatur dalam
pasal 199 RKUHAP yang disebut sebagai Jalur Khusus.

B. Pembahasan Mengenai Plea Bargaining

Plea Bargaining tidak memiliki definisi yang pasti secara universal, namun beberapa ahli
mendefinisikan Plea Bargaining sebagai berikut:

1. Plea Bargaining adalah proses dimana penuntut umum dan terdakwa dalam suatu
perkara pidana melakukan negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak
untuk kemudian dimintakan persetujuan pengadilan. biasanya didalamnya
termasuk pengakuan bersalah terdakwa untuk mendapatkan keringanan tuntutan
atau untuk mendapatkan beberapa keuntungan lain yang memungkinkan untuk
memperoleh keringanan hukuman.34
2. Plea Bargaining adalah proes negosiasi dimana penuntut umum menawarkan
terdakwa beberapa kelonggaran untuk mendapatkan pengakuan bersalah5.
3. Plea Bargaining mengandung perjanjian antara penuntut umum dan terdakwa atau
penasehat hukumnya yang berujung pada pengakuan bersalah oleh terdakwa.
penuntut umum setuju untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan (untuk
mendapatkan hukuman yang lebih ringan) dibanding dengan menempuh
mekanisme persidangan yang mungkin akan merugikan terdakwa karena
kemungkinan mendapatkan hukuman lebih berat.5
4. Black’s Law Dictionary Ninth Edition (2009) mengartikan Plea Bargaining adalah
sebagai suatu bentuk negosiasi atau kesepakatan dalam prosedur hukum antara
jaksa penuntut umum dengan terdakwa, dimana terdakwa yang mengakui
kesalahannya akan mendapat kompensasi berupa pengurangan hukuman atau
didakwa dengan tindak pidana yang lebih ringan.

Dari persamaan yang ada ditiap pengertian, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa Plea
Bargaining adalah proses yang melibatkan Penuntut Umum dan Terdakwa untuk mendapatkan

3 Hazel B. Kerper, Introduction to the criminal justice System. Second ed, West publishing company, hlm.
4 .
5 Harvard Law Review, The unconstitutionaly of Plea Bargaining, vol 83:1970, hal. 1389 5 F.

Zimring & R. Frase. The Criminal Justice System. Little Brown Company, 1980, hlm. 498.
suatu pengakuan bersalah dari Terdakwa. Pengakuan ini digunakan atau menjadi syarat untuk
mendapatkan keringanan tuntutan.
Plea Bargaining System mulai muncul pada pertengahan abad ke 19 sebagai bentuk
perlakuan khusus kepada terdakwa karena ia telah berbuat baik terhadap korban.6 Hal tersebut
didukung pula oleh sistem peradilan yang pada saat itu tidak efektif karena banyak kasus yang
harus diselesaikan oleh pengadilan mengakibatkan lamanya jangka waktu penyelesaian perkara.
Plea Bargain dinilai mampu mengatasi kesulitan yang ada sehingga Penuntut Umum memiliki dua
alasan untuk melakukan Plea Bargaining ini. Pertama, beban perkara dan kuantitas perkara yang
besar menyebabkan sulitnya Penuntut Umum untuk bekerja efektif. Kedua, dalam perkara
tertentu penuntut Umum merasa keberhasilan penuntutan sangat kecil karena kurangnya bahan
pembuktian atau karena melibatkan terdakwa yang dianggap berpengaruh dikalangan juri.
Rencana penerapan Plea Bargaining System di Indonesia yang diatur dalam RKUHAP
dengan sebutan Jalur Khusus ini tidak lepas dari pengaruh-pengaruh negara yang telah
sebelumnya menerapkan sistem ini. Pelaksanaan Plea Bargaining System memiliki sejarah yang
erat dengan negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law, yang pada umumnya
menganut sistem peradilan Adversarial (Akusator System). Namun Plea Bargaining tidak hanya
dilaksanakan oleh negara common law saja melainkan sudah menyebar kepada negara-negara
civil law. Pelaksanaan Plea Bargaining berbeda di tiap-tiap negara, khususnya negara common law
dan negara civil law, sehingga menarik untuk melakukan pembahasan berkenaan dengan
pelaksanaan plea bargaining di beberapa negara.
1. Plea Bargaining di Amerika Serikat
Plea Bargaining dikenal di Amerika Serikat sejak abad ke-19. Prosedur ini mendorong
penegak hukum menyelesaikan 97% perkara pidana pemerintah pusat dan 94% perkara pidana
pemerintah bagian. 7 Pada prinsipnya di Amerika Serikat, seluruh tindak pidana dapat
menggunakan prosedur Plea Bargaining, termasuk perkara berat (negara bagian California dan
Mississipi tidak memperbolehkan untuk perkara kekerasan seksual dan fisik).
Prosedur Plea Bargaining di Amerika Serikat yang merupakan proses negosiasi antara
Penuntut Umum dan Terdakwa dapat dilakukan dalam tiga bentuk;
1. Negosisasi pasal yang didakwakan (Charge Bargaining)
2. Negosisasi fakta hukum (Fact Barrgaining) dan
3. Negosiasi hukuman (Sentencing Bargaining )
Negosiasi dapat dilakukan langsung di kantor kejaksaan, di ruang sidang atau melalui
sarana telekomunikasi. Negosiasi dilakukan murni antara Penuntut Umum dan Terdakwa, tidak

6 Albert Schuler. Plea Bargaining and its History. Columbia Law Review (vol 79:1), hlm. 4.
7Choky Risda Ramadhan, Fransiscus Manurung, Adery Ardhan Saputro, Aulia Ali Reza. Dan Evandri G.
Pantouw, Konsep dan Penerapan Plea Barganing di Beberapa Negara, dalam Jurnal Peradilan Indonesia
Teropong, Vol.3, Juli-Desember 2015, Mappi FHUI, Jakarta, h. 79
melibatkan hakim. Selanjutnya kesepakatan antara para pihak tersebut dibuka dan disampaikan
didepan pengadilan. Hakim sebelum menerima kesepakatan Plea Bargaining akan menyampaikan
beberapa hal diantaranya:
1. Menyarankan dan memberi tahu hak terdakwa
2. Memastikan pengakuannya sukarela 3. Memastikan
landasan fakta untuk pengakuan.
Dengan pengakuan yang ia lakukan, Terdakwa berarti telah melepaskan haknya untuk
persidangan dengan juri, melawan kesaksian yang menjerat, dilindungi dari keterangan yang
menjerat, bersaksi serta menghadirkan saksi dan barang bukti yang meringankan lainnya.

2. Plea Bargaining di Inggris


Plea Bargaining sudah dikenal di Inggris sejak abad ke-18, namun belum diatur jelas dalam
suatu perundang-undangan. Plea Bargaining di Inggris dibatasi oleh pengadilan melalui Turner
Rules. Hal ini berarti proses Plea Bargaining semata-mata dilakukan atas kehendak Terdakwa
sendiri (bukan kehendak Penuntut Umum atau Penasihat Hukum). Adapun dalam
Criminal Justice and Public Order act 1994 akhirnya memuat pengaturan mengenai proses Plea
Bargaining yang menghendaki agar hakim mempertimbangkan tahapan dimana Terdakwa
menggunakan Plea Bargaining. Dari hal tersebut terlihat bahwa dalam proses ini di Inggris tidak
melibatkan Penuntut Umum dalam pelaksanaan negosiasi, melainkan Penasihat Hukum selaku
perwakilan Terdakwa lah yang meminta bernegosisasi dengan hakim

Plea Bargaining dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHP)
RKUHAP memperkenalkan suatu mekanisme penyelesaian perkara baru dengan
mekanisme jalur khusus yang diatur dalam pasal 199 RKUHAP yakni sebagai berikut:

Bagian Keenam
Jalur Khusus
Pasal 199
(1)Pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua
perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman
pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat melimpahkan
perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

(2)Pengakuan terdakwa dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh terdakwa dan
penuntut umum.

(3)Hakim wajib:
a.memberitahukan kepada terdakwa mengenai hak-hak yang dilepaskannya dengan
memberikan pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b.memberitahukan kepada terdakwa mengenai lamanya pidana yang kemungkinan
dikenakan; dan
c.menanyakan apakah pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
secara sukarela.

(4)Hakim dapat menolak pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika hakim ragu
terhadap kebenaran pengakuan terdakwa.

(5)Dikecualikan dari Pasal 198 ayat (5), penjatuhan pidana terhadap terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang
didakwakan.

Melalui mekanisme jalur khusus ini, penyelesaian perkara pidana dilimpahkan pada acara
pemeriksaan singkat setelah terdakwa mengakui bersalah atas tindak pidana yang dituduhkan
kepadanya. Dalam jalur khusus yang diatur pada pasal tersebut, dapat dilaksanakan pelimpahan
ke acara pemeriksaan singkat jika penjatuhan tuntutan pidana tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
Selain itu, penjatuhan pidana penjara dalam jalur khusus ini tidak boleh melebihi ⅔ dari pidana
yang didakwakan kepada terdakwa. Hal ini berbeda dari apa yang ada dalam plea bargaining di
amerika serikat yang dapat diaplikasikan pada seluruh tindak pidana dari pelanggaran ringan
hingga tindak pidana yang berat8 sedangkan dalam RKUHAP dibatasi seperti pada negara Italia,
Spanyol, dan beberapa negara di Amerika Latin9. Pengakuan bersalah dari terdakwa dalam jalur
khusus ini dilakukan di hadapan hakim. Sebelum dilakukan sidang acara pemeriksaan singkat
hakim harus menjelaskan kepada terdakwa hak-hak yang dilepaskannya dan ketentuan pidana
apa yang dihadapi oleh terdakwa. Hakim juga harus memastikan bahwa pengakuan yang diberikan
oleh terdakwa dilakukan secara sukarela.
Untuk dapat dilimpahkan dalam acara pemeriksaan singkat dan dilakukannya mekanisme
jalur khusus ini sangat bergantung pada keyakinan yang ada pada hakim. Hakim disini memiliki
peran yang aktif. Hakim dapat menolak pengakuan dari terdakwa apabila hakim merasa ragu akan
kebenaran pengakuan yang diberikan oleh terdakwa. Sehingga, tidak semua perkara yang
mendapatkan pengakuan dapat dilimpahkan ke acara pemeriksaan singkat. Jika hakim merasa

8 Stephen C. Thaman, Comparatice Criminal Procedure A Casebook Approach, Durham North Carolina,
Carolina Academic Press, Comparative Law, Series 2002.,Hlm. 20.
9 Ibid.,Di italia diatur bahwa Plea Bargainingdapat diaplikasikan hanya untuk tindak pidana yang

ancaman hukumannya dibawah 3 tahun, spanyol 6 tahun dan di beberapa negara amerika latin
hanya untuk tindak pidana ringan
ragu, maka persidangan tetap dilakukan melalui pemeriksaan biasa. Hakim dalam posisi yang
bebas dalam memutus perkara dan tidak terikat untuk meyakini pengakuan bersalah.

C. Perbedaan dan Persamaan Praktik Plea Bargaining di Amerika Serikat dengan Jalur Khusus
dalam RKUHAP

1. Perbedaan

Plea Bargaining di Amerika Serikat Jalur Khusus dalam RKUHAP

Adanya proses negosiasi dan tawar-menawar Tidak ada proses negosiasi atau tawar-
antara penuntut umum dengan terdakwa menawar antara penuntut umum dengan
terdakwa

Pengakuan oleh terdakwa dilakukan di depan Pengakuan oleh terdakwa dilakukan di


penuntut umum dan tidak melibatkan hakim hadapan hakim di dalam persidangan

Tidak membatasi tindak pidana yang dapat Memberi batasan tindak pidana yang dapat
menggunakan Plea Bargaining, dapat diselesaikan menggunakan jalur ini yaitu
dilaksanakan kepada semua tindak pidana perkara yang tuntutannya dibawah 7 (tujuh
dari pelanggaran ringan hingga tindak pidana ) tahun
yang berat

Jalur khusus yang ada dalam RKUHAP memiliki perbedaan konsep dengan Plea Bargaining di
Amerika Serikat. Dalam RKUHAP jalur khusus ini lebih cocok untuk dinamakan sebagai Pleas
without Bargains (pengakuan bersalah tanpa negosiasi) 10 sehingga, sebenarnya jalur khusus
dalam RKUHAP tidak mengadopsi konsep Plea Bargaining yang ada di Amerika Serikat.

2. Persamaan

Dalam Jalur Khusus pada RKUHAP dengan Plea Bargaining di Amerika Serikat memiliki persamaan
bahwa keduanya merupakan pengakuan bersalah dari terdakwa terhadap tindak pidana yang
dituntutkan oleh penuntut umum. Dampak dari adanya pengakuan dari terdakwa pada kedua
mekanisme ini terdakwa akan disidangkan melalui acara pemeriksaan yang singkat. Pada Plea
bargaining di Amerika Serikat, setelah pengakuan tersebut didapatkan, penuntut umum akan

10Choky Risda Ramadhan, Fransiscus Manurung, Adery Ardhan Saputro, Aulia Ali Reza. Dan
Evandri G. Pantouw, Konsep dan Penerapan Plea Barganing di Beberapa Negara, dalam Jurnal
Peradilan Indonesia Teropong, Vol.3, Juli-Desember 2015, Mappi FHUI, Jakarta,hlm 140-141
mendakwakan terdakwa dalam persidangan yang diputus oleh hakim, bukan oleh juri. Terdapat
persamaan antara RKUHAP dengan adanya perubahan dari acara biasa menjadi acara
pemeriksaan singkat dengan pada Plea Bargaining di Amerika Serikat dimana perkara tidak lagi
diputus oleh juri, tetapi oleh hakim dalam persidangan.11

D. Arah Argumentasi

Setiap pelaksanaan suatu kebijakan pasti selalu mengundang pro dan kontra, tidak terkecuali
dalam hal Jalur Khusus yang dimuat dalam RKUHAP.

PRO
1. Mewujudkan Peradilan yang Sederhana, Mudah, Cepat, Biaya Ringan. Dengan
diterapkannya Jalur Khusus ini akan mewujudkan asas Peradilan SEMBIRING ini karena
dengan adanya pengakuan dari Terdakwa selanjutnya perkara dapat dilimpahkan ke acara
pemeriksaan singkat.
2. Rata-rata hukuman pidana dapat berkurang karena pengakuan dapat mengurangi
ancaman hukuman. Penjatuhan hukuman terhadap Terdakwa yang mengakui
kesalahannya dan disidangkan dengan Jalur Khusus akan berkurang, sehingga rata-rata
pemidanaan pun dapat berkurang. Dengan begitu, berkurang pula beban negara untuk
menghidupi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
3. Bentuk penghargaan kepada kejujuran.

KONTRA
1. Dengan adanya Jalur Khusus, dimungkinkan bagi seorang Terdakwa yang benar-benar
memiliki niat jahat saat melakukan Tindak Pidana mendapat hukuman yang ringan hanya
dengan mengakui perbuatannya, sehingga keadilan menjadi tidak tercapai.
2. Tidak adanya proses negosiasi dalam mekanisme Jalur Khusus ini menyebabkan Terdakwa
tidak dapat membenarkan fakta-fakta yang ditemukan Penuntut Umum. Terdakwa yang
hendak memanfaatkan Jalur Khusus ini harus mengakui keseluruhan fakta dari Penuntut
Umum. Selain itu, karena absennya proses negosiasi dalam Jalur khusus ini tidak
menyelesaikan masalah terkait kekerasan yang dilakukan Penyidik untuk mendapatkan

11
Choky R. Ramadhan, Peningkatan Efisiensi Peradilan Melalui Mekanisme Jalur Khusus dalam
RUU KUHAP, dalam Jurnal Teropong Volume 1-Agustus 2014 Pembaharuan Hukum Acara Pidana,
MaPPI FHUI, Jakarta, h.146-147.
pengakuan Tersangka atau Terdakwa yang dilakukan agar mempermudah proses
peradilan.
3. Kesalahan konstitusional. Pengaturan Jalur Khusus dalam RUU KUHAP ini dirasa cacat
karena tidak jelas mengatur mengenai hak-hak terdakwa yang dimaksud dan bagaimana
Penuntut Umum membuktikan fakta-fakta yang didalilkan. Selain itu pengaturannya tidak
jelas mengenai penggunaan mekanisme Jalur Khusus oleh residivis.

E. Solusi
1. Dilakukan melalui proses negosiasi dengan melibatkan korban.
Dalam mekanisme jalur khusus pada RKUHAP, pengakuan bersalah dari terdakwa
dilakukan di hadapan hakim setelah Jaksa Penuntut Umum membacakan dakwaan dalam
persidangan. Disini, terdakwa harus mengakui seluruh tuntutan dari jaksa penuntut
umum. Hal ini dapat mengakibatkan ketidak adilan karena terdakwa kehilangan hak untuk
mwmbela dirinya. Pada proses negosiasi kami merasa korban dari tindak pidaana lebih
baik diturutsertakan, agar tercipta keadilan bagi korban pula, karena hasil negoasiasi
didapatkan melalui kesepakatan seluruh pihak.
2. Untuk mencegah adanya permainan (indikasi korupsi) pada pelaksanaan Plea Bargaining
ini maka disusunlah pelaksanaan pengawasan dalam setiap proses ini. Agar terciptanya
kepastian hukum dalam pelaksanaannya, maka proses negosiasi dan bagaimana hasil
negosiasi tersebut lebih baik diatur dalam RKUHAP secara lebih jelas.

https://connectusfund.org/15-serious-advantages-and-disadvantages-of-plea-bargaining
https://vittana.org/11-advantages-and-disadvantages-of-plea-bargaining
https://komitekuhap.files.wordpress.com/2012/08/naskah-akademik-ruu-hukum-acara-
pidana.pdf
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=2ahUKEwj527a0
ga
7gAhVaXn0KHWzJArwQFjAAegQIAxAC&url=https%3A%2F%2Fjurnal.dpr.go.id%2Findex.php%
2Fhukum%2Farticle%2Fview%2F209%2F150&usg=AOvVaw1EgnG6-TL7aFzkH6PZuOWX

https://media.neliti.com/media/publications/72913-ID-penguatan-kejaksaan-dalam-
penanganan-p er.pdf

Anda mungkin juga menyukai