Anda di halaman 1dari 12

Nama : Diyang Puspita

NIM : 12030119420069
Mata Kuliah : Hukum Pidana

UTS HUKUM PIDANA

1. Sebut dan jelaskan mengapa ketentuan di luar KUHP (hukum pidana khusus) dapat
mengatur menyimpang dari ketentuan Umum Buku I KUHP? Berikan contohnya
Jawaban :
Penyimpangan terkait dengan norma dalam buku I KUHP tentang asas-asas penerapan
pasal-pasal tindak pidana. Dalam padanan lain, disebut menyimpangi hukum pidana materil
yang merupakan salah satu ciri dari hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus
mempunyai ciri mengatur hukum pidana material dan formal yang berada diluar hukum
kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi, dan asas hukum yang disusun khusus
menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap hukum pidana yang mengandung,
peraturan dari anasir-anasir kejahatan yang konvensional.
 Ada 3 jenis hukum pidana tertulis diluar KUHP, yakni :
1. Undang-undang yang merubah/menambah KUHP,
2. Undang-undang pidana khusus; dan
3. Aturan hukum pidana dalam undang-undang yang bukan mengatur hukum pidana.
 Undang-undang pidana khusus yang murni mengatur tindak pidana diluar KUHP
(generic crime) Contoh :
 tindak pidana ekonomi,
 tindak pidana subversif
 tindak pidana terorisme,
 tindak pidana Hak Asasi Manusia
 tindak pidana narkotika
 tindak pidana korupsi
 tindak pidana pencucian uang, dan lain sebagainya.
 Aturan hukum pidana dalam undang-undang bukan hukum pidana sering juga disebut
sebagai tindak pidana administrasi (administratif penal law). Contoh :
 tindak pidana dibidang perbankan
 tindak pidana pajak
 tindak pidana dibidang konstruksi dan sebagainya.

2. Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana yang dikodifikasi dengan non
kodifikasi, sebutkan perbedaannya dan berikan contohnya?
Jawaban :
 Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd), adalah hukum pidana yang telah
dikumpulkan dan dibukukan atau dikitabkan seperti KUHP dan KUHP Militer.
 Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd) adalah hukum pidana
yang tidak dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau peraturan-
peraturan yang bersifat khusus.

 Perbedaan Hukum Pidana yang dikodifikasi dan non nodifikasi


 Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, Belanda) adalah hukum pidana
tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang,
 Hukum pidana tidak terkodifikasi adalah berbagai ketentuan pidana yang tersebar di
luar KUHP
 Contoh hukum pidana yang dikodifikasi :
 Hukum pidana yang telah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
 Contoh hukum pidana yang tidak dikodifikasi :
 UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi),
 UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12
Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak,
 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka
Umum,
 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
 Undang-undang No 30 tahun 1999 dan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
 Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
 Undang-undang No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan
 peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

3. Apakah dalam KUHP kita mengatur ketentuan tentang asas retroaktif (berlaku
surut)? Jawaban meliputi dasar hukum dan syarat pemberlakuannya.
Jawaban :

Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan bahwa :
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.”
 Suatu peraturan perundang-undangan mengandung asas retroaktif apabila :
1. Menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika
perbuatan tersebut di lakukan bukan merupakan yang dapat dipidana, dan
2. Menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan ( pasal 12 ayat 2 Deklarasi
Universal HAM )
 Azas retroaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memenuhi 4 (empat ) syarat
kumulatif , yaitu :
 Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman
dan destruksinya setara dengannya
 Peradilan bersifat Internasional , bukan peradilan Nasional
 Peradilan bersifat ad hoc , bukan peradilan permanen, dan
 Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena
sarana,aparat atau ketentuan hukummnya tidak sanggup menjangkau kejahatan
pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya
setara dengannya

4. Apakah yang dimaksud dengan asas legalitas dalam KUHP kita? Dengan adanya
asas legalitas formil, mengapa eksistensi hukum pidana Adat (hukum pidana tidak
tertulis) tidak diakui?
Jawaban :
 Asas legalitas ini merupakan salah satu bentuk asas yang sangat mendasar di dalam
hukum Indonesia.Istilah dari Asas legalitas ini juga biasa disebut dengan " Adagium
Legendaris" Oleh seorang pakar hukum ternama yaitu von Feuerbach.
Istilah Adagium ini adalah “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali”,
yang memiliki makna bahwa tidak ada tindak pidana atau delik, tidak ada hukuman
tanpa didasarkan pada peraturan yang mendahuluinya. Adagium ini terbagi menjadi 3
makna yaitu:
 Tidak ada hukuman, jika tak ada Undang-undang
 Tidak ada hukuman, jika tak ada kejahatan
 Tidak ada kejahatan, jika tidak ada hukuman yang berdasarkan Undang-undang.
Untuk menjamin kepastian hukum, Asas legalitas ini sangat penting karena keadilan
bagi terdakwa akan ada sesuai dengan kejujuran terdakwa dalam fakta persidangan
(Khususnya mengenai waktu kejadian peristiwa Hukumnya). dan juga mengenai
peraturan perundang-undangan yang dipakai dapat sesuai dengan waktu terjadinya
peristiwa hukum tersebut.
Mengenai Asas legalitas ini sudah tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak mungkin dilakukan disebabkan asas
legalitas lahir untuk menjawab ketidakpastian hukum akibat kesewenang-wenangan
penguasa. Pada zaman Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang
berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antara crimine
extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan
jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad
pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan
cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan
kebutuhan raja. (Moeljatno, 2015: 26).

Tindak pidana adat sebagaimana substansi pengaturan dari hukum pidana adat, secara
yuridis formal baru mempunyai dasar hukum semenjak dikeluarkan serta
diundangkannya UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil.
5. Sebut dan jelaskan unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan aliran
dualistis. Apa kansekwensi antara dua aliran tersebut?
Jawaban :
 Pandangan Monistis / monism
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk
adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini
memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan atau
tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan
pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (Criminal responbility).
Maka menurut Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan
Negatif (tidak beruat)
2. diancam dengan pidana
3. melawan hukum
4. dilakukan dengan kesalahan
5. oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Dengan penjelasan tersebut , maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana
telah melekat pada perbuatan pidana. Simon tidak memisahkan antara criminal act dan
Criminal responbility.

 Pandangan Dualistis/ Dualisme


Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja.
Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut
pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi
perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab
pidana. Gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis dapat terlihat dari pandangan
Moeljatno yang menyatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan
pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelan untuk terjadinya
perbuatan atau tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undang-undang (hal
ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP )
2. Bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif)

Moelyatno juga menegaskan bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah
terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan
itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi
apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar dipidana atau tidak, akan
dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan bagaimana hubungan bathin antara
perbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila perbuatan yang terjadi itu dapat
dicelakan kepada orang itu, yang berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu,
maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.

Konsekuensi dianutnya pandangan monistis terhadap delik ialah bahwa kalau salah satu
unsur konstitutif atau unsur diam-daim tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan
dan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Konsekuensi lain bahwa jika ada peristiwa
pidana taua tindak pidana, maka sudah tentu pembuatnya harus pula dipidana. Hal
tersebut berarti bahwa unsur-unsur tindak pidana sama dengan unsur-unsur atau sayarat
pemidanaan. Konsekuensi lain bahwa jika ada peristiwa pidana taua tindak pidana, maka
sudah tentu pembuatnya harus pula dipidana. Hal tersebut berarti bahwa unsur-unsur
tindak pidana sama dengan unsur-unsur atau sayarat pemidanaan.

6. Sebut, jelaskan dan berikan contoh jenis-jenis tindak pidana menurut pembagian
secara yuridis dan pembagian secara ilmiah atau teoritik
Jawaban :
 Jenis-jenis tindak pidana Pembagian yuridis :
1. Kejahatan &
2. Pelanggaran;
merupakan “kualifikasi juridis”; ada “konsekuensi juridis”nya yang berbeda
Dalam KUHP kejahatan diatur di dalam Buku II KUHP. Sedangkan pelanggaran diatur
pada Buku III. KUHP tidak menjelaskan kriteria pembagian tindak pidana atas kejahatan
dan pelanggaran, namun menurut ilmu pengetahuan, pembedaan tindak pidana atas
kejahatan dan pelanggaran bersifat kualitatif dimana kejahatan bersifat rechtsdelict,
yakni perbuatan yang bertentangan dengan rasa keadilan, terlepas dari apakah perbuatan
itu diancam pidana atau tidak (mala perse).
 Jenis-jenis tindak pidana menurut Pembagian teoritik / keilmuan :
 Dari sudut Perbuatan :
1. Delik commissionis;
Tidak pidana commisionis merupakan pelanggaran terhadap larangannya,
ialah berbuat sesuatu yang di larang.
Contoh : pencurian, perkosaan, penggelapan , penipuan
2. Delik omissionis;
Tindak pidana Ommisionis merupakan pelanggaran terhadap perintah, ialah
tidak melakukan seuatu yang diperintahkan / yang diharuskan.
contohnya : tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan, tidak memberikan
pertolongan pada orang yang berada dalam bahaya maut.
 Dari sudut Sikap batin:
1. Delik dolus;
Tindak Pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan.
Contoh : pasal-pasal 187, 197,245,263,310,338 KUHP
2. Delik culpa;
Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan sebagai
salah satu unsurnya.
Contoh : Pasal-pasal 195 , 197, 201, 203, 231 ayat (4) dan pasal 359 , 360 KUHP
3. Delik pro-parte dolus, pro-parte culpa;
Tindak pidana Proparte Dolus Proparte Culpa adalah tindak pidana yang dalam
satu pasal memuat unsur kesengajaan dan unsur kealpaan sekaligus dan
ancaman pidananya sama.
 Dari sudut titik berat formulasi :
1. Delik formal;
Pada tindak pidana formil, titik berat perumusanya pada perbuatan yang
dilarang. Jadi, tindak pidana formil selesai dengan dilakukannya perbuatan
seperti yang tercantum dalam rumusan delik.
Contohnya : perbuatan mengambil pada tindak pidana pencurian ( pasal 362
KUHP )
2. Delik materiel
Pada tindak pidana materil, titik berat perumusannya pada akibat yang dilarang.
Tindak pidana tersebut terjadi setelah akibat yang dilarang terjadi.
Contohnya : hilangnya nyawa pada tindak pidana pembunuhan ( pasal 338
KUHP)
 Dari sudut proses penuntutan :
1. Delik biasa;
Delik biasa sering juga disebut Kriminal murni, yaitu semua tindak pidana
yang terjadi dan tidak bisa dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa
dimaklumi seperti di dalam delik aduan.
Contohnya : penipuan. Meskipun korban sudah memaafkan atau pelaku
mengganti kerugian, proses hukum terus berlanjut sampai vonis karena ini
merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut.
2. Delik aduan
Delik aduan adalah perbuatan pidana yang hanya dapat diproses secara hukum
apabila orang yang dirugikan melakukan pengaduan kepada yang berwajib,
tanpa pnegaduan dari korban atau orang yang dirugikan karena delik/perbuatan
tersbut tidak dapat diproses
 Delik aduan absolut : pasal 284, 310, 332 KUHP
 Delik aduan relatif : pasal 367, 376, 394, 411 KUHP

7. Sebut dan jelaskan bahwa KUHP hanya mengenal subjek dan pertanggungjawaban
pidana terhadap manusia, tidak terhadap korporasi.
Jawaban :
Dalam KUHP dinyatakan hanya manusia yang dapat melakukan suatu tindak pidana, dan
juga hanya manusia sajalah yang dapat menjadi subjek hukum pidana. Hal ini dapat
diketahui dari tiap-tiap pasal di KUHP karena sebagian besar kaidah hukum pidana dalam
KUHP dimulai dengan kata barangsiapa. Dari kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya
manusialah yang diakui sebagai subjek tindak pidana, Alasan dikatakan demikian karena :
 Rumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan menggunakan istilah barang
siapa, warga negara Indonesia, pegawai negeri, dan lain sebagainya. Hal ini dapat
ditemukan pada pasal 2-9 KUHP.
 Ketentuan tentang pertanggungjawaban pidana, terutama pada pasal 44, 45, dan 49
KUHP, yang mengisyaratkan "kejiwaan" dari tindak pelaku.
 Ketentuan tentang pidana dalam pasal 10 KUHP mengenai denda, hanya manusia yang
memahami tentang uang.
8. Sebut dan jelaskan tingkat dan corak kesengajaan. Berikan contohnya
Jawaban :
Corak kesengajaan ada 3 ( tiga ) yaitu ;
1. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (dolus als oogmerk atau opset als oogmerk)
 apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya
 untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (dolus directus)
 terdapat hubungan langsung antara kehendak jiwa dan fakta kejadian
 tidak dilakukan perbuatan itu jika pembuat tahu akibat perbuatannya tidak
terjadi/tercapai
Contoh :
A menghendaki matinya B dengan tangannya sendiri maka A mencekik B hingga
mati.
2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewuszijn atau
noodzakelijkheidbewustzijn)
 kondisi jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tetapi dengan berlaku begitu
pasti suatu yang tidak dikehendaki itu akan terjadi
 misalnya :
Si terdakwa mengatakan tidak berkehendak untuk membunuh, tapi, siapapun
kalau dipancung pasti hal yang tidak dikehendakinya itu akan terjadi
 contoh lain :
Kasus peledakan kapal Thomas van Bremerhaven untuk mendapatkan uang
asuransi, namun akibat peledakan itu awak kapal mati. Meskipun kematian ini
tidak diinginkan, namun siapapun pasti tahu kalo akibat ledakan seseorang akan
mati
3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk opzet)
 kondisi jiwa tidak menghendaki akibat itu terjadi, tapi semestinya ia menyadari
bahwa jika itu dilakukan, kemungkinan besar akibat yang tidak dikehendakinya
itu akan terjadi
 misalnya :
Terdakwa mengatakan, bahwa ia tidak bermaksud membunuh, tapi mestinya ia
menyadari bila sebilah pedang ditebaskan pada bagian badan manusia akan
menyebabkan pendarahan yang hebat, dan dengan demikian kemungkinan besar
si korban akan kehabisan darah, yang tentu akan mengakibatkan kematiannya.
Apalagi bila pedang itu mengandung racun.
 contoh lain :
Kasus pengiriman kue tart beracun di kota Hoorn pada tahun 1911 untuk
membunuh musuhnya. Meski akhirnya yang meninggal adalah bukan musuh
yang dimaksud namun istrinya tapi terdakwa sudah memperkirakan kemungkinan
akan ada korban lain yakni istri atau siapapun yang memakan kue taart beracun
tersebut

9. Sebut dan jelaskan secara rinci, disertai dengan contoh mengenai alasan-alasan
hapusnya pidana.
Jawaban :
1. Alasan pembenar ( rechtsvaardigingsgrond-faits justificatifs )
Alasan pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari
perbuatan, sehingga menjadi perbuatan yang dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi
pidana.Jenis-jenis alasan pembenar Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHP adalah :
 Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri
orang itu (inwedig), ialah pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu
karena sakit
Contoh : Pasal 44 KUHP;
 Daya memaksa (overmacht) Pasal 48 KUHP
Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang di dorong oleh daya
paksa.
Contohnya : seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak
kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang
berenang. Putusan Mahkamah Agung No.117 K/Kr/1968 tanggal 27-7-1969
mengandung kaidah hukum bahwa dalam noodtoestand/keadaan darurat harus
dilihat adanya unsur :
1) Pertentangan antara dua kepentingan hukum
2) Pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum
3) Pertentangan antara dua kewajiban hukum.
 Pembelaan terpaksa (noodweer) Pasal 49 : 1 KUHP
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai
pembelaan terpaksa yaitu :
a. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan,
kesusilaan atau harta benda; Hukum Pidana
b. Serangan itu bersifat melawan hukum;
c. Pembelaan merupakan keharusan;
d. Cara pembelaan adalah patut.
Untuk menilai unsur pembelaan terpaksa sebagai dasar peniadaan pidana maka
harus diterapkan asas keseimbangan atau asas Proporsionalitas dan asas
Subsidaritas.
 Melaksanakan undang-undang ( : Pasal 50 KUHP)
Contoh : seorang algojo yang melakukan eksekusi terhadap terpidana, ini
merupakan alasan pembenar.
 Melaksanakan perintah jabatan yang Sah (Pasal 51 : 1).

2. Alasan pemaaf,
yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh
terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana,
tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.
Alasan pemaaf antara lain :
 Noodweer exces (49:2)
Sifat dari Noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungjawaban
pidana ), jadi sebgai alasan pemaaf sementara perbuatannya tetap bersifat
melawan Hukum.
Contohnya : seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu
mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu,
boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya
dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan
perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa
bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat,
maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebu
 Dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yangg tidak sah (Pasal 51 : 2
KUHP )
Contoh : Seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk
menangkap seseorang agiator dalam suatu rapat umum atau umumya seseorang
yang di tuduh telah melakukan kejahatan , tetapi ternyata perintah tidak
beralasan atau tidak sah .Disini agen polisi tidak dapat dipidanakan karena ia
patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam
batas wewenangnya.
3. Alasan penghapus penuntutan,
disini permasalahannya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak
ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan
perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau
kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.

Anda mungkin juga menyukai