Anda di halaman 1dari 7

Nama : Septiana Dwi Lestari

NIM : 12030119420067
UTS Hukum Pidana

1. Sebut dan jelaskan mengapa ketentuan di luar KUHP (hukum pidana khusus) dapat
mengatur menyimpang dari ketentuan Umum Buku I KUHP? Berikan contohnya
Jawaban: ketentuan di luar KUHP titik pijaknya berawal dari adanya perubahan sosial
dalam masyarakat. Penyimpangan yang dimaksud disini adalah terkait dengan norma
dalam buku I KUHP tentang asas-asas penerapan pasal-pasal tindak pidana. Dalam
padanan lain, disebut menyimpangi hukum pidana materil yang merupakan salah satu ciri
dari hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus mempunyai ciri mengatur hukum pidana
material dan formal yang berada diluar hukum kodifikasi, dengan memuat norma, sanksi,
dan asas hukum yang disusun khusus menyimpang karena kebutuhan masyarakat terhadap
hukum pidana yang mengandung, peraturan dari anasir-anasir kejahatan yang konvensional
Sementara menurut Utrecht dan Pompe, kebutuhan terhadap hukum pidana khusus untuk
mengatur beberapa subyek hukum dan/ atau perbuatan pidana khusus, dan oleh sebab itu
memuat ketentuan dan asas yang menyimpang dari peraturan hukum pidana umum.
Misalnya hukum pidana militer, hukum pidana fiskal, hukum pidana ekonomi dan hukum
pidana politik. Dari pandangan tersebut maka jelas suatu penyimpangan tertentu terhadap
materi formal dan materil dalam hukum pidana khusus membuatnya berada diluar KUHP.
Contohnya: Tindak pidana zinah dengan hukum adat
2. Apakah yang dimaksud dengan hukum pidana yang dikodifikasi dengan non
kodifikasi, sebutkan perbedaannya dan berikan contohnya?
Jawaban : Kodifikasi adalah penyusunan bahan hukum secara lengkap, tuntas, dan
sistematis dalam suatu kitab undang-undang. Contohnya KUHP. Sedangkan yang termasuk
dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah peraturan-peraturan pidana yang terdapat
di dalam undang-undang atau peraturan-peraturan yang bersifat khusus. Jadi, yang tidak
dikodifikasi ketentuan Hukum Pidana yang ada di luar KUHP tersebar dalam berbagai
undang-undang dan peraturan lain. Misalnya UU Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana
Ekonomi, ITE, Telekomunikasi, Perbankan dan sebagainya tidak di kodifikasi karena
menyebar di luar KUHP tidak merupakan satu kesatuan atau berdiri sendiri.
Jadi perbedaan hukum pidana kodifikasi dengan dengan non kodifikasi yaitu jikan hukum
pidana yang di kodifikasi itu sudah tersusun secara sistematis dalam suatu kitab undang-
undnag. Sedangkan non kodifikasi itu peraturan pidana yang terdapat pada undang-undang
dan bersifat khusus

3. Apakah dalam KUHP kita mengatur ketentuan tentang asas retroaktif (berlaku
surut)? Jawaban meliputi dasar hukum dan syarat pemberlakuannya.
Jawaban : Asas rektroaktif (berlaku surut) diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 1 ayat (2) kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa
“Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntunhkannya”
Asas retrokaktif tidak boleh digunakan kecuali telah memnuhi empat syarat kumulatif,
yaitu:
a. Kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tiangkat kekejaman
dan destruksinya setara dengannya
b. Peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional
c. Peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen
d. Keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana,
aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran
HAM berat kejahatan yangbtingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.

4. Apakah yang dimaksud dengan asas legalitas dalam KUHP kita? Dengan adanya asas
legalitas formil, mengapa eksistensi hokum pidana Adat (hokum pidana tidak
tertulis) tidak diakui?
Jawaban : Asas legalitas merupakan prinsip dasar hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP. Asas legalitas adalah salah satu wujud dari perjanjian antara penguasa dan
individu, dimana kebebasan individu sebagai subjek hukum mendapat jaminan
perlindungan kontraktual melalui asas legalitas.
“Suatu Perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada.” (KUHP Pasal 1 ayat (1)

Pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak mungkin dilakukan disebabkan asas
legalitas lahir untuk menjawab ketidakpastian hukum akibat kesewenang-wenangan
penguasa. Eksistensi hukum pidana adat sebagai yang hidup dalam masyarakat dalam
hukum positif Indonesia sudah diakui oleh Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali,
mengikuti dan mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Semenjak dikeluarkannya Undang-Undang a quo maka pemidanaan menurut hukum
Tindak pidana adat sebagaimana substansi pengaturan dari hukum pidana adat, secara
yuridis formal baru mempunyai dasar hukum semenjak dikeluarkan serta diundangkannya
UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. yang hidup dalam masyarakat
(hukum adat) dimungkinkan. Mahkamah Agung pun mengakui eksistensi tindak pidana
adat ini melalui putusan-putusannya, misalnya Putusan MA No. 195/K/Kr/1978 (mengadili
delik adat Bali – Lokika Sanggraha) dan Putusan MA No. 59K/Kr/1969 (mengadili delik
adat Karo – Ndjurmak).

5. Sebut dan jelaskan unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan aliran
dualistis. Apa kansekwensi antara dua aliran tersebut?
Jawaban:
Pandangan Monistis/ Monisme adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat
untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini
memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan atau tindak
pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (Actus Reus / Criminal Act)
dan pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (Mens Rea /Criminal responbility).
Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan
Negatif (tidak beruat)
2. diancam dengan pidana
3. melawan hukum
4. dilakukan dengan kesalahan
5. oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja.
Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut
pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan
pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana.
Gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis dapat terlihat dari pandangan Moeljatno
yang menyatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana,
barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelasan untuk terjadinya perbuatan
atau tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undang-undang (hal ini
merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP )
2. bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif)
Konsekuensi pandangan monistis yaitu bahwa kalau salah satu unsur konstitutif atau
unsur diam-daim tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dan dilepaskan dari segala
tuntutan hukum. Konsekuensi lain bahwa jika ada peristiwa pidana taua tindak pidana,
maka sudah tentu pembuatnya harus pula dipidana. Hal tersebut berarti bahwa unsur-unsur
tindak pidana sama dengan unsur-unsur atau sayarat pemidanaan.
Konsekuensi pandangan dualistis bahwa untuk mempidana seseorang tidak cukup kalau
orang tersebut hanya telah melakukan tindak pidana saja melainkan masih dibutuhkan satu
syarat lagi yaitu apakah orang tersebut terbukti kesalahannya (ini menyangkut
pertanggungjawaban pidana); mengandung asas kesalahan.

6. Sebut, jelaskan dan berikan contoh jenis-jenis tindak pidana menurut pembagian
secara yuridis dan pembagian secara ilmiah atau teoritik
Jawaban: Jenis tindak pidana menurut pembagian secara yuridis yaitu 1) Kejahatan dan 2)
Pelanggaran, merupakan “kualifikasi yuridis”, ada konsekuensi yuridisnya yang berbeda-
beda
Pembagian teoritik/ keilmuan
• Dari sudut. Perbuatan : 1) delik commissionis; 2) delik omissionis;
• Dari sudut. Sikap batin: 1) Delik dolus; 2) delik culpa; 3) delik pro-parte dolus, pro-
parte culpa;
• Dari sudut. titik berat formulasi : 1) delik formal; 2) delik materiel;
• Dari sudut. proses penuntutan : 1) delik biasa; 2) delik aduan.
o Delik aduan absolut : 284, 310, 332
o Delik aduan relatif : 367, 376, 394, 411

7. Sebut dan jelaskan bahwa KUHP hanya mengenal subjek dan pertanggungjawaban
pidana terhadap manusia, tidak terhadap korporasi.
Jawaban: Karena, baik dalam hukum pidana maupun hukum perdata, badan hukum dalam
melakukan perbuatan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dalam
hukum pidana, karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan
manusia (direksi), maka pelimpahan pertanggungjawaban pidananya terdapat pada
manusia, dalam hal ini diwakili oleh direksi.
Perbedaannya, dalam KUHP tidak diatur mengenai pertanggungjawaban Direksi, hanya
pertanggungjawaban individual. Akan tetapi, pada perkembangannya, dalam peraturan
perundang-undangan dikenal juga tindak pidana korporasi.

8. Sebut dan jelaskan tingkat dan corak kesengajaan. Berikan contohnya


Jawaban : Corak kesengajaan
• Kesengajaan dengsn maksud (opzet als oogmerk/dolus directus) untuk mencapai suatu
tujuan. Misalnya A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B, agar B tidak
membohong
• Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn/
noodzakelijkheidbewustzijn). Misalnya Ahendak membunuh Bdengan tembakan
pistol, B duduk dibalik kaca jendela restaurant. Penembakan terhadap B, pasti akan
memcahkan kaca pemilik restaurant itu. Terhadap rusaknya kaca (Pasal 406 KUHP)
ada kesengajaan dengan sadar keharusan
• Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis/ voorwaardelijk opzet).
Misalnya A hendak membalas dengan B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim
kuwih (taart) yang beracun dengan maksud untuk membunuh B.
A tahu bahwa ada kemungkinan isteri B, yang tidak berdosa itu juga akan memakan
kuwih tersebut dan meninggal karenanya. Meskipun A tahu hal terakhir ini, namun ia
tetap mengirim kuwih tersebut. Oleh karena itu, kesengajaan dianggap tertuju pula pada
matinya isteri B. dalam batin si A, kematian gtersebut tidak menjadi persoalan naginya

9. Sebut dan jelaskan secara rinci, disertai dengan contoh mengenai alasan-alasan
hapusnya pidana.
Jawaban:
M.v.T dari menyebut 2 alasan
1) Alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkannya sesorang yang terletak pada
diri orang itu (inwendig)
a. Pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit (pasal 44).
Cotoh hilangnya nyawa seseorang karena tertusuk pisau oleh orang gila
b. Umur yang masih muda (mengenai umur yang masih muda ini di indonesia dan
juga di negara belanda sejak tahun 1905 tidak lagi merupakan alasan
penghapusan pidana). Contoh seorang anak SD melakukan pemukulan terhadap
temannya yang mengakibatkan nyawa dari temannya hilang
2) Alasan yang dapat diperytanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar
orang itu (uitwendig) diatur dalam KUHP, Pasal 48 sampai 51, meliputi:
a. Daya paksa (overmacth) pasal 48
Apa yang diartikan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP.
Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat penjelasan yang diberikan oleh
pemerintah ketika kitab Undang-Undang (Belanda) itu dibuat. Dalam M/v/T
dilukiskan sebagai: “ setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tidak
dapat ditahan”. Hal yang terakhir ini “yang tidak dapat ditahan”, memberi sifat
kepada tekanan atau paksaan itu. Contohnya yaitu orang yang dibawah
hypnose dan melakukan pembunuhan tak dapat dikatakan pembunuhan karena
perbuatan ini sama sekali diluar kehendak.
b. Pembelaan terpaksa ( Pasal 49)
dua syarat:

1) ada serangan : (Seketika, langsung mengancam,melawan hukum,sengaja


ditujukan pada badan,perikesopanan atau harta benda

2) ada pembelaan yg perlu diadakan thd serangan tsb (a. pembelaan perlu dan
hrs dilakukan;b. menyangkut kepentingan yg disebut dlm UU spt
badan,perikesopanan, dan harta benda kepunyaan sendir atau orang lain)

Pasal 49 (1) berbunyi “ tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan


perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela dirinya sendiri atau orang
lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang
melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga”
Perbuatan orang yang membela diri itu seolah-olah perbuatan dari seseorang
yang main hakim sendiri, tetapi dalam hal-hal syarat-syarat seperti tersebut
dalam pasal 49, maka perbuatannya dianggap tidak melawan hukum.
Contohnya yaitu pembunuhan dengan pisau
c. Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50)
Pasal 50 berbunyi “ Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan
untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.
Misalnya: pejabat polisi yang menembak mati seorang pengendara yang
melanggar peraturan lalu lintas karena tidak berhenti saat mendengar
peluitnya, tidak dapat berlindung di bawah pasal 50
d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51)
“ tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan yang sah”
Orang dapat melaksanakan undang-undang sendiri, akan tetapi juga dapat
menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika seorang melakukan
perintah yang sah ini, maka ia tidak dapat melakukan perbuatan yang melawan
hukum. Contohnya yaity seorang letnan polisi diperintah oleh Kolonel Polisi
untuk menangkap penjahat.

Anda mungkin juga menyukai