Anda di halaman 1dari 4

Nama : Diaz Guterez Jagarino

Nim : 2010117561
Kelas: VII Malam
Mata Kuliah: Kapita Selekta Hukum Pidana
1. Jelaskan konsep “tindak pidana” Dan berikan contoh konkret dari jenis-jenis tindak
pidana yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia.
Jawab: Tindak pidana atau strafbaar feit dalam bahasa Belanda memiliki arti yaitu tindak
pidana, delik, perbuatan pidana atau perbuatan yang di pidana. Seseorang dapat
dikatakan melakukan perbuatan pidana, apabila perbuatan tersebut telah diatur dalam
undang-undang, sesuai dengan Asas Legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
berbunyi, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Contoh konkret dari
jenis-jenis tindak pidana: Menurut kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)
dibedakan antara lain Kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang
dimuat dalam Buku III, Tindak pidana formil dan tindak pidana materil, Delik Dolus dan
Delik Culpa, Delik Commissionis, delik ommisionis dan delik commissionis per
omissionis commissa, Delik tunggal dan delik berganda, Delik menerus dan delik tidak
menerus, Delik laporan dan delik aduan, dan Delik biasa dan delik yang dikualifikasikan.

2. Apa yang dimaksud dengan prinsip legalitas dalam hukum pidana? Bagaimana prinsip ini
memengaruhi proses pembuatan undang-undang dan penegakkan hukum pidana?
Jawab: Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih
sering diselaraskan dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-
undangan tidak boleh berlaku surut. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak
dipidana kalau belum ada aturannya. Sebagaimana pendapat yang sangat populer dari
Lawrence M. Friedman, bahwa komponen dalam sistem hukum terdiri dari struktur
hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Asas legalitas bersumber dari pasal 1 ayat 1
KUHP yaitu bahwa tiada perbuatan dapat dihukum, melainkan atas ketentuan pidana
dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan tersebut. Asas
legalitas sering disebut dengan asas Nullum Delictum, yang berasal dari “nullum delictum
sine praevea lege poenali”. Atas dasar asas ini, suatu perbuatan hanya dapat dihukum
apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran atas ketentuan yang nyata-nyata telah diatur
dalam suatu peraturan perundangundangan. Asas ini terutama dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepada individu, agar individu tidak dengan sembarangan diajukan
ke pengadilan dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan tanpa berdasar aturan hukum yang
berkenaan dengan perbuatan yang telah dilakukan. Penegakan hukum merupakan suatu
proses logis yang mengikuti kehadiran suatu peraturan hukum. Apa yang harus terjadi
menyusul kehadiran peraturan hukum, hampir sepenuhnya terjadi melalui pengolahan
logika. Namun, penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses yang melibatkan
manusia di dalamnya. Oleh karena itu, penegakan hukum bukan merupakan proses yang
logis semata-mata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia di dalamnya. Penegakan
hukum tidak dapat dilihat sebagai suatu proses logis-linier melainkan sesuatu yang
kompleks. Masuknya faktor manusia menyebabkan penegakan hukum sarat dengan
dimensi perilaku dengan dengan faktor yang menyertainya. Dengan demikian penegakan
hukum bukan lagi merupakan deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari
pilihan-pilihan. Ketika asas legalitas diterapkan, dan hukum disamakan pengertiannya
dengan undang-undang, memang kepastian hukum lebih mudah untuk diwujudkan.
Apakah sesuatu perbuatan dikatakan melanggar hukum atau tidak, ukurannya sudah jelas
yaitu rumusan yang ada dalam undang-undang. Namun, kepastian hukum tidaklah identik
dengan keadilan, dan kepastian hukum tidak secara otomatis menjamin pemenuhan rasa
keadilan. Di sinilah penerapan asas legalitas secara “kaku” sering mendatangkan
kritikan.

3. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana bersifat umum (crime) dan tindak pidana bersifat
khusus (delict). Berikan contoh masing-masing jenis tindak pidana.
Jawab: Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk
untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), seperti pencurian, pembunuhan,
penganiayaan, dan tindak pidana lainnya yang dinyatakan sebagai tindak pidana karena
sudah dipositifkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang pidana. Sedangkan
hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk
diberlakukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya bagi anggota angkatan bersenjata,
ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja seperti
Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme, Tindak
Pidana Psikotropika, Tindak Pidana Narkotika, Tindak Pidana Informasi dan Transaksi
Elektronik, dan Tindak Pidana Pornografi.

4. Dalam konteks hukum pidana, apa yang dimaksud dengan unsur-unsur tindak pidana?
Berikan contoh unsur-unsur yang ada dalam suatu tindak pidana tertentu.
Jawab: Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya
dapat dijabarkan unsur – unsurnya menjadi 2 (dua) macam, yaitu unsur subyektif dan
unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur – unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Unsur obyektif adalah unsur – unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan – keadaan, yaitu keadaan yang dimana tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-
unsur tindak pidana sebagai berikut :

1. Kelakuan dan akibat (=perbuatan);

Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan adanya hal
ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

Hal ikhwal oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang
yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pelaku. Contoh dari
golongan pertama adalah hal menjadi pejabat negara (pegawai negeri) yang diperlukan
dalam delik-delik jabatan seperti dalam Pasal 413 KUHP dan seterusnya. Contoh dari
golongan kedua adalah Dalam pasal 332 (schaking, melarikan wanita) disebut bahwa
perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orangtuanya
tidak menyetujuinya.

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

Contoh keadaan tambahan yang memberatkan pidana adalah kasus penganiayaan


menurut Pasal 351 Ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan. Tetapi jika perbuatan menimbulkan luka-luka berat, ancaman pidana,
diberatkan menjadi lima tahun dan jika mengakibatkan mati, menjadi tujuh tahun (Pasal
351 Ayat 2 dan 3).

4. Unsur melawan hukum yang objektif;

Sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau
unsur tersendiri. Contohnya dalam merumuskan pemberontakan yang menurut Pasal 108
antara lain adalah melawan pemerintah dengan senjata, tidak perlu diadakan unsur
tersendiri yaitu kata-kata yang menunjukkan bahwa perbuatan adalah bertentangan
dengan hukum. Tanpa ditambah kata-kata lagi, perbuatan tersebut sudah wajar pantang
dilakukan.

Akan tetapi, kepantangan perbuatan belum cukup jelas dinyatakan dengan adanya unsur-
unsur diatas. Perlu ditambah dengan kata-kata tersendiri untuk menyatakan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Pasal 167 KUHP melarang untuk memaksa masuk ke dalam rumah,
ruangan atau perkarangan tertutup yang dipakai orang lain, dengan melawan hukum.
Rumusan memaksa masuk ke dalam rumah yang dipakai orang lain itu saja dipandang
belum cukup untuk menyatakan kepantangannya perbuatan.

5. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Contohnya dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian, pengambilan barang
orang lain, dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Sifat
melawan hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan
pada niat orang yang mengambil barang tadi. Kalau niat hatinya itu baik, misalnya barang
diambil untuk diberikan kepada pemiliknya, maka perbuatan itu tidak dilarang, karena
bukan pencurian. Sebaliknya kalau niat hatinya itu jelek, yaitu barang akan dimiliki
sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut hukum, maka hal itu dilarang dan
masuk rumusan pencurian. Sifat melawan hukumnya perbuatan tergantung kepada
bagaimana sikap batinnya terdakwa.

5. Diskusikan peran hukuman dalam sistem hukum pidana. Apa tujuan dari hukuman dalam
konteks pemulihan sosial dan keadilan?
Jawab: Sistem hukuman pidana dalam KUHP pada dasarnya masih mempertahankan
paradigma retributif, yaitu memberikan pembalasan yang sesuai untuk kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku dan masih fokus pada penuntutan pelaku kejahatan, belum
memperhatikan pemulihan kerugian. Dan penderitaan para korban hilang karena
kejahatan. Paradigma retributif dengan tujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku
untuk tidak mengulangi kejahatan lagi dan mencegah masyarakat melakukan kejahatan.
Penggunaan paradigma retributif belum mampu memulihkan kerugian dan penderitaan
yang dialami korban.

Anda mungkin juga menyukai